• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Tinjauan tentang Pendaftaran Tanah

a. Pengaturan Pendaftaran Tanah

UUPA mengatur pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah ini menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun pemegang hak atas tanah. Ketentuan tentang kewajiban bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA, yaitu:

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah di adakan pendaftaran tanah seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah;

(2) Pendaftaran tersebut dalam Pasal 1 ayat 1 meliputi: a. Pengukuran, perpetaan, pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak,yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraanya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya tersebut.

(2)

Ketentuan lebih lanjut pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat 1 UUPA diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang diperintahkan disini sudah dibuat, semula adalah Peraturan Pemerintah (PP) No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, kemudian Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi dengan disahkan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Tidak berlakunya lagi Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah termuat dalam Pasal 65 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu “Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan tidak berlaku lagi”. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa Buku Tanah dan sertifikat tanah yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 mempunyai kedudukan yang strategis dan menentukan, bukan hanya sekedar sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 19 UUPA tetapi lebih dari itu Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 menjadi tulang punggung yang mendukung berjalannya administrasi pertanahan sebagai salah satu program Catur Tertib Pertanahan dan Hukum Pertanahan di Indonesia.1

Prinsip-prinsip yang terdapat pada PP No.10 Tahun 1961 justru dipertegas dan diperjelas di dalam PP No.24 Tahun 1997. Penegasan yang diatur dalam PP No.24 Tahun 1997 merupakan upaya penyempurnaan terhadap peraturan yang ada sekaligus penyesuaian

1

Arie S Hutagalung, Tebaran Pemik iran Seputar Masalah Huk um Tanah , Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia:Jakarta, 2005, hl.81

(3)

terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat sebagaimana prinsip-prinsip yang telah diamanatkan oleh UUPA. Ketentuan baru pendaftaran tanah dimaksud secara substansial tetap menampung konsepsi-konsepsi Hukum Adat yang hidup dan berakar dalam masyarakat, sehingga dengan demikian memperkuat kerangka tujuan UUPA yaitu untuk menciptakan unifikasi Hukum Tanah Nasional yang memang didasarkan pada Hukum Adat2.

b. Pengertian, Asas, Tujuan, dan Manfaat Pendaftaran Tanah

Menurut A.P. Parlindungan, Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin Capistratum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti yang tegas, Cadastre adalah record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, Cadastre

merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari tersebut dan juga sebagai continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak atas tanah.3

Kemudian Jaap Zevenbergen mengartikan pendaftaran tanah sebagai land registration and cadastre,

“Land registration is a procedd of official recording of rights in land through deeds or title (on properties). It means that there is an official record (the land register) of rights on land or of deeds concerning changes in the legal situation of defined units of land. It givesan answer to the question “who” and “how. Cadastre is a methodically arranged

2

Mhd. Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis, Op.cit, 2008, hlm.15

3

(4)

public inventory of data concerning properties within a certain country or district, based on a survey of their boundaries. Such properties are systematically identified by means of some separate designation. The outlines or boundaries of the property and the parcel identifier are normally shown on large scale maps which, together with registers, may show for each separate property the nature, size, value and legal rights associated with the parcel. It gives an answer to the questions “where” and “how much”.Cadastre is a methodically arranged public inventory of data concerning properties within a certain country or district, based on a survey of their boundaries. Such properties are systematically identified by means of some separate designation. The outlines or boundaries of the property and the parcel identifier are normally shown on large scale maps which, together with registers, may show for each separate property the nature, size, value and legal rights associated with the parcel. It gives an answer to the questions “where” and “how much”.4

Pengertian pendaftaran tanah baru dimuat dalam Pasal 1 angka 1 PP No.24 Tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

4

Jaap Zevenbergen, “A SistemApproach to Land Registration and Cadastre”, Nordic Journal of

(5)

Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pendaftaran tanah dikenal 2 macam asas, yaitu:

1) Asas Specialiteit artinya pelaksanaan pendaftaran tanah itu diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu, yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran peralihannya. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah, yaitu memberikan data fisik yang jelas mengenai luas tanah, letak, dan batas-batas tanah.

2) Asas Openbaarheid (Asas Publisitas) artinya asas ini memberikan data yuridis tentang siapa yang menjadi subjek haknya, apa nama hak atas tanah, serta bagaimana terjadinya peralihan dan pembebanannya. Data ini sifatnya terbuka untuk umum, artinya setiap orang berhak melihatnya.5

Dalam Pasal 2 PP No.24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas:

1) Asas Sederhana : Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

2) Asas Aman : Asas ini dimaksudkan untuk menunjukan bahwa pendaftaran tanah perlu diseenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

3) Asas Terjangkau : Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan

5

Soedikno Mertokusumo, Huk um dan Politik Agraria, Karunika-Universitas Terbuka: Jakarta, 1988, hal.99

(6)

memerhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan.

4) Asas Mutakhir : Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaanya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukan keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.

5) Asas Terbuka : Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Tujuan pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 PP No.24 Tahun 1997, adalah:

1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA. Maka memperoleh sertifikat bukan

(7)

sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-undang.6

2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Dengan terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Program pemerintah di bidang pertanahan dikenal dengan Catur Tertib Petanahan, yaitu Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah, dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Kelestrian Lingkungan Hidup. Untuk mewujudkan Tertib Administrasi Pertanahan dilakukan dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat

Rechts Cadaster. Terselenggaranya pendaftaran tanah

secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan

6

Boedi Harsono, Huk um Agraria Indonesia Sejarah Pembentuk an Undang -undang Pok ok

(8)

hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar.

Menurut David S. Jones, tujuan dari pendaftaran tanah :

“An important aspect of good governance is an effective sistem of land administration. A central component of this is the comprehensive registration of property title by the state (sometimes called land titling). Registration has several benefits fo both the land houlder and the state. It clarifies the ownership or tenurial interest of the land holder, and provides a legal safeguard of that interest, so guaranteeing him/ her security of tenure”.7

Benitto Arrunada dan Nuno Garoupa juga berpendapat:

“The functioning of titling systems in land holds

important consequences for the economy.

