• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN LAHAN PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN LAHAN PE"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI IMPLEMENTASI

(2)

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

LAHAN PERTANIAN PANGAN

BERKELANJUTAN (LP2B)

DIREKTORAT PANGAN DAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

(3)

Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan (LP2B)

Penanggungjawab : Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam

Penyusun : Nono Rusono

Anwar Sunari Zulfriandi Jarot Indarto Ali Muharam Noor Avianto Dini Maghfirra Puspita Suryaningtyas Tejaningsih

Ifan Martino Susilawati Dian Hersinta

Editor : Ali Muharam

Dini Maghfirra

Cover Buku : http://kadek-elda.blogspot.co.id/2012/12/subak-sistim-pengairan-irigasi-di-bali.html

http://posronda.net/2014/08/18/selamatkan-lahan-pertanian-peneliti-kembangkan-teknologi-sawah-anti-theft/

Direktorat Pangan dan Pertanian,Bappenas Gedung 2A, Lantai 5

Jl.Taman Suropati No.2 Jakarta Pusat,10310 Phone: 021-319-34323 Fax:021-391-5404

(4)

KATA PENGANTAR

valuasi pelaksanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang dilaksanakan tahun ini bertujuan untuk melihat sejauhmana implementasi dari regulasi yang telah ditetapkan sejak tahun 2009 yang terdiri atas UU 41/2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta peraturan-peraturan turunannya. Regulasi ini muncul pertama kali dari kekhawatiran banyaknya lahan-lahan pertanian yang berubah fungsi ataupun dimiliki oleh perusahaan asing.Evaluasi ini diharapkan dapat menghimpun informasi-informasi terbaru terkait pelaksanan LP2B di daerah, baik dari sisi perencanaan, penetapan, pengembangan, penelitian, pengawasan, pembiayaan, pengendalian, dan peran serta masyarakat terhadap pelaksanaan LP2B.Hasil evaluasi atas informasi-informasi pelaksanaan LP2B tersebut dapat dijadikan sebagai bahan dalam perumusan kebijakan LP2B sehingga kebijakan ini dapat operasional di tingkat lapangan.

Penyusunan hasil evaluasi ini tidak lepas dari berbagai kekurangan.Oleh karena itu, masukan, kritik, ataupun saran bagi perbaikan tulisan sangat diharapkan.Terima kasih kami ucapkan pula kepada pihak-pihak yang membantu penyusunan laporan evaluasi LP2B ini khususnya kepada pihak Bappeda dan Dinas Pertanian di lokasi-lokasi yang menjadi sampel kegiatan ini.

Jakarta, Desember 2015 Direktur Pangan dan Pertanian

Nono Rusono

(5)
(6)

RINGKASAN EKSEKUTIF

ektor pertanian masih menjadi sektor unggulan di Indonesia. Selain tenaga kerja yang terserap cukup besar, sektor ini juga masih mampu memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar bagi perekonomian nasional.Akan tetapi, permasalahan yang paling mendasar dari sektor pertanian ini adalah semakin menyusutnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan.Lahan merupakan faktor utama dalam pengembangan pertanian.Oleh karena itu, pada tahun 2009 Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan lahirnya Undang-Undang No.41/2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).Undang-undang ini diharapkan dapat menahan laju konversi lahan sawah khususnya sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat menopang ketahanan pangan nasional dan Indonesia memiliki lahan pertanian abadi.

Adapun tujuan dari kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah untuk:

1. mengidentifikasi perkembangan dan capaian pelaksanaan kebijakan LP2B;

2. mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kebijakan LP2B; serta

3. menganalisis dan mengevaluasi capaian pelaksanaan kebijakan LP2B serta

rekomendasi kebijakan yang diperlukan.

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode survey dengan mengambil beberapa sampel kabupaten yang menjadi sentra pertanian padi di provinsinya masing-masing, yaitu Aceh Tamiang (NAD), OKU Timur (Sumsel), Lamongan (Jatim), Maros (Sulsel), Garut (Jabar), Sleman (DIY), Magelang (Jateng), Lombok Tengah (NTB), dan Tabanan (Bali). Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis ini didasarkan pada UU No. 41/2009 pasal 4, yaitu:

a. Perencanaan dan Penetapan

i. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

j. Pembiayaan

k. Peranserta Masyarakat

l. Dan ditambah dengan sanksi administrasi.

Aspek-aspek di atas diukur dengan menggunakan metode kualitatif berdasarkan hasil implementasi dari undang-undang tersebut. Selanjutnya, untuk mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan LP2B digunakan Participatory System Analysis

(PSA) yang memetakan berbagai faktor tersebut ke empat diagram, yaitu symptom, critical

(7)

Hasil evaluasi atas keseluruhan aspek LP2B yang diamanatkan didalam UU No.41 Tahun 2009 terhadap kabupaten yang menjadi target lokasi kajian adalah seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Rekapitulasi Evaluasi Seluruh Aspek LP2B terhadap Lokasi Kajian

No Aspek LP2B Pelakasanaan

1. Perencanaan dan Penetapan Tidak direncanakan secara matang, penetapan LP2B sebagian besar di RTRW bukan di RDTR

2. Pengembangan Sebagian besar merupakan program rutin bukan LP2B

3. Penelitian 5 kabupaten telah melaksanakan, 1 kabupaten akan dilaksanakan, dan 3 kabupaten belum melaksanakan penelitian

4. Pemanfaatan Bagian dari rutinitas bukan LP2B 5. Pembinaan Bagian dari rutinitas bukan LP2B 6. Pengendalian Insentif belum dikaitkan dengan program

LP2B

7. Pengawasan Belum ada sistem pelaporan LP2B 8. Sistem Informasi Belum ada sistem informasi LP2B 9. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Cenderung program rutin bukan LP2B 10. Pembiayaan Pembiayaan Penelitian LP2B oleh 3

kabupaten, sumber APBD 11. Peranserta Masyarakat Belum terlibat

12. Sansi Administrasi Belum ada sanksi

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan LP2B dapat dikatakan belum berjalan sebagaimana mestinya.Hal ini disebabkan berbagai kendala yang dihadapi

oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan amanat undang–undang tersebut.Berdasarkan

seluruh aspek yang dikaji, hanya ada dua aspek yang baru dilakukan, yaitu perencanaan dan penetapan LP2B di dalam RTRW kabupaten, dan penelitian.Aspek perencanaan dan penetapan pun masih berada pada koridor yang tidak tepat karena ada beberapa kabupaten menempatkan LP2B di dalam RTRW, seharusnya LP2B dan Lahan Cadangan P2B ditempatkan di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

(8)

Tabel 2. Faktor dan Kriteria Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B

No Wilayah Studi

Kriteria Faktor yang Berpengaruh

Symptom Critical

Elements Motor/Leverage Buffer

1.

(9)

Berdasarkan tabel di atas telah dapat diidentifikasi bahwa tiap wilayah memiliki kriteria faktor-faktor yang berbeda.Perbedaan kriteria dari masing-masing wilayah tersebut disebabkan berbagai faktor, seperti kurangnya sosialisasi LP2B, LP2B bukan prioritas wilayah, koordinasi antar SKPD dan sebagainya.

Berdasarkan hasil uraian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan, perencanaan dan penetapan LP2B di dalam RTRW dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, tidak didasarkan pada pendapat atau usulan dari masyarakat. Alasannya belum memiliki informasi yang cukup untuk mensosialisasikan LP2B ke masyarakat.

2. Luasan lahan LP2B yang ditetapkan masih pada luasan kabupaten dan paling kecil sampai pada tingkat kecamatan karena lebih aman jika terjadi perubahan lahan dikemudian hari

3. Ada satu wilayah telah menetapkan Peraturan Bupati tentang LP2B, yaitu Kabupaten

Tabanan, dan Kabupaten Garut dan Maros sedang menyusun peraturan tersebut.

