• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN APLIKASINYA PADA PENYIMPANAN BERAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAN APLIKASINYA PADA PENYIMPANAN BERAS"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

KAJIAN PENGGUNAAN DAUN PEPAYA, DAUN BELIMBING WULUH, DAUN CENTE, DAUN JERUK PURUT, DAN BUNGA KECOMBRANG

SEBAGAI INSEKTISIDA ALAMI TERHADAP PERKEMBANGAN

Sitophilus zeamais Motsch DAN APLIKASINYA

PADA PENYIMPANAN BERAS

Oleh :

RENI SETIAWATI F24051114

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

KAJIAN PENGGUNAAN DAUN PEPAYA, DAUN BELIMBING WULUH, DAUN CENTE, DAUN JERUK PURUT, DAN BUNGA KECOMBRANG

SEBAGAI INSEKTISIDA ALAMI TERHADAP PERKEMBANGAN

Sitophilus zeamais Motsch DAN APLIKASINYA

PADA PENYIMPANAN BERAS

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

RENI SETIAWATI F24051114

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN PENGGUNAAN DAUN PEPAYA, DAUN BELIMBING WULUH, DAUN CENTE, DAUN JERUK PURUT, DAN BUNGA KECOMBRANG

SEBAGAI INSEKTISIDA ALAMI TERHADAP PERKEMBANGAN

Sitophilus zeamais Motsch DAN APLIKASINYA

PADA PENYIMPANAN BERAS

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

RENI SETIAWATI F24051114

Dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 5 Oktober 1986 Tanggal lulus : 28 Agustus 2009

Menyetujui, Bogor, September 2009

Dr. Ir. Yadi Haryadi, M. Sc. Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr.

(4)

Reni Setiawati. F24051114. Kajian Penggunaan Daun Pepaya, Daun Belimbing Wuluh, Daun Cente, Daun Jeruk Purut, dan Bunga Kecombrang sebagai Insektisida Alami Terhadap Perkembangan Sitophilus zeamais Motsch dan Aplikasinya pada Penyimpanan Beras. Di bawah bimbingan Yadi Haryadi. (2009).

RINGKASAN

Penyimpanan bahan pangan merupakan salah satu aspek penting dalam teknologi pasca panen. Selama penyimpanan, bahan pangan pokok seperti beras dapat mengalami perubahan atau kerusakan yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas bahan pangan. Agar kerusakan secara kualitas atau kuantitas dapat ditekan, hasil-hasil pertanian harus disimpan dalam gudang dengan manajemen gudang yang efisien.

Serangga hama gudang merupakan salah satu penyebab kerusakan yang terbesar pada komoditas pangan yang disimpan. Serangga tidak hanya memakan bahan makanan yang disimpan, tetapi juga menyebabkan kontaminasi terhadap bahan pangan yang disimpan berupa feses dan webbing. Selain itu serangga mati dapat mencemari bahan pangan yaitu berupa potongan atau sisa-sisa tubuh serangga (Cotton dan Wilbur, 1974).

Dari berbagai cara pengendalian hama pasca panen, cara yang paling efisien adalah cara kimia dengan menggunakan insektisida termasuk fumigan. Namun penggunaan insektisida sintetis ini dapat menimbulkan dampak negatif apabila penggunaannya tidak terkendali. Oleh karena itu penggunaan insektisida sintetis perlu dipertimbangkan dan sedikit demi sedikit digantikan kedudukannya dengan insektisida alami nabati yang relatif lebih murah dan aman bagi manusia dan lingkungan karena sifatnya yang mudah terurai.

Penelitian ini bertujuan untuk mepelajari daya insektisida dari lima bahan nabati yaitu daun pepaya, daun belimbing wuluh, daun cente, daun jeruk purut, dan bunga kecombrang terhadap perkembangan serangga hama pasca panen Sitophilus zeamais Motsch.

Penelitian ini meliputi tahap persiapan dan tahap uji coba daya insektisida. Tahap persiapan meliputi pembiakan serangga S. zeamais Motsch, pembuatan tepung nabati, dan pembuatan media oligidik. Tahap uji coba daya insektisida meliputi penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan aplikasi pada beras. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah jumlah serangga turunan pertama (F1), periode perkembangan (D), indeks perkembangan (ID), laju perkembangan intrinsik (Rm), dan kapasitas multiplikasi mingguan (λ). Selain itu untuk mengetahui tingkat kerusakan yang ditimbulkan juga diamati jumlah total populasi serangga (Nt), persen biji berlubang (%), persen kehilangan bobot (%KB), dan persen fraksi bubuk yang timbul (%frass).

Bahan nabati yang diuji pada penelitian pendahuluan adalah daun pepaya, daun belimbing wuluh, daun cente, daun jeruk purut, dan bunga kecombrang. Kelima bahan nabati ini ditambahkan pada media oligidik dengan konsentrasi masing-masing 0.0 %; 2.0 %; 4.0 %; 6.0 %; 8.0 %; dan 10 % dengan tiga kali ulangan. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan diperoleh hasil bahwa tepung daun belimbing wuluh dan tepung daun cente berpengaruh nyata dalam

(5)

menurunkan populasi serangga turunan pertama. Kedua bahan nabati ini dilanjutkan ke penelitian utama dengan memperkecil konsentrasinya.

Pada penelitian utama konsentrasi tepung daun belimbing wuluh yang ditambahkan yaitu 0 % ; 1.2 % ; 2.4 % ; 3.6 % ; 4.8 % ; dan 6.0 %, sedangkan konsentrasi tepung daun cente yang ditambahkan yaitu 0 % ; 0.8 % ; 1.6 % ; 2.4 % ; 3.2 % ; dan 4.0 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung daun belimbing wuluh dan tepung daun cente berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diuji. Kedua bahan nabati ini dapat menekan jumlah serangga turunan pertama (F1), memperpanjang periode perkembangan (D), dan memperkecil indeks perkembangan (ID), laju perkembangan intrinsik (Rm), serta kapasitas multiplikasi mingguan (λ).

Berdasarkan penelitian utama, tepung daun belimbing wuluh dengan konsentrasi 6.0 % dan tepung daun cente 2.4 % paling efektif digunakan sebagai insektisida. Oleh karena itu, kedua bahan dengan konsentrasi tersebut diaplikasikan pada penyimpanan beras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung daun belimbing wuluh dan tepung daun cente dapat menurunkan jumlah total populasi serangga (Nt), persen biji berlubang (%BB), persen kehilangan bobot (%KB), dan persen fraksi bubuk yang timbul (%frass). Hal ini diduga karena adanya daya insektisida pada kedua bahan nabati tersebut yang berupa daya repellent dan daya antifeedant sehingga menyebabkan terhambatnya perkembangan Sitophilus zeamais.

Berdasarkan hasil penelitian, tepung daun cente memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap seluruh parameter yang diuji dibandingkan dengan tepung daun belimbing wuluh walaupun konsentrasinya lebih kecil. Hal ini membuktikan bahwa daya insektisida tepung daun cente lebih baik/ lebih efektif dibandingkan dengan daya insektisida tepung daun belimbing wuluh.

(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 5 Oktober 1986. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, putri pasangan Ade Cahya dan Ai Susilawati. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1991 – 1993 di TK Al-Hidayah, Gombong. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1993 – 1999 di SD Negeri Gombong I. Pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 3 Ciawi, kemudian di SMA Negeri 2 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama kuliah penulis memiliki pengalaman organisasi antara lain sebagai sekretaris pada Organisasi Mahasiswa Daerah Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA), anggota Koperasi Mahasiswa IPB, anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA), dan anggota Food Processing Club (FPC) divisi Beverages. Penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitiaan diantaranya IFOODEX (Indonesian Food Expo) 2008, Panitia Wisuda Sarjana Fakultas Tenologi Pertanian, dan Panitia Masa Orientasi Departemen ITP.

Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana penulis melakukan kegiatan penelitian. Hasil kegiatan tersebut telah disusun dalam bentuk skripsi dengan judul ”Kajian Penggunaan Daun Pepaya, Daun Belimbing Wuluh, Daun Cente, Daun Jeruk Purut, dan Bunga Kecombrang Sebagai Insektisida Alami Terhadap Perkembangan Sitophilus zeamais Motsch dan Aplikasinya Pada Penyimpanan Beras” di bawah bimbingan Dr. Ir. Yadi Haryadi, M. Sc.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim,

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kajian Penggunaan Daun Pepaya, Daun Belimbing Wuluh, Daun Cente, Daun Jeruk Purut, dan Bunga Kecombrang Sebagai Insektisida Alami Terhadap Perkembangan Sitophilus Zeamais Motsch dan Aplikasinya Pada Penyimpanan Beras”.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak dan Mamahku tercinta yang telah membesarkan, mendidik, memberikan kasih sayang, perhatian, dan do’a kepada penulis.

2. Dr. Ir. Yadi Haryadi, M. Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama masa kuliah, penelitian dan penyelesaian tugas akhir.

3. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M. Si. dan Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP. DEA., atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

4. Adik-adikku tersayang, Taufik Arifin dan Linda Sakinah, yang selalu memberi semangat.

5. Mang Awong, Bi Endang, Mang Aming, Mang Akus, Mang Alon, U Enu, U Euis, Teh Nur, A Yayan, Hermina Nur Karimah, De Toto, Inun, dan Talitha yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil.

6. Juanda Reputra, untuk setiap doa, inspirasi, semangat, perhatian, keceriaan, dan kesabaran yang diberikan kepada penulis.

7. Khrisia Saptarini, Resna Nur Apriani, Santy Ernawati, dan Galih Eka Pratiwi atas persahabatan yang indah.

8. Teman-teman seperjuangan : Rino dan Riska, terima kasih atas bantuan dan semangatnya.

9. Teman-teman Tiamor’s, Novi, Triana, Mayang, Dwi, Nifa, Fera, Nunung, Embi, Tri, Umi, Cempaka atas kebersamaan dan keceriaan selama ini.

(8)

10. Teman-teman ITP 42 : Peye, Arya, Haris, Nanda, Aji, Harist, Reriel, Muji, Fuad, Hesti, Tuti, Yusi, Atus, Indri, Nina, Fera, Galih Ika, Tiyu, Glen, Marcel, Wiwi, Adi Woko, Midun, Septi, Upik, Anggun, dan teman-teman ITP 42 lainnya yang tak bisa kusebutkan satu per satu.

11. Pak Nur, Pak Jun, Pak Iyas, Pak Wahid, Bu Antin, Pak Rojak, dan teknisi lainnya. Terima kasih atas bantuannya.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2009

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 3

C. MANFAAT PENELITIAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. PENYIMPANAN BIJI-BIJIAN ... 4

B. KERUSAKAN BAHAN PANGAN AKIBAT SERANGAN SERANGGA ... 5

C. PENGENDALIAN HAMA ... 6

D. INSEKTISIDA ALAMI NABATI ... 8

E. SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais Motsch ... 9

F. MEDIA OLIGIDIK ... 12

G. BIOLOGI TANAMAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN ... 14

III. METODOLOGI ... 20

A. BAHAN DAN ALAT... 20

B. METODE PENELITIAN ... 20

1. Tahap Persiapan ... 20

a. Pembiakan Serangga Sitophilus zeamais Motsch ... 20

b. Pembuatan Tepung Beras dan Tepung Nabati ... 21

c. Pembuatan Media Oligidik ... 21

2. Tahap Uji Coba Daya Insektisida ... 22

a. Penelitian Pendahuluan ... 22

b. Penelitian Utama ... 22

(10)

d. Metode Pengamatan Aplikasi Penyimpanan Beras ... 23

C. PERHITUNGAN HASIL PENGAMATAN ... 23

D. RANCANGAN PERCOBAAN ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 25

B. PENELITIAN UTAMA ... 28

1. Efektivitas Insektisida Tepung Daun Belimbing Wuluh dan Tepung Daun Cente ... 29

2. Karakteristik Daya Insektisida Tepung Daun Belimbing Wuluh . 32 3. Karakteristik Daya Insektisida Tepung Daun Cente ... 38

C. APLIKASI PADA BERAS... 43

1. Jumlah Total Populasi Serangga Dewasa (Nt) ... 44

2. Persen Biji Berlubang (% BB) dan Persen Kehilangan Bobot (% KB) ... 47

3. Persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) ... 49

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

A. KESIMPULAN ... 51

B. SARAN ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Hubungan antara kadar air dengan perubahan bji-bijian selama

penyimpanan ... 4 Tabel 2. Komposisi media oligidik dengan bahan aktif tepung ... 21 Tabel 3. Jumlah Sitophilus zeamais yang mati selama masa infestasi pada

media oligidik. ... 27 Tabel 4. Pengaruh beberapa jenis bahan nabati terhadap jumlah turunan

pertama Sitophilus zeamais pada penelitian pendahuluan ... 28 Tabel 5. Komposisi media oligidik dengan bahan aktif tepung daun

belimbing wuluh ... 29 Tabel 6. Komposisi media oligidik dengan bahan aktif tepung daun cente 29 Tabel 7. Perbandingan efektivitas insektisida tepung daun belimbing

wuluh dibandingkan dengan tepung daun cente ... 30 Tabel 8. Kemunculan serangga turunan pertama pada media oligidik

akibat penambahan tepung daun belimbing wuluh... 33 Tabel 9. Kemunculan serangga turunan pertama pada media oligidik

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Siklus hidup Sitophilus sp ... 11

Gambar 2. Sitophilus zeamais Motsch ... 12

Gambar 3. Daun pepaya muda ... 14

Gambar 4. Daun belimbing wuluh... 15

Gambar 5. Lantana camara L ... 16

Gambar 6. Daun jeruk purut ... 17

Gambar 7. Bunga kecombrang ... 19

Gambar 8. Media oligidik ... 21

Gambar 9. Kurva jumlah populasi kumulatif turunan pertama Sitophilus zeamais dengan penambahan tepung daun belimbing wuluh .. 32

Gambar 10. Histogram pengaruh penambahan tepung daun belimbing wuluh terhadap periode perkembangan Sitophilus zeamais Motsch ... 35

Gambar 11. Histogram pengaruh penambahan tepung daun belimbing wuluh terhadap indeks perkembangan Sitophilus zeamais Motsch ... 36

Gambar 12. Histogram pengaruh penambahan tepung daun belimbing wuluh terhadap laju perkembangan intrinsik Sitophilus zeamais Motsch ... 37

Gambar 13. Histogram pengaruh penambahan tepung daun belimbing wuluh terhadap kapasitas multiplikasi mingguan Sitophilus zeamais Motsch ... 37

Gambar 14. Kurva jumlah populasi kumulatif turunan pertama Sitophilus zeamais dengan penambahan tepung daun cente ... 38

Gambar 15. Histogram pengaruh penambahan tepung daun cente terhadap periode perkembangan Sitophilus zeamais Motsch ... 40

Gambar 16. Histogram pengaruh penambahan tepung daun cente terhadap indeks perkembangan Sitophilus zeamais Motsch ... 41

Gambar 17. Histogram pengaruh penambahan tepung daun cente terhadap laju perkembangan intrinsik Sitophilus zeamais Motsch ... 42

(13)

Gambar 18. Histogram pengaruh penambahan tepung daun cente terhadap kapasitas multiplikasi mingguan Sitophilus zeamais Motsch .. 43 Gambar 19. Histogram pengaruh penambahan tepung bahan nabati

terhadap total populasi serangga Sitophilus zeamais Motsch .. 45 Gambar 20. Fluktuasi RH selama masa inkubasi ... 46 Gambar 21. Histogram pengaruh penambahan tepung bahan nabati

terhadap persen biji berlubang ... 48 Gambar 22. Histogram pengaruh penambahan tepung bahan nabati

terhadap persen kehilangan bobot ... 49 Gambar 23. Histogram pengaruh penambahan tepung bahan nabati

terhadap persen frass ... 50

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Jumlah serangga turunan pertama pada media oligidik

dengan penambahan tepung daun pepaya pada penelitian pendahuluan ... 59 Lampiran 2. Jumlah serangga turunan pertama pada media oligidik

dengan penambahan tepung daun belimbing wuluh pada penelitian pendahuluan ... 60 Lampiran 3. Jumlah serangga turunan pertama pada media oligidik

dengan penambahan tepung daun cente pada penelitian pendahuluan ... 61 Lampiran 4. Jumlah serangga turunan pertama pada media oligidik

dengan penambahan tepung daun jeruk purut pada penelitian pendahuluan ... 62 Lampiran 5. Jumlah serangga turunan pertama pada media oligidik

dengan penambahan tepung bunga kecombrang pada penelitian pendahuluan ... 63 Lampiran 6. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun pepaya terhadap jumlah serangga turunan pertama ... 64 Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun belimbing wuluh terhadap jumlah serangga turunan pertama ... 64 Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun cente terhadap jumlah serangga turunan pertama ... 65 Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun jeruk purut terhadap jumlah serangga turunan pertama ... 66 Lampiran 10. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung bunga kecombrang terhadap jumlah serangga turunan pertama ... 66

(15)

Lampiran 11. Jumlah serangga turunan pertama pada media oligidik dengan penambahan tepung daun belimbing wuluh pada penelitian utama ... 68 Lampiran 12. Jumlah serangga turunan pertama pada media oligidik

dengan penambahan tepung daun cente pada penelitian utama ... 69 Lampiran 13. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun belimbing wuluh terhadap jumlah turunan pertama (F1) Sitophilus zeamais ... 70 Lampiran 14. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun cente terhadap jumlah turunan pertama (F1) Sitophilus zeamais ... 70 Lampiran 15. Rekapitulasi Periode Perkembangan (D) Sitophilus zeamais

pada media oligidik dengan penambahan tepung daun belimbing wuluh. ... 71 Lampiran 16. Rekapitulasi Periode Perkembangan (D) Sitophilus zeamais

pada media oligidik dengan penambahan tepung daun cente 71 Lampiran 17. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun belimbing wuluh terhadap Periode Perkembangan (D) Sitophilus zeamais ... 72 Lampiran 18. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun cente terhadap Periode Perkembangan (D) Sitophilus zeamais ... 72 Lampiran 19. Rekapitulasi Indeks Perkembangan (ID) Sitophilus zeamais

pada media oligidik dengan penambahan tepung daun belimbing wuluh ... 73 Lampiran 20. Rekapitulasi Indeks Perkembangan (ID) Sitophilus zeamais

pada media oligidik dengan penambahan tepung daun cente 73 Lampiran 21. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun belimbing wuluh terhadap Indeks Perkembangan (ID) Sitophilus zeamais ... 74

