• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Ada banyak anggapan mengenai komik, sebagai racun masyarakat, pahlawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Ada banyak anggapan mengenai komik, sebagai racun masyarakat, pahlawan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

“Komik memang dimana saja, kapan saja, bisa dinikmati lebih dari pencipta slogan itu sendiri, karena komik bisa dinikmati di kasus, Cola tak bisa.” –Arswendo

Atmowiloto-1

A. Latar Belakang

Ada banyak anggapan mengenai komik, sebagai racun masyarakat, pahlawan kebudayaan, ataupun sumber inspirasi dan pengetahuan. Kontradiksi ini menjadikan komik mempunyai fungsi ganda sebagai barang yang dinista dan dijunjung tinggi di saat yang bersamaan.

Komik adalah susunan gambar-gambar berkelanjutan yang dirangkai untuk membentuk suatu jalinan cerita dan biasanya dilengkapi dengan teks. Komik biasanya dicetak dan dapat diterbitkan dalam berbagai macam bentuk, mulai dari strip dalam koran, dimuat dalam majalah, atau dibuat buku tersendiri.

Sejarah komik modern di Indonesia berangkat dari Harian Sin Po, sebuah media komunikasi Tionghoa di Jakarta. Pada tahun 1930 Kho Wan Gie mengisi surat kabar berbahasa Melayu ini dengan komik setiap minggunya. Setahun kemudian tokoh komik strip miliknya yang sudah akrab dengan para pembacanya ini baru diberi nama Put On. Kepopuleran karakter ini segera menginspirasi kemunculan tokoh-tokoh serupa seperti Si Tolol dalam Star Magazine dan juga Oh Koen dalam

Star Weekly. 2

1 Arswendo Atmowiloto, “Komik Itu Baik”, Kompas 1998

2 Marcel Bonneff, Komik Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1998), hlm. 19.

(2)

Komik-komik asing juga mulai masuk dan dikenal di Indonesia pada masa Kolonial Belanda. Harian Belanda De Java Bode memuat Flippie Flink dalam rubrik anak-anak. Diikuti mingguan De Orient memuat pertuangan Flash Gordon.

Pada awal Perang Dunia II sebelum Jepang menduduki Indonesia, Nasrun A.S. membuat Legenda Mentjari Puteri Hidjau yang dimuat pada harian Ratoe Timoer yang terbit di Solo. Nasrun A.S adalah penduduk pribumi pertama yang membuat komik Indonesia. Legenda Mentjari Puteri Hidjau juga merupakan komik Indonesia pertama yang lepas dari gaya gambar kartun3 dan bukan merupakan komik humor.

Pada masa pendudukan Jepang, media masa diberangus dan dikontrol ketat oleh Jepang. Hal tersebut praktis menghentikan peredaran komik-komik strip yang sudah mengisi surat kabar tempat mereka bernaung selama ini secara teratur. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, aktivitas media massa mengalami kesulitan karena sulitnya mendapatkan kertas akibat pertempuran sengit yang terjadi di berbagai daerah (Perang Revolusi Kemerdekaan). Kondisi ini tidak menguntungkan bagi perkembangan komik di dalam negeri. Selain itu terjadi penetrasi yang deras dari komik luar negeri. Komik-komik seperti Tarzan, Rip Kirby, Phantom, dan lainnya tidak hanya masuk melalui media massa luar namun juga sudah merambah mengisi kolom-kolom surat kabar lokal.

Pada tahun 1950-an komik Indonesia baru dapat bergerak kembali. Abdulsalam muncul sebagai pelopor dengan komik Kisah Pendudukan Jogja dan Pangeran Diponegoro lewat harian Kedaulatan Rakyat. Kisah Pendudukan Jogja ini

(3)

kemudian menjadi komik Indonesia pertama yang dibukukan. Komik yang bercerita tentang agresi militer Belanda ke Indonesia ini dibukukan dan diterbitkan oleh harian

Pikiran Rakyat di Bandung pada tanggal 19 November 1952.4

Salah satu komik yang patut mendapat perhatian pada periode revolusi kemerdekaan adalah Sie Djin Koei karya Siaw Tik Kwie yang dimuat pada majalah Star Weekly. Komik yang ceritanya mengambil dari legenda Tiongkok ini kepopulerannya mampu mengalahkan Flash Gordon, Tarzan, dan juga jagoan-jagoan asing lainnya.5

