• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Hubungan Perilaku Martarombo dengan Kepedulian Suku Batak Toba Terhadap Sesama Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Hubungan Perilaku Martarombo dengan Kepedulian Suku Batak Toba Terhadap Sesama Batak Toba"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A

. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku dan budaya. Hingga kini tercatat Indonesia mempunyai 1.123 suku bangsa (Pujiati, 2009). Tentunya suku-suku tersebut memiliki adat dan kebudayaan yang khas. Adat dan kebudayaan tersebut bisa berupa bahasa, kesenian, norma, dan sebagainya. Begitu juga dengan suku Batak Toba. Batak Toba merupakan salah satu sub bagian dari suku bangsa Batak (Vergouwen, 2004). Batak Toba memiliki bahasa tradisional, kesenian, norma hidup, pakaian adat, dan sebagainya. Suku Batak Toba sangat menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Khususnya nilai budaya sebagai identitas, seperti bahasa, adat istiadat dan marga. Hingga saat ini suku Batak Toba masih menggunakan bahasa dan pakaian tradisional di berbagai kegiatan adat. Mereka juga masih menjalani adat istiadat Batak Toba di dalam kehidupan mereka. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian budayanya (Sibarani, 2007).

(2)

menolong ketika ada yang membutuhkan. Orang Batak Toba selalu diingatkan untuk menjaga solidaritas kelompok. Hal ini sering terlihat ketika orang Batak Toba bersama-sama ikut berpartisipasi dalam mempersiapkan sebuah acara adat, baik acara suka seperti pernikahan maupun acara duka seperti pemakaman. Orang Batak Toba memiliki inisiatif dan kepedulian untuk mengambil peran masing-masing sesuai kedudukan marganya dan mengerjakan tugasnya masing-masing-masing-masing dalam sebuah acara adat. Suku Batak dalam kebudayaannya selalu memelihara kepribadian sendiri. Kepribadian yang memiliki rasa kekeluargaan selalu terpupuk tidak hanya pada keluarga dekat tetapi juga keluarga jauh yang semarga. Meskipun orang Batak sudah banyak yang berpindah ke kota mereka tetap mempertahankan sistem kampungnya secara utuh. Mereka tetap dikumpulkan oleh perasaan solidaritas kelompok ( Tambunan, 1982).

Menurut Swanson (1991), kepedulian merupakan cara memelihara hubungan dengan orang lain disertai komitmen dan tanggung jawab. Noddings (2002) mengungkapkan bahwa ketika kita peduli, kita akan merespon positif apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Kita juga harus melakukan sesuatu kepada orang lain untuk mengekspresikan kepedulian kita tersebut. Hal tersebut dialami juga oleh seorang wanita Batak Toba berikut ini.

”... aku pernah ke prapat, disana ketemu penjaga penginapan, terus kami kenalan, yah ber-tutur gitulah. Ditanya-tanya boru apa, mamak boru apa, eh ternyata kami pariban, karena marga ku dengan marga ibunya sama. Sesudah itu dia bilang kalo ada butuh apa, bilang aja ya, nanti dicarikan, setelah itu sepanjang liburan disana aku sama temanku dibantu cari kapal lah, cari angkutan ke kota lah, cari tempat makan, dan sebagainya. Memang kalo pergi kemana-mana gitu ketemu sama-sama orang Batak, jadi merasa nyaman...”

(3)

Wawancara diatas menunjukkan gambaran kepedulian oleh orang Batak Toba setelah mengetahui hubungan kekerabatannya dengan martarombo. Kepedulian tersebut ditunjukkan dengan perilaku menolong, empati, dan sebagainya.

