• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Gereja Pantekosta Di Indonesia Di Kabupaten Dairi (1949-1990)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perkembangan Gereja Pantekosta Di Indonesia Di Kabupaten Dairi (1949-1990)"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA

DI KABUPATEN DAIRI (1949-1990)

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA : ELIM SIGALINGGING

NIM : 050706014

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

PERKEMBANGAN GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA

DI KABUPATEN DAIRI (1949-1990)

O

L

E

H

NAMA : ELIM SIGALINGGING

NIM : 050706014

Pembimbing

Dra. Nurhabsyah, M.Si

NIP 195912311985032005

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PERKEMBANGAN GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA

DI KABUPATEN DAIRI (1949-1990)

Yang diajukan oleh:

Nama: ELIM SIGALINGGING

NIM: 050706014

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing

Dra. Nurhabsyah, M.Si tanggal…… Desember 2010

NIP 195912311985032005

Ketua Departemen Sejarah

Dra. Fitriaty Harahap, S.U tanggal…… Desember 2010

NIP 195406031983032001

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen

Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP 195406031983032001

(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada : Tanggal : Hari :

Fakultas Sastra USU Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A NIP

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1 ( )

2 ( )

3 ( )

4 ( )

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta karunia-Nya yang dilimpahkan dengan memberikan kesehatan, ketabahan serta ketekunan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini mulai dari awal sampai selesai. Adapun penulisan ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi program sarjana Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengangkat permasalahan tentang perkembangan Gereja dalam kajian Ilmu Sejarah. Skripsi ini diberi judul “Perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia di Kabupaten Dairi

(1949-1990)an.”

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah berupaya semaksimal mungkin dengan kemampuan penulis yang sangat terbatas. Karena itu penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi nantinya.

Medan, Desember 2010 Penulis

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini bukanlah semata-mata hasil jerih payah dari penulis sendiri, tetapi juga sangat banyak kontribusi pemikiran dari para pembimbing dan staf pengajar Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa dukungan dan motifasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan tulus dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Ayahanda tercinta Manat Sigalingging dan Ibunda tersayang Rolina Silitonga yang telah merawat, membesarkan dan mendidik penulis dari lahir hingga dewasa dengan segala kasih dan sayangnya tanpa mengenal lelah dan selalu dengan ketulusan yang dalam.

2. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara beserta Staf yang telah berkenan menerima dan member kesempatan serta fasilitas kuliah kepada penulis selama kuliah di Fakultas Sastra USU.

3. DR. Drs. Syahrol Lubis, M A. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

4. Dra. Fitriaty Harahap S. U dan Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu sejarah Fakultas Sastra USU.

(8)

6. Dra. Nurhabsyah, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini atas segala ketekunan, kesabaran dan kemauan serta rela meluangkan waktunya untuk membimbing dan memperbaiki naskah skripsi ini hingga selesai.

7. Bapak dan Ibu dosen di Departemen Ilmu Sejarah atas segala bekal ilmu yang telah diberikan sehingga memungkinkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Abang, Kakak dan kedua Adik penulis yang terkasih beserta seluruh keluarga besar penulis yang terus memberikan dukungan dan doa selama masa perkuliahan penulis.

9. Sahabat-sahabat penulis di jurusan Ilmu sejarah Stambuk 2005 maupun junior serta senior Stambuk penulis terkhusus kepada Halasson Marganda Tua Sitompul, M. Rasyid Sinaga, Febri Mendrofa, Iunita Simanjuntak, Jogi Simanjuntak, Sere Murni Gultom, Jomenda Tarigan, Marco Limbong, Odoranta Sembiring, Aprianta Ginting, yang memberikan bantuan, dukungan, dan semangat selama masa perkuliahan.

10.Kepada seluruh informan saya yang telah bersedia saya wawancarai.

(9)

Budiarti, Yudha wirabuana, Philip Silitonga, Alpa Imanuel Sitompul, Doly Insan Gunawan, Poly rolensius, yang telah banyak memberikan perhatian serta bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Sahabat-sahabat penulis yang ada di jalan Mesjid Shyuhada dan jalan Bahagia: Harry Sinaga, Silvie Silaen, dan Rizal Sihotang yang telah berbagi suka, rasa dan duka selama tinggal bersama Penulis.

(10)

ABSTRAK

Gereja Pantekosta di Indonsia merupakan oraganisasi Gereja yang ada di Indonesia dengan mengutamakan ajaran Pantekosta (injil sepenuh) dalam penyebarannya untuk meningkatkan kualitas iman orang Kristen di kabupaten Dairi. Kehadirannya di Kabupaten Dairi tidak terlepas dari perkembangan Agama Kristen sebelumnya yang telah masuk dari misionaris-misionaris Belanda maupun Jerman pada masa pemerintahan kolonial serta penginjilan yang dilakukan oleh kaum Pantekosta dari Amerika yang kemudian di terima dan di kembangkan oleh masyarakat Indonesia hingga daerah Kabupaten Dairi.Penelitian ini dilakukan di daerah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang diawali dengan pengumpulan data historis yang berkenaan dengan objek penelitian (heuristik) dan dilanjutkan dengan kritik sumber. Selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap data yang telah dikritisi tersebut, dan akhirnya dilakukan penulisan (Historiografi). Sehingga hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi kalangan yang ingin mengetahui bagaimana keberadaan Gereja Pantekosta di Indonesia di daerah Kabupaten Dairi.

Adanya Gereja Pantekosta dI Indonesia di Kabupaten Dairi turut ambil bagian dalam membangun tatanan sosial masyarakat Dairi sehingga masalah-masalah kesenjangan sosial dapat diminimalisir, perkembangannya untuk memajukan masyarakat Dairi khususnya bagi pertumbuhan iman dalam masyarakat kristen Dairi. Hubungan Gereja Pantekosta di Indonesia dengan pemerintah, organisasi gereja serta wadah keagamaan lainnya untuk menjalin komunikasi bagaimana dialog keselarasan dapat tercipta bagi masyarakat Dairi dalam menjaga stabilitas serta ke pluralisasian masyarakat Dairi.

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMAKASIH DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.4. Tinjauan Pustaka ... 11

1.5. Metode Penelitian ... 12

BAB II LATAR BELAKANG MASUKNYA GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA dI KABUPATEN DAIRI 2.1. Sejarah Ringkas Gereja Pantekosta di Indonesia ... 14

2.2. Struktur Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia ... 25

2.3. Arti dan Logo Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia ... 40

2.4. Masuknya Gereja Pantekosta di Indonesia di Kabupaten Dairi ... 42

BAB III PERKEMBANGAN GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA dI KABUPATEN DAIRI 3.1. Dinamika Penyebaran ajaran Pantekosta di Kabupaten Dairi ... 47

3.2. Gereja GPdI di Berbagai Daerah di Kabupaten Dairi... 50

3.3. Masa Stagnan Penyebaran Gereja GPdI di Kabupaten Dairi ... 54

3.4. Berkembangnya Kembali Gereja GPdI di Kabupaten Dairi ... 61

BAB IV PERANAN GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA BAGI MASYARAKAT DAIRI 4.1. Peranan Gereja Pantekosta di Indonesia Dalam Kehidupan Masyarakat Dairi ... 80

(12)

ABSTRAK

Gereja Pantekosta di Indonsia merupakan oraganisasi Gereja yang ada di Indonesia dengan mengutamakan ajaran Pantekosta (injil sepenuh) dalam penyebarannya untuk meningkatkan kualitas iman orang Kristen di kabupaten Dairi. Kehadirannya di Kabupaten Dairi tidak terlepas dari perkembangan Agama Kristen sebelumnya yang telah masuk dari misionaris-misionaris Belanda maupun Jerman pada masa pemerintahan kolonial serta penginjilan yang dilakukan oleh kaum Pantekosta dari Amerika yang kemudian di terima dan di kembangkan oleh masyarakat Indonesia hingga daerah Kabupaten Dairi.Penelitian ini dilakukan di daerah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang diawali dengan pengumpulan data historis yang berkenaan dengan objek penelitian (heuristik) dan dilanjutkan dengan kritik sumber. Selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap data yang telah dikritisi tersebut, dan akhirnya dilakukan penulisan (Historiografi). Sehingga hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi kalangan yang ingin mengetahui bagaimana keberadaan Gereja Pantekosta di Indonesia di daerah Kabupaten Dairi.

Adanya Gereja Pantekosta dI Indonesia di Kabupaten Dairi turut ambil bagian dalam membangun tatanan sosial masyarakat Dairi sehingga masalah-masalah kesenjangan sosial dapat diminimalisir, perkembangannya untuk memajukan masyarakat Dairi khususnya bagi pertumbuhan iman dalam masyarakat kristen Dairi. Hubungan Gereja Pantekosta di Indonesia dengan pemerintah, organisasi gereja serta wadah keagamaan lainnya untuk menjalin komunikasi bagaimana dialog keselarasan dapat tercipta bagi masyarakat Dairi dalam menjaga stabilitas serta ke pluralisasian masyarakat Dairi.

(13)

BAB I

PENDAHALUAN

1. Latar Belakang

Dengan mencatat besarnya jumlah organisasi gereja di Indonesia, serangkaian pertanyaan akan segera muncul. Apakah semua itu merupakan produk dari “kreativitas” gereja-gereja dan masyarakat Kristen Indonesia? atau apakah itu asli khas Indonesia atau merupakan barang “impor” dari luar yang dibawa ke Indonesia. Oleh karena itu, perlu ditelusuri asal-usul berbagai organisasi gereja tersebut maupun dalam rangka melacak dan mengidentifikasi aliran atau paham yang mereka anut dari banyaknya organisasi gereja yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Salah satu yang akan dibahas adalah aliran Pantekosta dengan berdirinya Gereja Pantekosta di Indonesia.