Di sisi lain, komik-komik asing juga memberikan pengaruh kuat bagi perkembangan komik di Indonesia. Karakter-karakter seperti Sri Asih, Puteri Bintang, dan juga Garuda Putih dengan jelas menunjukan pengaruh dari tokoh-tokoh komik Amerika yang sudah lebih dulu ada. Secara penokohan dan juga kekuatan, karakter-karakter itu menunjukan stereotype asing yang kental, Akan tetapi nuansa lokal yang ada dalam beberapa karakter dan juga beberapa unsur dalam komik tersebut yang dekat dengan masyarakat Indonesia pada akhirnya memberikan keunikan tersendiri pada komik-komik tersebut.6

Seiring dengan berkembangnya komik di dalam negeri, kritik-kritik terhadap komik pun mulai bermunculan. Komik dianggap tidak mendidik dan berbahaya

4 Arswendo Atmowiloto, “Tiga yang berharga (1), Abdulsallam, pejuang tanpa

pensiun” diakses dari

http://komikindonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=90 diakses pada tanggal 19 oktober 2013

5 Marcel Bonneff, op. cit. hlm. 21.

6Alvanov Zpalanzani dkk, Histeria Komikita, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2006). hlm. 67.

(4)

secara gagasan. Selain itu komik juga dianggap mengajarkan nilai-nilai Barat yang oleh kalangan pendidik dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan. pada akhirnya pada tahun 1954 pemerintah mulai mencekal komik-komik Barat dan juga jagoan-jagoan Imitasinya seperti Sri Asih.

Kritik-kritik dan pencekalan tersebut kemudian segera direspon oleh para penerbit. Beberapa penerbit seperti Keng Po dan Melody kemudian mencari orientasi baru dengan menerbitkan komik-komik yang berbasis pada kebudayaan-kebudayaan nasional terutama wayang serta komik-komik yang menceritakan dongeng-dongeng yang ditujukan untuk anak-anak.7

Komik-komik wayang kemudian muncul sebagai primadona. Selain cerita-cerita yang mengangkat Mahabarata dan Ramayana. Komik-komik tentang Punakawan juga muncul sebagai komik humor. Di Medan dan daerah luar Jawa pada umumnya, komik-komik yang berbasiskan wayang tersebut tidak mendapatkan sambutan semeriah di Jawa. Oleh karena itu mereka menggali kembali kebudayaan yang ada di daerah mereka. Penggalian ini memberikan wawasan dan juga gairah yang lebih kuat dalam dunia komik Indonesia.8

Seiring dengan perkembangannya, pemerintahan Soekarno juga memberikan pengaruh kuat pada komik-komik yang muncul pada saat itu. Sejalan dengan pergolakan politik yang semakin berapi-api pada pertengahan pertama tahun

7 Marcel Bonneff, op. cit. hlm. 27-28.

8 Menurut diskusi dalam forum “Komik Indonesia Jadul” periodisasi yang diberikan Bonneff sering memberi pemahaman keliru bahwa komik yang bertemakan Budaya lokal baru diadakan setelah pencekalan yang dilakukan terhadap komik-komik barat dan juga “Imitasi”nya. Padahal komikus Medan Zam Nuldyn sudah membuat komik yang bertemakan budaya lokal sejak tahun 1952.

(5)

an, visi-visi nasionalis dan juga tema-tema ideologis terlihat dengan jelas dalam komik-komik yang ada pada masa itu. Komik-komik bertema perjuangan bermunculan, komik-komik tersebut tidak hanya menceritakan apa yang telah lalu seperti perjuangan melawan VOC, Belanda, Jepang, dan juga perang revolusi. Komik-komik perjuangan yang muncul pada saat itu mengikuti topik-topik politik yang sedang digencar-gencarkan oleh pemerintah seperti gerakan pembebasan Irian Barat, berdirinya Gerakan Non-Blok, dan juga propaganda Anti-Nekolim.9

Munculnya gerakan anti-komunis yang dibarengi dengan perpindahan kekuasaan ke Orde Baru pada paruh akhir tahun 1965 mengakibatkan ditutupnya semua surat kabar yang dianggap berafiliasi dengan komunis, termasuk diantaranya Star Weekly yang memuat Put On. Di sini perjalanan panjang Put On yang menjadi pelopor komik Indonesia berhenti.

