• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Personal Responden

Karakteristik personal responden yang diamati meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendapatan, pengalaman bertani, luas lahan garapan, status lahan garapan dan status dalam kelompok tani.

Umur

Umur seseorang berpengaruh dalam setiap aktivitas individu internal yang kuat kepada fungsi biologis dan psikologis individu (Setiawan, 2002). Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden menunjukkan bahwa struktur umur di lokasi penelitian sebagian besar berkisar antara 41-60 tahun. Dalam hubungan dengan produktivitas, mengacu pada umur produktif menurut Departemen Pertanian yaitu berumur antara 15-60 tahun, maka responden dalam penelitian ini umumnya tergolong produktif. Secara khusus, usia dewasa responden lebih nampak pada petani kooperator Jawa Barat (8,33%) dibanding dengan petani kooperator di Sulawesi Selatan hanya 2,08%. Responden petani kooperator usia paruh baya (41-60 tahun) terlihat lebih banyak ada di Sulawesi Selatan (18,75%) dibanding di Jawa Barat hanya 15,63%. Maka dilihat dari proporsisi umur produktif ini memungkinkan petani dapat menggarap lahan sawah pertanian dengan baik. Di samping itu petani juga mampu menyerap berbagai informasi dan inovasi teknologi yang diseminasikan dalam program Prima Tani. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Mubyarto dalam Pudjiastuti (1992) bahwa kelompok usia muda produktif cenderung responsif atau tanggap terhadap suatu pembaharuan. Hal ini memungkinkan kelompok usia muda dapat berpartisipasi aktif dalam program dan dengan sendiri akan berakibat kepada sukses dan kelancaran dalam program tersebut. Pendapat tersebut didukung Rogers dan Shoemaker (1995) yang mengutip hasil penelitian Mort (1953), Allen (1956) dan Carlson (1965) berkesimpulan bahwa orang yang berumur lebih muda lebih mudah melakukan adopsi dibandingkan dengan orang berumur tua.

Usia responden yang tergolong tua (61-80) lebih banyak terlihat pada petani nonkooperator di Jawa Barat sebanyak 6,25% dan petani nonkooperator di Sulawesi Selatan sebanyak 7,29%. Dilihat dari usia petani nonkooperator yang berumur tua

(2)

menunjukkan mereka masih kuat bekerja tetapi cenderung menolak inovasi dibidang pertanian maupun teknologi yang diintroduksikan dalam usahataninya. Kondisi seperti ini seperti dianalisa Rakhmat (2005) bahwa semakin tua usia seseorang maka akan semakin lemah daya biologis, daya psikologis, tingkat kepekaan dan potensi-potensi diri lainnya. Secara fisik petani yang berusia tua masih kuasa dan produkstif melakukan aktivitas usahataninya, tetapi usia tua membatasi manajemen dan perilakunya terutama dalam mengakses sumber informasi yang produktif. Pendapat ini didukung Kartasapoetra (1991) bahwa di antara sekian banyak petani yang telah menerapkan teknologi baru terdapat pula sebagian kecil petani yang mengabaikan usaha-usaha penyuluhan bahkan mereka menolak mengikutinya. Kebanyakan mereka berusia lanjut berumur sekitar 50 tahun ke atas, biasanya fanatik terhadap tradisi dan sulit diberikan pengertian yang dapat mengubah cara berpikir.

Pendidikan Formal

Tingkat pendidikan menjadi cermin bagi penguasaan seseorang terhadap pengetahuan dan penerapannya di dalam hidup bermasyarakat. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap penerimaan informasi, diseminasi teknologi dan inovasi. Tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian dan perubahan lingkungan yang ada di sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka proses penyesuaian terhadap perubahan di sekitarnya dapat di atasi. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden sebagian besar tamat SD. Bila melihat komposisi tingkat pendidikan tamat SD, jumlah petani kooperator di Jawa Barat sebanyak 13,54% sama jumlahnya dengan petani nonkooperator di Sulawesi Selatan. Jumlah ini lebih sedikit dibanding jumlah petani nonkooperator di Jawa Barat (12,50%) dan jumlah petani kooperator di Sulawesi Selatan (9,38%) (lihat Tabel 2).

Melihat komposisi tingkat pendidikan responden dapat dikemukakan bahwa rata-rata pendidikan responden hanya tamat SD. Kondisi ini berpengaruh terhadap adopsi teknologi pertanian yang dikenalkan lewat program Prima Tani. Ini terlihat dari banyaknya petani kooperator dan nonkooperator yang belum mampu memahami informasi mengenai teknologi introduksi yang diperkenalkan melalui program Prima Tani. Hasil wawancara dengan responden, sebagian besar awalnya mereka menduga

(3)

kedatangan program Prima Tani sebagai program pemerintah yang membagikan dana untuk usahatani. Fenomena ini hampir terlihat di beberapa lokasi Prima Tani bahwa kurangnya informasi tentang program Prima Tani menimbulkan perbedaan persepsi yang menyebabkan kendala bagi petani. Akibatnya informasi penting tentang teknologi introduksi dalam bidang pertanian penerapannya dalam usahatani banyak mengalami hambatan. Melihat tingkat pendidikan petani yang masih terbatas, diperlukan pembinaan petani yang lebih serius dan intensif. Di samping itu, para pengelola Prima Tani dan penyuluh perlu lebih memahami dan mencermati pesan komunikasi yang harus dikomunikasikan secara tepat kepada petani sehingga mereka cepat memahami dan mau mengadopsi program yang di bawa Prima Tani. Hal lain yang perlu mendapat perhatian pada pengelola dan penyuluh Prima Tani yaitu agar dapat memanfaatkan penggunaan media komunikasi yang tepat dan efisien untuk membantu petani memahami teknologi yang dibawanya. Fenomena ini telah dilukiskan sebelumnya oleh Slamet (1987) bahwa seseorang yang mempunyai jenjang pendidikan makin tinggi, umumnya cepat mengadopsi teknologi yang diterimanya. Dalam penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap tingkat penerimaan inovasi baik diperoleh langsung atau melalui media. Prayitnohadi (1987) menyatakan bahwa tingkat pendidikan petani mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan terhadap teknologi pertanian.

(4)

Tabel 2 Karakteristik responden

No Karakteristik responden Jawa Barat

(%)

Sulawesi Selatan (%)

kooperator nonkop kooperator nonkop 1 Umur a.Dewasa (<40 thn) 8,33 4,17 2,08 1,04 b.Paruhbaya (41-60 thn) 15,63 14,58 18,75 16,67 c.Tua (>60 thn) 1,04 6,25 4,17 7,29 2. Jenis kelamin a.Laki-laki 22,92 25,00 25,00 25,00 b.Wanita 2,08 0,00 0,00 0,00 3. Pendidikan formal a.Tidak Tamat SD 5,21 7,29 7,29 4,17 b.Tamat SD 13,54 12,50 9,38 13,54 c.Sekolah lanjutan 6,25 5,21 8,33 7,29 4. Pendidikan nonformal

a.Jarang (< 5 kali/ tahun) 14,58 19,79 15,63 20,84 b.Cukup sering (5-10 kali/tahun) 10,42 5,21 9,37 2,08 c.Sering (> 10 kali/tahun) 0,00 0,00 0,00 2,08 5. Pendapatan (Rp/ bulan) a.Rendah (173.350-3.459.170) 25,00 25,00 16,66 22,92 b.Sedang (3.459.200-6.745.020) 0,00 0,00 4,17 2,08 c.Tinggi(6.745.050-10.030.800) 0,00 0,00 4,17 0,00 6. Pengalaman bertani a.Cukup pengalaman (2-23 thn) 17,71 12,50 2,08 4,17 b.Pengalaman (24-45 thn) 7,29 10,42 19,79 16,66 c.Sangat pengalaman (46-68 thn) 0,00 2,08 3,13 4,17 7. Luas lahan garapan

a.Cukup luas (0,25-2,17 ha) 22,92 25,00 18,74 18,74

b.Luas (2,18-4,09 ha) 2,08 0,00 3,13 6,26

c.Sangat luas (4,10-6,0 ha) 0,00 0,00 3,13 0,00

8. Status lahan garapan

a.Pemilik 25,00 23,96 25,00 22,92

b.Penyewa penggarap 0,00 1,04 0,00 2,08

9. Status dalam kelompok

a.Ketua 4,17 2,08 8,33 2,08

b.Sekretaris/ bendahara 7,29 5,21 3,13 5,21

c.Anggota 13,54 17,71 13,54 17,71

Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal adalah proses pembelajaran di luar sekolah formal seperti kursus, pelatihan, penataran maupun magang. Data hasil penelitian pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan nonformal responden

(5)

umumnya tergolong rendah. Hal ini terlihat dari jumlah kursus dan sejenisnya jarang diikuti oleh petani kooperator Jawa Barat (14,58%) dan petani kooperator di Sulawesi Selatan (15,63%). Responden yang mengikuti pendidikan nonformal cukup sering yaitu petani kooperator Jawa Barat (10,42%) dan petani kooperator Sulawesi Selatan (9,37%). Responden yang sering mengikuti pendidikan nonformal lebih dari 10 kali adalah petani nonkooperator di Sulawesi Selatan (2,08%.). Melihat keragaan pendidikan nonformal tersebut, responden jarang mengikuti pendidikan nonformal baik yang diadakan oleh BPTP atau setingkat Pemda seperti Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Peternakan maupun setingkat provinsi. Pendidikan nonformal yang diadakan oleh BPTP, dinas pertanian maupun lainnya diharapkan mampu mengimbangi kurangnya pendidikan formal yang dimiliki oleh petani. Dengan mengikuti pendidikan nonformal seperti kursus, pelatihan, magang maupun sosialisasi diharapkan petani mampu menyerap informasi yang diterimanya dan dapat menerapkannya ke dalam pola usahataninya. Dampak lain yang diharapkan dari penyelenggaraan pendidikan nonformal khususnya bagi petani kooperator adalah penyebaran informasi kepada anggota kelompoknya maupun petani dari luar kelompoknya. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa pengalaman kursus yang dimiliki seseorang akan ikut mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan. Begitu juga dari kursus atau pelatihan pertanian diperoleh penambahan pengetahuan, kecakapan dalam pengelolaan usahatani, keterampilan dalam melaksanakan tugas operasional, kreativitas dan percaya diri.

