• Tidak ada hasil yang ditemukan

AMBIGUITAS KATA CUKUP SEBAGAI KATA PENJELAS DALAM BAHASA INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AMBIGUITAS KATA CUKUP SEBAGAI KATA PENJELAS DALAM BAHASA INDONESIA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

AMBIGUITAS KATA CUKUP SEBAGAI KATA PENJELAS DALAM BAHASA INDONESIA

Pana Pramulia

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

panapramulia@gmail.com ABSTRAK

Bahasa berkaitan erat dengan sistem makna. Makna bahasa tersebut terdapat pada kata, klausa, kalimat, sampai wacana. Makna bahasa dapat disampaikan, apabila lawan tutur memahami bahasa dari penutur. Sebaliknya, makna bahasa dapat tidak tersampaikan, apabila penutur kurang jelas memahami bahasa dan tidak jelas dalam menyampaikannya. Makna bahasa yang tidak tersampaikan akan menghasilkan kesalahan pemahaman akan bahasa. Kesalahan berbahasa bisa terjadi dari penggunaan bahasa secara lisan maupun tulisan. Kombinasi kedua sudut pandang tersebut dapat ditemukan dalam aneka jenis kesalahan berbahasa. Sebagian besar kesalahan berbahasa berkaitan dengan pengucapan. Apabila kesalahan berbahasa lisan tersebut ditulis, maka jadilah kesalahan berbahasa itu dalam bahasa tulis. Kesalahan berbahasa dapat digolongkan menjadi kelompok afiksasi, reduplikasi, dan gabungan kata atau kata majemuk. Ada kesalahan berbahasa disebabkan perubahan pengucapan. Misalnya, penggabungan dua kata atau lebih sehingga mengaburkan makna bahasa. Kemudian, ada kesalahan berbahasa yang disebut pleonasme dan ambigu. Pleonasme merupakan pemakaian kata yang berlebihan. Misalnya, kata “sangat”, “begitu”, “sekali”, dan sebagainya. Sedangkan, ambigu merupakan sesuatu (ujaran) yang bermakna ganda. Misalnya pada kata penjelas “cukup”. Kata “cukup” banyak ditemukan dalam Bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan kesalahan berbahasa Indonesia, khususnya penggunaan kata “cukup” sebagai kata penjelas. Berdasarkan temuan peneliti di lapangan, antara lain dari ujaran masyarakat, tulisan di media cetak, tulisan di media sosial, masih banyak yang menggunakan kata “cukup” untuk mengungkapkan sebuah penegasan. Kesalahan berbahasa dalam penggunaan kata “cukup” sebagai kata penjelas mengakibatkan pengaburan makna. Sebagai contoh, ujaran “cukup megah” memiliki makna ganda, yaitu bisa dimaknai sangat megah dan tidak terlalu megah atau biasa-biasa saja. Maka, tujuan penelitian ini mendeskripsikan kesalahan penggunaan kata cukup sebagai kata penjelas dalam Bahasa Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang akan menghasilkan data deskriptif. Maksudnya, data yang disajikan merupakan deskripsi dari pemaknaan kata “cukup” sebagai kata penjelas dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat dan dokumentasi.

Kata kunci: Ambiguitas, Cukup, Makna Bahasa PENDAHULUAN

Bahasa merupakan representasi dari pikiran, perasaan, dan emosi manusia. Ketiganya berperan penting untuk keberhasilan berkomunikasi dengan sesamanya pada seluruh bidang kehidupan. Keberhasilan komunikasi juga ditentukan tata bahasa yang baik dan benar dari penutur. Jika, lawan tutur tidak memahami bahasa dari penutur, bisa jadi tata bahasa dari penutur tidak baik dan benar atau penutur melakukan kesalahan berbahasa dari segi lainnya. Kesalahan tata bahasa dapat mengakibatkan pengaburan makna, sehingga lawan tutur akan mengalami kesulitan saat menerima pesan dari penutur. Hal tersebut banyak ditemukan, baik dari bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Berdasarkan hal tersebut, idiom “Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar” digaungkan berulangkali, baik oleh pemerintah maupun instansi-instansi tertentu. Arifin dan Hadi (2015:1) menyatakan semua warga negara Indonesia wajib membina dirinya masing-masing dalam pemakaian bahasa Indonesia agar bahasa itu tumbuh dan berkembang sesuai kaidah yang berlaku.

