• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA EMOTIF TIPE SANJUNG DALAM BAHASA JA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KATA EMOTIF TIPE SANJUNG DALAM BAHASA JA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

KATA EMOTIF TIPE SANJUNG DALAM BAHASA JAWA

Ahmad Mustaqim

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Email : m4t4m4t4mu@gmail.com

Drs. Sudartomo Macaryus, M. Hum.

Abstract

The purpose of this research is to identify: (1) the forms of emotive of words sanjung type in the Javanese Language (bJ); (2) the types of emotive of words sanjung category in the bJ; and (3) the purpose of delivering of emotive words sanjung type in the bJ. The analytical method used is the extralingual method. The results of this research are (1) forms of emotive of words sanjung type in the bJ consist of: (a) monomorfemic; (b) polimorfemic; (c) repetition; and (d) the form emotive of word sanjung type in the bJ of symptoms due to language. (2) Category emotive of word sanjung type in the bJ consists of: adjectives and verbs. The adjective categories are divided to be three sub classifications, namely mental, sizes, and flavors. Subclassification of verbs there are two, namely deeds/actions and circumstances. (3) Intention of delivering from the emotive of word sanjung type in the bJ; flattering because of the physical condition, flattering because active measures, and flattering for a better state.

Keyword: emotive of word, sanjung type, and the Javanese Language

A. Pendahuluan

(2)

2

Dalam sebuah ungkapan emotif tipe sanjung dalam bJ, baik tertulis maupun lisan, akan bisa ditemui salah satu bagian dari ungkapan tersebut, yakni kata. Maka, dari situlah bisa ditemukan apa yang disebut kata emotif tipe sanjung dalam bJ. Kata emotif tipe sanjung dalam bJ terdiri dari empat unsur inti, yakni kata, emotif, tipe sanjung, dan bahasa Jawa. Guna memahami lebih lanjut, dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari masing-masing unsur tersebut.

Kata adalah satuan bebas yang terkecil, atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan satuan kata (Ramlan, 1985:30). Winiasih yang menyimpulkan pendapat Kridalaksana menjelaskan, kata juga merupakan bentuk satuan lingual atau satuan dari bahasa yang terdiri atas fonem, kata, morfem, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana (2010:32).

Setelah pengertian kata, berikutnya yaitu pengertian emotif. Mengacu pada salah satu fungsi bahasa, yaitu fungsi emotif yang berguna untuk mengungkapkan perasaan emosi (emotif) seseorang. Sartre (2010) menjelaskan, emosi merupakan hasrat yang timbul sebagai akibat dari kesadaran reflektif dari apa yang sudah ditangkap oleh pikiran seseorang. Dari situlah seseorang akan mengungkapkan ekspresi emotifnya, salah satunya melalui bahasa (baik tulisan maupun tuturan). Kesimpulannya, kata emotif adalah sebuah kata dari penutur sebagai sebuah ungkapan yang mengandung unsur emosi (emotif).

(3)

3

Jadi, kata emotif tipe sanjung dalam bJ adalah satuan bebas terkecil yang merupakan ungkapan perasaan (emosi) penutur kepada mitra tutur, baik lisan maupun tertulis, yang dapat membangkitkan rasa senang; memper-senang hati mitra tutur dengan menggunakan media bJ.

Paparan tersebut memberikan perumusan masalah yang dapat dijadikan pondasi dalam penelitian, di antaranya: Bagaimana bentuk-bentuk kata emotif tipe sanjung dalam bJ?, Bagaimana kategori-kategori kata emotif tipe sanjung dalam bJ?, dan Apa sajakah maksud penggunaan kata emotif tipe sanjung dalam bJ?

Untuk itu, dalam penelitian ini memerlukan beberapa acuan teori. Adapun acuan teori yang digunakan sebagai landasan untuk menganalisis yakni: monomorfemik, polimorfemik, kategori kata, repetisi, gejala bahasa, semantik, makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, serta pragmatik.

Monomorfemik merupakan satuan gramatikal terkecil yang hanya terdiri satu morfem dan sudah mengandung arti (Chaer, 2008:7). Satuan gramatikal yang terdiri dari dua morfem atau lebih disebut polimorfemik (Chaer, 2008:8). Maksud dari pengertian polimorfemik adalah dasar atau bentuk dasarnya yang mengalami proses morfologis. Proses morfologis atau juga proses gramatikal yang bisa terjadi berupa afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Setiap kata dalam bJ memiliki kategori. Sudaryanto membagi kategori kata dalam bJ menjadi enam, yaitu (1) verba, (2) adjektiva, (3) nomina, (4) pronomina, (5) numeralia, dan (6) adverbia (1991:76).

