• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Kebiasaan Merokok dalam Perspektif Sigmund Freud dan Herbert Marcuse

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diskursus Kebiasaan Merokok dalam Perspektif Sigmund Freud dan Herbert Marcuse"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Mata Kuliah BUDAYA DAN KESEHATAN

Makalah

Diskursus Kebiasaan Merokok dalam Perspektif Sigmund Freud dan

Herbert Marcuse

Oleh Slamet Haryono1

NIM 177047001

MAGISTER SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

1 Mahasiswa Magister Sosiologi FISIP USU, slamethdotkom@yahoo.com

(2)

Pendahuluan

Merokok menjadi fenomena yang jamak di Indonesia, kita dapat dengan mudah menjumpai orang-orang merokok sekalipun berada pada lingkungan yang jelas-jelas tertulis larangan untuk merokok. Mengacu pada UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 115 menyebutkan bahwa yang termasuk Kawasan Tanpa Rokok adalah fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

Kebiasaan merokok merupakan resultan yang nampak dari sekian panjang dan kompleksitas permasalahan tembakau, mulai dari faktor budaya, faktor ekonomi, faktor psikososial juga faktor politik selain masalah kesehatan itu sendiri. Ketersediaan tembakau sebagai bahan baku utuama menjadi faktor awal fenomena kebiasaan merokok. Indonesia berada pada peringkat ke-5 sebagai produsen tembakau dunia dengan produksi tembakau sebesar 135.678 ton, atau sekitar 1.9% dari total produksi tembakau dunia. Produksi tembakau meningkat dari dari 135.678 ton tahun 2010 menjadi 226.704 ton tahun 2012, namun di sisi lain impor tembakau juga meningkat dari 65,6 ribu ton tahun 2010 menjadi 106,5 ribu ton tahun 2011. Ini berarti permintaan rokok di Indonesia cukup besar karena konsumsi masih meningkat (Tobacco Control and Support Center - IAKMI, 2014).

Pada tahun 2012 tercatat ada 786,2 ribu orang petani tembakau di Indonesia, mengalami peningkatan dari tahun 2010 yang hanya 679,6 ribu orang. Peningkatan jumlah ini mengindikasikan bahwa petani masih mendapatkan keuntungan dari tembakau, walaupun risiko untuk menanam tembakau sangat tinggi seperti gagal panen karena curah hujan yang tinggi atau karena hama. Selain itu, petani tembakau berada pada posisi tawar yang rendah karena harga tembakau ditentukan oleh pabrik rokok melalui tengkulak. Informasi mengenai ketersediaan tembakau di gudang pabrik rokok tidak diketahui petani sehingga petani tidak dak mengetahui berapa kebutuhan pabrik rokok. Secara total produksi rokok nasional terus mengalami peningkatan, tercatat pada tahun 2013 sudah mencapai 332 milyar batang (Tobacco Control and Support Center - IAKMI, 2014).

Selain faktor ketersediaan rokok, rendahnya harga rokok di Indonesia dianggap turut memberikan kontribusi prevalensi kebiasan merokok. Prevalensi konsumsi tembakau cenderung meningkat baik pada laki-laki maupun perempuan. Peningkatan prevalensi

(3)

lebih banyak pada perempuan dari 1.7% pada tahun 1995 menjadi 6.7% pada tahun 2013, sedangkan pada laki-laki dari 53.4% pada tahun 1995 menjadi 66% pada tahun 2013. Secara umum, prevalensi merokok lebih tinggi pada penduduk dengan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan yang rendah, tinggal di pedesaan dan status bekerja. Laki-laki cenderung lebih banyak yang mulai merokok pada usia muda, sedangkan pada kelompok perempuan lebih banyak yang mulai merokok pada usia lebih tua (Tobacco Control and Support Center - IAKMI, 2014).