Investments in land are affected by the security of property rights. Furthermore, land is relatively unmovable so it provides good collateral. Well functioning titling systems therefore promote investment and reduce the transaction cost of credit. This was well understood by reformers in the 19th century, when the transition from a system of privacy of property rights to one of publicity, either of deeds or rights, was hotly discussed”.8

7

David S. Jones,“Land Registration and Administrative Reform South east Asian States: Progress

and Constaints”.International Public Management Review. Electronic Journal at http://www.ipmr.net, Vol. 11, 2010.

8

Benitto Arrunada dan Nuno Garoupa, “The Choice of Titling System in Land”, Journal of Law and Economics, Vol.48 No.2, 2005.

(9)

Pihak-pihak yang memperoleh manfaat dengan diselenggarakan pendaftaran tanah, adalah:

1) Manfaat bagi pemegang hak: a) Memberikan rasa aman;

b) Dapat mengetahui dengan jelas data fisik dan data yuridisnya;

c) Memudahkan dalam pelaksaan peralihan hak; d) Harga menjadi lebih tinggi;

f) Dapat dijadikan jaminan utang denga dibebani Hak Tanggungan;

g) Penetapan Pajak dan Bumi Bangunan (PBB) tidak mudah keliru.

2) Manfaat bagi Pemerintah:

a) Akad terwujud tertib administrasi pertanahan sebagai salah satu program Catur Tertib Pertanahan;

b) Dapat memperlancar kegiatan Pemerintahan yang berkaitan dengan tanah dalam pembangunan;

c) Dapat mengurangi sengketa di bidang pertanahan, misalnya sengketa batas-batas tanah, pendudukan tanah secara liar.

3) Manfaat bagi calon pembeli atau kreditor:

Bagi calon pembeli atau kreditor dapat dengan mudah memperoleh keterangan yang jelas mengenai data fisik dan data yuridis tanah yang akan menjadi objek perbuatan hukum mengenai tanah. 9

c. Objek Pendaftaran Tanah

Menurut Pasal 9 PP No.24 Tahun 1997, objek pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:

1) Hak Milik : adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan

9

(10)

mengingat ketentuan dalam Pasal 6 (Pasal 20 Ayat (1) UUPA). Yang dapat memiliki Hak Milik adalah Warga Negara Indonesia dan Bank Pemerintah atau badan keagamaan dan badan sosial.

2) Hak Guna Usaha: adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling 25 tahun guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 Ayat (1) UUPA). Yang dapat memiliki Hak Guna Usaha adalah Warga Negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

3) Hak Guna Bangunan: adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 Tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun (Pasal 35 Ayat (1) dan Ayat (2) UUPA). Pihak yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 4) Hak Pakai: adalah hak untuk menggunakan dan/atau

memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini (Pasal 41 Ayat (1) UUPA). Pihak yang dapat memiliki Hak Pakai adalah Warga Negara Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut hukum

(11)

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, Departemen. Lembaga Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah, Badan-badan keagamaan dan sosial, Orang asing yang berkedudukan di Indonesia, Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

5) Hak Pengelolaan : menurut Pasal 2 Ayat (3) UU No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo. Pasal 1 PP No 36 Tahun 1997 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, mempergunakan tanh untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.10 Yang dapat memiliki Hak Pengelolaan adalah Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, PT Persero, Badan Otorita, Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah.

6) Tanah Wakaf : wakaf tanah hak milik diatur dalam Pasal 49 Ayat (3) UUPA yaitu perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Menurut Pasal 1 Ayat (1) PP No.28 Tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik, yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan

10

Undang-undang No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang -undang No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo. Pasal 1 PP No 36 Tahun 1997 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan, Pasal 2 Ayat(3)

(12)

hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.11

7) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun : adalah hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah, meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan (Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-undang No16 Tahun 1985).12

8) Hak Tanggungan : adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesaatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur-kreditur lain. (Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.4 Tahun 1996).13

9) Tanah Negara : adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah (Pasal 1 angka 3 PP No.24 Tahun 1997). Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah.

d. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

11

Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik, Pasal 49 Ayat(3)

12

Undang-undang No16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Pasal 8 Ayat (2) dan (3)

13

Undang-undang No.4 Tahun 1996 HakTanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Pasal 1 Angka (1)

(13)

1) Pendaftaran tanah untuk pertama kali : yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah atau Peraturan Pemerintah ini.14

Adapun jenis pelayanan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah:

a) Konversi, Pengakuan dan Penegasan Hak b) Pemberian Hak

c) Wakaf (dari Tanah Konversi/ Tanah Negara) d) P3MB/PRK.5

e) Pendaftaran Hak Milik atas Satuan Rumah Susun f) Pemberian Hak Guna Usaha.

g) Kegiatan PRONA.15

Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali meliputi: a) Pengumpulan dan pengolahan data fisik;

b) Pembuktian hak dan pembukuannya; c) Penerbitan sertipikat;

d) Penyajian data fisik dan data yuridis; e) Penyimpanan daftar umum dan dokumen.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui:

a) Pendaftaran tanah secara sistemik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan.

14

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1

15

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Jenis Pelayanan Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia, diakses pada world wide web http://Bpn.go.id , Pada 03 Maret 2015 Pukul 12.35,di Surakarta

(14)

b) Pendaftaran tanah secara sporadik kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual/massal. 2) Pemeliharaan data pendaftaran tanah, yaitu kegiatan

pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.16

Adapun jenis pelayanan pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah:

a) Peralihan hak atas tanah dan satuan rumah susun; b) Ganti nama sertipikat hak atas tanah dan satuan rumah

susun;

c) Perpanjangan jangka waktu;

d) Pembaruan Hak Guna Usaha/ Hak Pakai dan pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan;

e) Pembaruan Hak Guna Usaha;

f) Perpanjangan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun; g) Perubahan Hak Atas Tanah;

h) Pemecahan/ Penggabungan/ Pemisahan Hak Atas Tanah;

i) Hak Tanggungan;

j) Penggantian Sertipikat Hak Atas Tanah, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Tanggungan.17

e. Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak

16

Pendaftaran Pendaftaran Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1

17

(15)

Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah adalah berupa sertipikat hak atas tanah, mempunyai banyak fungsi bagi pemiliknya , dan fungsi itu tidak dapat digantikan dengan benda lain. Pertama, sertifikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat, inilah fungsi yang paling utama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah. Kedua Sertifikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditor untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya. Dengan demikian, apabila pemegang hak atas tanah itu seorang pemegang hak misalnya, sudah tentu memudahkan baginya mengembangkan usahanya itu karena kebutuhan akan modal mudah diperoleh. Ketiga bagi pemerintah, adanya sertifikat hak atas tanah juga sangat menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak langsung. Adanya sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah tersebut telah terdaftar pada Agraria. Data yang tersimpan secara lengkap telah tersimpan di Kantor Pertanahan, dan apabila sewaktu-waktu diperlukan dengan mudah diketemukan. Data ini sangat penting untuk perencanaan kegiatan pembangunan misal pengembangan kota, pemasangan pipa-pipa irigasi, kabel telepon, penarikan pajak bumi dan bangunan dan sebagainya.18

Sifat pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti hak dimuat dalam Pasal 32 PP No.24 Tahun 1997, yaitu:

1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

18

Sudjito, Prona Persertifik atan Tanah Secara Masal dan Penyelesaian Sengk eta Tanah yang

(16)

2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu 5 Tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, maka sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif, yaitu sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat kuat dan bukan merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum ytang harus diterima Hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan yang lain. Dengan demikian, Pengadilan-lah yang berwenang memutuskan alat bukti mana yang benar dan apabila terbukti sertifikat tersebut tidak benar, maka akan diadakan perubahan dan pembetulan sebagaimana semestinya.19 f. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

PP No.24 Tahun 1997 secara tegas menyebutkan bahwa instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut Pasal 5-nya adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat 1 ditegaskan bahwa :

19

(17)

“Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh peraturan ini atau peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain”.

Dalam melaksanakan pendaftaran tanah,, untuk kegiatan-kegiatan tertentu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota tidak dapat melaksanakan sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pihak-pihak lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 Ayat 2 PP No.24 Tahun 1997, yaitu:

“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.

Pejabat lain yang membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah, yaitu:

1) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pelaksanaan pendaftaran Tanah adalah dalam pembuatan akta pemindahan hak kecuali lelang dan akta pemberian Hak Tanggungan atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

(18)

Peran Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah dalam pembuatan Akta Ikrar Wakaf Hak Milik.

3) Pejabat dari Kantor Lelang

Peran Pejabat dari Kantor Lelang dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah dalam pembuatan berita acara atau risalah lelang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

4) Panitia Ajudikasi

Peran Panitia Ajudikasi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah dalam pendaftaran tanah secara sistematik. Semua kegiatan dalam pendaftaran tanah secara sistemik dari awal kegitan hingga penanda tanganan setifikat hak atas tanah dilaksanakan oleh panitia ajudikasi.20

PPAT mempunyai peran yang penting dalam pendaftaran tanah, yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah. Kata „‟dibantu‟‟ dalam Pasal 6 ayat 2 PP No.24 Tahun 1997 disini tidak berarti bahwa PPAT merupakan bawahan dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang dapat diperintah olehnya, akan tetapi PPAT mempunyai kemandirian dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya.

Pengertian PPAT dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

1) Pasal 1 angka 4 UU No.4 Tahun 1996, PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

20

(19)

2) Pasal 1 angka 24 PP No.24 Tahun 1997, PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.

3) Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006, PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak-hak tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud pejabat umum adalah seorang yang diangkat oleh pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan pelayanan kepada umum di bidang tertentu.21 Sejalan dengan Boedi Harsono, Sri Winarsi menyatakan bahwa pengertian pejabat umum memiliki karakter yuridis, yaitu selalu dalam rangka hukum publik, sifat publiknya dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian dan kewenangan PPAT. PPAT akan diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, tugasnya adalah membantu Kepala Badan Pertanahan Kabupaten/kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun22

PPAT mempunyai wewenang mutlak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang ditentukan dalam Pasal 37 ayat (1) PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yaitu melakukan perbuatan-perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, hibah, tukar menukar,

21

Ibid, hal.326

22

(20)

pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang.23

Tugas pokok PPAT dalam membantu pelaksanaan pendaftaran tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ditetapkan dalam Pasal 2 PP No.37 Tahun 1998, yaitu:

1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuatkan akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

a) jual beli; b) tukar-menukar; c) hibah;

d) pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e) pembagian hak bersama;

f) pemberian hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik;

g) pemberian hak tanggungan; dan

h) pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh para pihak mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang menimbulkan akibat hukum bagi para pihak tersebut. Akibat hukum dari perbuatan tersebut dapat berupa pemindahan hak, pembebanan hak dan pemberian hak.

23

Henny Saida Flora, Hubungan Antara Badan Pertanahan Nasional dengan Pejabat Pembuat

Ak ta Tanah Dalam Proses Pendaftaran Tanah , Jurnal Hukum Pro Justisia Volume 26 Nomor 4

(21)

Sedangkan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 3 PP No.37 Tahun 1998, yaitu:

1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta autentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.

2. Tinjauan tentang Konversi Hak Atas Tanah

a. Pengertian dan Tujuan Konversi Hak Atas Tanah

Kata konversi berasal dari kata convertera yang berarti membalikan atau mengubah dengan nama yang baru atau sifat baru sehingga mempunyai isi dan makna yang baru. Pengertian konversi dalam hukum agraria adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru. Hak lama atas tanah adalah hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA, dan yang dimaksud dengan hak baru adalah hak-hak yang termuat dalam UUPA khusunya Pasal 16 ayat 1 c.q hak-hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.24 Adapun istilah konversi menurut Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama adalah pengalihan, perubahan (omzetting) dari suatu hak tertentu kepada suatu hak yang lain.25 Menurut pandangan A.P. Parlindungan bahwa konversi secara umum dapat dikatakan sebagai penyesuaian atau

24

H.Ali Achmad Chomzah SH, Huk um Agraria Pertanahan Indonesia, Jakarta:Prestasi Pustaka, 2004, hal.80.

