• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak yang Menyebabkan Kematian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kalianda NO : 463/PID.SUS/2015/PN.Kla)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak yang Menyebabkan Kematian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kalianda NO : 463/PID.SUS/2015/PN.Kla)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah dan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa yang

dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap

anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak

yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak harus meminta. Hal ini

sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh pemerintah

indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang

mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum perlindungan anak,

nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh

kembang, dan menghargai partisipasi anak.1

Negara Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi konvensi

Hak-hak anak dan karena itu mempunyai komitmen menurut hukum nasional

untuk menghormati, melindungi, mempromosikan, dan memenuhi Hak-hak anak

di Indonesia. Konvensi Hak-Hak Anak adalah sebuah perjanjian internasional

yang mengakui hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari anak-anak.

Perjanjian ini diadopsi oleh perserikatan bangsa bangsa pada tanggal 20

November 1989.

Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dengan Keputusan

Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Meskipun

1

(2)

demikian, Indonesia tidak menerima seluruh Pasal KHA (total 54 Pasal). Tujuh

Pasal kunci yang direservasi oleh Indonesia, yaitu Pasal 1 (Definisi), Pasal 14

(hak anak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama), Pasal 16 (hak

privasi), Pasal 17 (hak anak mendapatkan informasi layak anak), Pasal 21

(Adopsi), Pasal 22 (Pengungsi Anak), dan Pasal 29 (tujuan pendidikan). Ketujuh

Pasal ini ditarik oleh Indonesia (Hasan Wirayuda/Menlu Kabinet Indonesia

Bersatu Pertama/Kabinet SBY-JK) pada tanggal 11 Januari 2005.

Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1989 merupakan

perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai Negara

yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang

dimaksud adalah hak asasi untuk anak.2

Dengan diratifikasinya KHA oleh Indonesia, telah memberi warna pada

berbagai kebijakan dan ketentuan terkait dengan anak. Pertama, Adanya

penambahan Pasal 28B ayat (2) pada Undang-Undang Dasar 1945 pada

Amandemen Kedua, yaitu "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,

dan berkembang serta berhak atas perlindungan anak dari kekerasan dan

diskriminasi." Kedua, Presiden Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak yang kini diubah dengan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014. Undang-Undang inilah secara keseluruhan menjamin, menghargai,

(3)

dan melindungi hak anak. Ketiga, Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai lembaga koordinasi

dan advokasi perlindungan anak di Indonesia. Kementerian ini bertugas menyusun

Rencana Aksi Nasional Pembangunan di Bidang Anak. Dan terakhir, Indonesia

membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebagai lembaga

independen untuk menjamin, menghargai, dan melindungi hak-hak anak

sebagaimana yang diatur dalam ketentuan dan prinsip dasar KHA. Lembaga ini

secara bersama-sama bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak dalam rangka menjamin,

menghargai, dan melindungi hak anak, khususnya anak yang terlibat dalam

bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, seperti anak yang bekerja di Jermal,

Pertambangan, Pabrik Sepatu, Prostitusi, dan eksploitasi seksual anak.3

Jadi jika kita melihat Sejarah dari hak anak itu sendiri tidak terlepas dari

beberapa rentang persitiwa berikut :4

a. 1923 : Seorang aktivis perempuan bernama Eglantyne Jeb mendeklarasikan 10

pernyataan hak – hak anak yaitu hak akan nama dan kewarganegaraan, hak

kebangsaan, hak persamaan dan non diskriminasi, hak perlindungan, hak

pendidikan, hak bermain, hak rekreasi, hak akan makanan, hak kesehatan dan

hak berpartisipasi dalam pembangunan.