Dalam melihat hubungan antara merokok dan penyakit, prevalensi ISPA pada perokok aktif lebih tinggi (11.9% pada laki-laki dan 13.7% pada perempuan) dibandingkan pada yang tidak merokok (11.1% pada laki-laki dan 11.9% pada perempuan). Demikian juga halnya dengan prevalensi hipertensi, lebih tinggi pada perokok aktif (22.1% pada laki-laki dan 38.3% pada perempuan) dibandingkan pada populasi yang tidak merokok (17.9% pada laki-laki dan 26.9% pada perempuan). Pola yang sama juga terjadi dalam melihat hubungan antara keparahan merokok (perokok ringan dan berat) dengan hipertensi. Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada perokok berat (Indeks Brinkman ≥ 200) yaitu sebesar 29.9% pada laki-laki dan 43.5% pada perempuan) dibandingkan pada perokok ringan (Indeks Brinkman < 200) yaitu sebesar 17% pada laki-laki dan 34% pada perempuan (Tobacco Control and Support Center - IAKMI, 2014).

Cukai dari tembakau digadang-gadang sebagai penambah pendapatan negara, namun pada kenyataannya kerugian makro ekonomi akibat konsumsi rokok di Indonesia pada 2015 mencapai Rp 596,61 triliun atau empat kali lipat lebih dari jumlah cukai rokok pada tahun yang sama. Kerugian ini meningkat 63% dibanding kerugian dua tahun sebelumnya (Kosen et al., 2017).

Berdasarkan pada realitas tersebut menarik untuk dianalisa mengenai faktor historis, budaya dan psiko-sosial dari kebiasaan merokok. Selanjutnya fenomena kebiasaan merokok tersebut dikaji dengan menggunakan perspektif Sigmun Freud dan Herbert Marcuse. Pertanyaan mendasar yang akan coba dijawab dalam makalah ini adalah “Bagaimana merokok menjadi suatu kebiasaan? Hal-hal apa saja yang menyebabkannya? Bagaimana alternatif pemikiran mengenai penanganan kebiasaan merokok?

(4)

Perkembangan Tembakau dan Kebiasaan Merokok

Tembakau sudah dipergunakan oleh manusia sejak 16.000 SM, penduduk asli Peru dan Ekuador telah membudidayakannya pada periode 5.000 SM. Masyarakat kala itu menggunakan tembakau sebagai bagian dari kebiasaan dalam bermasyarakat dan tidak mengkaitkan tembakau dengan ritual dan makna tertentu. Pada saat itu bangsa Eropa belum mengenal tembakau sebagai rokok, perkenalan bangsa Eropa dengan tembakau adalah salah satunya diawali pada misi penjelajahan Columbus1492 yang mendapati penduduk asli Amerika mengkonsumsi tembakau dengan cara dibakar dan asapnya dihisap ke dalam paru-paru. Periode berikutnya, Sir John Hopkins Pelaut Inggris membawa tembakau ke Eropa, selanjutnya dengan segera merokok menjadi bagian kebiasaan masyarakat Inggris dalam menikmati waktu santai. Budidaya tembakau dilakukan oleh kolonis Spanyol dan Inggris di daratan Amerika, yang kemudian dikirim ke Eropa. Pada 1615 tercatat dilakukan pengiriman ke Inggris dari kolonis di Jamestown sebanyak 1.000 kg (Burns, 2007).

Tembakau di Indonesia sudah dibudidayakan cukup lama, namun sumber yang lebih pasti bahwa introduksi tembakau merupakan bagian dari praktik tanam paksa yang dilakukan VOC pada 1837, hingga 1860 tercatat sudah ada 14.825 keluarga yang membudidayakan tembakau (Kartodirdjo & Suryo, 1991). Budidaya tembakau dalam sistem agroindustri dimulai pada 1863 di Sumatera Timur yang menjadi penanda pergeseran dari sitem pertanian tradisional menjadi kapitalistik. Dalam perkembangan berikutnya, setelah disahkannya Undang-undang pertanahan Kerajaan Belanda pada 1870, memberikan ruang bagi pengusaha swasta untuk berperan dalam kegiatan usaha. Hal ini perupakan perkembangan lebih lanjut menuju sistem liberalisme industri (Ghani, 2016).

