• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI MANAJAMEN PENGELOLAAN SAMPAH BE (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EVALUASI MANAJAMEN PENGELOLAAN SAMPAH BE (1)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI MANAJAMEN PENGELOLAAN SAMPAH

BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT

DI KOTA SURABAYA

(2)

2

1. PENDAHULUAN

Pertumbuhan sektor perekonomian pada sebuah wilayah kota memicu timbulnya arus

pertumbuhan dan perkembangan wilayah tersebut, yang pada akhirnya dapat menimbulkan

permasalahan pada berbagai sektor. Dalam mengatasi masalah yang ada diperlukan suatu upaya

pengelolaan pembangunan kota yang dilakukan dengan sistem dan strategi yang terintegrasi,

holistik dan komprehensif sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran sesuai dengan rencana

dan tahapan yang ditetapkan yang pada akhirnya akan mensejahterakan penduduk kota. Upaya

pengelolaan tersebut dapat diwujudkan dalam suatu manajamen perkotaan (urban management)

yang baik. Menurut SK Mendagri No. 65 tahun 1995, Manajemen perkotaan adalah pengelolaan

sumber daya perkotaan yang berkaitan dengan bidang-bidang tata ruang, lahan, ekonomi,

keuangan, lingkungan hidup, pelayanan jasa, investasi, prasarana dan sarana perkotaan; serta

disebutkan pula bahwa pengelola perkotaan adalah para pejabat (Pemerintah) pengelola

perkotaan. Dengan demikian, menurut apa yang secara formal didefinisikan oleh Pemerintah,

manajemen perkotaan meliputi hal yang cukup luas, dan nampak menekankan pada aspek

perkembangan kota dan perkembangan ekonomi kota.

Salah satu bidang dalam pembahasan manajamen kota adalah masalah lingkungan hidup.

Dewasa ini upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup telah dilaksanakan oleh sebagian besar

Pemerintah Daerah dan Kota di Indonesia melalui pencanangan berbagai program yang relevan.

Peningkatan kualitas lingkungan terdiri dari berbagai aspek, salah satu aspek yang sangat

berpengaruh adalah aspek pengelolaan sampah di lingkungan permukiman. Menurut Wibowo

dan Darwin (2006) persampahan telah menjadi agenda permasalahan utama yang dihadapi oleh

hampir seluruh perkotaan di Indonesia. Faktor keberhasilan pelaksanaan pengelolaan sampah

sepenuhnya akan tergantung pada kemauan Pemerintah Daerah atau Kota dan masyarakat.

Kemauan ini dapat di mulai dari pemahaman dan kesadaran akan pentingnya sektor pengelolaan

sampah sebagai salah satu pencerminan keberhasilan pengelolaan kota dan daerah.

Surabaya menjadi salah satu kota di Indonesia yang dinilai mampu mengelola sampah

dengan baik, melalui program 3R (reduce, reuse, recycle). Tidak hanya itu, Program 3R dinilai

telah menjadi landasan upaya pengelolaan sampah secara mandiri oleh masyarakat, dalam rangka

(3)

3 salah satu contoh kota yang masyarakatnya berhasil mengelola sampah, sehingga menjadi role

model negara-negara di Asia Pasifik. Melalui sejumlah keberhasilan di bidang kebersihan yang

berhasil diraih, Surabaya menjadi tuan rumah Forum Regional 3R atau The 5th Regional 3R

Forum in Asia & The Pacific bertema Multilayer Partnership & Coalitions as the Basic for 3R’s

Promotion in Asia & The Pacific tahun 2014 (Riski, 2014).

Keberhasilan mengelola sampah yang diraih Kota Surabaya ini diawali dengan berbagai

upaya penanganan masalah sampah yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Menurut studi

Japan International Cooperation Agency (JICA) peningkatan laju rata-rata tahunan volume

sampah Surabaya sebesar 5 %, karena pertambahan penduduk 1,6 % per tahun meningkatkan

volume sampah per kapita sekitar 3,4 % per tahun untuk periode 1992-2010 di Surabaya (Savitri,

2002). Hasil studi penanganan sampah di wilayah Surabaya Metropolitan (2002) menunjukkan

bahwa pada tahun 2001 jumlah volume sampah Kota Surabaya per hari adalah 5.405,12 m3,

maka dapat diramalkan jumlah volume sampah pada tahun 2005 adalah 6.569,957 m3. Padahal

Kepala Dinas Kebersihan Kota Surabaya, mengemukakan kepada Jawa Pos pada tanggal 10

Maret 2005, bahwa jumlah sampah kota Surabaya per hari rata-rata adalah 8.700 m3. Hal ini

menunjukkan bahwa realita sampah yang ada memiliki perbedaan jumlah yang cukup jauh dari

peramalan, yaitu 32,42 % melebihi peramalan.

Selain itu kapasitas depo yang disediakan oleh Pemerintah Daerah (pemda) pada waktu itu

hanya 10-20 m3 per hari untuk masing-masing depo. Sedangkan jumlah depo yang ada adalah

198, sehingga daya tampung maksimal depo per hari secara keseluruhan adalah 3.960 m3.

Padahal sampah yang masuk ke TPA sebanyak 6.064 m3 (Jawa Pos, 2005). Hal ini menunjukkan

bahwa terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas depo yang tersedia dengan sampah yang

masuk ke TPA. Sehingga ketidakseimbangan ini menyebabkan terjadinya

penimbunan/penumpukan/peluberan pada depo. Peluberan ini menimbulkan permasalahan baru,

yang juga membutuhkan penyelesaian yang optimal.

Anggaran pengelolaan sampah Kota Surabaya pada tahun 2003 adalah Rp 30 miliar

(Tualeka, 2005). Anggaran tersebut sebagian diambil dari biaya retribusi sampah warga Kota

Surabaya, yaitu sebesar Rp 21,47 miliar atau 29,41 % dari anggaran total. Adapun retribusi

(4)

4 % per tahun. Pada tahun 2005 diperkirakan anggaran retribusi sampah adalah Rp 26,52 miliar.