(4)

c. 1948 : Diumumkan Deklarasi Hak Asasi Manusia.

d. 1959 : PBB mengadopsi Hak – Hak Anak untuk kedua kalinya.

e. 1979 : Disebut juga tahun anak internasional dimana tahun ini juga dibentuk

satu komite untuk merumuskan Konvensi Hak Anak (KHA).

f. 1989 : KHA diadposi oleh majelis umum PBB dan pada tanggak 20

November 1989 dimana KHA berisi 54 pasal.

g. 1990 : Indonesia menandatangani KHA di markas besar PBB di New York.

h. 1990 : Indonesia meratifikasi KHA melalui Kepres No. 36 Tahuun 1990

tanggal 25 Agustus 1990.

i. 1990 : 2 September 1990, KHA disepakati sebagai hukum international.

j. 1999 : Indonesia mengeluarkan UU No.30 tahun 1990 oleh HAM.

k. 2002 : Indonesia mengeluarkan UUPA (Undang – Undang Perlindungan

Anak) No. 23 Tahun 2002 yang terdiri dari 14 Bab dan 93 Pasal.

l. 2014 : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak.

Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki

orang dewasa . Jadi selayaknya hak anak mendapat perhatian dan dukungan yang

sama dengan penerapan hak asasi manusia sebagaimana dengan yang diterapkan

pada manusia dewasa. Perlindungan hak anak, tidak banyak pihak yang turut

memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya

(5)

dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan

kepentingan masa depan anak.5

Banyak pihak yang telah mengangap bahwa hak anak itu penting demi

kelanjutan bangsa dan negara ini, tetapi pada prakteknya hal tersebut masih

merupakan sekedar wacana penghias bibir, banyak kalangan dalam masyarakat,

baik dunia pendidikan, birokrasi yang menyadari betapa pentingnya perlindungan

anak dari pengabaian hak hak mereka, tetapi dalam prakteknya kenyataan tersebut

hanya isapan jempol belaka kalaupun ada masih sebatas wacana atau basa basi

yang menyatakan anak perlu mendapat dukungan, perlindungan, anak perlu

kesempatan untuk mengekspresikan diri dan lain sebagainya, banyak anak yang

dibiarkan sendiri berjuang dalam persoalan kehidupannya, padahal dalam

konstitusi kita (UUD 1945) jelas diamanatkan pada Pasal 28b ayat (2) Setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dan Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin

dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara.6

Anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset

keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di

negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti

eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja. Di

banyak negara, ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat

pembangunan ekonomi yang dilakukan, seperti pekerja anak (child labor), anak

jalanan (street children), pekerja seks anak (child prostitution), penculikan dan

5 Artikel, “Hak Anak”,

http://anakbangsa-ku.blogspot.co.id/2010/11/sayang-anakberikan-hak-mereka.html, diakses pada tanggal 19 Maret 2017 Pukul 23:00 WIB

(6)

perdagangan anak (child trafficking), kekerasan anak (violation) dan penyiksaan

(turtore) terhadap anak. Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak

mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa

diberitakan di media masa. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini

mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18

(delapan belas ) tahun berdasarkan asas asas :7

a. Nondiskriminasi

b. Kepentingan terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak

Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi Orang tua, keluarga dan

masyarakat dan Negara bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak

anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.

Kasus kekerasan pada anak akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa

faktor, diantaranya adalah kesenjangan ekonomi, kurangnya keharmonisan dalam

rumah tangga dan juga rendahnya rasa sosial dalam masyarakat. Tindakan

kekerasan yang dilakukan terhadap anak kebanyakan dilakukan orang dewasa dan

kekerasan tersebut terjadi di lingkungan sekitar anak tersebut yang tak

terhindarkan dan menimbulkan dampak yang negatif bagi anak diantaranya

(7)

berupa trauma bahkan juga sampai menyebabkan kematian. Oleh sebab itu perlu

adanya upaya yang serius dari para penegak hukum dalam memberantas dan

menjerat pelaku kekerasan terhadap anak di bawah umur.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada

anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai

2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus

kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus. 5

kasus tertinggi dengan jumlah kasus per bidang dari 2011 hingga april 2015.

Pertama, anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6006 kasus.