25

(22)

perubahan dari hak-hak yang diatur oleh peraturan lama disesuaikan dengan hak baru.26

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konversi hak atas tanah merupakan perubahan ataupun penyesuaian dari hak-hak yang lama atas tanah yaitu hak-hak adat maupun hak-hak perdata barat (BW) menjadi hak-hak atas tanah berdasarkan system UUPA. A.P. Parlindungan dalam bukunya “Konversi Hak-hak Atas Tanah” menyatakan bahwa guna mengetahui sikap dan filosofi dari konversi ini maka kita mempunyai 5 (lima) prinsip yang mendasarinya sehingga dapat kita telaah bagaimana tujuannya dan bagaimana penyelesainnya berdasarkan:

1) Prinsip nasionalitas: Dalam Pasal 9 UUPA secara jelas disebutkan bahwa hanya warga Negara Indonesia yang boleh mempunyai hubungan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) Prinsip pengakuan hak-hak tanah terdahulu : Ketentuan-konversi di Indonesia mengambil sikap yang mengakui atas masalah hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada Hukum Barat maupun Hukum Adat yang kesemuanya akan masuk melalui Lembaga Konversi ke dalam sistem dari UUPA. 3) Kepentingan Hukum: Dengan adanya ketentuan konversi

maka ada kepastian Hukum mengenai status Hak-hak atas tanah yang tunduk pada sistem Hukum yang lama. Apakah hak tersebut akan dihapuskan atau disesuaikan kedalam hak-hak menurut sistem UUPA dan kepastian berakhirnya masa-masa konversi hak-hak atas tanah bekas tunduk pada

26

Dr. A.P. Parlindungan, Pedoman Pelak sanaan UUPA dan Tata Cara PPAT, Bandung: Alumni 1982, hal.49

(23)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan telah berakhir pada tanggal 24 September 1960;

4) Penyesuaian kepada ketentuan konversi : Sesuai dengan Pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan Menteri Agraria maupun dari Edaran-edaran yang diterbitkan, maka hak-hak atas tanah yang pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA

5) Status quo hak-hak tanah terdahulu: Dengan berlakunya UUPA, maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada Hukum Barat. Setelah diseleksi menurut ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan pelaksanaannya maka terhadap hak-hak atas tanah bekas hak barat dapat menjadi Tanah Negara karena terkena ketentuan asas nasionalitas atau karena tidak dikonversi menjadi hak menurut Undang-undang Pokok Agraria dan/atau Dikonversi menjadi hak yang diatur menurut Undang-undang Pokok Agraria seperti Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.27

Tujuan diadakannya konversi hak atas tanah adalah untuk: a) menciptakan unifikasi hak-hak perorangan atas tanah

terutama yang sudah merupakan suatu hubungan hukum yang kongkrit dengan tanah berdasarkan ketentuan Hukum Tanah yang lama, yaitu tanah-tanah hak barat dan tanah-tanah hak Indonesia. Hak Hipotik yang membebani tanah-tanah dengan Hak Eigendom,

27

Ulfia Hasanah , Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU. No. 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pok ok -pokok Agraria Dihubungk an dengan PP. No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 Nomor 1 Tahun 2012,

(24)

Hak Erfpacht dan Hak Opstal dan juga Hak

Credietverband yang membebani tanah-tanah Hak

Milik Adat.

b) untuk mengakhiri hak-hak asing tanah, yaitu tanah-tanah hak yang dikuasai dan digunakan oleh orang-orang asing dan badan-badan hukum asing. Hal ini adalah sebagai akibat berlakunya Agrarische Wet

1870 yang memuat politik pertanahan pemerintah

jajahan Hindia Belanda berikut peraturan-peraturan pelaksanaanya. Untuk tanah-tanah hak barat yang tidak dikonversi menjadi hak milik, hanya akan berlangsung selama sisa jangka waktunya dan paling lama adalah 20 tahun dan bahkan ada pula yang tidak dikonversi dan dihapuskan hak barat tersebut.28

b. Terjadinya Konversi

Menurut ketentuan-ketentuan konversi terjadinya konversi dikarenakan 3 (tiga) hal, yaitu:

1) konversi atau perubahan yang terjadi karena hukum. Konversi ini terjadi dengan sendirinya tanpa diperlukan tindakan dari instansi tertentu baik yang bersifat konstitutif maupun deklaratoir.

2) konversi yang terjadi setelah diperoleh suatu tindakan yang bersifat deklaratoir dari instansi yang berwenang. Konversi jenis ini juga terjadi karena hukum tetapi juga disertai syarat-syarat tertentu maka diperlukan suatu tindakan penegasan yang bersidat deklaratoir.

3) konversi yang terjadi melalui suatu tindakan yang bersifat konstitutif. Pada jenis konversi ini perubahan atas sesuatu

28

Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko ,Opcit,2010, hal.188

(25)

hak baru bukan terjadi karena hukum melainkan memerlukan suatu tindakan khusus yang bersifat konstitutif .29

Dalam hal konversi hak atas tanah adat dan tanah barat ini merupakan konversi atau perubahan yang terjadinya karena hukum (van rechtswege), karena ketentuan mengenai konversi tersebut muncul ketika diundangkannya UUPA secara serentak pada 24 september 1960. Ini berarti bahwa terhitung sejak tanggal tersebut tidak berlaku lagi lembaga-lembaga atau hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum tanah barat maupun hukum tanah adat. Demikian pula tidak ada lagi hak hipotik dan hak credietverband sebagai hak jaminan atas tanah. Hak-hak perorangan atas tanah tersebut telah diubah/dikonversi menjadu salah satu hak baru berdasarkan UUPA.

c. Konversi atas Tanah-tanah Barat

Dengan berlakunya Pernyataan Domein (Domein Veklaring) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit 1870, maka tanah-tanah di wilayah Hindia Belanda, sepanjang di daerah pemerintah langsung (kecuali daerah-daerah swapraja) di dan luar Jawa dan Madura, dibagi habis menjadi tanah-tanah Hak Eigendom dan Tanah Domein Negara (Landsdomein adalah tanah milik negara). Dan atas masing-masing tanah tersebut dapat diberikan pada pihak lain dengan Hak Opstal, Hak Erfpacht, Hak Gebruik, (Hak Pakai) dan Hak Sewa, melalui suau perjanjian dengan eigenaar (pemilik hak eigendom) atau dengan Negara (Pemerintah Hindia Belanda). Pada hakikatnya hak-hak itu merupakan hak atas tanah yang sekunder. Sementara untuk mendapatkan tanah dengan Hak Eigendom dapat membeli (melalui jual beli tanah/pemindahan hak) dari negara atau dari eigenaarnya, yang dibuktikan dengan akta hak eigendom yang dibuat oleh Pejabat Balik Nama (overshrijvingsambtenaar) dan

