• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LATAR BELAKANG MASUKNYA GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA DI KABUPATEN DAIRI. 2.1 Sejarah Ringkas Gereja Pantekosta di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. LATAR BELAKANG MASUKNYA GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA DI KABUPATEN DAIRI. 2.1 Sejarah Ringkas Gereja Pantekosta di Indonesia"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LATAR BELAKANG MASUKNYA GEREJA PANTEKOSTA dI INDONESIA DI KABUPATEN DAIRI

2.1 Sejarah Ringkas Gereja Pantekosta di Indonesia

Sejarah gereja pantekosta di Indonesia (GPdI) tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan gereja pada umumnya dari zaman ke zaman. Maka untuk menyimak sejarah GPdI, perlulah kita melihat dari awal tentang perjalanan gereja, secara etimologi, kata gereja berasal dari kata igreja (bahasa Portugis),sedangkan jemaat berasal dari kata jemaah (bahasa Arab) kedua kata ini tidak asing lagi dalam pengidentifikasian sebagai orang kristen dan yang masih lazim di gunakan di Indonesia sampai saat ini.8

Terdapat berbagai paham yang berbeda dalam menentukan asal-usul berdirinya gereja dan biasanya paham-paham tersebut didasarkan atas sistim penafsiran Alkitab walaupun berbeda, misalnya penganut Convenan Thealogy menafsirkan bahwa gereja telah di mulai sejak zaman Abraham ( perjanjian Lama) Akan tetapi penggunaan kedua kata itu yaitu gereja dan jemaat dalam bahasa Indonesia tergantung pada tujuan dari pembicaraan, bila memakai kata gereja kebanyakan berkonotasi pada gedung atau organisasi/ denominasi, sementara kata jemaat sering menunjukkan kepada persekutuan anggota gereja/orang-orang yang percaya terhadap ajaran YESUS.

8

(2)

ada pula paham yang menafsirkan bahwa gereja telah dimulai ketika Yesus telah membuat pernyataan seperti yang tertulis di kitab injil Matius 16:18, tafsiran yang lain mengatakan bahwa gereja telah di mulai tatkala Yesus memulai memilih duabelas orang yang menjadi muritnya. Tetapi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) dan kebanyakan aliran lainnya teguh berkeyakinan pada doktrin yang selama ini dianutnya bahwa gereja pertama kali dimulai pada peristiwa pencurahan Roh Kudus dikamar loteng jerusalem, kira-kira pada Tahun 30 sebelum masehi. Akan tetapi pada awal berdirinya gereja bersifat organisasi dan setelah perkembangan yang pesat diabad pertama maka mulai diperluakan sarana/wadah dalam bentuk tempat ibadah sekaligus organisasinya.9

Sejak kaisar Konstantin menerima ajaran kristen, gereja mengalami kemerosotan karena banyaknya kemudahan yang di berikan kepada gereja sehingga para pemuka gereja pada waktu itu terlena dengan kondisi yang demikian. Kemudian kemerosostan gereja ditambah lagi ketika uskup Leo menjadi Uskup yang pertama Setelah gereja mulai di perbincangkan gereja semakin Produktif dalam menambah jemaat-jemaatnya, perkembangan ini awalnya dimulai di yerusalem sekitar abad pertama masehi, dari Yerusalem sentra pengabaran injil perkembangannya kemudian merambah ke wilayah Anthokia dan selanjutnya ke kota Efesus. Penyebaran gereja pada masa itu di motori oleh Paulus yang telah menereima ajaran kristen dan hal ini disebut dengan gereja mula-mula. Meski mendapat tantangan dan kesulitan yang hebat.

9

(3)

pada tahun 440 Masehi, ia mencampurkan injil dengan kepercayaan Romawi. Selain itu juga pada waktu itu Gereja telah mencampuri urusan Politik yang merupakan penyebab utama penurunan kualitas rohani para pemuka gereja. Pimpinan gereja menjadi pimpinan Negara. Gereja tenggelam dan telah memasuki zaman kegelapan, akan tetapi secara fisik gereja tetap ada dalam kemewahan, tetapi buruk secara ke Rohaniannya dan situasi ini pun berlangsung hingga sampai abad ke 15 masehi.

Abad 15 Masehi merupakan abad pemulihan gereja kembali. Pada tahun 1384 Alkitab pertama kali di terjemahkan oleh John Wicliffe yang merpakan seorang mahasiswa dari Universitas Oxford, hal ini di dukung lagi dengan di temukannya mesin cetak pada tahun 1455 oleh Johannes Gutenberg, maka Alkitab dapat di perbanyak dan di terjemahkan. Pada awal abad ke-16 yakni tahun 1517 Martin Luther seorang doktor di bidang studi kitab suci dari agama Roma katolik, tampil sebagai reformator memprotes kondisi gereja yang sudah banyak menyimpang dari ajaran kristen. Akibatnya muncullah kelompok Lutheran yang dimana kelompok ini mencoba menekankan ajaran kristen leibih mengarah kepada pertobatan dan menghimbau agar masyarakat yang menjadai kristen pada masa itu kembali bertobat dan jangan menyimpang dari ajaran kristen. Selain Martin luther muncul ajaran John Calvin pada tahun 1535 yang menitik beratkan ajarannya pada “iman”.

Perubahan bagi para pengikut ajaran kristen semakin berkembang dan susul menyusul melakukan perubahan, pada tahun 1612 John Smith memipin kelompok babptis, kelompok ini kemudian sangat berkembang di Amerika. Pada abad 18 aliran methodis muncul yang di ajarkan oleh John Wesly pada tahun 1739, yang membawa

(4)

semangat kebangunan rohani dan juga menitik beratkan ajarannya kepada kesucian hidup. Latar belakang kerohanian Methodis berawal dari semangat dan sebagai reaksi terhadap aliran lutheran dan calvinis yang mulai tenggelam dalam kemapanan dan rutinitas ritual.

Pada tahun 1865 William Booth yang berlatar belakang methodisme mendirikan aliran Bala keselamatan yakni suatu aliran yang mempunyai visi pada masalah sosial. Seiring dengan itu pula muncul aliaran yang menekankan ajarannya pada penginjilan, missionaris, dan kesembuhan illahi, aliran ini dikenalkan oleh Finney dan Moody dengan nama kegerakan Brethern sekitar 1830-1895. memasuki abad ke-20, tepatnya tanggal 01 januari 1901, dalam sebuah kebaktian doa menyambut Tahun baru di topeka, kansas city, yang dipimpin oleh Pdt, Charles fox parham, terjadilah suatu kegemparan ketika Agnes Labere Ozman dipenuhi Rohkudus.10

Gerakan pantekosta adalah lanjutan dari “gerakan kesucian” (holliness

Movement) yang mulai lahir dari kelompok Methodis pada dasawarsa 1830-an atau

pertengahan abad ke 19 di USA. Karena keadaan rohani yang sedang mandek di gereja-gereja arus utama yaitu Lutheran dan calvinis.