Gereja Pantekosta di Indonesia atau yang biasa disebut (disingkat) GPdI1

1

Nama Gereja Pantekosta di Indonesia merupakan terjemahan dari Pinksterkerk in Nederlandsch Indie, kata “di” ditulis dalam huruf kecil merupakan bagian dari nama organisasi yang telah disetujui dalam Anggaran Dasar Gereja Pantekosta di Indonesia yang tertuang dalam Bab satu pasal 2.

(14)

sudah terjebak hanya pada masalah rutinitas dan lembaga yang kuat sehingga nilai-nilai pembaharuan rohani terbengkalai.

Diawali oleh pendeta Charles Fox Parham yang lebih mengutamakan Injil dalam pelayanannya, maka lahirlah aliran Pantekosta yang merupakan aliran Kristen yang menerapkan tentang peranan dan karunia Roh Kudus. Pantekosta adalah perayaan hari turunnya Roh Kudus sesudah kenaikan Yesus Kristus ke Sorga. Hal inilah yang membuat Charles Fox Parham menamakan aliran yang dikembangkannya sebagai aliran Pantekosta karena Ia meyakini bahwa setiap orang yang percaya perlu adanya kepenuhan Roh Kudus.2

Misionaris Pantekosta yang datang ke Indonesia itu adalah Richard Van Klaveren serta isterinya Cristine Van Klaveren, Cornelius E Groesbeck beserta dua

Charles Fox Parham kemudian mendirikan Bethel Bible School (Sekolah Alkitab Bethel) dan Ia menekankan penyebaran ajaran Pantekosta dalam pendidikan sekolah Alkitab tersebut. Yang menguatkan bahwa Gerakan Pantekosta telah lahir adalah ketika Charles Fox Parham memimpin siswa-siswanya berdoa dan kemudian seorang siswa yang bernama Agnes Ozman dipenuhi Roh Kudus. Setelah kejadian ini, Charles Fox Parham menghimbau seluruh siswanya untuk menyebarkan ajaran Pantekosta ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran ajaran Pantekosta mengalami perkembangan yang luar biasa, sehingga pada tahun 1921 ajaran Pantekosta telah tiba di Indonesia.

2

(15)

orang anaknya yaitu Yenny dan Corry. 3

Pada tanggal 4 Juni 1924, pemerintah Hindia Belanda mengakui ajaran Pantekosta dengan nama “De Pinkster Gemeente in Nederlandsch Indie” sebagai sebuah Vereniging (perkumpulan) yang sah dan karena perkembangannya ada hampir di seluruh wilayah Nusantara, maka pada tanggal 4 Juni 1937 pemerintah Hindia

Sebagai penginjilan mula-mula, Richard Van Klaveren dan kawan-kawan memulai penyebaran ajaran Pantekosta di Bali kemudian beralih ke Surabaya pada tahun 1923, di dua daerah tersebut ajaran Pantekosta kurang mendapat respon karena banyaknya kendala yang dihadapi seperti halnya di Bali Richard Van Klaveren dituduh sebagai mata-mata dan mendapat protes dari petinggi agama Hindu. Kemudian mereka disuruh pergi oleh pemerintah Hindia Belanda karena menganggap ajaran Pantekosta akan merusak budaya masyarakat Bali.

Kemudian mereka tiba di Surabaya dan langsung menuju kota Cepu pada tahun 1923. Di kota inilah mereka menyebarkan ajaran Pantekosta dan memperoleh jemaat pertama seorang pegawai Belanda yang bernama F.G. Van Gessel. Inilah tonggak lahirnya Gereja Pantekosta di Indonesia berketepatan pada tanggal 30 Maret 1923 merupakan waktu kebaktian pertama yang dilakukan. selanjutnya banyak yang telah menerima ajaran Pantekosta antara lain : H.N. Rungkat, J. Repi, A. Tambuwun, J. Lumenta, E. Lesnusa, G.A. Yokom, R. Mangindaan, W. Mamahit, S.I.P. Lumoindong dan A.E. Siwi yang kemudian menjadi pionir-pionir penyebaran ajaran Pantekosta di seluruh Indonesia.

3

(16)

Belanda meningkatkan pengakuannya kepada pergerakan Pantekosta menjadi “kerkgenootschap” (persekutuan gereja) berdasarkan Staatsblad 1927 Nomor 156 dan 523. Dengan Beslit pemerintah No. 33 tanggal 4 Juni 1937 staatsblad Nomor 768, nama “Pinkster Gemeente” berubah menjadi “Pinksterkerk In Nederlandsch Indie”. Akan tetapi, pada zaman pendudukan Jepang tahun 1942, nama Belanda itu diubah menjadi “Gereja Pantekosta di Indonesia”. 4

Dalam struktur pengorganisasiannya, forum tertingi GPdI adalah Musyawarah Besar (MUBES) yang diadakan 4 tahun sekali. Mubes berfungsi untuk menetapkan Garis Besar Program Kerja (GBPK), memilih dan menetapkan pimpinan tingkat nasional GPdI yang disebut dengan Majelis Pusat. Sebelum Mubes diadakan, maka di setiap daerah diselenggarakan Musyawarah Daerah yang tujuannya mengangkat pimpinan tingkat daerah yang disebut Majelis Daerah. Setiap Majelis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia adalah organisasi gereja yang berdiri sendiri sama seperti organisasi gereja lainnya. Nama Gereja Pantekosta di Indonesia dipakai sebagai wadah organisasi penganut ajaran Pantekosta yang telah tersebar di seluruh Indonesia dengan kantor pusatnya pertama berkedudukan di Bandung, karena di kota inilah SK pemerintah Hindia Belanda tepatnya tanggal 4 juni 1924 dikeluarkan serta pengesahan kepengurusan pertama yang terdiri dari Ketua : Pdt. D.H.W.Weenink Van Loon, Sekretaris : Pdt. Paulus, serta Bendahara: Pdt. G.Droop. Kemudian setelah kemerdekaan bangsa Indonesia kantor pusat di pindahkan ke Jakarta karena daerahnya dianggap lebih sentral hingga saat ini.

4

(17)

menetapkan majelis-majelis wilayah sesuai dengan kebutuhan, dan Majelis Wilayah membawahi gembala-gembala yang menjadi basis utama penggerak penyebaran ajaran pentakosta di seluruh wilayah Indonesia. Gembala adalah Pendeta yang diangkat untuk melayani sebuah sidang jemaat kemudian berhak membentuk dan membawahi tingkat sidang jemaat.5

Sangat sedikit sekali diperoleh bahan-bahan mengenai sejarah dan perkembangan gereja GPdI di kabupaten Dairi, baik dari tulisan-tulisan kita maupun

Di wilayah Sumatera Utara, penyebaran ajaran Pantekosta diawali oleh seorang bekas pelaut kapal belanda “De Twalef de Provinsi” bermarga Purba pada Tahun 1936 membawakan ajaran Pantekosta yang diterimanya di Surabaya ke Tanah Karo. Hasil dari pekabarannya D.M Sinukaban dan Sinuhaji kemudian menjadi penerus penyebar ajaran Pantekosta di wilayah Tanah Karo. Selanjutnya, pada tahun 1938 Paul Counstan Simanjuntak membawa ajaran Pantekosta ke daerah Tapanuli tepatnya di daerah Balige disusul kemudian pada tahun 1939 A.W Siwi menyebarkan ajaran Pantekosta ini di Medan lewat sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Hasil dari penyebaran ajaran Pantekosta ini ditandai dengan berdirinya gedung-gedung Gereja GPdI di setiap daerah yang dimasuki oleh ajaran Pantekosta. Untuk menjaga konsitensi dan kesinambungan penyebaran ajaran Pantekosta Dalam prosesnya, GPdI telah membentuk Majelis Daerah untuk Sumatera Utara serta mendapat persetujuan dari Majelis Pusat.

5

(18)

dari tulisan-tulisan bangsa asing. Dengan kronologis peristiwa di atas, lahirlah sebuah keinginan penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang penyebaran gereja Pantekosta di Indonesia khususnya di Kabupaten Dairi. Akan tetapi, penyebaran ajaran Pantekosta di Kabupaten Dairi sendiri tidak terlepas dari penyebaran-penyebaran di daerah lain serta ajaran Pantekosta itu secara keseluruhan. Namun dalam penginjilan Pantekosta yang dilakukan oleh GPdI tergolong sukses dalam mendapatkan masyarakat yang menjadi penerima ajaran Pantekosta di tanah Dairi.

Pada masa penjajahan Belanda daerah Dairi termasuk salah satu onder afdeling Tanah Batak (Batak Landen) dan pada tahun 1945 dialihkan menjadi salah

satu urung/kewedaan dari Luhak atau kabupaten Tanah Batak atau Tapanuli Utara. Kemudian sejak tahun 1964 menjadi salah satu daerah tingkat II di Sumatera Utara, karena adanya keinginan untuk memisahkan diri dari kabupaten Tapanuli Utara yang telah dimulai sejak tahun 1946.

(19)

berkembang di daerah ini adalah Kristen Protestan dan Katolik. Hal ini ditandai dengan telah berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Sidikalang yakni pada tahun 1908 dan gereja Katolik pada tahun 1936.

Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) masuk ke tanah Dairi Pada tahun 1949 yang dibawa oleh S.B Sigalingging dan J.Manalu yang mendapat pengajaran Pantekosta di Siantar. Mereka memulai penyebaran aliran Pantekosta tepatnya di desa Bintang kemudian mendirikan gereja GPdI di daerah tersebut. Dari daerah inilah kemudian ajaran Pantekosta disebarkan ke daerah-daerah lain, akan tetapi dinamika penyebaran ajaran Pantekosta dengan berdirinya Gereja Pantekosta di Indonesia di kabupaten Dairi mengalami tiga tahapan waktu yakni, tahap pertama ajaran Pantekosta masuk di kabupaten Dairi serta berdirinya gereja GPdI di beberapa daerah Kabupaten Dairi (1949-1965), tahapan kedua merupakan Masa stagnan penyebaran Gereja GPdI di kabupaten Dairi (1966-1970)an, tahap ketiga merupakan masa berkembangnya kembali GPdI (1980-1990)an di kabupaten Dairi. Daerah Sidikalang merupakan pusat dari Kristen Protestan dan Katolik yang terlebih dahulu berkembang di Dairi. daerah-daerah tersebut menjadi basis penyebaran ajaran pantekosta di kabupaten Dairi karena telah mempunyai anggota jemaat yang banyak.

