BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan realisasi pasar bebas di
Asia Tenggara yang telah dilakukan secara bertahap bermula KTT ASEAN di
Singapura pada tahun 1992.1 Para pemimpin ASEAN telah mendeklarasikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai tujuan akhir integrasi ekonomi
regional ASEAN sebagai bentuk tindaklanjut dari visi ASEAN 2020.2 Indonesia saat ini berada pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN
Economic Community (AEC) yang sebelumnya telah disebutkan dalam
Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation pada tahun 1992 . Pada pertemuan tingkat Kepala Negara mengumumkan pembentukan suatu
kawasan perdagangan bebas di ASEAN (AFTA) dalam jangka waktu 15 tahun.
Kemudian dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun 2003 dan pada
akhirnya dipercepat kembali menjadi tahun 2002,3 yang ditandai dengan pergerakan arus barang , jasa , investasi dan modal yang bebas tanpa hambatan4
Sjamsul Arifin et.al (I), Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)2015, (Jakarta:PT.Elex Media Komputindo,2008),hlm. 37.
3
4
MEA merupakan suatu bentuk integrasi masyarakat ASEAN dimana
adanya perdagangan bebas diantara anggota - anggota ASEAN yang telah
disepakati bersama negara - negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Kamboja, Vietnam, Laos, dan
Myanmar, untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur dan
kompetitif. Tujuan dibentuknya MEA yaitu untuk meningkatkan stabilitas
perekonomian dikawasan ASEAN, serta diharapkan mampu mengatasi
masalah-masalah dibidang ekonomi antar negara-negara ASEAN.5 Di samping itu era MEA juga diharapkan juga akan terjadi pembangunan ekonomi yang setara serta
pengurangan kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi 6
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada
penjualan produk antar negara tanpa tarif ekspor-impor atau hambatan
perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat didefinisikan sebagai tidak adanya
hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan
antara individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara
berbeda. Dengan berlakunya era MEA maka persaingan usaha akan semakin ketat , maka dari itu negara
- negara anggota MEA tersebut telah sepakat untuk mengubah wilayah ASEAN
menjadi kawasan bebas aliran barang, jasa, investasi, permodalan, dan juga tenaga
kerja. Untuk mengahadapi era perdagangan bebas seperti saat ini , salah satu cara
untuk mampu bersaing adalah dengan mengahasilkan produk berupa barang dan
jasa yang berkualitas agar produk yang dihasilkan dapat bersaing dengan barang
yang diproduksi oleh negara lain.
5 Op. Cit.
6Ibid
sehingga para pelaku usaha harus mampu bersaing dengan sesama pelaku usaha
dari negara anggota MEA lainnya.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha , baik
yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi7. Pada dasarnya para pelaku usaha memproduksi produk yang dapat diklasifikasikan
kedalam dua kelompok yaitu berupa barang dan jasa. Produk ialah segala sesuatu
yang dapat ditawarkan ke pasar untuk diperhatikan , dimimliki ,digunakan, atau
dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen. Menurut
Fandy Tjiptono produk diklasifikasikan kedalam dua kelompok : 8 1. Barang
Barang merupakan produk yang berwujud fisik, sehingga bisa dilihat, diraba,
disentuh, dipegang, dan perlakuan fisik lainnya.
a) Barang yang terpakai habis atau tidak tahan lama adalah barang
berwujud , biasanya habis dikonsumsi dalam satu atau beberapa
kali pemakaian normal kurang dari satu tahun.
b) Barang tahan lama merupakan barang berwujud yang tidak bias
bertahan sesuai umur ekonomisnya. Umumnya barang seperti ini
membutuhkan jaminan / garansi tertentu dari penjualnya.
2. Jasa
7
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 Angka 3.