4. Ada 6 kabupaten telah melakukan penelitian terkait dengan LP2B dengan dana APBD

dimana hasil penelitian tersebut digunakan untuk penyusunan perencanaan LP2B 5. Aspek pengembangan, pemanfaatan, pembinaan, sampai dengan aspek sanksi belum

diterapkan karena semua wilayah masih terfokus pada proses perencanaan dan penetapan LP2B

6. Permasalahan yang muncul terkait dengan LP2B adalah kurangnya sosialisasi LP2B baik dari pusat maupun provinsi, dan ketidakmampuan pihak kabupaten dalam mengontrol alih fungsi lahan dan alih fungsi komoditas

Adapun rekomendasi yang dapat disarankan atas hasil kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebaiknya, Pemerintah Daerah (Pemda) penyusunan rencana LP2B terlebih dahulu sebelum ditetapkan di dalam Perda

2. Sebaiknya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan LP2B. Kendala utama

penyebab tidak jalannya pelaksanaan LP2B harus menjadi fokus perhatian sehingga permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan.

3. Evaluasi pasal-pasal yang ambigu dalam UU No. 41 Tahun 2009 beserta turunannya,

terutama untuk membedakan perlakuan antara kegiatan reguler dengan kegiatan LP2B. 4. Sebaiknya dilakukan koordinasi kembali terkait LP2B, terutama di tingkat pusat, yang dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional untuk melakukan reposisi kembali atas tugas dan fungsi masing-masing pada program LP2B

5. Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait kegiatan LP2B

antara lain:

a. Kementerian Pertanian harus melakukan sosialisasi lebih intensif,

b. Pemerintah Daerah dan DPRD melakukan revisi atas peraturan-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan regulasi LP2B,

c. Bappeda mengkoordinasikan pembentukan Tim LP2B di daerah,

(10)

DAFTAR ISI

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN ……….. 5

2.1. Land Reform, Reformasi Agraria dan Kebijakan LP2B …………. 5

2.2. Alih Fungsi Lahan ……….. 7

2.3. Hasil-hasil Penelitian Terkait dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ……….. 10

BAB 3 METODE KAJIAN ………... 17

3.1. Kerangka Kajian ... 17

3.2. Objek Kajian... 17

3.3. Lokasi Kajian... 17

3.4. Teknik Pengumpulan Data... 18

3.5. Metode Analisis... 18

BAB 4 IDENTIFIKASI DAN ANALISA REGULASI……… 23

4.1. Identifikasi Regulasi dan Analisis Kritis Regulasi... 23

4.2. Analisis Regulasi LP2B... 30

BAB 5 GAMBARAN UMUM……….……… 39

5.1. Pemetaan Penetapan LP2B di dalam RTRW... 39

5.2. Gambaran Umum Luasan Sawah dan Produktivitas Padi di Wilayah Studi ………. 44

BAB 6 EVALUASI PERKEMBANGAN DAN CAPAIAN PELAKSANAAN LP2B……….……… 47

6.1. Aspek Perencanaan dan Penetapan LP2B... 47

6.2. Aspek Pengembangan LP2B... 56

(11)

6.6. Aspek Pengendalian LP2B... 65

6.7. Aspek Pengawasan LP2B... 66

6.8. Aspek Sistem Informasi LP2B... 67

6.9. Aspek Perlindungan dan Pemberdayaan Petani... 68

6.10. Aspek Pembiayaan... 71

6.11. Aspek Peranserta Masyarakat pada LP2B... 72

6.12. Aspek Sanksi... 72

6.13. Rekapitulasi Evaluasi Penilaian Seluruh Aspek LP2B ... 73

6.14. Pendapat Petani terhadap LP2B... 75

BAB 7 PERMASALAHAN DAN FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PELAKSANAAN LP2B………... 83

7.1. Permasalahan Pelaksanaan LP2B... 83

7.2. Faktor-faktor yang Berpengaruh Atas Pelaksanaan LP2B... 85

BAB 8 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI………... 97

8.1. Kesimpulan ... 97

8.2. Rekomendasi ... 97

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

2.1. Kebijakan LP2B di dalam RTRW Kabupaten/Kota Kajian ……… 11

3.1. Lokasi Kajian Evaluasi LP2B ………. 18

3.2. Variabel Analisis Evaluasi Implementasi LP2B………. 18

4.1. Analisis Undang-undang No. 41 Tahun 2009………... 31

5.1. Rekapitulasi Perda RTRW yang telah Mencantumkan LP2B di Daerah 39 5.2. Data LP2B yang Melebihi dari Baku Lahan Sawah Hasil Audit……… 40

5.3. Data LP2B yang kurang dari Baku Lahan Sawah Hasil Audit………... 42

5.4. Identifikasi Wilayah Studi………... 44

6.1. Proses Perencanaan LP2B di Wilayah Studi………... 48

6.2. Penetapan Kawasan P2B dan LP2B di dalam RTDR………. 53

6.3. Penilaian Aspek Pengembangan Kawasan P2B dan LP2B………. 57

6.4. Penilaian Aspek Penelitian P2B ……….. 60

6.5. Penilaian Aspek Pemanfaatan LP2B ………... 62

6.6. Penilaian Aspek Pembinaan LP2B ……….. 64

6.7. Aspek Pengendalian LP2B ……….. 65

6.8. Penilaian Aspek Pengawasan LP2B ……… 67

6.9. Penilaian Aspek Sistem Informasi LP2B ……… 68

6.10. Penilaian Aspek Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ………. 70

6.11. Penilaian Aspek Pembiayaan LP2B ……… 71

6.12. Penilaian Aspek Peranserta Masyarakat pada LP2B ……….. 72

6.13. Penilaian Aspek Sanksi LP2B ………. 73

6.14. Rekapitulasi Evaluasi Seluruh Aspek LP2B terhadap Lokasi Kajian … 74 6.15. Pendapat Petani Tentang LP2B ……….. 76

7.1. Permasalahan Pelaksanaan LP2B di Wilayah Studi ………... 83

7.2. Faktor-faktor Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Aceh Tamiang ……….. 86

7.3. Faktor-faktor Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Oku Timur ………... 87

7.4. Faktor-faktor Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Lamongan ……… 87

7.5. Faktor-faktor Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Tabanan ………... 88

7.6. Faktor-faktor Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Lombok Tengah ……….. 89

7.7. Faktor-faktor Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Garut 90 7.8. Faktor-faktor Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Maros ………... 91

(13)
(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

2.1. Segitiga Lokasi Weber ……… 8

2.2. Kurva Permintaan Losch dan Kerucut Permintaan ……… 9

3.1. Kerangka Kajian Implementasi Kebijakan LP2B ……….. 17

3.2. Contoh Diagram Participatory Sistem Analisis (PSA) ………... 22

5.1. Luasan Baku Sawah Wilayah Studi (Ha) ……… 45

5.2. Produktivitas Lahan Sawah Wilayah Studi (Ton/Ha) ………. 46

7.1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Aceh Tamiang ………... 86

7.2. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten OKU Timur ………... 87

7.3. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Lamongan ………. 88

7.4. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Tabanan ……… 89

7.5. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Lombok Tengah ……… 90

7.6. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Garut ………. 91

7.7. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Maros ………... 92

7.8. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Sleman ……….. 93

(15)
(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berbicara mengenai pertanian, tidak terlepas dari lahan. Lahan merupakan faktor utama dalam pengembangan pertanian. Sebagai negara agraris yang memiliki serapan tenaga kerja terbanyak dibandingkan sektor ekonomi lainnya, sektor pertanian menjadi salah satu tumpuan pembangunan nasional, khususnya dalam penyediaan pangan. Pasokan pangan lokal menjadi tumpuan bagi penyediaan pangan nasional. Namun, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan aktivitas ekonomi, serta peningkatan kebutuhan pangan menyebabkan upaya mencapai ketahanan pangan nasional di masa mendatang menjadi semakin berat. Apalagi ditunjang dengan kenyataan bahwa penyediaan pangan lokal belum mampu memenuhi permintaan pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan dan turun naiknya produksi dan produktivitas pangan nasional. Dengan kata lain, produksi pangan sangat dipengaruhi iklim, apalagi sekarang ini pertanian dihadapkan pada fenomena iklim yang tidak menentu sebagai akibat terjadinya perubahan iklim (climate change).