Inilah awal dari munculnya aliran pantekosta dan mulai menyebar ke seluruh bagian dunia. Maka di abad ke-20 ini melalui adanya gerakan Pantekosta telah menumbuhkan perkembangan gereja yang semakin memurnikan ajaran kristen yang di sebarkannya.

11

10

Ibid ,hlm. 25.

11

Steven H. Talumewo, Gerakan Pantekosta, Yogyakarta: 1988. hlm.6.

(5)

sebelumnya bahwa semangat kerohanian Methodispun di ilhami oleh kelompok “pietiesme” pada abad-abad sebelumnya yang mendambakan kehidupan rohani yang lebih baik dari status quo, karena baik dari aliran Lutheran maupun Calvinis mulai terjebak dalam rutinitas sehingga melembaga dengan kuat dengan nilai-nilai pembaharuan rohani mulai kering.

Pada paruh kedua abad ke 19 muncul banyak kelompok / gerakan pembaharuan yang mendambakan gerakan rohani. Berbagai denominasi baru dari latar belakang “kesucian” mulai berkembang, ada yang tetap loyal kepada gereja methodis tapi ada juga mulai independen dan membentuk organisasi baru antara lain

Church of God yang didirikan oleh Daniel S Warner tahun 1880 yang berpusat

dikota Anderson ( ini hanyalah satu diantara beberapa nama gereja Church of God yang lahir menjelang abad ke 20). Selain itu Fire Baptised Holiness Church atau Gereja Kesucian Baptisan Api berdiri Tahun 1895 dengan pemimpinnya B.H Irwin. Kelompok – kelompok ini merupakan mata rantai penting yang menyambungkan gerakan kesucian dengan gerakan pantekosta di abad ke 20.

Charles fox Parham adalah salah satu pendeta di Episcopal Methodis Church yang meninggalkan gereja itu karena dirasakan sudah kurang mementingkan kesucian hidup dan kurang menekankan peranan dan karunia – karunia Roh Kudus serta penyembahan Ilahi.12

12

Saerang, W.D, Op.Cit, hlm.17.

Tahun 1898 Parham membuka wisma penyembuhan ilahi dengan nama “Bethel Healing Home” di Topeka kansas. Menjelang akhir tahun 1900

(6)

beliau membuka Sekolah Alkitab Bethel ( Bethel Bible School ) di luar kota Topeka. Pada liburan natal 1900 pendeta Parham mengadakan tour penginjilan keluar kota dan menugaskan para siswa untuk mengkaji kebenaran tentang babptisan Roh Kudus seperti yang tertulis dalam Kitab Kisah Para Rasul 1 dan 2. Penyelidikan ini membuka banyak rahasia tentang perlunya kepenuhan Roh Kudus dan glossolalia bagi setiap orang yang percaya.

Akibanya pada malam pergantian Tahun menjelang 1 januari 1901, ketika mereka sedang berdoa, seorang murid yang bernama Agnes Ozman dipenuhi Roh Kudus sambil berbahasa lidah ketika pendeta pendeta Charles Parham meletakkan tangan keatasnya. Inilah pertama kali Roh Kudus dicurahkan di akhir zaman, menandai lahirnya Gerakan Pantekosta, dan sejak itu sungai roh kudus telah mengalir dengan deras ke seluruh penjuru dunia membawa kemajuan dan kegerakan rohani yang luar biasa, sampai pada tahun 1921 gerakan pantekosta telah tiba di Indonesia.

Misionaris Pantekosta yang datang ke Indonesia adalah Richard van Klaveren dan istrinya serta Cornelius E Groesbeek dan istrinya beserta dua orang anaknya yakni Yenny dan corry. Mereka di utus oleh pendeta W.H Offiler pemipin gereja “

Bethel Tempel” di Seattle, Negara bagian Washington Amerika Serikat. Menurut

catatan, ibu groesbeek meninggal dan dimakamkan di Surabaya pada bulan oktober 1934, dan Rev. Van Klaveren di makamkan di kota Jakarta.

Dalam pembahasan perkembangan Pantekosta tidak terlepas dari Perkembangan Agama Kristen di Indonesia. Dalam penyebaran Agama Kristen di Indonesia, Agama Kristen Khatolik adalah yang pertama tiba di Indonesia. Agama ini

(7)

tiba pada tahun 1512 atau sekitar abad ke 16 Masehi yang di bawakan oleh Portugis kemudian menyebarkannya hampir keseluruh wilayah nusantara. Kemudian menyusul Agama Kristen Protestan yang dibawakan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Akan tetapi dari Lima Agama besar yang tumbuh dan berkembang di Indonesia tidak ada satupun yang asli Indonesia, semuanya import dari luar, sehingga sepatutnya tidak ada yang boleh lebih mengklaim lebih Indonesia dari pada yang lain Karena semua turut membesarkan dan membangun Indonesia.

Termasuk Aliran Pantekosta yang masuk pada Tahun 1921 yakni sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia. Aliran pantekosta pertama dikenalkan di daerah Bali, akan tetapi dalam penyebarannya di daerah tersebut mendapat hambatan – hambatan antara lain para penyebar ajaran Pantekosta tersebut dianggap sebagai mata – mata oleh pasukan belanda dan mendapat pengawalan ketat dari pihak Belanda. Faktor lain adalah, adanya protes dari masyarakat Bali serta pemuka agama Hindu di Bali yang beranggapan bahwa penyebaran Aliran Pantekosta sangat mengganggu dan bisa merusak budaya Bali, maka pada tahun 1923 rev Cornelius Groesbeek dan rev Richard Van Klaveren yang mencoba menyebarkan Aliran Pantekosta tersebut beralih menuju pulau jawa tepatnya di kota Cepu. 13

Di kota tersebut F.G Van Gessel seorang belanda yang bertobat oleh pekabaran injil dan menerima ajaran Pantekosta. Beliau merupakan orang yang menjadi jemaat pertama hasil penginjilan dari rev Cornelius dan rev Richard Van Klaveren, dan berawal dari kesediaannya menerima ajararan pantekosta tersebut

13

(8)

akhirnya menjadi tonggak perkembangan awal aliran Pantekosta di Indonesia. Van Gessel adalah seorang pegawai BPM berkat kedudukannya maka ia memfasilitasi gedung untuk dijadikan tempat kebaktian.