Hal ini akan semakin menambah beban masyarakat, yaitu harus membayar retribusi sampah

yang semakin naik dari tahun ke tahun. Sedangkan pengelolaan yang dilakukan Pemerintah Kota

Surabaya masih belum menunjukkan hasil yang optimal.

Dari permasalahan yang ada Pemerintah Kota Surabaya berupaya memperbaiki manajamen

pengelolaan sampah dengan lebih melibatkan masyarakat di dalamnya. Pemkot Surabaya

mengembangkan potensi daur ulang (recovery) yang dapat memberikan keuntungan ekonomi

melalui beberapa program diantaranya program pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas

dan program composting. Upaya pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat ini

mendapatkan hasil yang positif. Menurut Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya

(2014), saat ini Kota Surabaya merupakan salah satu contoh kota yang berhasil mengelola

sampah. Indikator sukses dalam hal pengelolaan sampah berupa adanya bank sampah serta

rumah kompos, sehingga sampah tidak lagi menjadi barang yang tidak berguna, melainkan justru

bernilai uang. Melalui pemilahan limbah pembuangan dan pengolahan sampah organik di rumah

kompos, bank sampah bisa mendapat keuntungan antara Rp150-Rp200 juta per bulan. Hal ini

bisa menghemat biaya operasional terkait limbah hingga 50 persen, karena limbah tidak masuk

ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Dinas Kebersihan dan Pertamanan sendiri mampu

menghemat anggaran hingga Rp 2 miliar per tahun untuk merawat ruang terbuka hijau (RTH)

yang dimilkinya. Kebutuhan anggaran itu terkait perawatan khusus terhadap RTH yang

dimaksud. (Chalid Buchari, Kadis DKP Kota Surabaya;2015).

Dari latar belakang di atas perlu diketahui bagaimana sistem pengelolaan sampah yang ada

serta efektifitas manajamen pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat di Kota

Surabaya, apakah sudah cukup optimal atau perlu ada program-program tambahan lain yang

(5)

5

2. KONSEP TEORITIS PENGELOLAAN SAMPAH

Pengelolaan sampah merupakan suatu keterpaduan dan kontrol terhadap timbulan sampah,

pewadahan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, proses dan pembuangan akhir

sampah, dimana semua hal berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat, aspek ekonomi, aspek

teknik, konservasi, estetika, aspek lingkungan dan aspek peran serta masyarakat (Tchobanoglous

et al., 1993). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 ditegaskan kembali bahwa

Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang

meliputi pengurangan dan penanganan sampah.

Pengelolaan sampah termasuk seluruh kegiatan administrasi, keuangan, hukum,

perencanaan dan fungsi-fungsi teknis dalam mengatasi seluruh masalah persampahan.

Pengelolaan sampah mempunyai beberapa tujuan yaitu :

 Meningkatkan kesehatan lingkungan dan masyarakat

 Melindungi sumber daya alam (air)

 Melindungi fasilitas sosial ekonomi

 Menunjang pembangunan sektor strategis

Konsep pengolahan sampah di Indonesia yang masih banyak dilakukan sampai dengan saat

ini adalah baru pada tahap pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir (3P). Sedangkan

penanganan sampah melalui pengolahan masih belum populer. Bila konsep pengelolaan dengan

3P masih dipertahankan pada tahun-tahun mendatang, maka akan memperberat tugas pemerintah

daerah karena penambahan sarana dan prasarana pengelolaan sampah tidak secepat pertambahan

jumlah timbulan sampah yang harus ditangani (slamet, 2000).

Teknik pengelolaan sampah dapat dimulai dari sumber sampah sampai pada tempat

pembuangan akhir sampah. Usaha pertama adalah mengurangi sumber sampah baik dari segi

(6)

6  Meningkatkan pemeliharaan dan kualitas barang sehingga tidak cepat menjadi

sampah.

 Meningkatkan penggunaan bahan yang dapat terurai secara alamiah, misalnya

pembungkus plastik diganti dengan pembungkus kertas.

Semua usaha ini memerlukan kesadaran dan peran serta masyarakat. Selanjutnya,

pengelolaan ditujukan pada pengumpulan sampah mulai dari produsen sampai pada Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) dengan membuat tempat pembuangan sampah sementara (TPS),

transportasi yang sesuai lingkungan, dan pengelolaan pada TPA. Sebelum dimusnahkan sampah

dapat juga diolah dulu baik untuk memperkecil volume, untuk daur ulang atau dimanfaatkan

kembali. Pengolahan dapat sangat sederhana seperti pemilahan, sampai pada pembakaran atau

Insenerasi (Slamet, 2000).

2.1. Cara -cara Pengelolaan Sampah

Pengolahan sampah menurut Slamet (2000) dapat dilakukan dengan cara:

1) Hog Feeding.

Yaitu penggunaan sampah garbage untuk makanan ternak.

2) Insenaration (Pembakaran).

Yaitu dengan pembuangan sampah di TPA, kemudian dibakar. Pembakaran sampah

dilakukan ditempat tertutup dengan mesin dan peralatan khusus yang dirancang untuk

pembakaran sampah. Sistim ini memerlukan biaya besar untuk pembangunan,

operasional dan pemeliharaan mesin dan peralatan lain.

3) Sanitary Landfill.

Yaitu pembuangan sampah dengan cara menimbun sampah dengan tanah yang

(7)

7 terbuka, jadi tidak sampai menimbulkan bau serta tidak menjadi tempat binatang

bersarang. Cara ini tentu amat bermanfaat jika sekaligus bertujuan untuk meninggikan

tanah yang rendah seperti rawa-rawa, genangan air dan sebagainya.

4) Composting (Pengomposan).

Merupakan pemanfaatan sampah organik menjadi bahan kompos. Untuk tujuan

pengomposan sampah harus dipilah-pilah sehingga sampah organik dan anorganik

terpisah.

5) Discharge To Seweres.