Bahasa yang digunakan manusia merupakan kesepakatan bersama masyarakat penggunanya, tetapi tidak semua kesepakatan tersebut sesuai dengan kaidah pemaknaan bahasa itu sendiri. Masyarakat Indonesia sebagai pengguna Bahasa Indonesia telah menyepakati

(2)

beberapa kata tertentu, tetapi bila ditinjau dari segi pemaknaan dapat dikatakan keliru. Misalnya, ketika Taufik Hidayat memutuskan mundur dari PBSI, salah seorang pengurus organisasi tersebut berkata: “Kita kehilangan pemain potensial”. Artinya pemain sekaliber Taufik Hidayat yang pernah memperoleh medali emas di Olimpiade hanya berderajat sebagai pemain yang mempunyai potensi.

Dari kata “potensial” tersebut, maka tidak ada perbedaan antara Taufik Hidayat dengan dengan calon atlet yang dididik di klub, bahkan tidak berbeda juga dengan pemain kampung pemula. Kiranya masyarakat Indonesia sebagai pemakai aktif Bahasa Indonesia belum memenuhi kriteria penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesalahan tersebut menjadikan sebuah pola kalimat kehilangan esensi dan menjadikan kata yang diusung tidak efektif digunakan. Dari sini dapat dikatakan bahwa pemaknaan bahasa masih mejadi problematika masyarakat Indonesia. Pateda (2010:78) menyatakan Persoalan makna merupakan persoalan yang menarik dalam kehidupan sehari-hari. Maksudnya, pemaknaan bahasa yang keliru sebagian besar sudah disepakati masyarakat penggunannya.

Pembicaraan mengenai kesalahan berbahasa pada dasarnya merupakan permasalahan bersifat teoretis. Hal ini dibuktikan bahwa perbincangan mengenai kesalahan berbahasa hanya berada dalam ruang lingkup birokrasi dan akademisi, khususnya ruang lingkup ahli bahasa atau mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Maksudnya, pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia hanya dibebankan pada pemerintah dan akademisi bahasa. Padahal, semua warga negara mempunyai kewajiban melaksanakan pembinaan bahasa (Arifin dan Hadi:2). Dari permasalahan bersifat teoretis tersebut dapat dipetik pelajaran sebagai media pengajaran dan pengembangan Bahasa Indonesia menjadi lebih mapan.

Kesalahan berbahasa dapat digolongkan menjadi kelompok afiksasi, reduplikasi, dan gabungan kata atau kata majemuk. Ada kesalahan berbahasa disebabkan perubahan pengucapan. Misalnya, penggabungan dua kata atau lebih sehingga mengaburkan makna bahasa. Kemudian, ada kesalahan berbahasa yang disebut pleonasme dan ambigu. Pleonasme merupakan pemakaian kata yang berlebihan. Misalnya, kata “sangat”, “begitu”, “sekali”, dan sebagainya. Sedangkan, ambigu merupakan sesuatu (ujaran) yang bermakna ganda. Kata yang bermakna ganda bisa disebabkan oleh tata bahasa yang keliru. Ilmu tentang makna atau semantik berkaitan erat dengan tata bahasa. (Verhaar, 2012:14) menyatakan semantik termasuk tata bahasa juga. Tata bahasa yang keliru akan mengaburkan esensi dari makna kata tersebut. Misalnya pada kata penjelas “cukup”. Kata “cukup” sebagai penjelas banyak ditemukan dalam Bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini hanya mendeskripsikan kesalahan berbahasa Indonesia, khususnya penggunaan kata “cukup” sebagai kata penjelas, walaupun sebenarnya kata tersebut sudah disepakati masyarakat Indonesia pada umumnya. Berdasarkan temuan peneliti di lapangan, antara lain dari ujaran masyarakat, tulisan di media cetak, tulisan di media sosial, masih banyak kata “cukup” digunakan untuk mengungkapkan sebuah penegasan. Padahal, jika dicermati secara seksama dan mendalam kata “cukup” sebagai sebuah penegasan mengakibatkan pengaburan makna.