(20)

Pentakosta ini mendapat kesan negatif dari masyarakat dan sering mendapat intimidasi dalam bentuk cemohan karena tata cara beribadahnya yang dianggap aneh. Kemudian para penganut ajaran Pantekosta tidak memakan daging yang dimasak beserta darah yang biasa disajikan dalam menu makanan ataupun dalam upacara adat di tengah masyarakat. Karena dalam ajaran Pantekosta darah itu merupakan nyawa makhluk hidup seperti yang tertulis dalam Kitab Injil.

Penganut ajaran Pantekosta di kabupaten Dairi sebagian besar adalah yang telah menjadi penganut ajaran Kristen yang tergolong dalam aliran Protestan dan penganut ajaran Kristen yang beraliran Katolik, sehingga sering menimbulkan adanya kesalahpahaman dalam masalah keanggotaan. Akan tetapi, untuk menghadapi kondisi yang demikian keputusan diserahkan kepada individu yang bersangkutan untuk memilih dimana dia inigin mengembangkan ibadahnya serta merasa rohaninya bisa tumbuh.

Pada tahun 1965 telah terbentuk Majelis Wilayah Dairi, hal ini didukung perkembangan gereja GPdI di daerah Dairi cukup pesat dan telah berdiri sekitar 15 gedung gereja. Kepengurusan pertama disahkan pada saat Musyawarah Daerah dilaksanakan di Medan dengan susunan kepengurusan Pendeta S.B Sigalingging menjabat sebagai Ketua, Pendeta J.Manalu sebagai Sekertaris dan Pendeta J.Sihombing sebagai Bendahara.6

6

Roemokoij Danny,80 Tahun GPdI (1921-2001) Menyongsong Tuaian Global.Jakarta: 2001, GPdI, hlm. 24.

(21)

penyebaran aliran Pantekosta semakin gencar di daerah Dairi yang berkembang hingga saat ini.

Penelitian ini difokuskan pada pengkajian terhadap Perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia Di Kabupaten Dairi (1949-1990). Adapun periodisasi yang dilakukan dalam penelitian ini untuk membatasi penulisan agar tidak terlalu luas. Penelitian diawali pada tahun 1949 yang merupakan awal masuknya gereja GPdI di daerah Dairi dan pada tahun 1990 menjadi akhir periode penelitian karena seluruh Kecamatan di daerah Dairi telah berdiri gereja GPdI.

2. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas maka dibuatlah suatu perumusan mengenai masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama dalam penelitian. Penelitian ini dibuat untuk membahas GPdI (Gereja Pantekosta di Indonesia) dan perkembangannya di Kabupaten Dairi tahun 1949-1990. Untuk mempermudah tulisan dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana latar belakang masuknya Gereja Pantekosta di Indonesia di kabupaten Dairi?

2. Bagaimana perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia di Kabupaten Dairi?

(22)

3. Tujuan Dan Manfaat

Masa lampau manusia memang tidak dapat ditampilkan kembali dan direkonstruksi seutuhnya. Namun rekonstruksi kehidupan manusia perlu dipelajari sebagai aktivitas kehidupan manusia pada masa lampau yang diharapkan mampu memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia masa kini dan akan datang karena sejarah memberikan dan menjadi pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kesalahan yang sama pada masa lampau di masa kini dan akan datang.

Adapun tujuan dari penelitian / penulisan ini adalah :

1. Mengetahui latar belakang Masuknya Gereja Pantekosta di Idonesia di Kabupaten Dairi.

2. Menjelaskan perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia di Kabupaten Dairi.

3. Menjelaskan peranan Gereja Pantekosta di Indonesia dalam kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Dairi.

Di samping tujuan di atas, juga diharapkan akan menghasilkan manfaat sebagai berikut :

1. Menambah wawasan pembaca mengenai sejarah masuknya GPdI (Gereja Pantekosta di Indonesia) dan perkembangannya di Kabupaten Dairi.

(23)

3. Memberikan motivasi bagi pembaca sebagai bahan bacaan untuk penelitian lanjutan bagi yang ingin meneliti permasalahan yang sama atau yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini.

4. Tinjauan Pustaka

Adapun buku yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini antara lain adalah:

Dalam bukunya Danny Roemokoij yang berjudul “80 Tahun GPdI (1921-1990) Menyongsong Tuaian Global” menjelaskan tentang rangkaian sejarah GPdI di

berbagai daerah Indonesia, tokoh-tokoh serta perkembangan gereja GPdI secara umum dan untuk menambah penulisan tentang GPdI dalam perayaannya yang ke-80 Tahun di Indonesia. Buku ini membantu penulis menjelaskan sejarah GPdI dan perkembangannya khususnya di Sumatera Utara.

Dalam buku Yan S Aritonang yang berjudul “Berbagai Aliran di Sekitar Gereja” menjelaskan bahwa GPdI mempunyai peranan penting dalam menyebarkan

aliran Pantekosta di tengah-tengah masyarakat Indonesia di samping perkembangan aliran Kristen lainnya yang tengah berkembang di Indonesia. Buku ini membantu penulis dalam menjelaskan GPdI sebagai organisasi gereja Kristen yang beraliran Pantekosta.

(24)

GPdI serta mekanisme kepengurusan GPdI. Buku ini sangat membantu penulis karena melalui buku ini penulis dapat mengetahui tentang internal GPdI itu sendiri. Kaitan buku ini dengan penelitian juga untuk menjelaskan latar belakang berdirinya GPdI dengan adanya buku hasil karya manusia sebagai media untuk pembelajaran.

5. Metode Penelitian

Penelitian sejarah mempunyai metode tersendiri dengan menggunakan pengamatan. Penggunaan metode sejarah harus hati-hati.7

Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber

Untuk mendapatkan penulisan sejarah yang deskriptif analitis haruslah melalui tahapan demi tahapan. Tahapan-tahapan itu ada empat bagian yaitu, sebagai berikut :

Tahap pertama, Heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan men-dukung sumber objek yang diteliti. Hal ini menggunakan metode penelitian kepustakaan/studi literatur dan penelitian lapangan/studi lapangan. Dalam penelitian kepustakaan tersebut dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah, artikel-artikel, dan karya tulis yang pernah ditulis sebelumnya berkaitan dengan judul yang sedang dikaji. Kemudian penelitian lapangan akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini, khususnya informan yang merupakan sebagai pelaku sejarah masuknya GPdI di Dairi.

7

(25)

tersebut baik dari segi substansial (isi) yakni dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya, buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan perpustakaan daerah, kritik ini disebut kritik intern. Dan mengkritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keautentikannya, kritik ini disebut kritik ekstern.

Tahapan ketiga adalah interpretasi. Dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisa sehingga melahirkan suatu analisa yang baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek Yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif.

(26)

BAB II

LATAR BELAKANG MASUKNYA GEREJA PANTEKOSTA dI INDONESIA

DI KABUPATEN DAIRI

2.1 Sejarah Ringkas Gereja Pantekosta di Indonesia

Sejarah gereja pantekosta di Indonesia (GPdI) tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan gereja pada umumnya dari zaman ke zaman. Maka untuk menyimak sejarah GPdI, perlulah kita melihat dari awal tentang perjalanan gereja, secara etimologi, kata gereja berasal dari kata igreja (bahasa Portugis),sedangkan jemaat berasal dari kata jemaah (bahasa Arab) kedua kata ini tidak asing lagi dalam pengidentifikasian sebagai orang kristen dan yang masih lazim di gunakan di Indonesia sampai saat ini.8

Terdapat berbagai paham yang berbeda dalam menentukan asal-usul berdirinya gereja dan biasanya paham-paham tersebut didasarkan atas sistim penafsiran Alkitab walaupun berbeda, misalnya penganut Convenan Thealogy menafsirkan bahwa gereja telah di mulai sejak zaman Abraham ( perjanjian Lama) Akan tetapi penggunaan kedua kata itu yaitu gereja dan jemaat dalam bahasa Indonesia tergantung pada tujuan dari pembicaraan, bila memakai kata gereja kebanyakan berkonotasi pada gedung atau organisasi/ denominasi, sementara kata jemaat sering menunjukkan kepada persekutuan anggota gereja/orang-orang yang percaya terhadap ajaran YESUS.

8

(27)

ada pula paham yang menafsirkan bahwa gereja telah dimulai ketika Yesus telah membuat pernyataan seperti yang tertulis di kitab injil Matius 16:18, tafsiran yang lain mengatakan bahwa gereja telah di mulai tatkala Yesus memulai memilih duabelas orang yang menjadi muritnya. Tetapi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) dan kebanyakan aliran lainnya teguh berkeyakinan pada doktrin yang selama ini dianutnya bahwa gereja pertama kali dimulai pada peristiwa pencurahan Roh Kudus dikamar loteng jerusalem, kira-kira pada Tahun 30 sebelum masehi. Akan tetapi pada awal berdirinya gereja bersifat organisasi dan setelah perkembangan yang pesat diabad pertama maka mulai diperluakan sarana/wadah dalam bentuk tempat ibadah sekaligus organisasinya.9

Sejak kaisar Konstantin menerima ajaran kristen, gereja mengalami kemerosotan karena banyaknya kemudahan yang di berikan kepada gereja sehingga para pemuka gereja pada waktu itu terlena dengan kondisi yang demikian. Kemudian kemerosostan gereja ditambah lagi ketika uskup Leo menjadi Uskup yang pertama Setelah gereja mulai di perbincangkan gereja semakin Produktif dalam menambah jemaat-jemaatnya, perkembangan ini awalnya dimulai di yerusalem sekitar abad pertama masehi, dari Yerusalem sentra pengabaran injil perkembangannya kemudian merambah ke wilayah Anthokia dan selanjutnya ke kota Efesus. Penyebaran gereja pada masa itu di motori oleh Paulus yang telah menereima ajaran kristen dan hal ini disebut dengan gereja mula-mula. Meski mendapat tantangan dan kesulitan yang hebat.