Selanjutnya, kasus pengasuhan 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus, kesehatan dan

napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus. Selain itu, anak

bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokus kekerasan pada anak

ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan

masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi

menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan

keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan

masyarakat. 78.3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar

karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat

kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya.8

Tahun 2016 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat

jumlah anak berhadapan dengan hukum mengalami peningkatan selama periode

8 Davit Styawan, Berita, “

(8)

Januari-25 April 2016. Data KPAI mencatat anak berhadapan hukum total di

bulan Januari-25 April 2016 ada 298 kasus. Ada meningkat 15 persen

dibandingkan dengan 2015. sebanyak 298 kasus itu menduduki peringkat paling

tinggi anak berhadapan dengan hukum, diantaranya ada 24 kasus anak sebagai

pelaku kekerasan fisik. Pada sembilan kelompok kluster, kata dia, anak pelaku

dan korban kekerasan dan pemerkosaan, pencabulan, dan sodomi mencapai

sebesar 36 kasus. Sementara itu, untuk wilayah tertinggi tingkat anak berhadapan

dengan hukum berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi

(Jabodetabek).9

Tahun 2016 juga Indonesia menempati peringkat pertama tingkat

kekerasan pada anak se-Asia Tenggara menurut lembaga internasional PBB,

UNICEF. Peringkat Indonesia berada di atas Singapura dan Thailand Kepala

Program Perlindungan Anak UNICEF, Amanda Bissex mengatakan, jenis

kekerasan verbal seperti bullying di lembaga pendidikan paling mendominasi

kekerasan pada anak Indonesia. Untuk skala dunia kekerasan pada anak di

Indonesia rendah, tetapi di Asia Tenggara menjadi paling tinggi dibanding

Thailand dan Singapura, kekerasan paling banyak terjadi di sekolah seperti bully.

Menurut data yang diperoleh UNICEF, 84 persen anak-anak Indonesia berusia

12-14 tahun telah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan di sekolah. Sebanyak

lebih dari setengah anak laki-laki berusia 13-15 tahun menjadi korban bullying di

9 Glery Lazuardi, Berita, “Angka Kekerasan Terhadap Anak Meningkat”,

(9)

sekolah. Sedangkan 16 persen anak-anak mengalami kekerasa fisik dalam

keluarga.10

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai

macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai

bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam

melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat

perlindungan terhadap dirinya yang dimana dapat menimbulkan kerugian mental,

fisik, dan sosial apabila anak tersebut tidak mendapat perlindungan. Perlindungan

anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis (legal protection).11

Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak terdapat

dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the

Child) Tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 119 negara, termasuk Indonesia

sebagai anggota PBB melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Dengan

demikian, konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat

seluruh warga negara Indonesia. Pada tahun 1999, Indonesia mengeluarkan

Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di

dalamnya juga mengatur tentang hak asasi anak melalui beberapa pasal.

Kemudian, tiga tahun sesudahnya, pemerintah mengeluarkan Undang-undang

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA ini

dimaksudkan sebagai undang-undang payung (umbrella’s law) yang secara

generis mengatur hak-hak anak. Namun, dalam konsiderans hukumnya justru

10 Itsna Diah, Berita, “Hari Anak Sedunia Tingkat Kekerasan Pada Anak Indonesia

Meningkat”, http://www.muslimahdaily.com/news/item/791-hari-anak-sedunia-tingkat-kekerasan-pada-anak-indonesia-meningkat.html, diakses pada tanggal 23 Maret 2017 pukul 22:39 WIB

11

(10)

tidak mencantumkan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai referensi yuridis.

Sumber kesalahannya terletak pada landasan hukum ratifikasi KHA yang

menggunakan instrumen hukum keputusan presiden yang secara hierarki lebih

rendah derajatnya daripada undang-undang. Meskipun demikian, substansi KHA

dapat diadopsi sebagai materi undang-undang, seperti penggunaan asas dan tujuan

perlindungan anak yang ada dalam UUPA.12

Tindakan kekerasan terhadap anak semakin banyak terjadi belakangan ini

bahkan hingga menyebabkan kematian contoh kasus yang masih belum lama

terjadi dan sempat menghebohkan publik yakni kasus Engeline Margriet Megawe,

bocah 8 tahun ditemukan sudah terkubur di pekarangan rumahnya di Jalan Sedap

Malam, Denpasar, 10 Juni 2014. Keluarganya menyatakan anak adopsi itu hilang

sejak pertengahan Mei 2015. Belakangan, ibu angkatnya Margriet Christina

Megawe jadi tersangka bersama pembantunya, Agus Tay Hamba May. Setelah

diotopsi, diketahui bocah itu dianiaya hingga tewas. Terlepas dari kasus di atas

masih banyak lagi kasus kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian,