Di sini sampah harus dihaluskan dahulu dan kemudian dibuang kedalam saluran

pembuangan air bekas. Cara ini dapat dilakukan pada rumah tangga atau dikelola secara

terpusat di kota-kota. Cara ini membutuhkan biaya yang besar serta tidak mungkin

dilakukan jika sistim pembuangan air kotor tidak baik.

6) Dumping (Penumpukan).

Yaitu pembuangan sampah dengan penumpukan diatas tanah terbuka. Dengan cara ini

TPA memerlukan tanah yang luas dan sampah ditumpuk begitu saja tanpa adanya

perlakuan. Sistim dumping memang dapat menekan biaya, tetapi sudah jarang dilakukan

karena masyarakat sekitarnya sangat terganggu. Cara ini berpengaruh buruk terhadap

lingkungan, berupa sumber penyakit, tempat binatang bersarang

7) Individual Inceneration.

Ialah pembakaran sampah yang dilakukan secara perorangan dirumah tangga.

Pembakaran haruslah dilakukan dengan baik, jika tidak asapnya akan mengotori udara

(8)

8 8) Recycling.

Ialah menghancurkan sampah menjadi jumlah yang lebih kecil dan hasilnya

dimanfaatkan misalnya kaleng, kaca dan sebagainya. Cara ini berbahaya untuk

kesehatan, terutama jika tidak mengindahkan segi kebersihan.

9) Reduction.

Ialah menghancurkan sampah menjadi jumlah yang lebih kecil dan hasilnya

dimanfaatkan, misalnya garbage reduction yang dapat menghasilkan lemak. Hanya saja

biayanya sangat mahal tidak sebanding dengan hasilnya (Azwar, 2002).

2.2. Hubungan Sampah dengan Perilaku Manusia dan Lingkungan

Teori yang berorientasi pada lingkungan dalam psikologi lebih banyak dikaji berdasarkan

behavioristik, yaitu teori yang memandang perilaku manusia lebih ditentukan oleh faktor

lingkungan dimana manusia hidup. Adanya perbedaan lokasi dimana tinggal dan berkembang

akan menghasilkan perilaku yang berbeda (Helmi,1995). Dari pernyataan tersebut diatas

memberikan gambaran tentang keanekaragaman perilaku manusia yang dilatarbelakangi oleh

lingkungan yang akan membentuk karakteristik perilaku manusia.

Sampah berhubungan erat dengan manusia dan lingkungan karena dapat menimbulkan

dampak positip dan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan, baik atau buruknya

dampak tersebut tergantung kepada kita bagaimana mengelolanya. Pengelolaan sampah yang

baik akan memberikan dampak menguntungkan dan pengelolaan sampah yang kurang baik akan

memberikan dampak yang merugikan (Rohani, 2007). Untuk mengetahui dampak tersebut lebih

jelas dapat dilihat seperti :

(9)

9 a) Dampak menguntungkan

- Dapat digunakan sebagai makanan ternak

- Dapat berperan sebagai sumber energi

- Benda yang dibuang dapat diambil kembali untuk dimanfaatkan

b) Dampak merugikan

- Dapat berperan sebagai sumber penyakit

- Dapat menimbulkan bahaya kebakaran.

2) Dampak Terhadap Lingkungan

a) Dampak menguntungkan

- Dapat dipakai sebagai penyubur tanah.

- Dapat dipakai sebagai penimbun tanah.

- Dapat memperbanyak sumber daya alam melalui proses daur ulang.

b) Dampak merugikan

- Dapat menimbulkan bau yang tidak enak.

- Dapat menimbulkan pencemaran udara, tanah dan air.

- Dapat menimbulkan banjir.

2.3. Manajemen Organisasi Pengelola Persampahan

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang

Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan

(KSNP-SPP) bahwa lembaga/institusi pengelolaan persampahan merupakan motor penggerak seluruh

kegiatan pengelolaan sampah dari sumber sampai TPA. Kondisi kebersihan dalam suatu wilayah

merupakan hasil dari manajeman pengelolaan persampahan yang baik oleh Pemerintah Daerah

(10)

10 persampahan Kota/Kabupaten dan masyarakat juga berkewajiban mendukung pengelolaan

sampah di Kota/Kabupaten (UU Nomor 81 Tahun 2012).

Pengelolaan sampah di Indonesia sepenuhnya ditangani oleh Pemerintah, terutama

untuk pengangkutan sampah harus ditangani oleh Pemerintah Daerah. Beberapa negara maju

keterlibatan pihak swasta sangat mempengaruhi efisiensi biaya pengangkutan. Kenyataannya

pengangkutan sampah yang ditangani oleh pihak swasta menggunakan biaya lebih kecil

dibanding dengan pengelolaan oleh pemerintah (Jacobsen et al., 2013).

2.4. Kapasitas Sumber Daya Manusia Pengelola Persampahan

Organisasi harus memiliki sumber daya manusia yang dapat diandalkan dalam hal

manajemen pengelolaan sampah dan teknis pengangkutan sampah. Manajemen yang dimaksud

adalah dari segi sumber daya manusia yang handal, mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi,

serta perilaku di lapangan yang sangat menunjang kinerja. Perilaku kerja dari sopir kendaraan

angkutan mempengaruhi efisiensi pengangkutan, karena salah satu cara yang paling efektif

dalam melakukan optimisasi pengangkutan sampah adalah dengan merubah perilaku sopir

menjadi suatu kebiasaan yang baik dan diberlakukan sama untuk setiap pekerja (Vort et al.,

2001).

Baik dalam organisasi maupun dalam proses manajemen, keberadaan Sumber Daya

Manusia (SDM) merupakan aspek yang sangat penting. SDM dengan kualifikasi baik akan

mendorong perwujudan tujuan organisasi secara lebih efektif dan efisien. Perkembangan

kehidupan manusia dan peningkatan kebutuhan organisasi, akan mempengaruhi SDM dalam

suatu organisasi, sehingga terjadi perubahan dan pergeseran. Sejalan dengan adanya perubahan

tersebut, peran dan fungsi SDM dalam organisasi pun menjadi semakin penting dan strategis.