Pendapatan

Tingkat pendapatan rata-rata petani dihitung berdasarkan seluruh penghasilan dalam satu bulan yang bersumber dari pendapatan usahatani on-farm maupun off-farm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan petani di Jawa Barat adalah Rp 1.816.260/bulan. Nilai rata-rata pendapatan ini tergolong tinggi pada petani kooperator dan nonkooperator di Jawa Barat bila dilihat pendapatan petani di Jawa Barat sendiri yaitu antara Rp 543.000 – Rp 635.175/bulan (BPS Jawa Barat, 2007). Dari hasil penelitian pendapatan rata-rata petani kooperator dan nonkoooperator di Sulawesi Selatan adalah Rp 5.102.075/bulan dimana tergolong

(6)

Rp 1.875.350 – Rp 2.478.550/bulan (BPS Sulawesi Selatan, 2007). Terungkap dalam penelitian ini petani kooperator dan nonkooperator di Jawa Barat sebanyak 25,00% berpendapatan rendah. Di Sulawesi Selatan, petani kooperator yang berpendapatan rendah (16,66%) dan petani nonkooperator sebanyak 22,92%. Dalam kategori pendapatan sedang, petani kooperator di Sulawesi Selatan (4,17%) dan petani nonkooperator sebanyak 2,08%.

Dari data Tabel 2 di atas, kecenderungan penghasilan petani di dua lokasi penelitian masih rendah terutama pendapatan rata-rata petani di Jawa Barat yang jumlahnya 25,00%. Kondisi ini dapat dipahami bahwa pendapatan petani di Jawa Barat lebih banyak menggantungkan hidupnya pada pertanian khususnya padi gogo dibandingkan dengan petani di Sulawesi Selatan yang menggantungkan hidupnya pada perkebunan dimana hasil panennya banyak diekspor ke luar negeri. Rendahnya pendapatan petani akan berpengaruh kepada rendahnya adopsi teknologi inovasi yang dibawa Prima Tani. Kurangnya adopsi teknologi inovatif yang diintroduksi Prima Tani berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi pada akhirnya berdampak kepada pendapatan usahatani petani. Asumsi di atas didukung Soekartawi (1988) menyatakan bahwa pendapatan usahatani yang tinggi seringkali berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi pertanian. Adopsi inovasi menyebabkan pendapatan petani meningkat, kemudian petani kembali akan menanam modalnya untuk inovasi selanjutnya.

Responden yang pendapatannya tergolong tinggi antara Rp 6.745.030- Rp 10.030.800 oleh petani kooperator di Sulawesi Selatan sebanyak 4,17% yang lebih mendominasi jumlah dari kategori pendapatan lainnya. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program Prima Tani di beberapa lokasi penelitian pembinaannya masih perlu ditingkatkan disebabkan teknologi introduksi yang berdampak kepada peningkatan pengetahuan dan pendapatan petani belum terlihat secara nyata. Keadaan ini diakui sebagian besar responden bahwa pembinaan dan pengenalan teknologi introduksi masih memerlukan waktu banyak dan terus menerus sehingga petani mampu mandiri dan kreatif.

(7)

Pengalaman Bertani

Pengalaman bertani adalah satuan tahun usahatani yang dilakukan oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan secara umum responden mempunyai pengalaman tani cukup bervariasi. Dimulai pada kategori cukup berpengalaman tani terlihat dari lamanya usahatani yang telah dilakukan oleh petani kooperator (17,71%) dan petani nonkooperator (12,50%) di Jawa Barat. Pada kategori ini, petani kooperator di Sulawesi Selatan (2,08%) lebih sedikit jumlahnya dengan petani nonkooperatornya (4,17%). Tetapi dalam kategori pengalaman tani antara 24-45 tahun, jumlah petani kooperator di Sulawesi Selatan lebih banyak (19,79%) dibanding petani nonkooperatornya (16,66%). Di Jawa Barat, pengalaman tani petani kooperator antara 24-45 tahun hanya 7,29% lebih sedikit dibanding jumlah petani nonkooperatornya (10,42%). Pada kategori berpengalaman tani antara 46-68 tahun, jumlah petani nonkooperator di Sulawesi Selatan (4,17%) lebih banyak dibanding jumlah petani kooperatornya (3,13%). Pada kategori ini, jumlah petani nonkooperator Jawa Barat hanya 2,08%.

Dari uraian tersebut, tingginya pengalaman berusahatani petani menggambarkan kinerja petani pada tingkatan yang kuat. Namun pengalaman bertani yang tinggi belum dapat dimaknai berkinerja kuat. Rogers (2003) menyatakan bahwa petani yang tergolong dalam kelompok laggard, sebagian besar adalah petani berusia tua dan berpengalaman tinggi dalam berusahatani. Pengalaman yang tinggi seringkali membuat mereka taklid dan apriori terhadap inovasi-inovasi baru yang diintroduksikan.

Di sisi lain, wawancara dengan petani di lapangan mengakui bahwa kurang lamanya program Prima Tani yang dilakukan, belum sepenuhnya dapat mendidik dan menciptakan petani untuk menjadi lebih mandiri, inovatif terhadap teknologi yang diintroduksikan walaupun pengalaman mereka cukup tinggi. Ini disebabkan budaya setempat yang masih melekat dalam masyarakat. Hal ini diakui pula ketika melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan BPTP Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menyatakan bahwa ada kesulitan untuk mengubah kebiasaan petani dalam berusahatani, perilaku mereka yang spesifik dan cenderung tradisional. Analisa tersebut didukung Soejanto dalam Setiawan (2002) bahwa golongan orang-orang tua mempunyai pandangan yang didasarkan kepada tradisi kuat sehingga sukar

(8)

mengadakan perubahan yang nyata. Mereka yang berpengalaman tinggi juga sudah jenuh dengan berbagai program rekayasa sosial.

Luas Lahan Garapan

Luas lahan garapan menjadi faktor penentu produksi, produktivitas, pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani. Tingginya pertambahan penduduk berdampak pada konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan, akibatnya luas lahan pertanian makin berkurang. Oleh sebab itu, luas lahan garapan pertanian baik dimiliki sendiri, disewakan maupun bagi hasil menjadi semakin sempit. Penelitian menunjukkan bahwa luas lahan yang digarap oleh petani baik di Jawa Barat dan di Sulawesi Selatan pada umumnya tergolong cukup luas yaitu antara 0,25-2,17 ha. Pada kategori ini, secara umum luas lahan banyak dimiliki oleh petani kooperator (22,92%) atau 25,00% dimiliki oleh petani nonkooperator di Jawa Barat dan dimiliki sama banyaknya oleh petani kooperator maupun nonkooperator di Sulawesi Selatan (18,74%). Pada luas garapan antara 2,18-4,09 ha dimiliki petani kooperator Jawa Barat (2,08%) dimana jumlah ini lebih sedikit dibanding luas lahan yang dimiliki petani kooperator di Sulawesi Selatan (3,13%), tetapi banyak dimiliki oleh petani nonkooperator (6,25%) di Sulawesi Selatan. Responden yang mempunyai luas lahan 4,10-6,0 ha dimiliki oleh petani kooperator di Sulawesi Selatan (3,13%).

Fenomena ini dapat dipahami bahwa sebagian besar luas lahan garapan lebih banyak dimiliki oleh petani di Sulawesi Selatan karena sebagian besar mereka adalah petani kebun. Hal ini dikuatkan wawancara dengan petani kooperator bahwa mereka mempunyai luas lahan garapan banyak digunakan untuk menanam pohon tahunan seperti kakao yang menurut mereka menguntungkan. Keuntungan yang didapatkan dari hasil perkebunan akan diinvestasikan pada pembelian lahan baru, alat pertanian dan teknologi baru yang menguntungkan.

Luas lahan garapan juga dapat berpengaruh terhadap penggunaan teknologi baru atau inovasi. Senada pendapat tersebut, Hartoyo (1982) dari hasil penelitiannya bahwa petani yang mempunyai luas lahan garapan sempit kurang responsif untuk menggunakan teknologi baru atau inovasi. Hal ini disebabkan karena petani kurang memiliki keberanian dan keuletan serta kesanggupan untuk menghadapi resiko dalam menggunakan inovasi. Mengutip istilah Geertz dalam Setiawan (2002) tampak jelas

(9)

bahwa banyak petani dalam penelitian ini masuk kategori kinerja lemah. Secara faktual, ketimpangan struktur penguasaan lahan semakin tajam. Meskipun persentase rumah tangga tani yang menguasai lahan di atas satu hektar menurun, namun luas penguasaan lahannya cenderung tetap dan meluas.

Status Lahan Garapan

Berdasarkan Tabel 2 digambarkan umumnya status lahan garapan yang dimiliki oleh petani kooperator dan nonkooperator di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan dimiliki oleh perorangan. Ini terlihat dari jumlah pemilik lahan garapan sebesar 25,00% dimiliki oleh petani kooperator di Jawa Barat dan di Sulawesi Selatan. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan luas lahan yang dimiliki oleh petani nonkooperator di Jawa Barat yaitu 23,96% dan 22,92% lahan dimiliki oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan. Sebagian kecil status lahan garapan disewa dan digarap oleh petani nonkooperator di Jawa Barat (1,04%) dan oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan sebanyak 2,08%.

Kondisi ini diakui petani ketika wawancara bahwa mereka umumnya secara ekonomi mampu membeli lahan garapan seperti sawah maupun kebun sebagai asset usahataninya. Ini berarti pemilikan dan penambahan luas lahan akan berpengaruh terhadap pola usahataninya.

