1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam menjalani kesehariannya akan selalu dihadapkan dengan berbagai macam pilihan. Hampir setiap hari, bahkan setiap waktu manusia dituntut untuk mengambil pilihan dari berbagai macam alternatif yang ada. Minimal ada dua alternatif atau lebih yang harus diambil oleh pengambil keputusan untuk memilih salah satu pilihan berdasarkan pertimbangan atau kriteria tertentu. Apapun kegiatan manusia, dia akan dihadapkan dengan beberapa pilihan, baik itu pilihan dalam membeli makanan, pakaian, memilih sekolah hingga memilih pekerjaan. Proses dalam mengambil keputusan terkadang rumit, dikarenakan setiap alternatif memiliki pertimbangan yang berbeda. Dalam hal pekerjaan individu akan dihadapkan dengan pilihan pekerjaan dari berbagai macam alternatif. Beberapa orang terkadang memilih pekerjaan yang tidak jauh dari lingkungan tempat tinggalnya, karena ketersediaan sumber daya alamnya. Keberadaan sumber daya alam dimanfaatkan oleh banyak orang untuk mengeruk keuntungan, salah satunya adalah pasir.
Sumber daya alam seperti pasir, merupakan salah satu material yang dibutuhkan dalam pembangunan terutama industri konstruksi. Kebutuhan akan pasir terus ada dan bahkan meningkat apalagi daerah kota yang pembangunannya sangat pesat. Kegunaan pasir sangat banyak terutama dalam kontruksi bangunan, salah satunya dipakai untuk campuran beton, plesteran, pemasangan batako, pembuatan pondasi bangunan dan banyak lainnya. Kegiatan penambangan pasir salah satunya berada di Kabupaten Magelang, tepatnya di sungai-sungai yang berhulu ke Gunung Merapi. Banjir lahar dinginyang terjadi di bulan desember tahun 2010 secara umum terjadi di semua sungai yang berhulu di
puncak gunung merapi diantaranya kali krasak, kali bebeng, kali lamat dan kali senowo (Badan Geologi, 2010).
Softdata yang diberikan dari DPU ESDM Kabupaten Magelang menunjukkan bahwa potensi material vulkanik di wilayah Magelang mencapai 30 juta meter kubik dengan cadangan material mencapai 261 juta kubik (DPU ESDM, 2010). Banyaknya material tersebut dijadikan lahan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.Material berupa pasir dan batu menumpuk di sungai dan ditambang oleh masyarakat secara gratis. Sungai-sungai yang berhulu di puncak merapi dijadikan lokasi penambangan pasir.Salah satu wilayah sungai yang dijadikan lokasi penambangan pasir adalah Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang.Cadangan material vulkanik di wilayah Srumbung terhitung paling banyak di Kabupaten Magelang, dengan total sekitar 62 juta meter kubik.Material tersebut tersebat di 4 sungai, yaitu Sungai Bebeng, Putih, Blongkeng, dan Batang (DPU ESDM, 2013).
Peneliti secara langsung melakukan terjun lapangan untuk mengetahui tentang pekerjaan bidang pertambangan pasir.Observasi pertamapun dilakukan di lokasi penambangan pasir, tepatnya di alur Sungai Bebeng.Sungai ini terletak di Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung.Pengamatan langsung menunjukkan bahwasanya jenis pekerjaan yang ada dalam bidang pertambangan pasir yaitu penambang dan sopir (Observasi ke-1, 4 April 2014).
Gambar 1: Pekerjaan dalam pertambangan pasir di alur sungai Bebeng Observasi memperlihatkan bahwasanya pekerjaan penambang adalah menambang hingga mengangkutkan pasir, sedangkan sopir adalah melakukan proses pengangkutan. Pekerjaan yang mereka jalankan terlihat memberikan hasil secara langsung dan itu terlihat dariSopir truk yang membayarkan sejumlah kepada kelompok penambang setelah truknya penuh.Sopir trukpun juga mendapatkan uang secara langsung dengan menjual pasirnya ke konsumen.Dalam hal ini, hasil langsung menjadi salah satu daya tarik pekerjaan.Berdasarkan obrolan santai dengan sopir truk asal Karangawen, Demak menjelaskan bahwa hasilnya secara langsung merupakan salah satu alasannya menjadi sopir. Harganya jual pasir ke luar daerah bisa mencapai Rp 1.200.000,- /rit (Observasi, 4 April 2014).