Tantangan berikutnya yang harus dihadapi oleh sektor pertanian adalah semakin tergerusnya lahan-lahan pertanian oleh aktivitas ekonomi manusia, terutama untuk permukiman, pembangunan infrastruktur (jalan, bendungan, dan sebagainya), ataupun industri. Pembangunan yang terus dilaksanakan menyebabkan banyak lahan pertanian yang harus beralih fungsi menjadi non-pertanian. Alih fungsi lahan semakin masif terjadi di wilayah perkotaan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa selama periode Juni 1998-Juni 2003, terjadi konversi lahan sawah menjadi lahan bukan pertanian mencapai sekitar 12,7 ribu ha, sementara konversi dari lahan pertanian bukan sawah menjadi lahan non pertanian mencapai sekitar hampir 30 ribu ha. Harga lahan yang cukup tinggi menjadi salah satu faktor pemicu para petani untuk melepas kepemilikan lahannya ke investor untuk dialihfungsikan. Artinya, motif ekonomi menjadi penyebab utama dari alih fungsi lahan. Adapun petaninya itu sendiri memanfaatkan hasil penjualan lahannya tersebut dalam berbagai keperluan, seperti pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, warisan, membeli lahan baru di wilayah yang jauh dari perkotaan, dan sebagainya. Akibatnya keadaan ini menyebabkan kemampuan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi penduduk semakin berkurang. Apabila hal ini dibiarkan, maka akan terjadi penurunan produksi pangan, khususnya padi. Akibatnya, kemampuan produksi pangan lokal semakin tidak mampu memenuhi tekanan demand pangan yang cukup tinggi, selanjutnya pemerintah akan melakukan impor atas komoditas pangan. Dampak berikutnya adalah semakin besar anggaran pemerintah untuk pengadaan pangan impor atau terjadinya pengeluaran sumber daya kapital ke luar negeri (capital flight).

(17)

teknis sehingga dapat menopang ketahanan pangan nasional. Di samping itu, pemerintah akan memiliki lahan pertanian abadi dalam rangka penyediaan pangan karena di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa lahan-lahan yang termasuk di dalam kategori lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) tidak dapat dialihfungsikan ke peruntukan lain. Dengan kata lain, pemerintah tidak akan memberi rekomendasi alih fungsi atas tanah yang telah ditetapkan sebagai lahan LP2B. Dengan diterbitkannya undang-undang ini, pemerintah berharap dapat melindungi lahan-lahan pertanian pangan dari konversi lahan dan menjadikan lahan tersebut menjadi lahan abadi bagi pertanian. Namun, tentunya undang-undang ini tidak dapat berjalan dengan baik apabila petani sebagai pemilik lahan tidak mengetahui keberadaan dari undang-undang tersebut.

Guna memperkuat kedudukan UU No.41/2009, selanjutnya pemerintah mengeluarkan peraturan perundangan yang berfungsi memperjelas fungsi dan kedudukan dari undang-undang tersebut, yaitu (i) PP No.1/2011 Tentang Penetapan dan alih Fungsi Lahan Pertanian; (ii) PP No.12/2012 Tentang Insentif Perlindungan Lahan; (iii) PP No.25/2012 Tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan (iv) PP No.30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan perundangan tentang alih fungsi lahan di lahan LP2B hanya dapat dilakukan untuk kepentingan publik saja sedangkan alih fungsi lainnya tidak diperkenankan. Peraturan tentang insentif dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan insentif kepada lahan pertanian yang terkena LP2B berupa perbaikan prasarana dan sarana serta bantuan input produksi sampai dengan pasca panen, misalnya jaminan harga. Sedangkan peraturan tentang sistem informasi LP2B dimaksudkan untuk memberikan arahan bahwa penetapan LP2B harus dapat diakses ataupun diinformasikan ke masyarakat. Adapun peraturan tentang pembiayaan pada dasarnya menjelaskan kegiatan-kegiatan LP2B yang didanai serta sumber pendanaannya.

Peraturan perundangan terkait dengan LP2B ini masih dapat dikatakan relevan dengan prioritas Nawa Cita yang disebutkan di dalam RPJMN Tahun 2015-2019. Pada Nawa Cita ke-5 disebutkan bahwa “Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia”. Artinya, salah satu wujud dari peningkatan kualitas hidup adalah dengan peningkatan kesejahteraan penduduk. Peningkatan kesejahteraan hidup petani lebih dikaitkan pada penguasaan lahan pertanian. Oleh karena itu, prioritas ini masih memiliki relevansi dengan upaya perlindungan petani melalui LP2B.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu setelah ditetapkannya UU No. 41/2009 implementasi dari regulasi tersebut belum mampu mengimbangi alih fungsi lahan yang terus terjadi. Disisi lain, program pencetakan sawah baru yang menjadi salah satu tupoksi Kementerian Pertanian acap tidak mencapai target dan masih menyisakan berbagai permasalahan seperti ketersediaan sarana pendukungnya seperti petani, irigasi, dan juga akses usaha. Persoalannya adalah apakah informasi LP2B tersebut telah sampai pada masyarakat yang lahannya terkena LP2B. Apakah pemerintah daerah telah mengeluarkan peraturan perundangan daerah terkait dengan LP2B dan sebagainya.

(18)

41/2009, yaitu dimulai pada saat perencanaan sampai dengan implementasi dari pelaksanaan LP2B tersebut.

1.2. Tujuan

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) bertujuan bertujuan untuk:

1. mengidentifikasi perkembangan dan capaian pelaksanaan kebijakan LP2B;

2. mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kebijakan LP2B; serta

3. menganalisis dan mengevaluasi capaian pelaksanaan kebijakan LP2B serta

rekomendasi kebijakan yang diperlukan.

1.3. Sasaran

Adapun yang menjadi sasaran dari kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah:

1. Teridentifikasinya perkembangan dan capaian pelaksanaan kebijakan LP2B dan

permasalahan yang dihadapi, dan

2. Tersusunnya rekomendasi kebijakan percepatan pelaksanaan LP2B

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) meliputi:

1. Identifikasi peraturan perundangan;

2. Identifikasi dan evaluasi proses pelaksanaan; dan

3. Identifikasi permasalahan dan penyusunan rekomendasi kebijakan

1.5. Keluaran

(19)
(20)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Land Reform, Reformasi Agraria dan Kebijakan LP2B

Berdasarkan laporan dari Foley (2014) yang ditulis di dalam National Geographic edisi Mei 2014 bertopik “Masa Depan Pangan” menyebutkan bahwa lahan tanpa es yang terbagi atas dua hal, yaitu lahan yang belum tersentuh sebesar 46,5% dan lahan yang telah diubah manusia sebesar 53,5% dari total area permukaan bumi, termasuk air, seluas 509 triliun Km2. Luas bumi yang telah diusahakan oleh manusia terbagi atas dua hal, yaitu untuk pertanian seluas 50 triliun meter persegi (38,6%) dan lainnya seluas 19 triliun meter persegi (14,9%). Lahan pertanian dimanfaatkan untuk penggembalaan dan lahan tanam, sedangkan lahan lainnya terdiri dari lahan yang tergerus karena erosi, perumahan dan bisnis pedesaan, area perkotaan, hutan tanaman, pembalakan, dan pertambangan, tambang terbuka, jalanan, rel kereta api, penampungan air. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa lahan pertanian mendominasi area bumi saat ini. Artinya, seluruh lahan tersebut dimanfaatkan untuk penyediaan pangan bagi milyaran penduduk di muka bumi. Data tersebut dapat menjelaskan bahwa lahan pertanian sangat krusial bagi penghidupan penduduk dunia.

Seperti diketahui bahwa tanah memiliki dua sisi perspektif, yaitu sebagai barang ekonomi, dan objek budaya yang memiliki nilai ikatan spiritual (Husein, 2014). Sebagai barang ekonomi, tanah atau lahan dapat dimanfaatkan secara langsung untuk penghidupan, baik untuk pertanian, permukiman, usaha, fasilitas publik dan sebagainya. Di sisi lainnya, lahan dapat dialihkan status kepemilikannya dari satu orang/lembaga ke orang/lembaga lainnya, atau dengan kata lain, lahan sebagai objek yang dapat diperjualbelikan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena lahan sebagai objek yang dapat dialihkan statusnya atau diperjualbelikan, dan dapat dialihfungsikan dari pertanian ke non-pertanian, hal ini yang menjadi titik dasar terjadinya permasalahan pertanahan hampir di seluruh negara di dunia. Permasalahan yang muncul berikutnya adalah kesenjangan dalam kepemilikan lahan. Orang-orang berkapital melakukan akuisisi atas lahan-lahan yang dimiliki oleh orang-orang yang tergolong miskin atau berketidakmampuan, sehingga terjadinya ketimpangan atas distribusi lahan. Hal ini menimbulkan gagasan di dunia untuk melakukan “Land Reform”.