8
Jasa merupakan aktivitas, manfaat, atas kepuasan yang ditawarkan untuk
dijual. Contohnya bengkel reparasi, salon kecantikan, hotel, dan lain-lain.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal9
Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan yang wajib di Indonesia
karena sebagian besar masyarakat di Indonesia didominasi oleh umat Muslim,
maka dari itu kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan yang penting untuk
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dalam era MEA negara-negara ASEAN
telah mempersiapkan strateginya. Tak dapat dipungkiri bahwa arus ekonomi
memiliki peluang yang besar terjadi di era ini. Salah satu hal yang penting adalah ,
sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan pada label produk yang
dipasarkan. Hal ini bertujuan agar konsumen lebih merasa aman dalam
mengkonsumsi dan menggunakan produk tersebut. Selain itu, konsumen juga
mendapatkan jaminan bahwa produk tersebut tidak mengandung sesuatu yang
tidak halal dan diproduksi dengan bahan dan melalui proses yang halal serta
beretika. Karena bahan dan proses merupakan hal terpenting dalam suatu produk
halal, maka produk halal tidak dapat dipisahkan dari bahan-bahan yang halal juga,
namum bahan halal saja tidak cukup, harus pula diikuti dengan proses
pembuatannya. Proses pembuatan produk halal harus benar-benar jauh dari
hal-hal yang bersifat haram dalam arti kata proses pengelolaannya harus dibuat
benar-benar bersih dari zat-zat yang mengandung unsur haram.
9
mengenai ketersedianya produk halal. Untuk itu dibutuhkan kesiapan badan
sertifikat halal dalam memberikan jaminan produk halal kepada masyarakat.
Pembentukan lembaga ini adalah tanggung jawab pemerintah terhadap
masyarakat muslim dalam mentaati ajaran agamanya. Seperti pada Negara
Malaysia, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) diputuskan menjadi
satu-satunya lembaga halal di Malaysia. Hal ini dilakukan demi mengefektifkan
standard halal dan mencegah kebingungan diantara kaum muslimin pada logo
halal. Dewan Agama Islam dan JAKIM akan menjadi satu-satunya lembaga yang
bertanggung jawab dalam mengeluarkan sertifikasi halal. 10
Perihal kehalalan produk juga diatur di Negara Thailand. Untuk menjamin
kelancaran dan efisiensi urusan Halal Manajemen, dan untuk mengatur ukuran dan kontrol kualitas produk halal dan penggunaan logo halal, Komite Pusat
Thailand telah mengeluarkan sebuah peraturan berupa Regulation of the Central Islamic Committee of Thailand Concering Halal Affair Operation of B.E 2552.
Di Negara Singapura,
perihal kehalalan adalah sesuatu yang penting untuk diterapkan, salah satu
alasannya adalah dikarenakan kejelian masyarakat yang semakin peka terhadap
kehalalan suatu produk. Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) adalah lembaga
yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal yang memegang penuh otoritas
beragama Islam di Singapura.
11
10
Anonim
Kemudian, Negara Brunai Darussalam juga merupakan negara di kawasan
ASEAN yang serius dalam pengaturan mengenai produk halal. Negara yang
2016).
11
terletak di pantai utara Pulau Kalimantan tersebut saat ini sedang membangun
konsentrasi terbesar perusahaan yang memproduksi produk halal di dunia melalui
Brunei Biolnnovation Corridor (BIC) yang dibentuk untuk mempromosikan perkembangan industri halal bersertifikat di Brunei dan berfokus pada produk
makanan, kosmetik, farmasi, biotekologi dan logistik halal. 12 Hal serupa juga diatur pada negara anggota ASEAN lainnya seperti Kamboja. Sertifikasi dan
pelayanan halal diterbitkan oleh Dewan Tertinggi Untuk Agama Islam Negeri
Kamboja (Mufti Kamboja). Lembaga ini bertujuan untuk memastikan bahwa umat
Islam mengonsumsi produk halal dan sesuai dengan standar Islam. Di Vietnam,
lembaga halal bernama Halal Vietnam (HVN) yang menawarkan sertifikat halal
pada produk makanan. HVN memiliki tugas utama untuk memberikan merek
halal pada produk dan jasa dari perusahaan publik. Negara Laos tidak memiliki
lembaga sertifikat halal, akan tetapi dalam pengaturan tentang label dan kemasan
pangan disebutkan bahwa simbol atau logo yang diakui oleh agama seperti halal
dapat digunakan. Kemudian Negara Myanmar, negara ini merupakan negara yang
minoritas penduduk muslim. Akan tetapi untuk melindungi masyarakat muslim,
pengaturan mengenai kehalalan pada produk terkhusus makanan, Negara
Myanmar banyak memiliki rumah makan halal.13
Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa Negara berkewajiban
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
12
Anonim, 13
untuk mewujudkan kesejahteraan umum14
Seiring dengan semakin mudahnya produk-produk asing masuk ke
wilayah Indonesia terkait era MEA, namun tidak juga membuat segala jenis
produk-produk tersebut bebas beredar dikarenakan kehalalan suatu produk
menjadi kebutuhan yang wajib bagi umat muslim baik itu makanan, obat-obatan
maupun barang-barang konsumsi lainnya. Maka dari itu diperlukan jaminan
produk halal untuk mendapatkan jaminan bahwa produk tersebut tidak
mengandung sesuatu unsur yang tidak halal dan di proses dengan cara yang halal
juga. Oleh karena itu untuk melindungi konsumen muslim tersebut, dibentuklah
suatu Undang-Undang untuk sebagai dasar legalitas atas produk halal yaitu
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam
Undang-Undang Jaminan Produk halal, yang dikatakan sebagai produk adalah
Barang dan/atau Jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik,
produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetika, serta barang gunaan
yang dipakai, digunakan, dimanfaatkan oleh masyarakat.