SDM tidak hanya dianggap sebagai tool of management tapi juga sebagai sumber keunggulan

kompetitif dan elemen kunci untuk mencapai tujuan organisasi. Manajemen SDM yang

diterapkan akan berpengaruh terhadap kelembagaan yang dibentuk. SDM yang berkualitas

dengan pola manajemen SDM yang profesional, dimulai dari proses rekrutmen, pengembangan

pegawai sampai dengan berhenti (pensiun) akan berpengaruh terhadap organisasi yang ada.

SDM yang melaksanakan tugas dan fungsi pengangkutan sampah harus memenuhi

(11)

11 mempengaruhi pencapaian efisiensi penggunaan alat angkut. Jumlah personil yang digunakan

sesuai jenis alat dapat dilhat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah personil yang digunakan sesuai jenis alat angkut

No Jenis Peralatan Jumlah Crew Maksimum (orang)

Pola pengelolaan sampah yang dilaksanakan saat ini belum tercapai pola pengelolaan

terpadu dari masyarakat sebagai penghasil sampah dan pemerintah sebagai penyedia dan

pengelola sarana persampahan. Dari sisi masyarakat masih terbentuk presepsi bahwa sampah

adalah bahan yang sudah tidak terpakai dan telah menjadi kewajiban pihak pemerintah untuk

mengelolanya dan membersihkannya.

Pola pendektan baru dalam pengelolaan sampah saat ini telah di konsepkan dalam

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Startegi

Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP). Kebijakan Nasionala

tersebut merupakan reaksi atas pengelolaan sampah di waktu sebelumnya yang dilaksanakan

secara konvensional dan terkesan adanya sekat pemisah antara masyarakat sebagai produsen

sampah dan peran pemerintah sebagai pengelola persampahan.

Dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengolahan Persampahan

(12)

12 pengurangan sampah semaksiamal mungkin dimulai dari sumbernya dengan pola meningkatkan

pemahaman kepada masyarakat tentang upaya 3R (reduce, reuse, recycle) dan mengembangkan

sistem insentif dan disinsentif . Dalam hal partisipasi masyarakat kebijakan yang dituangkan

adalah meningkatkan pemahaman sejak dini, menyebarluaskan pemahaman tentang sampah

kepada masyarakat tentang pengelolaan sampah, meningkatkan pembinaan pengeloaan sampah

khususnya kepada kaum perempuan.

2.6. Perilaku Sebagai Hambatan dalam Pengelolaan Sampah

Masalah pengelolaan sampah di Indonesia merupakan masalah yang rumit karena (Suyono,

2008):

 Cepatnya perkembangan teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk

mengelola dan memahami persoalan sampah.

 Meningkatnya taraf hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan keselarasan

pengetahuan tentang persampahan.

 Kebiasaan pengolahan sampah yang tidak efisien menimbulkan pencemaran udara,

tanah dan air, gangguan estetika dan memperbanyak populasi lalat dan tikus.

 Kurangnya pengawasan dan pelaksanaan peraturan.

 Kurangnya partisipasi masyarakat untuk memelihara kebersihan dan membuang sampah

pada tempatnya (Slamet, 2002).

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa faktor yang lebih dominan menimbulkan hambatan

dalam pengolahan sampah adalah kurangnya pengetahuan tentang pengolahan sampah,

(13)

13 memelihara kebersihan. Keselurahan dari faktor-faktor diatas merupakan bagian dari perilaku,

baik perilaku individu, kelompok maupun masyarakat.

3. GAMBARAN UMUM SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA SURABAYA

Kota Surabaya menerapkan sistem pengelolaan sampah di kotanya dengan cara 3R (reduce,

reuse, recycle). Kunci sukses keberhasilan pengolahan sampah 3R terletak pada peran serta aktif

masyarakat beserta seluruh elemen yang ada. Keterlibatan semua pihak dalam upaya mengurangi

sampah, menjadikan program 3 R dapat berjalan dengan baik. Dengan kata lain pengolahan

sampah 3R merupakan suatu upaya pengolahan sampah yang berbasis partisipasi masyarakat.

Bentuk implementasi 3R di Kota Surabaya dilakukan dalam beberapa program diantaranya

adalah pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas, program composting dll (DKP

Surabaya).

3.1.Pengelolaan Sampah Mandiri Berbasis Komunitas

Pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas dilakukan melalui upaya pengurangan

sampah mulai dari sumbernya dengan melakukan pemilahan sampah basah dan kering, dimana

sampah basah akan diolah menjadi kompos dan sampah kering dijual kepada pemulung untuk

dijadikan bahan daur ulang. Pengelolaan sampah mandiri juga mengupayakan adanya

penghijauan kampung dengan memanfaatkan sampah yang ada (DKP, Surabaya).

Pelaku pengelolaan sampah pada pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas ini adalah

masyarakat, pemerintah, PKK, LSM, swasta, dan Media massa. Kegiatan yang dilakukan

meliputi :

1. Sosialisasi / Penyuluhan

 Sebagai bentuk penyadaran dan perubahan pola pikir warga terhadap sampah

 Sosialisai bisa dilakukan oleh dinas, PKK maupun LSM (Sosialisasi di 163 Kelurahan dan 31 Kecamatan)

2. Pembentukan kader lingkungan, melalui 2 sistem yaitu :

a. Sistem Fasilitator

 Unsur tokoh masyarakat yang peduli terhadap lingkungan

(14)

14

 Monitoring dan pelatihan fasilitator dilakukan oleh Pemerintah LSM dan media masa

 Selanjutnya fasilitator ini yang bertugas untuk membentuk kader-kader lingkungan.

Gambar 1

Skema sistem fasilitator (Sumber, DKP Kota Surabaya)

b. Sistem Kader

 Kader lingkungan bertugas memotivasi warga dan menggerakkan warga di lingkungannya.

 Jumlah kader lingkungan 3844 orang yang sudah dilantik 1500 orang.

 Dipilih dari anggota PKK

 Tiap satu dasawisma dipilih satu orang kader lingkungan.