9

(28)

pada tahun 440 Masehi, ia mencampurkan injil dengan kepercayaan Romawi. Selain itu juga pada waktu itu Gereja telah mencampuri urusan Politik yang merupakan penyebab utama penurunan kualitas rohani para pemuka gereja. Pimpinan gereja menjadi pimpinan Negara. Gereja tenggelam dan telah memasuki zaman kegelapan, akan tetapi secara fisik gereja tetap ada dalam kemewahan, tetapi buruk secara ke Rohaniannya dan situasi ini pun berlangsung hingga sampai abad ke 15 masehi.

Abad 15 Masehi merupakan abad pemulihan gereja kembali. Pada tahun 1384 Alkitab pertama kali di terjemahkan oleh John Wicliffe yang merpakan seorang mahasiswa dari Universitas Oxford, hal ini di dukung lagi dengan di temukannya mesin cetak pada tahun 1455 oleh Johannes Gutenberg, maka Alkitab dapat di perbanyak dan di terjemahkan. Pada awal abad ke-16 yakni tahun 1517 Martin Luther seorang doktor di bidang studi kitab suci dari agama Roma katolik, tampil sebagai reformator memprotes kondisi gereja yang sudah banyak menyimpang dari ajaran kristen. Akibatnya muncullah kelompok Lutheran yang dimana kelompok ini mencoba menekankan ajaran kristen leibih mengarah kepada pertobatan dan menghimbau agar masyarakat yang menjadai kristen pada masa itu kembali bertobat dan jangan menyimpang dari ajaran kristen. Selain Martin luther muncul ajaran John Calvin pada tahun 1535 yang menitik beratkan ajarannya pada “iman”.

(29)

semangat kebangunan rohani dan juga menitik beratkan ajarannya kepada kesucian hidup. Latar belakang kerohanian Methodis berawal dari semangat dan sebagai reaksi terhadap aliran lutheran dan calvinis yang mulai tenggelam dalam kemapanan dan rutinitas ritual.

Pada tahun 1865 William Booth yang berlatar belakang methodisme mendirikan aliran Bala keselamatan yakni suatu aliran yang mempunyai visi pada masalah sosial. Seiring dengan itu pula muncul aliaran yang menekankan ajarannya pada penginjilan, missionaris, dan kesembuhan illahi, aliran ini dikenalkan oleh Finney dan Moody dengan nama kegerakan Brethern sekitar 1830-1895. memasuki abad ke-20, tepatnya tanggal 01 januari 1901, dalam sebuah kebaktian doa menyambut Tahun baru di topeka, kansas city, yang dipimpin oleh Pdt, Charles fox parham, terjadilah suatu kegemparan ketika Agnes Labere Ozman dipenuhi Rohkudus.10

Gerakan pantekosta adalah lanjutan dari “gerakan kesucian” (holliness Movement) yang mulai lahir dari kelompok Methodis pada dasawarsa 1830-an atau

pertengahan abad ke 19 di USA. Karena keadaan rohani yang sedang mandek di gereja-gereja arus utama yaitu Lutheran dan calvinis.

Inilah awal dari munculnya aliran pantekosta dan mulai menyebar ke seluruh bagian dunia. Maka di abad ke-20 ini melalui adanya gerakan Pantekosta telah menumbuhkan perkembangan gereja yang semakin memurnikan ajaran kristen yang di sebarkannya.

11

10

Ibid ,hlm. 25.

11

Steven H. Talumewo, Gerakan Pantekosta, Yogyakarta: 1988. hlm.6.

(30)

sebelumnya bahwa semangat kerohanian Methodispun di ilhami oleh kelompok “pietiesme” pada abad-abad sebelumnya yang mendambakan kehidupan rohani yang lebih baik dari status quo, karena baik dari aliran Lutheran maupun Calvinis mulai terjebak dalam rutinitas sehingga melembaga dengan kuat dengan nilai-nilai pembaharuan rohani mulai kering.

Pada paruh kedua abad ke 19 muncul banyak kelompok / gerakan pembaharuan yang mendambakan gerakan rohani. Berbagai denominasi baru dari latar belakang “kesucian” mulai berkembang, ada yang tetap loyal kepada gereja methodis tapi ada juga mulai independen dan membentuk organisasi baru antara lain Church of God yang didirikan oleh Daniel S Warner tahun 1880 yang berpusat

dikota Anderson ( ini hanyalah satu diantara beberapa nama gereja Church of God yang lahir menjelang abad ke 20). Selain itu Fire Baptised Holiness Church atau Gereja Kesucian Baptisan Api berdiri Tahun 1895 dengan pemimpinnya B.H Irwin. Kelompok – kelompok ini merupakan mata rantai penting yang menyambungkan gerakan kesucian dengan gerakan pantekosta di abad ke 20.

Charles fox Parham adalah salah satu pendeta di Episcopal Methodis Church yang meninggalkan gereja itu karena dirasakan sudah kurang mementingkan kesucian hidup dan kurang menekankan peranan dan karunia – karunia Roh Kudus serta penyembahan Ilahi.12

12

Saerang, W.D, Op.Cit, hlm.17.

(31)

beliau membuka Sekolah Alkitab Bethel ( Bethel Bible School ) di luar kota Topeka. Pada liburan natal 1900 pendeta Parham mengadakan tour penginjilan keluar kota dan menugaskan para siswa untuk mengkaji kebenaran tentang babptisan Roh Kudus seperti yang tertulis dalam Kitab Kisah Para Rasul 1 dan 2. Penyelidikan ini membuka banyak rahasia tentang perlunya kepenuhan Roh Kudus dan glossolalia bagi setiap orang yang percaya.

Akibanya pada malam pergantian Tahun menjelang 1 januari 1901, ketika mereka sedang berdoa, seorang murid yang bernama Agnes Ozman dipenuhi Roh Kudus sambil berbahasa lidah ketika pendeta pendeta Charles Parham meletakkan tangan keatasnya. Inilah pertama kali Roh Kudus dicurahkan di akhir zaman, menandai lahirnya Gerakan Pantekosta, dan sejak itu sungai roh kudus telah mengalir dengan deras ke seluruh penjuru dunia membawa kemajuan dan kegerakan rohani yang luar biasa, sampai pada tahun 1921 gerakan pantekosta telah tiba di Indonesia.

Misionaris Pantekosta yang datang ke Indonesia adalah Richard van Klaveren dan istrinya serta Cornelius E Groesbeek dan istrinya beserta dua orang anaknya yakni Yenny dan corry. Mereka di utus oleh pendeta W.H Offiler pemipin gereja “ Bethel Tempel” di Seattle, Negara bagian Washington Amerika Serikat. Menurut

catatan, ibu groesbeek meninggal dan dimakamkan di Surabaya pada bulan oktober 1934, dan Rev. Van Klaveren di makamkan di kota Jakarta.

(32)

tiba pada tahun 1512 atau sekitar abad ke 16 Masehi yang di bawakan oleh Portugis kemudian menyebarkannya hampir keseluruh wilayah nusantara. Kemudian menyusul Agama Kristen Protestan yang dibawakan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Akan tetapi dari Lima Agama besar yang tumbuh dan berkembang di Indonesia tidak ada satupun yang asli Indonesia, semuanya import dari luar, sehingga sepatutnya tidak ada yang boleh lebih mengklaim lebih Indonesia dari pada yang lain Karena semua turut membesarkan dan membangun Indonesia.

Termasuk Aliran Pantekosta yang masuk pada Tahun 1921 yakni sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia. Aliran pantekosta pertama dikenalkan di daerah Bali, akan tetapi dalam penyebarannya di daerah tersebut mendapat hambatan – hambatan antara lain para penyebar ajaran Pantekosta tersebut dianggap sebagai mata – mata oleh pasukan belanda dan mendapat pengawalan ketat dari pihak Belanda. Faktor lain adalah, adanya protes dari masyarakat Bali serta pemuka agama Hindu di Bali yang beranggapan bahwa penyebaran Aliran Pantekosta sangat mengganggu dan bisa merusak budaya Bali, maka pada tahun 1923 rev Cornelius Groesbeek dan rev Richard Van Klaveren yang mencoba menyebarkan Aliran Pantekosta tersebut beralih menuju pulau jawa tepatnya di kota Cepu. 13

Di kota tersebut F.G Van Gessel seorang belanda yang bertobat oleh pekabaran injil dan menerima ajaran Pantekosta. Beliau merupakan orang yang menjadi jemaat pertama hasil penginjilan dari rev Cornelius dan rev Richard Van Klaveren, dan berawal dari kesediaannya menerima ajararan pantekosta tersebut

13

(33)

akhirnya menjadi tonggak perkembangan awal aliran Pantekosta di Indonesia. Van Gessel adalah seorang pegawai BPM berkat kedudukannya maka ia memfasilitasi gedung untuk dijadikan tempat kebaktian.

Pekabaran injil yang beraliran Pantekosta pun semakin gencar di lakukan berawal dari lingkungan tempat tinggal F.G Van Gessel kemudian menyebar kedaerah lainnya termasuk kota Surabaya. Banyak orang – orang Indonesia yang menjadi penganut ajaran Pantekosta ini, mereka yang menjadi jemaat mula – mula adalah sebagai berikut H.N Runkat, J.Repi, A.Tambuwun, J.Lumenta, E. Lesnusa, G.A Yokom, R. Mangindaan, W. Mamahit, S.I.P Lumoindong dan A.E. Siwi yang kemudian mereka adalah para penabur benih aliran Pantekosta keberbagai wilayah Indonesia.

