• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Konsumsi Zat Besi, Seng dan Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar di SDN NO.060813 Kelurahan Pasar Merah Barat Kecamatan Medan Kota Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Gambaran Konsumsi Zat Besi, Seng dan Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar di SDN NO.060813 Kelurahan Pasar Merah Barat Kecamatan Medan Kota Tahun 2014"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

9 2.1. Zat Besi

Zat besi sangat diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan, membantu kerja berbagai macam enzim dalam tubuh, menanggulangi infeksi, membantu kerja usus untuk menetralisir zat-zat toksin dan yang paling penting adalah untuk pembentukan hemoglobin. Jumlah besi yang disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan tubuh. Sebagian lagi dari zat besi terikat dalam sistem retikuloendotelial di hepar dan sumsum tulang sebagai depot besi untuk cadangan. Sebagian kecil dari zat besi dijumpai dalam transferin yang merupakan transporting iron binding protein, sedangkan sebagian kecil lagi didapati dalam enzim-enzim yang berfungsi sebagai katalisator bagi proses metabolisme dalam tubuh. Kira-kira 1 mg besi hilang melalui urin, feses, keringat dan jaringan yang lepas dari kulit dan saluran cerna (Provan, 2004).

(2)

dan sayur yang dikeringkan adalah sumber iron yang baik daripada tumbuhan Soekirman (2000). Berbagai bahan makanan yang merupakan sumber zat besi dapat dilihat pada table 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1. Daftar Bahan Makanan Sumber Zat Besi

Jenis Makanan Kadar Zat Besi (mg)

Daging 2,2-5

Ikan 1,2-4

Telur 1,2-1,5

Kacang hijau 6 Kacang kedelai 15,7 Sumber : Soekirman (2000).

2.1.1. Kebutuhan Zat Besi

(3)

2.1.2. Metabolisme zat besi

Raspati (2010) menyatakan bahwa pada orang dewasa, perkembangan metabolisme dalam hubungannya dengan homeostasis besi telah diketahui dan dapat difahami dengan baik. Proses metabolisme tersebut diperkirakan sama dengan yang terjadi pada anak-anak. Zat yang berperan penting dalam pembentukan hemoglobin adalah zat besi dengan protein (globin) dan protoporfirin. Selain zat tersebut, terdapat pula enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter, dan proses katabolisme.

Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan. Asam askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi), kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antasid, tetrasiklin dan kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat besi. Kandungan zat besi pada orang dewasa adalah 55 mg/kg BB atau sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin. Hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2% sebagai enzim. Pada bayi yang baru lahir, kandungan zat besi dalam tubuhnya adalah 0,5 gram.

(4)

darah bahan makanan hewani. Sedangkan besi non heme adalah besi yang ada dalam bentuk besi anorganik dan umumnya terdapat dalam bahan makanan dari tumbuh-tumbuhan, seperti sayuran dan kacang-kacangan. Zat besi non heme terdapat dalam bentuk kompleks inorganik Fe3+. Absorbsi besi non heme sangat dipengaruhi oleh faktor yang mempermudah dan faktor yang menghambat, yang terdapat di dalam bahan makanan yang dikonsumsi. Sementara itu, zat besi heme tidak dipengaruhi oleh faktor penghambat. Karena itu, jumlah zat besi heme yang dapat diabsorbsi lebih banyak daripada zat besi dalam bentuk non heme. Dari berbagai penelitian, dibuktikan bahwa besi heme yang dapat diserap hamper 30%, sedangkan besi non heme hanya dapat diserap sebesar 5%. Namun, tingkat penyerapan zat besi non heme yang rendah itu dapat ditingkatkan dengan penambahan faktor yang mempermudah, yaitu vitamin C.

(5)

Selanjutnya Raspati (2010) menyatakan bahwa penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di duodenum sampai pertengahan jejunum, makin ke arah distal usus penyerapannya semakin berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan dalam bentuk senyawa besi non heme berupa kompleks senyawa besi inorganik (Feri/ Fe3+) yang oleh pengaruh asam lambung, vitamin C, dan asam amino mengalami reduksi menjadi bentuk fero (Fe2+). Bentuk fero ini kemudian diabsorbsi oleh sel mukosa usus dan di dalam sel usus bentuk fero ini mengalami oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran darah setelah melalui reduksi menjadi bentuk fero dan di dalam plasma ion fero direoksidasi kembali menjadi bentuk feri yang kemudian berikatan dengan 1 globulin membentuk transferin. Absorbsi besi non heme akan meningkat pada penderita anemia defisiensi besi. Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya didistribusikan ke dalam jaringan hati, limpa dan sumsum tulang serta jaringan lain untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.

(6)

plasma dan mengalami siklus metabolisme seperti di atas atau akan tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoisis.

Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh. Apabila pemasukan besi dari makanan tidak mencukupi, maka tubuh akan menggunakan cadangan zat besi yang ada untuk mempertahankan kadar Hb (Raspati, 2010).