(15)

15 Gambar 2

Skema sistem Kader (Sumber, DKP Kota Surabaya)

3. Pendampingan warga

 DKP bekerjasama dengan LSM untuk melakukan pendampingan warga (Bangun Pertiwi, Sahabat Lingkungan, Pusdakota, BLTKI, dll)

4. Pembagian sarana kebersihan

 Pembagian tong komposter ( tahun 2006 = 304 unit )

 Keranjang Takakura ( sampai dengan Oktober 2007 = 4166 unit )

 Gerobak ( tahun 2006 120 unit )

 Pembangunan rumah kompos 5. Operasi yustisi kebersihan

6. Menggandeng media masa untuk program Green & Clean Merdeka dari sampah

Implementasi program pengurangan sampah mulai dari sumbernya (program 3R) di Kota

Surabaya adalah :

 Implementasi Pengelolaan Sampah Mandiri yang telah dilaksanakan pada 65 kelurahan terdiri atas 750 RT dan RW di seluruh Kota Surabaya.

(16)

16

Jumlah penerima keranjang Takakura dari PKK Kota sejumlah 5160 orang tersebar di seluruh Kota Surabaya

 Jumlah kader lingkungan 6000 kader lingkungan

 Penghargaan inisiasi dari masyarakat seperti green and clean, merdeka dari sampah

 Pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas di 163 kelurahan (masing-masing kelurahan harus ada minimal 1 wilayah yang sudah mengolah sampahnya)

Tabel 2

Keberhasilan Kelurahan Dan Kecamatan Yang Telah Melaksanakan Pengelolaan Sampah Mandiri

(17)

17 3.2.Program Komposting

Program composting merupakan upaya pengurangan sampah yang dibuat melalui strategi

pembuatan pupuk kompos yang dilakukan oleh kalangan masyarakat mapun swasta.

Langkah-langkah dalam program composting adalah :

1. Pengembangan Rumah Kompos di beberapa wilayah

2. Pengembangan wilayah yang melakukan pengelolaan sampah mandiri

3. Pembentukan/penambahan kader lingkungan di seluruh wilayah pengelolaan

5. Peningkatan partisipasi masyarakat dan swasta dalam peningkatan kualitas

lingkungan kota

6. Perbaikan manajerial pengelolaan sampah 24 jam

10 lokasi = RK Wonorejo,UDPK Bratang, Depo Kejawan Putih Tambak, RK LPS

Keputran, Depo Bibis karah, RK/LPS Tenggilis Utara,RK Rungkut Asri,RK Menur, RK

(18)

18 Tabel 3.

Pengolahan Sampah di 9 Rumah Kompos

Sumber :DKP Kota Surabaya

(19)

19 Gambar 4. Rumah Kompos Kejawen Putih (Sumber, DKP Kota Surabaya)

(20)

20

4. ANALISIS MANAJAMEN PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA SURABAYA

4.1. Analisis Permasalahan Dalam Pengelolaan Sampah di Kota Surabaya

Sistem pengelolaan sampah di Kota Surabaya sudah tergolong dalam sistem pengelolaan

sampah yang tepat dan layak jadi percontohan tapi belum berarti sistem pengelolaan yang ada

saat ini sudah bebas dari masalah atau kendala yang ada. Dari beberapa literatur dapat

diidentifikasi beberapa permasalahan pengelolaan sampah yang ada saat ini yaitu :

1. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan

(sampah liar, pembuangan sampah di saluran/got/sungai)

2. Keberadaan PKL dan pasar disepanjang trotoar/tepi jalan yang berpotensi menimbulkan

sampah liar

3. Produk kemasan yang tidak bisa di recycle/reuse/reduce

4. Kurangnya pengetahuan mengenai teknologi pemanfaatan sampah yang sederhana

dengan hasil yang layak jual.

4.2. Analisis Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah di Kota Surabaya

Sistem pengumpulan sampah adalah cara atau proses pengambilan sampah mulai dari

tempat pewadahan/penampungan sampah dari sumber timbulan sampah sampai ke Tempat

Pembuangan Sementara (TPS) dengan sistem tak langsung atau ke Tempat Pemrosesan Akhir

(TPA) dengan sistem langsung. Istilah pengumpulan meliputi (Pandebessie, 2005):

 Mengumpulkan (gathering) atau mengambil (pick up) sampah dari berbagai macam sumber.  Mengangkut (hauling) sampah-sampah ke lokasi dimana isi dari alat pengumpul

dikosongkan.

 Membongkar muatan (unloading) alat pengumpul.

Pada umumnya pengumpulan sampah dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu :

a. Dengan cara door to door (individual)

Pengumpulan dilakukan oleh petugas kebersihan dengan cara mendatangi tiap-tiap

rumah tangga/penghasil sampah. Daerah yang dilayani dengan cara door to door,

yang umum cara ini diterapkan pada daerah permukiman yang sudah teratur,

bangunan pertokoan, perkantoran dan sebagainya

(21)

21 Pengumpulan sampah dilakukan sendiri oleh masing-masing rumah tangga ketempat

yang telah disediakan. Daerah yang dilayani umumnya daerah permukiman yang

belum diatur (daerah kumuh).

Dalam sistem pengelolaan sampah di Kota Surabaya sistem pengumpulan dilakukan baik

secara door to door (individual) maupun dengan cara komunal. Sistem pengumpulan sampah di

kota Surabaya dibedakan atas beberapa golongan yaitu sampah dari permukiman, penyapuan

jalan dan masyarakat dikumpulkan dengan cara individual, sedangkan sampah dari Pasar,

industry, pelabuhan, Rumah sakit, penghasil sampah lainnya > 2,5 m3 dilakukan dengan cara

komunal.

Sedangkan pengangkutan sampah merupakan aspek penting dalam pengelolaan sampah,

dimana pengangkutan adalah kegiatan operasi yang dimulai dari titik pengumpulan terakhir dari

siklus pengumpulan sampai ke TPA pada pengumpulan dengan pola individual langsung atau

dari tempat pemindahan (transfer depo/transfer station) penampungan sementara (TPS, LPS, TPS

3R) atau tempat penampungan komunal sampai ke tempat pengolahan/pembuangan akhir (TPA).