Keleluasaan bekerjapun terlihat pada penambang, karena tidak perlu menggunakan modal yang banyak untuk bekerja.Alat yang dibawa sekedar slenggrong, linggis, ayakan dan angkong.Kondisi ini sangatlah berbeda dengan pekerjaan sopir truk.Modal utama menjadi sopir adalah adanya alat transportasi berupa truk. Dari sini, maka akan mulai terlihat perbedaan yang mencolok antara penambang dan sopir dalam hal modal. Risiko yang ditanggung sopir truk jauh lebih banyak ketimbang pekerjaan menambang pasir.Apabila alat penambang pasir rusak atau tidak bisa digunakan, maka untuk membeli /
membuatnya tidaklah mahal.Berbeda jauh dengan alat transportasi yang bermasalah, maka risiko yang harus ditanggung juga lebih besar.Mengingat modal yang dibutuhkan besar, maka risiko yang dipertaruhkanpun juga lebih besar.
Serangkaian observasipun memperlihatkan bahwa tugas pekerjaan sopir jauh lebih kompleks dibanding penambang. Sopir harus membeli / mencari pasir, menjalani proses pengangkutan, dan menjual pasir. Melihat kenyataan itu, maka peneliti memilih untuk mengetahui lebih jauh tentang pekerjaan sopir truk. Menjadi sopir memang akan berhadapan dengan konsekuensi yang harus dihadapi, akibat pilihannya. Begitu pula keputusan individu untuk menjadi sopir truk.Dalam buku The Psychology of Risk, risiko didefinisikansebagai kemungkinan terjadinya peristiwa atau kejadian merugikan yang terjadipada suatu waktu (Breakwell, 2007).Gambaran tentang risiko kerja sopir truk merupakan sebuah konsekuensi negatif akibat pilihan yang diambil oleh individu, yaitu bekerja sebagai sopir truk.
Mereka berhadapan dengan lingkungan kerja yang harus dijalani sebagai seorang sopir, baik it lingkungan fisik ataupun sosial.Dari observasi pertama ini ditemukan bahwasanya perjalanan untuk sampai di tempat tujuan tidaklah semudah yang dikira.Kondisi yang berbatuan, berlubang, dan hanya terdapat 1 jalur saja membuat perjalanan terhitung berat.Sopir truk terlihat harus berkonsentrasi penuh untuk menghadapi risiko lokasi.Tangannya memutar balikkan kemudi dengan cepat untuk menghindari batu di depannya, matanya fokus dan ini menunjukkan bahwa untuk sampai di lokasi saja sudah harus menghadapi risiko lokasi yang sulit (observasi 1, tanggal 4 April 2014.).
Selama proses observasi, pembicaraan mereka yang membahas tentang banjir beberapa hari sebelumnya. Sopir dan beberapa penambang tersebut terlihat asyik merokok dan duduk di tanah, dekat dengan bekas penggalian pasir.Dari cerita tersebut, sopir menanggapi banjir beberapa hari sebelumnya. Terdengar sekali ketika ia berkata “Wah
gede tenan to, toh nyowo tenan nggeh to”(observasi 3, 20 November 2014). Respon dari sopir truk tersebut menunjukkan bahwa risiko kerja sopir truk terhitung berisiko tinggi.Mereka bekerja di dalam lokasi penambangan yang bisa mengancam keselamatan kerja mereka sendiri.Banjir menjadi salah 1 bencana alam yang akrab dalam kehidupan mereka.
Media Kompas (2014) memberitakan bahwa pada bulan januari terjadi banjir lahar dingin yang menghanyutkan 4 truk. Truk tersebut baru akan mengantri pasir. Sopir truk tidak sempat menyelamatkan truk dikarenakan banjir datang dengan cepat. Lokasi sungai yang berbatuan tidak mungkin untuk mengemudikan truk dengan lancar. Pengamatan langsung menunjukkan bahwa truk hanya dapat berjalan dengan kecepatan 5-10km/jam. Lokasi sungai yang bertebing juga memberikan resiko terjadinya tanah longsor. Tebing longsor pernah terjadi di sungai pabelan yang berhulu di sungai senowo. Longsoran tersebut menimbun 6 truk dan mengakibatkan 1 orang tewas (Kompas, 2014).
Berita dari salah satu media cetak tersebut, membenarkan tentang hasil observasi yang peneliti lakukan.Dalam salah satu obervasi memperlihatkan secara langsung truk yang tertimbun tanah longsor. Total truk yang tertimbun tebing longsor berjumlah 5 buah truk (observasi ke-17, 20 Maret 2016).