Anwar (2009) menjelaskan bahwa fungsi utama senyawa besi adalah fungsi metabolik dan fungsi enzimatik. Adapun yang termasuk kategori fungsi metabolik adalah hemoglobin (sel darah merah), mioglobin, dan sitokom. Darah merah merupakan pengangkut dan penyimpan zat gizi dan oksigen. Berkurangnya jumlah sel darah merah dalam tubuh akan mempengaruhi kemampuan darah untuk membawa zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh. Akibatnya, tubuh kekurangan zat gizi dan oksigen. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya rasa letih, lelah, lesu, dan lemah. Hal tersebut akan berlanjut pada aktivitas fisik menurun, mudah lelah, dan sesak napas. Jika keadaan itu berlanjut, kegiatan sehari-hari akan terganggu sehingga menurunkan produktifitas.

(7)

energi. Akibatnya, daya pikir orang itu pun ikut menurun sehingga prestasi pun ikut menurun. Anemia juga terbukti dapat menurunkan atau mengakibatkan gangguan fungsi imunitas tubuh, seperti menurunnya kemampuan sel leukosit dalam membunuh mikroba. Anemia juga berpengaruh terhadap metabolisme karena besi juga berperan dalam beberapa enzim. Pada anak-anak, hal itu akan menghambat pertumbuhan. Selain itu, anemia juga akan menyebabkan penurunan nafsu makan yang akan menyebabkan seseorang kekurangan gizi.

2.1.3. Kekurangan Zat Besi

Proses metabolisme zat besi digunakan untuk biosintesa hemoglobin, dimana zat besi digunakan secara terus-menerus. Sebagian besar zat besi yang bebas dalam tubuh akan dimanfaatkan kembali (reutilization), dan hanya sebagian kecil sekali yang diekskresikan melalui air kemih, feses dan keringat. Keseimbangan zat besi dalam tubuh diregulasi dengan sebaiknya untuk memastikan bahwa zat besi yang diabsorpsi di usus cukup untuk mengkompensasi zat besi yang hilang dari tubuh. Bila seseorang anak atau bayi sedang tumbuh membutuhkan zat besi yang lebih banyak daripada cadangan zat besi yang ada, maka anak atau bayi tersebut akan mengalami keseimbangan zat besi yang negatif. Bila keadaan ini menetap, maka usaha yang pertama dari tubuh adalah cadangan zat besi akan dipakai, bila cadangan zat besi habis, maka bagian zat besi yang berfungsi akan dengan cepat pula berkurang (Provan, 2004).

Terdapat 3 tingkat dari kekurangan zat besi. Pada tingkat pertama atau "Negative Iron Balance”, ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya

(8)

keadaan ini mudah dibedakan dengan keadaan normal, tetapi pada anak yang sedang tumbuh agak sulit ditentukan, karena pada anak-anak yang sedang tumbuh dalam keadaan normal pun bisa didapati kadar hemosiderin dalam sumsum tulang yang sangat rendah. Pada tingkat kedua, bilamana keseimbangan zat besi yang negatif menjadi lebih progresif, maka terjadilah keadaan yang dinamakan "Iron

deficiency erythropoesis” dengan tanda-tanda penurunan cadangan zat besi dalam

tubuh, penurunan kadar besi dalam serum, dan penurunan kadar jenuh transferin sampai 15-20%. Sintesis hemoglobin terganggu dan konsentrasi hemoglobin berkurang sehingga di bawah kadar optimal tapi belum ada tanda-tanda anemia yang jelas. Pada tingkat ketiga atau dinamakan "Iron deficiency anemia”, keseimbangan zat besi yang negatif yang berlama-lama akan menyebabkan munculnya tanda-tanda anemia yang nyata, disertai dengan kelainan-kelainan seperti pada tingkat kedua (Kasper, 2005).

(9)

contohnya angiodisplasia, penyakit inflamasi usus dan neoplasma. Perdarahan pada saluran urogenital juga boleh menyebabkan anemia defisiensi besi contohnya neoplasma, proses inflamasi atau batu saluran kemih (Beutler, 2000).

Penurunan absorpsi zat besi juga dapat mengakibatkan terjadinya anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi merupakan komplikasi umum dari gastrektomi parsial atau total karena penurunan dari keasaman lambung dan peningkatan kecepatan transit usus mengganggu absorpsi dari zat besi (Greer, 2003). Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus halus juga dapat menderita defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum proksimal ikut terlibat.Penyakit seperti enteropati diinduksi gluten dan gastritis atropik disebabkan autoimun atau infeksi helicobacter pylori turut menjadi faktor predisposisi kepada defisiensi besi akibat gangguan absorpsi (Hoffbrand, 2006).