Di kota surabaya pengankutan sampah dilakukan dengan beberapa cara yaitu pengangkutan

secara individual maupun komunal. Pengangkutan secara individual dilakukan oleh petugas

sampah menggunakan gerobak sampah maupun kendaraan angkutan sampah lainnya. Sedangkan

pengangkutan sampah secara komunal dilakukan sendiri oleh penghasil sampah. Untuk lebih

jelasnya mengenai sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah di kota surabaya dapat dilihat

pada gambar berikut.

Gambar 6. Sistem Pengumpulan & Pengangkutan Sampah

(22)

22

4.3. Analisis Ekonomi Dalam Pengelolaan Sampah Di Kota Surabaya

Analisis ekonomi perlu dilakukan khususnya proyek-proyek yang dibiayai dari dana

pemerintah (pusat atau daerah). Tujuan utama dari analisis ekonomi adalah (Suripin, 2004):

1. Melakukan identifikasi tingkat kelayakan suatu proyek secara ekonomis, atau dengan

kata lain melakukan penilaian apakah investasi yang ditanamkan akan memberikan

manfaat ekonomi yang cukup

2. Melakukan penilaian seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh oleh penerima

manfaat (dalam hal ini masyarakat) jika dibandingkan dengan tanpa proyek

3. Melakukan justifikasi terhadap biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan proyek

tersebut dan kemungkinan pengembalian investasi (cost recovery) dalam kaitannya

dengan pembayaran kembali pinjaman dari pihak donor

4. Melakukan identifikasi tehadap resiko-resiko yang mungkin akan menjadi kendala bagi

proyek untuk mencapai tujuan yang diprogramkan.

Dalam sistem pengelolaan sampah di Kota Surabaya melalui pemilahan limbah

pembuangan dan pengolahan sampah organik di rumah kompos, bank sampah bisa mendapat

keuntungan antara Rp150-Rp200 juta per bulan. Hal ini bisa menghemat biaya operasional

terkait limbah hingga 50 persen, karena limbah tidak masuk ke Tempat Pembuangan Akhir

(TPA) sampah. Dinas Kebersihan dan Pertamanan sendiri mampu menghemat anggaran hingga

Rp 2 miliar per tahun untuk merawat ruang terbuka hijau (RTH) yang dimilkinya. Kebutuhan

anggaran itu terkait perawatan khusus terhadap RTH yang dimaksud. Dari pengolahan limbah

organik, perharinya DKP mampu menghasilkan 1.000 liter pupuk kompos cair, dan 15 meter

kubik pupuk kompos padat. Hal ini menyebabkan kesuburan tanah dan taman tetap bisa dijaga

setiap harinya, dan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun untuk pembelian pupuk.

4.4. Analisis Peran Serta Berbagai Elemen Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Di Kota Surabaya

Mubiyarto (1985) mendefinisikan peran serta sebagai kesediaan untuk membantu

berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan

(23)

23 merupakan suatu permasalahan yang kompleks dan penanganannya harus berdasarkan situasi

dan kondisi setempat. Tahap-tahap partisipasi masyarakat dapat dinyatakan dalam bentuk tangga

peran serta masyarakat, yang terdiri dari: edukasi, umpan balik informasi (information feedback),

konsultasi, perencanaan bersama (joint planning), mediasi, litigation, dan resolusi/preventif

(Connor, 1988). Peran masyarakat merupakan suatu hal yang penting dalam pembangunan agar

tujuan yang ingin dicapai dari suatu program dapat termanfaatkan serta tepat sasaran.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menganut sistem desentralisasi yang

memberikan kewenangan kepada Kepala/Pimpinan Daerah dan Kota untuk menyelenggarakan

pembangunan secara efektif dan mandiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. Hal

ini berarti pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan yang

efektif dan selaras dengan kebutuhan. Menurut FAO (1991) peran serta masyarakat dalam

pembangunan adalah hak asasi, sehingga masyarakat sesungguhnya wajib mendapat kesempatan

untuk berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan itu sendiri. Sehingga masyarakat dapat

mengkomunikasikan keinginannya dan ikut melakukan control terhadap kegiatan pembangunan

(Hanafi, 1996).

Peran serta elemen masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kota Surabaya dapat dilihat

sebagai berikut :

a. Masyarakat

- Berpartisipasi dalam penghijauan (GSP, SAJISAPO, Ayo Menjadi pahlawan lingkungan)

- Berpartisipasi dalam pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas.

b. Swasta

- Berpartisipasi dalam penyediaan sarana dan prasarana kebersihan

-Berpartisipasi dalam pendampingan warga khususnya di bidang kebersihan melalui

yayasan yang dibentuknya (mis. PT Unilever)

- Berpartisipasi dalam penghijauan kota (mis. PT Pakuwon Jati)

(24)

24 c. Pemerintah Kota

- Menyediakan sarana dan prasarana yang optimal kepada warga

- Memberikan sosialisasi kepada warga di bidang kebersihan dan pertamanan

- Memberikan pelayanan prima kepada warga dalam bidang kebersihan dan pertamanan

d. Perguruan Tinggi

- Bekerjasama dalam hal memberikan pelatihan/Technical assistance

- Mulai melakukan pengelolaan sampah di lingkungan kampus (ITS, UNAIR)

- Melalui yayasan/LSM yang dibentuk memberikan kontribusi terhadap pengelolaan lingk (PUSDAKOTA – UBAYA)

e. LSM

- Berpartisipasi dalam pendampingan warga khususnya di bidang kebersihan bekerjasama

dengan Pemerintah kota (LSM Bangun Pertiwi, LSM Tunas Hijau, LSM Sahabat

Lingkungan, LSM Pusdakota, Uli Peduli, Bina Mandiri, Yayasan Rumpun Bambu)

- Memberikan sosialisasi warga dalam bidang kebersihan dan pertamanan.