Status dalam Kelompok

Kedudukan seseorang dalam kelompok merupakan perilaku di dalam dimensi tugas dan sosial pada proses interaksi kelompok. Kedudukan seseorang dalam kelompok juga terkait erat dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban. Mengacu pada pengertian di atas, kedudukan atau keanggotaan dalam kelompok pada penelitian ini adalah jabatan yang dipegang atau yang diberikan kepada seseorang sebagai ketua, sekretaris/ bendahara dan anggota, juga hubungannya dengan hak-hak, tugas dan kewajiban anggota dalam kelompok.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa komposisi status petani dalam kelompok ternyata bervariasi. Dari jumlah responden, ternyata ada 4,17% petani kooperator Jawa Barat dan 8,33% petani kooperator Sulawesi Selatan berkedudukan sebagai ketua kelompok. Sebanyak 7,29% petani kooperator di Jawa Barat berkedudukan sebagai sekretaris/ bendahara dan 3,13% petani kooperator di Sulawesi Selatan berposisi sebagai sekretaris/ bendahara. Sisanya sebanyak 13,54%

(10)

masing-masing petani kooperator Jawa Barat dan petani kooperator Sulawesi Selatan berkedudukan sebagai anggota. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan jumlah petani nonkooperator Jawa Barat (17,71%) dan sebanyak 17,71% petani nonkooperator di Sulawesi Selatan yang berposisi sebagai anggota.

Keragaan keanggotaan tersebut menyimpulkan bahwa posisi dalam kelompok berbeda baik menurut jumlah maupun posisinya. Setiap kelompok mempunyai jumlah keanggotaan yang bervariasi dengan pembagian posisi yang agak berbeda dengan kelompok lainnya.

Gambaran umum di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok tani telah ada pembagian tugas dan wewenangnya. Pembagian tugas dan wewenang itu dilakukan untuk memberikan peranserta para anggota untuk aktif dalam membantu sesama anggota dan kelompok tani lainnya. Hal ini diungkap petani di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan menyatakan adanya pembagian kerja dengan dibentuknya beberapa seksi tugas berguna untuk memudahkan pekerjaan kelompok tani di dalam membantu para anggotanya.

Menurut Berlo dalam Harun (1987) bahwa status keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi baik sebagai pengurus atau anggota biasa berhubungan dengan persepsinya terhadap organisasinya. Seiring dengan uraian di atas, Azahari (1988) menyatakan bahwa lama berdirinya kelompok, lamanya petani menjadi anggota kelompok, kedudukan dan aktivitasnya dalam kelompok tani, cenderung berhubungan dengan tingkat partisipasi petani dalam pembangunan pertanian.

Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani

Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani adalah aktivitas petani dalam menggunakan dan mengikuti kegiatan promosi, sosialisasi dan informasi melalui gelar teknologi, media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis. Gelar teknologi, media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis diselenggarakan untuk tujuan: 1) memperkenalkan inovasi pertanian, 2) menjelaskan secara teknis bagaimana menerapkan teknologi tersebut, 3) menyediakan informasi dalam berbagai bentuk tercetak maupun elektronik yang mendukung kegiatan usahatani petani di wilayah binaan Prima Tani. Untuk mengetahui pendapat petani mengenai

(11)

komponen-komponen yang ada dalam media gelar teknologi, media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis, maka dilakukan penelitian yang mendalam.

Gelar Teknologi

Gelar teknologi adalah kegiatan komunikasi atau diseminasi yang menampilkan teknologi hasil program Prima Tani yang di lihat secara visual. Gelar teknologi dalam program Prima Tani mempertunjukkan aspek visual dengan cara menampilkan contoh produk dan teknik-tekniknya kepada petani di lahan percontohan Prima Tani. Pendekatannya lebih bersifat persuasif dan diharapkan terjadi proses tanya-jawab dalam kegiatan tersebut. Gelar teknologi yang dilakukan di wilayah Garut dan Karawang, Jawa Barat; Pangkep dan Luwu, Sulawesi Selatan, bertujuan untuk memperkenalkan hasil atau produk-produk pertanian yang dihasilkan para petani di wilayah binaan Prima Tani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden lebih responsif terhadap penyelenggaraan gelar teknologi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keuntungan usahatani dan bertambahnya pengetahuan mengenai teknologi pertanian yang di gelar pada acara tersebut. Adapun gambaran umum dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 Rataan skor pemanfaatan media komunikasi Prima Tani No Pemanfaatan

media Prima Tani

Rataan Skor *)

Jawa Barat Sulawesi Selatan

kooperator nonkooperator kooperator nonkooperator

1. Gelar teknologi 2,27 2,06 2,62 1,54

2. Media komunikasi Prima Tani

2,66 1,84 2,54 1,50

3. Klinik agribisnis 2,62 2,33 2,72 1,00

Total rataan skor 2,52 2,07 2,63 1,35

Keterangan: *) 1,00-1,66 = buruk; 1,67-2,33 = jarang/kurang; 2,34-3,00 = baik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan media komunikasi Prima Tani di dua provinsi berbeda. Di Jawa Barat, petani kooperator dan nonkooperator kurang merespons kegiatan gelar teknologi yang diadakan dalam program Prima Tani. Ini terlihat pada petani kooperator di Jawa Barat yang memiliki rataan skor 2,27 dan petani nonkooperatornya memiliki rataan skor 2,06. Kondisi ini berbeda dialami oleh petani kooperator di Sulawesi Selatan dimana kegiatan gelar teknologi yang diadakan dalam program Prima Tani sangat direspons dibuktikan nilai rataan skor 2,62 tetapi masih belum di respons oleh petani nonkooperator di Sulawesi

(12)

Selatan (1,54) terhadap kegiatan gelar teknologi seperti varietas baru, teknologi budidaya baru, teknologi panen, pengolahan hasil panen maupun cara pemasaran. Di samping itu, keuntungan lainnya yang sering di terima petani kooperator Jawa Barat dalam mengikuti gelar teknologi yaitu pengenalan varietas baru teknologi lebih sering direspons, tetapi dalam pengenalan teknologi budidaya, teknologi panen, teknologi pengolahan hasil dan teknologi pemasaran masih jarang direspons oleh petani kooperatornya. Kondisi ini dialami sama oleh petani nonkooperator di Jawa Barat dimana setiap kegiatan gelar teknologi masih jarang direspons.

Dalam gelar teknologi di Sulawesi Selatan secara umum ada perbedaan dengan di Jawa Barat, dimana petani kooperator sangat merespons setiap kegiatan tersebut. Kegiatan gelar teknologi yang diadakan dalam program Prima Tani seperti pengenalan varietas baru (2,58), teknologi budidaya baru (2,63), teknologi panen (2,58), teknologi pengolahan hasil (2,71) dan teknologi pemasaran (2,58) direspons dengan baik oleh petani kooperator. Di lain pihak, kegiatan gelar teknologi oleh petani nonkooperator seperti pengenalan teknologi baru (1,54), teknologi panen (1,50), teknologi pengolahan hasil dan teknologi pemasaran (1,33) tidak direspons dengan baik. Kondisi tersebut dapat dipahami karena sebagian besar petani nonkooperator baik di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan masih menggunakan alat-alat sederhana dan masih tradisional dalam mengolah hasil panen masih. Di samping itu, banyak ditemui kendala terutama dalam memasarkan hasil pertanian disebabkan belum adanya lembaga pemasaran khusus yang menampung hasil pertanian mereka. Para petani biasanya menjual langsung kepada pedagang, tengkulak atau ke pasar yang terdekat.

Media Komunikasi Prima Tani

Media komunikasi yang dimanfaatkan dalam kegiatan program Prima Tani lebih banyak metodenya dan bervariasi dalam media yang digunakan. Penyajian media komunikasi dalam program Prima Tani di lapangan diharapkan lebih efektif dan efisien untuk memberikan informasi penting bagi petani. Media komunikasi interpersonal perlu ditunjang dengan media cetak seperti poster, pamplet/ brosur atau tabloid Sinar Tani dan majalah Prima Tani untuk membantu penyebaran informasi kepada petani. Indikator yang diamati dalam pemanfaatan media komunikasi Prima

(13)

Tani adalah pamplet, poster, temu wicara, demplot/ percontohan serta pendekatan

komunikasi lain seperti: a) diskusi/ musyawarah, b) dialog/ tukar pendapat, c) ceramah/ pengarahan, d) kunjungan usahatani, e) kunjungan petani ke petugas, f) instruksi/ perintah dan g) himbauan/ anjuran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan media Prima Tani oleh petani kooperator baik di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan lebih bervariasi. Di Jawa Barat sendiri, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani oleh petani kooperator lebih banyak digunakan untuk menambah pengetahuan dan informasi di bidang pertanian dibuktikan rataan skor 2,66. Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani terlihat pada temu wicara, demplot/ percontohan, diskusi/ musyawarah, dialog/ tukar pendapat, sistem ceramah/ pengarahan, instruksi dan anjuran petugas banyak dimanfaatkan petani kooperator untuk menambah informasi dan pengetahuan mereka dalam bidang pertanian.

Keberadaan media komunikasi Prima Tani di lokasi tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh petani nonkooperator di Jawa Barat seperti media pamplet (1,58), tetapi metode lain seperti poster (1,67), temu wicara (2,33) dan demplot/ percontohan (2,92) sudah dimanfaatkan walaupun jarang digunakan. Begitupun metode pendekatan komunikasi lain seperti diskusi, dialog, ceramah, kunjungan usahatani, instruksi maupun anjuran masih jarang digunakan sebagai upaya untuk menambah pengetahuan dan informasi pertanian. Dengan demikian, efektivitas media Prima Tani sebagai media penyebaran di tingkat petani perlu dipertahankan dan dikembangkan lebih baik lagi.