terutama yang dilakukan oleh orang terdekatnya yakni termasuk dari kalangan

keluarga sendiri seperti ayah atau ibunya sendiri, walaupun tidak semuanya

terekspos media. Hal ini tentu menimbulkan keprihatinan atas rendahnya upaya

perlindungan terhadap hak hidup anak. Tidak peduli apakah itu di kota besar

ataupun di daerah pelosok, terkadang orang dewasa yang berada di lingkungan

sekitarnya kurang peka atau menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa,

sehingga tindakan kekerasan itu terus berulang-ulang terjadi pada anak. Peran

12

(11)

serta masyarakat sekitar serta penegakan hukum yang tegas adalah elemen yang

utama dan yang paling penting demi terciptanya pelaksanaan perlindungan

terhadap anak yang maksimal agar tercapainya kesejahteraan dan kehidupan

terbaik bagi anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis membuat sebuah skripsi dengan

judul : Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kekerasan

Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Putusan No. 463/Pid.SUS/2015/PN.Kla).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka

permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam Hukum

Pidana Indonesia ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kekerasan

terhadap anak yang menyebabkan kematian dalam perkara nomor

463/Pid.SUS/2015/PN.Kla ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana kekerasan

terhadap anak dalam hukum pidana di Indonesia.

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana

kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian.

(12)

1) Manfaat Teoritis

Menambah wawasan serta pengetahuan mengenai tindak pidana

kekerasan, pelaku tindak pidana kekerasan, serta bentuk

pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana kekerasan

terhadap anak yang menyebabkan kematian kepada mahasiswa serta

memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat.

2) Manfaat Praktis

Menjadi masukan, pedoman, serta petunjuk bagi masyarakat khususnya

mahasiswa fakultas hukum dan para penegak hukum, mengenai

problematika yang terdapat dalam sistem hukum dan sistem peradilan

yang ada di indonesia. Serta dapat menjadi bahan perbandingan bagi

penulis lain yang meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul Pertanggungjawaban pidana pelaku

tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian (Studi Putusan Nomor 463/Pid/.SUS/2015/PN.Kla) belum pernah dilakukan sebelumnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

Hal ini didukung dengan hasil pemeriksaan dari Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara (USU). Oleh karena itu, tujuan serta permasalahan

yang diangkat di dalam penulisan skripsi ini merupakan karya asli dari penulis

serta hasil pemikiran Penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang ada,

serta mengutip data dari buku, literatur, pendapat-pendapat ahli, serta peraturan

(13)

skripsi dengan judul dan permasalahan yang sama, dapat dipertanggungjawabkan

oleh Penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Batasan Usia Anak

Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya usia

anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana yang tercantum

dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.13

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 menyatakan, yang

dimaksudkan di dalam undang-undang ini di dalam Pasal 1 poin a. Kesejahteraan

anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin

pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani

maupun sosial; di dalam poin b. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha

kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan

Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Pasal 2, Anak adalah

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum

pernah kawin.

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang,

sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan

belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun. Ketidakseragaman batasan

usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai peraturan perundang-undangan

di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan mengenai batasan yang

13

(14)

mana yang seharusnya digunakan. Berikut di bawah ini beberapa pengaturan

batasan usia anak dan dewasa menurut peraturan perundang-undangan yang ada di

Indonesia, yang juga disarikan dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan

Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan

NLRP :14

Tabel : Batasan Usia Anak Menurut Undang-Undang Yang Berlaku Di Indonesia

No Undang-Undang

Ketenagakerjaan di dalam Pasal 1 angka 8. anak

adalah setiap orang yang berumur di bawah 18

putusan pengadilan menjalani pidana di

LAPAS anak paling lama sampai berumur

(15)

3

putusan pengadilan diserahkan pada negara

untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS

anak paling lama sampai berumur 18

(delapan belas) tahun.

c. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan

orang tua atau walinya memperoleh

penetapan pengadilan untuk dididik di

LAPAS anak paling lama sampai berumur

(delapan belas) tahun yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang disebabkan oleh tindak

pidana.