Pekabaran injil yang beraliran Pantekosta pun semakin gencar di lakukan berawal dari lingkungan tempat tinggal F.G Van Gessel kemudian menyebar kedaerah lainnya termasuk kota Surabaya. Banyak orang – orang Indonesia yang menjadi penganut ajaran Pantekosta ini, mereka yang menjadi jemaat mula – mula adalah sebagai berikut H.N Runkat, J.Repi, A.Tambuwun, J.Lumenta, E. Lesnusa, G.A Yokom, R. Mangindaan, W. Mamahit, S.I.P Lumoindong dan A.E. Siwi yang kemudian mereka adalah para penabur benih aliran Pantekosta keberbagai wilayah Indonesia.

Sesuai dengan gagasan Pantekosta mengenai organisasi gereja yang berjiwa

kongregasionalistis. Seiring dengan kemajuan organisasi tersebut, ketidakcocokan di

antara pengurus mulai nampak, dengan pokok persoalannya antara lain:

a. Ajaran Yesus Only yang menganggap Nama Yesus meliputi tiga pribadi Trinitas, sehingga pembaptisan cukup kalau dilakukan dalam nama Yesus saja. Ajaran ini dibawa masuk dari Amerika Serikat oleh van Gessel.

b. Ada tidaknya hak seorang perempuan untuk memegang kedudukan kepemimpinan dalam gereja.

c. Hubungan antara jemaat setempat dengan organisasi pusat, misalnya dalam hal milik gereja.

(9)

Keempat faktor tersebutlah yang menyebabkan terjadinya rentetan perpecahan sehingga menyebabkan jumlah gereja Pantekosta dari 1 nama gereja menjadi 25 nama gereja. Ini dapat dilihat dari beberapa pendeta yang keluar memisahkan diri dari organisasi gereja Pantekosta dan mendirikan gereja baru, seperti:

1. J. Thiessen pada tahun 1923 keluar dan mendirikan Pinksterbeweging, kemudian dikenal dengan nama Gereja Gerakan Pentakosta (GGP). 2. M.A. van Alt pada tahun 1931 keluar dan mendirikan De Pinkerster

Zending, kini dikenal dengan nama Gereja Utusan Pentakosta (GUP).

3. F. van Akoude pada tahun 1931 keluar dan mendirikan Gemeente van

God, kemudian hari dikenal dengan nama Gereja Sidang Jemaat Allah.

4. Pdt. D. Sinaga pada tahun 1941 keluar dan mendirikan Gereja

Pentakosta Sumatera Utara (GPSU) atau dikenal dengan nama GPdI-Sinaga.

5. Pdt. Tan Hok Tjwan pada tahun 1946 keluar dan mendirikan Sing Ling

Kau Hwee yang kini dikenal dengan nama Gereja Isa Almasih (GIA).

6. Pdt. Renatua Siburian pada tahun 1948 keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Sumatera Utara atau dikenal GPdI Siburian.

7. Pada tahun 1951 beberapa pendeta keluar dan mendirikan Gereja

Sidang Jemaat Pentakosta.

8. Pdt. T.G. van Gessel dan H.C. Senduk pada tahun 1952 keluar dan mendirikan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS).

(10)

9. Pada tahun 1957 GBIS pecah dan Pdt. G. Sutupo dan Ing. Yuwono mendirikan Gereja Bethel Tabernakel (GBT).

10. Pdt. Ishak Lew keluar pada tahun 1959 dan mendirikan Gereja

Pentakosta Pusat Surabaya (GPPS).

11. Pada tahun 1960 GBIS pecah lagi dan Pdt. A. Parera mendirikan

Gereja Nazareth Pentakosta (GNP).

12. Pdt. Karel Sianturi dan Pdt. Sianipar pada tahun 1966 keluar dan mendirikan GPSU atau dikenal dengan nama GPdI-Sianturi.

13. Pdt. Korompis keluar pada tahun 1966 dan mendirikan Gereja

Pentakosta Indonesia (GPI).

14. Pada tahun 1967 para pemimpin gereja-gereja Pentakosta di Surabaya dan Timor keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Elim (GPE). 15. Pada tahun 1969 GBIS pecah lagi dan Pdt. H.L. Senduk mendirikan

Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan Pdt. Jacob Nahuway mendirikan GBI Mawar Saron.

16. Pada tahun 1970 Gereja Bethel Tarbernakel pecah dan Ing. Yuwono mendirikan Gereja Pentakosta Tarbernakel (GPT).14

Meskipun perpecahan demi perpecahan terjadi, namun mereka tetap berafiliasi pada satu nama yaitu Pantekosta, sehingga timbul inisiatif untuk menyatukan kembali sikap dan pandangan gereja-gereja beraliran Pantekosta. Hal ini diwujudkan dengan berdirinya Dewan Kerjasama Gereja-gereja Kristen Pantekosta

14

(11)

Seluruh Indonesia (DKGKPSI) dan Persekutuan Pantekosta Indonesia (PPI). Tetapi

pada tanggal 10 September 1979, kedua organisasi tersebut membubarkan diri dan bergabung menjadi satu wadah dengan nama Dewan Pantekosta Indonesia (DPI). Pada Musyawarah Besar (Mubes) I DPI yang diadakan pada tahun 1984, terpilih sebagai Ketua Umum adalah Pdt. W.H. Bolang. Dan pada Mubes II DPI berhasil memilih Pdt. A.H. Mandey sebagai Ketua Umumnya. Dan Pada Mubes DPI III di Caringin, Bogor, terpilih sebagai Ketua Umumnya adalah Pdt. M.D. Wakkary. Hingga saat ini ada sekitar 58 Sinode/organisasi Gereja beraliran Pentakosta yang bergabung dalam DPI.15

Meskipun sudah mengalami perpecahan beberapa kali, namun GPdI tetap merupakan gereja Pantekosta yang terbesar di Indonesia. Di antara Gereja-gereja Pantekosta yang terbesar lainnya terdapat Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Sidang Jemaat Allah. Ada beberapa gereja Pantekosta yang sudah masuk menjadi anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), seperti Gereja Isa Almasih, Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, dan Gereja Gerakan Pantekosta. Jumlah anggota seluruh gereja Pantekosta di Indonesia lebih kurang dua juta. Hal ini berarti, bahwa Gerakan Pantekosta meliputu 10% seluruh umat Kristen di Indonesia

15

(12)

2.2 Struktur Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia

Forum tertinggi dalam Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) ialah Musyawarah Besar yang diadakan 4 tahun sekali. Musyawarah besar ini berfungsi untuk memilih pimpinan tingkat nsional serta menetapkan Garis Besar Program Kerja (GBPK), dalam susunan kepengurusannya pimpinan tingkat nasional disebut dengan Majelis pusat. Majelis Pusat beranggotakan 24 orang yang di bagi dalam menjabat dan pelaksana tugas sesuai dengan ketetapan hasil Musyawarah Besar.

