• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM BERBAGAI UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM BERBAGAI UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM BERBAGAI UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA

D. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)

Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang selama ini sudah lama diatur dalam hukum positif di Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Misalnya saja rumusan kejahatan perdagangan orang yang di atur di dalam KUHP maupun hukum nasional lainnya yang masih terserak-serak di luar KUHP.

Apabila untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana, menurut ilmu hukum pidana harus dituangkan dalam undang-undang, sehingga kerapkali hukum pidana dikenal sebagai hukum undang. Di dalam undang-undang tersebut, dirumuskan perbuatan yang dilarang, ataupun merumuskan unsur-unsurnya. Tanpa rumusan perbuatan yang dilarang, maka suatu perbuatan tidak dapat dipidana. Pendapat Enshcede yang dikutip oleh Schaffmeister “…, das Sr. enthalt weder Befehle noch Normen, sonder nur

Deliktsumschreibungen – bahwa hukum pidana hanyalah rumusan delik, yang menunjukkan fragmen-fragmen dari norma-norma yang dapat dipidana”.35

35 Ny. Komariah Emong Sapardjaja,  2002 , “Ajaran Sifat Melawan Hukum Meteril 

(2)

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang terkait dengan kejahatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana perdagangan orang, diantaranya :

a. Pasal 297 KUHP: "Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun".

Meskipun pada kenyataannya korban perdagangan orang tidak hanya perempuan dan laki-laki yang belum dewasa, melainkan orang-orang yang berada dalam posisi rentan, baik perempuan, laki-laki, dewasa dan anak-anak. Selain itu KUHP pasal 297 juga memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang.36

b. Pasal 324 KUHP: “ Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Pasal 324 KUHP mengatur “Perniagaan budak belian”(Slavenhandel), tetapi perbudakan di Indonesia menurut hukum berdasarkan pasal 169 “Indische Staatsregeling” pada tanggal 1 Januari 1860 telah dihapus dengan pertimbangan bahwa, perbudakan tidak akan terjadi pada zaman

36  International Organization  for  Migration (IOM), 2009,  Pedoman  Penegakan  Hukum 

(3)

modern ini. Tetapi ternyata asumsi tersebut keliru karena justru di era globalisasi ini “Slavehandel” marak kembali dalam wujud yang lebih canggih dan lebih berani serta dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung. Perempuan pekerja domestik seringkali diperlakukan layaknya budak, dipekerjakan tanpa mendapat upah sama sekali, tidak diberikan tempat istirahat yang layak dan dirampas kebebasan bergeraknya. Tarif yang ditetapkan oleh agen perekrut tenaga kerja kepada calon majikan, seolah memberikan kekuasaan kepada majikan atas pekerja domestik yang telah dibelinya. Sehingga untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pekerja domestik, majikan mengeksploitasi korban secara terus menerus.37

2) Undang-Undang No. l Tahun 1979 tentang Ekstradisi

Dalam lampiran UU No. 1/1979 berjudul "Daftar Kejahatan Yang Pelakunya Dapat Diekstradisi", ditemukan beberapa kejahatan yang terkait dengan kejahatan trafficking, yakni:

1. Melarikan wanita dengan kekerasan , ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengaja melarikan seseorang yang belum cukup umur;

2. Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur;

3. Penculikan dan penahanan melawan hukum;

(4)

4. Perbudakan".

3) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan:

Tubuh dan organ termasuk darah merupakan anugerah Tuhan yang maha Esa, maka oleh karena itu dilarang untuk dijadikan sebagai objek untuk mencari keuntungan atau komersil melalui jual beli. Larangan ini diperlukan untuk menjamin bahwa tubuh dan organ termasuk darah yang akan dipindahkan betul-betul dimaksudkan untuk penyembuhan atau pemulihan kesehatan.38

a. Pasal 34 ayat (1) : "Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu".

b. Pasal 34 ayat (2) : "Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan atas persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya".

c. Pasal 80 ayat (3) : "Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara

(5)

paling lama 15 (lima betas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratusjuta rupiah)"

d. Pasal 81 ayat (1) huruf a: "Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja: a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (I): b. ...; c. ... dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000,- (seratus empat puluh juta)."

e. Ketentuan ini dapat dipergunakan untuk melindungi anak dari transfer organ secara tidak sah dan melawan hukum, serta menjerat perbuatan

trafficking yang dilakukan untuk tujuan transfer organ.

4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM ini mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan, kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan anak sebagai landasan yuridis sebagai pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.

a. Pasal 3 : “Setiap orang dilahirkan dengan bebas, dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat, serta setiap orang berhak atas perlindungan dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.

b. Pasal 4: “ Bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak untuk tidak diperbudak adalah hak asasi

(6)

c. Pasal 20: “Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba, seperti perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala macam perbuatan apapun yang tujuannya serupa. Diperbudak, diperhamba atau yang dibeli atau yang boleh dibeli, atau yang diperkerjakan karena hutang, atau yang menjadi budak karena tidak mampu membayar hutang, atau yang perempuan karena permainan.

d. Pasal 64 : "Setiap anak berpihak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kekerasan fisik, moral, kehidupan moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya".

e. Pasal 65 : "Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".

Akan tetapi, dalam UU No. 39 Tahun 1999 ini tidak memuat norma tentang ketentuan sanksi hukuman bagi pelanggar hak asasi manusia, termasuk pasal tentang perdagangan anak.