18 Tahun

18 Tahun

18 Tahun

(16)

4

memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan tentang suatu perkara

pidana yang didengar, dilihat, dan/atau

dialaminya sendiri.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi ManusiaPasal 1 angka 5, anak adalah

setiap manusia yang berumur di bawah 18

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Pasal 1 angka 1, menyatakan bahwa anak adalah

(17)

7

Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 4

huruf h, menyatakan Warga Negara Indonesia

adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang

sah dari seorang ibu warga negara asing yang

diakui oleh seorang ayah Warga Negara

Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu

dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18

(delapan belas) tahunatau belum kawin.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang Pasal 1 angka 5, anak adalah seseorang

yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek), Pasal 330 menyatakan

Yang belum dewasa adalah mereka yang belum

mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan

tidak kawin sebelumnya.

18 Tahun

18 Tahun

21 Tahun

(18)

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 ayat (1)

menyatakan batas umur anak yang mampu

berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,

sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik

maupun mental atau belum pernah

melangsungkan perkawinan.

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa

seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18

(delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun.15

Tiap-tiap negara tidak ada hal yang sama dalam hal menentukan batas usia

anak, misalnya di Inggris batas usia 8 tahun, Denmark 15 tahun. Memang

penentuan batas usia ini dirasakan sanggat penting sehingga pernah diadakan

seminar tahun 1953 di Rio de Janero yang mengambil batas usia 14 tahun, yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan.

(19)

Ketidakseragaman ini juga kita temui dalam berbagai putusan hakim yang

contohnya dikutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur

(Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batasan Umur) terbitan

NLRP berikut ini:16

1. Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli

1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No.

41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143), dalam amarnya

majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah

kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur

21 tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang

belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa

sehingga ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai anak tersebut

berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan

karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk

berbuat dalam hukum.

2. Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/

Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan

pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis

hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah

kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur

18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada

(20)

di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21

Tahun. Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap

mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi

cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47

dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di

bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18

tahun.

3. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/PN. Jaktim

Tanggal 17 Maret 2009(hal. 145). Hakim menggunakan pertimbangan bahwa

batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum

mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan. Dengan mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkan bahwa hakim berpendapat

batasan umur yang digunakan sebagai parameter untuk menentukan

kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18 tahun.

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Kasus tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak, acap kali

kurang memperoleh perhatian publik, karena selain data laporan tentang kasus

child abuse memang nyaris tidak ada, juga karena kasus ini sering kali masih

terbungkus oleh kebiasaan masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai

persoalan internal keluarga, dan tidak layak atau tabu untuk dieskpos keluar

secara terbuka. Seperti dikatakan Harkristuti Harkrisnowo bahwa rendahnya kasus

(21)

disebabkan sering terjadinya penyelesaian kasus semacam ini dilakukan secara

kekeluargaan dalam tingkat penyidikan, sehingga kasus tindak kekerasan yang

dialami anak-anak tidak direkam oleh aparat sebagai tindak pidana. Padahal kalau

mau jujur sebenarnya kasus tindak kekerasan, eksploitasi, dan bahkan tindak

pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kehidupan jalanan di kota

besar yang memang keras, di sektor industri atau dunia ekonomi yang konon

disebut bersifat eksploitatif, melainkan juga dapat ditemui di dunia pendidikan, di

kehidupan sehari-hari masyarakat, dan bahkan di lingkungan keluarga secara

normatif sering dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak.17

Child Abuse didefinisikan sebagai tindakan mencederai oleh seseorang

terhadap orang lain. Child abuse dapat menimbulkan akibat yang panjang,

seorang anak yang pernah mengalami kekerasan, dapat menjadi orang tua yang

memperlakukan anaknyadengan cara yang sama. Child abuse adalah suatu

kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat anak yang

mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan

emosional, dan perkembangan anak secara umum. Sementara menurut U.S

Departement of Health, Education and Wolfare memberikan definisi Child abuse

sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap

anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya

bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan

(22)

Berikut beberapa klasifikasi dari abuse, yaitu :19

1. Emotional Abuse

Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror,

mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak

merasa dirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini

akan menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental dan emosional

anak.Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan

perkembangan. Indikator perilaku kelainan kebiasaan (menghisap, mengigit,

atau memukul-mukul).