. Landasan ini juga dipertegas dalam
Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) yakni pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
15
14
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia1945,Pasal 29. 15
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1,angka 1.
Pencantuman label halal adalah tanda kehalalan suatu produk.16
Industri Farmasi adalah industri obat jadi dan industri baku obat . Obat
merupakan suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan
badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau Hal ini
bertujuan agar konsumen lebih merasa aman dalam mengkonsumsi dan
menggunakan produk tersebut. Sedangkan bagi produsen atau pelaku usaha,
pencantuman label halal dapat membangun kepercayaan dan loyalitas konsumen
terhadap produk tersebut karena produk yang bersertifikat halal lebih memiliki
keunggulan kompetitif dibandingkan dengan produk yang tidak mencantumkan
label halal tersebut. Tujuan dari Jaminan Produk Halal tersebut pada dasarnya
untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan
menggunakan produk, dan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk
memproduksi dan menjual produk halal, oleh karena itu untuk menjamin
dikonsumsinya produk halal bagi masyarakat di Indonesia, maka produk yang
masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikasi
halal termasuk juga dalam perdagangan produk-produk farmasi yang sebagian
besar produk berupa obat-obatan yang masuk di wilayah Indonesia banyak yang
di produksi oleh negara-negara lain.
16
memperindah badan atau bagian badan manusia. 17 Akan tetapi dalam dunia farmasi, banyak pelaku usaha yang memproduksi produk berupa obat yang
mengandung bahan dan/atau dilakukan dengan proses yang tidak sesuai dengan
standar kehalalan berdasarkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal seperti
penggunaan bahan yang berasal dari hewan yang pada dasarnya halal, kecuali
yang diharamkan menurut syariat seperti penggunaan bangkai, darah, babi, dan
hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat. 18 Namun, apabila produsen obat tersebut harus menghilangkan bahan yang mengandung unsur haram dalam
produk obat yang diproduksinya, maka hal tersebut akan mengurangi kualitas dari
produk obat yang dihasilkan. Dengan demikian hal tersebut akan menyebabkan
produsen obat menjadi enggan untuk memproduksi dan memasarkan produk
tersebut karena kualitas dari produk yang dihasilkan tidak maksimal. Namun
mengingat saat ini Indonesia telah memasuki era perdagangan bebas, dimana
pergerakan arus barang, jasa, investasi dan modal yang bebas tanpa hambatan
maka perlindungan hukum bagi pelaku usaha yang memproduksi produk farmasi
pada era MEA dirasa diperlukan. Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan diatas maka penulis tertarik untuk membahas mengenai bagaimana
pengaturan mengenai perdagangan di Indonesia serta perlindungan terhadap
produsen farmasi di era Masyarakat ASEAN dan pengaturan mengenai produk
halal berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal.
17
Definisi Obat,http://WWW.academia.edu/5429948/FENISINI-OBAT (diakses tanggal 6 Maret 2016)
18
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya,
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan perdagangan produk farmasi dalam sistem hukum
Indonesia ?
