• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERLINDUNGAN TAWANAN PERANG HUKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PERLINDUNGAN TAWANAN PERANG HUKU"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PERLINDUNGAN TAWANAN PERANG

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

disusun oleh

ELFRYDA PRAHANDINI E1A014281

FAKULTAS HUKUM

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah kehidupan manusia, peristiwa yang banyak dicatat adalah perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar antara macam interaksi tersebut.

Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai “armed conflict” merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu sekitar 60 tahun belakangan ini setelah munculnya Konvensikonvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dengan jumlah yang sangat besar. Hampir di setiap negara mengalami konflik bersenjata.

Terjadinya konflik bersenjata diawali dari adanya pertentangan kepentingan dengan bangsa lain atau pertentangan antar kelompok dalam suatubangsa sendiri. Secara implisit, hal ini dapat disebut sebagai suatu bentuk perjuangan nasional atau memperjuangkan kepentingan nasional. Berdasarkan jumlah konflik bersenjata yang telah ataupun sedang terjadi di berbagai negara di dunia, konflik tersebut dapat dibedakan menjadi konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional (konflik dalam negeri).

Konflik bersenjata adalah suatu peristiwa penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-pihak yang bertikai. Dalam sejarah konflik bersenjata telah terbukti bahwa konflik tidak saja dilakukan secara adil, tetapi juga menimbulkan kekejaman.1 Dapat

dipastikan bahwa konflik bersenjata tidak bisa dihindarkan dari jatuhnya korban, baik pihak kombatan maupun dari pihak penduduk sipil yang tidak ikut berperang, baik golongan tua maupun golongan muda, wanita dan anak-anak. Akibat dari konflik bersenjata dapat mengenai siapa saja yang berada dalam daerah konflik tersebut.

Namun sekalipun telah ada pengaturan mengenai tata cara peperangan dan pengaturan mengenai perlindungan terhadap korban perang, tampaknya para pihak yang berselisih

1 Asep Darmawan, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam Hukum Humaniter. Kumpulan Tulisan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2005, hlm 51. Dikutip dari chapter I hal (1) pada

(3)

kurang mengindahkan pengaturan-pengaturan tersebut. Setiap konflik yang terjadi, dapat diketahui bahwa masih banyak korban yang jatuh akibat konflik bersenjata tersebut. Keadaan ini menunjukkan bahwa keberadaan dari setiap pengaturan-pengaturan mengenai konflik bersenjata belum terlalu memberi dampak yang positif.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap tawanan perang menurut hukum humaniter internasional?

2. Bagaimana mekanisme pemulangan tawanan perang setelah berakhirnya peperangan?

BAB II

(4)

A. Perlindungan Tawanan Perang menurut hukum Humaniter Internasional

Seorang yang berstatus sebagai kombatan, otomatis akan mendapatkan perlakuan sebagai tawanan perang, apabila mereka sudah tidak mampu lagi melanjutkan pertempuran (‘hors de combat’) dan jatuh ketangan musuh. Namun ada pula sekelompok penduduk sipil tertentu, walaupun mereka bukan kombatan, apabila jatuh ketangan musuh berhak pula mendapatkan status sebagai tawanan perang. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 4A Konvensi III. Pasal ini menyatakan bahwa mereka yang berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang adalah:2

1) Para anggota angkatan perang dari pihak yang bersengketa, anggota-anggota milisi atau korps sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang itu;

2) Para anggota milisi lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang dioraganisasikan (organized resistance movement) yang tergolong pada satu pihak yang bersengkata dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu telah diduduki, dan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas bawahannya; b. Menggunakan tanda pengenal tetap yang dapat dilihat dari jauh; c. Membawa senjata secara terbuka;

d. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

3) Para anggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiaannya pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan.

4) Orang-orang yang menyertai angakatan perang tanpa dengan sebenaranya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat militer, wartawan perang, leveransir, anggota kesatuan-kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapatkan pengakuan dari angkatan perang yang disertainya dan melengkapi diri mereka dengan sebuah kartu pengenal.

5) Awak kapal niaga termsuk nakhoda, pandu laut, dan taruna serta awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengkera yang tidak mendapatkan perlakuan yang lebih baik menurut ketentuan-ketentuan apapun dalam hukum internasional. 6) Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh mendekat, atas

(5)

membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata secara teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terbuka dan menghormati hukum dan kebiasaan perang.

Dari enam golongan tersebut diatas, mereka yang termasuk ke dalam nomor (1), (2), (3), dan (6) termasuk dalam kategori kombatan, yang apabila tertangkap akan diperlakukan sebagai tawanan perang. Sedangkan mereka yang termasuk dalam nomor (4) dan (5), walaupun termasuk dalam kategori penduduk sipil, namun apabila mereka ditangkap oleh pihak musuh, mereka juga berhak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang.