29

(26)

sekaligus didaftarkan pula jual beli/pemindahan haknya oleh pejabat itu. Yang diatur Pasal 1 S 1873-27. Dan semua tanah hak barat30:

Tabel 1. Konversi Hak-hak Asing

Jenis Haknya Dikonversi menjadi dan jangka waktunya

Keterangan

24 September 1960 24 September 1980

Hak Eigendom Hak Milik

Jangka waktu : tidak terbatas

Berlangsung terus

Hak Guna Bangunan Jangka waktu : 20 Tahun Hapus menjadi Tanah Negara.Diajukan permohonan baru Hak Pakai Jangka waktu: selama diperlukan (khusus Untuk Perwakilan Negara Asing digunakan untuk kantor/rumah kediaman Kepala Perwakilan Asing tersebut) Berlangsung terus selama diperlukan.

Hak Erfpacht Untuk perkebunan besar

Hak Guna Usaha a) Jangka waktu : Hapus menjadi Tanah Negara Diajukan permohonan hak 30

Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bos ko, Op.cit, 2010, hal. 190-191

(27)

sisa jangka

waktunya, dan paling lama 20 tahun. b) Untuk perumahan (di kota-kota/tempat peristirahatan) : Hak Guna Bangunan c) Jangka waktu: sisa jangka waktunya dan paling lama 20 tahun

d) Untuk pertanian kecil (klien landbouw) : dihapuskan baru Hapus menjadi Tanah Negara Diajukan permohonan hak baru Menjadi tanah negara dan diredistribusikan kepada para petani dalam pelaksanaan

landreform. Hak Opstal Hak Guna Bangunan

Jangka waktu: sisa jangka waktunya, dan paling lama 20 tahun Hapus menjadi tanah negara Diajukan permohonan hak baru

Hak Gebruik Hak Pakai

Jangka waktu : sisa jangka waktunya dan paling lama 20 tahun.

Hapus menjadi

tanah negara Diajukan

permohonan hak

baru Hak Sewa (atas

Tanah Negara)

Hak Pakai Jangka waktu : sisa jangka waktunya dan

Hapus menjadi

tanah negara Diajukan

(28)

paling lama 20 tahun permohonan hak baru

Sumber : Ketentuan-ketentuan Konversi dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Hak-hak atas tanah barat yang disebutkan diatas wajib didaftarkan dan mempunyai tanda bukti hak berdasarkan S 1873-27.

Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang berasal dari konversi tanah hak barat berakhir pada tanggal 23 September 1980 dan sejak tanggal 24 September 1980 menjadi tanah negara. Jika bekas pemegang haknya masih memerlukan tanah tersebut dan penggunaan tanahnya sesuai dengan Rencana Tata Ruang di Daerah tersebut serta tidak terkena proyek Pemerintah Pusat/Daerah, pada asasnya dapat diajukan permohonan hak baru sesuai dengan Keppres Nomor 32 Tahun 1979 danPMDN 3 Tahun 1979.

Hak Eigendom yang dibebani Hak Erfpacht/Hak Opstal/Hak Hipotik, ada 5 kemungkinan konversi:

1) Hak Eigendom-nya dikonversi menjadi Hak Milik, sedangkan Hak Erfpacht/ Hak Opstal dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan dengan jangka waktunya dan paling lama 20 tahun.

2) Hak Eigendom-nya tidak dapat dikonversi menjadi Hak Milik, melainkan hanya dapat dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan saja karena eigenaarnya hanya menguasai secara yuridis saja, ia tidak menggunakan tanahnya. Hal ini berarti eigenaar tersebut tidak memenuhi kewajibannya untuk menggunakan tanah sesuai dengan fungsi tanahnya (menurut Pasal 6 UUPA, tanah berfungsi sosial). Maka

(29)

tidak dikonversi dan dinyatakan gugur menjadi tanah negara dan kelak dapat diberikan kembali Hak Guna Bangunan sampai dengan tanggal 24 September 1980 (Pasal 2 PMA nomor 7/1965).

3) Hak Eigendom-nya dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Hipotik yang diberikan kepada sesuatu Bank atau orang selaku kreditor. Hak Eigendom itu dikonversi menjadi Hak Milik atau Hak Guna Bangunan sedangkan Hak Hipotik tersebut dikonversi menjadi Hak Tanggungan (Pasal 1 ayat 6 KK). Jika Hak Eigendom yang dinyatakan hapus menjadi tanah negara, maka Hak Hipotiknya menjadi hapus pula sedangkan perjanjian utang piutangnya tetap berlangsung terus.

4) Menurut ketentuan Pasal I ayat 6 Ketentuan Konversi, Tanah Hak Eigendom dapat pula dibebani Hak Servituut atau Erfdientsbaarheid, maka hak itu ikut pula dikonversi menjadi Hak Pakai.

5) Hak Eigendom yang dibebani Hak Sewa maka Hak Sewa tersebut dikonversi pula menjadi Hak Sewa.

Sesuai dengan ketentuan Keppres No.32/1979 dan PMDN 3/1979 maka Hak Guna Bangunan yang berasal dari konversi Hak Erfpacht/Hak Opstal yang membebani Hak Eigendom, paling lama berlangsung sampai tanggal 24 September 1980 dihapus (sudah tidak ada lagi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang berasal dari konversi tanah Hak Barat).

d. Konversi Atas Tanah-Tanah Hak Indonesia (Tanah Adat)

Konversi hak-hak Indonesia atas tanah meliputi hak-hak atas tanah yang diatur oleh Hukum Tanah Adat yang tidak tertulis, yang mencakup seluruh hak-hak atas tanah yang bersumber pada Hukum Tanah Adat. Hak-hak Indonesia yaitu:

(30)

1). Berstatus Hak Milik seperti yang disebutkan dalam Pasal II ayat 1 Ketentuan Konversi.

2). Berstatus Hak Pakai seperti yang disebutkan dalam Pasal VI Ketentuan Konversi.

Termasuk pula selain daripada itu, Hak Gadai, Hak Guna Usaha Bagi Hasil, Hak Sewa dan Hak Menumpang.