Tidak disebutkan kapan dimulainnya kebiasaan merokok, namun dapat diperkirakan seiring dengan ketersediaan bahan baku berupa daun tembakau, masyarakat mulai mengkonsumsi tembakau. Tidak seperti kebanyakan konsumsi rokok di dunia yang hanya menggunakan daun tembakau, di Indonesia lebih populer rokok kretek, yaitu rokok dengan campuran beberapa bahan tambahan penyedap rasa, biasanya adalah cengkeh. Varian penyedap rasa yang lain adalah dengan menggunakan campuran kelembak dan kemenyan. Sebagai pembungkus biasa digunakan daun jagung atau daun kelapa yang disebut klobot. Rokok kretek ditemukan pada 1870 oleh Haji Djamasri/Djamhari di Kudus dengan mencampurkan cengkeh ke dalam tembakau klobot. Secara kebetulan

(5)

penyakit asma yang dideritanya semkain membaik, sehingga rokok kretek menjadi terkenal dan ramai diperjualbelikan. Karena banyaknya permintaan, terjadi persaingan antar para pembuat rokok kretek rumahan di Kudus sampai terjadi kericuhan pada 1918. Perusahaan rokok dalam skala besar didirikan oleh Nitisemito yaitu NV Bal Tiga di Kudus. Pada 1920 NV Bal Tiga mulai melakukan kegiatan promosi dengan memberikan hadiah, tour gratis, rokok gratis dan stand promosi pada even pasar malam. Kebiasaan merokok menggantikan kebiasaan konsumsi tembakau kunyah, diperkirakan periode 1950. Hal ini juga menjadi simbol modernitas yang menunjukan kelas masyarakat, seolah-olah merokok merupakan simbol dari kelas atas yang prestisius serta diasosiasikan dengan maskulinitas (Arnez, 2009).

Sampai dengan tahun 1968 semua industri rokok masih menggunakan cara manual yaitu dengan lintingan tangan. Sejak saat itu perusahaan besar seperti Bentol, Djarum, Gudang Garam dan Sampoerna secara bertahap mempraktikan mekanisasi. Cara linting tangan tetap juga dilakukan sampai sekarang untuk jenis rokok tertentu. Hal ini menimbulkan dampak pada pengurangan tenaga kerja serta memberikan jarak antara perusahaan besar dan kecil semakin jauh (Arnez, 2009).

Lemahnya regulasi dan penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perusahaan rokok disinyalir menjadi penyebab terus meningkatnya prevalensi merokok. Pemerintah dianggap lemah dan tidak perhatian atas tanyangan iklan yang mempromosikan produk rokok, bahkan pemberian sanksi atas pelanggarannya dianggap tidak serius. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa prevalensi merokok pada masyarakat berpenghasilan rendah jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat berpenghasilan tinggi. Demikian juga pada masyarakat yang berpendidikan rendah dan tinggal di pedesaan, juga lebih tinggi (Arnez, 2009).

Diskursus Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok diasosiasikan dengan ungkapan kebebasan, maskulinitas, profeionalitas dan kelas atas yang aktif, dinamis, berani dan kuat (Effendi, Laksono, & Machfutra, 2014). Apakah benar demikian keputusan untuk merokok atau tidak merokok merupakan suatu kebebasan? Demikian juga saat memutuskan untuk berhenti atau tidak merokok merupakan suatu kebebasan? Herbert Marcuse berpendapat bahwa manusia

(6)

tidak lagi bebas menentukan pilihannya. Manusia tidak lagi menjalankan hidup mereka sendiri melainkan memenuhi fungsi-fungsi yang sudah ditetapkan sebelumnya (Suseno, 2013). Dengan demikian, kebiasaan merokok telah terkondisi oleh sedemikian banyak faktor yang memungkinkan akan hal itu, karena pilihan untuk tidak merokok menjadi aneh dan dianggap tidak “normal”. Dalam konteks sosiokultural, bahwa dengan merokok merupakan sarana untuk menjadi bagian dari komunitasnya. Sebagai suatu identitas kultural (World Health Organization, 2009). Perusahaan rokok melihat bahwa identitas kultural menjadi suatu kesempatan bahwa merokok menjadi bagian hidup masyarakat. Bentuk pemanfaatan identitas kultural dalam strategi promosi rokok dapat dilihat melalui berbagai kegiatan berbasis kebudayaan yang disponsori perusahaan rokok, misalnya pendanaan pembangunan gapura menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia yang bernuansa sangat mengagungkan budaya dan tradisi daerah. Berbagai macam bentuk promosi dan sponsor kegiatan bidang olah raga dan lingkungan juga gencar dilakukan untuk menunjukkan gambaran kedekatan dengan lingkungan dan kesehatan sehingga menafikkan isu kesehatan. Terjangan berbagai kampanye dan promosi tersebut yang membangun realitas semu, sehingga merokok menjadi diterima sebagai hal yang normal dari masyarakat.