(16)

Lampiran 22. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan tepung daun cente terhadap Indeks Perkembangan (ID) Sitophilus zeamais ... 74 Lampiran 23. Rekapitulasi Laju Perkembangan Intrinsik (Rm) Sitophilus

zeamais pada media oligidik dengan penambahan tepung daun belimbing wuluh ... 75 Lampiran 24. Rekapitulasi Laju Perkembangan Intrinsik (Rm) Sitophilus

zeamais pada media oligidik dengan penambahan tepung daun cente ... 75 Lampiran 25. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun belimbing wuluh terhadap Laju Perkembangan Intrinsik (Rm) Sitophilus zeamais ... 76 Lampiran 26. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun cente terhadap Laju Perkembangan Intrinsik (Rm) Sitophilus zeamais ... 76 Lampiran 27. Rekapitulasi Kapasitas Multiplikasi Mingguan (λ)

Sitophilus zeamais pada media oligidik dengan penambahan tepung daun belimbing wuluh... 77 Lampiran 28. Rekapitulasi Kapasitas Multiplikasi Mingguan (λ)

Sitophilus zeamais pada media oligidik dengan penambahan tepung daun cente... 77 Lampiran 29. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun belimbing wuluh terhadap Kapasitas Multiplikasi Mingguan (λ) Sitophilus zeamais ... 78 Lampiran 30. Hasil analisis sidik ragam ANOVA dengan penambahan

tepung daun cente terhadap Kapasitas Multiplikasi Mingguan (λ) Sitophilus zeamais ... 78 Lampiran 31. Hasil analisis kadar air media oligidik dengan penambahan

tepung daun belimbing wuluh... 79 Lampiran 32. Hasil analisis kadar air media oligidik dengan penambahan

(17)

Lampiran 33. Rekapitulasi total populasi Sitophilus zeamais dan % frass pada beras dengan penambahan tepung bahan nabati ... 80 Lampiran 34. Rekapitulasi persen biji berlubang dan persen kehilangan

bobot pada beras dengan penambahan tepung bahan nabati . 80 Lampiran 35. Hasil pengukuran RH ruang selama masa inkubasi ... 81

(18)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyimpanan bahan pangan merupakan salah satu aspek penting yang masih mengalami kendala dalam teknologi pasca panen. Selama penyimpanan, bahan pangan pokok seperti beras dapat mengalami perubahan atau kerusakan yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas bahan pangan.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) terungkap bahwa stok beras nasional tahun 2005 surplus 16.223 ton. Data BPS semakin menguatkan data Departemen Pertanian (Deptan) mengenai stok beras surplus 2.2 juta ton (Hartono, 2006). Menurut Imdad dan Nawangsih (1995), jika volume bahan yang disimpan sedikit, timbulnya kerusakan tak menjadi masalah. Namun, jika volume bahan yang disimpan banyak maka kerusakan bahan akan membawa kerugian yang besar. Oleh karena itu diperlukan sentuhan agroindustri yang tangguh dalam sistem penyimpanan. Agar kerusakan secara kualitas atau kuantitas dapat ditekan, hasil-hasil pertanian harus disimpan dalam gudang dengan manajemen gudang yang efisien.

Serangga hama gudang merupakan salah satu penyebab kerusakan yang terbesar pada komoditas pangan yang disimpan. Serangga ini hidup dan berkembang biak di dalam gudang penyimpanan baik sebagai hama primer, maupun sebagai hama sekunder pemakan kapang (jamur) pada berbagai komoditas pangan dan bahkan ada yang hidup sebagai predator. Menurut Syarief dan Halid (1993), sistem penyimpanan mempunyai karakteristik yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan serangga hama gudang seperti kondisi fisik yang relatif stabil dan sumber bahan makanan yang melimpah bagi serangga hama gudang.

Di Indonesia, kehilangan hasil akibat serangan hama gudang diperkirakan mencapai 26 – 29 % (Semple, 1985). FAO (1977) melaporkan bahwa kehilangan hasil akibat infestasi hama ini dapat mencapai 9.6-20.2 % pada periode penyimpanan. Menurut Sidik et al. (1985) diacu dalam Saenong dan Hipi (2005), kehilangan hasil secara nasional berkisar antara 0.5 – 2 % dari total produksi tiap

(19)

tahunnya. Kehilangan hasil oleh kumbang bubuk di tempat penyimpanan dapat mencapai 30 % di daerah tropis Meksiko (Bergvinson, 2002).

Serangga tidak hanya memakan bahan makanan yang disimpan, tetapi juga menyebabkan kontaminasi terhadap bahan pangan yang disimpan berupa feses dan webbing. Selain itu serangga mati dapat mencemari bahan pangan yaitu berupa potongan atau sisa-sisa tubuh serangga (Cotton dan Wilbur, 1974).

Pengendalian hama pasca panen yang sering digunakan adalah dengan menggunakan bahan kimia yaitu insektisida termasuk fumigan. Cara ini masih memiliki banyak kekurangan yaitu dapat menimbulkan dampak terhadap keamanan pangan (risiko kesehatan), pencemaran lingkungan, dan timbulnya resistensi hama. Pranata et al. (1983) diacu dalam Marjugi (1996) melaporkan bahwa sebanyak 12 strain dari S. zeamais telah resisten terhadap malathion, dua strain resisten terhadap lindane, empat strain resisten terhadap dichlorvos, dan satu strain resisten terhadap pirimiphos methyl. Oleh karena itu, penggunaan insektisida alami merupakan alternatif yang dapat dipilih untuk mengatasi dampak-dampak tersebut.

Karena Indonesia terdiri dari hutan tropis yang luas, Indonesia mempunyai sangat banyak varietas tanaman yang mengandung produk metabolit sekunder yang merupakan hasil dari interaksi antara tanaman dan tanaman lainnya dan atau serangga melalui proses evolusi. Produk-produk metabolit tersebut dapat digunakan sebagai insektisida alami. Menurut Arnason et al. (1993) diacu dalam Syahputra (2001), famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae, namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai sumber insektisida botani sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup potensial.

(20)

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari daya insektisida dari lima tanaman yaitu daun pepaya, daun belimbing wuluh, daun cente, daun jeruk purut, dan bunga kecombrang terhadap perkembangan serangga hama pasca panen Sitophilus zeamais Motsch.

C. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahan nabati yang berpotensi sebagai insektisida, sehingga dapat membantu para petani dalam mengatasi masalah penyimpanan terutama untuk mengatasi hama gudang Sitophilus zeamais Motsch.

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYIMPANAN BIJI-BIJIAN

Menurut Syarief dan Halid (1993), biji-bijian adalah sekelompok padi-padian atau serealia seperti padi, jagung, gandum, sorgum, dan barley; kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang tanah; dan hasil pertanian lain yang diperdagangkan seperti kopi, lada, biji kapuk, dan biji jarak. Penyimpanan biji-bijian untuk keperluan konsumsi manusia dan hewan ternak bertujuan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan sehingga mutunya masih baik dan prima serta terhindar dari berbagai kerusakan.

Kadar air merupakan parameter terpenting dalam penyimpanan biji-bijian. Kadar air biji-bijian yang aman untuk disimpan umumnya sekitar 13.5 – 14 %, sedangkan kadar air yang aman dari gangguan kerusakan adalah 11 – 12 % (Syarief dan Halid, 1993). Hubungan antara kadar air dengan perubahan biji-bijian selama penyimpanan secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan antara kadar air dengan perubahan bji-bijian selama penyimpanan

Kadar Air Perubahan Biji-bijian

>45 % Terjadi proses perkecambahan biji di tempat penyimpanan. Kondisi ruang yang gelap akan memacu proses perkecambahan.

18 – 20 % Di dalam ruang penyimpanan akan timbul uap. Biji dapat berkecambah, kapang dan bakteri tumbuh subur.

12 – 18 % Mikroba dan serangga akan merusak bebijian selama penyimpanan.

8 – 9 % Kehidupan serangga dan patogen gudang dapat dihambat. 4 – 8 % Keadaan paling aman untuk penyimpanan

Sumber : Neegard (1977) diacu dalam Ekayani (2001)

Penyimpanan biji-bijian secara komersial untuk jangka waktu lama, umumnya menggunakan sistem karung goni dan sistem curah, yang kemudian disimpan di gudang. Penggudangan bertujuan untuk mengurangi kehilangan

(22)

bahan secara kualitas maupun kuantitas. Dalam gudang perlu dilakukan pengontrolan terhadap serangan serangga hama gudang dan tikus. Sistem penyimpanan yang kurang baik dapat menimbulkan kerusakan bahan pangan, baik kerusakan kualitas maupun kuantitas bahan pangan selama penyimpanan (Ekayani, 2001).