METODOLOGI

Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (Djajasudarma, 2010:3). Pendekatan penelitian berkaitan dengan beberapa langkah analisis dalam memproses informasi ilmiah. Pendekatan penelitian merupakan konsep dasar yang dijadikan kerangka berpikir dalam sebuah penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang akan mendeskripsikan kesalahan kata “cukup” sebagai kata penjelas dalam Bahasa Indonesia. Data yang disajikan berupa ujaran dan tulisan, baik di media cetak maupun media sosial yang memuat kata-kata “cukup” sebagai kata penjelas atau penegas kata lain.

Penelitian ini bersifat empiris karena data berumber dari realitas yang ada. Mahsun (2011:3) menyatakan penelitian bahasa bersifat empiris, maksudnya fenomena lingual yang menjadi objek penelitian bahasa merupakan fenomena yang benar-benar hidup dalam pemakaian bahasa. Artinya, fakta lingual secara realitas digunakan oleh penuturnya, bukan yang sedang dipikirkan penuturnya.

(3)

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara simak, mencatat dan dokumentasi. Menurut Mahsun (2011:92) metode simak digunakan untuk memperoleh data dengan melakukan penyimakan penggunaan bahasa. Kemudian, hasil dari simak/menyimak peneliti melakukan pencatatan dan dokumentasi agar data dapat disimpan dan dianalisis dengan baik. Teknik simak teknik catat, dan teknik dokumentasi ini berarti peneliti sebagai instrumen kunci melakukan penyimakan, pencatatan, dan pendokumentasian secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data primer yakni sasaran peneliti yang berupa ujaran masyarakat, baik di media cetak, media elektronik, maupun secara langsung (lisan).

Kemudian, peneliti akan menyajikan hasil analisis data yang berupa analisis kata “cukup’ sebagai kata penjelas dalam Bahasa Indonesia. Tahap analisis merupakan tahapan penting dan sentral dalam penelitian (Sudaryanto, 2015:8). Maksudnya, semua tahapan dalam peneltian terikat erat pada tahap analisis. Dalam tahap analisis akan ditemukan persoalan beserta penyelesainnya.

ANALISA

Istilah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar telah dikenal oleh masyarakat secara luas. Pengenalan istilah tersebut tidak menjamin bahwa mereka memahami secara komprehensif konsep dan makna istilah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Slogan “gunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar,” tampaknya mudah diucapkan, tetapi belum banyak yang melakukan. Barangkali slogan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar secara pemaknaan tidak jelas. Slogan tersebut hanya retorika yang tidak berwujud nyata, sebab masih diartikan bahwa di segala tempat masyarakat Indonesia harus menggunakan bahasa yang masih selalu dipengaruhi oleh bahasa daerahnya jika mereka berbahasa Indonesia secara lisan.

Dalam situasi resmi, baik lisan maupun tulisan, seorang akademisi, atau bahkan non-akademisi akan berusaha menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebaliknya, dalam situasi tidak resmi seseorang akan cenderung menggunakan bahasa sesuai konteks. Hal itu dapat diartikan, bahwa pemakaian bahasa tersebut serasi dan sesuai dengan sasarannya. Ungkapan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran. Akan tetapi, pemakaian bahasa secara konteks seringkali bertentangan dengan kaidah pemaknaan, walaupun bahasa tersebut sudah menjadi kesepakatan bersama masyarakat penggunanya.

Sebagai contoh, ada gaya bahasa yang mecerminkan watak suka melebih-lebihkan kenyataan. Sekarang ini mudah sekali masyarakat menyebut pengajian biasa sebagai akbar, tablik biasa sebagai akbar. Kata akbar yang biasanya dekat dengan Tuhan, telah dipindah ke manusia. Jadi ada manusia menyembah Tuhan sambil membesar-besarkan dirinya sendiri. Begitu juga ketika kita harus menyebut pemain film sebagai bintang atau bahkan mega bintang.

Selain itu, tabiat masyarakat dalam berbahasa sering demikian ambigu. Tabiat sebagai peragu dan plin-plan. Misalnya, akan tercermin dalam gaya ungkapan semacam ini: "Panggung pertunjukkan itu 'cukup megah'." Tidak ada keraguan lagi jika kata "megah" pasti menggambarkan kebesaran; ketinggian; sangat lebar; sangat panjang. Untuk itulah sesuatu mendapat sebutan megah. Kata megah bermakna ukuran yang melebihi batas kewajaran. Jadi, kata "cukup" tersebut sulit diterima nalar jika digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang lebih dari cukup. Kalau sesuatu tersebut cukup megah, berarti tidak megah lagi.

Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa yang digunakan masyarakat untuk menggunakan kata “cukup” cenderung tidak jelas. Banyak masyarakat mengatakan “cukup besar”, “cukup bijaksana”, “cukup cantik”, “cukup galak”, dan sebagainya. Pertanyaannya, kenapa sebagian dari kita tidak bisa berterus terang mengatakan bahwa dia besar, bijaksana, cantik, galak. Pembaca atau pendengar akan kesulitan menangkap makna sebenarnya dari kata cukup besar, cukup bijaksana, cukup cantik, dan cukup galak. Besar memiliki arti lebih dari ukuran sedang.. Sedangkan cukup adalah tidak kurang. Berdasarkan pengertian kata besar dan cukup, pemaknaan kata menjadi tidak jelas. Cukup besar bermakna ambigu, karena dapat mempunyai makna ganda,

(4)

seperti “sedang” atau “lebih dari sedang” dan “kurang dari besar”. Hal tersebut tentu membingungkan. Kata “cukup besar” bisa diganti dengan kata “sedang,” atau “tidak besar. Dengan menghilangkan kata “cukup” berarti penutur berani jujur dan makna yang dihasilkan dari ujaran tersebut menjadi jelas.

Di sisi lain, beberapa penambahan kata cukup sebagai penjelas tidak sesuai dengan pemaknaanya jika melihat realitas sebenarnya. Misalnya, statement Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dimuat di https://m.tempo.co/read/news tanggal 26 Februari 2017. “Kesenjangan di Indonesia cukup berbahaya dibanding di negara lain,” kata Kalla saat menutup tanwir Muhammadiyah di Ambon. Kata “cukup berbahaya” bermakna tidak begitu berbahaya atau tidak terlalu berbahaya. Berdasarkan makna tersebut persoalan kesenjangan masih mudah diselesaikan, karena tidak terlalu berbahaya. Realitasnya, kesenjangan – dalam hal ini kesenjangan sosial di Indonesia – sudah dapat dikatakan sangat berbahaya, karena jumlah masyarakat yang kaya tidak sebanding dengan jumlah masyarakat miskin. Pada kenyataannya, pemerintah masih kesulitan menyelesaikan persoalan tersebut.

Pada berita lain http://www.tribunnews.com/internasional menyatakan “Gadis berusia 14 tahun asal Australia, didakwa dengan percobaan pembunuhan setelah ia diduga meracuni dua anak lainnya, dengan coklat brownies yang tercemar dengan zat beracun”. Berita tersebut diberi judul Gadis ABG ini Cukup Sadis”. Cukup sadis bermakna tidak terlalu sadis, akan tetapi jika membaca konten berita perbuatan yang dilakukan si gadis bisa dikatakan sadis atau bahkan sangat sadis. Jadi, pemaknaan “cukup sadis” pada berita tersebut tidak sesuai dengan realitas sebenarnya.

Demikian juga pernyataan yang disampaikan reporter olahraga seringkali sama dengan pernyataan Jusuf Kalla di atas. Misalnya, “bola melambung cukup tinggi”, “pukulan smash Roger Federer cukup keras”, “pada lap terakhir Lorenso melaju cukup kencang”, dan sebagainya. Tiga pernyataan tersebut pemaknaan kata “cukup” sebagai penjelas ambigu, karena realitasnya bola melambung tinggi sekali – maksudnya jauh dari mistar gawang paling atas, smash Roger Federer sangat keras – sehingga tidak dapat dijangkau lawannya, dan laju kecepatan Lorenso di lap terakhir sangat cepat – sehingga meninggalkan jauh lawan-lawannya.