Berbeda kondisi di Sulawesi Selatan, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani lebih lebih banyak digunakan oleh petani kooperator untuk menambah informasi dan pengetahuan mereka dibidang pertanian seperti temu wicara dan demplot/ percontohan, tetapi media lain seperti poster dan pamplet masih kurang dimanfaatkan. Disamping itu, pendekatan komunikasi lain banyak dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan dengan cara berdiskusi, dialog/ tukar pendapat, ceramah, instruksi dan anjuran petugas. Sebaliknya, petani nonkooperator di Sulawesi Selatan belum memanfaatkan media komunikasi Prima Tani yang ada seperti poster, pamplet, demplot maupun pendekatan komunikasi lainnya terlihat pada rataan skor 1,50.

(14)

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dalam kegiatan penyuluhan, selain komunikasi dan pengarahan, demplot, temu wicara, diskusi, tukar pendapat, diskusi dan pengarahan banyak dilakukan oleh petani kooperator. Mereka banyak mendapatkan poster dan pamplet dari klinik agribisnis ketika melakukan pertemuan dengan penyuluh atau peneliti. Dengan demikian, penyebaran informasi dengan menggunakan media komunikasi Prima Tani efektif dan efisien dilakukan kepada petani kooperator untuk menambah pengetahuan dan informasi dibidang pertanian. Hal ini dikuat ketika dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan BPTP Jawa Barat dan Sulawesi Selatan bahwa penggunaan media seperti leaflet sangat mendukung untuk penyebaran informasi kepada petani dimana format isi dan penyajiannya disamakan dengan penyuluh sehingga diharapkan dapat dimengerti oleh petani.

Di sisi lain, keberhasilan usahatani berhubungan dengan petugas dari lembaga terkait karena masalah usahatani yang memerlukan masukan-masukan (kinerja input) diantaranya motivasi, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman orang lain. Semua itu hanya didapat melalui proses komunikasi seperti dialog, diskusi dan sebagainya. Esman (1974) menyatakan bahwa pentingnya memelihara dialog dan saling tukar menukar informasi sebagai wujud adanya komunikasi dua arah antara petugas proyek pembangunan dengan masyarakat setempat. Ini berarti bahwa keberhasilan petani dalam mengelola usahatani karena ada dukungan seperti dialog dan saling tukar informasi antara petugas Prima Tani dengan petani di lapangan. Selanjutnya Just dan Zilberman (1985) berpendapat bahwa suatu kegagalan dalam proses adopsi teknologi pertanian disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh petani mengenai suatu teknologi. Kurangnya informasi dikarenakan rendahnya frekuensi hubungan antara petani dengan penyuluh. Pendapat tersebut didukung Mundy (2000) yang menyatakan bahwa kecepatan adopsi inovasi tergantung pada beberapa hal yaitu sifat inovasi, sifat adopter dan perilaku pengantar perubahan (peneliti atau penyuluh). Menurut Bunch (2001) rancangan terbaik di dunia pun tidak akan menjadi pogram yang berhasil kalau petugasnya tidak berkemampuan dan kemauan untuk menjadikannya berhasil.

(15)

Klinik Agribisnis

Klinik agribisnis adalah wadah yang dapat memberikan nuansa perubahan ke arah yang lebih baik pada komunitas petani, karena di dalamnya terjadi interaksi antara sumber informasi teknologi dengan pengguna di tingkat lapang. Klinik agribisnis merupakan metode pendekatan diseminasi antara lembaga penelitian dan penyuluhan kepada sasaran, sesuai tugas dan fungsinya yakni berperan sebagai lembaga pengkaji dan penyedia teknologi spesifik lokasi.

Peran klinik agribisnis lebih mendekatkan sumber-sumber teknologi pertanian kepada khalayak pengguna, khususnya petani dan sekaligus menjadi wahana mendapatkan umpan balik untuk penyempurnaan penyelenggaraan penelitian, pengkajian dan diseminasi. Pelayanan informasi melalui klinik agribisnis dilakukan dengan tiga kegiatan utama yakni: 1) penyebaran informasi melalui media cetak, 2) pemberian jasa konsultasi usahatani, 3) pelayanan pemecahan masalah usahatani. Hal-hal yang dipersiapkan antara lain: materi yang akan didiseminasikan, lokasi klinik, tenaga pengelola, peralatan dan lahan sebagai tempat untuk mendemonstrasikan inovasi teknologi yang akan diterapkan (visitor plot). Materi yang akan didiseminasikan, dirancang dan disusun dengan rinci dan disesuaikan dengan kebutuhan petani. Materi disajikan dengan menggunakan multimedia dan multimetoda (Tim LKDRIB Kabupaten Garut, 2007).

Klinik agribisnis dilengkapi dengan: 1) tenaga konsultan agribisnis, 2) peragaan inovasi pertanian dalam bentuk leaflet, warta dan poster, 3) informasi

agribisnis yang mencakup aspek input dan output (jenis komoditas, harga, kebutuhan pasar, permodalan, kualitas), 4) informasi inovasi teknologi budidaya, pascapanen, penyuluhan dan pemasaran, 5) informasi tentang manajemen pengelolaan alat dan mesin pertanian.

Arah kegiatan klinik agribisnis ini ditujukan untuk memecahkan: 1) permasalahan yang ada di lapangan, 2) memanfaatkan, mengembangkan potensi

dan peluang yang tersedia, 3) memperbaiki teknologi eksisting dengan inovasi teknologi sesuai kebutuhan lapangan, 4) meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam mengelola usaha pertaniannya (Tim LKDRIB Kabupaten Garut, 2007).

(16)

Dalam penelitian ini klinik agribisnis yang diamati adalah narasumber, fasilitas klinik, media yang dipakai dalam pelayanan, bahan brosur, metode pelayanan, penjelasan pelayanan, anjuran dalam pelayanan dan keberadaan petugas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari delapan faktor klinik agribisnis terlihat nilai rataan skor bervariasi di dua provinsi yang berbeda. Di Jawa Barat, pemanfaatan klinik agribisnis telah dilakukan oleh petani kooperator dibuktikan dengan skor rata-rata 2,62. Ini berarti keberadaan klinik agribisnis di lokasi sangat menguntungkan dalam peran dan fungsinya sebagai wadah interaksi antara sumber informasi teknologi dan petani serta pengguna lainnya di lapangan (lihat Tabel 3). Di samping itu, peran klinik agribisnis mampu menjembatani peran lembaga pengkaji dan penyedia teknologi spesifik lokasi. Hal ini dibuktikan rataan skor 2,67 dimana petani kooperator di Jawa Barat menganggap narasumber pada klinik agribisnis sangat menguasai masalah pertanian, penjelasannya mudah dipahami (2,96) dan setiap anjuran diberikan oleh petugas masuk akal dan keberadaan petugas sangat mudah ditemui (3,00). Tetapi, peran klinik agribisnis belum semuanya dirasakan oleh petani kooperator seperti fasilitas klinik, media yang digunakan dan metodenya masih jarang dimanfaatkan.

Keberadaan klinik agribisnis di lokasi dimanfaatkan pula oleh petani nonkooperator Jawa Barat untuk menambah informasi dan pengetahuan di bidang pertanian. Ketika konsultasi di klinik agribisnis, mereka merasakan narasumber lebih menguasai persoalan pertanian (2,83), penjelasannya memuaskan (2,75) dan anjuran petugas klinik agribisnis masuk akal. Tetapi manfaat lain yang masih jarang dirasakan oleh petani nonkooperator yaitu fasilitas, media yang digunakan, bahan brosur, metode dan keberadaan petugas. Hal ini dikuatkan wawancara dengan petani bahwa sebagian besar mereka telah memanfaatkan keberadaan klinik agribisnis untuk menanyakan kesulitan dalam memberantas hama dan penyakit serta teknik menanam yang baik di lahan pertanian kepada petugas atau penyuluh.

Di Sulawesi Selatan, keberadaan klinik agribisnis sangat dirasakan manfaatnya oleh petani kooperator dibuktikan rataan skornya 2,72. Ini terlihat dimana dalam setiap konsultasi di klinik agribisnis menurut mereka narasumber sangat menguasai persoalan, fasilitasnya tersedia, medianya tepat digunakan, bahan brosur banyak tersedia, metode dalam penjelasannya lebih komunikatif dan mudah

(17)

dipahami, anjuran oleh narasumber masuk akal serta menemui petugas sangat mudah setiap saat. Dengan demikian, efektifitas keberadaan klinik agribisnis menunjukkan manfaat dan perannya sebagai wadah konsultasi, tukar informasi dan penyedia teknologi perlu dikembangkan lagi di masa akan datang.

Sebaliknya, peranan dan manfaat klinik agribisnis masih belum banyak dirasakan oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan baik narasumber, fasilitas, media, brosur yang tersedia, metodenya, anjuran dari petugas, penjelasan bahkan keberadaan petugasnya belum dimanfaatkan oleh mereka.

Keadaan tersebut dapat dimengerti karena metode pelayanan yang ditetapkan berorientasi pada petani untuk memanfaatkan klinik agribisnis sebagai penyedia informasi teknologi pertanian. Diharapkan klinik agribisnis sebagai wadah penyedia informasi dan teknologi benar-benar dapat dimanfaatkan baik oleh petani khususnya dan stakeholder lainnya.

Hasil wawancara dengan beberapa petani di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan klinik agribisnis di lokasi Prima Tani sangat berperan sebagai tempat konsultasi antara petani dengan petugas, dimana petani bisa mendapatkan informasi tambahan dengan cara membaca poster atau pamplet yang disediakan.

Aksesibilitas Kelembagaan Tani

Aksesibilitas kelembagaan tani adalah perilaku komunikasi petani dalam mendapatkan informasi dan meningkatkan pengetahuan tentang program Prima Tani baik melalui media massa maupun media interpersonal seperti penyuluh, peneliti, pemandu, sesama petani dan yang terkait dengan model Prima Tani dalam usahataninya.