Truk yang tertimbun, menunjukkan bahwa risiko kerja mereka tidak hanya berhubungan dengan keselamatan kerja, akan tetapi juga pengeluaran mereka. Truk menjadi alat transportasi utama untuk mengangkut pasir. Ketiadaan truk mengakibatkan rutinitas mereka terganggu, bahkan bisa menghilangkan pekerjaan mereka.Pengeluaran akibat adanya kecelakaan tidak hanya terjadi di lokasi penambangan, akan tetapi juga di ranah perjalanan sopir truk. Peneliti kembali secara langsung meninjau kecelakaan truk di Jalan Banyuadem-Jerukagung, Srumbung.
Gambar 3 : Truk roboh di Jembatan Banyuadem-Jerukagung
Selama proses penelitian, peneliti aktif dalam mencari informasi dengan berbagai macam cara. Dari grup facebook merapi, jaringan radio HT komunitas merapi (JME, Compac).Foto tersebut diambil pada saat peneliti mendapati informasi dari jaringan radio HT lintas merapi (Komunitas JME).Terjadi kecelakaan truk tepatnya di Jalan banyuadem-jerukagung, srumbung.Truk roboh karena tidak kuat dalam menanjaki jembatan yang curam (keterangan dari salah 1 ibu-ibu di dalam observasi).Kerugian yang harus ditanggung adalah kerusakan truk, kehilangan pasir, dan rutinitas jangka panjangnya terganggu.Terlihat di foto, kerusakan terhitung parah, bak truk berlubang dan tidak tertata. Robohnya truk tidak hanya merugikan sopir secara pribadi, akan tetapi secara sosial. Dari
foto, Nampak jelas bagaimana jalan tersebut terputus karena truk roboh menutupi jalan.Masyarakat, khususnya pengguna jalan ikut merasakan akibat dari robohnya truk.Kelancaran menjadi terganggu dan berdasarkan jaringan informasi radio HT JME merapi, butuh 2 hari untuk menyingkirkan truk yang roboh tersebut.
Temuan tersebut memberikan sedikit gambaran risiko kerja sopir truk.Breakwell (2007) menyatakan bahwa risikomeliputi dua dimensi yaitu kemungkinan (probability) dan efek (effect).Sedangkan Conchar, Zinkhan, Peters, dan Olavarrieta, (2004) serta Hillson danWebster (2004) menyebutkan dua elemen risiko yaitu ketidakpastian(uncertainty) dan konsekuensi (consequences). Risiko kerja sopir truk berisi tentang kedua elemen tersebut, baik itu kemungkinan akan terjadinya sesuatu dan efek dari terjadinya sesuatu. Seperti robohnya truk dalam menaiki jembatan.Informasi dari warga yang melihat, robohnya truk dikarenakan tidak kuat menaiki jembatan karena muatan yang banyak.Ini berarti, risiko terjadi akibat efek dari keputusan sopir truk dalam mengangkut muatan banyak. Meskipun itu juga tidak berarti sopir lain pasti mengalami kejadian yang sama jika muatan sama-sama penuh.
Data tersebut hanya sekelumit dari risiko kerja sopir truk, maka peneliti akan berusaha untuk lebih jauh mengungkap risiko apa saja yang dihadapi oleh sopir truk. Proses mengungkap risiko kerja sopir truk, tidak cukup dengan adanya wawancara dalam penelitian, maka peneliti akan melakukan berbagai macam observasi yang intensif dalam rangka menemukan lebih jauh lagi risiko kerja sopir. Apabila dilihat dari sudut pandang masyarakat sekitar, kegiatan pengangkutan sopir truk mengakibatkan kerugian yang dirasakan oleh banyak pihak.Kerugian ini terutama dalam hal kerusakan jalan, akibat muatan berat pasir.
Masyarakat juga memperlihatkan adanya protes kepada pemerintah akibat adanya proses pengangkutan sopir truk. Ini menunjukkan bahwa kegiatan sopir truk juga berisiko
memberikan dampak sosial bagi masyarakat sekitar.Observasi menunjukkan adanya aksi protes dalam bentuk spanduk di Jalan Soropadan-Salamsari, Srumbung (Observasi ke-11,30 Mei 2015).Terlihat jelas adanya kerusakan jalan di ruas jalan yang sebenarnya tidak layak untuk dilewati truk bermuatan material.
Gambar 4: Spanduk Protes Warga Kepada Pemerintah Akibat Kerusakan jalan Peneliti tertarik untuk mengungkap lebih dalam dan lebih jauh tentang risiko kerja yang ada di dalam keseharian sopir truk. Tidak berhenti sampai disitu, risiko kerja sopir truk juga diakibatkan karena adanya proses dan mekanisme internal yang pada diri sopir truk itu sendiri. Seperti keputusan sopir truk yang mengangkut pasir dengan muatan banyak, memberikan risiko yang ternyata memberikan dampak buruk baginya. Faktor internal seperti emosi, kepribadian, sifat, sejarah emosional, danfaktor eksternal seperti keluarga, teman sebaya, media, lingkungan ikut berperan di dalamnya (Robertson & Collinson, 2010). Adanya faktor internal membuat peneliti juga tertarik untuk mendalami tentang dinamika risiko kerja sopir truk.