Sesuai dengan gagasan Pantekosta mengenai organisasi gereja yang berjiwa kongregasionalistis. Seiring dengan kemajuan organisasi tersebut, ketidakcocokan di

antara pengurus mulai nampak, dengan pokok persoalannya antara lain:

a. Ajaran Yesus Only yang menganggap Nama Yesus meliputi tiga pribadi Trinitas, sehingga pembaptisan cukup kalau dilakukan dalam nama Yesus saja. Ajaran ini dibawa masuk dari Amerika Serikat oleh van Gessel.

b. Ada tidaknya hak seorang perempuan untuk memegang kedudukan kepemimpinan dalam gereja.

c. Hubungan antara jemaat setempat dengan organisasi pusat, misalnya dalam hal milik gereja.

(34)

Keempat faktor tersebutlah yang menyebabkan terjadinya rentetan perpecahan sehingga menyebabkan jumlah gereja Pantekosta dari 1 nama gereja menjadi 25 nama gereja. Ini dapat dilihat dari beberapa pendeta yang keluar memisahkan diri dari organisasi gereja Pantekosta dan mendirikan gereja baru, seperti:

1. J. Thiessen pada tahun 1923 keluar dan mendirikan Pinksterbeweging, kemudian dikenal dengan nama Gereja Gerakan Pentakosta (GGP). 2. M.A. van Alt pada tahun 1931 keluar dan mendirikan De Pinkerster

Zending, kini dikenal dengan nama Gereja Utusan Pentakosta (GUP).

3. F. van Akoude pada tahun 1931 keluar dan mendirikan Gemeente van God, kemudian hari dikenal dengan nama Gereja Sidang Jemaat

Allah.

4. Pdt. D. Sinaga pada tahun 1941 keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Sumatera Utara (GPSU) atau dikenal dengan nama

GPdI-Sinaga.

5. Pdt. Tan Hok Tjwan pada tahun 1946 keluar dan mendirikan Sing Ling Kau Hwee yang kini dikenal dengan nama Gereja Isa Almasih (GIA).

6. Pdt. Renatua Siburian pada tahun 1948 keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Sumatera Utara atau dikenal GPdI Siburian.

7. Pada tahun 1951 beberapa pendeta keluar dan mendirikan Gereja Sidang Jemaat Pentakosta.

(35)

9. Pada tahun 1957 GBIS pecah dan Pdt. G. Sutupo dan Ing. Yuwono mendirikan Gereja Bethel Tabernakel (GBT).

10.Pdt. Ishak Lew keluar pada tahun 1959 dan mendirikan Gereja Pentakosta Pusat Surabaya (GPPS).

11.Pada tahun 1960 GBIS pecah lagi dan Pdt. A. Parera mendirikan Gereja Nazareth Pentakosta (GNP).

12.Pdt. Karel Sianturi dan Pdt. Sianipar pada tahun 1966 keluar dan mendirikan GPSU atau dikenal dengan nama GPdI-Sianturi.

13.Pdt. Korompis keluar pada tahun 1966 dan mendirikan Gereja Pentakosta Indonesia (GPI).

14.Pada tahun 1967 para pemimpin gereja-gereja Pentakosta di Surabaya dan Timor keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Elim (GPE). 15.Pada tahun 1969 GBIS pecah lagi dan Pdt. H.L. Senduk mendirikan

Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan Pdt. Jacob Nahuway mendirikan

GBI Mawar Saron.

16.Pada tahun 1970 Gereja Bethel Tarbernakel pecah dan Ing. Yuwono mendirikan Gereja Pentakosta Tarbernakel (GPT).14

Meskipun perpecahan demi perpecahan terjadi, namun mereka tetap berafiliasi pada satu nama yaitu Pantekosta, sehingga timbul inisiatif untuk menyatukan kembali sikap dan pandangan gereja-gereja beraliran Pantekosta. Hal ini diwujudkan dengan berdirinya Dewan Kerjasama Gereja-gereja Kristen Pantekosta

14

(36)

Seluruh Indonesia (DKGKPSI) dan Persekutuan Pantekosta Indonesia (PPI). Tetapi

pada tanggal 10 September 1979, kedua organisasi tersebut membubarkan diri dan bergabung menjadi satu wadah dengan nama Dewan Pantekosta Indonesia (DPI). Pada Musyawarah Besar (Mubes) I DPI yang diadakan pada tahun 1984, terpilih sebagai Ketua Umum adalah Pdt. W.H. Bolang. Dan pada Mubes II DPI berhasil memilih Pdt. A.H. Mandey sebagai Ketua Umumnya. Dan Pada Mubes DPI III di Caringin, Bogor, terpilih sebagai Ketua Umumnya adalah Pdt. M.D. Wakkary. Hingga saat ini ada sekitar 58 Sinode/organisasi Gereja beraliran Pentakosta yang bergabung dalam DPI.15

Meskipun sudah mengalami perpecahan beberapa kali, namun GPdI tetap merupakan gereja Pantekosta yang terbesar di Indonesia. Di antara Gereja-gereja Pantekosta yang terbesar lainnya terdapat Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Sidang Jemaat Allah. Ada beberapa gereja Pantekosta yang sudah masuk menjadi anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), seperti Gereja Isa Almasih, Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, dan Gereja Gerakan Pantekosta. Jumlah anggota seluruh gereja Pantekosta di Indonesia lebih kurang dua juta. Hal ini berarti, bahwa Gerakan Pantekosta meliputu 10% seluruh umat Kristen di Indonesia

15

(37)

2.2 Struktur Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia

Forum tertinggi dalam Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) ialah Musyawarah Besar yang diadakan 4 tahun sekali. Musyawarah besar ini berfungsi untuk memilih pimpinan tingkat nsional serta menetapkan Garis Besar Program Kerja (GBPK), dalam susunan kepengurusannya pimpinan tingkat nasional disebut dengan Majelis pusat. Majelis Pusat beranggotakan 24 orang yang di bagi dalam menjabat dan pelaksana tugas sesuai dengan ketetapan hasil Musyawarah Besar.

Adapun jabatan dan tugas tersebut adalah sebagai berikut: 1 orang menjabat sebagai ketua umum, 4 orang menjadi ketua, 1 orang menjabat sebagai Sekertaris Umum, 3 orang menjadi sekertaris, 1 orang Bendahara Umum, 2 orang bendahara, dan 12 orang menjabat sebagai pimpinan departemen, yaitu: Deparetemen penginjilan, Departemen pengembalaan, Departemen Penginjilan dan Pengajaran, Departemen Pengorganisasian, Departemen Diakonia Sosial dan Pembangunan, Departemen Pelayanan Wanita, Departemen pelayanan Anak, Departemen Pelayanan Pemuda, Departemen Pelayanan Pria, Departemen pengembangan jemaat dan luar negri, Departemen External, serta Departemen literature dan media massa.

(38)

(FKHT), Komisi Pusat Penginjilan (KPP) ditambah 2 badan lainnya yaitu Badan Penelitian Pengembangan (BALITBANG) serta dewan curator SA/STA.16

Majelis daerah 11 yaitu: Daerah Kalimantan Barat, Majelis Daerah 12 yaitu: Daerah Kalimantan Tenggara, Majelis Daerah 13 yaitu: Daerah Kalimantan Timur, Majelis Daerah 14 yaitu, Daerah Sulawesi Selatan, Majelis Daerah 15 yaitu: Daerah Sulawesi Utara, Majelis Daerah 16 yaitu: Daerah Sulawesi Tenggara, Majelis Daerah 17 yaitu: Daerah Gorontalo, Majelis Daerah 18 yaitu: Daerah Maluku, Majelis Daerah 19 yaitu: daerah Papua, Majelis Daerah 20 yaitu: Daerah jogyakarta, Majelis Daerah 21 yaitu: Daerah Kalimantan Selatan dan yang terakhir Majelis Daerah 22 yaitu: Daerah Sumatera Barat.

Sebelum Mubes diadakan, maka disetiap daerah diselenggarakan Musyawarah Daerah (Musda) yang tujuannya antara lain memilih pimpinan tingkat Daerah yang disebut dengan Majelis Daerah. Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) kini memiliki 22 Majelis Daerah yang tersebar di 28 propinsi di Indonesia. Adapun Majelis Daerah tersebut antara lain sebagai berikut: Majelis Daerah 1 yaitu: Daerah Sumatera Utara dan Aceh, Majelis Daerah 2 yaitu: Daerah Riau, Majelis Daerah 3 yaitu: Daerah Sumatera selatan, Jambi dan Bengkulu, Majelis Daerah 4 yaitu: Daerah Lampung, Majelis Daerah 5 yaitu: Daerah DKI Jakarta, Majelis Daerah 6 yaitu: Daerah Jawa Barat dan Banten, Majelis Daerah 7 yaitu: Daerah Jawa Tengah, Majelis Daerah 8 yaitu: Daerah Jawa Timur, Majelis Daerah 9 yaitu: Daerah Bali dan Nusa Tenggara Barat, Majelis Daerah 10 yaitu: Daerah Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

16

(39)

Setelah terpilih maka setiap Majelis Daerah akan mengangkat Pengurus wadah – wadah tingkat daerah sesuai kebutuhan yang disebut dengan Komisi Daerah, selain itu Majelis Daerah juga menetapkan Majelis – majelis Wilayah sesuai kebutuhan, dan majelis wilayahpun akan menetapkan pengurus wadah tingkat wilayah yang disebut komisi wilayah. Setiap Majelis Wilayah membawahi gembala – gembala yang menjadi basis utama pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia dan gembala – gembala mengangkat pengurus wadah tingkat sidang jemaat. Berdasarkan data dalam Musyawarah Besar ke-26 Tahun 1990 di istora senayan Jakarta kini Gereja Pantekosta di Indonesia telah memiliki 10.000 sidang jemaat di seluruh Indonesia.