Sejarah Land Reform pertama kali dilakukan di jaman Yunani Kuno pada pemerintahan Solon, 594 tahun Sebelum Masehi (Heryanti, 2011). Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak sejarah: “land reform” berhasil diterapkan di jaman Romawi Kuno (134 SM) oleh Tiberius Gracchus; gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak di Inggris, selama ±5 abad; dan Revolusi Perancis (1789 – 1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di

Eropa melakukan “land reform”. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, terjadi

(21)

Selanjutnya, program land reform pertama kali dipopulerkan oleh Amerika Serikat melalui Bank Dunia, yang kemudian menyebar ke Asia,Afrika, dan Amerika Latin.

Pengertian land reform menurut Cohen (1978) adalah redistribusi tanah sebagai upaya perbaikan struktur penguasaan dan kepemilikan lahan di tengah masyarakat sehingga kemajuan dapat diraih dan lebih menjamin keadilan. Adapun reformasi agraria adalah suatu upaya yang sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat “baru” yang demokratis dan berkeadilan yang mulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul oleh sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan masyarakat pada umumnya (Bachriadi, 2007). Berdasarkan kedua pengertian tersebut, terjadi perbedaan pengertian antara land reform dan reformasi agraria yang diterapkan di Indonesia. Reformasi agraria di Indonesia di mulai pada tahun 1948 dengan dibentuknya Panitia Agraria Yogyakarta melalui Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948. Selanjutnya, perjuangan untuk mensahkan regulasi tentang agraria terus dilakukan, dan akhirnya pada tahun 1960 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tanggal 24 September 1960. Baik land reform ataupun reformasi agraria lebih cenderung pada satu konsep, yaitu redistribusi penguasaan dan pemilikan tanah yang berkeadilan.

Kaitan UUPA dengan pertanian, disebutkan pasal 7 dan 17 UUPA dimana terdapat pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah, serta batas-batas maksimum pemilikan tanah. Pasal tersebut mendasari terbentuknya Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Pertanian dan Pembagian Ganti Rugi. Pada dasarnya undang-undang tersebut mengatur 3 masalah pokok, yaitu (1) penetapan luas maksimum penguasaan tanah, (2) gadai tanah, dan (3) luas maksimum tanah pertanian (Mungkasa, 2014). Akan tetapi, undang-undang landreform ini tidak dapat diterapkan di Pulau Jawa karena luas lahan yang akan dibagikan tidak cukup. Berdasarkan Heryanti (2001) disebutkan bahwa sejak tahun 1961 sampai dengan 2002, setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hak tanah obyek landreform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang tersebar diseluruh Indonesia. Inti dari reformasi agraria ini adalah dalam rangka peningkatan produksi pertanian melalui redistribusi tanah dan peningkatan taraf hidup petani.

(22)

non-2.2. Alih Fungsi Lahan

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa lahan atau tanah memiliki dua perspektif, yaitu sebagai objek ekonomi dan objek budaya. Sebagai objek ekonomi, lahan menjadi barang yang dapat dialihkan status kepemilikan dan penguasaannya atau dapat diperjualbelikan karena memiliki nilai tukar. Tanah seringkali dijadikan sebagai barang tabungan karena nilai objek tersebut tidak pernah turun bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, perorangan yang memiliki lahan yang cukup luas berarti orang tersebut dapat dikatakan kaya.

Teori yang berkaitan erat dengan alih fungsi lahan adalah teori lokasi. Dalam laporan ini, ada dua teori yang diungkap, yaitu teori Weber dan Losch. Kedua teori ini memiliki prinsip yang sama dalam penentuan lokasi adalah adanya biaya terkecil. Penentuan lokasi merupakan salah satu aspek penting dalam perencanaan pra- produksi sebab pemilihan lokasi yang salah akan berdampak pada ketidakberhasilan usaha pertanian bahkan bisa menimbulkan kebangkrutan pada usaha yang telah diinvestasikan. Untuk usaha agribisnis yang berskala kecil mungkin saja pemilihan lokasi bukan merupakan prioritas utama karena umumnya produksi dilakukan di daerah domisili para petani. Akan tetapi, jika usaha agribisnisnya berskala besar, seperti dalam bentuk perusahaan, yang dikelola oleh perusahaan dengan modal investasi yang cukup besar, maka aspek lokasi mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan dan kesinambungan usaha.

Pengambilan keputusan tentang penentuan lokasi usaha oleh perusahaan terkait dengan memaksimalkan keuntungan yang akan diperoleh terutama dalam meminimalisasi biaya produksi (cost of production) dan biaya transportasi. Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan perusahaan dalam menentukan lokasi, yaitu kemudahan dalam pengumpulan input produksi, proses produksi, dan pemasaran (Budiharsono, 1988).

Pertama, pertimbangan kemudahan dalam input produksi lebih ditekankan pada kedekatan lokasi dengan sumber input produksi dan tenaga kerja. Ada dua sumber input produksi, yaitu input lokal dan input yang dapat ditransfer. Input lokal adalah semua barang dan jasa yang menjadi potensi sumberdaya dari lokasi tersebut. Input lokal ini tentunya didukung oleh faktor-faktor lain sehingga potensi sumberdaya tersebut berlimpah di daerah itu, seperti lahan, iklim, kualitas udara, kualitas air, keadaan lingkungan, infrastruktur jalan, telekomunikasi, kelistrikan, dan sebagainya. Selanjutnya, input yang dapat ditransfer adalah input produksi yang dapat ditransfer dari sumber-sumber di luar suatu lokasi atau dari lokasi tersebut ke luar lokasi. Dengan adanya input yang dapat ditransfer dari dan ke luar lokasi merupakan pencerminan adanya biaya transfer atau biaya transportasi.

(23)

membuktikan betapa besarnya biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendistribusikan barangnya ke wilayah lain. Bila kondisi ini terus dibiarkan dan bahkan dipelihara, maka akan banyak perusahaan yang hengkang dari lokasi tersebut bahkan banyak tidak akan memilih berinvestasi di lokasi itu karena pertimbangan tersebut di atas.

Selain, biaya pembuatan perijinan yang murah, alternatif pemilihan lokasi juga ditentukan oleh biaya transportasi. Berdasarkan Alfred Weber yang dikutip oleh Budiharsono (1988) dan Richardson (1972) mengungkapkan bahwa pendekatan biaya terkecil sebagai salah satu alternatif pemilihan lokasi. Dasar Teori Weber adalah bahwa penentuan lokasi untuk suatu usaha didasarkan atas biaya transportasi terkecil atau meminimumkan biaya transportasi. Weber mengemukakan ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi usaha, yaitu biaya transportasi, biaya tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi (terpusatnya industri yang memproduksi komoditas yang sama). Weber mengasumsikan bahwa biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak yang ditempuh dan berat barang sehingga titik yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian adalah minimum. Weber menggambarkan teorinya dengan segitiga lokasi (lihat Gambar 2.1), di mana titik lokasi optimum (T) adalah titik keseimbangan antara sumber bahan-bahan mentah (M1 dan M2) dengan pasar (Mk). Untuk menunjukkan bahwa lokasi tersebut optimum terhadap sumber-sumber input produksi dengan pasar, Weber mengemukakan suatu indeks yang disebut dengan indek bahan (material index)

Bila indeks bahan lebih dari satu (> 1) artinya bahwa perusahaan tersebut lebih berorientasi

(24)

1. Diasumsikan bahwa biaya transportasi dan biaya produksi bersifat konstan,

2. Tidak memperhatikan faktor kelembagaan, seperti kebijakan pemerintah berupa pajak

lokal,

3. Terlalu menekankan pada sisi input.

Terlepas dari kelemahan teori tersebut, Teori Weber dapat dimanfaatkan dengan menggunakan asum-asumsi dari kelemahan teorinya.