Rezim Soeharto yang juga disebut sebagai Orde Baru dikenal sebagai rezim yang militeristik. Soeharto memiliki latar belakang militer yang sangat kental dalam karir politiknya, oleh sebab itu gaya-gaya kemiliteran terlihat dengan cukup jelas dalam politik pemerintahannya saat ia menjadi presiden.

Dalam rezim Orde Baru, militer memiliki “Dwifungsi” yaitu untuk menjaga negara dari ancaman baik dari luar maupun dalam negeri. Hal tersebut membuat militer memiliki posisi yang kuat dalam politik dan pemerintahan, termasuk memiliki jatah kursi yang cukup besar dalam parlemen. Di bawah sistem ini militer memiliki peran sebagai administrator pada semua tingkat pemerintahan. Akibatnya militer menjadi ikut terlibat dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru. Dari

(6)

sini semua organisasi baik politik maupun sosial mendapatkan pengawasan langsung oleh militer.10

Meskipun berupa rezim militeristik, pemerintahan Orde Baru memilih untuk lebih berfokus pada perbaikan dan pengembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya. Dalam hal ini ekonomi Indonesia mampu terpulihkan dan juga berkembang pesat meski hal tersebut ternyata bersandar pada hutang luar negeri yang sangat besar. Di lain sisi perkembangan ekonomi ini juga dibarengi dengan praktek korupsi yang merajalela serta kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin lebar antara masyarakat kelas bawah dan kelas atas.

Pada masa Orde Baru stabilitas dan keamanan negara merupakan prioritas utama. Usaha rezim ini untuk memelihara dan menjaga legitimasi dan hegemoninya tidak hanya ditempuh melalui pembangunan ekonomi, namun juga tindakan-tindakan yang represif dan persuasif. Dalam hal ini militer juga berfungsi sebagai instrumen utama pemerintah dalam menjalankan tindakan-tindakan represif tersebut. Tindakan-tindakan yang brutal terkadang digunakan rezim ini untuk membungkam orang-orang yang dianggap membahayakan stabilitas pemerintahan. Sebagaimana tindakan-tindakan represif dilakukan, usaha-usaha bersifat persuasif juga dilakukan dengan mengawasi ketat media massa dan juga lembaga-lembaga pendidikan. Pada dasarnya negara mencoba memanfaatkan media massa dan lembaga-lembaga pendidikan tersebut sebagai instrumen hegemoninya.11

10 Donni Edwin, “Reformasi Militer” dalam Warisan Orde Baru, (Jakarta: Institut Arus Studi Informasi, 2005). hlm. 46-50.

11 Dedy N. Hidayat, Pers dalam Revolusi Mei, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 6.

(7)

Di lain sisi, suasana negara yang lebih stabil membawa kemapanan pada industri percetakan di Indonesia. Hal ini mengakibatkan permintaan akan komik menjadi semakin besar. Di lain pihak penerbit tidak kesulitan untuk mendapatkan komikus, karena banyak komikus-komikus baru yang mengejar popularitas dan mau dibayar rendah. Masa akhir 1960-an dan awal 1970-an dikenal sebagai masa keemasan komik di Indonesia, anggapan itu bukan tidak berdasar karena karena setiap bulannya terbit puluhan judul komik di dalam negeri. Hal tersebut menjadikan pasar komik Indonesia menjadi berkembang yang sayangny kondisi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan penggarapan komik yang baik.

Meskipun komik digemari oleh masyarakat, menurut Bonneff menjadi komikus bukanlah pekerjaan yang dianggap bergengsi pada saat itu. Orang-orang yang kemudian mau mengambil pekerjaan yang kurang bergengsi itu adalah orang-orang Tionghoa.12

Di Jakarta pada waktu itu dikenal lima serangkai yang disebut-sebut sebagai lima komikus terbesar ibu kota, mereka adalah Ganes Th, Hans Jaladara, Jan Mintaraga, Zaldy, dan SIM. Ganes Th dan Hans Jaladara dikenal lewat komik silatnya, sementara Jan Mintaraga, Zaldy, dan Sim dikenal lewat komik-komik romannya. Dari kelima orang tersebut empat di antaranya adalah Etnis Tionghoa, hanya Jan Mintaraga yang bukan merupakan orang Tionghoa atau keturunan.