Dalam hal kependetaan waktu yang ideal bagi seseorang untuk mencapai gelar pendeta penuh Gereja Pantekosta di Indonesia, rata – rata berkisar 10 tahun ( dihitung sejak mulai fulltime terjun dalam pelayanan). Waktu yang cukup lama tersebut harus di tempuh dan harus melewati fase – fase sebagai berikut: Mula – mula adalah Training Center (TC) di sebuah pastori se-kurangnya 1 Tahun, kemudian memasuki Sekolah Alkitab kelas satu dengan masa pendidikan selama satu tahun. Setelah selesai pendidikan selanjutnya akan mengikuti praktek pelayanan selama satu tahun di daerah yang ditempatkan oleh Sekolah Alkitab Tersebut sebagai pengerja.

(40)

membuka penginjilan baru dan memiliki sidang jemaat minimal satu tahun lagi. Bila sudah memiliki pelayanan yang stabil dan rutin, akan di tetapkan oleh Majelis Daerah menjadi Gembala Jemaat dengan gelar Pendeta Pembantu (PDP), dan bila pelayanannya terus berkembang 2 tahun kemudian dapat dipromosikan untuk memperoleh gelar Pendeta Muda (PDM).

Dan jika Majelis Daerah merekomendasikan lagi, maka 2 tahun kedepannya yang bersangkutan baru dapat dilantik sebagai Pendeta penuh (PDT) tepatnya dilantik ketika Musyawarah Besar sedang berlangsung. Jadi dalam organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) untuk mendapatkan gelar ke-pendetaan akan membutuhkan waktu yang cukup lama, akan tetapi itu merupakan hasil yang sudah direvisi sebelumnya menurut AD/ART GPdI yang lama, jarak antara Pendeta Pembantu ke Pendeta Muda masing – masing harus menjalani 4 tahun pelayanan. Dalam membangun sidang jemaat para Pendeta GPdI tidak digaji oleh organisasi maupun subsidi dari pihak mana pun jadi hanya bermodalkan ke imanannya utnuk membangun gedung gereja dan juga untuk biaya hidup sehari – hari.

Berdasarkan data yang di peroleh dari sekretariat Majelis pusat GPdI per 31 juli 1988 yang diterbitkan pada mukernas GPdI 1988 adalah sebagai berikut:

a. Jumlah sidang jemaat:

1. Jemaat Mandiri berjumlah : 4130 buah. 2. Jemaat Muda berjumlah : 2157.

(41)

1. Pendeta ( PDT ) berjumlah 2684 orang,

2. Pendeta Muda ( PDM ) berjumlah 2189 orang, 3. Pendeta pembantu ( PDP ) berjumlah 3332 orang. c. Jumlah bangunan gereja :

Adapun jumlah gereja yang tersebar terdiri dari : 1. Gereja permanent berjumlah 2195 buah, 2. Semi permanent berjumlah 1538 buah, dan 3. Bangunan darurat berjumlah 3825 buah. d. Pendidikan teologi :

1. Gereja Pantekosta di Indonesia memiliki Sekolah Alkitab ( SA ) berjumlah 23 buah, dan

2. Sekolah Tinggi Alkitab ( STA ) berjumlah lima buah. e. Jumlah sekolah umum:

Adapun jumlah sekolah yang berafiliasi dengan Gereja Pantekosta di Indonesia yaitu :

1. Taman kanak kanak ( TK ) berjumlah 28 buah, 2. Sekolah Dasar ( SD ) berjuimlah 36 buah,

(42)

Yayasan yang berada didalam naungan Gereja Pantekosta di Indonesia sebanyak 8 buah dan Panti asuhan sebanyak 10 buah.

Akan tetapi kemungkinan jumlah data diatas dapat bertambah lagi seiring dengan perkembangan waktu dan karena perkembangan Gereja Panteokosta di Indonesia pada umumnya berada di daerah – daerah dan pedalaman yang sangat sulit di jangkau di berbagai daerah Indonesia.

Sejak dibentuk kepengurusannya, organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia telah terjadi 29 kali Musyawarah besar sehingga terjadi berulangkali pergantian kepengurusan dalam menjalankan roda organisasinya. Adapun susunan kepengurusan tersebut adalah sebagai berikut:

Maret 1921 – 19 juni 1923 Merupakan awal masuknya injil Pantekosta di Indonesia dari Amerika yang di bawakan oleh Richard Van Klaveren dan Cornelius E. Groessbeek.Maka pada 19 maret 1923 Vereniging “De Pinkstergemente in Nederlansch Indie” terbentuk tepatnya di Bandung dengan susunan kepengurusan

sebagai berikut:

Ketua : Pdt.D.H.W. Weenik Van Loon Sekretaris : Pdt. Paulus

Bendahara : Pdt.G.Droop

(43)

jawab terhadap pemerintah Hindia Belanda, beberapa pendeta juga dilantik sebagai pembantu dalam hal menjalankan kepengurusan antara lain adalah: Pdt. F.G Van Gessel, Pdt.F.Van Abkoude, Pdt.Van Klaveren dan istrinya, Pdt.H. Horstman, dan Pdt. M.A.Alt.

Tahun 1942 – 1947. Dengan pecahnya Perang Dunia ke II pimpinan diserahkan kepada orang – orang Indonesia, karena pada waktu itu para warga Belanda telah di kembalikan ke negaranya seiring dengan kekalahan Belanda terhadap Jepang di Indonesia. Maka dengan keadaan tersebut terbentuklah kepengurusan yang disebut dengan Badan Pengoeroes Oemoem ( B.P.O ) dengan sususan sebagai berikut:

Ketua : Pdt.H.N.Runkat Sekretaris : Pdt.S.I.P.Lumoinding Bendahara : Pdt.Soeprapto

Kepengurusan ini bertahan hingga selesainya pendudukan Jepang di Indonesia dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1949 kepengurusan ini baru melakukan musyawarah untuk membentuk kepengurusan yang lebih matang lagi.

(44)

dari pada mematangkan organisasi sehingga kepengurusan tersebut bertahan hingga Tahun 1953.

Pada tahun 1953, dalam Musyawarah Besar Nassional yang diadakan di Malang pematangan Organisasi di bahas seiring dengan pekabaran injil Pantekosta yang semakin berkembang, maka lahirlah beberapa keputusan penting yakni: Badan Pengoeroes Oemoem ( B.P.O ) disesuaikan dengan kaidah Indonesia yang baru yaitu menjadi Badan Pengurus Umum dan kemudian membentuk Majelis Agung yang terdiri dari 24 orang, fungsinya untuk mengkordinir jalannya kepengurusan Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia serta pengurus harian. Akan tetapi yang menjabat kepengurusan inti masih kepengurusan yang lama hanya terjadi pertukaran ditubuh bendahara dan sekretaris yang awalnya sekretaris dijabat oleh Pdt.S.I.P.Lumoindong digantikan oleh Pdt.R.M Soeprapto yang awalnya menjabat sebagai Bendahara demikian juga posisi bendahara dijabat oleh Pdt.S.I.P Lumoindong.

Seiring dengan meninggalnya Pdt.H.N.Runkat yang masih tetap menjabat sebagai ketua,maka pada tahun 1957 maka diadakan Musyawarah Besar Nasional di adakan dimalang dengan susunan sebagai berikut:

(45)

Komisaris II : Pdt. L.A.Pandelaki Komisaris III : Pdt. The Kiem Koi

Kepengurusan ini berlangsung sampai tahun 1961.

Kemudian Musyawarah Besar Nasional kembali di laksanakan di kota Bandung untuk membentuk kepengurusan periode tahun 1961 – 1965. Dengan susunan kepengurusan sebagai berikut:

Ketua : Pdt.E.Lesnussa Wakil Ketua : Pdt.L.A.Pandelaki Sekjen : Pdt.S.I.P.Lumoindong Bendahara : Pdt.Kwee Hok To Komisaris I : Pdt.W.W.Kastanya Komisaris II : Pdt.L.A.Pandelaki Komisaris III : Pdt.The Kiem Koi.

Tahun 1969 kembali diadakan Musyawarah Besar Nasional yang dilaksanakan dikota Yogyakarta, Musyawarah ini menghasilkan kepengurusan utuk periode 1965 – 1969. Adapun kepengerusan tersebut adalah sebagai berikut:

(46)

Komisaris II : Pdt. W.W. Kastanya Komisaris III : Pdt.J.M.P.Batubara

Kemudian untuk memilih kepengurusan berikutnya, maka Musyawarah Besar Nasional dilaksanakan di Surabaya. Hasilnya terbentuk kepengurusan untuk periode tahun 1969 - 1973 dengan susunan sebagai berikut:

Ketua : Pdt.E.Lesnussa Wakil Ketua : Pdt.L.A. Pandelaki Sekjen : Pdt.A.H.Mandey Bendahara : Pdt.H.Kristianto Komisaris I : Pdt.W.H.Bolang Komisaris II : Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris III : Pdt.R.M Soeprato Penasehat : Pdt.R.Gideon Sutrisno

Pada tanggal 8 november 1969 komposisi pengurus pusat berganti dengan meninggalnya Pendeta R.M.Soeprapto, hasilnya adalah sebagai berikut:

(47)

Penasehat : Pdt.R.Gideon Sutrisno

Kemudian pada tanggal 8 Agustus 1970 dengan meninggalnya Pendeta E.Lesnussa maka terjadi susunan Pengurus Pusat sebagai berikut:

Ketua : Pdt.L.A.Pandelaki Wakil Ketua : Pdt.W.H.Bolang Sekjen : Pdt.A.H.Mandey Bendahara : Pdt.Kristianto Komisaris I : Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris II : Pdt.B.Manoah

Penasehat : Pdt.R.Gideon Sutrisno

Akan tetapi pada tanggal 8 Februari 1973 terjadi lagi perobahan kepengurusan dengan susunan sebagai berikut:

Ketua : Pdt. W.H. Bolang Sekjen : Pdt.A.H. Mandey Bendahara : Pdt. H. Kristianto Komisaris I : Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris II : Pdt.B.Manoah

(48)

Selanjutnya Msyawarah Besar Nasional dilaksanakan lagi dikota Batu untuk membentuk kepengurusan baru yang menghasilkan susunan kepengerusan tersebut untuk menjalankan keperiodean tahun 1973 – 1976 dngan susunan sebagai berikut:

Ketua : Pdt.W.H.Bolang Wakil Ketua : Pdt.R.Gideon Surisno Sekjen : Pdt.A.H.Mandey Bendahara : Pdt.M.F.Da Costa Komisaris I : Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris II : Pdt.S.Sriyoto Komisaris III : Pdt.L.A.Pandelaki

Untuk keperiodean berikutnya kepengurusan tidak banyak yang berubah, dalam masa jabatan tahun 1976 – 1980 hasil Musyawarah Besar Nasional hanya mengganti Komisaris II yang sebelumnya di jabat oleh Pdt.S.Sriyoto kemudian digantikan oleh Pdt.TH.Itaar.