B. KERUSAKAN BAHAN PANGAN AKIBAT SERANGAN SERANGGA Serangga adalah penyebab utama kehilangan bahan selama penyimpanan, khususnya di daerah tropis (Barre dan Sammet, 1963). Pernyataan ini diperkuat oleh Christensen dan Kauffmann (1969) yang mengemukakan bahwa dari total angka perkiraan kehilangan biji-bijian di seluruh dunia paling sedikit 50 persen disebabkan oleh serangga.

Bagi serangga, komoditas pangan yang disimpan di gudang merupakan sumber makanan sekaligus habitat untuk berkembang biak dan selanjutnya menghancurkan lingkungan tersebut. Perpindahan komoditi pangan antar gudang penyimpanan dapat menyebabkan hama gudang tersebar dengan cepat (Syarief dan Halid, 1993).

Menurut Halid dan Yudawinata (1983), serangga merupakan hama gudang penyebab kerusakan terbesar. Kerusakan yang terjadi dapat mengakibatkan penurunan kualitas maupun kuantitas dari bahan yang disimpan. Hal ini disebabkan serangga hama gudang mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, mudah menyebar dan dapat mengundang pertumbuhan kapang.

Kegiatan insek memakan bagian dari biji-bijian dapat menyebabkan meningkatnya kandungan air serta suhu secara lokal. Kegiatan bersama serangga dan jamur dapat berakibat penurunan mutu yang disebabkan karena adanya sisa-sisa insek, penimbunan ”uric acid”, dan penyimpangan warna. Bila kerusakan sebutir saja telah dapat nampak oleh mata, paling sedikit lima butir lagi telah mengalami kerusakan bagi setiap butir yang rusak. Butir-butir demikian rendah gizinya serta mempunyai potensi sebagai bahan beracun (Winarno et al., 1981).

Kerusakan oleh serangga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu kerusakan langsung dan kerusakan tidak langsung. Kerusakan langsung terdiri dari konsumsi bahan yang disimpan oleh serangga, kontaminasi oleh serangga dewasa, pupa,

(23)

larva, telur, kulit telur, dan bagian tubuhnya, serta kerusakan wadah bahan yang disimpan. Kerusakan tidak langsung antara lain adalah timbulnya panas akibat metabolisme serta berkembangnya kapang dan mikroba-mikroba lainnya (Cotton dan Wilbur, 1974).

Menurut Grist dan Lever (1969), setiap spesies serangga mempunyai kesukaan terhadap makanan tertentu. Beberapa spesies menyukai embrio, dan yang lain menyukai endosperma. Embrio adalah bagian yang paling kaya akan zat gizi. Komponen lemak, protein, mineral, dan vitamin terkonsentrasi pada bagian tersebut sehingga serangan serangga akan menyebabkan penurunan nilai gizi (Pranata, 1982).

Menurut Pranata (1982), akibat dari serangan hama, maka akan terjadi susut kuantitatif, susut kualitatif dan susut daya tumbuh. Susut kuantitatif adalah turunnya bobot atau volume bahan karena sebagian atau seluruhnya dimakan oleh hama. Susut kualitatif adalah turunnya mutu secara langsung akibat dari adanya serangan hama, misalnya bahan yang tercampur oleh bangkai, kotoran serangga atau bulu tikus dan peningkatan jumlah butir gabah yang rusak. Susut daya tumbuh adalah susut yang terjadi karena bagian lembaga yang sangat kaya nutrisi dimakan oleh hama yang menyebabkan biji tidak mampu berkecambah.

Secara ekonomi, kerugian akibat serangan hama adalah turunnya harga jual komoditas bahan pangan (biji-bijian). Kerugian akibat serangan hama dari segi ekologi atau lingkungan adalah adanya ledakan populasi serangga yang tidak terkontrol (Syarief dan Halid, 1993).

C. PENGENDALIAN HAMA

Menurut Pranata (1979), pengendalian hama adalah konsep pengendalian populasi hama berdasarkan faktor biologi dan ekologi hama dengan memadukan beberapa cara pemberantasan. Dalam pengendalian hama telah terjadi pergeseran falsafah dasar yaitu dari usaha untuk membasmi hama sampai habis menjadi usaha untuk menekan populasi sampai di bawah ambang ekonomi. Suatu tindakan pemberantasan hanya dilakukan jika tingkat kerugian secara potensial jauh lebih besar bila dibandingkan dengan biaya pemberantasan.

(24)

Dalam praktek sehari-hari dikenal dua upaya pengendalian yaitu upaya preventif dan upaya kuratif. Metode preventif (pencegahan) adalah tindakan untuk mencegah datangnya serangan hama pasca panen dengan mengatur lingkungan atau dengan menggunakan cara lain seperti penggunaan bahan kimia yang dapat menangkal terjadinya serangan (repellent). Metode kuratif (pembasmian hama) adalah tindakan yang dilakukan untuk membasmi serangan serangga hama pasca panen. Tindakan kuratif dilakukan jika secara nyata telah terlihat adanya serangan, atau berdasarkan deteksi sudah diketahui adanya serangan, atau ruang kontrol (pada sistem penyimpanan canggih) telah memberikan warning.

Berbagai teknik metode pengendalian dapat diterapkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap sistem penyimpanan. Namun demikian patut diingat bahwa tindakan preventif jauh lebih baik dan lebih murah dibanding tindakan kuratif. Konsep pengendalian serangga hama pasca panen dewasa ini lebih diarahkan pada konsep pengendalian hama secara terpadu (PHT).

Suharno (1987) diacu dalam Ekayani (2001) melaporkan bahwa teknologi penyimpanan yang dikembangkan oleh BULOG dalam rangka penyimpanan beras pecah kulit adalah dengan menggunakan bahan CO2, phostoxin dan silosan.

Bahan tersebut secara teknis dapat digunakan untuk pemberantasan serangga hama, dan dapat dipakai untuk mempertahankan kualitas beras selama kurang lebih satu tahun dalam penyimpanan jangka panjang.

Menurut Rejesus (1986) yang dikutip oleh Kardinan dan Wikardi (1994) sampai saat ini pengendalian masih bertumpu kepada pestisida sintetis. Penggunaan pestisida sintetis, walaupun memberikan hasil yang nyata dan bereaksi relatif cepat, namun dampak negatifnya terhadap manusia dan lingkungan cukup besar, sehingga perlu dicari alternatif lain untuk perlindungan biji, salah satunya dengan penggunaan bahan alami. Salah satu tujuan penggunaan bahan alami adalah meningkatkan kemampuan petani untuk berusaha sendiri dalam mengendalikan hama dengan jalan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitarnya, termasuk limbah pertanian.

Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida yang digunakan secara khusus untuk meminimalkan pertumbuhan serangga. Telah dilakukan

(25)

penelitian-penelitian mengenai insektisida nabati dari beberapa tanaman yang tumbuh di Indonesia. Penelitian ini umumnya dilakukan berdasarkan kandungan komponen aktif yang terdapat pada bahan nabati tersebut. Adapun komponen-komponen tersebut antara lain alkaloid, kumarin, glikosida dan beberapa sterol serta minyak atsiri yang dapat mengeluarkan bau dan aroma khas. Komponen-komponen tersebut dapat mempengaruhi perkembangan serangga (Atmadja, 2003).

D. INSEKTISIDA ALAMI NABATI

Bahan nabati hasil tanaman tropis Indonesia merupakan alternatif yang dapat digunakan sebagai insektisida alami. Menurut Sastroutomo (1992), insektisida alami nabati merupakan senyawa beracun bagi serangga yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan sejarah, bahan-bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sudah digunakan jauh sebelum insektisida golongan lainnya. Beberapa bahan tumbuhan seperti tembakau, piretrum, devis, helebor, kasia, kamfer, dan terpentin sudah sangat lama sekali digunakan sebelum insektisida sintetik ditemukan.

Beberapa bahan insektisida yang digunakan secara umum berasal dari tetumbuhan. Bunga, daun, atau akar dihancurkan dan kemudian langsung digunakan sebagai insektisida atau bahan beracunnya diekstraksi terlebih dahulu kemudian baru digunakan (Sastroutomo, 1992).

Menurut De Luca (1979), ada tiga jenis bahan alami yang dapat digunakan dalam pengendalian hama gudang yaitu bahan mineral, bahan nabati, dan bahan hewani. Bahan nabati merupakan cadangan yang paling besar dan bervariasi.

Menurut Kardinan (2002), tumbuhan penghasil insektisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Sedangkan menurut De Luca (1979), bahan nabati yang mempunyai sifat insektisida pada umumnya disebabkan karena adanya daya tolak (repellent) dan daya antifeedant terhadap serangga.

Suyatma (1994) melaporkan bahan nabati kencur dalam bentuk tepung sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan populasi serangga turunan pertama S. oryzae. Sementara itu Ekayani (2001) melaporkan bahwa penambahan tepung daun jarak, daun babadotan, dan jinten memberikan pengaruh yang nyata

(26)

dalam menghambat populasi F1, memperpanjang periode perkembangan, dan memperkecil nilai indeks perkembangan, laju perkembangan intrinsik, dan kapasitas multiplikasi mingguan.