Adapun jabatan dan tugas tersebut adalah sebagai berikut: 1 orang menjabat sebagai ketua umum, 4 orang menjadi ketua, 1 orang menjabat sebagai Sekertaris Umum, 3 orang menjadi sekertaris, 1 orang Bendahara Umum, 2 orang bendahara, dan 12 orang menjabat sebagai pimpinan departemen, yaitu: Deparetemen penginjilan, Departemen pengembalaan, Departemen Penginjilan dan Pengajaran, Departemen Pengorganisasian, Departemen Diakonia Sosial dan Pembangunan, Departemen Pelayanan Wanita, Departemen pelayanan Anak, Departemen Pelayanan Pemuda, Departemen Pelayanan Pria, Departemen pengembangan jemaat dan luar negri, Departemen External, serta Departemen literature dan media massa.

Kemudian majelis pusat mengangkat pengurus wadah – wadah tingkat nasional yang disebut dengan Komisi Pusat, komisi Pusat ini berjumlah 8 buah yaitu sebagai berikut: Pelayanan Anak Pantekosta ( PELNAP), Pelayanan Wanita Pantekosta (PELWAP), Pelayanan Pria Pantekosta (PELPRIP), Pelayanan Profesi dan Usahawan Pantekosta (PELPRUP), Forum Komunikasi Anak Hamba Tuhan

(13)

(FKHT), Komisi Pusat Penginjilan (KPP) ditambah 2 badan lainnya yaitu Badan Penelitian Pengembangan (BALITBANG) serta dewan curator SA/STA.16

Majelis daerah 11 yaitu: Daerah Kalimantan Barat, Majelis Daerah 12 yaitu: Daerah Kalimantan Tenggara, Majelis Daerah 13 yaitu: Daerah Kalimantan Timur, Majelis Daerah 14 yaitu, Daerah Sulawesi Selatan, Majelis Daerah 15 yaitu: Daerah Sulawesi Utara, Majelis Daerah 16 yaitu: Daerah Sulawesi Tenggara, Majelis Daerah 17 yaitu: Daerah Gorontalo, Majelis Daerah 18 yaitu: Daerah Maluku, Majelis Daerah 19 yaitu: daerah Papua, Majelis Daerah 20 yaitu: Daerah jogyakarta, Majelis Daerah 21 yaitu: Daerah Kalimantan Selatan dan yang terakhir Majelis Daerah 22 yaitu: Daerah Sumatera Barat.

Sebelum Mubes diadakan, maka disetiap daerah diselenggarakan Musyawarah Daerah (Musda) yang tujuannya antara lain memilih pimpinan tingkat Daerah yang disebut dengan Majelis Daerah. Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) kini memiliki 22 Majelis Daerah yang tersebar di 28 propinsi di Indonesia. Adapun Majelis Daerah tersebut antara lain sebagai berikut: Majelis Daerah 1 yaitu: Daerah Sumatera Utara dan Aceh, Majelis Daerah 2 yaitu: Daerah Riau, Majelis Daerah 3 yaitu: Daerah Sumatera selatan, Jambi dan Bengkulu, Majelis Daerah 4 yaitu: Daerah Lampung, Majelis Daerah 5 yaitu: Daerah DKI Jakarta, Majelis Daerah 6 yaitu: Daerah Jawa Barat dan Banten, Majelis Daerah 7 yaitu: Daerah Jawa Tengah, Majelis Daerah 8 yaitu: Daerah Jawa Timur, Majelis Daerah 9 yaitu: Daerah Bali dan Nusa Tenggara Barat, Majelis Daerah 10 yaitu: Daerah Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

16

(14)

Setelah terpilih maka setiap Majelis Daerah akan mengangkat Pengurus wadah – wadah tingkat daerah sesuai kebutuhan yang disebut dengan Komisi Daerah, selain itu Majelis Daerah juga menetapkan Majelis – majelis Wilayah sesuai kebutuhan, dan majelis wilayahpun akan menetapkan pengurus wadah tingkat wilayah yang disebut komisi wilayah. Setiap Majelis Wilayah membawahi gembala – gembala yang menjadi basis utama pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia dan gembala – gembala mengangkat pengurus wadah tingkat sidang jemaat. Berdasarkan data dalam Musyawarah Besar ke-26 Tahun 1990 di istora senayan Jakarta kini Gereja Pantekosta di Indonesia telah memiliki 10.000 sidang jemaat di seluruh Indonesia.

Dalam hal kependetaan waktu yang ideal bagi seseorang untuk mencapai gelar pendeta penuh Gereja Pantekosta di Indonesia, rata – rata berkisar 10 tahun ( dihitung sejak mulai fulltime terjun dalam pelayanan). Waktu yang cukup lama tersebut harus di tempuh dan harus melewati fase – fase sebagai berikut: Mula – mula adalah Training Center (TC) di sebuah pastori se-kurangnya 1 Tahun, kemudian memasuki Sekolah Alkitab kelas satu dengan masa pendidikan selama satu tahun. Setelah selesai pendidikan selanjutnya akan mengikuti praktek pelayanan selama satu tahun di daerah yang ditempatkan oleh Sekolah Alkitab Tersebut sebagai pengerja.

Setelah menyelesaikan praktek pelayanan kemudian melanjutkan kembali pendidikan di Sekolah Alkitab untuk masuk dikelas dua dengan pendidikan selama satu tahun penuh, setelah itu kemudian di praktekkan kembali di daerah yang ditentukan oleh Sekolah Alkitab minimal satu tahun. Selanjutnya, diwajibkan

(15)

membuka penginjilan baru dan memiliki sidang jemaat minimal satu tahun lagi. Bila sudah memiliki pelayanan yang stabil dan rutin, akan di tetapkan oleh Majelis Daerah menjadi Gembala Jemaat dengan gelar Pendeta Pembantu (PDP), dan bila pelayanannya terus berkembang 2 tahun kemudian dapat dipromosikan untuk memperoleh gelar Pendeta Muda (PDM).