Berbeda dengan ketentuan konversi tanah hak barat maka konversi hak Indonesia tidak dibatasi jangka waktu penyelesaian administrasinya, oleh karena itu dapat setiap waktu pemilik tanah meminta sertipikat atas tanahnya (secara sukarela), dan disamping itu kalau diwajibkan oleh peraturan tertulis karena telah terjadi suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum atas bidang tanah yang berstatus Hak Milik (bekas Hak Milik Adat yang belum bersertifikat). Yang berstatus Hak Milik: sebagian besar belum pernah didaftarkan sehingga disebut bekas Hak Milik Adat yang belum bersertifikat. Sedang hanya sebagian kecil yang sudah didaftarkan sebelum berlakunya UUPA, misalnya : Hak Grant Sultan, Hak Milik di swapraja Yogyakarta dan Surakarta, Hak Agrarisch Eigendom (yang jumlahnya sedikit sekali).31

Hak Milik Adat dapat dikonversi menjadi Hak Milik hanya jika pada tanggal 24 September 1960 telah berkewarganegaraan Indonesia Tunggal. Jika pemiliknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik tersebut, maka Hak Milik Adat dapat dikonversi menurut peruntukan tanahnya yaitu:

1). Tanah pertanian dikonversi menjadi Hak Guna Usaha dengan jangka waktu 20 Tahun;

2).Tanah non pertanian dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan dengan jangka waktu 20 tahun.

31

Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko , Op.cit, 2010, hal. 193

(31)

Ini berarti haknya sampai dengan tanggal 23 September 1980 dan pada tanggal 24 September haknya hapus menjadi tanah negara. Dengan demikian sejak tanggal 24 September 1980 hanya mungkin dikonversi menjadi Hak Milik saja, dan ini berarti harus memenuhi subjek Hak Milik. Konversi bekas Hak Milik Adat harus diikuti pula dengan pendaftarannya sejak berlakunya PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan yag mengatur masalah konversi dan pendaftarannya diatur dalam PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, PMPA No.2/1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia tentang Tanah jo SK PMDN No.26/DDA/1970 tentang Penegasan Konversi Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia Atas Tanah.

3. Tinjauan tentang Daerah Swapraja Keraton Surakarta

Swapraja adalah kerajaan asli yang terdapat di Indonesia yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda. Daerah Swapraja merupakan daerah yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur rumah tangganya sendiri yang dipimpin seorang raja.32 Daerah swapraja merupakan sebutan untuk daerah yang pernah diperintah oleh pemerintahan Hindia Belanda sekitar abad ke 17 M. Secara de

facto daerah swapraja merupakan daerah kerajaan yang ada di Indonesia,

begitu juga dengan kota Surakarta karena merupakan bagian dari Kerajaan Mataram atau dikenal juga dengan nama Keraton Surakarta. Akan tetapi secara

de yure daerah swapraja ini berada di bawah kekuasaan Pemerintahan

Belanda.33 Guna menunjang berdirinya sebuah kerajaan, pihak Belanda memberikan tanah-tanah tersebut diberikan kepada raja, sedangkan rakyat hanya boleh menggunakan tapi tidak berhak memiliki. Rakyat yang

32

Rizko Kurniawan, Tanah Di Keraton Surakarta (Studi Sosiologi Mengenai Konflik Atas Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Lingkungan Keraton Surakarta), Jurnal Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya, Edisi 6 Nomor 1 Juni 2011, Hal.8

33

Sandi Sarjita, Strategi Mengelola Konflik Pertanahan,Jurnal STPN Yogyakarta Edisi XXII Oktober, Hal:22

(32)

menggunakan tanah tersebut, oleh pihak Keraton Surakarta memberikan semacam surat bukti atas penggunaan tanah. Di Keraton Surakarta bukti ini dinamakan Pikukuh, dengan dasar hukum adalah Rijksbklad Surakarta No.9 Tahun 1938.34

Berdasarkan sejarahnya, Keraton Surakarta Hadiningrat adalah sebuah negara berbentuk kerajaan berdaulat, dan wilayah kerajaanya meliputi hampir tiga perempat dari Pulau Jawa. Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram, yaitu kerajaan pribumi yang pemerintahannya dijalankan dengan sistem tradisional jawa. Keraton Surakarta berdiri pada tahun 1745 oleh Susuhunan Pakubuwono II sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Cina atau yang lebih dikenal sebagai “Geger Pecinan”. Semula Keraton Surakarta merupakan lembaga Istana (Imperial House) yang mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan di samping menjadi pusat pemerintahan Keraton Surakarta. Segera setelah tahun 1946 peran Keraton Surakarta tidak lebih hanya sebagai pemangku Adat Jawa khusunya garis/gaya Surakarta. Begitu pula Sri Sunan tidak lagi berperan sebagai dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dalam artian politik melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, simbol dan pemimpin informal Kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khusunya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang tebatas pada sektor informal namun Keraton Surakarta memliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas daerah Keraton Surakarta.

Berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan swapraja Surakarta dahulu, didasarkan pada pemilikan raja atas tanah kerajaan yang pada tahun 1918-an, di wilayah kerajaan Surakarta dilancarkan Reorganisasi Agraria, yaitu kebijaksanaan penataan kembali sistem kepemilikan tanah, yang menghasilkan aturan-aturan baru berupa sistem apanage (lungguh), pembentukan kelurahan-kelurahan baru dan dibagikannya lahan tanah untuk penduduk desa. Sebelum kebijaksanaan itu dilakukan, hukum pertanahan menentukan bahwa tanah di

34

(33)

seluruh wilayah kerajaan adalah mutlak milik Raja. Raja sendiri tidak menganggap dirinya sebagai tuan rumah dalam arti luas, melainkan hanya meminta sebagian hasil bumi sebagai suatu cara memungut pajak.35

Berdasarkan penguasaannya, tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah kerajaan dapat dikelompokan menjadi dua golongan:

a. Tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh raja;

b. Tanah-tanah yang diberikan kepada Sentana (kerabat kerajaan). Tanah-tanah itu diberikan kepada Sentana selama mereka masih memilik hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja, dan selama mereka masih menduduki jabatan dalam kerajaan. Dengan demikian, jika hubungan kekerabatan mereka terputus serta tidak lagi menjabat sebagai birokrat, maka tanah yang dikuasainya akan kembali kepada raja.