Aksesibilitas kelembagaan tani yang diamati dalam penelitian ini adalah keuntungan kelompok tani dan manfaat keberadaan kelompok tani. Hasil penelitian menunjukkan, dari empat indikator peubah keuntungan dan delapan indikator manfaat adanya kelompok tani mempunyai nilai skor rata-rata bervariasi di dua provinsi yang berbeda. Di Jawa Barat, aksesibilitas keberadaan kelompok tani dirasakan manfaatnya dengan rataan skor 2,70 dan keuntungannya oleh petani kooperator dibuktikan rataan skor 2,78. Manfaat adanya kelompok tani lebih terlihat pada mengatasi masalah kebutuhan usahatani, mengatasi kesulitan di bidang

(18)

pertanian, menjaga harga produk, menyediakan fasilitas dan tempat silaturahmi. Di samping itu, manfaat lain yang dirasakan oleh petani kooperator seperti adanya kepemimpinan kelompok membantu meningkatkan produksi, memasarkan hasil dan mengatasi kesulitan petani. Keberadaan kelompok tani dirasakan pula keuntungannya oleh petani kooperator di Jawa Barat terlihat pada kerjasama dengan pihak pedagang dan sesama petani kelompok, penyuluhan oleh petugas kepada kelompok dan jaringan kerjasama dalam sistem agribisnis. Di sisi lain, aksesibilitas keberadaan kelompok tani pun dirasakan memberi keuntungan terlihat rataan skornya 2,36. Keuntungan yang dirasakan dari adanya kelompok tani hanya pada kerjasama sesama anggota, kegiatan penyuluhan petugas dan kerjasama jaringan dalam sistem agribisnis.

Keadaan tersebut dapat dipahami dalam hasil wawancara dengan petani kooperator di Jawa Barat bahwa budaya mereka sejak kecil telah menanamkan kerjasama dan gotong royong dalam panen, meminjam benih maupun alat pertanian yang masih kurang kepada sesama anggota kelompok bahkan peminjaman kredit uang untuk usahatani telah dilakukan.

Kondisi berbeda dialami oleh petani nonkooperator di Jawa Barat dimana aspek manfaat adanya kelompok tani masih kurang dirasakan petani nonkooperator dibuktikan rataan skor 2,31. Manfaat adanya kelompok tani ini seperti kelompok menyediakan fasilitas, kepemimpinan membantu meningkatkan produksi, memasarkan hasil dan mengatasi kesulitan petani masih kurang dirasakan tetapi indikator lainnya seperti mengatasi kebutuhan usahatani, mengatasi kesulitan di bidang pertanian, menjaga harga produk dan menjadi tempat silaturahmi lebih banyak dirasakan oleh petani nonkooperator (lihat Tabel 4).

Tabel 4 Rataan skor aksesibilitas kelembagaan tani No Aksesibilitas

kelembagaan tani

Rataan skor *)

Jawa Barat Sulawesi Selatan kooperator nonkooperator kooperator nonkooperator 1. Manfaat adanya lembaga

tani

2,70 2,31 2,70 2,27

2. Keuntungan lembaga tani 2,78 2,36 2,92 2,76

Total rataan skor 2,74 2,33 2,81 2,52 Keterangan: *) 1,00-1,66 = buruk/ tidak ada ; 1,67-2,33 = jarang/kurang; 2,34-3,00 = baik

(19)

Di Sulawesi Selatan, keberadaan kelompok tani sangat dirasakan keuntungan (2,92) dan manfaatnya (2,70) bagi petani kooperator. Keuntungan adanya kelompok tani dirasakan oleh petani kooperator seperti kerjasama dengan pedagang, kerjasama sesama petani, kegiatan penyuluhan dan jaringan kerjasama dalam agribisnis. Pada aspek manfaat adanya keberadaan lembaga tani pun dirasakan di lokasi. Hal ini terlihat pada peran kelompok tani dapat mengatasi masalah, mengatasi kesulitan di bidang pertanian, menjaga harga hasil panen, menyediakan fasilitas dan menjadi tempat silaturahmi bagi anggota kelompok. Manfaat lain yang dirasakan lembaga tani adalah pemimpin kelompok membantu memasarkan hasil, meningkatkan hasil produksi dan mengatasi kesulitan anggota kelompok.

Kondisi di atas dikuatkan dalam wawancara dengan petani di lapangan bahwa mereka telah melakukan kerjasama antarkelompok di dalam meminjam pupuk, obat hama dan gotong royong ketika panen tiba. Kerjasama itu telah menjadi kegiatan rutinitas mereka untuk membantu sesama anggota kelompok.

Kondisi ini jauh berbeda dirasakan petani nonkooperator di Sulawesi Selatan. Mereka hanya merasakan manfaat lembaga tani dalam menjaga harga hasil panen agar tidak turun (2,80) dan menyediakan fasilitas bagi pengelolaan anggota kelompok (2,42). Keberadaan kelompok tani dirasakan pula keuntungannya oleh petani nonkooperator terlihat rataan skor 2,76 dimana kerjasama dengan pihak pedagang, kerjasaman sesama petani, kegiatan petugas penyuluhan dan jaringan kerjasama dalam sistem agribisnis sangat menguntungkan.

Di sisi lain, tujuan program Prima Tani adalah untuk meningkatkan dan memperkuat aksesibilitas kelembagaan tani. Hal ini dimaksudkan untuk menunjang penguatan dalam integrasi antara kelembagaan tani seperti kelembagaan kios saprodi, kios alsintan, KUD dan lembaga pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan kelembagaan tani cenderung kurang menguntungkan bagi petani. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa peran kelembagaan tani seperti gapoktan dan lembaga pemasaran masih belum berfungsi semestinya disebabkan kurangnya koordinasi antara pengurus dengan anggotanya dan kesibukan rutin yang dilakukan oleh masing-masing petani. Kondisi seperti ini didukung wawancara dengan petugas Prima Tani bahwa hampir sebagian di lokasi Prima Tani ketika dilakukan PRA (Partisipatory Rural Appraisal), menunjukkan bahwa kelompok tani sebagai lembaga

(20)

produksi belum berfungsi optimal, organisasi kelompok belum berjalan dan belum teratur sebagaimana mestinya. Hal ini berpengaruh terhadap organisasi dan manfaat kelompok belum dipahami secara baik oleh petani.

Persepsi Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan

Persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan objek yang diinformasikan kepada dirinya, sehingga orang tersebut dapat memandang, mengerti dan menginterpretasikan informasi itu dengan keadaan dirinya dan lingkungannya dimana ia berada, sehingga dapat menentukan tindakannya. Dalam penelitian ini persepsi petani mengenai teknologi introduksi AIP berarti pandangan, pengamatan dan pengertian serta interpretasi petani mengenai teknologi introduksi AIP yang dikenalkan dalam program Prima Tani, sehingga dapat memandang dan mengerti hal tersebut dengan interpretasinya terhadap lingkungannya hingga dapat menentukan tindakan selanjutnya.

Teknologi introduksi AIP merupakan inovasi teknologi yang dapat dikembangkan dan diterapkan pada daerah agroekosistem yang berbeda-beda sesuai dengan lokasi Prima Tani, bertujuan meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani secara berkelanjutan. Pengembangan dan penerapan teknologi introduksi AIP mencakup penataan kembali tata letak pertanaman dalam satu lahan yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah optimalisasi dan konservasi lahan. Komoditas dan teknologi yang diintroduksi disesuaikan dengan kondisi biofisik, sosial budaya, ekonomi dan kebutuhan pengguna di lingkungan setempat. Kesesuaian inovasi teknologi dikembangkan dalam suatu sistem usahatani terpadu yaitu integrasi antara tanaman dan ternak yang ada di lokasi Prima Tani dalam kerangka Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP). Keluaran akhir dari Prima Tani adalah terbentuknya unit Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) dan Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) yang merupakan representasi industri pertanian dan usahatani berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu kawasan pengembangan.

Dalam penelitian ini persepsi petani mengenai teknologi introduksi yang dikembangkan dalam program Prima Tani meliputi aspek biofisik, sosial dan

(21)

ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum persepsi petani terhadap teknologi introduksi AIP dilihat dari aspek biofisik, ekonomi dan sosial mempunyai skor nilai yang berbeda dari dua provinsi. Di Jawa Barat, persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik terlihat meningkat dibuktikan rataan skor 2,42 berarti persepsinya tentang penampilan biofisik pertanian tergolong baik terutama pada penghasilan komoditas sampingan sebelum dan sesudah adanya Prima Tani serta pemanfaatan limbah pertanian yang dihasilkan sepenuhnya telah dimanfaatkan oleh petani (2,79) berarti menunjukkan perhatian petani dalam pemanfaatan limbah hasil pertanian untuk keperluan usahatani telah meningkat. Pada aspek ekonomi juga telah terjadi peningkatan persepsi petani kooperator di Jawa Barat (2,37) berarti kegiatan usahatani yang dilakukan secara ekonomi banyak menguntungkan bagi mereka terutama produk yang dihasilkan mutunya baik dan melimpah, ada nilai tambah setelah ada Prima Tani dan ada tambahan pendapatan setelah diterapkan dalam usahatani serta ada investasi setelah pendapatan meningkat. Begitu pula pada aspek sosial, petani kooperator di Jawa Barat telah meningkat persepsinya tentang teknologi introduksi AIP terutama adopsi terhadap model Prima Tani, pada indikator sosial psikologi terjadi perubahan pengetahuan, sikap dan tindakan, pada indikator sosial kemandirian telah terjadi peningkatan, pada indikator sosial keinovatifan terjadi peningkatan tetapi pada aspek lain terutama penerapan teknologi benih, teknologi budidaya, teknologi pengolahan hasil dan teknologi pemasaran tidak diterapkan dalam usahataninya. Begitu pula dalam indikator sosial manajemen usaha masih terjadi kendala dirasakan petani kooperator untuk menerapkan teknologi yang ada pada program Prima Tani.