Penyebab seterusnya adalah asupan zat besi yang tidak adekuat. Tetapi, tanpa ada penyebab lain contohnya kehilangan darah yang signifikan atau infestasi cacing tambang, etiologi ini jarang menimbulkan anemia defisiensi besi kecuali pada anak yang sedang membesar dan orang yang sepanjang hidupnya tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, hanya makan bijirin dan sayuran sahaja. Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan makanan yang berasal dari daging hewan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi secara bersamaan pada waktu makan juga boleh menyebabkan absorpsi zat besi semakin berkurang (Warrell, 2003). 2.1.4. Pencegahan Kekurangan Zat Besi

(10)

komunikasi. Sektor ini juga harus bekerjasama dengan organisasi masyarakat untuk memastikan proses ini lebih efisien. Prinsip dari upaya pencegahan anemia defisiensi besi adalah untuk membasmi kemiskinan, meningkatkan akses terhadap diet yang bervariasi dan memperbaiki perkhidmatan kesehatan dan sanitasi. Pencegahan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan pendekatan berbasis medis dan pendekatan berbasis pangan. Pendekatan berbasis medis yang paling sering dilakukan di negara berkembang adalah pemberian suplementasi besi atau tablet besi. Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang diprioritaskan dalam program suplementasi disamping anak usia pra sekolah, anak usia sekolah, serta bayi. Dosis suplementasi besi yang harus diberikan adalah berdasarkan usia dan kondisi seseorang. Bagi anak usia sekolah dimana prevalensi anemia melebihi 40%, dosis yang dianjurkan oleh WHO adalah 2 mg/kgBB/hari selama 3 bulan. Salah satu masalah dari upaya ini adalah kesukaran untuk berhubungan dengan kelompok berisiko melalui perkhidmatan kesehatan.Oleh itu, diperlukan usaha yang lebih dari semua organisasi untuk menjangkau kelompok-kelompok ini (Provan, 2004).

(11)

absorpsi dan utilisasi besi di usus halus dapat ditingkatkan. Edukasi mengenai nutrisi yang efektif juga diperlukan dalam pendekatan ini.Informasi mengenai kesehatan dan nutrisi perlu didedahkan kepada anggota masyarakat supaya mereka lebih bijak dalam memilih makanan seterusnya dapat mencegah terjadinya anemia defisiensi besi. Pengkayaan atau fortifikasi makanan juga merupakan salah satu cara terampuh dalam pencegahan defisiensi zat besi. Program fortifikasi yang efektif memerlukan kerjasama dari pihak kerajaan, industri makanan dan pengguna.Strategi dalam program ini adalah dengan mengidentifikasi makanan yang sering dikonsumsi dan mudah didapatkan oleh populasi target. Di negara industri, produk makanan fortifikasi yang lazim adalah tepung gandum, roti, makanan yang terbuat dari jagung dan bubur jagung, dan produk susu seperti susu formula bayi dan makanan sapihan (WHO, 2001).

2.1.5. Besi Dan Pertumbuhan Anak

Besi (Fe) merupakan mikronutrien yang esensial dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi dalam mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, mengangkut elektron dalam sel, dan dalam mensintesis enzim yang mengandung besi yang dibutuhkan untuk menggunakan oksigen selama memproduksi energi selluler (Gillespie, 1998).

(12)

hemosiderin) yang berfungsi sebagai simpanan yang dapat digunakan bila dibutuhkan. Anak-anak mempunyai simpanan besi yang rendah yang disebabkan karena besi digunakan untuk pertumbuhan dan pertambahan volume darah (Gillespie, 1998).

Defisiensi besi merupakan kekurangan zat gizi yang biasa terjadi di negara berkembang dan industri. Apabila tubuh mengalami kekurangan besi, dapat menyebabkan anemi kurang besi. Anemia defisiensi besi adalah keadaan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah sampai kadar di bawah 11 g/dl.

Cut off point hemoglobin anak usia 6 bulan-6 tahun adalah 11 gr% (Hadisaputro, 1977).

Konsekuensi anemia defisiensi besi diakui memberi pengaruh terhadap metabolisme energi dan fungsi kekebalan yang akan berpengaruh pada fungsi kognitif dan perkembangan motorik (Lonnerdal, 1998). Defisiensi besi juga berhubungan dengan menurunnya fungsi kekebalan yang diukur dengan perubahan dalam beberapa komponen sistem kekebalan yang terjadi selama defisiensi besi. Konsekuensi dari perubahan fungsi kekebalan adalah resistensi terhadap penyakit infeksi. Pada anak-anak defisiensi besi berhubungan dengan kelesuan, daya tangkap rendah, lekas marah dan menurunnya kemampuan belajar (RDA, 1989).

(13)

darah merah dan kebutuhan simpanan besi dalam mioglobin. (3) Selama masa reproduksi pada wanita karena kehilangan besi pada saat menstruas. (4) Selama hamil, karena perkembangan volume darah ibu, kebutuhan dari janin dan plasenta, dan kehilangan darah pada saat melahirkan (RDA, 1989).