Dari uraian di atas, penggunaan kata cukup sebagai penjelas mempunyai makna yang ambigu. Pertama, pemaknaan kata cenderung tidak jelas. Kedua, pemaknaan kata tidak sesuai dengan realitasnya. Berdasarkan hal tersebut, kiranya masyarakat belum sepenuhnya memahami menggunakan kata cukup sebagai penjelas kata lain. Memang, secara umum masyarakat tidak mempermasalahkan atau bahkan setuju dengan ungkapan kata tersebut. Walaupun demikian, apabila kata “cukup” sebagai penjelas terus digunakan, maka akan menggeser makna sebenarnya dan bisa jadi akan menjadi boomerang bagi kelangsungan pengembangan dan pembinaan Bahasa Indonesia.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis mengenai kata cukup sebagai penjelas, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia dalam berbahasa seringkali ambigu, sehingga berpengaruh terhadap sistem pemaknaan bahasa. Penggunaan kata ‘cukup’ di depan sebuah kata menjadikan makna bahasa ambigu atau tidak jelas, sehingga makna menjadi kabur. Dari analisis juga ditemukan dua hal penting yang berkaitan dengan pemaknaan kata cukup sebagai penjelas. Pertama, pemaknaan kata cenderung tidak jelas. Sebagai contoh, kata “cukup megah”. kata "megah" pasti menggambarkan kebesaran; ketinggian; sangat lebar; sangat panjang. Untuk itulah sesuatu mendapat sebutan megah. Sesuatu tersebut pasti ukuran yang melebihi batas kewajaran. Jadi, kata "cukup" tersebut sulit diterima nalar jika digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang lebih dari cukup. Kalau sesuatu tersebut cukup megah, berarti tidak megah lagi. Kedua, pemaknaan kata tidak sesuai dengan realitasnya. Sebagai contoh, kata bola melambung cukup tinggi”. Maknanya, bola tidak terlalu melambung tinggi atau bola tidak melambung tidak begitu tinggi. Pemaknaan kata “cukup” sebagai penjelas ambigu, karena realitasnya bola melambung tinggi sekali. Hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia, jika ditinjau dari cara berbahasa mempunyai tabiat peragu dan plin-plan. Maka, masyarakat Indonesia sebagai pengguna Bahasa Indonesia

(5)

hendaknya menggunakan kata cukup sesuai dengan tempatnya, agar pemaknaan sebuah kata atau kalimat tetap sesuai dengan substansinya.

REFERENSI

Arifin, Zaenal dan Hadi. 2015. 1001 Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Akademika Pressindo.

Djajasudarma, Fatimah. 2010. Metode Linguistik: Ancangan Metode dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

https://m.tempo.co/read/news/2017/02/26/078850446/tanwir-muhammadiyah-kalla-kesenjangan-sudah-membahayakan

http://www.tribunnews.com/internasional/2012/10/08/gadis-abg-ini-cukup-sadis

M.S., Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Cetakan kedua. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Verhaar, J.W.M. 2012. Asas-Asas Linguistik Umum. Cetakan kedelapan. Cetakan pertama tahun 1996. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Pana Pramulia

Institusi : Universitas PGRI Adi Buana Surabaya Pendidikan

1. Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Adi Buana Surabaya 2. Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya

Minat Penelitian Sastra Sastra Lisan Analisis Wacana Semantik Sosiolinguistik

Referensi

Dokumen terkait

1) Leverage PT “X” berada pada posisi yang cukup baik, namun masih perlu perhatian, karena masih terjadi 1 kali peningkatan rasio hutang perusahaan. Namun secara

membuktikan emakin besar investor memegang saham perusahaan maka akan meningkatkan kredibilitas informasi yang dihasilkan sedangkan transaksi dengan pihak yang

Dikatakan ergonomis karena troli makanan yang dihasilkan mempunyai tinggi troli 97.83 cm sesuai dengan ukuran tinggi siku berdiri lansia sehingga lansia merasa

Berfungsi sebagai pengendali kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi fungsi kehumasan baik internal maupun eksternal antara lain pengelolaan website, company profile,

LEVEL 192 : Ketik di keyboard #FF00FF (ada bagian bulatan di tengah yang bisa di- drag, nah nanti akan membentuk sebuah symbol ©, cari di situs Parampaa! Yang ada

Sedangkan penilaian responden untuk kinerja Yakult didapat keseluruhan skor rata-rata kinerja atribut pilihan rasa produk Yakult sebesar 1,49 dinilai sangat sedikit oleh responden

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, strategi marketing yang dilakukan di BMT Assyafiiyah Berkah Nasional KC Pekalongan dalam menarik minat masyarakat

Strategi pengembangan sentra UMKM ikan pindang di Tasikagung Kabupaten Rembang antara lain: pengembangan pasar baru diimbangi dengan meningkatkan jumlah produksi ikan