Repetisi merupakan pemakaian bentuk secara berulang-ulang, baik secara utuh atau bersifat sebagian di dalam sebuah kalimat atau gugus kalimat pada sebuah paragraf atau wacana (Wijana, 2006:37-38). Di dalam penuturan atau teks, repetisi berfungsi memberikan penekanan terhadap unsur yang diulang.

(4)

4

ada tiga macam. Penambahan fonem di depan kata yang (protesis), penambahan fonem di tengah kata (epentesis), dan penambahan kata di akhir kata (paragog).

Para pakar bahasa menyebut semantik sebagai bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna. Chaer (2002:2) menjelaskan, semantik adalah bidang studi linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa; fonologi, gramatika, dan semantik.

Agar tidak terlalu terlibat dalam berbagai nama dan istilah, Chaer (2007b:117) membagi makna menjadi tiga; makna leksikal, makna gramatikal, dan makna kontekstual atau makna dalam penggunaan. Menurut Saussure (dalam Chaer, 2007a:118), makna leksikal adalah makna yang secara inheren ada di dalam kata itu terlepas dari konteks apapun. Chaer (2007b:118) menyebut makna leksikal lazim dipertentangkan dengan makna gramatikal, yakni makna yang terjadi sebagai hasil proses gramatikal. Menurut Wijana dan Rohmadi, makna gramatikal yaitu makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya leksem di dalam kalimat (2008:22-23). Makna kontekstual yaitu makna yang sesuai dengan konteks linguistik (kedudukan kata), konteks situasi (tempat dan waktu), konteks bidang kegiatan atau keilmuan, bidang social, dan budaya, atau konteks lainnya (Chaer, 2007b:120).

(5)

5

keduanya memiliki perbedaan, yaitu semantik bebas konteks dan pragmatik terikat konteks (2004:12).

B. Metodologi Penelitian

Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif dengan pendekatan kajian deskriptif-naratif. Data dan sumber penelitian berupa peristiwa tutur maupun teks tertulis berbahasa Jawa. Tempat penelitian tempat-tempat umum di Blora dan Yogyakarta. Tempat umum tersebut diantaranya: kampus, warung, pasar, kos-kosan atau kontrakan. Data tertulis bersumber dari buku Lakon Carangan, Jilid I, karya Alan Feinstein, Bambang Murtiyoso, Kuwato, Sudarko, Sumanto (1986).

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode simak. Data yang disimak yaitu berupa ujaran-ujaran yang terdapat unsur kata emotif tipe sanjung dalam bJ dari penutur asli bJ. Begitu halnya dengan data tertulis juga dilakukan penyimakan dari sumber data tertulis yang menggunakan bJ.

Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan. Adapun metode padan yang digunakan metode padan ekstralingual. Metode padan ekstralingual yaitu untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa (Mahsun, 2006:114).

C. Pembahasan

1. Bentuk Kata Emotif Tipe Sanjung dalam Bahasa Jawa a. Monomorfemik

Monomorfemik adalah satuan gramatik terkecil yang hanya terdiri satu morfem. Adapun bentuk monomorfemik kata emotif tipe sanjung dalam bJ berupa kategori adjektiva. Perhatikan kalimat-kalimat di bawah ini.

(6)

6

(2) Walah, kok pethel saiki, kowe! (Lsn, 11 Juli). „Sekarang menjadi giat ya om, anakmu!‟

Bentuk gayeng dan pethel merupakan monomorfemik karena hanya terdiri dari satu bentuk morfem. Kedua bentuk di atas merupakan kategori adjektiva. Salah satu ciri adjektiva dapat menjadi bentuk dasar kata yang berafiks ke-/-en yang menunjuk „keterlaluan‟. Guna membuktikan bahwa kata emotif tipe sanjung dalam bJ di atas tersebut termasuk kategori adjektiva bisa ditambahkan dengan konfiks ke-en yang menunjuk „keterlaluan‟ maka terjadi bentuk kegayengen, dan kepethelen.

Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial yang terjadi. Bentuk gayeng „meriah‟ menunjukkan kalau pertandingan sepak bola yang dilihat memang meriah atau ramai. Bentul pethel „giat‟ menunjukkan bahwa mitra tutur memang giat. b. Polimorfemik

Polimorfemik adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua morfem atau lebih. Adapun bentuk polimorfemik kata emotif tipe sanjung dalam bJ berkategori verba. Perhatikan kalimat berikut

(3) Cerak banyu nondar-nandur lik (Lsn, 14 Ags). „Dekat (sumber) air berkali-kali tanam Pak Lik‟ (4) Kowe leh Dhe ponan-panen (Lsn, 11 Ags).

„Kamu itu Pak Dhe berkali-kali memanen

(7)

7

Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial yang terjadi. Bentuk nondar-nandur „berkali-kali menanam‟ menunjukkan bahwa mitra tutur memang melakukan tindakan menanam berkali-kali. Bentuk ponan-panen „berkali-kali memanen‟ menunjukkan bahwa mitra tutur memanen hasil bercocok tanamnya berkali-kali.

c. Repetisi

Repetisi merupakan pemakaian bentuk secara berulang-ulang, baik secara utuh atau bersifat sebagian di dalam sebuah kalimat atau gugus kalimat pada sebuah paragraf atau wacana. Bentuk repetisi dari kata emotif tipe sanjung dalam bJ, yaitu baguse „bagusnya‟ dan apik „bagus‟. Bentuk baguse dan apik berkategori adjektiva. Perhatikan kalimat di berikut ini.

(5) Wadhuh, baguse, baguse kaya dewa ndharat, baguse kaya dewa ndharat (Tlsn, Lakon Carangan Jilid I, 1986: 90).

„Waduh, bagusnya, bagusnya seperti dewa di darat, bagusnya seperti dewa di darat‟

(6) Wuih, apik, apik, apik kuwi, coy (Lsn, 27 April). „Wuih, bagus, bagus, bagus itu, coy‟

Bentuk baguse dan apik diulang secara utuh di masing-masing kalimatnya. Hal ini bertujuan untuk menonjolkan bentuk tersebut agar menjadi perhatian mitra tutur.

Kategori bentuk baguse dan apik adalah adjektiva. Guna membuktikannya menggunakan konfiks ke-en sebagai bentuk pengingkaran maka akan muncul bentuk kebagusen dan kapiken.

(8)

8

d. Gejala Bahasa

Peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan segala macam proses pembentukannya disebut dengan gejala bahasa. Adapun bentuk kata emotif tipe sanjung dalam bJ akibat gejala bahasa tersebut ada dua macam, yaitu protesis (penambahan fonem di depan kata) dan epentesis (penambahan fonem di tengah kata).

1. Protesis

Protesis adalah penambahan fonem di depan kata. Gejala bahasa protesis pada kata emotif tipe sanjung dalam bJ, yaitu uapik „sangat bagus‟, dan uenak „sangat enak‟. Kategori bentuk uapik, dan uenak adalah adjektiva. Perhatikan kalimat berikut. (7) Uapik jebule tontonane, cah (Lsn, 10 Ags).

Sangat bagus ternyata hiburannya, nak‟ (8) Uenak tenan kim baksone! (Lsn, 3 Sept)

Enak betul kim baksonya‟

Bentuk uapik, dan uenak mengalami protesis atau penambahan fonem di awal kata yaitu fonem /u/. Guna membuktikan bahwa bentuk uapik dan uenak merupakan kategori adjektiva bisa ditambahkan konfiks ke-en sebagai bentuk pengingkaran dan menghilangkan fonem /u/ di awal kata, maka akan muncul bentuk kapiken dan kenaken.

Transkripsi fonemis pada penambahan fonem /u/ di awal kata pada kata yang berawalan fonem /a/ dan /o/ maka mendapatkan tekanan keras, fonem /u/ dilafalkan [U]. Contoh: uapik [U-a-piʔ] dan uombu [U-om-bu].

(9)

9

Penambahan fonem /u/ di depan kata, yang bermakna kesangatan, bisa diberikan jika sebuah kata berkategori adjektiva berawalan dengan fonem vokal /a/, /e/, /i/, atau /o/. Penambahan fonem /u/ di awal kata tidak mengubah makna secara keseluruhan. Fungsinya hanya memberikan penekanan pada makna kata tersebut dengan makna kesangatan.

Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial yang terjadi. Bentuk uapik „sangat bagus‟ menunjukkan bahwa hiburan yang penutur lihat memang sangat bagus. Bentuk uenak „sangat enak‟ menunjukkan bahwa bakso yang dimakan penutur memang sangat enak.

2. Epentesis

Epentesis adalah penambahan fonem di tengah kata. Gejala bahasa berupa epentesis pada kata emotif tipe sanjung dalam bJ, yaitu buanter „sangat cepat‟; bianter „sangat cepat‟; dan cuepet „sangat cepat‟. Ketiga bentuk tersebut berkategori adjektiva. Perhatikan kalimat berikut.

(9) Motormu buanter tenan lho, lik (Lsn, 11 Ags). „Motormu (berjalan) sangat cepat benar, Pak Lik‟ (10)Bianter are mlayumu maeng (Lsn, 10 Ags).

Sangat cepat ternyata larimu tadi‟

(11)Woh, cuepet tenan De, kowe ngarite (Lsn, 11 Ags). „Woh, sangat cepat benar Om, kamu potong rumputnya‟

Bentuk buanter dan cuepet berasal dari bentuk dasar banter dan cepet serta mengalami penambahan fonem /u/ di bagian tengah kata. Bentuk bianter berasal dari bentuk dasar banter serta mengalami penambahan fonem /i/ di bagian tengah kata.

(10)

10

Transkripsi fonemis pada penambahan fonem /u/ di bagian tengah kata pada kata yang berawalan fonem /i/ dan /e/ maka tidak mendapatkan tekanan keras, fonem /u/ yang semula dilafalkan [U] menjadi [u]. Contoh: cuilik (bukan kata emotif tipe sanjung dalam bJ) [cu-wi-liʔ] dan cuepet [cu-wə-pət]. Penambahan fonem /u/, yang bermakna kesangatan, di tengah kata bisa terjadi apabila di tengah kata bagian awal terdapat fonem /a/, /e/, /i/, atau /o/ serta berkategori adjektiva.

Transkripsi fonemis pada penambahan fonem /i/ di bagian tengah kata pada kata yang berawalan fonem /a/ maka, mendapatkan tekanan keras, fonem /i/ dilafalkan [i]. Contoh: bianter [bi-yan-tər] dan bianget [bi-ya-ŋət].

Penambahan fonem /i/ yang bermakna kesangatan di tengah kata sangat terbatas, dan hanya bisa terjadi apabila di tengah kata bagian awal terdapat fonem /a/. Penambahan fonem /i/ di tengah kata apabila ditambahkan pada bentuk kata yang bagian tengah awal terdapat selain fonem /a/ akan terbentuk, misalnya: *piesing, *lioma, dan *liuwes.

Penambahan fonem /u/ dan /i/ di bagian tengah kata tidak memengaruhi makna secara esensial. Hanya saja, penambahan fonem tersebut memberikan penekanan dengan makna kesangatan. Untuk membuktikan bahwa bentuk buanter, bianter, dan cuepet merupakan kategori adjektiva dengan ditambahkan konfiks ke-en serta menghilangkan fonem tambahan /u/ dan /i/, maka akan terjadi bentuk kebanteren dan kecepeten.

(11)

11

Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial yang terjadi. Bentuk buanter „sangat deras‟ menunjukkan bahwa air yang dilihat penutur memang mengalir sangat deras. Bentuk bianter „sangat kencang‟ menunjukkan bahwa mitra tutur bisa berlari dengan sangat kencang. Bentuk cuepet „sangat cepat‟ menunjukkan bahwa mitra tutur memang bisa mengambil rumput sangat cepat.

2. Kategori Kata Emotif Tipe Sanjung dalam Bahasa Jawa a. Adjektiva

Dalam bJ, adjektiva memiliki perilaku yang hampir sama dengan verba. Dalam tataran kalimat tunggal adjektiva juga mengisi atau menempati fungsi P secara dominan dan dalam tataran frasa dia menjadi atribut. Ciri lain, adjektiva cenderung dapat menjadi bentuk dasar kata yang berafiks ke-/-en yang menunjuk „keterlaluan‟. Kata emotif tipe sanjung dalam bJ berkategori adjektiva dapat dibagi menjadi tiga subklasifikasi berdasarkan watak semantisnya, yaitu (1) mental, (2) ukuran, dan (3) rasa. Perhatikan penjelasannya berikut ini. 1) Adjektiva Mental

Subklasifikasi mental dari kategori adjektiva, yaitu bentuk yang menerangkan batin dan watak manusia yang bukan bersifat badan atau tenaga. Berikut ini merupakan kata emotif tipe sanjung dalam bJ kategori adjektiva subklasifikasi mental, yaitu wanen

„pemberani‟; dan kendhel „pemberani‟. Perhatikan kalimat

berikut.