Jadi dapat kita lihat bahwa enam golongan tersebut diatass yang dapat terdiri dari kombatan dan penduduk sipil, apabila jatuh ketangan musuh, berhak mendapatkan perlakuan sebagai tawanan perang. Mereka harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Menurut Gasser, mereka inilah yang disebut sebagai ‘defenceless persons’ (orang-orang yang kurang mendapatkan perlindungan). Pada prinsipnya, terhadap mereka, pihak-pihak yang bersengketa harus melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:

a. Menjamin penghormatan; artinya mereka yang harus diperlakukan secara manusiawi; b. Menjamin perlindungan; artinya mereka harus dilindungi dari ketidakadilan dan

bahaya yang mungkin timbul dari suatu peperangan, dan terhadap kemungkinan atas perkosaan integritas kepribadian mereka. Harus ada tindakan-tindakan yang perlu untuk menjamin hal ini;

c. Memberikan perawatan kesehatan; artinya mereka berhak atas perawatan kesehatan yang setara dan tidak boleh diabaikan, walaupun ia pihak musuh.

Gasser meringakas perlakuan yang diberikan kepada tawanan perang sebagaimana diatur dalam Konvensi III sebagai berikut:

(6)

2) Segera setelah tertangkap, tawanan perang berhak dilengkapi dengan kartu penangkapan. Kartu penangkapan ini selanjutnya dikirim ke Biro Penerangan di negara asal tawanan perang melalui Badan Pusat Pencarian ICRC (ICRC Central Agancy). Badan Pusat Pencarian ini memiliki tugas memberikan keterangan kepada keluarga para tawanan. Dengan cara ini maka hubungan tawanan perang dengan keluarga mereka dapat tetap terjalin;

3) Secepatnya, para tawanan perang harus dipindahkan dari kawasan berbahaya ke tempat yang aman. Kondisi kehidupan mereka harus setara dengan kondisi kehidupan dari anggota angkatan perang negara panawan yang tinggal di tempat itu;

4) Sedapat mungkin kondisi penawanan mempertimbangkan adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan para tawanan;

5) Para tawanan yang sehat, dapat diminta untuk bekerja, tetapi mereka dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya, apabila mereka menyetujuinya. Contoh dalam hal ini adalah pekerjaan membersihkan ranjau;

6) Tawanan perang berhak untuk melakukan korespondensi dengan keluargaanya (biasanya surat dan kartupos dikirimkan melalui Badan Pusat Pencarian ICRC). Mereka juga boleh menerima bantuan dalam bentuk bingkisan perorangan (individual parcel);

7) Tawanan perang tunduk kepada hukum negara penahan, khususnya hukum yang berlaku untuk angkatan bersenjata. Jika terjadi pelanggaran, mereka dapat dijatuhi sanksi pidana dan sanksi displiner sesuai dengan hukum negara penwan. Negara penawan dapat juga menghukum tawanan perang terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan sebelum mereka ditawan (misalnyan tuduhan kejahatan perang yang dilakukan di daerah pendudukan atau di medan pertempuran);

8) Tawanan perang yang dihukum berhak mendapatkan jaminan peradilan yang wajar dan bila terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman, maka ia tetap berstatus sebagai tawanan perang. Artinya setelah menjalani hukumannya, ia berhak untuk kembali ke negara asalnya;

9) Dilarang melakukan tindakan pembalasan (reprisal) terhadap tawanan perang.

Pasal 12 konvensi Wina 1949 memuat ketentuan penting yang menyatakan bahwa tawanan perang adalah tawanan Negara musuh dan bukan tawanan daripada orang – orang atau kesatuan – kesatuan militer yang menawan mereka3. Negara yang melakukan penahanan

(7)

ini berkewajiban menghormati tawanan perang yang tunduk di bawah kekuasaannya dengan memberikan mereka jaminan perlindungan dan perlakuan yang manusiawi. Hal tersebut karena penahanan tawanan perang tidak boleh dianggap sebagai hukuman atau tindakan balas dendam, akan tetapi tujuan penahan itu hanyalah sebatas cara untuk mencegah pihak yang ditawan berada di suatu tempat yang memungkinkannya melakukan gangguan atau ancaman. Tindakan-tindakan yang keluar dari tujuan awal penahanan tawanan perang ini dianggap telah melanggar batas-batas yang harus dihormati dalam suatu konflik bersenjata.

Tukar menukar tawanan perang tidak selalu didasarkan atas jumlah atau kuantitas yang sama dari tawanan perang yang akan dipertukarkan, tetapi umumnya didasarkan atas pertimbangan terhadap mereka yang mengalami penderitaan khusus. Pemulangan atau pelepasan penuh tawanan perang juga dapat dilakukan dengan cara bersyarat atau perjanjian tersebut, tawanan perang yang dilepaskan berjanji untuk memenuhi persyaratan , yaitu tidak akan ikut ambil bagian lagi secara aktif dalam pertempuran. Namun, karena hukum dari sejumlah negara tidak membolehkan militer mereka menerima persyaratan demikian, maka pelepasan dengan syarat atau perjanjian jarang sekali terjadi.