Kondisi seperti ini didukung pendapat petani dalam Focus Group Discussion (FGD) dilapangan bahwa mereka telah menerapkan varietas padi yang diintroduksi karena tahan hama penyakit dan tidak terlalu banyak kehilangan waktu panen, penampilan vigur tanaman baik untuk komoditas padi, palawija, sayuran dan pola tanam yang baik disertai pengairan yang cukup serta telah memanfaatkan limbah pertanian untuk ternak dan pupuk.

Kondisi berbeda dialami petani nonkooperator di Jawa Barat, dimana persepsi mereka belum meningkat tentang teknologi introduksi AIP terutama penampilan biofisiknya dibuktikan rataan skor 1,26 berarti petani nonkooperator

(22)

belum memanfaatkan teknologi untuk penampilan biofisik pertanian yang baik. Pada aspek ekonomi, hanya sebagian saja yang dirasakan oleh petani nonkooperator terutama penjualan mutu produk baik dan melimpah, ada nilai tambah, pendapatan lebih dan ada investasi dilakukan petani. Pada aspek sosial, petani nonkooperator belum terjadi peningkatan persepsi tentang teknologi introduksi terutama sosial adopsi, sosial psikologi, sosial keinovatifan dan sosial manajemen usaha. Tetapi, pada sosial kemandirian dirasakan petani nonkooperator telah terjadi peningkatan persepsinya (lihat Tabel 5).

Tabel 5 Rataan skor persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP

No Persepsi petani Rataan Skor *)

Jawa Barat Sulawesi Selatan

kooperator nonkooperator kooperator nonkooperator

1. Biofisik 2,42 1,26 2,51 1,42

2. Ekonomi 2,37 2,42 2,46 2,24

3. Sosial 2,35 2,19 2,41 2,02

Total rataan skor 2,38 1,96 2,46 1,89

Keterangan: *) 1,00-1,66 = buruk; 1,67-2,33 = kurang/ jarang; 2,34-3,00 = baik

Secara umum persepsi petani kooperator di Sulawesi Selatan telah meningkat persepsinya tentang teknologi introduksi AIP. Peningkatan persepsi ini terlihat pada aspek biofisik dengan rataan skor 2,51 berarti petani kooperator telah meningkat persepsinya tentang penerapan teknologi introduksi untuk diterapkan pada penampilan biofisik pertanian yang baik terutama dalam komoditas sampingan yang diusahakan sebelum dan sesudah Prima Tani dan pemanfaatan limbah pertanian. Pada aspek ekonomi, persepsi petani kooperator telah meningkat persepsinya tentang teknologi introduksi AIP, tetapi pada bagian tertentu belum terbukti peningkatan persepsinya terutama adanya kendala ketika menjual produk dan harga penjualan produknya. Persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi telah terjadi peningkatan terutama aspek sosial psikologi dan sosial kemandirian. Tetapi, pada aspek sosial adopsi dan sosial manajemen usaha persepsi petani kooperator belum terjadi peningkatan. Ada sebagian pada aspek sosial keinovatifan diakui petani kooperator telah meningkat persepsinya terutama penerapan perubahan teknologi benih (2,92), teknologi budidaya/ produksi (2,75), teknologi pengolahan hasil (2,58) dan teknologi pemasaran (2,50).

(23)

Keadaan ini didukung pendapat petani ketika wawancara di lapangan bahwa mereka telah menerapkan teknologi introduksi dalam pola tanam baik padi gogo, sayuran maupun coklat dengan memperhatikan pola tanam dan pemupukan yang dianjurkan. Kotoran ternak telah dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos, ada peningkatan produk hasil pertanian diiringi harga jual yang tinggi dan mudah.

Kondisi berbeda dirasakan petani nonkooperator Sulawesi Selatan dimana persepsinya pada aspek biofisik belum meningkat dibuktikan rataan skor 1,42 berarti penerapan teknologi introduksi AIP pada penampilan biofisik pertanian belum dilakukan. Pada aspek ekonomi, petani nonkooperator kurang merasakan peningkatan persepsinya mengenai teknologi introduksi yang diterapkan dalam usahataninya terlihat pada rataan skor 2,24. Walaupun begitu, penerapan teknologi introduksi AIP ada sedikit peningkatan persepsinya terutama pada nilai tambah setelah adanya Prima Tani, penghasilan meningkat dan adanya investasi dilakukan petani nonkooperator. Pada aspek sosial adopsi, sosial psikologi, dan sosial manajemen usaha belum terlihat adanya peningkatan persepsi petani nonkooperator, tetapi pada sosial keinovatifan ada sebagian peningkatan persepsinya dan telah diterapkan pada teknologi pada usahataninya seperti kerjasama pengadaan saprodi, pengolahan lahan, pengolahan hasil, norma dalam pengolahan lahan, norma pemanenan hasil, norma pengolahan hasil dan pemodalan usaha.

Dengan demikian, kondisi kurang baik sama dialami oleh petani nonkooperator di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan. Persepsi mereka terhadap teknologi introduksi dalam aspek manajemen usaha cenderung menurun dan buruk. Teknologi introduksi yang dibawa program Prima Tani terutama dalam perencanaan usaha, mendapat modal usahatani, mengembangkan kerjasama kemitraan dan komunikasi dengan petugas/ penyuluh cenderung sering mengalami kesulitan.

Kondisi ini dipahami ketika wawancara dengan petani nonkooperator bahwa mereka belum semuanya merasakan manfaat teknologi introduksi yang dibawa Prima Tani, sehingga dalam perencanaan usahatani sampai kepada komunikasi dengan penyuluh/ petugas sering mengalami kesulitan. Kendala lain yang dialami petani nonkooperator cenderung tidak diperhatikan dan pembinaannya tidak intensif seperti yang dilakukan petugas kepada petani kooperator.

(24)

Hubungan Karakteristik Petani dengan Persepsi Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan

Karakteristik petani responden merupakan ciri khas yang dimiliki dan melekat pada diri petani. Dalam penelitian ini karakteristik responden yang diamati meliputi umur petani, jenis kelamin, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendapatan, pengalaman bertani, luas lahan garapan, status lahan garapan dan status dalam kelompok.

Untuk mengetahui derajat hubungan antara karakteristik petani dengan persepsi mereka terhadap teknologi introduksi AIP, dilakukan uji korelasi chi-square untuk data nominal dan uji korelasi rank Spearman untuk data ordinal. Data penelitian tentang derajat hubungan antara karakteristik petani dengan persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP dapat dilihat pada Tabel 6.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik petani kooperator di Jawa Barat berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP. Peubah karakteristik tersebut yaitu pendidikan nonformal berkorelasi nyata (p<0,05) dengan aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Artinya semakin banyak pendidikan nonformal yang diikuti petani maka persepsi mereka terhadap teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi semakin meningkat. Dengan kata lain, tingginya persepsi petani dalam penampilan biofisik pertanian tentang teknologi introduksi AIP turut dipengaruhi oleh pendidikan nonformal yang pernah diikuti petani. Asumsi ini dapat dikemukakan bahwa pendidikan nonformal seperti kursus, pelatihan maupun pendidikan yang diadakan oleh dinas pertanian, peternakan maupun lainnya sepenuhnya diterima oleh masyarakat sekitar karena teknologi introduksi AIP yang dibawa program Prima Tani walaupun masih dianggap baru, tetapi petani telah menerapkannya dalam penampilan biofisik pertaniannya karena menganggap teknologi tersebut sudah dikenal. Hal ini diperkuat dengan pengamatan dibeberapa lokasi penelitian bahwa ada peningkatan penggunaan varietas padi maupun komoditas lain yang diintroduksikan telah digunakan oleh petani, penampilan vigur tanaman baik, penanganan hama dan penyakit telah diterapkan sesuai rekomendasi, pengolahan tanaman sampai pascapanen sesuai rekomendasi dan ada peningkatan hasil produksi pertanian. Peubah pendidikan nonformal pun berkorelasi nyata (p<0,05) dengan aspek sosial. Artinya semakin banyak pendidikan

(25)

nonformal yang diikuti petani kooperator di Jawa Barat, maka persepsinya tentang teknologi introduksi pada aspek sosial semakin tinggi. Dengan kata lain, semakin tingginya persepsi petani kooperator di Jawa Barat secara sosial dipengaruhi oleh banyaknya pendidikan nonformal yang telah diikutinya. Oleh karena itu, adanya pendidikan nonformal yang telah diikuti petani selama ini seharusnya dijadikan tolok ukur oleh penyuluh dan petugas Prima Tani sebagai faktor penting dalam proses difusi inovasi teknologi yang diintroduksikan. Analisa ini diperkuat dengan pendapat Rogers dan Shoemaker (1995) bahwa kekayaan (pendapatan) dan status sosial berjalan seiring dengan keinovativan. Tetapi faktor-faktor ekonomi tidak memberikan penjelasan yang lengkap mengenai perilaku inovatif. Pendapat tersebut didukung Soekartawi (1988) bahwa pengalaman mengikuti kursus, pelatihan maupun pendidikan nonformal lainnya yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan. Dari kursus, pelatihan atau pendidikan nonformal lainnya dibidang pertanian diperoleh penambahan pengetahuan, kecakapan dalam mengelola usahatani, keterampilan dalam pelaksanaan tugas operasional, kreativitas dan percaya diri. Begitu pula, persepsi petani kooperator Jawa Barat pada aspek ekonomi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan pendidikan nonformal. Artinya semakin banyak pendidikan nonformal yang diikuti oleh petani kooperator Jawa Barat, maka persepsinya tentang teknologi introduksi pada aspek ekonomi semakin meningkat. Asumsi ini dapat dikatakan bahwa petani kooperator telah mengaplikasikan pendidikan nonformal yang telah diikutinya untuk meningkatkan pengetahuan dalam usahataninya yang berdampak pada peningkatan produksi yang akhirnya meningkatkan pendapatan petani itu sendiri. Kondisi ini didukung wawancara dengan petani di lapangan bahwa banyak petani merasakan adanya berbagai kursus, pelatihan yang dilakukan oleh BPTP, Dinas pertanian dan dinas terkait dapat meningkatkan pengetahuan dalam pertanian. Bekal pengetahuan ini diterapkan dalam usahataninya seperti informasi harga pasar, teknik pengolahan pascapanen seperti pisang menjadi produk yang bernilai ekonomis. Walaupun umur, jenis kelamin, pendidikan formal, pengalaman tani, pendapatan, status lahan, luas lahan garapan dan status petani dalam kelompok tidak berhubungan dengan persepsinya tentang teknologi introduksi, tetapi dapat diasumsikan bahwa umur, perbedaan jenis kelamin, pendidikan formal, pengalaman tani, status lahan dan status

(26)

dalam kelompok akan berpengaruh terhadap kinerja usahatani di bidang pertanian, semakin banyak petani laki-laki yang berpendidikan dan berposisi dalam kelompok tani, memiliki pengalaman tani dan luas lahan garapannya akan berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi pertanian yang secara ekonomi menguntungkan dan diterima secara sosial, maka pengaruhnya terhadap penampilan biofisik pertanian selalu diperhatikan, status keanggotaannya dalam kelompok berpengaruh terhadap setiap keputusan untuk menentukan kebijakan kelompok yang dapat membantu anggotanya menghadapi masalah.