(12)Kowe wanen e saiki (Lsn, 5 Ags). „Kamu pemberani ya sekarang‟

(13)Wor, dadi kendhel e kowe (Lsn, 7 Ags). „Wor, jadi pemberani ya, kamu‟

(12)

12

(13a) Bocah kae wanen e ya S P Pel.

(14a) Jo Klowor kae kendhel jebule, cah S P Pel.

Bentuk-bentuk di atas juga merupakan kategori adjektiva dengan subklasifikasi mental. Bentuk wanen dan kendhel bermakna bahwa orang itu pemberani.

Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial yang terjadi. Bentuk wanen dan kendhel menunjukkan bahwa mitra tutur berani melawan rasa takut, seperti pada saat berhadapan dengan lawan yang lebih hebat atau ditakuti, misalnya hantu.

2) Adjektiva Ukuran

Subklasifikasi ukuran dari kategori adjektiva, yaitu bentuk yang menerangkan hasil penilaian pada manusia, benda, atau sesuatu lainnya. Kata emotif tipe sanjung dalam bJ kategori adjektiva subklasifikasi ukuran, yaitu banter „keras‟ dan wangun „pantas‟. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.

(14)Kok do isa banter tenan e tendangane ki, cah! (Lsn, 12 April).

„Mengapa bisa cepat benar ya tendangannya ini, nak!‟ (15)Lha kok wangun lukisanmu, To! (Lsn, 19 April).

„Lha kok pantas lukisanmu, To!

Bentuk tersebut juga merupakan kategori adjektiva. Guna membuktikan bahwa kata emotif tipe sanjung dalam bJ tersebut termasuk kategori adjektiva, selain dari segi perilaku sintaksisnya yaitu bersifat predikatif, bisa ditambahkan dengan konfiks ke-en yang menunjuk „keterlaluan‟, maka terjadi bentuk kebanteren, dan kewangunen.

(13)

13

diukur serta diketahui nilainya secara pasti (tentu) dan ada yang tidak bisa diketahui nilainya secara pasti atau hanya bisa diperkirakan nilainya (tidak tentu). Adapun bentuk yang termasuk ukuran tentu, yaitu: banter; sedangkan bentuk yang termasuk ukuran tidak tentu, yaitu wangun.

Bentuk banter „keras‟ merupakan ukuran tentu. Misalnya, dalam pertandingan badminton, ukuran kecepatan smash pemain bisa diketahui dan diukur kecepatannya seberapa kilometer per jam.

Bentuk wangun hanya bisa dinilai dengan kadar tertentu atau bersifat relatif. Bentuk wangun „pantas‟, ukuran suatu benda dinilai bagus, indah, atau pantas dikenakan tidak bisa ditentukan secara pasti karena setiap orang memiliki selera berbeda.

Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial yang terjadi. Bentuk banter „keras‟ menunjukkan bahwa tendangan mitra tutur memang keras. Bentuk wangun „pantas‟ menunjukkan bahwa lukisan milik mitra tutur memang pantas dipajang.

3) Adjektiva Rasa

Subklasifikasi rasa dari kategori adjektiva yaitu bentuk yang menerangkan tanggapan indera yang kemudian merangsang saraf (pikiran); tanggapan hati terhadap sesuatu (indera). Berikut ini adalah bentuk monomorfemik kata emotif tipe sanjung dalam bJ kategori adjektiva subklasifikasi rasa, yaitu seneng „senang‟; dan legi „manis‟. Perhatikan kalimat berikut ini.

(16)Aku seneng Mas karo njenengan sing ora mbayar lewat calo (Lsn, 10 Mei).

„Aku suka Mas dengan kamu yang tidak membayar melalui calo‟

(14)

14

„Kolak yang kamu buat memang manis lho, nduk (sebutan untuk anak perempuan)

Bentuk seneng dan legi merupakan kategori adjektiva karena berkedudukan sebagai P. Perhatikan analisis di bawah ini. (16a) Aku seneng Mas karo njenengan sing ora mbayar lewat calo

S P Pel. Ket.