Menurut Sitepu et al. (1999) diacu di dalam Putri (2004), pada umumnya tumbuh-tumbuhan yang tergolong insektisida nabati yang penting peranannya berdasarkan aktivitasnya terhadap serangan hama sasaran dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) insektisida pembunuh seperti pirethrum (Chrysantemum cinerariaefolium), tuba (Derris elliptica), dan mimba (Azadirachta occidentale); (2) insektisida antifertilitas, seperti gadung (Diuscorea compusitae); dan (3) pemikat/penarik yang bekerja menyerupai sex pheromone seperti malaleuka (Malaleuca bracteata).

E. SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais Motsch 1. Sifat-Sifat Umum dan Klasifikasi

Sitophilus zeamais ditemukan pada tahun 1885 oleh Motschulsky. Sementara itu Grist dan Lever (1969) menyatakan bahwa Sitophilus oryzae pertama kali dikenal pada tahun 1763 di Suriname. Dahulu S. zeamais disebut sebagai S. oryzae karena kemiripan dan hidupnya yang bersama-sama. Secara umum S. oryzae berukuran lebih kecil dibanding S. zeamais. Menurut Kutchel (1961), Sitophilus oryzae dan Sitophilus zeamais merupakan variasi dari spesies yang sama. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi keduanya dilakukan dengan membuka bagian abdomen dan memeriksa alat genetalia serangga jantan di bawah mikroskop. Pada Sitophilus zeamais permukaannya agak bergelombang sedangkan pada Sitophilus oryzae rata dan licin (Syarief dan Halid, 1993).

Serangga Sitophilus zeamais Motsch termasuk ke dalam Ordo Coleoptera, Sub Ordo Polypaga, Kelas Rhyncopphora, Famili Calandrinae, dan Genus Sitophilus (Matheson, 1951). Ciri khasnya adalah bentuk kepala pada ujungnya meruncing dan melengkung agak ke bawah yang disebut rostrum atau snout. Antenanya menyiku (elbowed) dengan bagian ujungnya membesar seperti gada (clubbed) (Grist dan Lever, 1969). Imago panjangnya

(27)

2.5 – 4.5 mm. Ukuran ini tergantung pada jenis makanan dimana mereka berkembang biak.

Menurut Cotton (1963), serangga Sitophilus sp sangat umum terdapat dalam tempat penyimpanan, dapat berkembang biak dengan cepat dan terdapat dalam jumlah yang besar. Pranata (1979) menyatakan bahwa S. oryzae dan S. zeamais sering ditemukan secara bersamaan, tetapi di Indonesia S. zeamais lebih banyak ditemukan. Kedua serangga ini dapat menyerang beras, gabah maupun jagung.

Menurut Dobie et al. (1984) warna tubuh Sitophilus zeamais adalah cokelat merah sampai cokelat gelap. Pada sayap depan (elytra) terdapat empat bintik berwarna kuning kemerah-merahan di dua belahan sayap dan setiap sayap memiliki dua bintik.

Serangga jantan dan serangga betina dapat dibedakan dari bentuk moncongnya (rostrum). Jika dilihat dari permukaan dorsal, rostrum jantan lebih kasar, berbintik-bintik kasar sedangkan betinanya memiliki rostrum mulus, berbintik-bintik melebar dan licin. Jika dilihat dari atas, rostrum jantan lebih pendek dan lebar, sedangkan pada betinanya lebih panjang dan sempit. Dilihat dari samping, rostrum jantan lebih pendek, tebal dan agak lurus, sedangkan rostrum betina lebih panjang, kecil dan agak melengkung ke bawah (Haines, 1980 diacu dalam Asriyanti, 2002).

Sitophilus zeamais merupakan serangga yang sangat berbahaya, karena luasnya serangan (kosmopolitan) dan banyaknya produk pertanian yang diserang. Serangga ini dapat berkembang biak pada biji-bijian seperti jagung, sorgum, beras, gandum, dan produk serealia seperti makaroni. Serangga ini hanya dapat berkembang biak pada bahan makanan yang tidak dimasak, tetapi tidak dapat tumbuh pada tepung yang kering (Winarno dan Jenie, 1983).

2. Biologi Sitophilus zeamais Motsch.

Serangga S. zeamais mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu mulai telur, larva, pupa, imago (serangga dewasa). Telurnya berbentuk lonjong dengan satu kutub yang lebih sempit. Telur berwarna bening, agak mengkilap, lunak, dan panjangnya 0.7 mm dengan

(28)

lebar 0.3 mm (Grist dan Lever, 1969). Telur diletakkan satu persatu dengan masa peneluran kurang lebih tiga minggu. Telur dapat diletakkan di semua bagian biji tetapi umumnya diletakkan di dekat lembaga. Setelah kira-kira 5 sampai 7 hari telur menetas menjadi larva (Pranata, 1979).

Menurut Sukoco (1998), larva berkembang dengan memakan bagian dalam biji. Stadium larva merupakan stadium yang merusak. Larva dewasa berbentuk gemuk dan padat, tidak berkaki, berwarna putih, dan panjangnya sekitar 4 mm. Lama stadium larva adalah sekitar 18 hari. Larva kemudian berubah menjadi pupa. Pupa berkembang di dalam biji, di tempat kosong bekas dimakan larva. Pupa berwarna putih dan panjangnya 3 sampai 4 mm. Lama stadium pupa adalah 3 sampai 9 hari dengan rata-rata 6 hari. Siklus hidup serangga ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus hidup Sitophilus sp. (Fleurat-Lessard, 1982) Menurut Hill (1987), serangga betina selama hidupnya mampu menghasilkan 300 – 400 butir telur dengan masa peneluran kurang lebih 3 minggu. Serangga dewasa keluar dari biji dengan membuat lubang pada lapisan luar biji. Lubang keluarnya membulat tetapi tepinya tidak merata. Serangga dewasa mampu hidup sampai dengan 5 bulan dan memiliki

(29)

kemampuan untuk terbang. Menurut Pranata (1985), serangga ini hidup pada suhu 17 – 34oC dengan suhu optimum 28oC, sedangkan syarat kelembaban relatif adalah 45 – 100 %, dengan kelembaban relatif optimal 70 %. Dengan demikian serangga ini dapat hidup di seluruh tempat di Indonesia. Gambar serangga dewasa S. zeamais dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sitophilus zeamais Motsch

Serangga Sitophilus zeamais kurang tertarik pada cahaya tetapi menyukai tempat gelap dan dapat masuk ke dalam biji. Serangga betina membuat lubang untuk meletakkan telur dengan menggunakan moncongnya (Grist dan Lever, 1969). Sayap S. zeamais tidak selalu digunakan, tetapi dapat terbang dengan baik. Pada permukaan licin pun serangga ini dapat berjalan, jika disentuh serangga ini akan melipat kakinya seolah-olah mati (Soekarna, 1977).

Pranata (1979) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serangga atas tiga bagian yakni : 1) Faktor umum yang terdiri dari sanitasi gudang, struktur gudang serta ‘stock management’ atau pengaturan pemasukan dan pengeluaran bahan dari dalam gudang ; 2) Faktor lingkungan (fisik) terdiri dari kadar air bahan, suhu, kelembaban, aerasi dan cahaya dalam gudang dan 3) Faktor biotik seperti nilai gizi makanan, adanya parasit, predator, patogen, kompetitor, mikroorganisme dan sebagainya.

F. MEDIA OLIGIDIK

Pembiakan serangga di laboratorium adalah salah satu cara yang cepat dan terkendali untuk memperoleh serangga dengan stadia yang diinginkan. Kultur serangga di laboratorium diharapkan dapat membantu melengkapi atau

(30)

mengadakan bahan yang akan digunakan untuk penelitian di berbagai bidang khususnya dalam penyimpanan bahan pangan (Syarief dan Halid, 1993).

Untuk kebutuhan perkembangannya serangga memerlukan banyak nutrisi. Serangga hama pasca panen membutuhkan asam amino esensial untuk perkembangannya seperti arginin, leusin, isoleusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triftofan, dan valin. Selain asam amino, serangga hama pasca panen juga membutuhkan banyak vitamin B seperti thiamin, riboflavin, piridoksin, asam nikotinat, asam pantotenat, biotin, asam folat, dan kolin. Pembiakan kultur serangga di laboratorium umumnya menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan serangga yang dibiakkan.

Menurut Cohen (2000), istilah diet dan medium membutuhkan penjelasan khusus. Diet adalah istilah yang umum digunakan untuk menunjukkan segala sesuatu yang dimakan oleh serangga, dan medium (jamak : media) umumnya menunjukkan diet yang dibuat secara sintetik.

Oligidik adalah media yang di dalamnya terkandung bahan-bahan mentah organik yang dapat memenuhi kebutuhan makan serangga (Bellows dan Fisher, 1999). Sementara itu menurut Cohen (2000), diet oligidik mengandung komponen-komponen yang tidak lengkap atau memiliki karakteristik yang tidak cukup baik.