Salah 1 dari rangkaian observasi menunjukkan bahwasanya, diantara sekian banyak sopir truk, ada beberapa dari mereka yang berpindah pekerjaan karena merasakan beratnya risiko yang harus ditanggung oleh sopir truk :
Keringat bercucuran di tubuhku, kaos yang aku pakai kebasahan keringat, terutama dibagian punggung dan dada. Cuaca panas, matahari serasa di atasku. Sedikit aku teringat dengan misiku sebagai seorang pelajar, aku berpikir tentang diriku sendiri. Apakah ada teman-temanku, demi sebuah data, rela seperti aku…apakah seperti ini yang namanya penelitian? Demi data, aku merelakan diriku berada di tempat seperti ini. Aku berada diantara orang-orang yang baru, dan lingkungan yang asing bagi mahasiswa sepertiku. Aku haus…lapar…mataku berkaca-kaca, tapi apa daya, aku tak bawa uang sepeserpun. Demi data, apapun aku lakukan!!ya itu prinsipku. Aku kemudian istirahat dan meminta air minum kepada tenaga disebelahku. Disela-sela aku istirahat karena capek “nylenggrong” salah seorang sopir di dekat lokasiku “ngeduk pasir” bercerita dengan para tenaga penambangnya. Nampak terlihat asyik sopir tersebut, duduk di atas batu dan menawarkan rokok kepada beberapa penambangnya. Dia menceritakan tentang tentang 3 orang temannya sopir yang berpindah pekerjaan. aku tidak sempat merekam pembiacaraan mereka, kebetulan hp ku masih di dalam truk. Aku bersyukur bisa menangkap sedikit obrolan mereka. Sopir tersebut dengan jelas berkata “sopir ki abot” sembari memberikan fakta dimana temannya keluar dari sopir karena terbengkalai masalah setoran dengan juragannya, temannya yang 1 nya keluar dari pekerjaan menjadi sopir karena tidak memiliki jaringan penjualan dan tidak mendapatkan hasil, dan temannya yang 1 nya lagi karena truk rusak terendam banjir. Rusaknya truk membuat ia tak mampu membayar angsuran, karena tidak bisa memenuhi permintaan. Belum lagi tenaga penambangnya berpindah dengan sopir lainnya.
(sumber data : observasi ke-3, Sungai Bebeng, 20 November 2014)
Pembicaraan mereka membuat peneliti semakin tertarik untuk mendalami lebih jauh tentang risiko pekerjaan sopir truk. Lebih dari itu, data alami yang peneliti dapatkan membuat semakin penasaran tentang keputusan mereka untuk bertahan di dalam risiko kerja. Dari data tersebut terdengar jelas tentang beberapa sopir yang tidak mampu bertahan di dalam risiko kerja. Sekilas, tergambar bahwa penyebabnya karena faktor hubungan kerja mereka dan faktor lingkungan alam. Sopir itu sendiripun menilai behwa menghadapi pekerjaannya sebagai sopir, dengan berbagai risiko yang ada dianggapnya abot atau berat. Sesuai dengan penilaian tersebut, peneliti juga melakukan studi pendahuluan terhadap salah seorangsopir truk lokal beserta Kepala Dusun yang wilayahnya, tepatnya Dsn. Salamsari, Ds. Mranggen, Kec. Srumbung.
Kadus/Dukuh tersebut mengetahui banyak tentang penambangan pasir karena di dusunnya menjadi jalan terakhir di portal penambangan. Lebih jauh ia juga merupakan mantan penambang pasir, dan memahami berbagai kondisi di lokasi penambangan. Dalam sebuah pembicaraan tersebut, didapati bahwasanya sopir truk untuk mendapatkan pasir di lokasi penambangan tidaklah mudah. Sopir tersebut tidak memiliki kelompok penambang tetap, sehingga kadang tidak mendapatkan pasir. Kondisi tersebut juga dibenarkan oleh Kadus, para penambang seringkali memilih untuk mencarikan pasir untuk sopir yang mau membeli pasir dengan harga lebih mahal. Terlihat dalam pembicaraan tersebut, sopir truk mengeluhkan dimana banyak buruh yang mengisi pasir untuk sopir truk luar daerah (non lokal). Mereka berani membeli pasir dari penambang dengan harga yang lebih mahal dari harga beli sopir lokal. Sopir truk yang tidak mendapatkan pasir, maka tidak akan mendaptkan hasil pada hari itu pula (Wawancara awal, 10 Oktober 2014).