Ketiga pemilihan lokasi berdasarkan kedekatan dengan pasar. Pendekatan lokasi berdasarkan kedekatan dengan pasar diungkapkan oleh Losch yang menggunakan pendekatan Kerucut Permintaan yang diturunkan menjadi kurva permintaan. Teori Losch tersebut dikenal dengan teori Loschian Demand Curve atau kurva permintaan Losch (Gambar 2.2). Teori Losch memperbaiki Teori Weber dengan beberapa asumsi perbaikan sebagai berikut:

1. Penyebaran faktor input merata, seperti penyebaran bahan baku, tenaga kerja, dan modal,

2. Penyebaran/kepadatan penduduk merata,

3. Selera masyarakat diasumsikan sama,

4. Tidak ada ketergantungan lokasi antar perusahaan, seperti yang diungkapkan oleh Weber bahwa lokasi mempunyai kekuatan bila terjadi aglomerasi perusahaan.

Gambar 2.2

Kurva Permintaan Losch dan Kerucut Permintaan

Pada kurva permintaan Losch diungkapkan bahwa pusat pasar adalah O sedangkan lokasi yang berdekatan dengan pasar adalah P. Harga persatuan barang adalah OP dengan permintaan sebesar PQ. Agak jauh dari pusat pasar, misalkan saja titik R, biaya pengangkutan menyebabkan harga persatuan barang meningkat menjadi OR dengan permintaan RS. Jauh dari pusat pasar, misalnya titik F, biaya pengangkutan menyebabkan harga per satuan barang menjadi sangat tinggi sehingga permintaan sama dengan nol.

(25)

Berdasarkan ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa bila lokasi perusahaan tersebut dekat dengan sumber input produksi atau pasar, maka biaya pengangkutan dapat diminimalisasi oleh perusahaan. Tetapi bila lokasi perusahaan tersebut berjauhan dengan sumber input produksi atau pasar, maka biaya transportasipun akan meningkat dan biaya tersebut akan dibebankan pada produk yang dijual.

Uraian di atas mencoba menggambarkan pemilihan lokasi lebih ditekankan pada minimalisasi biaya transportasi baik terhadap input produksi dan maupun terhadap penjualan output ke pasar. Oleh karena itu dapat disimpulkan beberapa hal yang mempengaruhi dalam pemilihan lokasi, yaitu:

1. Kedekatan dengan sumber input produksi,

2. Kedekatan dengan lokasi pemasaran,

3. Ketersediaan sumber tenaga kerja, baik dalam hal jumlah, spesifikasi, dan kualitas tenaga kerja.

4. Kebijakan mengenai upah regional,

5. Ketersediaan sarana dan prasarana fisik penunjang, seperti transportasi, komunikasi, penerangan, pengairan, dan sebagainya.

6. Insentif wilayah dalam hal kemudahan birokrasi terutama dalam perijinan usaha.

Berdasarkan kedua teori di atas dapat ditunjukkan pemilihan lokasi dalam rangka pengembangan usaha ditentukan berdasarkan kedekatan dengan sumber bahan baku produksi, pasar, dan biaya transfer. Hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan individu, kelompok, atau lembaga yang memiliki lahan dalam melepas status lahannya, terutama jika lahan tersebut memiliki nilai jual yang tinggi.

2.3. Hasil-hasil Penelitian Terkait dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Pada bagian ini diuraikan beberapa hasil penelitian terkait dengan implemtasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Ada tiga fokus pembahasan yang dihasilkan oleh para peneliti sebelumnya, yaitu Implementasi Kebijakan LP2B, LP2B di dalam RTRW, pemetaan LP2B, dan tanggapan petani terhadap LP2B. Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pelaksanaan dari kebijakan LP2B seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Adapun penjelasan dari hasil-hasil penelitian terdahulu diuraikan di bawah ini:

1. Pelaksanaan Kebijakan LP2B

Kebijakan LP2B yang telah diundangkan melalui UU No. 41 Tahun 2009 menjadi kajian menarik untuk diteliti. Salah satu peneliti yang membahas tentang pelaksanaan kebijakan LP2B di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dilakukan oleh Handari (2012) dan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

(26)

Berkelanjutan (LP2B) Bappeda Kabupaten Magelang. Hasil ini merupakan hasil identifikasi dari data sawah lestari dari Kementerian Pertanian, sebaran lahan sawah dari Badan Pertanahan Nasional, RTRW Kabupaten Magelang tahun 2010-2030, studi interprestasi citra satelit Kabupaten Magelang tahun 2010, dan hasil survey tahun 2012.

2. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan LP2B, yaitu sosialisasi, petugas, dana, respon implementor, pemahaman terhadap kebijakan, peraturan pendukung, Standard Operating Procedure (SOP), koordinasi antar instansi, tingkat pendidikan, usia, kepemilikan lahan, alasan konversi, dukungan publik dan komitmen pelaksana, menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Sebagaimana telah disimpulkan pada point 1 bahwa implementasi LP2B di Kabupaten Magelang baru sampai pada tahap identifikasi lokasi dan belum ada suatu peraturan daerah yang mengatur tentang hal tersebut.

3. Hasil analisis Analytical Hyrarchy Process (AHP) menunjukkan bahwa alternatif strategi yang menjadi prioritas dalam perlindungan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Magelang adalah dari aspek ekologi. Hal ini sangat terkati erat dengan upaya pelestarian lingkungan dan kebijkaan LP2B mensyaratkan adanya upaya konservasi tanah dan air, karena dampak dari kerusakan tanah berakibat pada ketidakberlanjutan pertanian.

2. Kesesuaian LP2B di dalam RTRW

Sesuai dengan amanat UU No. 41 Tahun 2009, kebijakan LP2B harus ditetapkan di dalam RTRW kabupaten/kota. Berdasarkan hasil kajian dari Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian di tahun 2013 dan 2014 tentang Kajian Inventarisasi LP2B dihasilkan hal-hal sebagai berikut.

(27)
(28)
(29)

Berdasarkan kajian di atas, tidak ada penjelasan mengenai penetapan LP2B di dalam RTRW tersebut apakah sebelum ditetapkan LP2B tersebut disosialisasikan ke masyarakat atau tidak. Selanjutnya juga tidak dijelaskan apakah LP2B yang ditetapkan tersebut telah mengakomodasi usulan dari masyarakat yang terkena LP2B atau tidak. Kajian-kajian di atas lebih memfokuskan pada penetapan LP2B di RTRW dan kesesuaiannya dengan pemetaan sawah hasil audit 2012.

3. Pemetaan LP2B

Kajian Pemetaan LP2B di Kabupaten Purworejo dilakukan oleh Sakti, dkk (2013). Pada penelitian ini dijelaskan bahwa terjadi alih fungsi lahan sawah ke non sawah dengan rata-rata sebesar -0,0956% pertahun dari 2007–2011. Luas lahan sawah pada Tahun 2007 adalah 30.621,04 ha, namun di Tahun 2011 menjadi 30.504,02 ha atau terjadi penyusutan seluas 117,2 ha selama 5 tahun atau rata-rata 24 ha lahan sawah dikonversi per tahun. Adapun konversi pada lahan kering sebesar -0,0005% pertahun. Luas lahan kering di Tahun 2007 tecatat seluas 51.598,15 ha, sedangkan pada Tahun 2011 tercatat seluas 51.597,13 ha. Jadi, terjadi konversi lahan 1 hektar selama 5 tahun. Artinya, laju konversi lahan kering lebih lambat dibandingkan dengan lahan sawah.

Di dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa terdapat perbedaan antara hasil perhitungan peta present landuse (2010) (data primer) dengan luas dari Perda Pemkab Purworejo No. 27/2011, BPS (2010) dan BPN (2010). Total luas lahan pertanian hasil analisis peta

(30)

kering 10.712 ha. Perbedaan ini disebabkan berbedanya kriteria-kriteria yang diterapkan oleh masing-masing instansi ataupun yang melakukan penelitian.

Kajian lainnya yang terkait dengan pemetaan LP2B, LCP2B, dan KP2B dengan menggunakan data citra penginderaan jauh dilakukan oleh Barus, dkk (2012) di Kabupaten Garut dan Bogor menghasilkan penelitian sebagai berikut:

1.

Secara umum Kabupaten Garut termasuk yang surplus lahan sawah, sedangkan

Kabupaten Bogor termasuk daerah yang defisit lahan sawah.

2.

Hasil kajian ini berhasil mengidentifikasi bahwa penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan hanya mampu menyelamatkan lahan sawah sebesar 25% dari total area sawah yang teridentifikasi.