Media oligidik adalah media yang terbuat dari bahan yang secara struktur kimia tidak mengalami perubahan tetapi struktur fisik berubah. Menurut Haryadi dan Suyatma (1993), penggunaan media oligidik sangat cocok untuk menguji daya insektisida bahan nabati terhadap perkembangan serangga yang berkembang di dalam biji, yaitu serangga yang mempunyai stadia tersembunyi (hidden stages) seperti Sitophilus zeamais. Dalam pengujian daya insektisida, penggunaan media oligidik dapat mengintegrasikan suatu bahan yang mempunyai daya insektisida sehingga diperoleh media dengan konsentrasi tertentu.

(31)

G. BIOLOGI TANAMAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN 1. Daun Pepaya Muda

Pepaya termasuk famili Caricaceae spesies Carica papaya. Tanaman ini dibudidayakan terutama untuk diambil buahnya, sedangkan daunnya merupakan hasil samping yang dapat dimanfaatkan pula.

Daun pepaya berbelah agak dalam seperti jari tangan. Jumlah belahan helai daun pada satu tangkai antara 3-5 buah. Daun pepaya berukuran lebar serta mempunyai tangkai daun seperti pipa dan panjang. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua dan bagian bawahnya berwarna hijau muda (Anonim, 1980). Gambar daun pepaya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Daun pepaya muda

Menurut Tjitrosoepomo (1994), getah buah pepaya yang dikeringkan dan dimurnikan merupakan suatu bahan enzim preparat. Bahan tersebut mengandung enzim proteolitik yaitu papainase atau papain, lipase, pektose, amilase, dan enzim yang menyerupai renin, kyanopapain dan sedikit alkaloid, karpaid. Bahan tersebut digunakan untuk membantu memudahkan pencernaan makanan, dan untuk melunakkan daging.

Rasa pahit daun pepaya disebabkan karena alkaloid carpain (C14H25NO2). Kandungan yang terdapat dalam 100 g daun pepaya diantaranya

yaitu energi = 79 kalori, air = 75.4 g, protein = 8 g, lemak = 2 g, karbohidrat = 11.9 g, vitamin A = 18.250 Iu, vitamin B = 0.15 mg, vitamin C = 140 mg, kalsium = 353 mg, besi = 0.8 mg, dan fosfor = 63 mg. Selain itu, daun pepaya juga mengandung pseudo karpaina, glukosid, karposid, saponin, sakarosa, dekstrosa dan levulosa (Kalie, 2000).

(32)

2. Daun Belimbing Wuluh

Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) tumbuh baik di daerah tropis. Tumbuhan ini termasuk famili Oxalidaceae. Belimbing wuluh mempunyai batang kasar berbenjol-benjol, percabangan sedikit, arahnya condong ke atas. Cabang muda berambut halus seperti beludru, warnanya coklat muda. Daun berupa daun majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Anak daun bertangkai pendek, bentuknya bulat telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal membundar, tepi rata, panjang 2-10 cm, lebar 1-3 cm, warnanya hijau, permukaan bawah hijau muda (Arland, 2006). Gambar daun belimbing wuluh dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Daun belimbing wuluh

Perbungaan berupa malai, berkelompok, keluar dari batang atau percabangan yang besar, bunga kecil-kecil berbentuk bintang warnanya ungu kemerahan. Buahnya buah buni, bentuknya bulat lonjong bersegi, panjang 4-6.5 cm, warnanya hijau kekuningan, bila masak berair banyak, rasanya asam. Biji bentuknya bulat telur, gepeng. Rasa buahnya asam, digunakan sebagai sirop penyegar, bahan penyedap masakan, membersihkan noda pada kain, mengkilapkan barang-barang yang terbuat dari kuningan, membersihkan tangan yang kotor atau sebagai bahan obat tradisional. Perbanyakan dengan biji dan cangkok.

Belimbing wuluh memiliki sifat kimiawi dan efek farmakologis, yaitu rasa asam, sejuk, menghilangkan sakit (analgetik), memperbanyak pengeluaran empedu, anti radang, peluruh kencing, dan astringent. Kandungan kimia dari batang belimbing wuluh yaitu saponin, tanin, glukosida, kalsium oksalat, sulfur, asam format, dan peroksidase. Sedangkan daunnya

(33)

mengandung tanin, sulfur, asam format, peroksidase, kalsium oksalat, dan kalium sitrat (Arland, 2006).

3.Daun Cente

Nama lain tumbuhan ini yaitu tahi ayam, dan nama daerah misalnya cente (Sunda), tembelek ayam (Jawa), dan krasi, lempuyak (Bali). Menurut Bulan et al. (2003), tembelekan (Lantana camara L.) adalah tumbuhan perdu dari suku Verbenaceae yang berasal dari Amerika dan terdapat di Indonesia. Tumbuhan tersebut telah lama digunakan sebagai salah satu bahan ramuan obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit antara lain untuk pengobatan penyakit kulit, batuk, keracunan dan reumatik. Daun L. camara L. mengandung senyawa lantaden, yaitu lantaden A, lantaden B, lantaden C, lantaden D, lantaden A yang tereduksi dan lantaden B yang tereduksi. Sedangkan menurut Djauhariya dan Hernani (2004), pada daun terdapat minyak atsiri, lantaden A, lantaden B, asam lantanolat, dan asam lantat. Pada akar dan kulit terdapat lantanin. Gambar tumbuhan ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lantana camara L

Menurut Djauhariya dan Hernani (2004), tumbuhan ini merupakan herba menahun, batang semak, berkayu, tegak, bercabang, batang berduri. Tinggi batang mencapai 4 m. Daun berhadapan, warna hijau, bundar telur, permukaan atas daun berambut banyak dan permukaan bawah berambut jarang. Pinggir daun bergerigi dan berbulu kasar dengan panjang 5 – 8 cm dan lebar 3 – 5 cm. Perbungaan mengelompok, tersusun dalam bulir yang padat pada ketiak daun. Warna bunga beragam seperti putih, kuning, merah, merah muda, dan jingga. Buah bergerombol di ujung tangkai, kecil, bulat, warna

(34)

hijau ketika mentah, hitam kebiruan dan mengkilap ketika matang. Di dalam satu buah terdapat satu biji. Tumbuhan ini berkembang biak dengan biji.

Tumbuhan ini ditemukan di daerah tropis pada lahan terbuka sebagai tanaman liar atau tanaman untuk pagar. Tumbuh dari dataran rendah sampai ketinggian 1.700 m dpl.

4. Daun Jeruk Purut

Jeruk purut merupakan tanaman yang termasuk dalam salah satu anggota suku jeruk-jerukan (Rutaceae), sub famili Aurantioidae, genus Citrus, sub genus Papeda, dan spesies Citrus hystrix (Sarwono, 1986). Jenis tanaman jeruk anggota Papeda, buahnya tak enak dimakan langsung karena daging buahnya terlalu banyak mengandung asam dan berbau wangi agak keras.

Tanaman jeruk purut berpohon rendah, tingginya antara 2-12 meter. Batangnya bengkok atau bersudut, agak kecil, dan bercabang rendah. Tajuknya tidak beraturan. Cabang-cabangnya rapat, ranting-rantingnya kecil dan bersudut tajam. Batang yang telah tua bentuknya bulat, warnanya hijau tua polos atau berbintik-bintik.

Ketiak daun berduri, durinya pendek halus, warnanya hitam dengan ujung kecoklatan. Panjang duri antara 0.2 – 1 cm. Letak daun berpencaran dan silih berganti. Daun berbentuk bulat telur, ujungnya tumpul, dan bertangkai satu. Warna daun hijau kuning, baunya beraroma sedap. Daun tanaman jeruk ini banyak dipakai untuk bumbu macam-macam masakan. Gambar daun jeruk purut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Daun jeruk purut

Tanaman jeruk purut berbunga majemuk. Bunga keluar pada ketiak daun. Ada juga yang keluar pada ujung tangkai. Warna bunga putih

(35)

kekuning-kuningan, baunya sedap. Tajuk bunga ada 4-5 lembar, bentuknya bulat panjang dengan benagsari antara 24-30. Kaki benangsari bentuknya membesar, tapi ujungnya runcing (Sarwono, 1986).

Buahnya lebih kecil dari kepalan tangan, berbentuk buah pir, banyak tonjolan dan bintil-bintil, sehingga bentuknya susah dipertahankan. Kulit buahnya tebal dan berwarna hijau, hanya buah yang masak benar menjadi kuning sedikit. Daging buah warnanya hijau kekuning-kuningan, rasanya sangat masam dan kadang-kadang agak pahit. Kulit buah yang diparut dan dicampurkan sedikit air dipakai untuk bahan pencuci rambut. Juga digunakan dalam masakan dan pembuatan kue, dapat juga dibuat manisan (Heyne, 1987). Daun jeruk purut berkhasiat stimulan dan penyegar. Kulit buah berkhasiat stimultan, berbau khas aromatik, rasanya agak asin, kesat, dan lama-kelamaan agak pahit. Daun mengandung tanin 1.8%, steroid triterpenoid, dan minyak asiri 1 – 1.5% v/b. Sedangkan kulit buah mengandung saponin, tanin I%, steroid triterpenoid, dan minyak asiri yang mengandung sitrat 2 – 2.5% v/b.