Pada 3 bulan pertama kehidupan kebutuhan bayi terhadap besi dapat dipenuhi dari air susu ibu (ASI). Pada bayi yang dari lahir sampai usia 3 tahun tidak diberi ASI membutuhkan besi kira-kira 1 mg/kg per hari. Kebutuhan sehari-hari yang dianjurkan untuk usia 6 bulan-3 tahun adalah 10 mg/sehari-hari yang rnerupakan suatu kadar yang telah dipertimbangkan dapat memenuhi kebutuhan anak pada saat itu (RDA, 1989).

Defisiensi besi umumnya terjadi pada usia 6–12 .bulan atau 1-2 tahun, yaitu 70% kebutuhan besi pada usia 6-12 bu1an dan 50% kebutuhan besi pada usia 1-2 tahun terjadi saat pertumbuhan jaringan yang cepat. Pada tahun pertama kehidupan, kebutuhan seorang bayi untuk mengabsorpsi besi sama besarnya dengan kebutuhan seorang laki-laki dewasa, yang mana hal ini sangat sulit untuk dipenuhi.

Gillespie, 1998 juga menegaskan bahwa jika terjadi defisiensi besi pada usia 6-24 bulan yaitu, pada saat terjadi pertumbuhan yang pesat, dengan konsekuensi dapat mengganggu penggunaan energi dan pertumbuhan fisik.

(14)

menderita defisiensi besi hasil tes psikomotornya kurang baik dibandingkan anak-anak yang tidak anemia (Gillespie, 1998).

2.2. Seng

Salah satu fungsi seng yaitu berperan sebagai kofaktor yang penting untuk lebih dari 70 enzim. Dalam fungsi ini, seng mengikat residu histin dan sistein dan dalam waktu yang sama menstabilkan serta membuka tempat/sisi aktif dari enzim-enzim ini sedemikian rupa sehingga katalis dari reaksi dapat berjalan (Berdanier, 1998).

Kadar seng normal dalam serum 80–110 mikrogram/dl, dalam darah mengandung 20 kali lipat karena adanya enzim karbonik anhidrase dalam eritorsit, rambut mengandung 125–250 mikrogram/dl, muskulus 50 mikrogram/dl. Sumber seng dalam makanan biasanya yang berhubungan dengan protein, kadar seng yang tinggi terdapat dalam telur, daging unggas, daging sapi, tiram, kepiting, dan kacang-kacangan (Bakri, 2003).

Seng juga terlibat pada keadaan–keadaan sebagai berikut : proses pembelahan sel, metabolisme asam nukleat, sintesa protein, kofaktor atau metaloenzim, transportasi dan regulasi beberapa hormon kelenjar hipofise, tiroid, timus, adrenal, ovarium, dan testis, antioksidan kuat sehingga seng melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif dan berfungsi menstabilkan struktur dinding sel, stimulator proliferasi dan migrasi keratinosit didaerah luka (Heidelise, 1997).

(15)

Tabel 2.2. Daftar Bahan Makanan Sumber Seng

Jenis Makanan Kadar Seng (mg/kilogram Basah

Daging sapi 10-43

Daging ayam 7-16

Ikan laut (cod) 4

Susu 3,5

Keju 40

Beras 13

Kelapa 5

Kentang 3

Sumber : Sandström, Dietary pattern and zinc supply. Dalam Zinc in human

biology, CF Mills (ed). London : Springer Verlag, 1989.

Jenis dan cara pengolahan makanan dapat mempengaruhi total masukan seng dan bioavailability-nya. Susu dan produknya merupakan sumber seng yang penting bagi bayi dan anak-anak. Air susu ibu mengandung seng lebih sedikit dibandingkan susu sapi, tetapi bioavailabilitynya lebih baik. Hal ini disebabkan air susu ibu mengandung protein ligand yang spesifik untuk seng, disamping asam sitrat, asam palmitat, dan asam picolinic yang dapat meningkatkan absorpsi seng.

Bahan pangan nabati banyak mengandung asam fitat dan serat (selulosa) yang dapat menghambat absorpsi seng.

2.2.1 Kebutuhan Seng yang Dianjurkan

(16)

Tabel 2.3. Kebutuhan Seng Menurut Umur berdasarkan Reference Nutrient Intake (RNI-UK) dan Recommended Dietary Allowances (RDA – USA) dalam mg/hari (Aggett PJ, 1994).

Metabolisme dan absorbs seng menyerupai metabolism zat besi. Absorbs membutuhkan alat angkut dan terjadi dibagian atas usus halus (duodenum). Seng diangkut oleh albumin dan tranferin masuk ke aliran darah dan dibawa ke hati. Kelebihan seng disimpan di hati dalam bentuk metalotionin selebihnya dibawa ke pancreas dan jaringan tubuh lain. Seng di dalam pankreas dibuat untuk membuat enzim pencernaan

Absorbsi seng diatur oleh metalotionein yang disintesis di dalam sel dinding saluran cerna sebagian diubah menjadi metalotionein sebagai simpanan., sehingga absorbs berkurang. Bentuk simpanan ini akan dibuang bersama sel-sel dinding halus yang umurnya adalah 2-5 hari. Metalotionein di dalam hati mengikat seng hingga dibutuhkan oleh tubuh. Distribusi seng antara cariran ekstraseluler, jaringan dan organ dipengaruhi oleh keseimbangan hormone dan situasi stres. Hati memegang peranan penting dalam redistribusi ini (Almatsier, 2002).