4.5. Analisis Kelembagaan Sistem Pengelolaan Sampah

Lembaga Pengelola dapat dilaksanakan oleh masyarakat (mandiri), masyarakat di bawah

yayasan, pengurus tingkat:Rt/RW dan desa dengan pengurusan berdasarkan kesepakatan

masyarakat yang diiaksanakan dalam rembug warga. Bentuk-bentuk kelembagaan tergantung

pada kondisi dan situasi kebutuhan yang ada di masyarakat. Struktur organisasi pengelola yang

ada di masyarakat sifatnya fungsional dan teknis operasional, bukan struktural, walaupun bersatu

dengan organisasi kepengurusan RT/RW dan kelurahan/desa. Baik seluruhnya atas inisiatif

warga dari pembangunan sampai pengelolaan maupun yang dibangun stimultan oleh pihak

pemerintah/swasta, namun pengelolaannya tetap dilakukan oleh masyarakat, keputusan tertinggi

ada pada hasil musyawarah warga masyarakat.

Dalam program pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas dibentuk kader-kader

lingkungan dengan dua sistem yaitu sistem fasilitator dan sistem kader yang bertugas untuk

memonitor, memotivasi dan menggerakan warga yang ada dilingkungan terkait perilaku

penanganan sampah. Kader lingkungan ini nantinya bertanggungjawab kepada LSM yang

(25)

25 kepada instansi terkait pengelolaan sampah di Kota Surabaya yaitu Dinas Kebersihan dan

Pertamanan (DKP)

Pada pengelolaan sampah, masyarakat membentuk kelembagaan pengelola yang terdiri

dari fungsi-fungsi sebagai berikut:

1. Fungsi pengambil keputusan dan pembuat aturan : yang merupakan forum untuk

menetapkan aturan pelaksanaan pengelolaan sampah yang mengacu pada norma,

budaya dan kearifan lokal, dalam pengambilan keputusan berdasarkan aspirasi

masyarakat pengguna prasarana dan sarana persampahan dan mampu dan selalu

berusaha mangajak masyarakat untuk menjaga lingkungannya agar hidup bersih dan

sehat. Forum atau wadah ini berupa badan musyawarah warga masyarakat atau badan

keswadayaan masyarakat atau kader lingkungan atau badan pengawas atau lainnya

sesuai dengan kesepakatan masyarakat, yang menampung segala aspirasi masyarakat

melalui rapat anggota. Kelompok/Badan ini dibantu oleh LSM sebagai pendamping.

2. Fungsi pembinaan, yaitu melaksanakan pembinaan dan menyelesaikan permasalahan

yang timbul dalam pengelolaan sampah, yang dilaksanakan oleh badan pembina pihak

donor dari swasta maupun pemerintah,

3. Fungsi pelaksanaan operasional dan pelayanan, yaitu menjalankan fungsi manajemen

pengelolaan sampah berdasarkan aturan, Fungsi ini dilaksanakan oleh kelompok

masyarakat yang bertanggungjawab (kader lingkungan), dapat berupa badan pengelola,

badan pelaksana, kelompok swadaya masyarakat atau nama lainnya tergantung

kesepakatan masyarakat, yaitu sebagai pelaksana harian pengelolaan sampah dengan

memberikan pelayanan teknis dan administrasi.

Pada umumnya fungsi kelembagaan pengelolaan sampah adalah :

a. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan harian untuk kelancaran

pengelolaan prasarana dan sarana persampahan.

b. Sebagai penanggung jawab teknis operasional pemeliharaan, pelayanan, dan

pengembangan,

c. Menjalankan mengumpulkan iuran, pencatatan administrasi keuangan,

(26)

26

4.6. Analisis Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Air Limbah

1) Pendekatan partisipasi pada proses :

 Tahap perencanaan : pada tahap ini partisipasi masyarakat berupa turut serta dalam penyusun konsep sistem pengelolaan sampah melalui penyampaian kendala-kendala

yang ada dilapangan sehingga menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan dalam

menerapkan sistem pengelolaan yang tepat guna mengatasi masalah di lapangan.

 Pada tahap penyiapan program melibatkan RT dan RW

 Pada tahap operasi pengelolaan yang berperan adalah lembaga paguyuban atau lembaga masyarakat lainnya.

2) Pola partisipasi

 Pada saat mobilisasi tenaga, menggunakan tenaga setempat.

 Untuk mobilisasi dana diusahakan swadaya masyarakat, namun tidak menutup kemungkinan adanya bantuan dari pihak luar, atau stimulan dari pihak pemerintah

maupun swasta.

 Untuk kebutuhan bahan, diusahakan memobilisasi bahan dari dalam negeri atau bahan setempat, namun tiidak menutup kemungkinan untuk penggunaan bahan dari luar

negeri.

 Proses pengadaan lahan tidak sulit, baik lahan pemda maupun masyarakat pemilik lahan. Contoh yang nyata adalah sistem komposing yang diterapkan di masyarakat,

subsidi terbesar dari Pemerintah di bawah program, tetapi hanya sedikit melibatkan

masyarakat di dalam pembuatan rancangan atau keputusan.

3) Media partisipasi

Media partisipasi melalui institusi formal lewat RT, dan melalui LSM serta perguruan

tinggi

4) Partisipasi masyarakat sebagai konsumen

Partisipasi dalam pengelolaan dan pemeliharaan, setiap masyarakat membantu menjaga

(27)

27

5. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas tampak bahwa kebijakan manajamen pengelolaan sampah berbasis

partisipasi masyarakat di Kota Surabaya sebenarnya sudah ditangani dengan konsep yang arif

dan tepat oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan dan konsep pengelolaan. Secara

ekonomis sistem pengelolaan sampah di Kota Surabaya melalui pemilahan limbah pembuangan

dan pengolahan sampah organik di rumah kompos, bank sampah bisa mendapat keuntungan

antara Rp150-Rp200 juta per bulan dan mampu menghemat anggaran hingga Rp 2 miliar per

tahun untuk merawat ruang terbuka hijau (RTH) yang dimilkinya dengan memanfaatkan sampah

organic yang ada sebagai pupuk kompos.