2. Physical Abuse

Cedera yang dialami anak bukan karena kecelakaan atau tindakan yang dapat

menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai

tindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya

berupaluka memar, luka bakar atau cedera di kepala atau lengan. Indikator fisik

luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yangtercabut, cakaran.

Indikator perilakuwaspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku

ekstrem seerti agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk

pulang ke rumah, menipu, berbohong, mencuri.

3. Neglect

Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak,

seperti tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan,

19

(23)

atau meninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat

merawatnya. Indikator fisik kelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu

mengantuk, kurangnya perhatian, masalah kesehatan yang tidak ditangani.

Indikator kebiasaan meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya

perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani,

pakaian yang kurang memadai (pada musim dingin), ditinggalkan.

4. Sexual Abuse

Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar

pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada anak.Indikator fisik

kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau darah di baju dalam,

nyeri atau gatal di area genital, memar atau perdarahan di area genital/rektal,

berpenyakit kelamin. Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual

atausentuhan seksual yang tidak sesuai, kurang bergaul dengan teman sebaya,

tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif/berperilaku

yang menggairahkan, penurun keinginan untuk sekolah, gangguan tidur,

perilaku regressif (misal: ngompol).

5. Sindroma Munchausen

Sindroma ini merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit

yangdibuat-buat dan pemberian keterangan palsu untuk menyokong tuntutan.

6. Kelalaian

Kelalaian ini selain tidak sengaja, juga akibat dari ketidaktahuan atau kesulitan

(24)

a. Pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan

gagal tumbuh (failure to thrive), anak merasa kehilangan kasih sayang,

gangguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan.

b. Pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalam risiko untuk

terjadinyatrauma fisik dan jiwa.

3. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah sebuah bentuk tanggungjawab yang

harus dilaksanakan oleh seseorang ataupun subyek hukum yang telah melakukan

tindak pidana. Di dalam bahasa asing, pertanggungjawaban pidana disebut

toerekenbaarheid”, “criminal responsibility” atau “criminal liablity”. Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang

terjadi atau tidak. Seorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika

pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela.20

Seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu :

a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain

harus ada unsur melawan hukum (harus ada unsur objektif)

b. Terhadap pelakunya, terdapat unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan atau

kealpaan. Sehingga perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan (harus

ada unsur subjektif).

20

(25)

Dengan kata lain apakah tersangka atau terdakwa akan dipidana atau

dibebaskan. Jika ia dipidana, tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum

dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan

kesalahan dari si petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya

tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

Bentuk kesalahan yang diakibatkan karena kesengajaan dan kelalaian, tentulah

beda pertanggungjawaban pidananya, maka dari itu untuk memintakan

pertanggungjawaban pidana seseorang, harus memperhatikan berbagai aspek, dan

berbagai unsur. Apakah perbuatan tersebut didasari atas kehendak sendiri/sengaja,

atau perbuatan tersebut merupakan sebuah kelalaian.

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian

pertanggungjawaban dalam hukum pidana, didalamnya terkandung makna dapat

dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu

bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela

atas perbuatannya.

Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan

konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran

kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada

suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran

orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act

does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy.