(17)

membentuk kompleks koordinasi dengan beranekaragam ligan exogeus dan endogeneous seperti asam amino, fosfat dan asam organic lainnya. Asam amino ligan tersebut adalah histidin dan sistein (O'Dell, 1992). Kompleks Zn-histidin dan Zn-Methionin menunjukkan absorbs yang lebih efisien dibandingkan Zn-sulfat. Absorbs seng berlangsung cepat dan proses transportnya kemungkinan tergantung energy yang dibentuk. Beberapa mineral lain merupakan pesaing dalam penggunaan seng oleh tubuh seperti Fe, Cu, Ca, dan Mn. Khususnya besi, fitat dan seng bersaing pada binding site di entrosit sehingga menghambat absorbs seng (Cousins & Hempe, 1990).

Setelah seng diabsorbsi di usus halus selanjutnya di sirkulasi akan berkaitan dengan albumin (80%), alfa-2 makroglobin (15%), protein molekul rendah dan mungkin dengan tranferin dan histidin, kurang dari 100% berkaitan dengan asam amino atau metaloenzim. Diperifer seng akan diambil sel perifer yaitu hepatosit, fibroblast, dan sel-sel asini pankreas menggunakan seng untuk membuat beberapa enzim pencernaannya. Sekresi pankreas adalah sumber seng endogenous yang utama, sedangkan sumber lainnya yaitu dari empedu dan sekresi dari gastro-duodenum (Agget, 1994).

Pengaturan homeostasis seng dilakukan dalam saluran pencernaan. Mekanisme yang terlibat didalamnya adalah basorbsi seng dan sekresi endogenous. Walaupun hepar memegang peranan penting dalam metabolisme seng, namun belum diketahui secara jelas mekanisme yang terjadi dalam hepar (Bakri, 2003).

(18)

memindahkan sengke metallothionin atau melintasi sisi basolateral entrosit untuk berkaitan dengan albuminserta dibawa ke darah portal (Groff & Sareen, 1998). 2.2.3. Defisiensi Seng

Bila terjadi defisiensi seng maka akan membawa perubahan pada beberapa sistim organ seperti sistim saraf pusat (malformasi permanen, pengaruh terhadap neuromotor dan fungsi kognitif), saluran pencernaan, sistem reproduksi, dan fungsi pertahanan tubuh baik pertahanan spesifik maupun non spesifik (Aggett, 1994). Gangguan pada sisitim pertahanan non spesifik seperti kerusakan sel–sel epidermal, gangguan aktifitas sel natural killer, fagositosis dari makrofag dan netrofil. Gejala-gejala tersebut akan terjadi bila terjadi defisiensi seng berat (Hambidge, 2003).

(19)

Ada 4 faktor yang berperan dalam terjadinya defisiensi seng :

1. Absorbsi yang inadekuat : Keadaan malnutrisi, vegetarian, pemberian nutrisi enteral dan parenteral / diet untuk mengatasi inborne error metabolism, infestasi intestinal, interaksi zat gizi antara komponen diit dan obat – obatan. 2. Maldigesti dan malabsorbsi: mekanisme abosorbsi karena imaturitas,

akrodermatitis, enterohepatika, pembedahan lambung/ reseksi usus dan enteropati.

3. Pembuangan yang meningkat: keadaan katabolisme, enteropati dengan loss protein, gagal ginjal, renal dialysis, terapi diuretik, chelating agent (spesifik dan nonspesifik), dermatosis eksfoliatif.

4. Kebutuhan yang meningkat : sintesa jaringan yang cepat, konvalesen paska katabolik, penyakit neoplasma, dan resolving anaemias.

2.2.4. Penentuan Status Seng

Status seng pada tubuh dapat ditentukan dengan pengukuran konsentrasi seng serum, konsentrasi seng eritrosit, leukosit, netrofil, dan konsentrasi seng pada rambut. Sementara itu, penentuan status seng marjinal dapat dengan mengukur metallothionin sel darah merah. Konsentrasi metallothionin sel darah merah memiliki respon yang baik terhadap perubahan asupan seng, ketika seng serum tidak menunjukkan perubahan (Hambidge, 2003).