(17a) Kolak sing kok gawe pancen legi lho, nduk.

S P Pel.

Bentuk seneng dan legi merupakan subklasifikasi rasa. Bentuk seneng „senang‟ merupakan rasa yang berupa suasana hati/pikiran. Rasa seneng, dalam hal ini, terjadi karena indra penglihatan penutur melihat tindakan baik yang dilakukan mitra tutur, membayar pajak kendaraan bermotor tanpa melalui calo. Tindakan yang dilakukan mitra tutur tersebut membuat penutur senang. Bentuk legi „manis‟ merupakan rasa yang merupakan nama gejala. Rasa legi terjadi karena lidah bertemu dengan minuman (bisa juga jenis makanan) yang memiliki rasa manis.

Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial yang terjadi. Bentuk seneng „senang‟ menunjukkan bahwa penutur memang merasa senang karena mitra tutur membayar pajak motor tidak melalui calo. Bentuk legi „manis‟ menunjukkan bahwa kolak yang dibuat mitra tutur memang rasanya manis. b. Verba

Kata emotif tipe sanjung dalam bJ kategori verba dapat dibagi menjadi dua subklasifikasi berdasarkan makna keberubahan, yaitu (1) perbuatan/aksi dan (2) keadaan. Cermati pembagian dan penjelasannya berikut ini.

1) Verba Perbuatan/Aksi

(15)

15

masak (dengan rentang waktu tertentu). Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.

(18)Sapi kuwi leh mangan-mengen wae (Lsn, 14 Ags).

„Sapi itu berkali-kali makan (dengan rentang waktu tertentu) saja‟

(19)Kowe leh Dhe, masak-mesek wae (Lsn, 12 Okt).

„Kamu itu lho Tante, berkali-kali masak (dengan rentang waktu tertentu) saja‟

Bentuk mangan-mengen berasal dari bentuk dasar mangan, mengalami pengulangan keseluruhan, dan terjadi perubahan fonem vokal pada bagian bentuk ulang (/a/ menjadi /e/). Bentuk masak-mesek berasal dari bentuk dasar masak, mengalami pengulangan keseluruhan dan terjadi perubahan fonem vokal pada bagian bentuk ulang (/a/ menjadi /e/).

Kaidah reduplikasi pada bentuk mangan-mengen [maŋan -mεŋεn] dan masak-mesek [masaʔ-mεsεʔ], yaitu morfem dasar mendahului morfem ulang. Pada morfem ulang terjadi perubahan bentuk fonem vokal yaitu, /a/ menjadi /e/ (naik/menjadi vokal dengan nada tinggi). Hal ini disebabkan fonem vokal /a/ merupakan fonem vokal yang memiliki intonasi paling rendah. Oleh karena itu, pada bentuk morfem ulang terjadi perubahan fonem vokal menjadi yang lebih tinggi atau naik satu tingkat menjadi fonem vokal /e/.

(16)

bungah-16

bungeh, siman-simen, dan susah-suseh. Bentuk reduplikasi tersebut terjadi dengan proses bentuk dasar mendahului bentuk ulang dan bentuk ulang terjadi perubahan bentuk fonem vokal pada bagian kedua, yaitu /a/ menjadi /e/. Dengan begitu, bentuk-bentuk tersebut memiliki kaidah proses reduplikasi yang sama dengan bentuk mangan-mengen dan masak-mesek. Bedanya, perubahan fonem vokal hanya terjadi pada bentuk ulang fonem vokal bagian kedua.

Bentuk mangan-mengen, dan masak-mesek merupakan bentuk polimorfemik karena terdiri lebih dari satu morfem. Pola terbentuknya polimorfemik pada bentuk mangan-mengen, dan masak-mesek, yaitu terjadi pengulangan bentuk dasar secara keseluruhan dan perubahan bentuk fonem vokal. Bentuk mangan-mengen bermakna melakukan perbuatan makan berulangkali. Bentuk masak-mesek bermakna melakukan tindakan masak berulang kali.

Bentuk mangan-mengen merupakan tindakan memakan makanan yang dilakukan seseorang berulang kali dengan rentang waktu tertentu. Bentuk masak-mesek merupakan tindakan memasak yang dilakukan seseorang berulang kali dengan rentang waktu tertentu.