Sikap tolong menolong dan solidaritas kelompok tersebut terdorong oleh ikatan Dalihan Na Tolu yang melandasi segala segi hidup dan adat istiadat masyarakat Batak. Setiap upacara-upacara adat dan tutur sapa selalu didasarkan atas Dalihan Na Tolu itu. Adapun Dalihan Na Tolu tersebut diartikan dengan tungku nan tiga. Sistem Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak ini terbagi atas tiga golongan fungsional, yaitu dongan sabutuha yang merupakan orang-orang yang semarga. Kedua adalah boru (artinya anak perempuan), yang termasuk golongan boru dalam masyarakat Batak antara lain suami anak perempuan dan anak-anaknya, orang tua suaminya dan dongan sabutuha suaminya. Ketiga adalah hula-hula yang merupakan pihak yang memberi pengantin perempuan. Semua dongan sabutuha orang tua pengantin perempuan dan saudara-saudara laki-laki ibu dari pengantin laki-laki menjadi hula-hula bagi pihak pengantin laki-laki (Tambunan, 1982). Demikianlah Dalihan Na Tolu yang menjadi peraturan adat yang menanamkan persekutuan antar masyarakat Batak.

(4)

menentukan hubungan kekerabatan (partuturanna) dalam satu klan atau marga (Vergouwen, 2004). Sudah menjadi hal yang penting bagi masyarakat Batak untuk mengetahui silsilahnya. Setiap orang Batak harus mengetahui sejarah leluhur yang mewariskan marga sesuai dengan jenjang silsilah yang turun temurun.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), marga merupakan kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilinear (garis keturunan ibu) maupun patrilinear (garis keturunan ayah). Selain sebagai nilai identitas, marga dalam Batak Toba ini pun bertujuan untuk membina kekompakan dan solidaritas sesama anggota marga sebagai keturunan dari satu leluhur. Walau pun keturunan suatu leluhur pada suatu ketika mungkin akan terbagi atas marga-marga cabang, namun sebagai keluarga besar, marga-marga-marga-marga cabang tersebut akan selalu mengingat kesatuannya dalam marga pokoknya. Dengan adanya keutuhan marga, maka kehidupan sistem kekerabatan Dalihan Natolu akan tetap lestari (Sinaga, 1998).

(5)

leluhur mereka sebenarnya masih memiliki hubungan. Dalam Batak Toba ada juga istilah yang disebut Dongan Sabutuha yang merupakan sebutan pada yang semarga dan masih dekat dengan pertalian darah. Seperti misalnya marga Sihombing yang terdiri atas marga Silaban, Lumbantoruan, Nababan, dan Hutasoit. Begitu juga dengan marga yang lainnya (Sinaga, 1998).

Sebenarnya pencarian hubungan kekerabatan seperti ini pun kerap kali dilakukan oleh Batak lainnya, seperti Batak Karo, Mandailing, Simalungun, dan lain-lain. Hanya saja yang membedakan adalah dalam martarombo Batak Toba tidak hanya sekedar bertanya marga, tetapi juga nomor marga dan bahkan asal kampung marganya. Sedangkan dalam martutur Batak lainnya, hanya sekedar bertanya marga. Martarombo dalam Batak Toba lebih detail. Berikut sesuai dengan hasil wawancara di bawah ini.

“…martutur ato martarombo lebih ribet di Batak Toba daripada Batak lainnya. Kalo Batak lainnya kan kayak karo misalnya, kalo ertutur cuma nanya marga ato cabang dari marga mana. Batak Simalungun juga kalo ertutur cuma nanya marga, dan Batak lainnya juga tidak seribet Batak Toba deh. Kalo Batak Toba kan sesudah nanya marga, pasti nanya nomor marganya berapa, asal kampung marganya, dan seterusnya…

( sumber : Wawancara personal, 29 Juni 2012 )

(6)

mendatangkan keuntungan. Minat yang dimiliki oleh orang Batak dalam mengetahui asal usulnya tercermin dalam sebuah peribahasa (umpama) yaitu “Tinitip sanggar bahen huru-huruan, dijolo sinungkun marga asa binoto pertuturan. Untuk membuat sangkar burung, orang harus membuat gelagah.