5. Bunga Kecombrang

Kecombrang termasuk dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledone, bangsa Zingiberales, suku Zingiberaceae, marga Nicolaia, dan jenis Nicolaia speciosa Horan. Setiap daerah mempunyai nama khusus untuk kecombrang, misalnya Kala (Gayo), Puwar Kijung (Minangkabau), Kecombrang (Jawa Tengah), Honje (Sunda), Katimbang (Makasar), Salahawa (Seram), Petikala (Ternate dan Tidore). Menurut Sudarsono (1994), kecombrang secara umum juga disebut sebagai Kantan di wilayah Malaya. Gambar bunga kecombrang dapat dilihat pada Gambar 7.

(36)

Gambar 7. Bunga kecombrang

Tanaman kecombrang merupakan tanaman tahunan yang berbentuk semak dengan tinggi 1-3 m. Tanaman ini mempunyai batang semu, tegak, berpelepah, membentuk rimpang, dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing tetapi rata, panjang daun sekitar 20-30 cm dan lebar 5-15 cm,pertulangan daun menyirip, dan berwarna hijau. Bunga kecombrang merupakan bunga majemuk yang berbentuk bongkol dengan panjang tangkai 40-80 cm. Panjang benang sari ± 7.5 cm dan berwarna kuning. Putiknya kecil dan putih. Mahkota bunganya bertaju, berbulu jarang dan warnanya merah jambu. Biji kecombrang berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna putih atau merah jambu. Buahnya kecil dan berwarna coklat. Akarnya berbentuk serabut dan berwarna kuning gelap (Syamsuhidayat, 1991).

Pada dasarnya yang disebut bunga kecombrang adalah suatu karangan bunga yang terdiri atas bagian bunga, daun pelindung, daun gagang, daun gantilan, kelopak, mahkota, putik, dan buah (Sudarsono, 1994). Bunga kecombrang adalah bunga majemuk yang terdiri atas bunga-bunga kecil di dalam karangan bunga dan muncul pada saat bunga sudah tua. Zat aktif yang terkandung didalamnya adalah saponin, flavonoida dan polifenol. Menurut Tampubolon et al. (1983), komponen bunga kecombrang telah diketahui terdiri atas alkaloid, flavonoid, polifenol, steroid, saponin, dan minyak atsiri.

(37)

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras pecah kulit varietas Way Apoburu dan varietas Ciherang, daun pepaya, daun belimbing wuluh, daun cente, daun jeruk purut, dan bunga kecombrang. Bahan kimia yang digunakan adalah gliserol 100%, gluten, dan aquades. Daun pepaya, daun jeruk purut, dan bunga kecombrang diperoleh dari pasar Bogor. Daun cente dan daun belimbing wuluh diperoleh dari salah satu lahan terbuka di daerah Bogor. Serangga uji yang digunakan adalah Sitophilus zeamais Motsch yang diperoleh dari BIOTROP Bogor.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah neraca, oven, ayakan, tampah, gunting, gelas plastik, kain kassa, karet gelang, mesin penepung Disc Mill, blender kering, slitter, pinset serangga, dan peralatan lainnya.

B. METODE PENELITIAN

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tahap persiapan dan tahap uji coba daya insektisida. Tahap persiapan meliputi pembiakan serangga S. zeamais Motsch, pembuatan tepung nabati, dan pembuatan media oligidik. Tahap uji coba daya insektisida meliputi penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan aplikasi pada beras.

1. Tahap Persiapan

a. Pembiakan serangga Sitophilus zeamais Motsch

Pembiakan serangga Sitophilus zeamais Motsch bertujuan untuk memperoleh serangga uji yang berumur 7-15 hari. Tahap pembiakan serangga adalah sebagai berikut : serangga uji yang diperoleh dari BIOTROP diinfestasikan pada media beras dalam botol plastik. Empat minggu kemudian dilakukan pengayakan untuk memisahkan serangga dewasa yang ada. Media kemudian diinkubasi lagi. Keesokan harinya, serangga yang muncul dikeluarkan dan ditempatkan pada media beras sampai pada waktu yang diperlukan. Serangga yang keluar keesokan harinya setalah pengayakan dihitung mempunyai umur satu hari.

(38)

b. Pembuatan tepung beras dan tepung nabati

Beras pecah kulit ditepungkan dengan menggunakan mesin penepung Disc Mill. Tepung yang diperoleh kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh.

Tepung nabati diperoleh dengan cara sebagai berikut. Daun pepaya, daun belimbing wuluh, daun cente, daun jeruk purut, dan bunga kecombrang dikeringkan dengan oven suhu 500C selama ±2 jam, kemudian dihaluskan dengan blender kering dan diayak dengan ayakan 100 mesh.

c. Pembuatan media oligidik

Pembuatan media oligidik dilakukan dengan mengadopsi metode yang dikembangkan Haryadi (1991). Media oligidik dibuat dengan mencampurkan tepung beras, tepung bahan nabati, gliserol, gluten, dan air suling sehingga membentuk adonan. Adonan kemudian dibuat biji tiruan dengan alat menggunakan slitter kemudian dikeringkan dalam oven 500C selama 1 jam atau sampai mencapai kadar air 12 – 14 %. Bentuk media oligidik dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Media oligidik.

Tabel 2. Komposisi media oligidik dengan bahan aktif tepung Konsentrasi (%) Tepung nabati (g) Tepung beras (g) Gliserol (ml) Air suling (ml) Gluten (g) 0 0.0 10 1 5 1 2 0.2 9.8 1 5 1 4 0.4 9.6 1 5 1 6 0.6 9.4 1 5 1 8 0.8 9.2 1 5 1 10 1.0 9.0 1 5 1

(39)

2. Tahap Uji Coba Daya Insektisida a. Penelitian pendahuluan

Setelah pembuatan media oligidik, tahap berikutnya adalah infestasi serangga Sitophilus zeamais Motsch . Sebanyak 10 ekor serangga uji yang berumur 7 - 15 hari diinfestasikan pada media oligidik yang telah disiapkan sebelumnya. Diasumsikan terdapat keseimbangan antara jumlah serangga jantan dan betina. Setelah 7 hari masa infestasi serangga induk dikeluarkan dan dibuang.

Media tiruan yang diasumsikan telah mengandung telur serangga, kemudian diinkubasikan pada suhu dan kelembaban ruang. Setelah kurang lebih 21 hari masa inkubasi, dilakukan pengamatan keluarnya serangga turunan pertama (F1). Serangga yang keluar dihitung dan dibuang. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai tidak ada lagi Sitophilus zeamais Motsch turunan pertama yang keluar selama 5 hari berturut-turut.

b. Penelitian utama

Penelitian utama dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan yaitu dengan melakukan percobaan yang sama dengan memilih 1-2 kombinasi perlakuan yang terbaik dan konsentrasi dengan rentang yang lebih sempit.

c. Aplikasi pada beras

Beras sebanyak 50 g dicampurkan dengan tepung bahan nabati yang paling efektif dengan konsentrasi yang diperoleh sesuai hasil penelitian utama. Kemudian diinfestasi dengan 10 ekor serangga S. zeamais yang berumur 7 – 15 hari. Selanjutnya diinkubasi pada suhu dan kelembaban ruang selama 5 minggu. Setelah itu dilakukan pengayakan untuk menghitung populasi S. zeamais Motsch. Pengujian untuk setiap konsentrasi dilakukan sebanyak lima ulangan. Selanjutnya diamati persen biji berlubang, persen kehilangan bobot, dan persen bubuk yang timbul (% frass).

(40)

3. Metode Pengamatan Aplikasi Penyimpanan Beras

Setelah masa inkubasi selama 5 minggu dilakukan pengamatan terhadap parameter-parameter kerusakan beras. Serangga yang keluar dihitung sebagai jumlah total populasi serangga (Nt). Beras kemudian diayak, bubuk yang terpisah ditimbang dengan neraca dan dihitung sebagai persen frass (% frass).

Untuk menentukan persen biji berlubang dan persen kehilangan bobot dilakukan pengambilan sampel sebanyak tiga ulangan. Beras diambil sekitar 2 g untuk setiap ulangan, kemudian dihitung banyaknya biji berlubang dan banyaknya biji yang masih utuh dan masing-masing ditimbang bobotnya.

C. PERHITUNGAN HASIL PENGAMATAN

Dari hasil pengamatan dilakukan perhitungan-perhitungan sebagai berikut :

1. Jumlah total populasi (Nt) serangga selama penyimpanan dengan menghitung semua serangga muda (turunan F1) ditambah populasi awal (No).