Dan jika Majelis Daerah merekomendasikan lagi, maka 2 tahun kedepannya yang bersangkutan baru dapat dilantik sebagai Pendeta penuh (PDT) tepatnya dilantik ketika Musyawarah Besar sedang berlangsung. Jadi dalam organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) untuk mendapatkan gelar ke-pendetaan akan membutuhkan waktu yang cukup lama, akan tetapi itu merupakan hasil yang sudah direvisi sebelumnya menurut AD/ART GPdI yang lama, jarak antara Pendeta Pembantu ke Pendeta Muda masing – masing harus menjalani 4 tahun pelayanan. Dalam membangun sidang jemaat para Pendeta GPdI tidak digaji oleh organisasi maupun subsidi dari pihak mana pun jadi hanya bermodalkan ke imanannya utnuk membangun gedung gereja dan juga untuk biaya hidup sehari – hari.

Berdasarkan data yang di peroleh dari sekretariat Majelis pusat GPdI per 31 juli 1988 yang diterbitkan pada mukernas GPdI 1988 adalah sebagai berikut:

a. Jumlah sidang jemaat:

1. Jemaat Mandiri berjumlah : 4130 buah. 2. Jemaat Muda berjumlah : 2157.

3. Jemaat cabang berjumlah 1892 buah. b. Jumlah pelayan gereja dan pendeta:

(16)

1. Pendeta ( PDT ) berjumlah 2684 orang,

2. Pendeta Muda ( PDM ) berjumlah 2189 orang, 3. Pendeta pembantu ( PDP ) berjumlah 3332 orang. c. Jumlah bangunan gereja :

Adapun jumlah gereja yang tersebar terdiri dari : 1. Gereja permanent berjumlah 2195 buah, 2. Semi permanent berjumlah 1538 buah, dan 3. Bangunan darurat berjumlah 3825 buah. d. Pendidikan teologi :

1. Gereja Pantekosta di Indonesia memiliki Sekolah Alkitab ( SA ) berjumlah 23 buah, dan

2. Sekolah Tinggi Alkitab ( STA ) berjumlah lima buah. e. Jumlah sekolah umum:

Adapun jumlah sekolah yang berafiliasi dengan Gereja Pantekosta di Indonesia yaitu :

1. Taman kanak kanak ( TK ) berjumlah 28 buah, 2. Sekolah Dasar ( SD ) berjuimlah 36 buah,

3. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) berjumlah 15 buah, 4. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas ( SLTA ) berjumlah 8 buah. f. Jumlah yayasan:

(17)

Yayasan yang berada didalam naungan Gereja Pantekosta di Indonesia sebanyak 8 buah dan Panti asuhan sebanyak 10 buah.

Akan tetapi kemungkinan jumlah data diatas dapat bertambah lagi seiring dengan perkembangan waktu dan karena perkembangan Gereja Panteokosta di Indonesia pada umumnya berada di daerah – daerah dan pedalaman yang sangat sulit di jangkau di berbagai daerah Indonesia.

Sejak dibentuk kepengurusannya, organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia telah terjadi 29 kali Musyawarah besar sehingga terjadi berulangkali pergantian kepengurusan dalam menjalankan roda organisasinya. Adapun susunan kepengurusan tersebut adalah sebagai berikut:

Maret 1921 – 19 juni 1923 Merupakan awal masuknya injil Pantekosta di Indonesia dari Amerika yang di bawakan oleh Richard Van Klaveren dan Cornelius E. Groessbeek.Maka pada 19 maret 1923 Vereniging “De Pinkstergemente in

Nederlansch Indie” terbentuk tepatnya di Bandung dengan susunan kepengurusan

sebagai berikut:

Ketua : Pdt.D.H.W. Weenik Van Loon

Sekretaris : Pdt. Paulus Bendahara : Pdt.G.Droop

Dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda, tertanggal 4 juni 1924 no 29 tepatnya di Cipanas Jawa barat, kepada “Vereeninging” tersebut di beri hak pengakuan sebagai Badan Hukum. Disamping pengurus diatas yang beratanggung

(18)

jawab terhadap pemerintah Hindia Belanda, beberapa pendeta juga dilantik sebagai pembantu dalam hal menjalankan kepengurusan antara lain adalah: Pdt. F.G Van Gessel, Pdt.F.Van Abkoude, Pdt.Van Klaveren dan istrinya, Pdt.H. Horstman, dan Pdt. M.A.Alt.

Tahun 1942 – 1947. Dengan pecahnya Perang Dunia ke II pimpinan diserahkan kepada orang – orang Indonesia, karena pada waktu itu para warga Belanda telah di kembalikan ke negaranya seiring dengan kekalahan Belanda terhadap Jepang di Indonesia. Maka dengan keadaan tersebut terbentuklah kepengurusan yang disebut dengan Badan Pengoeroes Oemoem ( B.P.O ) dengan sususan sebagai berikut:

Ketua : Pdt.H.N.Runkat

Sekretaris : Pdt.S.I.P.Lumoinding Bendahara : Pdt.Soeprapto

Kepengurusan ini bertahan hingga selesainya pendudukan Jepang di Indonesia dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1949 kepengurusan ini baru melakukan musyawarah untuk membentuk kepengurusan yang lebih matang lagi.

Pada Tahun 1949, dalam Musyawarah Nasional yang diadakan di Solo kepengurusan terbentuk akan tetapi tidak ada perubahan dalam susuna pengurus inti. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kaderisasi dalam segi kepemimpinan bagi generasi baru organisasi Gereja pantekosta di Indonesia selain itu juga karena masih baru berdiri sehingga para pengurus lebih mengutamakan penyebaran injil pantekosta

(19)

dari pada mematangkan organisasi sehingga kepengurusan tersebut bertahan hingga Tahun 1953.

Pada tahun 1953, dalam Musyawarah Besar Nassional yang diadakan di Malang pematangan Organisasi di bahas seiring dengan pekabaran injil Pantekosta yang semakin berkembang, maka lahirlah beberapa keputusan penting yakni: Badan Pengoeroes Oemoem ( B.P.O ) disesuaikan dengan kaidah Indonesia yang baru yaitu menjadi Badan Pengurus Umum dan kemudian membentuk Majelis Agung yang terdiri dari 24 orang, fungsinya untuk mengkordinir jalannya kepengurusan Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia serta pengurus harian. Akan tetapi yang menjabat kepengurusan inti masih kepengurusan yang lama hanya terjadi pertukaran ditubuh bendahara dan sekretaris yang awalnya sekretaris dijabat oleh Pdt.S.I.P.Lumoindong digantikan oleh Pdt.R.M Soeprapto yang awalnya menjabat sebagai Bendahara demikian juga posisi bendahara dijabat oleh Pdt.S.I.P Lumoindong.