Di sisi lain, kebanyakan penerbit-penerbit komik yang ada pada kisaran akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an juga merupakan orang-orang Tionghoa,

(8)

karya para komikus yang memiliki nama besar baik yang merupakan keturunan Tionghoa maupun yang bukan seperti Teguh Santosa, Djair Warni, dan juga Hasmi hampir seluruhnya merupakan dipegang oleh penerbit-penerbit yang dipegang oleh orang-orang Tionghoa tersebut.13

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Dari pembahasan di atas tampak kalau sebenarnya orang-orang Tionghoa memiliki andil besar sebagai pemain dalam dunia komik Indonesia, meskipun di Indonesia secara etnis dan juga jumlah mereka adalah minoritas, namun dalam industri komik Indonesia mereka memiliki jumlah yang dominan.

Berbicara tentang Tionghoa terlebih lagi dalam periode Orde Baru, wacana biasanya tidak akan terlepas dari masalah diskriminasi etnis. Dari sini dapat dilihat bahwa meskipun dalam kondisi terdiskriminasi, keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam dunia perkomikan tidak dapat dipungkiri. Di lain sisi komik adalah sebuah media beraspresiasi, yang berarti memiliki kesempatan untuk berkomik berarti juga memiliki kesempatan untuk bersuara pada khalayak ramai. Akan tetapi, memiliki kesempatan bersuara bukan berarti memiliki kebebasan untuk bersuara, mengingat Orde Baru sangat ketat menjaga citra mereka dalam menjaga hegemoninya.

Maka dari itu dirumuskanlah permasalahan yang difokuskan tentang “Kiprah orang-orang Tionghoa dalam dunia perkomikan pada masa Orde Baru.”

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka pemahaman terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan masalah tersebut diperlukan, dari sana disunlah

13 Wawancara dengan Dedi Sugianto 14 April 2013 pukul 13.00 di jakarta. Lihat juga Bonneff, op .cit. hlm. 78.

(9)

pertanyaan-pertanyaan yang penulis pakai sebagai paduan untuk memahami permasalahan tersebut, pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain.

1. Bagaimana politik Orde Baru berpengaruh terhadap dunia komik Indonesia?

2. Apa perbedaan fundamental antara komik yang dibuat oleh komikus-komikus Tionghoa Indonesia dengan yang dibuat oleh komikus-komikus-komikus-komikus non Tionghoa?

3. Bagaimana komikus-komikus Tionghoa bersuara mengenai ke-etnisan mereka dalam karya-karya komik mereka?

Ruang lingkup dibuat untuk memfokuskan penelitian dalam lingkup batasan temporal selama Orde baru, yaitu pada masa pemerintahan Soeharto (1966-1998).

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Histioriografi, yaitu merekonstruksi ulang sebuah rangkaian kejadian dalam sejarah dan merangkainya dalam sebuah penulisan sejarah.

2. Memperkaya khanazah tentang kajian-kajian mengenai komik-komik di Indonesia

D. Metode dan Sumber Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian sejarah14 yang terdiri dari heuristik (pengumpulan data), kritik (verifikasi), interprentasi (penafsiran), dan terakhir adalah historiografi (penulisan sejarah).

(10)

Yang pertama adalah heuristik, heuristik adalah mengumpulkan sumber atau data. Sumber-sumber yang penulis cari adalah jejak-jejak sejarah ataupun peristiwa sejarah yang relevan dengan topik yang ditulis.Sebagai penulisan komik, maka yang menjadi sumber primer dari tulisan ini adalah komik dan juga komikusnya. Komik-komik tersebut penulis dapatkan dari kolektor komik Henry Ismono di Jakarta dan juga bapak Ade di Bandung, selain itu penulis juga mendapatkan komik-komik tersebut dari taman bacaan Zoa di Bandung ataupun dari komunitas komik dunia maya yang mengunggah komik-komik tersebut di Internet. selain sumber-sumber primer penulis juga mengumpulkan data dan informasi dari sumber-sumber sekunder. Sumber-sumber sekunder itu antara lain adalah para pengamat dan kolektor komik seperti Beng Rahadiyan dan Pak Dedi Sugianto, selain itu penulis juga mencari dari artikel-arikel relevan yang terdapat pada surat kabar, tabloid, dan juga majalah-majalah.

Proses kritik merupakan proses untuk melihat keaslian dan keabsahan sumber, proses ini dilakukan dengan melakukan crosscheck antar sumber. seperti mengecek tahun terbit dari komik-komik yang diteliti kepada pengamat-pengamat komik yang penulis temui. Ataupun mengecek kebenaran dari informasi-informasi yang telah penulis dapatkan melalui sumber-sumber lain.