2) Verba Keadaan

Berikut ini adalah bentuk kata emotif tipe sanjung dalam bJ kategori verba subklasifikasi keadaan, yaitu trima-trimane „terima-terimanya‟; dan ayem-ayeman „sangat tenang‟. Cermati kalimat-kalimat berikut ini.

(20)Gumunku, kowe kuwi kok ya trima-trimane. Saben dina cah angon kae nekat kok dienengake wae, … (Tlsn, “Sega

Rames”, Kumpulan Dongeng Myte: Sri-Sadana, 1991:95).

(17)

17

(21)Lik, kari ayem-ayeman wis bar tandur (Lsn, 6 Feb). „Pak Lik, tinggal bertenang-tenang sudah selesai tanam‟

Bentuk trima-trimane berasal dari morfem dasar trima, morfem berupa sufiks –ne, dan mengalami proses pengulangan keseluruhan. Bentuk ayem-ayeman berasal dari morfem dasar ayem, morfem berupa sufiks –an, dan mengalami proses pengulangan keseluruhan. Pola terbentuknya polimorfemik pada bentuk trima-trimane dan ayem-ayeman yaitu terjadi pengulangan bentuk dasar secara keseluruhan dan penambahan sufiks. Kedua bentuk di atas berkategori verba karena mempunyai makna melakukan sebuah tindakan.

Bentuk-bentuk tersebut juga merupakan subklasifikasi keadaan. Bentuk trima-trimane merupakan keadaan pasrah/tidak bisa melakukan tindakan lain kecuali menerima apa yang terjadi. Bentuk ayem-ayeman merupakan keadaan sudah sangat tenang yang dialami seseorang atau makhluk hidup lain karena tidak mempunyai beban lagi.

3. Maksud Penyampaian Kata Emotif Tipe Sanjung dalam bJ a. Menyanjung Karena Kondisi Fisik

Di bawah ini merupakan temuan data yang mengandung kata emotif tipe sanjung dalam bJ dengan maksud menyanjung karena kondisi fisik, yaitu ayu „cantik‟; dan gantheng „tampan‟. Bentuk -bentuk tersebut berkategori adjektiva. Perhatikan kalimat berikut ini.

(22)Eh, kowe kok ayu? (Lsn, 11 Jul). „Eh, kamu kok cantik?‟

(23)Mas, saiki gantheng kowe! (Lsn, 21 Mar). „Mas, sekarang tampan kamu!‟

(18)

18

duduk di bangku SMA. Bentuk gantheng „tampan‟ pada kalimat (23) bermaksud menyanjung mitra tutur. Penutur menyanjung karena cowoknya tak setampan lelaki yang dilihat. Lelaki tersebut berumur 24 tahun, berkulit putih, dan sudah bekerja.

b. Menyanjung Karena Tindakan Aktif

Maksud yang selanjutnya dari penyampaian kata emotif tipe sanjung dalam bJ adalah maksud menyanjung karena tindakan aktif. Disebut tindakan aktif karena pelaku (mitra tutur) terlibat langsung dengan giat dalam melakukan suatu tindakan. Adapun bentuknya, yaitu loma „suka memberi‟; dan sregep „rajin‟. Kategori bentuk loma, dan sregep berkategori adjektiva. Perhatikan kalimat-kalimat berikut.

(24)Kowe leh Pak, loma jebule (Lsn, 11 April). „Kamu itu Pak, suka memberi ya ternyata‟ (25)Pancen sregep putuku saiki (Lsn, 9 Ags).

„Memang rajin cucuku sekarang‟

Bentuk loma „suka memberi‟ pada kalimat (24) bermaksud menyanjung bapak Agus karena tindakannya yang suka memberi. Bapak Agus tersebut suka memberi kepada orang yang membutuhkan. Penutur menyanjung karena saat ini jarang bisa menemui orang yang loma.