Terkait dengan risiko, terdapat dua sikap seseorang ketika menghadapi risiko, risk averse danrisk seeking, hal ini berhubungan dengan trade off antara risiko dan hasil yangdiharapkan. Pada dasarnya manusia adalah penghindar risiko dan menyukaisesuatu yang lebih pasti (March & Shapira, 1987). Namun masing-masingindividu memiliki sikap yang berbeda terhadap suatu risiko. Perbedaan sikap diakibatkan oleh nilai-nilai antar indvidu yang berbeda-beda. Teori nilai telah banyak digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi perbedaan sikap dan perilaku baik pada level individual maupun kolektif. Pada level individual, variasi nilai antar individu memunculkan perbedaan sikap terhadap objek dan situasi tertentu, sehingga persepsi seseorang dalam mengambil keputusan juga berbeda (Schwartz, 1992). Konsekuensi selanjutnya adalah munculnya variasi perilaku antar individu (Rokeach & Kliejunas, 1972).
Berdasarkan keterangan tersebut, sikap seseorang terhadap risiko kerja akan berbeda-beda 1 dengan yang lainnya. Sopir truk yang memilih untuk bertahan dan memilih
untuk keluar dari pekerjaannya, juga memiliki sikap dan persepsi yang berbeda terhadap risiko. Perbedaan itu menurut (schwarts, 1992) dikarenakan mereka memiliki nilai-nilai yang membuatnya bertahan atau tidak berahan. Peneliti lebih tertarik untuk mendalami nilai sopir truk yang memilih untuk bertahan di dalam menjalani pekerjaannya. Keintensifan peneliti dalam memahami risiko kerja sopir truk, mengakibatkan peneliti semakin yakin, bahwa risiko kerja yang dialami sopir truk tidaklah ringan. Itu didasarkan atas pengalaman data reflective peneliti dalam observasi, beserta informasi pembicaraan diantara mereka.
Dalam memahami nilai tersebut, peneliti masuk di lingkungan kerja sopir truk, sekaligus merasakan risiko pekerjaan mereka. Masuknya peneliti, berarti ikut berada di dalam budaya yang ada di kalangan para sopir truk. Hofstede (1991) mengatakan bahwa nilai merupakan cerminan dari budaya, dimana terjadi interaksi antara nilai, sikap, dan perilaku di dalam anggota komunitas tersebut. Ini menandakan bahwa pemahaman tentang nilai sopir truk juga tidak bisa lepas dari pemahaman tentang budaya mereka dalam konteks kesehariannya dalam bekerja. Merujuk dari teori tersebut, beserta serangakaian observasi yang dilakukan, maka peneliti akan mengungkap secara mendalam juga tentang nilai budaya sopir truk untuk bertahan di dalam pekerjaannya. Apabila dikaitkan dengan risiko secara lebih rinci, ini berarti termasuk bertahan dalam menghadapi segala macam risiko yang ada di dalam pekerjaannya.
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, peneliti merumuskan permasalahan utama, yaitu “bagaimanakah dinamika risiko kerja sopir truk dan nilai-nilai kearifan lokal apa sajakah yang dimiliki sopir untuk bisa bertahan dalam pekerjaannya?
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika risiko kerja sopir truk, keterkaitan antar risiko dan memahami nilai-nilai kearifan sopir truk untuk bertahan di dalam bekerjaa..
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi secara empiris dan aktual tentang risiko kerja dan nilai-nilai budaya di dalam bekerjasehingga dapat memperkaya ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan psikologi sosial, sehingga dapat menjadi saran bagi penelitian yang akan datang. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan-pengetahuan lokal, khususnya jawa dalam suatu kerangka keilmuan sistematis.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi pedoman bagi sopir truk dalam memilah strategi yang cocok untuk menghadapi risiko kerja
b. Memberikan informasi kepada Pemkab Magelang dan Pemerintah Kec. Srumbung tentang kondisi nyata pekerjaan sopir truk di alur sungai yang berhulu di merapi. Diharapkan pula sebagai rujukan kepada pemerintah dalam membuat kebijakan tentang proses pertambangan, khususnya pengangkutan yang dilakukan oleh sopir truk
c. Tambahan pengetahuan bagi masyarakat srumbung khususnya sopir truk tentang keberdaan nilai kearifan lokal untuk tetap survive di dalam bekerja