Seiring dengan meninggalnya Pdt.H.N.Runkat yang masih tetap menjabat sebagai ketua,maka pada tahun 1957 maka diadakan Musyawarah Besar Nasional di adakan dimalang dengan susunan sebagai berikut:

Ketua : Pdt.E.Lesnussa

Wakil Keua : Pdt.R.M.Soeprapto Sekjen : Pdt.S.I.P Lumoindong Bendahara : Pdt. Kwee Hok To Komisaris I : Pdt. W.W. Kastanya

(20)

Komisaris II : Pdt. L.A.Pandelaki Komisaris III : Pdt. The Kiem Koi

Kepengurusan ini berlangsung sampai tahun 1961.

Kemudian Musyawarah Besar Nasional kembali di laksanakan di kota Bandung untuk membentuk kepengurusan periode tahun 1961 – 1965. Dengan susunan kepengurusan sebagai berikut:

Ketua : Pdt.E.Lesnussa

Wakil Ketua : Pdt.L.A.Pandelaki Sekjen : Pdt.S.I.P.Lumoindong Bendahara : Pdt.Kwee Hok To Komisaris I : Pdt.W.W.Kastanya Komisaris II : Pdt.L.A.Pandelaki Komisaris III : Pdt.The Kiem Koi.

Tahun 1969 kembali diadakan Musyawarah Besar Nasional yang dilaksanakan dikota Yogyakarta, Musyawarah ini menghasilkan kepengurusan utuk periode 1965 – 1969. Adapun kepengerusan tersebut adalah sebagai berikut:

Ketua : Pdt.E.Lesnussa Wakil Ketua : Pdt.L.A.Pandelaki Sekjen : Pdt.R.G.Sutrisno Bendahara : Pdt.H.Kristianto Komisaris I : Pdt.W.H.Bolang

(21)

Komisaris II : Pdt. W.W. Kastanya Komisaris III : Pdt.J.M.P.Batubara

Kemudian untuk memilih kepengurusan berikutnya, maka Musyawarah Besar Nasional dilaksanakan di Surabaya. Hasilnya terbentuk kepengurusan untuk periode tahun 1969 - 1973 dengan susunan sebagai berikut:

Ketua : Pdt.E.Lesnussa

Wakil Ketua : Pdt.L.A. Pandelaki Sekjen : Pdt.A.H.Mandey Bendahara : Pdt.H.Kristianto Komisaris I : Pdt.W.H.Bolang Komisaris II : Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris III : Pdt.R.M Soeprato Penasehat : Pdt.R.Gideon Sutrisno

Pada tanggal 8 november 1969 komposisi pengurus pusat berganti dengan meninggalnya Pendeta R.M.Soeprapto, hasilnya adalah sebagai berikut:

Ketua : Pdt.E.Lesnussa

Wakil Ketua : Pdt.L.A.Pandelaki Sekjen : Pdt.H.Kristianto Komisaris I : Pdt.W.H.Bolang Komisaris II : Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris III : Pdt.B.Manoah

(22)

Penasehat : Pdt.R.Gideon Sutrisno

Kemudian pada tanggal 8 Agustus 1970 dengan meninggalnya Pendeta E.Lesnussa maka terjadi susunan Pengurus Pusat sebagai berikut:

Ketua : Pdt.L.A.Pandelaki

Wakil Ketua : Pdt.W.H.Bolang Sekjen : Pdt.A.H.Mandey Bendahara : Pdt.Kristianto Komisaris I : Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris II : Pdt.B.Manoah

Penasehat : Pdt.R.Gideon Sutrisno

Akan tetapi pada tanggal 8 Februari 1973 terjadi lagi perobahan kepengurusan dengan susunan sebagai berikut:

Ketua : Pdt. W.H. Bolang

Sekjen : Pdt.A.H. Mandey Bendahara : Pdt. H. Kristianto Komisaris I : Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris II : Pdt.B.Manoah

(23)

Selanjutnya Msyawarah Besar Nasional dilaksanakan lagi dikota Batu untuk membentuk kepengurusan baru yang menghasilkan susunan kepengerusan tersebut untuk menjalankan keperiodean tahun 1973 – 1976 dngan susunan sebagai berikut:

Ketua : Pdt.W.H.Bolang

Wakil Ketua : Pdt.R.Gideon Surisno Sekjen : Pdt.A.H.Mandey Bendahara : Pdt.M.F.Da Costa Komisaris I : Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris II : Pdt.S.Sriyoto Komisaris III : Pdt.L.A.Pandelaki

Untuk keperiodean berikutnya kepengurusan tidak banyak yang berubah, dalam masa jabatan tahun 1976 – 1980 hasil Musyawarah Besar Nasional hanya mengganti Komisaris II yang sebelumnya di jabat oleh Pdt.S.Sriyoto kemudian digantikan oleh Pdt.TH.Itaar.

Dalam Musyawarah Besar Nasional berikutnya di Jakarta maka system pengorganisasian telah mulai diterapkan guna mendukung Program Kerja yang sesuai dengan kebutuhan Organisasi Gereja Pantekosta Pada waktu itu. Adapun kepengurusan yang baru untuk keperiodean tahun 1980 – 1984 adalah sebagai berikut:

Ketua Umum : Pdt.A.H.Mandey

(24)

Ketua II : Pdt.J.M.P.Batubara

Sekjen : Pdt.E.N Soriton

Wakil Sekjen : Pdt.S.Siyotno

Bendahara : Pdt.M.F.Da Costa

Departemen – departemen

Kerohanian : Pdt.J.Rompas

Organisasi : Pdt.H.E.Karundeng

Kesejahteraan : Pdt.J.K.Siwi

Kebutuhan dalam kepengurusan semakin benyak khususnya dalam menjangkau seluruh wilayah Indonesia serta untuk menggali potensi – potensi internal seluruh Anggota ataupun Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia maka Musyawarah Besar Nasional yang diadakan kembali di Jakarta kemudian menghasilkan penambahan di bidang departemen utuk keperiodean 1984 – 1988 dengan susunan kepengurusan sebagai berikut:

Ketua Umum : Pdt.A.H.Mandey

Ketua I : Pdt.J.M.P.Batubara

Ketua II : Pdt.E.N.Soriton

Sekertaris Umum : Pdt.J.K.Siwi

Wakil Sekertaris Umum : Pdt.M.D.Wakkary

Bendahara : Pdt.M.F.Da Costa

(25)

Departemen – departemen

Penginjilan : Pdt.D.A.Supit

Pembangunan warga jemaat : Pdt.S.Sriyoto

Pendidikan dan Latihan : Pdt.Th.Karunia Djaya Diakonia dan Keuangan : Pdt.M.Ph.Bolang Organisasi dan komunikasi : Pdt.W.J.Bangguna