Dalam Musyawarah Besar Nasional berikutnya di Jakarta maka system pengorganisasian telah mulai diterapkan guna mendukung Program Kerja yang sesuai dengan kebutuhan Organisasi Gereja Pantekosta Pada waktu itu. Adapun kepengurusan yang baru untuk keperiodean tahun 1980 – 1984 adalah sebagai berikut:

(49)

Ketua II : Pdt.J.M.P.Batubara Sekjen : Pdt.E.N Soriton Wakil Sekjen : Pdt.S.Siyotno Bendahara : Pdt.M.F.Da Costa Departemen – departemen

Kerohanian : Pdt.J.Rompas Organisasi : Pdt.H.E.Karundeng Kesejahteraan : Pdt.J.K.Siwi

Kebutuhan dalam kepengurusan semakin benyak khususnya dalam menjangkau seluruh wilayah Indonesia serta untuk menggali potensi – potensi internal seluruh Anggota ataupun Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia maka Musyawarah Besar Nasional yang diadakan kembali di Jakarta kemudian menghasilkan penambahan di bidang departemen utuk keperiodean 1984 – 1988 dengan susunan kepengurusan sebagai berikut:

(50)

Departemen – departemen

Penginjilan : Pdt.D.A.Supit Pembangunan warga jemaat : Pdt.S.Sriyoto

Pendidikan dan Latihan : Pdt.Th.Karunia Djaya Diakonia dan Keuangan : Pdt.M.Ph.Bolang Organisasi dan komunikasi : Pdt.W.J.Bangguna

Musyawarah Besar Nasional untuk membentuk kepengurusan Baru dalam periode tahun 1988 – 1990 kembali diadakan di Jakarta. Musyawarah ini kembali menetapkan kepengurusan baru yang komposisinya masih didominasi oleh para pengurus lama namun ditambah beberapa orang baru dalam kepengurusan dengan susunan sebagai berikut:

Ketua Umum : Pdt.A.H Mandey Ketua I : Pdt.E.N. Soriton Ketua II : Pdt.J.M.P.Batubara Sekretaris Umum : Pdt.M.D.Wakkary Wakil Sekretaris Umum : Pdt.H.O.H.Awuy Bendahara : Pdt.M.F.Da Costa Wakil Bendahara : Pdt.J.K.Siwi Departemen - departemen

(51)

Pendidikan : Pdt.T.H.Karunia Djaya Pelayanan Warga Jemaat : Pdt.W.J.Bangguna Organisasi dan Humas : Pdt.R.T.Kastanya Penatalayanan dan Dana : Pdt.M.Ph.Bolang Hubungan Luar Negri : Pdt.D.A.Supit

Dalam setiap melakukan Musyawarah Besar Nasional setiap Majelis Daerah sertas Majelis Wilayah harus mengirimkan delegasinya yang terdiri dari pengurus inti tiap daerah maupun tiap wilayah, dalam pelaksanaannya Musyawarah Besar Nasional terlebih dahulu diadakan Kebaktian Kebangunan Rohani ( KKR ) yang kemudian dilanjutkan dengan rapat plano yang didahului pertanggungjawaban para pengurus lama kemudian ditutup dengan pemilihan kepengurusan yang baru.

Dalam AD/ART pemilihan pengurus tidak ada batasan dalam menjabat sebuah jabatan, jika seseorang berkompeten dalam memangku jabatannya maka dia tidak akan digantikan kecuali atas permintaan sendiri maupun halangan – halangan seperti halnya faktor usia, dan penyakit. Akan tetapi seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi pengurus akan terlebih dahulu melakukan Doa semalaman dengan para calon yang lainnya hal ini bertujuan untuk menjaga supaya tidak ada unsur “kedagingan”17

17

kehidupan yang masih di sertai kebiasaan-kebiasaan sebelum mengalami pertobatan misalnya: mementingkan diri sendiri, kesombongan,keangkuhan, pencederaan, materialis seperti yang tertulis dalam kitab Galatia 5:19-21.

(52)

berdasarkan voting yang dilakukan seluruh peserta yang hadir saat Musyawarah Besar Nasional berlangsung terutama utusan daerah dan utusan wilayah.18

2.3. Arti dan Logo Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia

Sebagai sebuah organisasi, Gereja Pantekosta di Indonesia mempunyai logo tersendiri. Hal ini bertujuan untuk hal-hal yang menyangkut administrasi dan lain sebagainya. Gambar dan logo tersebut adalah sebagai berikut:

Sumber: Majelis Pusat GPdI tahun 1990.

Adapun arti logo tersebut adalah:

18

(53)

• Salib: merupakan kuasa Kebangkitan, Pengawal, Pengawas dan Perlindungan Gereja Tuhan.

• Burung: Kuasa Roh Allah yang kudus sebagai kekuatan yang memimpin jemaat Gereja Tuhan menuju Kesempurnaan.

• Alkitab Terbuka: Rahasia kebenaran Firman Tuhan yang akan diberitakan oleh segenap jajaran GPdI agar banyak jiwa-jiwa di selamatkan.

• Cincin bertuliskan GPdI: Persekutuan dan ikatan kasih keluarga besar GPdI, mulai dari sidang jemaat, Penginjil-penginjil di manapun berada dalam menunaikan misinya masing-masing bagi hormat dan Kemulian Tuhan.

• Air bening yang turun: Turun Firman Tuhan sebagai “Air Kehidupan” yang menyegarkan dan memberi hidup bagi yang meminumnya.

(54)

2.4. Masuknya Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di kabupaten Dairi

Pada Tahun 1939 Pendeta A.E. Siwi membawa Pekabaran injil aliran Pantekosta Ke Sumatera Utara dan mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani, sejak saat itu Lahirlah pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia yang berawal di daerah Padang Bulan ( Kemudian sekarang dinamakan Jalan S.Parman, sebagai Pendetanya adalah Pendeta Wakkary), namun Sebelumnya pada Tahun 1936 seorang bekas pelaut Belanda de Twelef de Provinsi bermarga Purba yang lebih dahulu telah menerima ajaran Pantekosta di Surabaya dan mendirikan GPdI maka sejak saat itulah lahirnya penginjil baru dari tanah karo, yang selanjutnya menjadi Pendeta M. Sinukaban dan pendeta Sinuhaji.

Pekabaran injil Pantekosta secara tidak langsung menyebar keberbagai seluruh daerah di Sumatera Utara pada tahun 1938 Paul Counstan Simanjuntak membawa pekabaran Pantekosta kedaerah Tapanuli tepatnya di kota Balige yang melahirkan berdirinya Pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia di daerah tersebut. Untuk melanjutkan penyebaran ajaran Pantekosta di daerah Tapanuli Pendeta Paul Counstan Simanjuntak dibantu oleh Lukas Siburian, W.F. Siahaan dan Renatus Siburian.

(55)

Pantekosta yang menekankan pemberitaan injil kepada daerah yang belum dijangkau Gereja ataupun yang belum mengenal ajaran Kristen.

Pada tanggal 22 agustus 1949 maka kebaktian pertama dilaksanakan di daerah Bintang, berawal dari lima orang simpatisan kegiatan penginjilan Pantekosta sudah mulai mendapat respon dari masyarakat desa Bintang, kemudian lambat laun banyak warga yang bersedia menerima ajaran pantekosta meskipun awalnya mereka belum tau sama sekali bagaimana ajaran dari pantekosta itu. Desa Bintang menjadi tempat persinggahan pekabaran injil Pantekosta di sebabkan kurangnya peranan Agama bagi masyarakatnya dimana kebiasaan masyarakatnya selalu di identikkan dengan kebiasaan minum tuak (nira). Kebiasaan ini muncul karena daerah Bintang merupakan penghasil tuak di daerah Dairi.19

Pelayanan serta cara bersosialisasi pendeta S.B. Sigalingging serta pendeta J.Manalu menarik simpatik warga kedua penginjil ini membuat warga Bintang terkesan, karena sambil menyebarkan injil mereka berdua juga menawarkan jasa untuk sekedar membersihkan ladang ataupun memanen tanpa di gaji.

20

Di samping antusias warga Bintang ada juga hambatan yang mengakibatkan penyebaran injil pantekosta terhalang di desa Bintang, warga yang bersedia menerima ajaran pantekosta merupakan warga jemaat aliran protestan yang telah berkembang di desa Bintang. Sehingga terjadilah dialog yang dilakukan oleh pendeta S.B.

19

E. K. Siahaan, dkk, Survei Monograpi Kebudayaan Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi, Medan: Proyek Rehabilitasi dan perluasan Museum Sumatera Utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, 1978, hal.121.