(26)

memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan

pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).21

Moeljatno berpendapat, “Seseorang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan

pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu ia dapat

dipidana”.22

Pendapat Moeljatno ini menunjukkan tidak selamanya yang melakukan

tindak pidana dapat dipidana. Hal ini menunjukkan adanya unsur “kemampuan

bertanggungjawab” pelaku dalam sebuah tindak pidana. Kemampuan

bertanggungjawab yang dimaksud merujuk kepada keadaan serta kemampuan

“jiwa” (geestelijke vermongens) bukan kepada keadaan serta kemampuan

“berpikir” (verstanddelijke vermongens) seseorang.23

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan

dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Untuk mendapatkan data yang

diperlukan sesuai dengan masalah yang diteliti, maka dalam hal penulis

menggunakan metode penelitian yang bila dilihat dari jenisnya dapat digolongkan

kedalam penelitian hukum normatif (yuridis normative). Yaitu merupakan

penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah berbagai peraturan

perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang

21

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Ghia Indonesia, 1982, Hal. 10.

22

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2015, Hal. 167 23

(27)

diangkat dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini juga disebut dengan

penelitian hukum doctrinal. Soetandyo Wigjosoebroto membagi penelitian hukum

sebagai berikut :24

1. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah

hukum positif.

2. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif.

3. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak

diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

2. Sumber Bahan Hukum

Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah

data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua dokumen

peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak berwenang, yaitu

peraturan perundang-undangan. Baik di bidang hukum pidana dan hukum

acara pidana, antara lain Kitab undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan

Peraturan Perundang-Undangan lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana

Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian.

24

(28)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa

buku-buku dan pendapat-pendapat para sarjana. Dan juga termasuk dokumen

yang merupakan informasi atau bahan kajian kejahatan yang berkaitan

dengan kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian, seperti modul,

majalah hukum dan karya tulis ilmiah.

c. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum

primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum, ensiklopedia

dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam skripsi ini digunakan metode studi pustaka (Library research).

Yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data

sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis, baik dari instansi yang

terkait, maupun buku literatur yang ada relevansinya dengan masalah penelitian

yang digunakan sebagai kelengkapan penelitian.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara

deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data

sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokkan secara

sistematis. Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder

(29)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi secara keseluruhan terdiri dari 4 (empat) bab

dan terdiri dari beberapa sub bab yang akan menguraikan

permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini. Secara terperinci, Sistematika Penulisan skripsi

ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang segala hal yang bersifat

umum dalam latar belakang, kemudian dilanjutkan dengan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan

ditutup dengan memberikan sistematika dari penulisan.

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN

TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA

INDONESIA

Bab ini berisikan pengaturan tindak pidana kekerasan

terhadap anak dalam hukum pidana yang dibagi atas

jenis-jenis tindak pidana kekerasan di dalam dan di luar KUHP,

tindak pidana dan sanksi atas kekerasan terhadap anak

menurut undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak dan undang-undang nomor 23 tahun

(30)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU

TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK

YANG MENYEBABKAN KEMATIAN PADA

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KALIANDA NO.

463/PID.SUS/2015/PN.KLA

Bab ini berisikan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak

pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan

kematian, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, kasus

posisi tindak pidana kekerasan terhadap anak yang

menyebabkan kematian dalam Putusan Pengadilan Negeri

Kalianda No. 463/Pid.Sus/2015/PN.Kla serta analisis

putusannya.

BAB IV PENUTUP

Bab ini akan berisikan Kesimpulan dari pembahasan yang

diangkat dalam skripsi ini dan Saran dari Penulis terkait

Gambar

Tabel : Batasan Usia Anak Menurut Undang-Undang Yang Berlaku Di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Adaptasi Model Cropsyst pada Tanaman Kedelai dalam Menghadapi Perubahan Iklim / Aminah..... Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Pengutipan atau memperbanyak sebagian atau

Adapun yang menjadi khalayak sasaran dalam kegiatan Pelatihan Pembekalan tentang prinsip-prinsip desain Interior ini adalah Siswa SMK Negeri 4 Padang jurusan DIPL

Hasil dari Pengujian Hipotesis menentukan bahwa Hipotesis Alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan oleh teka teki silang dalam penguasan kata

Artinya bahwa secara simultan atau bersama-sama variabel independen yakni ukuran peru- sahaan, profitabilitas , ukuran dewan komisaris perusahaan, dan leverage berpenga-

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

1. M Quraish Shihab berpendapat kata jahiliyah terambil dari kata jahl yang digunakan Alquran untuk menggambarkan suatu kondisi dimana masyarakatnya

[r]