2. Bagaimana kehalalan suatu produk menurut Undang – Undang Nomor 33
Tahun 2014 ?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap produsen farmasi pada era pasar
tunggal ASEAN ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu
persyaratan akademik sebagai mata kuliah pembulat studi guan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun
disamping Tujuan diatas terdapat tujuan- tujuan lainnya berdasarkan rumusan
masalah diatas. Maka tujuan yaitu :
1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai perdagangan di Indonesia
berdasarkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
2. Untuk mengetahui pengaturan pemberian Jaminan Produk Halal berdasarkan
Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pelaku usaha pada era pasar
Sementara hal yang diharapkan menjadi manfaat dari adanya penulisan
skripsi ini adalah :
1. Manfaat teoritis
Tulisan ini memberikan pengetahuan mengenai perdagangan bebas di
Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan juga mengenai pemberian
jaminan produk halal terkhusus dibidang produk farmasi yang ditinjau dari
Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
2. Manfaat praktis
Uraian dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran, dan menambah wawasan masyarakat untuk dapat mengetahui
tentang perlindungan hukum terhadap produsen farmasi pada era pasar
tunggal ASEAN yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 33 tahun
2014 tentan Jaminan Produk halal. Uraian ini juga sebagai bahan kajian
untuk para akademisi dan para peneliti lainnya yang ingin mengadakan
penelitian yang lebih dalam mengenai pemberian jaminan produk halal.
D. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui keaslian penulisan, dilakukan penelusuran terhadap
berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Dalam penelusuran yang dilakukan, ditemukan salah satu penelitian skripsi
yang telah dilakukan oleh Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
terkait dengan Jaminan Produk Halal yang berjudul Pemberian Jaminan produk
Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal oleh Richard Chandra. Perbedaan
dengan penelitian ini adalah penelitian tersebut mengkaji mengenai aspek
perlindungan terhadap konsumen muslim atas produk yang beredar yang ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Sedangkan penelitian skripsi ini mengkaji mengenai perlindungan hukum
terhadap produsen farmasi pada Era Pasar Tunggal ASEAN atas produk yang
diproduksi melalui Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Apabila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh
orang lain dalam tingkat kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut
dapat diminta pertanggungjawaban.
E. Tinjauan Pustaka
1. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) merupakan konsep yang mulai digunakan dalam
Declaration Of ASEAN Concord II (Bali Concord II), Bali, Oktober 2003. MEA adalah salah satu pilar perwujudan ASEAN Vision, bersama-sama dengan ASEAN Security Community (ASC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Pembentukan MEA dilakukan melalui empat kerangka strategis, yaitu pencapaian pasar tunggal dan kesatuan
basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing, pertumbuhan
ekonomi yang merata dan terintegrasi dengan perekonomian global.
produksi, ditujukan sebagai upaya perluasan melalui integrasi regional
untuk mencapai skala ekonomis yang optimal.
Melalui proses integrasi ekonomi maka ASEAN secara bertahap
menjadi kawasan yang membebaskan perdagangan barang dan jasa serta
aliran faktor produksi (modal dan tenaga kerja), sekaligus harmonisasi
peraturan-peraturan terkait lainnya. 19 2. Pasar Bebas
Definisi Pasar Bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang
mengacu kepada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor impor
atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas juga dapat di
definiskan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang dibuat
pemerintah) dalam perdagangan-perdagangan individual dan
perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.20 3. Pelaku Usaha
Dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menentukan bahwa “pelaku usaha adalah setiap
orang perorangan atau badan usaha ,baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun secara bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Jenis-jenis Pelaku Usaha :
19
Sjamsul Arifin et.al I, Op. Cit, hlm 10. 20
1. Badan Usaha yang berbadan hukum
2. Badan Usaha yang tidak berbadan hukum
Perbedaan dari keduanya yaitu badan usaha yang bukan merupakan badan
hukum tidak dipersamakan kedudukannya sebagai orang sehingga tidak
memiliki kekayaan para pendirinya. 21 4. Produk Halal
Pengertian Halal menurut Departemen Agama yang dimuat dalam
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor.518 Tahun 2001
tentang Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah tidak
mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi
umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan Syariat Islam.
Kemudian proses-proses yang menyertai dalam suatu produk agar
termasuk dalam klasifikasi halal adalah proses yang sesuai dengan standar
halal yang telah ditentukan oleh agama Islam. 22 Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud, meliputi :23
1. bangkai ;
2. darah ;
3. babi ; dan/atau
4. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan Syariat.
21
Irma Devita, ”Kiat-Kiat Cerdas,Mudah,dan Bijak Mendirikan Badan Usaha”, (Bandung:Kaifa, 2010), hlm. 2.