Sampai di sini, teori manusia satu dimensi dari Marcuse dapat dengan jelas menggambarkan prevalensi merokok. Namun bagaimana hal itu bisa menjelaskan fenomena ketika rokok belum menjadi suatu industri dan belum ada iklan dan promosi yang masif? Misalnya pada masa introduksi tembakau ke Indonesia.

Meskipun efek publikasi dan promosi rokok memberikan efek pencitraan yang meningkatkan prevalensi merokok, tidak berarti bahwa jika tanpa hal itu prevalensi merokok akan menurun. Dalam catatan historis perkembangan tembakau dan rokok di Indonesia, bahwa keputusan untuk merokok bukan semata-mata pengaruh dari luar diri pribadi seperti iklan dan promosi, namun sebagian diantaranya adalah karena faktor dari dalam dirinya. Berbagai persolan hidup manusia memerlukan media untuk melepaskannya, melakukan relaksasi dan tidak memakan biaya tinggi (Arnez, 2009). Dalam situasi yang demikian merokok merupakan suatu kenikmatan yang dapat dengan segera diperoleh tanpa repot dan biaya tinggi. Menjadi jelas kiranya mengapa masyarakat berpenghasilan rendah, pendidikan rendah dan tinggal di pedesaan tingkat prevalensi merokok lebih tinggi.

(7)

Kontak awal dan niatan untuk relaksasi tidak kemudian tiba-tiba menjadi suatu kebiasaan. Dalam hal ini kontribusi pemikiran Sigmund Freud kiranya dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena manusia dalam mencari kenikmatan. Dorongan tersebut terkait dengan energi eros, yang mendapatkan sensasi kenikmatan melalui mulut seperti halnya bayi dalam fase oral mendapati kenikmatan saat makan dan minum asi (Freud, 1961). Ditambah lagi kandungan senyawa yang ada pada tembakau seperti nikotin dapat menyebabkan efek adiksi sehingga menyebabkan ketergantungan dan kebiasaan (Kosen et al., 2017).

Simpulan dan Wacana Penanganan Kebiasaan Merokok

Dapat disimpulkan bahwa kebiasaan merokok dimulai karena adaya ketersediaan bahan baku, dalam hal ini Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir komoditas tembakau. Kemudahan akses untuk mendapatkan rokok dengan harga yang relatif terjangkau turut menjadi faktor prevalensi merokok. Fungsi rekreatif, relaksasi dan kenikmatan ditambah keterjangkauan harga rokok menjadi latar belakang mengapa fenomena merokok prevalensinya lebih tinggi pada masyarakat berpenghasilan rendah, pendidikan rendah dan tinggal di pedesaan.

Kebiasaan merokok selain karena alasan personal mendapatkan dasar argumentatif sebagai syarat penerimaan sosio-kultural, yang semakin ditegaskan dengan pembangunan citra maskulinitas, dinamis, aktif dan kuat melaluai berbagai media promosi perusahaan rokok. Hal ini mengafirmasi teori manusia satu dimensi Marcuse. Dijelaskan lebih lanjut oleh Freud mengenai teori kenikmatan dan afek adiktif dari nikotin menyebabkan para perokok mengabaikan resiko kesehatan. Hal ini seolah menunjukan realitas semu dengan mencari dalih untuk tetap merokok dan mengabaikan fakta kerugian ekonomis maupun kesehatan. Secara kebetulan dua kerugian tersebut tidak langsung dan segera, sehingga menempatkan fakta kenikmatan, eksistensi dan penerimaan sosial menjadi lebih dominan. Dalam permikiran masyarakat yang begitu pragmatis, kebiasaan merokok seolah menampung dua realitas kontradiktif eros dan thanatos, semangat positif dan destruktif dalam satu tindakan, yaitu merokok. Marcuse menyatakan demikian “Kita memang mencari nikmat, tetapi nikmat berarti melepaskan ketegangan, dan kematian melepaskan segala ketegangan…” (Suseno, 2013). Adalah fakta bahwa semua manusia akan mati, dan