3.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian ini adalah:

a. Penyebab lahan pangan belum terlindungi antara lain karena keterbatasan data yang tersedia untuk pengambilan keputusan. Ketersediaan data lain untuk penentuan lahan yang dilindungi bervariasi antar wilayah. Selain itu, keterlambatan penyelamatan lahan pangan juga terkait dengan pertimbangan ekonomi dan politis yang ada di kabupaten.

b. Variabel yang selama ini digunakan untuk penentuan prioritas lahan pangan yang dilindungi perlu dijelaskan sampai proksi operasional yang spesifik. Pilihan proksi operasional harus mempertimbangkan karakteristik lokal wilayah yang sangat bervariasi. Oleh karena itu proksi ini tidak harus diseragamkan dalam bentuk aturan di level pusat.

c. Upaya pembangunan basis data spasial harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk dapat mengidentifikasi secara persis lokasi lahan pangan yang akan menjamin tercukupinya kebutuhan pangan masa depan. Dukungan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis akan mempermudah proses pemantauan dinamik penggunaan lahan, proses pembaruan dan analisis spasial yang dibutuhkan secara lebih cepat dan lebih akurat.

4. Tanggapan Petani terhadap LP2B

Respons petani terhadap implementasi LP2B sangat penting diketahui karena masyarakat yang terkena LP2B, lahannya tidak dapat dialihfungsikan ke non pertanian pangan, namun lahannya dapat dijual dengan tetap status lahannya adalah lahan pertanian pangan. Penelitian tentang tanggapan petani atas kebijakan LP2B dilaksanakan oleh Rantini dan Prabatmodjo (2014) di Kabupaten Bandung dengan hasil penelitian sebagai berikut: 1. Sebanyak 68,6% responden menyatakan tidak akan pernah mengalihfungsikan lahan

sawah milik, meskipun sistem tumpang sari memungkinkan 52,4 % responden menanam komoditas selain padi di lahan sawah tersebut.

2. Pandangan responden atas kesediaan untuk memelihara jaringan irigasi,

meningkatkan kesuburan tanah, mencegah kerusakan lahan, dan memelihara jalan usahatani menunjukkan kesediaan mereka untuk memeliharanya.

(31)

4. Tanggapan responden atas lahan-lahan mereka yang telah masuk di dalam LP2B, namun telah dialihfungsikan, maka mereka menjawab 74,3% responden tidak sanggup mengganti infrastruktur pertanian yang telah diinvestasikan oleh pemerintah. Di samping itu, sebanyak 79,1% responden juga menyatakan tidak akan sanggup mengganti sawah seluas 3 kali lipat sawah yang telah dialihfungsikan.

5. Hasil temuan lainnya dari penelitian ini adalah sekitar 80% responden mengatakan bahwa jika di daerah mereka industri semakin berkembang seperti saat ini, maka kemungkinan besar mereka harus mengalihfungsikan lahan sawah milik mereka atau bahkan menjualnya, karena cepat atau lambat sawah mereka akan terkontaminasi oleh limbah pabrik yang mengakibatkan tidak lagi layak ditanami padi atau tanaman lainnya. Dengan menjual lahan sawahnya tersebut, harapan petani adalah memberikan keuntungan kepada mereka dengan membeli lahan lebih luas dibandingkan yang mereka miliki sekarang di tempat yang lain atau dengan kata lain, petani dapat memperoleh keuntungan besar dengan menjual lahannya.

6. Tanggapan petani terhadap pemberlakuan disinsentif atas sanksi pengalihfungsian lahan adalah sebanyak 64,8% menolak diberlakukannya sanksi pidana terhadap petani yang melakukan alih fungsi lahan karena sawah sepenuhnya merupakan hak petani pemilik lahan.

(32)

BAB 3

METODE KAJIAN

3.1. Kerangka Kajian

Kerangka kajian Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dilakukan untuk mengetahui sejauhmana kebijakan tersebut diterapkan di daerah karena kebijakan ini telah diterbitkan pada 6 tahun yang lalu melalui UU No. 41 Tahun 2009. Kajian evaluasi ini juga sekaligus untuk mengetahui berbagai hambatan atas pelaksanaan dari LP2B tersebut. Adapun kerangka pikir dari kajian ini adalah seperti pada Gambar 3.1.

Kerangka Kajian Implementasi Kebijakan LP2B

3.2. Objek Kajian

Ada dua objek kajian yang menjadi bahan bagi evaluasi pelaksanaan kebijakan LP2B adalah Instansi Pemerintah khususnya Dinas Pertanian/Tanaman Pangan dan Bappeda di tingkat kabupaten, serta Kelompok Tani.

3.3. Lokasi Kajian

(33)

Tabel 3.1. Lokasi Kajian Evaluasi LP2B

No Provinsi Kabupaten/Kota Keterangan

1. Aceh Kabupaten Aceh Tamiang Sentra padi

2. Sumatera Selatan Kabupaten OKU Timur Sentra padi

3. Jawa Tengah Kabupaten Magelang Sentra padi

4. Jawa Timur Kabupaten Lamongan Sentra padi

5. Jawa Barat Kabupaten Garut Sentra padi

6. Nusa Tenggara Barat Kabupaten Lombok Tengah Sentra padi

7. Daerah Istimewa Yogyakarta Kabupaten Sleman Sentra padi

8. Sulawesi Selatan Kabupaten Maros Sentra padi

9. Bali Kabupaten Tabanan Sentra padi

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung berdasarkan hasil wawancara ataupun melalui Focus Group Discussion (FGD). Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan penelitian, seperti Dinas Tanaman Pangan Kabupaten, BPS Kabupaten, BPS, dan Kementerian Pertanian.

3.5. Metode Analisis

Variabel Evaluasi LP2B

Aspek-aspek evalusi yang menjadi dasar analisis pada kajian ini didasarkan pada Undang-Undang No. 41 Tahun 2009. Atas dasar undang-undang tersebut, ada 12 variabel yang dianalisis pada evaluasi implementasi LP2B, seperti pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Variabel Analisis Evaluasi Implementasi LP2B

No Variabel Evaluasi Uraian Evaluasi

1. Perencanaan dan Penetapan • Perencanaan: 1). lahan yang direncanakan itu adalah kawasan P2B, lahan P2B, dan lahan

cadangan P2B; 2). Usulan LP2B

didesiminasikan ke masyarakat

• Penetapan: 1). Ditetapkan dalam peraturan

daerah kabupaten (Bupati); 2). LP2B

tercantum di dalam RTRW kabupaten

2. Pengembangan • Intensifikasi: peningkatan kesuburan, bibit,

(34)

No Variabel Evaluasi Uraian Evaluasi

pertanian menjadi LP2B

3. Penelitian • Penelitian atas LP2B terutama evaluasi lahan

LP2B yang telah ditetapkan dan lahan cadangan untuk ditetapkan menjadi LP2B

4. Pemanfaatan • Pemda melakukan perlindungan dan

pelestarian sumber daya lahan dan air;

pengelolaan kualitas lahan dan air;

pengendalian pencemaran

• Pemilik lahan: 1). Memanfaatkan lahan sesuai

peruntukkan; 2). Mencegah kerusakan irigasi;

3) menjaga kesuburan; 4). Mencegah

kerusakan lahan; 5) Memelihara kelestarian lingkungan

5. Pembinaan • Koordinasi, sosialisasi, surpervisi dan

konsultasi, pendidikan dan pelatihan,

diseminasi informasi

6. Pengendalian • Insentif (keringanan pajak PBB,

pengembangan infrastruktur, pengembangan benih unggul, dan kemudahan akses dan informasi, penyediaan sarana dan prasarana

pertanian; penerbitan sertifikat lahan;

penghargaan; dan disinsentif (diatur dalam PP 30/2012 pasal 20-22)

7. Pengawasan • Pelaporan, pemantauan, dan evaluasi

8. Sistem informasi • Ketersediaan data yang dapat diakses oleh

masyarakat yang meliputi kawasan P2B ditetapkan dalam RTRW, LP2B ditetapkan

dalam RTRW, Lahan cadangan P2B

ditetapkan oleh Bupati, dan tanah terlantar dan subyeknya

9. Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani

• Perlindungan: 1). Jaminan harga, sarana dan prasarana, serta pemasaran hasil pertanian, pengutamaan hasil pertanian pangan untuk kebutuhan dalam negeri, dan ganti rugi gagal panen; 2). Jaminan sosial bagi petani kecil melalui jaminan sosial nasional

• Pemberdayaan: penguatan kelembagaan,

(35)

No Variabel Evaluasi Uraian Evaluasi

11. Peran Serta Masyarakat • Meliputi perencanaan, pengembangan,

penelitian, pengawasan, pemberdayaan petani, dan pembiayaan

12. Sanksi Administrasi • Yang dimaksud dengan sanksi administrasi di

sini adalah setiap orang yang melanggar

kewajiban atau larangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 45, Pasal 50 ayat (2), Pasal 57 ayat (2), pasal 70

Ke dua belas variabel di atas dianalisis sesuai berdasarkan hasil dan informasi yang diperoleh dari lapangan dengan menggunakan panduan kuesioner. Selanjutnya, analisis difokuskan pada terlaksana atau tidak terlaksananya kegiatan terhadap LP2B tersebut di lapangan, serta hambatan atau permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan LP2B.