Status tanah di Keraton Surakarta berdasarkan Sunan Ground, yaitu tanah peninggalan leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Tanah di Keraton Surakarta Hadiningrat, berfungsi sebagai sarana legitimasi kekuasaan raja dan sebagai penunjang kebutuhan ekonomi. Pada hukum tanah yang berlaku sejak jaman kolonial di Kerajaan Surakarta, raja yang dianggap sebagai perantara antara Tuhan dengan rakyat, adalah pemilik satu-satunya dari seluruh areal tanah yang terletak dalam wilayah kekuasaan kerajaan.36 Tanah yang langsung dikuasai raja namanya Ampilan Dalem. Sebagian tanah lainnya dinamakan tanah gaduhan atau tanah lungguh atau tanah apanege, dipergunakan untuk menjamin kebutuhan keluarga raja atau untuk menggaji para abdi dalem. Tanah-tanah ini oleh raja lalu diberikan kepada anggota-anggota keluargannya atau kepada abdi dalem. Rakyat hanya sebagai penggarap (hak usaha, mengerjakan, menggarap) tanpa memiliki hak milik atas tanah.37

35

Tri widodo Utomo, Pengaruh Sistem Pemilikan Tanah Terhadap Struktur Sosial. Diakses Pada world wide web http. http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/pengaruh -sistem-pemilikan-tanah.html pada 08 Januari 2015 Pukul 12.05 Di Surakarta.

36

Werner Roll, , Struk tur Pemilik an Tanah di Indonesia Studi Kasus Daerah Surak arta Jawa

Tengah,, terj. Ny. Jane Tjen: Rajawali,:Ja karta , 1983, 37

Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indonesia. Yogyakarta:Liberty, 1988, hal.26-27

(34)

Mengenai kewenangan Keraton Surakarta atas tanah, yaitu sebagai berikut:

a. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja;

b. Wewenang Anggaduh Run Temurun, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja secara turun temurun;

c Wewenang Andarbeni, yaitu hak milik atas tanah yang diberikan Raja kepada rakyat swapraja

d. Tanah Lungguh, yaitu hak atas tanah yang diberikan sebagai gaji kepada abdi dalem, lurah desa beserta bahawannya;

e. Tanah Pituwas, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada Lurah beserta bawahannya yang sudah pensiun. Apabila Lurah atau bawahannya tersebut meninggal dunia maka tanah tersebut kembali ke kas desa.

f. Tanah Kas Desa, yaitu keseluruhan tanah sawah dan tegalan serta pekarangan yang bukan untuk Lungguh, Pituwas, dan bukan untuk diberikan turun menurun. Tanah Kas Desa diberikan untuk keperluan penghasilan desa.

Untuk hak-hak atas tanah yang pernah diberikan oleh pihak Keraton Kasunanan Surakarta yang berada di dalam tembok Keraton Kasunanan Surakarta adalah:

a. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada abdi dalem yang tidak bersifat turun temurun;

b. Wewenang Anggaduh Turun Temurun, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada abdi dalem yang dapat dipakai secara turun temurun;

c. Paringan Dalem, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada anak raja yang sudah dewasa.38

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadikan Indonesia sebagai sebuah Negara merdeka yang berdaulat. Inilah

38

(35)

yang menjadi awal pengaturan Tata Negara Indonesia, yang turut mengubah prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini berarti daerah-daerah kesunanan sudah menggabungkan diri menjadi satu kesatuan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada lagi hukum kerajaan yang tunduk pada Hukum Hindia Belanda, yang terjadi adalah Kesunanan dihapuskan dan tunduk pada hukum Negara Indonesia. Kemudian daearah-daerah kesunanan ini disebut daerah bekas swapraja.39

4. Tinjauan tentang Badan Pertanahan Nasional

Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Semangat dari Pasal 33 Ayat (3) tersebut lah yang

mendasari dibentuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Salah satu “semangat” dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang diserap oleh UUPA yaitu dengan adanya prinsip dalam UUPA bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Dalam ketentuan UUPA telah ditegaskan adanya keharusan untuk menghapus semua hak eigendom, hukum agrarian bentukan pemerintah kolonial, tanah adat lama dan bentuk penghisapan-penghisapan yang tidak berpihak kepada rakyat Indonesia lainnya.

Dalam upaya membentuk negara baru yang merdeka, Pemerintah Republik Indonesia bertekad membenahi dan menyempurnakan pengelolaan pertanahan. Landasan Hukum pertanahan yang masih menggunakan produk warisan pemerintah Belanda mulai diganti. Melalui Departemen Dalam Negeri, Pemerintah mempersiapkan landasan hukum pertanahan yang sesuai dengan UUD 1945. Pada tahun 1948 berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948 Pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga tahun kemudian terbit Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951, yang

39

(36)

membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Pembentukan Kedua Panitia Agraria ini sebagai upayamempersiapkan lahirnya unifikasi hukum pertanahan yang sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, Pemerintah membentuk Kementrian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari Departemen Dalam Negeri. Pada 1956, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang sekaligus membubarkan Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang sekaligus membubarkan Panitia Agraria Jakarta. Tugas Panitia Negara Urusan Agraria ini antara lain adalah mempersiapkan proses penyusunan Undang-undang Pokok-pokok Agararia (UUPA). Pada 1 Juni 1957, Panitia Negara Urusan Agraria selesai menyusun rancangan UUPA. Pada 1 juni 1957, Panitia Urusan Agraria Selesai menyusun rancangan UUPA. Pada saat yang sama berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula berada di Kementrian Kehakiman dialihkan ke Kementrian Agraria. Tahun 1958, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1958, Panitia Negara Urusan Agraria dibubarkan. Selanjutnya pada 24 April 1958, Rancangan UUPA diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24 September 1960. Pada hari itu, Rancangan UUPA disetujui dan disahkan menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Dengan diberlakukannya UUPA tersebut untuk pertama kalinya pengaturan tanah di Indonesia menggunakan produk hukum nasional yang bersumber dari hukum adat. Pada 1964 melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964 ditetapkan tugas, susunan, dan pimpinan Departemen Agraria. Peraturan tersebut nantinnya disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1965 yang mengurai tugas Departemen Agraria serta menambahkan Direktorat Transmigrasi dan Kehutanan ke dalam organisasi.