Untuk tahu hubungan kekerabatannya, orang harus menanyakan marga.” (Vergouwen, 2004).

Setelah mengetahui adanya kesamaan, baik itu kesamaan marga, nomor keturunan atau bahkan asal usul keturunan, maka masyarakat suku Batak Toba pun cenderung menjalin hubungan dengan orang tersebut. Hasil penelitian Morry (2007) menunjukkan ketertarikan seseorang terhadap yang lain dipengaruhi oleh kemiripan sifat dan perilaku. Kemiripan kepribadian, keyakinan, dan nilai yang dimiliki sebagai orang Batak Toba ini membuat orang Batak Toba cenderung menjalin hubungan dengan sesama orang Batak Toba. Kesamaan itu menimbulkan perasaan atau ikatan emosional. Slote (2007) menyatakan bahwa perasaan atau ikatan emosional yang kita berikan kepada orang yang kita kehendaki, menyebabkan munculnya empati. Empati itu pun akhirnya mengarahkan kita untuk peduli terhadap sesuatu yang terjadi dengan orang yang kita sukai atau yang dekat dengan kita.

(7)

kepeduliannya seperti menolong, memberi perhatian, berbuat baik dan sebagainya, meskipun mereka sebenarnya bukanlah saudara kandung se-ibu dan se-ayah. Menurut Noddings (2002), kita akan meresponi apa yang dibutuhkan oleh orang yang kita pedulikan. Kita juga harus melakukan sesuatu kepada orang lain untuk mengekspresikan kepedulian kita tersebut. Kepedulian mendorong perilaku muncul sebagai perwujudan dari perasaan kepada orang lain tersebut. Oleh karena pertimbangan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungan martarombo dengan kepedulian suku Batak Toba terhadap sesama suku Batak Toba.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah apakah ada hubungan perilaku martarombo dengan kepedulian suku Batak Toba terhadap sesama suku Batak Toba.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan perilaku martarombo dengan kepedulian suku Batak Toba terhadap sesama suku Batak Toba.

D. Manfaat Penelitian

(8)

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi ilmu Psikologi khususnya Psikologi Klinis, terutama mengenai perilaku martarombo dan kepedulian suku Batak Toba terhadap sesama suku Batak Toba.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi orang Batak Toba agar tetap memelihara budaya martarombo sehingga dapat meningkatkan kepedulian. Penelitian ini juga diharapkan memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai perilaku martarombo dan kepedulian pada suku Batak Toba.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab 1 : Pendahuluan

Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 : Landasan Teori

(9)

Bab 3 : Metodologi Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel, defenisi operasional dari masing-masing variabel, sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, prosedur penelitian serta metode analisa data.

Bab 4 : Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini akan dijabarkan gambaran subjek penelitian, uji asumsi yang meliput i uji korelasi, kategorisasi data, dan pembahasan.

Bab 5 : Kesimpulan dan saran

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada

Dapat menambah pengetahuan penulis khususnya penelitian dimasa yang akan datang serta sarana untuk mengetahui bukti empiris tentang pengaruh NPL, LDR dan BOPO terhadap

Hal tersebut diperkuat dengan pendapat kepala madrasah bahwa kegiatan pembiasaan yang digunakan madrasah untuk melakukan pendidikan nilai nasionalisme

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

Dalam penelitian ini penulis membahas masalah yang ditemukan pada identifikasi yakni tentang manajemen pembelajaran ganda pendidikan agama islam dalam rangka

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 Ayat 1 Lembaran Negara Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344 9.

Pemilihan bahasa daerah atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi tentunya tidak mudah kerena kita benar-benar harus memperhatikan variabel-variabel lain yang

kebenaran apa yang diutarakan oleh para penghadap tersebut di atas, karena benar telah mengetahui dan mengenal almarhum.-- bahwa berdasarkan atas keterangan para penghadap dan