2. Periode perkembangan (D) yakni lama waktu dari tengah-tengah waktu infestasi sampai 50 % tercapai total populasi turunan (F1) dari S. zeamais. 3. Indeks perkembangan (ID), didapat dari nilai Nt dan nilai D yaitu :

ID = (Log e(Nt)/D) x 100

4. Laju perkembangan intrinsik (Rm) R = Nt/No

Dm = D/7 ; Dm = Periode perkembangan dalam satuan minggu Rm = Log eR/Dm

5. Kapasitas Multiplikasi Mingguan ( λ ) λ = eRm

Perhitungan setelah dilakukan aplikasi bahan nabati pada penyimpanan beras sebagai berikut :

1. Jumlah total populasi serangga (Nt) 2. Persen biji berlubang (% BB)

(41)

(% BB) = Nd/N x 100

3. Persen kehilangan bobot (% KB)

U = bobot fraksi biji utuh D = bobot fraksi biji berlubang Nu = jumlah fraksi biji utuh Nd = jumlah fraksi biji berlubang

N = jumlah biji dalam sampel (Nu + Nd) 4. Persen fraksi bubuk yang timbul (%frass)

% frass = (berat fraksi bubuk)/(berat beras awal) x 100

D. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan lima ulangan untuk tiap-tiap perlakuan. Model matematikanya adalah sebagai berikut :

Yij = µ + A + εij

Dimana :

Yij = nilai pengamatan

µ = rata-rata umum (berharga konstan)

A = pengaruh perlakuan konsentrasi tepung bahan nabati pada taraf ke-i εij = galat percobaan

Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan software SPSS. Setelah uji keragaman (ANOVA) dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan.

(42)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN

Pengkajian daya insektisida nabati dilakukan untuk menyeleksi bahan nabati yang memiliki potensi insektisida terhadap serangga hama gudang Sitophilus zeamais Motsch. Bahan nabati yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pepaya (Carica papaya), daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), daun cente (Lantana camara L.), daun jeruk purut (Citrus hystrix), dan bunga kecombrang (Nicolaia speciosa Horan).

Alasan pemilihan bahan nabati tersebut, antara lain karena adanya komponen aktif yang terkandung dalam bahan tersebut yang berpotensi sebagai insektisida seperti senyawa lantaden yang terdapat dalam daun cente. Saponin dan alkaloid yang terdapat dalam daun pepaya dapat menghambat perkembangan Sitophilus zeamais. Selain itu glikosida yang terdapat dalam semua bahan nabati yang diuji serta minyak atsiri yang mengeluarkan bau dan aroma yang khas dapat mempengaruhi perkembangan serangga. Hal ini didukung oleh pernyataan Atmadja (2003) bahwa komponen-komponen seperti alkaloid, kumarin, glikosida dan beberapa sterol serta minyak atsiri yang dapat mengeluarkan bau dan aroma khas dapat mempengaruhi perkembangan serangga.

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk memperoleh bahan nabati yang paling efektif dalam menurunkan populasi serangga turunan pertama, dan kemudian dapat ditentukan rentang konsentrasi bahan nabati yang lebih kecil yang akan diuji pada penelitian utama. Dalam penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap adanya dugaan bahwa bahan nabati yang dujikan mempunyai sifat daya tolak (repellent) dan daya mengurangi makan (antifeedant). Hal ini didukung oleh pernyataan De Luca (1979) bahwa dalam bahan nabati yang memiliki sifat insektisida umumnya disebabkan oleh adanya daya repellent dan antifeedant.

Pengaruh daya insektisida nabati terhadap perkembangan serangga Sitophilus zeamais diamati dengan menggunakan media oligidik. Penggunaan media oligidik ini merupakan salah satu metode dalam melakukan screening bahan nabati yang berpotensi sebagai insektisida.

Menurut Haryadi dan Suyatma (1993), penggunaan media oligidik sangat cocok untuk menguji daya insektisida bahan nabati terhadap perkembangan

(43)

serangga yang berkembang di dalam biji, yaitu serangga yang mempunyai stadia tersembunyi (hidden stages) seperti Sitophilus zeamais. Dengan demikian dapat diketahui daya repellent dan daya antifeedant atau daya bunuh dari bahan nabati yang diuji. Menurut Haryadi (1991) diacu di dalam Asriyanti (2002), tahap-tahap perkembangan serangga dalam biji dapat diketahui dengan metode radiografi. Dengan metode radiografi keberadaan hidden stages di dalam biji dapat diketahui sehingga dapat lebih menjelaskan penyebab menurunnya populasi turunan pertama S.zeamais akibat perbedaan perlakuan konsentrasi yang diberikan. Selain metode radiografi, ada pula metode lain yang digunakan untuk mendeteksi hidden infestation, diantaranya adalah metode translusensi biji, metode pewarnaan ninhidrin, metode pengambangan, pewarnaan penutup lubang telur, metode akustik, pengukuran CO2 dan uji standar.

Pada penelitian ini media oligidik ditambah dengan gliserol dan gluten. Menurut Suyatma (1994), penambahan gliserol bertujuan untuk mempertahankan kelembaban media oligidik dan sebagai sumber energi tambahan bagi serangga Sitophilus zeamais Motsch. Penambahan gluten bertujuan untuk mempermudah dalam pembentukan adonan dan agar media yang dihasilkan lebih solid. Media oligidik dibuat berbentuk balok dengan ketebalan sekitar 2 mm dan panjang 5 mm.

Tingkat konsentrasi bahan nabati yang ditambahkan ke dalam media oligidik pada penelitian pendahuluan masing-masing adalah 0 % ; 2 % ; 4 % ; 6 % ; 8 % ; dan 10 %. Pemilihan rentang konsentrasi ini didasarkan pada penelitian terdahulu mengenai screening bahan nabati yang berpotensi sebagai insektisida. Dengan rentang konsentrasi tersebut diharapkan tidak mempengaruhi penampakan dan bau ketika diaplikasikan pada beras.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa penambahan tepung daun cente pada konsentrasi 2 % telah menyebabkan kematian terhadap Sitophilus zeamais selama masa infestasi pada media oligidik selama satu minggu. Jumlah serangga yang mati pada media oligidik dapat dilihat pada Tabel 3.

(44)

Tabel 3. Jumlah Sitophilus zeamais yang mati selama masa infestasi pada media oligidik.

Konsentrasi (%)

Jumlah serangga mati (ekor) Pepaya Belimbing

wuluh Cente Jeruk purut

Bunga kecombrang 0 0 0 0 0 0 2 0 0 1 0 0 4 0 0 3 0 0 6 0 0 7 0 0 8 0 0 12 0 0 10 0 0 12 0 0

Kematian Sitophilus zeamais Motsch dalam media oligidik diduga disebabkan oleh adanya senyawa yang bersifat racun yang terkandung di dalam daun cente (Lantana camara). Menurut Djauhariya dan Hernani (2004), pada daun cente terdapat minyak atsiri, lantaden A, lantaden B, asam lantanolat, dan asam lantat. Berdasarkan data yang diperoleh, semakin tinggi konsentrasi daun cente yang ditambahkan, jumlah serangga yang mati semakin banyak.

Berdasarkan penelitian pendahuluan diperoleh hasil bahwa penambahan tepung daun cente dan tepung daun belimbing wuluh dapat memberikan pengaruh yang nyata dalam menghambat pertumbuhan serangga hama gudang Sitophilus zeamais. Pada penambahan tepung daun cente sebanyak 4 % jumlah serangga turunan pertama yang muncul adalah 0. Hal ini membuktikan bahwa pada konsentrasi 4 % tepung daun cente sudah mampu menghambat pertumbuhan Sitophilus zeamais secara total. Hasil pengamatan populasi kumulatif akibat penambahan tepung bahan nabati yang diujikan dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3, Lampiran 4, dan Lampiran 5. Pengaruh penambahan tepung bahan nabati terhadap jumlah turunan pertama serangga Sitophilus zeamais dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar

Tabel  1.  Hubungan  antara  kadar  air  dengan  perubahan  bji-bijian  selama  penyimpanan
Gambar 7. Bunga kecombrang
Tabel 3. Jumlah Sitophilus zeamais yang mati selama masa infestasi pada media  oligidik
Tabel 4. Pengaruh beberapa jenis bahan nabati terhadap jumlah turunan pertama  Sitophilus zeamais pada penelitian pendahuluan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi penulis di lapangan terkait korban pornografi dan situasi darurat dalam perlindungan khusus sudah sepenuhnya ditindaki oleh badan pemberdayaan

Value Chain merupakan rantai nilai yang dapat mengetahui kekuatan perusahaan, keuntungan dan kesuksesan dari rantai aktivitas dalam perusahaan atau industri

Lucia Tri Suwanti, drh., MP., dari seksi lomba IRIE 2016, dalam ASPC 2016 ini berhasil menjadi juara I adalah tim mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) dengan paper

tumbuh kembang anak dapat terbentuk dengan cepat. Siswa yang tidak memiliki kekuatan yang memadai cenderung akan mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan terlebih pada

Relasi ini digunakan apabila terdapat dua atau lebih aktor melakukan hal yang sama (use case yang sama). Use case tersebut kemudian dipisahkan dan dihubungkan dengan

P SURABAYA 03-05-1977 III/b DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH RSUD Dr.. DEDI SUSILA, Sp.An.KMN L SURABAYA 20-03-1977 III/b ANESTESIOLOGI DAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah volume molal parsial berbanding terbalik dengan konsentrasi, berat jenis larutan dan molalitasnya, semakin besar

Navedli so razloge, zakaj je po njihovem mnenju mediacija učinkovita metoda: ker naj bi bil mediator nepristranski; ker stranki z medsebojnim popuščanjem najdeta rešitev, ki