Kemudian Proses Interprentasi adalah menelaah data-data yang didapat penulis setelah melalui proses heuristik dan kritik. data-data itu kemudian diolah dan diperbandingkan satu sama lain. Yang akhirnya kemudian disajikan dalam suatu bentuk penulisan sejarah (historiografi).

(11)

E. Tinjauan Pustaka

Salah acuan yang dipakai oleh penulis dalam menyusun tulsan ini adalah buku kanjian berjudul Komik Indonesia yang diterbitkan oleh Gramedia15, karya yang cukup menonjol sehingga seolah menjadi acuan wajib bagi siapapun yang ingin menulis kajian ini merupakan terjemahan dari disertasi Marcel Bonneff Les Bandes dessinées indonésiennes yang selesai pada tahun 1972. Tulisan Bonneff ini baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1998. Kajian Bonneff ini bisa dibilang merupakan tulisan yang cukup menyeluruh mengenai komik Indonesia sampai pada periode 1970an awal. Meskipun periode yang ia buat adalah dari 1930 sampai 1970-an, tampaknya penelitiannya terfokus pada tahun 1960an sampai tahun 1970. Hal-hal yang ditulis meliputi perkembangan komik di Indonesia, media komik, produksi, distribusi, sampai pada pembahasan terhadap genre-genre populer disertai contoh-contoh dari beberapa komik di setiap genrenya, pada akhir penelitiannya dilampirkan biografi singkat beberapa komikus yang ternama pada masa tulisan ini dibuat.

Selanjutnya adalah Panji Tengkorak, Kebudayaan Dalam Perbincangan disertasi milik Seno Gumira Ajidarma. Kajian miliknya ini memperbandingkan tiga versi dari komik Panji Tengkorak yang dibuat oleh Hans Jaladara. Komik Panji tengkorak tersebut dibuat sampai tiga kali, yaitu tahun 1968, 1985, dan juga 1996. Tahun-tahun tersebut secara kebetulan dapat merepresentasikan Orde baru pada masa awal, masa tengah, dan juga masa akhir. Dalam kajian tersebut sejumlah perbincangan bisa ditemui, mulai dari politik identitas sampai pada bias gender.

15 Marcel Bonnef, op. cit. Marcel Bonneff, Komik Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1998)

(12)

Dengan kata lain mampu memberikan sebuah refleksi kebudayaan panda zaman saat komik yang “sama” tersebut dibuat.16

Tawa dan Bahaya, yang juga merupakan tulisan milik Seno Gumira Ajidarma membahas tentang karakter-karakter kartun yang ada dalam media massa di Indonesia. Kebanyakan kartun tersebut hadir dalam bentuk komik strip. Dalam karyanya ini Seno memberi pemahaman tentang bagaimana kedudukan Humor adalah politik kebudayaan. 17

Selanjutnya adalah buku-buku kanjian komik karya Trio MARTABAK (mari kita bahas komik), ada dua buah buku dari tim yang terdiri atas Hafiz Ahmad, Beny Maulana, dan Alvanov Zpalanzani yaitu Martabak Keliling dunia18 dan Historia

Komikita19. Sebenarnya dua buah buku ini bisa dibilang sebagai sebuah kesatuan.

Buku pertama membahas tentang komik-komik di dunia, di sini mereka mengklarifikasi komik ke dalam tiga jenis, yaitu komik Amerika, komik Eropa, dan komik Asia kemudian menjabarkannya satu persatu. Di buku kedua mereka memfokuskan tulisan mereka pada komik Indonesia yang dalam buku ini mereka sebut dengan komikita, menganalisa permasalahan-permasalahan yang ada pada

16 Seno Gumira Ajidarma, (“Panji Tengkorak, Kebudayaan dalam perbincangan”, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011).

17 Seno Gumira Ajidarma, Tawa dan Bahaya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012).

18 Alvanov Zpalanzani dkk, Martabak Keliling Dunia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2006).

19 Alvanov Zpalanzani dkk, Histeria Komikita, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2006).

(13)

dunia perkomikan di Indonesia kemudian mencoba mendirikan sebuah mindset dalam rangka membangkitkan kembali komik Indonesia.