Musyawarah Besar Nasional untuk membentuk kepengurusan Baru dalam periode tahun 1988 – 1990 kembali diadakan di Jakarta. Musyawarah ini kembali menetapkan kepengurusan baru yang komposisinya masih didominasi oleh para pengurus lama namun ditambah beberapa orang baru dalam kepengurusan dengan susunan sebagai berikut:

Ketua Umum : Pdt.A.H Mandey

Ketua I : Pdt.E.N. Soriton

Ketua II : Pdt.J.M.P.Batubara

Sekretaris Umum : Pdt.M.D.Wakkary

Wakil Sekretaris Umum : Pdt.H.O.H.Awuy

Bendahara : Pdt.M.F.Da Costa

Wakil Bendahara : Pdt.J.K.Siwi

Departemen - departemen

Pengembalaan : Pdt.S.Sriyoto

(26)

Pendidikan : Pdt.T.H.Karunia Djaya Pelayanan Warga Jemaat : Pdt.W.J.Bangguna Organisasi dan Humas : Pdt.R.T.Kastanya Penatalayanan dan Dana : Pdt.M.Ph.Bolang Hubungan Luar Negri : Pdt.D.A.Supit

Dalam setiap melakukan Musyawarah Besar Nasional setiap Majelis Daerah sertas Majelis Wilayah harus mengirimkan delegasinya yang terdiri dari pengurus inti tiap daerah maupun tiap wilayah, dalam pelaksanaannya Musyawarah Besar Nasional terlebih dahulu diadakan Kebaktian Kebangunan Rohani ( KKR ) yang kemudian dilanjutkan dengan rapat plano yang didahului pertanggungjawaban para pengurus lama kemudian ditutup dengan pemilihan kepengurusan yang baru.

Dalam AD/ART pemilihan pengurus tidak ada batasan dalam menjabat sebuah jabatan, jika seseorang berkompeten dalam memangku jabatannya maka dia tidak akan digantikan kecuali atas permintaan sendiri maupun halangan – halangan seperti halnya faktor usia, dan penyakit. Akan tetapi seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi pengurus akan terlebih dahulu melakukan Doa semalaman dengan para calon yang lainnya hal ini bertujuan untuk menjaga supaya tidak ada unsur “kedagingan”17

17

kehidupan yang masih di sertai kebiasaan-kebiasaan sebelum mengalami pertobatan misalnya: mementingkan diri sendiri, kesombongan,keangkuhan, pencederaan, materialis seperti yang tertulis dalam kitab Galatia 5:19-21.

(27)

berdasarkan voting yang dilakukan seluruh peserta yang hadir saat Musyawarah Besar Nasional berlangsung terutama utusan daerah dan utusan wilayah.18

2.3. Arti dan Logo Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia

Sebagai sebuah organisasi, Gereja Pantekosta di Indonesia mempunyai logo tersendiri. Hal ini bertujuan untuk hal-hal yang menyangkut administrasi dan lain sebagainya. Gambar dan logo tersebut adalah sebagai berikut:

Sumber: Majelis Pusat GPdI tahun 1990.

Adapun arti logo tersebut adalah:

18

(28)

• Salib: merupakan kuasa Kebangkitan, Pengawal, Pengawas dan Perlindungan Gereja Tuhan.

• Burung: Kuasa Roh Allah yang kudus sebagai kekuatan yang memimpin jemaat Gereja Tuhan menuju Kesempurnaan.

• Alkitab Terbuka: Rahasia kebenaran Firman Tuhan yang akan diberitakan oleh segenap jajaran GPdI agar banyak jiwa-jiwa di selamatkan.

• Cincin bertuliskan GPdI: Persekutuan dan ikatan kasih keluarga besar GPdI, mulai dari sidang jemaat, Penginjil-penginjil di manapun berada dalam menunaikan misinya masing-masing bagi hormat dan Kemulian Tuhan.

• Air bening yang turun: Turun Firman Tuhan sebagai “Air Kehidupan” yang menyegarkan dan memberi hidup bagi yang meminumnya.

• Bingkai Empat Persegi Tegak: Sebagai empat penjuru arah mata angin, yang berarti pula bahwa misi GPdI harus menyebar ke segala arah dan tempat dengan sikap yang tegak dan tegar.

(29)

2.4. Masuknya Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di kabupaten Dairi

Pada Tahun 1939 Pendeta A.E. Siwi membawa Pekabaran injil aliran Pantekosta Ke Sumatera Utara dan mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani, sejak saat itu Lahirlah pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia yang berawal di daerah Padang Bulan ( Kemudian sekarang dinamakan Jalan S.Parman, sebagai Pendetanya adalah Pendeta Wakkary), namun Sebelumnya pada Tahun 1936 seorang bekas pelaut Belanda de Twelef de Provinsi bermarga Purba yang lebih dahulu telah menerima ajaran Pantekosta di Surabaya dan mendirikan GPdI maka sejak saat itulah lahirnya penginjil baru dari tanah karo, yang selanjutnya menjadi Pendeta M. Sinukaban dan pendeta Sinuhaji.

Pekabaran injil Pantekosta secara tidak langsung menyebar keberbagai seluruh daerah di Sumatera Utara pada tahun 1938 Paul Counstan Simanjuntak membawa pekabaran Pantekosta kedaerah Tapanuli tepatnya di kota Balige yang melahirkan berdirinya Pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia di daerah tersebut. Untuk melanjutkan penyebaran ajaran Pantekosta di daerah Tapanuli Pendeta Paul Counstan Simanjuntak dibantu oleh Lukas Siburian, W.F. Siahaan dan Renatus Siburian.

Ajaran Pantekosta dibawakan oleh S.B.Sigalingging dan J.Manalu ke Tanah Dairi setelah mereka mendapat pengajaran di kota siantar, ajaran Pantekosa ini pertama kali di kenalkan di desa Bintang yang pada waktu itu mayoritas penduduknya adalah agama Islam dengan tujuan untuk menjalankan misi ajaran

(30)

Pantekosta yang menekankan pemberitaan injil kepada daerah yang belum dijangkau Gereja ataupun yang belum mengenal ajaran Kristen.