Participatory Sistem Analysis (PSA)

Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan LP2B di kabupaten dilakukan dengan metode Participatory Sistem Analysis (PSA). Metode ini adalah metode diskusi terfokus yang digunakan untuk mendapatkan faktor-faktor penting yang terkait dengan pelaksanaan LP2B berdasarkan hasil masukan dari informan (Herweg and Steiner, 2002). Metode ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu

1. Tahap pertama adalah penentuan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

pelaksanaan LP2B. Selanjutnya, seluruh faktor tersebut diseleksi dan dipilih yang sangat berpengaruh saja, setelah itu faktor tersebut didefinisikan, seperti dapat dilihat pada matrik di bawah ini.

No Faktor Definisi Faktor

1.

(36)

b. Nilai 1 : Berpengaruh sedang

c. Nilai 0,5 : Berpengaruh lemah

d. Nilai 0,1 : Berpengaruh sangat lemah

Penilaian kekuatan hubungan antar faktor dituangkan dalam bentuk matriks berikut.

Cara pengisian kolom dapat dilakukan dua cara, yaitu dengan melihat perbaris atau perkolom. Misalnya, pada baris ke-1: Faktor A  B: Ini berarti bahwa faktor A berpengaruh terhadap B berapa besar? ATAU pada kolom ke-1: Faktor A  B: Ini berarti bahwa faktor A berpengaruh terhadap B berapa besar?. Tahapan tersebut terus dilakukan sampai semua kolom atau baris terisi oleh nilai.

3. Setelah itu, kemudian dianalisis untuk mengetahui rasio aktivitas (activity ratio) dan derajat hubungan antar faktor dengan menjumlahkan untuk setiap baris (Active Sum =

AS) atau kolom (Pasive Sum = PS). Kemudian, untuk menentukan derajat hubungan

antar faktor (degree of interrelation) digunakan AS – PS atau jumlah AS dikurangi PS pada masing-masing faktor. Sedangkan untuk menentukan Rasio Aktivitas ditentukan dengan AS/PS atau jumlah AS dibagi PS pada masing-masing faktor. Selanjutnya, disusun dalam matrik sebagai berikut:

(37)

No Faktor Activity Ratio Degree of Interrelation

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

4. Berikutnya, hasil penetapan activity ratio dan degree of interrelation digunakan untuk menentukan faktor-faktor mana yang masuk dalam kuadran Symptom, Buffer, Critical Elements, dan Motor/Lever. Kuadran Symptom (Gejala) adalah faktor-faktor yang sangat dipengaruhi oleh faktor lainnya dan tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah sistem. Kuadran Buffer (Penyangga) adalah faktor-faktor yang tidak mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh faktor lainnya. Kuadran Critical Elements

(Elemen Kritis) adalah faktor-faktor sebagai akselerator dan katalisator terhadap sistem tetapi faktor ini harus dipahami secara detail karena dapat berubah sewaktu-waktu tidak sesuai dengan yang diharapkan atau memiliki efek samping. Terakhir, kuadran Motor/Lever (Pengungkit) adalah faktor-faktor yang diprediksi dapat mempengaruhi faktor lainnya. Selanjutnya, sebagai contoh dari diagram PSA dapat dilihat antar kuadran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Motor/Leverage Critical Element Symptom

Buffer

(38)

BAB 4

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS

REGULASI

4.1. Identifikasi Regulasi

Antisipasi Pemerintah Indonesia dalam rangka mempertahankan produksi pertanian pangan lokal tercermin dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan, program-program, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pertanian dan pangan. Salah satu kebijakan yang sangat mendasar dengan program pangan dan pertanian adalah lahan. Pada tahun 2009 diterbitkan Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diikuti oleh peraturan turunan lainnya, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

2. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

3. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan

4. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Menurut Undang-undang No. 41 Tahun 2009, beberapa hal penting yang menjadi dasar dari peraturan ini, yaitu:

1. Ruang Lingkup LP2B. Ruang lingkup LP2B berdasarkan pasal 4, UU No. 41 Tahun 2009 terdiri dari:

i. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

j. Pembiayaan

k. Peranserta Masyarakat

2. Perlindungan dan Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(39)

b. Disamping itu, penetapan dan perlindungan LP2B dapat dilakukan pada Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau diluar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik yang berada di kawasan perdesaan dan/atau kawasan perkotaan di wilayah kabupaten/kota (Pasal 7 ayat 1, UU No. 41/2009).

c. Lahan Pertanian Pangan yang Dilindungi. Perlindungan LP2B dilakukan pada Lahan Pertanian Pangan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan (Pasal 6, UU No. 41/2009).

3. Perencanaan LP2B. Perencanaan LP2B terdiri dari:

a. Dilakukan pada Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Pasal 9 ayat 2, UU No. 41/2009).

b. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diawali dengan penyusunan usulan perencanaan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota (Pasal 14 ayat 1, UU No. 41/2009)

c. Perencanaan usulan Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan

berdasarkan: inventarisasi; identifikasi; dan penelitian (Pasal 14 ayat 2, UU No. 41/2009).

d. Usulan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disebarkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan dan saran perbaikan (Pasal 15 ayat 1, UU No. 41/2009).

e. Tanggapan dan saran perbaikan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) menjadi pertimbangan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Pasal 15 ayat 2, UU No. 41/2009).

f. Usulan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat diajukan oleh masyarakat untuk dimusyawarahkan dan dipertimbangkan bersama pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten/kota (Pasal 15 ayat 3, UU No. 41/2009).

4. Penetapan LP2B. Penetapan perlindungan LP2B dilakukan pada kawasan pangan pertanian berkelanjutan; Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Pasal 18, UU No. 41/2009). Adapun uraian dari masing-masing

a. Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan bagian dari

penetapan rencana tata ruang Kawasan Perdesaan di wilayah kabupaten dalam rencana tata ruang kabupaten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 19 ayat 1, UU No. 41/2009).

b. Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan bagian dari

penetapan dalam bentuk rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 20 ayat 1, UU No. 41/2009).

c. Penetapan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana

(40)

d. Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Pasal 23 ayat 1, UU No. 41/2009).

e. Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi/kabupaten/kota

diatur dalam Peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota (Pasal 23 ayat 2 dan 3, UU No. 41/2009).