Tahun 1988 merupakan tonggak sejarah karena saat itu terbit Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan Nasional yang menjadi

(37)

tema sentral proyek ekonomi-politik Orde Baru, kebutuhan akan tanah juga makin meningkat. Persoalan yang dihadapi Direktorat Jendral Agraria bertambah rumit dan berat. Untuk mengatasi hal tersebut status Direktorat Jendral Agraria ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintahan Non-Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional. Dengan lahirnya Keputusan Presiden tersebut, Badan Pertanahan Nasional bertanggung jawab langsung kepada Presiden.40

Badan Pertanahan Nasional atau biasa disingkat BPN adalah lembaga pemerintah non-kementrian di Indonesia yang mempunyai tugas dan wewenang untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral (Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013). Pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, fungsi dan tugas dari organisasi Badan Pertanahan Nasional dan Direktorat Jendral Tata Ruang Pekerjaan Umum digabung dalam satu lembaga Kementerian yang bernama Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Kementerian tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, yang dipimpin oleh Menteri. Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam Pasal 3 Perpres Nomor 17 Tahun 2015 disebutkan bahwa Kementrian Agraria dan Tata Ruang dalam mencapai tugasnya di atas memiliki fungsi:

a. perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang, infrastruktur keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, pengadaan tanah, sertat penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang dan tanah;

40

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Sejarah Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia, diakses pada world wide web http://Bpn.go.id , Pada 03 Maret 2015 Pukul 12.35,di Surakarta

(38)

b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;

c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang;

d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;

e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang di daerah dan; f. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh

unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.41

Adapun Susunan Organisasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang sebagaimana Pasal 4 Perpres Nomor 17 Tahun 2015 terdiri atas:

a. Sekretaris Jenderal;

b. Direktorat Jenderal Tata Ruang;

c. Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan; d. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan; e. Direktorat Jenderal Penataan Agraria;

f. Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah;

g. Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah;

h. Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah;

i. Inspektorat Jenderal;

j. Staff Ahli Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah 42 Selanjutnya dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/

41

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Pasal 3

42

(39)

Kota disebutkan guna melaksanakan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah maka perlu kiranya untuk dibentuk Kantor Pertanahan di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Propinsi yang selanjutnya disebut KANWIL BPN adalah instansi vertikal dari Badan Pertanahan Nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.43 Kanwil BPN mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di Propinsi yang bersangkutan. Dalam Pasal 3, untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi tersebut di atas maka KANWIL BPN mempunyai fungsi:

a. melaksanakan penyusunan program pelaksanaan tugas di bidang pertanahan;

b. mengkoordinasi pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah, penatagunaan tanah, pengukuran hak-hak atas tanah serta pengukuran dan pendaftaran tanah;

c. melaksanakan urusan tata usaha dan perundang-undangan.44 Dalam Pasal 4 berisi tentang susunan organisasi KANWIL BPN terdiri dari:

a. Bagian Tata Usaha;

b Bagian Pengaturan Penguasaan Tanah; c. Bagian Penatagunaan Tanah;

d. Bagian Hak-hak Atas Tanah;

e. Bagian Pengukuran dan Pendaftaran Tanah;45

Sementara dalam Pasal 25 disebutkan bahwa guna menunjang kinerja KANWIL BPN yang ada di Propinsi maka dibentuklah Kantor Pertanahana di tingkat Kabupaten/Kota, yang merupakan instansi vertikal dari Badan Pertanahan Nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab

43

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/ Kotamadya, Pasal 1

44

Ibid, Pasal 3

45

(40)

langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.46 Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional dalam lingkungan wilayah kabupaten/kota. Guna menyelenggarakan tugas sebagaimana di atas, dalam Pasal 27 disebutkan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota mempunyai fungsi:

a. menyiapkan kegiatan di bidang pengaturan penguasaan tanah, penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, serta pengukuran dan pendaftaran tanah;

b. melaksanakan kegiatan pelayanan di bidang pengaturan penguasaan tanah, penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak tanah, pengukuran dan pendafataran tanah;

c. melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.47

Selanjutnya dalam Pasal 28 berisi mengenai susunan organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yaitu:

a. Sub Bagian Tata Usaha;

b. Seksi Pengaturan Penguasaan Tanah; c. Seksi Penatagunaan Tanah;

d. Seksi Hak-hak Atas Tanah;

e. Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah.48

Salah satu Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang berada di wilayah kerja KANWIL BPN Jawa Tengah adalah Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Kantor Pertanahan Kota Surakarta merupakan instansi vertikal Badan Pertanahan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Pertanahan Propinsi Jawa Tengah, tugas dan fungsi BPN yang bersangkutan dipimpin oleh seoran Kepala. Dalam menjalankan kewajiban dan kewenangannya,Badan Pertanahan Nasional Kota Surakarta berlandaskan pada visi dan misi Badan Pertanahan Nasional, yaitu:

a. Visi : Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan

46 Ibid, Pasal 25 47 Ibid, Pasal 27 48 Ibid, Pasal 28

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan perencanaan yang baik dalam sebuah media (porta berita online ) adalah perencanaan yang senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan masukan (kritik

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 29 ayat (10) dan Pasal 32 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan

Dalam suatu pembuatan maupun pengembangan suatu sistem, banyak sekali gambaran yang dapat diterapkan ke suatu bentuk rancangan sistem tersebut.. Seperti halnya dalam bentuk

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ PENGARUH MOTIVASI DAN PENGETAHUAN TERHADAP KEAKTIFAN KADER POSYANDU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANDAR KHALIPAH

Berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Pengadaan Langsung Nomor : 011.2a/MAN3/2012 tanggal 27 Agustus 2012 Perihal Penetapan Pemenang Pengadaan Langsung untuk pekerjaan Pembangunan

Pengelolaan kelas inovatif di MI Muhammadiyah Program Khusus Kartasura yang dilakukan guru secara beragam dan juga peran guru dalam pembelajarannya tidak terlepas dari

Dengan demikian transfer energi seperti panas, yang diberikan kapada struktur molekul diteruskan dari daerah yang panas ke daerah yang dingin dengan getaran atom,

Dengan kata lain model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan suatu masalah menjadi titik awal dari proses