(20)

maupun sedang. Hal ini disebabkan karena bila dalam tubuh terjadi defisiensi seng maka seng rambut akan diambil sebagai seng endogen untuk mencukupi kebutuhan seng, maka akan mempengaruhi pertumbuhan rambut. Sehingga analisa terhadap seng rambut lebih tepat menggambarkan kecukupan seng pada masa lampau. Pada seseorang dengan defisiensi seng berat, konsentrasi seng rambut akan rendah. Konsentrasi seng akan kembali normal dalam serum bila kembali bila diberi suplementasi seng (Hambidge, 2003).

2.2.5. Seng dan Pertumbuhan Anak

Seng merupakan zat gizi yang esensial dan telah mendapat perhatian yang cukup besar akhir-akhir ini. Seng berperan di dalam bekerjanya lebih dari 10 macam enzim. Berperan di dalam sintesa Dinukleosida Adenosin (DNA) dan Ribonukleosida Adenosin (RNA), dan protein. Maka bila terjadi defisiensi zinc dapat menghambat pembelahan sel, pertumbuhan dan perbaikan jaringan (Shanker & Prasad, 1998).

Seng umumnya ada di dalam otak, dimana zat seng mengikat protein. Kekurangan seng akan berakibat fatal terutama pada pembentukan struktur otak, fungsi otak dan mengganggu respon tingkah laku dan emosi (Black, 1998). Menurut Eschlemen (1996), seng adalah suatu komponen dari beberapa sistem enzim, yang berfungsi di dalam sintesa protein, transport karbon dioksida dan di dalam proses penggunaan vitamin A.

(21)

seng juga diketahui terjadi pada anak-anak dan orang dewasa di beberapa negara, dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting.

Suatu meta analisis dari 25 penelitian tentang pengaruh suplementasi seng pada pertumbuhan anak yang dilakukan oleh Brown (1998), menunjukkan bahwa pemberian suplementasi zinc secara statistik bermakna memberikan efek yang lebih baik terhadap pertumbuhan secara linier dan pertambahan berat badan anak. Umur juga merupakan faktor yang penting dalam hubungan antara defisiensi zinc dengan perkembangan kognitif anak. Karena selama masa pertumbuhan dan perkembangan cepat, seperti pada masa remaja jika konsumsi makan tidak cukup dan seimbang, maka anak akan kekurangan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan tersebut seperti protein, vitamin dan mikronutrien tertentu. Anak-anak yang berasal dari pedesaan dan dari keluarga dengan .penghasilan rendah ditemukan mempunyai konsentrasi seng dalam plasma yang rendah selama masa pertumbuhan dan masa remaja dan keadaan gizi anak yang berasal dari keluarga yang berpenghasilan menengah menderita defisiensi zat seng yang sedang selama masa pertumbuhan (Black, 1998).

(22)

pada usia 6 -24 bulan. Berdasarkan rata-rata asupan ASI di negara berkembang, bayi yang berusia 6-9 bulan membutuhkan 50-70 gr hati atau daging yang tidak berlemak setiap hari atau kira-kira 40 gr ikan segar, untuk memenuhi tambahan seng yang dianjurkan dari makanan padat disarankan untuk memberikan suplementasi seng atau fortifikasi seng selama masa pertumbuhan karena bayi dan anak di negara berkembang tidak mungkin memenuhi kebutuhan seng mereka dari makanan.

2.3. Makanan Yang Membantu dan Menghambat Penyerapan Besi dan Seng

Pemberian suplementasi besi (Fe) dan seng (Zn) juga dipengaruhi oleh asupan makanan. zinc banyak terdapat dalam daging, tiram, ikan kering, hati dan susu juga merupakan sumber makanan yang kaya akan seng. Selain itu makanan yang mengandung fitat dan makanan berserat menghalangi absorbsi zat seng (Eschleman, 1996).

Beberapa bahan makanan yang dapat meningkatkan penyerapan zinc dan besi adalah asam askorbat dan sitrat (pepaya, jambu biji, pisang, mangga, semangka, pir, jeruk, lemon, apel, jus nenas, kembang kol, dan limau), asam malak dan tartrat (wortel, kentang, tomat, labu, kol, dan lobak cina), asam amino sistein (daging, kambing, daging babi, hati, ayam, dan ikan), dan produk-produk fermentasi (kecap kacang kedele, acar/asinan kubis).

(23)

asupan fitat yang banyak terkandung di dalam padi-padian dan kacang-kacangan yang dapat menghambat absorpsi besi. Dan juga disebabkan sedikitnya konsumsi daging yang dapat menyediakan besi yang bisa diserap dalam bentuk heme iron

(zat besi yang berasal dari hewani) (Lonnerdal, 1998).

Besi yang berasal dari makanan hewani (heme iron) mempunyai tingkat absorbsi yang tinggi, yaitu 20-30%. Sebaliknya besi yang tergolong non heme iron yang berasal dari tumbuh-tumbuhan absorbsinya hanya 1-5%. Absorbsi besi sangat tergantung pada rnakanan yang dapat menghambat dan rneningkatkan absorbsi. Sehingga absorbsi besi dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari dapat bervariasi antara 5-10% (Muhilal, et al., 1998).