(8)

hidup penuh beban dan ketegangan, oleh karena itu ketegangan itu perlu dilepaskan dan hidup dinikmati, dengan merokok menjawab semua itu dengan bergitu praktis pragmatis. Upaya untuk menyingkirkan kebiasaan merokok di Indonesia menjadi begitu berat mengingat prevalensi merokok mendapatkan dalih yang kuat dalam dimensi personal, sosial, ekonomi dan politik. Penanganan prevalensi merokok tidak bisa secara parsial dan spontan, harus komprehensif dan kontinyu. Pengenalan bahaya merokok perluuntu diperkenalakan sedini mungkin dalam berbagai media dan ruang publik, termasuk sekolah. Hal ini diperlukan untuk menghindari resiko adiktif setelah adanya kontak dengan rokok. Dukungan orang tua dan masyarakat sekitar sangat menentukan agar informasi bahaya merokok terafirmasi dalam kehidupan nyata, dan bukan sekedar wacana. Penegakan peraturan yang membatasi peredaran, konsumsi, promosi diharpkan dapat turut menekan angka prevalensi merokok. Masyarakat Indonesia yang cenderung permisif sekaligus naif mengidolakan modernitas dengan segala simbol-simbolnya menjadi tantangan berat dalam menekan prevalensi merokok.

REFERENSI

Arnez, M. (2009). Tobacco and Kretek : Indonesian Drugs in Historical Change, (August).

Burns, E. (2007). The Smoke of the Gods. Philadelphia: TEMPLE UNIVERSITY PRESS. Effendi, D. E., Laksono, A. D., & Machfutra, E. D. (2014). Diskursus tentang rokok.

Pro-Kontra Diskursus Rokok Dalam Media Sosial YouTube, 135–185.

Freud, S. (1961). Beyond the Pleasure Principle. New York: W.W. Norton & Company. Ghani, M. Abdul. (2016). Jejak Planters di Tanah Deli : Dinamika Perkebunan di

Sumatera Timur 1863-1996. Bogor : PT. Penerbit IPB Press.

Kartodirdjo, Sartono & Djoko Suryo. (1991). Sejarah Perkebunan di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta : Penerbit Aditya Media.

Kosen, S., Thabrany, H., Kusumawardani, N., & Martini, S. (2017). Health and Economic Cost of Tobacco in Indonesia. Jakarta.

(9)

Suseno, F. Magnis. (2013). Dari Mao ke Marcuse : Percikan Filsafat Marxis Pasca Lenin. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Tobacco Control and Support Center - IAKMI. (2014). Fakta Tembakau (Vol. Edisi v). Jakarta: Tobacco Control Support Center - IAKMI. Retrieved from http://www.tcsc- indonesia.org/wp-content/uploads/2016/06/Buku-Fakta-Tembakau-2014__Web-Version.pdf

World Health Organization. (2009). Reading culture from tobacco advertisements in Indonesia. Tobacco Control, 18(Apr), 1–17.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penentuan bayi dengan berat badan lahir rendah terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui seperti prematuritas murni dan dismatur, istilah prematuritas

Manfaat praktis: a) Bagi Sekolah, dapat memberikan sumbangan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. b) Bagi guru, meningkatkan kualitas guru

Berdasarkan Rencana Struktur Ruang di RTRW Kota Padang Tahun 2010 – 2030 Koridor Ampang termasuk kedalam Pusat Kota bagian tengah yaitu Pusat Kota Lama

Judul Tesis : Hubungan Nilai Red Cell Distribution Width dengan Mortalitas pada Pasien Sepsis di Unit Perawatan Intensif Anak.. Nama Mahasiswa : Trina Devina Nomor

Persepsi siswa terhadap kompetensi profesional guru agama akan berhubungan erat dengan intensitas belajar mereka pada mata pelajaran pendidikan agama Islam, maka dari

Kata bentukan baku yang tepat untuk mengisi bagian yang rumpang dalam kalimat di atas adalah _______.. Kalimat di bawah ini tidak efektif kecuali

Dikarenakan nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel (14,084 &gt; 3,354) dan nilai signifikansi 0,000 &lt; 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya price earning ratio dan

Pada penelitian yang dilakukan di Ruang Mina RSI Ibnu Sina Pekanbaru dengan jumlah responden sebanyak 30 orang, didapatkan hasil 66,7% perawat pelaksana dalam hal