5. Pengembangan LP2B. Pengembangan LP2B dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi (Pasal 27 ayat 1, UU No. 41/2009).

a. Intensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan (Pasal 28, UU No. 41/2009):

(i) peningkatan kesuburan tanah;

(ii) peningkatan kualitas benih/bibit; (iii) pendiversifikasian tanaman pangan;

(iv) pencegahan dan penanggulangan hama tanaman;

(v) pengembangan irigasi;

(vi) pemanfaatan teknologi pertanian; (vii) pengembangan inovasi pertanian; (viii) penyuluhan pertanian; dan/atau

(ix) jaminan akses permodalan.

b. Ekstensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat dilakukan dengan (Pasal 29 ayat 1, UU No. 41/2009):

(i) pencetakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;

(ii) penetapan lahan pertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan; dan/atau

(iii) pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Menurut Pasal 29 ayat 3, Pengalihan fungsi lahan non-pertanian dapat dilakukan terhadap Tanah Telantar dan tanah bekas kawasan hutan yang belum diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Penelitian LP2B. Penelian LP2B diterangkan sebagai berikut:

a. Penelitian dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota (Pasal 30 ayat 2, UU No. 41/2009), dan Lembaga penelitian dan/atau perguruan tinggi berperan serta dalam penelitian (Pasal 30 ayat 4, UU No. 41/2009).

b. Penelitian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sekurang-kurangnya meliputi (Pasal 30 ayat 3, UU No. 41/2009):

(i) pengembangan penganekaragaman pangan;

(ii) identifikasi dan pemetaan kesesuaian lahan;

(iii) pemetaan zonasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; (iv) inovasi pertanian;

(v) fungsi agroklimatologi dan hidrologi; (vi) fungsi ekosistem; dan

(41)

7. Pemanfaatan LP2B. Pemanfaatan LP2B terdiri dari:

a. Pemanfaatan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan menjamin

konservasi tanah dan air (Pasal 33 ayat 1, UU No. 41/2009).

b. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan

konservasi tanah dan air, yang meliputi (Pasal 33 ayat 1, UU No. 41/2009):

(i) perlindungan sumber daya lahan dan air;

(ii) pelestarian sumber daya lahan dan air; (iii) pengelolaan kualitas lahan dan air; dan

(iv) pengendalian pencemaran.

c. Setiap orang yang memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berkewajiban (Pasal 34 ayat 1, UU No. 41/2009):

(i) memanfaatkan tanah sesuai peruntukan; dan

(ii) mencegah kerusakan irigasi.

d. Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berperan serta dalam:

4.

menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah;

5.

mencegah kerusakan lahan; dan

6.

memelihara kelestarian lingkungan.

8. Pembinaan LP2B. Pembinaan LP2B wajib dilakukan oleh pemerintah yang meliputi (Pasal 35 ayat 1 dan 2, UU No. 41/2009):

a. Koordinasi Perlindungan

b. sosialisasi peraturan perundang-undangan c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi

d. pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat

e. penyebarluasan informasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;dan/atau

f. peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat

9. Pengendalian LP2B. Pengendalian LP2B terdiri dari:

a. Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian (Pasal 37, UU No. 41/2009):

(i) insentif; (ii) disinsentif;

(iii) mekanisme perizinan; (iv) proteksi; dan

(v) penyuluhan.

b. Insentif diberikan kepada petani berupa (Pasal 38, UU No. 41/2009):

(i) keringanan Pajak Bumi dan Bangunan;

(ii) pengembangan infrastruktur pertanian;

(iii) pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul;

(iv) kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi;

(v) penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian;

(42)

Catatan: Di dalam PP No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan LP2B, dijelaskan dalam Pasal 5–7 bahwa pemberian insentif untuk semua jenjang pemerintahan secara keseluruhan sama, kecuali untuk Pemerintah Pusat dan Provinsi tidak terdapat insentif tentang keringanan Pajak Bumi dan Bangunan. Selanjutnya, pasal demi pasal menjelaskan ke 7 komponen dari insentif tersebut.

Pada PP No. 12/2012, dijelaskan:

(i) Pasal 30 menjelaskan tatacara pemberian insentif oleh pemerintah, yaitu Perencanaan, Pengusulan, dan Penetapan.

(ii) Kewajiban Petani penerima insentif:

- memanfaatkan lahan sesuai peruntukannya;

- menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah;

- mencegah kerusakan lahan; dan

- memelihara kelestarian lingkungan

c. Disinsentif berupa pencabutan insentif dikenakan kepada petani yang tidak memenuhi kewajibannya (Pasal 42, UU No. 41/2009). Selanjutnya, mengenai mekanisme pencaputan insentif dijelaskan dalam PP No 12/2012, yaitu:

(i) Pasal 44, Pencabutan Insentif dilakukan Pemerintah, Pemerintah Provinsi,

dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal:

- Petani tidak memenuhi kewajiban perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan;

- Petani tidak mentaati norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian insentif; dan/atau

- Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah dialihfungsikan.

(ii) Pasal 45, Pengenaan pencabutan Insentif dilakukan melalui tahap:

 pemberian peringatan pendahuluan;

 pengurangan pemberian Insentif; dan

 pencabutan Insentif.

10. Alih Fungsi LP2B. Alih fungsi LP2B adalah sebagai berikut:

a. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan (Pasal 44, UU No. 41/2009). Juga diperkuat oleh PP No. 1/2011 di dalam Pasal 35 ayat 1

b. Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat

dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 44, UU No. 41/2009). Selanjutnya, dijelaskan dalam PP No. 1/2011 di dalam Pasal 35 ayat 2, dan Pasal 36 ayat 1 dan 2, yaitu:

 Pasal 35, ayat 2: Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka: a. pengadaan tanah untuk kepentingan umum; atau terjadi bencana

 Pasal 36, ayat 1-2: Ayat 1: Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan

(43)

umum alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan juga dapat dilakukan untuk pengadaan tanah guna kepentingan umum lainnya yang ditentukan oleh undang-undang

c. Pemberian ganti rugi akibat dari LP2B berupa:

(i) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana (Pasal 44 ayat 5, UU No. 41/2009). Selanjutnya diterangkan pada Pasal 46, ayat 1 dijelaskan bahwa: Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf d dilakukan atas dasar kesesuaian lahan, dengan ketentuan sebagai berikut:

 paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan beririgasi;

 paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan

 paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi.

(ii) Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 44 ayat 5, UU No. 41/2009). Selanjutnya dijelaskan pada PP No. 1/2011, Pasal 38, ayat 1-2 bahwa lahan pengganti disediakan oleh pihak yang mengalihfungsikan, sedangkan jika terjadi bencana, pemerintah wajib menyediakan lahan pengganti.

(iii) Selain ganti rugi kepada pemilik, pihak yang mengalihfungsikan wajib mengganti nilai investasi infrastruktur (Pasal 45, UU No. 41/2009). Hal ini dijelaskan pula di dalam PP No. 1/2011, pada Pasal 50, ayat 1-7.

(iv) Dalam hal terjadi keadaan memaksa yang mengakibatkan musnahnya

dan/atau rusaknya Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara

permanen, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan

penggantian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai kebutuhan (Pasal 48, UU No. 41/2009). Selanjutnya pada PP 12/2012, Pasal 43 ayat 2, dijelaskan bahwa lahan pengganti adalah:

 Pembukaan lahan baru pada lahan cadangan P2B

 pengalihfungsian lahan dari bukan pertanian ke Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terutama dari tanah terlantar dan/atau tanah bekas kawasan hutan; atau

 penetapan lahan pertanian pangan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

d. Segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum (Pasal 50, UU No. 41/2009).

11. Pengawasan LP2B. Pengawasan LP2B terdiri dari:

Gambar

Gambar 2.2
Tabel 4.1. Analisis Undang-undang No. 41 Tahun 2009
Tabel 5.2. Data LP2B yang Melebihi dari Baku Lahan Sawah Hasil Audit
Tabel 5.2. Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

•Mahasiswa melanjutkan untuk membuat rendering dari sebuah model yang lengkap dengan tingkat presisi dan kompleksitas tinggi.

Proses evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengukur tingkat akurasi dari algoritma Decision Tree dalam memodelkan data untuk kelayakan kredit koperasi

Dengan demikian akurasi klasifikasi terbaik yaitu menggunakan fungsi kernel Gaussian Radial Basic Function (RBF) karena menghasilkan akurasi yang lebih besar,

Kesepuluh praktisi senior yang mengalami kesembilan dimensi pengalaman flow tinggi juga merasakan ketika melakukan aktivitas pakour, mereka merasakan mempunyai

Menurunnya perilaku prokrastinasi akademik perserta didik dapat dilihat dari hasil penelitian yang di peroleh yaitu subjek penelitian mengikuti treament ( perlakuan

Pada strategi REACT, peserta didik juga diberikan kesempatan untuk menggunakan konsep yang diperoleh dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan

DEPARTMENT OF SUNNI THEOLOGY ALIGARH MUSLIM UNIVERSITY. ALIGARH (INDIA)

• Proposal disusun sesuai panduan, namun ada beberapa hal yang perlu dilengkapi: Rencana Target Capaian artikel ilmiah dimuat di Jurnal Internasional Terindeks