Peran masyarakat merupakan suatu hal yang penting dalam pembangunan agar tujuan yang

ingin dicapai dari suatu program dapat termanfaatkan serta tepat sasaran. Masyarakat

sesungguhnya wajib mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam melaksanakan

pembangunan itu sendiri. Sehingga masyarakat dapat mengkomunikasikan keinginannya dan

ikut melakukan control terhadap kegiatan pembangunan. Peran serta elemen masyarakat dalam

pengelolaan sampah di Kota Surabaya antara lain berpartisipasi dalam penghijauan,

berpartisipasi dalam pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas, berpartisipasi dalam

penyediaan sarana dan prasarana kebersihan, berpartisipasi dalam pendampingan warga

khususnya di bidang kebersihan melalui yayasan yang dibentuknya, berpartisipasi dalam

penghijauan kota, berpartisipasi dalam pembuatan dan pemeliharaan taman kota, berpartisipasi

dalam pendampingan warga khususnya di bidang kebersihan bekerjasama dengan Pemerintah

kota, dsb.

Secara kelembagaan dalam pengelolaan sampah di surabaya dibentuk kader-kader

lingkungan dengan dua sistem yaitu sistem fasilitator dan sistem kader yang bertugas untuk

memonitor, memotivasi dan menggerakan warga yang ada dilingkungan terkait perilaku

penanganan sampah. Kader lingkungan ini nantinya bertanggungjawab kepada LSM yang

melakukan pendampingan di lokasi tersebut. LSM ini kemudian mempunyai tanggungjawab

kepada instansi terkait pengelolaan sampah di Kota Surabaya yaitu Dinas Kebersihan dan

Pertamanan (DKP)

Namun dari sistem pengelolaan yang tergolong sudah cukup baik saat ini masih terdapat

beberapa permasalahan pengelolaan sampah yaitu Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk

(28)

28 Keberadaan PKL dan pasar disepanjang trotoar/tepi jalan yang berpotensi menimbulkan sampah

liar; Produk kemasan yang tidak bisa di recycle/reuse/reduce; dan Kurangnya pengetahuan

mengenai teknologi pemanfaatan sampah yang sederhana dengan hasil yang layak jual.

Rekomendasi :

1. Mengadakan penambahan Rumah Kompos di beberapa wilayah

2. Pengembangan wilayah yang melakukan pengelolaan sampah mandiri

3. Pembentukan/penambahan kader lingkungan di seluruh wilayah pengelolaan

4. Menjadikan Kota Surabaya sebagai kota percontohan pengelolaan sampah mandiri

5. Peningkatan partisipasi masyarakat dan swasta dalam peningkatan kualitas lingkungan

kota

6. Perbaikan manajerial pengelolaan sampah 24 jam

7. Penambahan teknologi pengolahan sampah terutama bagi sampah yang tidak bisa di

(29)

29

Daftar Pustaka

Bebassari, S. 1996. Pengaruh Sistem Pengumpulan Sampah terhadap Partisipasi Masyarakat Studi Kasus Pemilahan Sampah di Rumah Susun Klender Jakarta Timur. [Tesis] Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Jakarta.

Bebassari, S. 2004. Sistem pengelolaan sampah kota secara terpadu. Di dalam Pelatihan Teknologi Pengolahan Sampah Kota secara Terpadu menuju Zero Waste. Jakarta 5-7 Oktober 2004.

Djajanegara, S. 2004. Kajian Pengelolaan Sampah di Jawa Barat,. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Qomari, A., R. Ghazali, S. Rochadi, Zulkarnaen, and N. Saribanon. 2004. Perubahan Perilaku Sosial Pasca krisis. P3KS Depsos RI. Jakarta.

Rusmendro, H. 2003. Sampah Kota, Persoalan dan Pemecahannya. Fakultas Biologi UNAS. Jakarta.

Soemarwoto, O. 10 Juli 2006. Sampah, Energi atau Kompos? Pikiran Rakyat : 28 (kolom 3-8).

Soemarwoto, O. 1997. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Bandung.

Sutanto, HHMHB. 2006. Konsep Spasial Persampahan1C-2FT.RSL dan Perkebunan Energi Jatropha curcas, Kombinasi Konsep untuk Mewujudkan Eco-City di Indonesia. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 7 No. 1. Hal. 71-79.

http://www.deliknews.com/2015/10/07/surabaya-hemat-rp2-miliar-dari-pengolahan-sampah/

http://www.mongabay.co.id/2014/02/27/surabaya-kota-percontohan-pengolahan-sampah-terbaik-indonesia/

https://pengembanganperkotaan.wordpress.com/2011/11/09/manajemen-kota/

Gambar

Tabel 1.  Jumlah personil yang digunakan sesuai jenis alat angkut
Gambar 1
Skema sistem Kader (Gambar 2 Sumber, DKP Kota Surabaya)
Tabel 2 Keberhasilan Kelurahan Dan Kecamatan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 5 Tahun 1999 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran

Dalam aplikasi ini telah ditunjukkan hasil- hasil dari model Poisson Bayes berhirarki dua-level dengan menggunakan dua buah sebaran prior yang berbeda, yaitu prior gamma dan

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai t hitung pengaruh variabel kualitas pelayanan (SQ) terhadap loyalitas (L) adalah sebesar 3,96, oleh karena nila t hitung

b) Desain kontrol optimal PSS dan FACTS menggunakan Craziness Particle Swarm Optimization (CRPSO) pada sistem interkoneksi Jawa-Bali 500 kV [8], didapatkan hasil penalaan

Berdasarkan hasil simulasi HYSYS dimana disebutkan detail peralatan yang akan digunakan meliputi jenis dan kapasitas termasuk informasi kapasitas produksi terpasang baik untuk

1) Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif. 2) Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang

Gambar 7 Hubungan beban dan keluaran sensor Hasil desain large deformation sensor pada gambar diatas digunakan untuk pengujian model submersed floating tunnel, dimana salah

hydrophila baik dengan penambahan vitamin C dan adjuvant maupun yang tidak, dapat meningkatkan respons imun lele dumbo berupa titer antibodi, sintasan, dan pertumbuhan