22
Anonim, 23
Kemudian bahan yang berasal dari tumbuhan selama tidak memabukkan
dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengkonsumsinya
adalah halal.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada dalam suatu
penelitian yang berfungsi untuk mengembangakan ilmu pengetahuan.24 Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah bersifat
normatif.25 Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.26
a. Penelitian menarik asas hukum, dimana dilakukan terhadap hukum
positif tertulis maupun tidak tertulis. Penelitian ini dapat digunakan
untuk menarik asas-asas hukum dalam menafsirkan peraturan
perundang-undangan. Selain itu, penelitian ini juga dapat
digunakan untuk mencari asas hukum yang dirumuskan baik secara
tersirat maupun tersurat.
Penelitian
ini merupakan :
24
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III (Jakarta:Universitas Indonesia-press, 1986), hlm.7 .
25
Penelitian Normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang tertulis baik yang dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan maupun dalam bentuk literatur lainnya.
26
b. Penelitian sistematika hukum, dimana dilakukan terhadap
pengertian dasar sistematika hukum yang meliputi subyek hukum ,
hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, maupun
obyek hukum.
c. Penelitian perbandingan hukum, dimana dilakukan terhadap
berbagai sistem hukum yang berlaku di masyarakat.
2. Data penelitian
Penggunaan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini,
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di
perpustakaan. Data sekunder terdiri atas tiga bahan hukum yaitu :
a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan
yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang
berwenang, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014
tentang perdagangan, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan
hukum primer seperti pendapat para ahli hukum.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
bahan hukum sekunder atau dengan kata lain bahan hukum
tambahan.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematika buku-buku, peraturan perundang-undangan
dan sumber lainnya yang berhubungan dengan materi skripsi yang dibahas
dalam skripsi ini
4. Analisis data
Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, ditelaah, dan dianalisis
dengan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu metode yang
menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok
permasalahan. Metode kualitatif yaitu metode analisa data yang
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan
kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang
diajukan.
G. Sistematika Penulisan
Pada dasarnya sistematika penulisan adalah gambaran-gambaran umum dari
keseluruhan isi penulisan skripsi sehingga mudah untuk mencari hubungan antara
satu pokok pembahasan dengan pokok pembahasan yang lain. Hal ini sesuai
yaitu rangkaian beberapa komponen yang satu sama lain saling berkaitan atau
berhubungan untuk terjadinya sutau hal. Skripsi ini disusun dalam lima bab,
dimana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab yang disesuaikan dengan
kebutuhan jangkauan penulisan dan pembahasan bab yang dimaksudkan,
sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut
Bab I, merupakan bab pendahuluan, pada bab ini akan diuraikan secara
umum mengenai alasan-alasan penulis mengambil judul sebagaimana tercantum
diatas, Pokok Permasalah, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II, berjudul Pengaturan Perdagangan Produk Farmasi Dalam Sistem
Hukum Indonesia. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai sistem perdagangan di
Indonesia yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan. Kemudian dalam bab ini juga menjelaskan mengenai pembebasan
bea masuk atas barang impor terkait Era perdagangan bebas serta pengawasan
mengenai pemasukan obat impor oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
Bab III, berjudul Kehalalan Suatu Produk Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam bab ini diawali
dengan penjelasan mengenai pengertian jaminan produk halal. Pada bab ini juga
menguraikan mengenai penjelasan atas bahan dan proses produk yang sesuai
dengan kehalalan yang diatur dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal ,
penjelasan mengenai lembaga penyelenggara jaminan produk halal serta prosedur
sertifikasi dan pengawasan terhadap produk yang beredar agar sesuai dengan
Bab IV, berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Produsen Farmasi Di
Indonesia Pada Era Pasar Tunggal ASEAN Melalui Jaminan Produk Halal. Di
dalam bab ini diawali dengan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
mengenai bidang farmasi. Kemudian pada bab ini dijelaskan mengenai kewajiban
produsen farmasi atas kehalalan produk yang diproduksi serta membahas
mengenai tanggung jawab produsen atas kehalalan produk yang disertifikasikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal, serta
penjelasan bagaimana perlindungan terhadap produsen dalam negeri yang
memproduksi produk-produk farmasi pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) melalui jaminan produk halal.
Bab V, terdiri dari kesimpulan terhadap bab-bab sebelumnya yang telah
diuraikan dan ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran yang dianggap