Di sisi lain, ada perbedaan yang diterima petani nonkooperator di Jawa Barat dalam hubungan karakteristik dengan persepsinya tentang teknologi introduksi yang dibawa program Prima Tani. Ada tiga peubah karakteristik yaitu umur, pendidikan formal dan pendidikan nonformal yang berkorelasi dengan persepsi teknologi introduksi terutama pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Peubah umur petani nonkooperator Jawa Barat berkorelasi nyata (p<0,05) negatif dengan aspek ekonomi. Artinya semakin bertambahnya umur petani nonkooperator yang dimiliki maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek ekonomi semakin menurun. Kondisi ini disebabkan bertambahnya usia petani nonkooperator tidak digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan yang dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produksi pertanian dan menguntungkan. Hal ini didukung pendapat Klausmier dan Gwin dalam Mardikanto (1993) bahwa semakin tua seorang petani maka semakin lemah daya biologis, daya psikologis, tingkat kepekaan dan potensi lainnya. Usia tua akan membatasi manajemen dan perilakunya terutama perilakunya didalam mengakses informasi maupun peningkatan produksi pertanian. Begitu pula dengan pendidikan formal petani nonkooperator Jawa Barat berkorelasi nyata (p<0,05) negatif dengan persepsinya tentang teknologi introduksi pada aspek sosial. Artinya semakin tinggi pendidikan formal yang telah diikuti oleh petani nonkooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP aspek sosial semakin menurun. Kondisi seperti ini menimbulkan ketimpangan di dalam pengetahuan yang diterima petani nonkooperator berpendidikan tinggi dengan petani berpendidikan rendah lainnya. Hal ini disebabkan bahwa pendidikan formal yang dimiliki oleh petani nonkooperator Jawa Barat tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya sebagai petani sehingga kurang dimanfaatkan dalam bidang pertanian.

(27)

Hal ini diperkuat wawancara dengan petani bahwa sebagian besar pendidikan mereka adalah tamatan SD yang cukup bisa membaca dan menulis sehingga pola pikir ini tidak seimbang dengan pekerjaannya sebagai petani yang harus banyak belajar dan membaca mengenai teknologi introduksi pertanian yang lebih inovatif. Dengan kata lain, pendidikan yang kurang dan tidak sesuai ini berdampak kepada adopsi program Prima Tani yang ada di wilayahnya dimana mereka cenderung menolak, kurang tertarik dan belum sepenuhnya menerapkan teknologi yang dibawa oleh Prima Tani. Pendidikan nonformal petani nonkooperator Jawa Barat berkorelasi sangat nyata (p<0,01) negatif dengan aspek sosial. Hal ini berarti, semakin banyak pendidikan nonformal yang pernah diikuti petani nonkooperator Jawa Barat, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP secara sosial semakin menurun. Kondisi seperti ini disebabkan lingkungan di Jawa Barat ada asumsi bahwa pendidikan nonformal yang tinggi akan meningkatkan status seseorang di dalam masyarakat. Peningkatan status petani yang banyak mengikuti pendidikan nonformal mengakibatkan ketimpangan pengetahuan dan informasi yang dirasakan orang lain yang berpendidikan rendah dan kurang mengikuti pendidikan nonformal. Hal lain ini disebabkan karena pendidikan nonformal yang telah diikuti petani nonkooperator tidak sesuai dengan kebiasaan pekerjaan di masyarakat petani dan pengetahuan yang diterima belum diterapkan karena masih dianggap baru.

Pada karakteristik petani kooperator di Sulawesi Selatan terdapat hubungan dengan persepsinya tentang teknologi introduksi yang dibawa program Prima Tani. Peubah karakteristik itu adalah pendidikan formal, pendapatan, pengalaman bertani dan luas lahan garapan. Peubah pendidikan formal petani kooperator berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP aspek ekonomi. Artinya semakin tinggi pendidikan formal yang telah diikutinya, maka semakin tinggi pula persepsinya yang diterima mengenai teknologi introduksi pada aspek ekonomi. Asumsi ini dapat dikatakan bahwa tingginya pendidikan formal yang telah diikuti oleh petani kooperator Sulawesi Selatan berdampak kepada peningkatan pengetahuan mereka dalam bidang pertanian, akhirnya berdampak pada peningkatan hasil produksi pertanian yang menguntungkan secara ekonomis. Sejalan dengan itu, Legens dalam Adiwar (1986) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki pendidikan formal yang tinggi relatif lebih cepat dalam menangkap adanya

(28)

kesempatan ekonomi di dalam kehidupannya. Dengan demikian, penyampaian gagasan baru terhadap teknologi produksi yang lebih maju akan mudah diterima bagi mereka yang berpendidikan formal lebih tinggi. Begitu pula Soekartawi (1988) bahwa mereka yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Peubah pendapatan petani kooperator Sulawesi Selatan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya terutama aspek sosial. Ini berarti bahwa tingginya pendapatan yang diterima oleh petani kooperator Sulawesi Selatan, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP secara sosial semakin meningkat. Kondisi seperti ini dapat diasumsikan bahwa pendapatan yang diterima petani kooperator Sulawesi Selatan membawa suatu perubahan bagi peningkatan kesejahteraan keluarganya dimana secara norma sosial sudah menjadi budaya umum pada masyarakat sekitar. Hal ini dapat dipahami bahwa pendapatan yang diterima petani kooperator di Sulawesi Selatan banyak dipengaruhi oleh penjualan hasil panen dimana harga jual selalu dipengaruhi perubahan harga pasar. Analisa tersebut didukung Iqbal dan Dalimi (2006) bahwa usahatani yang dikerjakan petani menjadi sumber utama ekonomi keluarga. Karena itu, ketidakstabilan harga akan berdampak langsung terhadap pendapatan petani. Hal serius adalah penurunan harga drastis dimana dampaknya dapat menurunkan pendapatan petani dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap optimalisasi pengelolaan usahataninya. Kondisi ini didukung wawancara sebagian petani di lapangan bahwa pendapatan yang diterima dari hasil pertanian sebagian kecil dialokasikan untuk keluarga dan selebihnya untuk membayar hutang, beli pupuk dan peralatan lainnya yang harganya mahal. Peubah pengalaman tani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP pada aspek ekonomi. Artinya semakin banyak pengalaman bertani yang telah digeluti petani kooperator Sulawesi Selatan, maka semakin meningkat persepsinya secara ekonomi mengenai teknologi introduksi AIP. Asumsi ini dikatakan bahwa banyaknya pengalaman bertani akan meningkatkan wawasan dan pengetahuan petani kooperator Sulawesi Selatan dimana berdampak pada penerapan teknologi yang pernah diterima dan diketahuinya. Peningkatan pengetahuan ini digunakan untuk mengolah hasil produk pertanian yang menguntungkan secara ekonomis. Hal ini didukung oleh pendapat Kuntjoro dalam Hermawanto (1993) bahwa petani lama berpengalaman dalam usahatani akan memiliki kemampuan dan

(29)

keterampilan teknik produksi yang tinggi. Di samping itu, petani berpengalaman lama lebih pandai memilih cara-cara berusahatani yang paling menguntungkan baginya terutama dalam memilih varietas yang digunakan dalam usahataninya. Pendapat lain Havelock (1971) menyatakan bahwa pengalaman masa lalu telah dimiliki seseorang akan cenderung mempengaruhi sifat memerlukan dan siap menerima pengetahuan baru. Azahari (1988) menyatakan bahwa pengalaman berusahatani akan semakin mudah memahami inovasi dan semakin tinggi partisipasinya dalam program pembangunan pertanian yang ada. Begitu pula, luas lahan garapan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi yang diterimanya pada aspek sosial. Ini berarti semakin luas lahan garapan yang dimiliki petani kooperator Sulawesi Selatan, maka persepsinya secara sosial telah meningkat mengenai teknologi introduksi AIP yang diterimanya. Asumsi ini dapat dikatakan bahwa makin luas lahan garapan yang dimiliki petani kooperator Sulawesi Selatan, secara sosial di masyarakat telah diterima. Luasnya lahan yang digarap petani kooperator Sulawesi Selatan akan berdampak kepada hasil produk pertanian akhir dimana dapat meningkatkan pendapatan mereka. Hal ini didukung oleh Hernanto (1989) bahwa luas lahan usahatani akan menentukan pendapatan, taraf hidup dan derajat kesejahteraan rumah tangga tani. Dengan demikian, luas lahan garapan akan berpengaruh terhadap penerimaan inovasi baru yang menguntungkan dan dapat meningkatkan status sosial di dalam masyarakat. Kondisi ini didukung wawancara dengan petani kooperator di lapangan bahwa sebagian besar mereka telah merasakan manfaat adanya program Prima Tani di wilayahnya karena telah membawa perubahan banyak seperti pengetahuan teknologi inovasi yang dibawa Prima Tani sehingga dapat meningkatkan hasil produksi pertaniannya, informasi pasar harga produk yang diperlukan dan pengolahan tanaman sampai pascapanen yang sesuai kondisi lahan pertaniannya.