The Nutrition Collaborative Research Support Program (CRSP) memperkirakan prevalensi asupan besi yang inadekuat yang dapat diabsorpsi untuk anak usia 16-30 bulan adalah lebih tinggi daripada zat seng kecuali di Kenya dimana banyak mengkonsumsi asam askorbat (Allen, 1998).

Makanan yang mengandung seng dalam jumlah yang cukup juga mengandung besi dalam jumlah yang cukup pula, seperti daging dan ikan merupakan sumber terbaik dari kedua nutrien tersebut. Parasit seperti cacing tambang akan menyebabkan berkurangnya kedua zat nutrien ini di dalam darah. Kecuali pada penderita diare, kehilangan seng lebih tinggi daripada besi. Inilah sebabnya anak-anak sering diasumsikan menderita defisiensi (Allen, 1998).

2.4. Interaksi Besi dan Seng

(24)

dosis seng. Dosis besi yang diberikan lebih besar dari 25 mg per hari dapat menurunkan absorpsi seng.

Solomon dan Jacob (1981) menunjukkan bahwa tingginya kadar besi dapat mempengaruhi penyerapan seng yang diukur dengan perubahan zinc serum sesudah pemberian. Pada keadaan post prandial zinc serum meningkat sesudah pemberian secara oral dengan dosis 25 mg dalam larutan cair yang diberikan pada subyek yang puasa. Penyerapan seng akan lebih rendah bila seng diberi sendiri daripada bila besi 25 mg diberikan bersama-sama dengan seng (besi : seng; 1 : 1). Meningkatkan dosis besi menjadi 50 mg (rasio 2 : 1) dan 75 mg (rasio 3 : 1) menurunkan penyerapan seng. Oleh sebab itu Lonnerdal (1998) menyarankan bila suplementasi besi dan seng diberikan untuk mengatasi defisiensi, dosis yang digunakan adalah tidak sangat berbeda dari yang digunakan oleh Solomons dan Jacob (1981).

2.5. Status Gizi

Istilah gizi dapat diartikan sebagai proses dari organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pembuangan, yang dipergunakan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan fungsi organ tubuh dan produksi (Jelliffe, 1989).

(25)

mempengaruhi kesehatan seseorang, sedangkan menurut Soekirman (2000) status gizi diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa status gizi merupakan suatu ukuran keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi yang diindikasikan oleh variabel tertentu. Status gizi optimal adalah keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari (Coitinho, 1992). Status gizi baik atau optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sedangkan status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi makan yang bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasukan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan (Almatsier, 2001). Dengan demikian, asupan zat gizi mempengaruhi status gizi seseorang. Selain asupan zat gizi, infeksi juga ikut mempengaruhi status gizi. Masalah kurangnya asupan zat gizi dan adanya penyakit infeksi biasanya merupakan penyebab utama (Mahan, 1998).

2.6. Status Gizi Anak Sekolah Dasar

(26)

rumah sehingga terkadang melupakan waktu makan. Selain itu, anak juga sudah aktif memilih makanan yang disukai sehingga dapat mempengaruhi kebiasaaan makan mereka dan akhirnya dapat mempengaruhi status gizinya (Moehji, 1992).

Meningkatnya kebutuhan akan zat gizi pada usia sekolah, misalnya untuk melaksanakan tugas atau berjalan jauh yang membutuhkan energi lebih besar daripada anak yang lebih muda, akan membuat anak usia sekolah menjadi berisiko tinggi menderita malnutrisi atau kelaparan dibandingkan anak usia 3-5 tahun (Rosner, 1990).

2.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Menurut Soekirman (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi terdiri dari penyebab langsung dan tidak langsung.

1) Penyebab langsung, yaitu: a) Asupan makanan

b) Penyakit infeksi yang mungkin diderita

Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam akhirnya dapat menderita kurang gizi. Sebaliknya, anak yang mendapat makanan tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian mudah terserang infeksi, kurang nafsu makan, dan akhirnya berakibat kurang gizi.

2) Penyebab tidak langsung, yaitu:

(27)

pangan baik dari hasil produksi sendiri maupun dari sumber lain atau pasar, harga pangan dan daya beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

b) Pola pengasuhan anak, meliputi sikap dan perilaku ibu atau pengaruh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, member kasih sayang, dan sebagainya.

c) Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan, yaitu akses dan keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan yang baik. Semakin baik ketersediaan air bersih yang cukup untuk keluarga serta semakin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah peningkatan pemahaman ibu tentang kesehatan, semakin kecil risiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi.

2.8. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri Pada Anak Sekolah Dasar Supariasa, dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran tubuh. Maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat dan tingkat gizi.

(28)

1. Untuk ukuran massa jaringan : Pengukuran berat badan, tebal lemak dibawah kulit, lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifanya sensitif, cepat berubah, mudah turun naik dan menggambarkan keadaan sekarang.

2. Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahan relatif lambat, ukuranya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat masa lalu.

Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi anak adalah indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) (Depkes RI, 1995).

2.8.1. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

(29)

Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian.

Kelebihan indeks BB/U yaitu :

1. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum. 2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek.

3. Dapat mendeteksi kegemukan (Over weight). Sedangkan kelemahan dari indek BB/U adalah :

1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat oedema. 2. Memerlukan data umur yang akurat.

3. Sering terjadi kesalahan pengukuran misalnya pengaruh pakaian, atau gerakan anak pada saat penimbangan.

4. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat. Dalam hal ini masih ada orang tua yang tidak mau menimbangkan anaknya karena seperti barang dagangan (Supariasa, 2002).

2.8.2. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dangan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama.

(30)

status gizi masa balitanya. Masalah penggunaan indek TB/U pada masa balita, baik yang berkaitan dengan kesahlian pengukuran tinggi badan maupun ketelitian data umur. Masalah-masalah seperti ini akan lebih berkurang bila pengukuran dilakukan pada anak yang lebih tua karena pengukuran lebih mudah dilakukan dan penggunaan selang umur yang lebih panjang (setelah tahunan atau tahunan) memperkecil kemungkinan kesalahan data umur.

Kelemahan penggunaan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) yaitu : 1. Tidak dapat member gambaran keadaan pertumbuhan secara jelas.

2. Dari segi operasional, sering dialami kesulitan dalam pengukuran terutama bila anak mengalami keadaan takut dan tegang (Jahari, 1998).

2.8.3. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan pelaksanaan perbaikan gizi adalah dengan menentukan atau melihat. Ukuran fisik seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Atas dasar itu, ukuran-ukuran yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi dengan melakukan pengukuran antropometri. Hal ini karena lebih mudah dilakukan dibandingkan cara penilaian status gizi lain, terutama untuk daerah pedesaan (Supariasa, dkk., 2001).

(31)

mencakup komponen lemak tubuh (fat mass) dan bukan lemak tubuh (non-fat mass) (Riyadi, 2004).

Pengukuran status gizi anak sekolah dapat dilakukan dengan indeks antropometri dan menggunakan Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U) anak sekolah.

Rumus IMT

2.8.4. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Antropometri

Dalam penelitian status gizi, khususnya untuk keperluan klasifikasi diperlukan ukuran baku (reference). Pada tahun 2009, Standar Antropometri WHO 2007 diperkenalkan oleh WHO sebagai standar antopometri untuk anak dan remaja di dunia.

Klasifikasi status gizi anak dan remaja menurut WHO 2007 adalah sebagai berikut :

Indeks BB/U :

a. Normal : ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD b. Kurang : ≥ -3 SD s/d < -2 SD c. Sangat Kurang : < -3 SD Indeks TB/U :

(32)

Indeks IMT/U :

a. Sangat gemuk : > 3 SD b. Gemuk : > 2 SD s/d ≤ 3 SD c. Normal : ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD d. Kurus : ≥ -3 SD s/d < -2 SD e. Sangat kurus : < -3 SD

Berdasarkan baku rujukan antropometri menurut Centers for Disease Control (CDC) tahun 2000 untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan z-score sebagai batas ambang. Penilaian gizi anak-anak di negara-negara yang populasinya relatif baik (well nourished), sebaiknya menggunakan persentile, sedangkan untuk gizi anak-anak di negara yang populasinya relatif kurang (under nourished) lebih baik menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan (Abunain, 1990).

Tabel 2.4. Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks TB/U Baku Rujukan Antropometeri CDC 2000.

Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Status Gizi TB/U

< -2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD

(33)

2.9. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini menggambarkan konsumsi zat besi dan seng yang dilihat dari dua aspek yaitu sumber zat besi dan seng serta kecukupan konsumsi zat besi dan seng disamping itu status gizi yang ingin diketahui dengan memakai ukuran indeks antropometri IMT/U dan TB/U. dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini :

Gambar 2.1

Kerangka Konsep Penelitian Konsumsi Zat Besi dan Seng

- Konsumsi Zat Besi dan Seng

- Kecukupan Konsumsi Zat Besi dan Seng

Status Gizi (IMT/U dan

Gambar

Tabel 2.2.  Daftar Bahan Makanan Sumber Seng
Tabel 2.3. Kebutuhan Seng Menurut Umur berdasarkan Reference Nutrient
Tabel 2.4 Gejala Defisiensi Seng (Aggett PJ, 1994).
Tabel 2.4. Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks TB/U Baku Rujukan Antropometeri CDC 2000

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui korelasi nilai status Gizi dengan menggunakan indeks BB/U dan asupan zat besi terhadap kadar feritin anak usia 2-5

Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui korelasi nilai status Gizi dengan menggunakan indeks BB/U dan asupan zat besi terhadap kadar feritin anak usia 2-5