Pada tanggal 22 agustus 1949 maka kebaktian pertama dilaksanakan di daerah Bintang, berawal dari lima orang simpatisan kegiatan penginjilan Pantekosta sudah mulai mendapat respon dari masyarakat desa Bintang, kemudian lambat laun banyak warga yang bersedia menerima ajaran pantekosta meskipun awalnya mereka belum tau sama sekali bagaimana ajaran dari pantekosta itu. Desa Bintang menjadi tempat persinggahan pekabaran injil Pantekosta di sebabkan kurangnya peranan Agama bagi masyarakatnya dimana kebiasaan masyarakatnya selalu di identikkan dengan kebiasaan minum tuak (nira). Kebiasaan ini muncul karena daerah Bintang merupakan penghasil tuak di daerah Dairi.19

Pelayanan serta cara bersosialisasi pendeta S.B. Sigalingging serta pendeta J.Manalu menarik simpatik warga kedua penginjil ini membuat warga Bintang terkesan, karena sambil menyebarkan injil mereka berdua juga menawarkan jasa untuk sekedar membersihkan ladang ataupun memanen tanpa di gaji.

20

Di samping antusias warga Bintang ada juga hambatan yang mengakibatkan penyebaran injil pantekosta terhalang di desa Bintang, warga yang bersedia menerima ajaran pantekosta merupakan warga jemaat aliran protestan yang telah berkembang di desa Bintang. Sehingga terjadilah dialog yang dilakukan oleh pendeta S.B.

19

E. K. Siahaan, dkk, Survei Monograpi Kebudayaan Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi, Medan: Proyek Rehabilitasi dan perluasan Museum Sumatera Utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, 1978, hal.121.

20

(31)

Sigalingging dan Pendeta J. Manalu dengan pengurus gereja protestan setempat, Lahirlah kesepakatan bahwa atas dasar kekristenan setiap warga berhak memilih organisasi gereja yang membuat ataupun bisa membangun kerohanian serta ke imanannya bisa tumbuh. 21

21

Hasil wawancara dengan Bapak Husor Manik mantan Kepala Desa Bintang periode Tahun 1960-1965, tanggal 23 September 2010, Pukul 15.00. Wib.

Pertumbuhan jemaat di desa Bintang terus berkembang, pada bulan desember meski tergolong sedikit sekitar 25 orang yang terdiri dari anak-anak dan dewasa melaksanakan natal atas nama Gereja Pantekosta di Indonesia, dan pada bulan itu juga Kebaktian Kebangunan Rohani yang di hadiri oleh para penginjil pantekosta dari Medan untuk mengenalkan injil pantekosta di Dairi. Kebaktian Kebangunan rohani ini cukup membuahkan hasil banyak orang yang secara rohaniah kekristenannya merasa terpuaskan dengan penginjilan serta ajaran Pantekosta.

Perkembangan awal di desa Bintang memacu semangat Pendeta S.B.Sigalingging serta J.Manalu dalam menyebarkan ajaran Pantekosta, sehingga kedua penginjil ini membagi daerah Dairi dan berpencar dalam hal menyebarkan ajaran Pantekosta. Supaya lebih dekat dengan pelayanan serta keluarga Pendeta S.B.Sigalingging membuka daerah pelayanan dari Sidikalang kearah Parbuluan dan pendeta J.Manalu memilih daerah Parongil kearah tiga lingga. untuk pelayanan yang telah ada di desa Bintang sebelumnya tetap di jaga dengan menetapkan kota sidikalang sebagai pusat utama pelayanan.

(32)

Kemudian pekabaran injil Pantekosta masuk kedaerah Tiga lingga yang dibawakan oleh Pendeta J. Manalu tepatnya pada Tahun 1952. Pendeta S.B. Sigalingging dan Pendeta J. Manalu selalu melakukan penyebaran ajaran Pantekosta dari desa ke desa yang ada di kabupaten Dairi. Berkat kegigihan mereka maka aliran Pantekosta mulai di terima masyarakat Dairi dan mulai bertumbuh serta berkembang. Dari hasil pelayanan mereka selama tujuh tahun membuka pelayanan serta merintis Gereja Pantekosta di Indonesia, telah berdiri sekitar 15 buah gedung Gereja Pantekosta di Kabupaten Dairi yang tersebar di daerah : desa Bintang, Desa Sigalingging, Desa Laehole, Desa Sidikalang, Desa Silumboyah, Desa Tigalingga, Desa Hutagugun, Desa Juma Togu, dan Desa Parongil.

Akan tetapi disamping itu beberapa penginjil pantekosta menyusul membuka pelayanan di Kabupaten Dairi yang merupakan Pendeta dari Luar Dairi seperti halnya Pendeta T. Ginting yang awalnya membuka pelayanan di daerah Tanah Karo tahun 1952 memutuskan untuk membuka pelayanan di daerah Dairi. meski sama-sama bernaung dibawah oraganisasi GPdI akan tetapi sangat perlu adanya koordinasi di tingkatan para pengabar Injil Pantekosta tersebut. Dengan usulan Pendeta S.B. Sigalingging dan Pendeta J. Manalu maka tanggal 5 Agustus Tahun 1965 terjadilah pertemuan yang dinamakan pertemuan Hamba – hamba Tuhan Gereja Pantekosta di Indonesia yang diadakan di J.l Batu Kapur Sidikalang, dari hasil pertemuan ini maka lahirlah beberapa keputusan penting yaitu :

a. Dibentuknya Majelis Wilayah kabupaten Dairi dengan susunan kepengurusan awal antara lain:

(33)

• Ketua: Pendeta S.B. Sigalingging, • Sekertaris : Pendeta J. Sihombing, serta • Bendahara : Pendeta J. Manalu.

b. Penetapan garis pelayanan antar daerah – daerah yang ada di kabupaten Dairi sehingga ada kesepakatan ditingkatan para Pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia pada waktu Itu mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani yang akan dilaksanakan satu kali dalam sebulan tujuannya adalah supaya seluruh daerah yang belum menerima ajaran Pantekosta yang ada di kabupaten Dairi dapat terjamah.

c. Melakukan sosialisasi terhadap Pemerintah Kabupaten Dairi serta Prangkat- prangkat desa agar mengetahui bahwa Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia telah berdiri di Dairi supaya tidak ada kendala secara administrasi ketika ada kebutuhan – kebutuhan tertentu baik dengan pihak pemerintah.22

Semangat penyebaran ajaran pantekosta di kalangan para pendeta membuahkan hasil berkat kegigihan merekalah maka secara lambat laun ajaran pantekosta di terima dikabupaten Dairi dan mulai di kenal masyrakat Dairi secara luas.

22

Notulensi Pertemuan hamba-hamba Tuhan GPdI wilayah Dairi di Sidikalang tanggal 5 Agustus tahun 1965 Pukul 20.00 Wib.

Referensi

Dokumen terkait