Petani nonkooperator di Sulawesi Selatan berkorelasi dengan karakteristik terutama pendapatan dan luas lahan garapan dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP pada aspek sosial dan ekonomi. Peubah pendapatan berkorelasi nyata (p<0,05) negatif dengan persepsinya pada aspek sosial. Artinya semakin tinggi pendapatan yang diterima petani nonkooperator Sulawesi Selatan, maka secara sosial persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP yang diterimanya semakin menurun.

(30)

Hal ini disebabkan bahwa pendapatan yang diterima oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan sesama petani lainnya terutama petani kooperator sehingga mengakibatkan ketimpangan sosial di dalam masyarakat. Perbedaan pendapatan ini disebabkan oleh perbedaan luas lahan yang dimiliki dimana berdampak kepada hasil produksi pertanian yang diterimanya. Hal ini didukung pendapat Rogers dan Shoemaker (1995) bahwa pendapat dan status sosial berjalan seiring dengan keinovatifan dalam usahataninya, tetapi inovatif tidak dipengaruhi oleh kaya. Faktor ekonomi tidak memberikan penjelasan lengkap mengenai perilaku inovatif walaupun status sosial tidak tinggi di dalam masyarakat. Pada peubah luas lahan garapan berkorelasi sangat nyata (p<0,01) negatif dengan persepsi petani nonkooperator yang diterima pada aspek sosial. Artinya, semakin luas lahan yang digarap oleh petani nonkooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP secara sosial semakin menurun. Kondisi ini disebabkan karena adanya asumsi bahwa luas lahan garapan yang dimiliki menandakan tingginya status sosial seseorang di mata masyarakat, sehingga makin luas lahan garapan yang dimilikinya akan meningkatkan status petani di masyarakat. Hal ini akan menyebabkan ”kecemburuan sosial” bagi petani yang mempunyai luas lahan garapan yang sempit. Begitu pula, luas lahan yang dimiliki petani nonkooperator Sulawesi Selatan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya tentang teknologi introduksi pada aspek ekonomi. Artinya, semakin luas lahan garapan yang dimiliki petani nonkooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP dalam program Prima Tani pada aspek ekonomi semakin meningkat. Asumsi ini dikatakan bahwa luas lahan garapan berdampak kepada banyaknya produksi pertanian yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dimana akhirnya dapat menguntungkan secara ekonomi. Pendapat ini didukung Kartasapoetra (1991) bahwa petani kaya memiliki luas lahan garapan lebih banyak akan menggunakan inovasi lebih awal, intensif dan lebih kontinu sehingga dapat meningkatkan lagi pendapatan mereka. Dengan demikian, luas lahan garapan akan mempengaruhi terhadap besar-kecilnya pendapatan yang diterima petani dalam mengolah lahannya dengan menggunakan teknologi yang menguntungkan.

Dari uraian tersebut, dapat dianalisis bahwa karakteristik petani berpengaruh terhadap peningkatan persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP yang dibawa

(31)

Prima Tani. Ada hal penting lain perlu dilihat bahwa dalam peningkatan persepsi petani tentang teknologi introduksi dalam program Prima Tani adalah: 1) inovasi harus dirasakan sebagai kebutuhan petani kebanyakan, 2) inovasi harus memberikan keuntungan secara konkrit oleh petani, 3) inovasi harus mempunyai keselarasan antara teknologi lama dan teknologi baru, 4) inovasi harus mengatasi faktor penghambat, 5) inovasi harus terjangkau kemampuan finansial petani, 6) inovasi tidak rumit dan mudah dicoba, 7) inovasi mudah diamati (Musyafak dan Ibrahim, 2005).

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara karakteristik petani dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP, maka hipotesis pertama yang menyatakan terdapat hubungan antara karakteristik petani dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP dapat diterima pada peubah umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendapatan, pengalaman bertani dan luas lahan garapan. Dengan demikian hipotesis H1 sebagian besar diterima.

(32)
(33)

Hubungan Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani dengan Persepsi Petani tentang Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan

Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani yang diteliti meliputi gelar teknologi, media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis. Untuk mengetahui hubungan antara pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dengan persepsi petani mengenai teknologi introduksi AIP, maka dilakukan uji korelasi rank Spearman. (Tabel 7).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan media komunikasi berkorelasi dengan persepsi petani kooperator di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan tentang teknologi introduksi AIP. Dalam Tabel 7 terlihat gelar teknologi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator di Jawa Barat pada aspek ekonomi. Artinya semakin banyak kegiatan gelar teknologi yang diadakan oleh program Prima Tani dirasakan semakin tinggi persepsi petani kooperator Jawa Barat mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek ekonomi semakin meningkat. Hal ini diasumsikan bahwa kegiatan gelar teknologi merupakan kegiatan diseminasi yang menampilkan teknologi hasil program Prima Tani secara visual sehingga dapat dilihat oleh petani kooperator di Jawa Barat. Pengetahuan dari gelar teknologi ini akan dimanfaatkan untuk diterapkan pada usahataninya sehingga dapat meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan petani yang secara ekonomis menguntungkan. Gelar teknologi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan peningkatan persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik. Ini berarti semakin banyak gelar teknologi yang dilakukan dalam program Prima Tani maka semakin meningkat persepsi petani kooperator mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik. Asumsi ini dikatakan bahwa kegiatan gelar teknologi yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi dalam teknologi yang dibawa oleh Prima Tani dimana kegiatan tersebut langsung disaksikan oleh petani kooperator. Hasil kegiatan gelar teknologi itu diharapkan dapat diterapkan dalam penampilan biofisik lahan pertaniannya. Kondisi ini didukung wawancara petani dilapangan bahwa gelar teknologi yang dilakukan dalam Prima Tani telah meningkatkan pengetahuan mereka dalam pengolahan lahan pertanian, pola tanam, penanganan hama dan penyakit tanaman sehingga mereka menjadi paham ketika menghadapi hama penyakit tanaman yang menyerang pertaniannya. Biasanya

(34)

informasi ini didapat dari konsultasi dengan petugas yang langsung terjun melihat kondisi pertanian mereka. Media komunikasi Prima Tani yang digunakan dalam diseminasi informasi Prima Tani berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsi petani kooperator Jawa Barat terutama aspek biofisik. Artinya pemanfaatan media komunikasi Prima Tani sebagai media penyebaran informasi yang dilakukan oleh petani kooperator maka semakin meningkat persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik. Hal ini dapat diasumsikan bahwa adanya media yang tersedia dalam program Prima Tani ternyata dimanfaatkan petani kooperator Jawa Barat sebagai media untuk meningkatkan pengetahuan teknologi di bidang pertanian terutama penampilan biofisik pertaniannya yang baik sehingga dapat meningkatkan hasil produksi. Media komunikasi Prima Tani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator Jawa Barat tentang teknologi introduksi AIP pada aspek sosial. Ini berarti bahwa banyaknya pemanfaatan media komunikasi Prima Tani oleh petani kooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi pada aspek sosial semakin meningkat. Hal ini diperkuat wawancara petani di lapangan bahwa mereka telah memanfaatkan media komunikasi Prima Tani ini sebagai informasi tambahan dari penjelasan petugas Prima Tani sehingga lebih mengerti benar. Mereka mendapatkan media komunikasi tersebut dari klinik agribisnis ketika melakukan konsultasi dengan petugas atau pertemuan rutin kelompok. Pemanfaatan klinik agribisnis berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator mengenai teknologi introduksi AIP terutama pada aspek biofisik dan ekonomi. Artinya, klinik agribisnis yang disediakan sebagai wadah interaksi pengguna dan penyuplai teknologi semakin banyak dimanfaatkan, maka persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik dan ekonomi semakin meningkat. Asumsi ini dikatakan bahwa pemanfaatan klinik agribisnis telah dilakukan petani sebagai wadah informasi dan penyuplai teknologi yang berguna bagi usahatani petani kooperator sehingga teknologinya diterapkan pada penampilan biofisik pertanian yang baik dan secara ekonomi dapat meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Kondisi ini diperkuat wawancara dengan petani bahwa sebagian besar mereka mendapatkan media komunikasi seperti brosur, leaflet, poster maupun benih unggul dari klinik agribisnis ketika konsultasi dengan petugas dan pertemuan kelompok yang diadakan rutin. Biasanya brosur dan poster sering

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menilai skala skor FOUR CT Marshall pada penderita cedera otak akibat trauma, dan menilai hubungan antara skala skor FOUR dan CT

Fungsi perlindungan dari senyawa MAAs ini berdasarkan sifat efektivitas gugus-gugus kimia tersebut dalam mengabsorbsi pada daerah radiasi UV-A dan UV-B sehingga senyawa tersebut

Primipara atau melahirkan anak pertama saat usia &gt;35 tahun juga lebih banyak memiliki resiko gangguan emosional, hal ini disebabkan karena ibu usia &gt;35

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi disminore yaitu dengan melakukan kompres hangat, yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman, mengurangi

Manfaat penelitan ini bagi mahasiswa adalah melatih kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh departemen Teknik Industri FT-USU dalam menghasilkan para

Buka lipatan sarung tangan, ambil sarung tangan dengan ibu jari dan telunjuk tangan kanan pada bagian sebelah dalam kemudian pasang sesuai dengan jari-jari tangan kiri.. Tarik

Cash flow (aliran kas) merupakan sejumlah uang kas yang keluar dan yang masuk sebagai akibat dari aktivitas perusahaan dengan kata lain adalah aliran kas yang terdiri

Pengujian yang dilakukan terhadap sistem secara keseluruhan adalah untuk mengetahui nilai tegangan hasil dari ADC, nilai suhu, tampilan dan fungsionalitas dari aplikasi serta