Kajian-kajian lainnya di luar kajian komik penulis memakai Sejarah

Indonesia Modern20, dan juga Indonesia Beyond Soeharto21, untuk memahami situasi

politik dalam negeri Indonesia, Pemahaman mengenai Tionghoa penulis dapati dari

Tionghoa dalam pusaran politik.22 Juga Pers dalam “Revolusi Mei”23 untuk

memahami perihal media massa pada masa Orde Baru. Tulisan-tulisan tersebut sama sekali tidak membahas apapun mengenai komik.

Hal yang membedakan tulisan yang penulis tulis dengan tulisan-tulisan diatas ada. Ada pada ruang lingkupnya. Tulisan Bonneff berbicara dari periode 1930 sampai 1970an. Sebaliknya tulisan-tulisan milik Trio Martabak cenderung lebih mempersoalkan masalah yang dihadapi komik Indonesia dalam konteks kontemporer (tahun 2000-an keatas). Tawa dan Bahya membahas hanya komik strip saja, tanpa melihat pasang surutnya industri komik Indonesia pada masa Orde Baru. Kajian-kajian diatas secara umum tidak ada yang secara spesifik membahas tokoh Tionghoa dalam dunia komik Indonesia. “Panji Tengkorak” Kebudayaan Dalam Perbincangan barangkali mendekati secara tema apa yang ingin penulis tuliskan yaitu “Tionghoa dalam komik” namun fokus tulisan ini bukanlah keTionghoaan itu

20 M. C. Rickleff, Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008).

21 Donald K. Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2001).

22 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Elkasa, 2002). 23 Dedy N. Hidayat, Pers dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah Hegemoni, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

(14)

sendiri, akan tetapi lebih difokuskan pada 1 karya yaitu komik Panji tengkorak dan bukan orang-orang Tionghoa itu sendiri. Dengan demikian penelitian spesifik yang difokuskan pada orang-orang Tionghoa dalam komik Indonesia ini belum pernah dilakukan dan menjadi sah keabsahannya untuk dikerjakan.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan meliputi:

Bab I merupakan pengantar untuk bab-bab selanjutnya. Bab ini mencakup latar belakang, permasalahan, batasan-batasan ruang lingkup, menjelaskan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Juga metode dan sumber yang digunakan oleh penulis untuk membuat tulisan ilmiah ini.

Bab II akan bercerita tentang perjalanan komik Indonesia pada masa Orde Baru, bab ini akan diawali dengan menjabarkan siklus komik di Indonesia, menjelaskan bagaimana produksi komik dimulai dari komikusnya, penerbit, hingga distribusi sampai ke pembacanya. Selanjutnya dibahas pula perkembangan komik indonesia secara periodik pada masa orde baru yang dibagikan dalam tiga periode.

BAB III akan membahas keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia, yang kemudian difokuskan pada komikus-komikus Peranakan. Dalam bab ini terdapat subab yang berupa profil beberapa tokoh komikus-komikus peranakan, selanjutnya dari sana akan diurai bagaimana masing-masing dari mereka menyikapi diskriminasi yang tengah etnis mereka alami pada masa Orde Baru.

BAB V merupakan Kesimpulan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang diperoleh dari 40 penelitian terhadap tes kemahiran membaca cepat siswa kelas X Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Tanjungpinang Tahun Pelajaran

Dominasi media massa dikuasai oleh sebagian besar Negara- negara maju, sedangkan Negara berkembang lebih menggunakan daya tarik terhadap kearifan lokal dan kebudayaannya,

Berdasarkan hasil penelitian judul tesis tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan dan penelitian tesis dengan judul “Pertanggung Jawaban Hukum Kasir (Teller)

Berdasarkan hasil kajian analisis sistem dan anlisis pasar yang telah dilakukan serta memfokuskan pada peranan koperasi bagi anggotanya, maka pada masa akan

Peng- gunaan iradiasi sinar gamma pada benih tembesu segar yang relatif baru diunduh dengan dosis maksimal 30 Gy dapat meningkatkan persen tumbuh bibit,

bahwa berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/531/SJ tanggal 5 Februari 2013 perihal Klarifikasi Peraturan Daerah, ketentuan Pasal 9 ayat (3) Peraturan Daerah

Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan bahwa kegiatan pembelajaran menggunakan media papan ejaan dengan model pembelajaran NHT dapat menyebabkan: (1)aktivitas siswa

Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis pengaruh kepemimpinan secara parsial terhadap disiplin kerja guru di SMPN 2 Pasarkemis 2) menganalisis pengaruh