Bentuk sregep „rajin‟ pada kalimat (25) bermaksud menyanjung cucu penutur. Penutur menyanjung karena sebelumnya cucu penutur tidak begitu rajin membantu membersihkan halaman rumahnya dan membersihkan debu di kursi serta mejanya di ruang tamu. Setelah bertambah usia, cucu penutur mulai rajin membantunya. Cucu penutur tersebut duduk di bangku sekolah dasar.

c. Menyanjung Karena Kondisi yang Lebih Baik

(19)

19

(26)Walah, tanja kowe yo, coy! (Lsn, 21 Feb). „Walah, mantap kamu ya, coy!‟

(27)Omahmu cekli e mergo dirawat (Lsn, 30 Okt). “Rumahmu bagus ya karena dirawat‟

Bentuk tanja „mantap‟ pada kalimat (26) bermaksud menyanjung mitra tutur yang berada dalam keadaan enak atau nyaman. Penutur menyanjung karena mitra tutur bernasib lebih baik dari pada penutur. Kondisi mitra tutur pada saat itu makan makanan enak dan gratis. Bentuk tanja dipakai orang di wilayah Yogyakarta. Bentuk cekli pada kalimat (27) bermaksud menyanjung tempat tinggal mitra tutur. Penutur menyanjung karena tempat tinggal yang dimiliki mitra tutur lebih bagus dan nyaman untuk ditempati.

D. Simpulan

Bentuk-bentuk kata emotif tipe sanjung dalam bJ terdapat empat macam, yaitu bentuk monomorfemik; bentuk polimorfemik; repetisi; dan gejala bahasa. Kategori kata emotif tipe sanjung dalam bJ ada dua, adjektiva dan verba. Kategori adjektiva dapat dibagi menjadi tiga subklasifikasi, yaitu (a) mental, (b) ukuran, dan (c) rasa. Kata emotif tipe sanjung dalam bJ yang memiliki kategori verba dapat disubklasifikasikan menjadi dua: (a) perbuatan/aksi, dan (b) keadaan. Maksud penyampaian kata emotif tipe sanjung dalam bJ ditemukan tiga macam; menyanjung karena kondisi fisik; menyanjung karena tindakan aktif; dan maksud menyanjung karena keadaan yang lebih baik.

E. Daftar Pustaka

Badudu, DR. J.S. 1979. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

(20)

20

Chaer, Abdul. 2007b. Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian, dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekaan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.

Feinstein, Alan, Bambang Murtiyoso, Kuwato, Sudarko, Sumanto. 1986. Lakon Carangan, Jilid I. Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia. Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem Dalam

Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa; Tahapan Strategi, Metode, dan tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ramlan, M. 1997. Morfologi, Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono

Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik, Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media.

Sartre, Jean-Paul. 2010. Theory of the Emotion. Surabaya: Selasar Publishing. Sudaryanto. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Sugono, Dendy, Sugiyono, Yeyen Maryani, Meity Taqdir Qodratillah, Cormentyna Sitanggang, Menuk Hardinawati, Dora Amalia, Teguh Santoso, Adi Budiwiyanto, Azhari Dasman Darnis, Desi Pusputa, Endang Supriatin, Dede Supriadi, Delis Saparini, Rini Maryani (Tim Penyusun). 2008. Kamus Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta: Pusat Bahasa. Wijana, I Dewa Putu. 2006. “Repetisi dalam Karangan Mahasiswa dan

Penanganannya”. Jurnal Humaniora. Vol. 1. Hlm. 37-45. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik, Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan perlakuan radiasi 400 rad, persentase eksplan membentuk embrio somatik paling tinggi berasal dari varietas Wilis (76%) diikuti varietas Sindoro (55,3%) dan paling

Ketika penyerang menjauh dari kompetensi intinya dan mengakuisisi perusahaan yang tidak terkait dengan bisnisnya yang sudah ada, diatur oleh keinginan untuk

Berdasarkan pendapat dari (Shirouyehzad, Dabestani, & Badakhshian, 2011) Tujuan dari FMEA ini untuk mengantisipasi kegagalan yang tidak dapat diterima dan

1) Kompensasi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Peningkatan kompensasi dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan pada

agian baratdaya Kalimantan tersusun atas kerak yang stabil (Kapur Awal) sebagai bagian dari Lempeng Asia Tenggara meliputi baratdaya Kalimantan, Laut Jawa bagian

PSAK %: ini mengatur akuntansi dan pelaporan program man3aat purnakara untuk semua peserta sebagai suatu kelompok. PSAK ' )re4isi '(%&*/ mbalan Kerja, mengatur

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah visi, harapan/iman, cinta altruistik, makna/panggilan, keanggotaan, komitmen, kepuasan kerja berpengaruh

Oleh karena itu, dalam rangka memperluas akses dan peningkatan mutu pendidikan bagi anak usia dini perlu dilakukan upaya-upaya penyiapan dan pengembangan pendidik maupun tenaga