20

(56)

Sigalingging dan Pendeta J. Manalu dengan pengurus gereja protestan setempat, Lahirlah kesepakatan bahwa atas dasar kekristenan setiap warga berhak memilih organisasi gereja yang membuat ataupun bisa membangun kerohanian serta ke imanannya bisa tumbuh. 21

21

Hasil wawancara dengan Bapak Husor Manik mantan Kepala Desa Bintang periode Tahun 1960-1965, tanggal 23 September 2010, Pukul 15.00. Wib.

Pertumbuhan jemaat di desa Bintang terus berkembang, pada bulan desember meski tergolong sedikit sekitar 25 orang yang terdiri dari anak-anak dan dewasa melaksanakan natal atas nama Gereja Pantekosta di Indonesia, dan pada bulan itu juga Kebaktian Kebangunan Rohani yang di hadiri oleh para penginjil pantekosta dari Medan untuk mengenalkan injil pantekosta di Dairi. Kebaktian Kebangunan rohani ini cukup membuahkan hasil banyak orang yang secara rohaniah kekristenannya merasa terpuaskan dengan penginjilan serta ajaran Pantekosta.

(57)

Kemudian pekabaran injil Pantekosta masuk kedaerah Tiga lingga yang dibawakan oleh Pendeta J. Manalu tepatnya pada Tahun 1952. Pendeta S.B. Sigalingging dan Pendeta J. Manalu selalu melakukan penyebaran ajaran Pantekosta dari desa ke desa yang ada di kabupaten Dairi. Berkat kegigihan mereka maka aliran Pantekosta mulai di terima masyarakat Dairi dan mulai bertumbuh serta berkembang. Dari hasil pelayanan mereka selama tujuh tahun membuka pelayanan serta merintis Gereja Pantekosta di Indonesia, telah berdiri sekitar 15 buah gedung Gereja Pantekosta di Kabupaten Dairi yang tersebar di daerah : desa Bintang, Desa Sigalingging, Desa Laehole, Desa Sidikalang, Desa Silumboyah, Desa Tigalingga, Desa Hutagugun, Desa Juma Togu, dan Desa Parongil.

Akan tetapi disamping itu beberapa penginjil pantekosta menyusul membuka pelayanan di Kabupaten Dairi yang merupakan Pendeta dari Luar Dairi seperti halnya Pendeta T. Ginting yang awalnya membuka pelayanan di daerah Tanah Karo tahun 1952 memutuskan untuk membuka pelayanan di daerah Dairi. meski sama-sama bernaung dibawah oraganisasi GPdI akan tetapi sangat perlu adanya koordinasi di tingkatan para pengabar Injil Pantekosta tersebut. Dengan usulan Pendeta S.B. Sigalingging dan Pendeta J. Manalu maka tanggal 5 Agustus Tahun 1965 terjadilah pertemuan yang dinamakan pertemuan Hamba – hamba Tuhan Gereja Pantekosta di Indonesia yang diadakan di J.l Batu Kapur Sidikalang, dari hasil pertemuan ini maka lahirlah beberapa keputusan penting yaitu :

(58)

• Ketua: Pendeta S.B. Sigalingging,

• Sekertaris : Pendeta J. Sihombing, serta

• Bendahara : Pendeta J. Manalu.

b. Penetapan garis pelayanan antar daerah – daerah yang ada di kabupaten Dairi sehingga ada kesepakatan ditingkatan para Pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia pada waktu Itu mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani yang akan dilaksanakan satu kali dalam sebulan tujuannya adalah supaya seluruh daerah yang belum menerima ajaran Pantekosta yang ada di kabupaten Dairi dapat terjamah.

c. Melakukan sosialisasi terhadap Pemerintah Kabupaten Dairi serta Prangkat- prangkat desa agar mengetahui bahwa Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia telah berdiri di Dairi supaya tidak ada kendala secara administrasi ketika ada kebutuhan – kebutuhan tertentu baik dengan pihak pemerintah.22

Semangat penyebaran ajaran pantekosta di kalangan para pendeta membuahkan hasil berkat kegigihan merekalah maka secara lambat laun ajaran pantekosta di terima dikabupaten Dairi dan mulai di kenal masyrakat Dairi secara luas.

22

(59)

BAB III

PERKEMBANGAN GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA DI

KABUPATEN DAIRI (1949-1990)

3.1. Dinamika Penyebaran Ajaran Pantekosta Di Kabupaten Dairi

Secara umum aliran kristen yang pertama berkembang di kabupaten Dairi adalah aliran Protestan dan aliran khatolik disamping kedua aliran tersebut berbagai aliran kemudian menyusul seperti halnya, aliran Pantekosta dan Methodis namun secara nasional aliran ini masih di kategorikan sebagai aliran Protestan.

Sejak masuknya agama kristen yang dimulai oleh HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) pada tahun 1936,23

Dari ke-31 jenis organisasi gereja tersebut 31 diantaranya merupakan aliran protestan akan tetapi aliran itu sudah digabung dengan aliran Pantekosta dan yang lainnya ditambah dengan katholik. Aliran kristenKhatolik memiliki 86 gedung gereja kemudian menyusul misi katolik tahun 1937 serta di susul oleh berbagai aliran menyusul termasuk pantekosta tahun 1949 membuat Dairi merupakan salah satu tujuan penyebaran agama kristen yang cukup berkembang, seiring dengan banyaknya penduduk Dairi yang memeluk ajaran kristen. Badan otoritas kristen di pemerintahan kabupaten Dairi mencatat sejak masuknya agama Kristen di kabupaten Dairi hingga tahun 1990 telah berdiri sekitar 31 jenis organisasi gereja.

23

(60)

yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten Dairi. Adapun nama oraganisasi gereja yang ada di kabupaten Dairi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Gereja kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) 2. Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) 3. Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)

4. Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) 5. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) 6. Huria Kristen Protestan (HKI)

7. Banua Niho Kariso Protestan (BNKP) 8. Gereja Pantekosta (GP)

9. Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) 10.Gereja Pantekosta sion di Indonesia 11.Gereja Bethel Indonesia (GBI)

12.Gereja Sidang Rohul Kudus Indonesia (GSRKI) 13.Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA)

14.Gereja Tuhan Indonesia (GTI)

15.Gereja Kristen Luther Indonesia (GKLI)

16.Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) 17.Gereja Methodist Indonesia (GMI)

18.Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) 19.Gereja Pentakosta di Indonesia

(61)

21.Gereja Pantekosta Serikat Di Indonesia (GPSDI) 22.Gereja Pentakosta Tabernakel (GPT)

23.Gereja Gerakan Pantekosta (GGP) 24.Gereja Siloam Injili (GSI)

25.Gereja Pantekosta Kudus Indonesia (GPKI) 26.Gereja Penyebaran Injil (GPI)

27.Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII) 28.Gereja Segala Bangsa (GSB)

29.Gereja Sidang Pantekosta Di Indonesia (GSPDI) 30.Gereja Misili Injili Indonesia (GMII)

31.Gereja Babptis Indonesia (GBI)

(62)

3.2. Gereja GPdI di berbagai daerah kabupaten Dairi (1949-1965).

Terbentuknya kepengurusan Majelis Wilayah Gereja Pantekosta di Indonesia di kabupaten Dairi merupakan semangat baru bagi pendeta agar semakin giat lagi melayani di tanah Dairi, Pendeta S.B Sigalingging dan Pendeta J. Manalu telah mempunyai pelayanan masing – masing seiring dengan bertambahnya regenerasi pendeta yang mau melayani dan mengabarkan injil Pantekosta, dengan hal yang demikian maka peta penyebaran ajaran Pantekosta semakin luas di kabupaten Dairi perlahan namun pasti satu persatu desa – desa yang ada di kabupaten Dairi mendapatkan ajaran Pantekosta dan tidak sedikit masyrakatnya menerima ajaran tersebut.

(63)

No. Nama Daerah Jumlah Jemaat

1. Daerah desa Sigalingging 200 orang

2. Daerah desa Sumbul Karo 150 orang

3. Daerah desa Bintang 25 orang

4. Daerah desa Silumboyah 155 orang

5. Daerah desa Laehole 65 orang

6. Daerah desa Sumbul 54 orang

7. Daerah Desa Parongil 48 orang

8. Daerah desa Juma togu 63 orang 9. Daerah desa Huta gugun : 40 orang

JUMLAH 800 orang

Sumber: Data Majelis Wilayah GPdI kabupaten Dairi tahun 1956.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penulisan dari pada kertas karya yang berjudul potensi Taman Wisata Iman Sidikalang Sebagai daya tarik wisata di Kabupaten Dairi adalah Untuk memaksimalkan potensi objek

Maka dapat disimpulkan bahwa museum Lingga dapat dijadikan sebagai sumber belajar sejarah bagi Siswa SMA sesuai Kurikulum 2013 di Kabupaten Dairi... Latar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Situs dan Peninggalan Sejarah di Kecamatan Silima Pungga-pungga, Sidikalang dan Sumbul Kabupaten Dairi, selanjutnya

Berdasarkan analisa data yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa kolerasi antara aktivitas ekonomi dan pemenuhan hak anak di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang

Berdasarkan analisa data yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa kolerasi antara aktivitas ekonomi dan pemenuhan hak anak di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang

Tujuan penelitian : Untuk mengetahui Pelaksanaan Manajemen Aktif Kala III Oleh Bidan di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2015.. Metodologi penelitian : Desain

Secara umum skripsi ini bertujuan untuk mengungkap dan mengetahui sejarah, perkembangan, dan peran Yayasan Sada Ahmo di Kabupaten Dairi, dalam mengembangkan masyarakat

Populasi penelitian adalah ibu yang mempunyai bayi yang telah diberikan makanan pendamping ASI di Desa Huta Rakyat Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi sejumlah 40 orang dan