B. Mekanisme Pemulangan Tawanan Perang

Berkenaan dengan pemulangan tawanan perang, timbullah satu masalah, yaitu apabila para tawanan perang itu sendiri tidak mau untuk dipulangkan (sebab berdasarkan pasal 118 Konvensi III, semua tawanan perang harus dipulangkan ke negara asalnya). Persoalannya, dapatkah mereka dipaksa untuk pulang ke negara asalnya? Persoalan ini timbul berkaitan dengan keengganan para tawanan perang Korea Utara dalam kasus Perang Korea, untuk dikembalikan ke negara mereka. Dalam hal ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan secara negatif, yakni tidak seorang tawanan perangpun yang dapat dipaksa untuk kembali ke negaranya, jika mereka tidak menghendakinya. Namun, hal ini harus diputuskan dengan hati-hati. Sebab, jika para tawanan perang diperbolehkan memutuskan sendiri untuk pulang atau tidak, kemungkinan negara penahan akan menegaskan haknya membuat putusan mengenai pemulangan para tawanan itu, sehingga suatu negara dapat saja menekan para tawanan perang untuk tetap tinggal. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, maka suatu organisasi kemanusiaan yang tidak berpihak (netral) dapat melakukan jasa-jasa baiknya berkenaan dengan pemulangan para tawanan.

(8)

luka dan sakit. Kondisi mereka dicatat dan secepatnya diberikan kepada Biro Penerangan (pasal 122 Konvensi III). Keterangan tersebut harus meliputi : nama negara asal; nomor anggota; nama lengkap dan nama kecil; tanggal lahir; serta tanggal dan tempat penangkapan. Keterangan ini selanjutnya disampaikan kepada negara asal si korban yang bersangkutan, melalui Kantor Pusat Tawanan Perang dan Negara Pelindung.

Disamping orang-orang yang luka dan sakit, maka pihak yang bersengketa juga harus melakukan semua tindakan untuk mencari dan mengidentifikasi orang-orang yang telah meninggal dunia. Wasiat dan barang lainnya dari si korbaan harus dikumpulkan. Pemakaman mereka harus dijamin. Pembakaran mayat hanya dimungkinkan karena alasan kesehatan atau ajaran agama si korban. Makam mereka harus didaftar, ditandai dan dijaga oleh Layanan Pendaftaran Makam Resmi (Official Graves Registration Service), yang dikelola oleh para pihak yang bersengketa.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

(9)

mereka jatuh sebagai tawanan, sampai kemudian dibebaskan dan dipulangkan ke kampung halaman atau tanah air mereka.

Mekanisme pemulang tawanan perang setelah peperangan berakhir, tidak seorang tawanan perangpun yang dapat dipaksa untuk kembali ke negaranya, jika mereka tidak menghendakinya. Namun, hal ini harus diputuskan dengan hati-hati. Sebab, jika para tawanan perang diperbolehkan memutuskan sendiri untuk pulang atau tidak, kemungkinan negara penahan akan menegaskan haknya membuat putusan mengenai pemulangan para tawanan itu, sehingga suatu negara dapat saja menekan para tawanan perang untuk tetap tinggal. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, maka suatu organisasi kemanusiaan yang tidak berpihak (netral) dapat melakukan jasa-jasa baiknya berkenaan dengan pemulangan para tawanan. Para pihak yang bersengketa juga harus melakukan segala tindakan yang dimungkinkan untuk mencari dan mengumpulkan orang-orang yang luka dan sakit. Kondisi mereka dicatat dan secepatnya diberikan kepada Biro Penerangan (pasal 122 Konvensi III). Disamping orang-orang yang luka dan sakit, maka pihak yang bersengketa juga harus melakukan semua tindakan untuk mencari dan mengidentifikasi orang-orang yang telah meninggal dunia

DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, Asep. 2005. Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam _________Hukum Humaniter. Kumpulan Tulisan, Jakarta: Pusat Studi Hukum _________Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1968. Konvensi – Konvensi Djenewa Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang. Bandung : binatjipta.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

Tabel 3 menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perubahan skor tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu serta tingkat kecukupan energi,

Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antar penggunaan kosentrasi biourine sapi dan dosis pupuk SP-36 terhadap berat biji kering per tanaman

Matriks serat nano yang digunakan untuk media ekstrak jernang sebagai penyembuh luka seperti pada Gambar 3A dan 3B.. Gambar 3A menunjukkan matriks serat nano masih

Instalasi CSSD melayani semua unit di rumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, mulai dari proses perencanaan, penerimaan barang, pencucian, pengemasan &

Partai Politik sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik

Latar belakang penelitian ini adalah rendahnya hasil belajar dan minat baca siswa pada pelajaran tematik terpadu kelas V SDN Salatiga 9 yang berjumlah 43 siswa. Rendahnya hasil