(7)

Negara kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; dan anak adalah amanah dan karunai Allah SWT, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, ini adalah bagian dari pembukaan UU tentang Perlindungan Anak yang disahkan pada tanggal 22 Oktober tahun 2002.39

a. Pasal 59: "Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada ... anak tereksploitasi secara ekonomi/ seksual, anak yang diperdagangkan, ... anak korban penculikan, penculikan dan perdagangan, …”.

b. Pasal 66 ayat (I): "Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat";

c. Pasal 66 ayat (2): "Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui:

1. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

39 39 Chairul Bariah Mozasa, Op. Cit.,hlm. 38. 

(8)

3. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekeria, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

d. Pasal 68 ayat (1): "Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat".

e. Pasal 68 ayat (2): "Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)".

f. Pasal 81 ayat (l):"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). g. Pasal 81 ayat (2): "Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(9)

h. Pasal 82: "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan membiarkan .dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). i. Pasal 83: "Setiap orang yang memperdagangkan, menjual atau

menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

j. Pasal 84: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

k. Pasal 85 ayat (1): "Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

(10)

l. Pasal 85 ayat (2): "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

6) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

a. Pasal 68 : "Pengusaha dilarang mempekerjakan anak".

b. Pasal 69 ayat (1): "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dikecualikan bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial". c. Pasal 69 ayat (2): "Pengusaha yang mempekerjakan anak pada

pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

1. izin tertulis dari orang tua atau wall;

2. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;

(11)

4. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;

5. keselamatan dan kesehatan kerja; 6. adanya hubungan kerja yang jelas; dan

7. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku". d. Pasal 74 ayat (1): "Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan

anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk";

e. Pasal 74 ayat (2): "Pekerjaan-pekerjaan terburuk yang dimaksudkan dalam ayat (1) meliputi:

1. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

2. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;

3. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan atau 4. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan,

atau moral anak".

7) Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan ( Trafiking) Perempuan dan Anak.

Pada masa kepemimpinan T. Rizal Nurdin sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah daerah melahirkan suatu Peraturan Daerah

(12)

Trafiking yang disahkan pada tanggal 26 Juli 2004.40 Dalam Perda ini bahwa perdagangan orang merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, dan mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia baik secara nasional maupun internasional. Hal-hal yang penting dalam Perda No.6 Tahun 2004 yaitu:

a. Pasal 3 yaitu bertujuan untuk pencegahan, rehabilitasi, dan reintegrasi perempuan dan anak korban perdagangan (trafiking).

b. Pasal 4 yaitu perempuan yang bekerja di luar wilayah desa/kelurahan wajib memiliki Surat Izin Bekerja Perempuan (SIBP) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah dan diadministrasikan oleh camat setempat.

c. Pasal 11 yaitu perlu mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan pencegahan perlu dibentuk gugus tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (RAN P3A).

d. Pasal 17 yaitu masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan (Trafiking) perempuan dan anak.

40  Biro  Pemberdayaan  Perempuan  Setdaprovsu  bekerjasama  dengan  Kementrian 

Pemberdayaan  Perempuan  RI  menyusun  Draft  RUU  Trafficking  ysng  diselenggarakan  di  Medan pada pertengahan 2002. Setelah itu bekerja sama dengan PKPA dan yayasan Pusaka  Indonesia dalam menyelesaikan Perda No. 6 tahun 2004. 

(13)

e. Pasal 28 yaitu sanksi pidana, setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi dan membantu secara langsung dan tidak langsung terjadinya perdagangan (trafiking) perempuan dan anak dengan tujuan melakukan eksploitasi baik dengan atau persetujuan untuk pelacuran, kerja atau pelayanan, perbudakan atau praktek serupa dengan perbudakan, pemindahan atau transplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan pemerasan dan pemanfaatan, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan secara sewenang-wenang untuk mendapat keuntungan baik material maupun non material dihukum sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.

Peraturan-peraturan perundangan diatas merupakan ketentuan-ketentuan pidana yang mengatur tentang perdagangan orang khususnya anak dan perempuan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, yang masih memiliki beberapa kelemahan-kelemahan seperti belum adanya menjelaskan tentang pengertian perdagangan orang, dan belum dapat mengantisipasi dan menjerat pelaku perdagangan orang.

E. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Setelah

Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

(14)

Meskipun KUHP (Pasal 297) telah mengancam hukuman enam tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan dan anak di bawah umur, ini dianggap tidak efektif untuk menjerat pelaku perdagangan orang atau yang lebih populer dengan istilah trafiking terorganisir. Dengan demikian, urgensi dilahirkannya UU khusus terkait dengan ini sebagai akibat dari meluasnya jaringan kejahatan yang terorganisir (dan tidak terorganisir), baik yang bersifat antar-negara, maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta penghormatan terhadap hak azasi manusia. Oleh karenanya, pemerintah berkeinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana trafficking yang didasarkan pada komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama. Selain itu, peraturan perundang-undangan terkait dengan trafiking belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana trafiking.

Setelah melalui proses panjang, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) akhirnya disahkan. Berdasarkan undang-undang ini, maka definisi perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang

(15)

memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar-agama, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.41

Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini, setiap pelanggaran perdagangan orang diberikan sanksi pidana penjara dan pidana denda. Sehingga mampu menjerat dan menghukum yang sepadan para pelaku kejahatan perdagangan orang, agar pelaku baik perorangan maupun korporasi dapat jera untuk melangkah melakukannya.

Adapun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ini terdiri dari 9 Bab yang meliputi 67 Pasal, yang pada intinya mencakup Pencegahan, Pemberantasan dan Penanganan, yang terdiri dari 2 aspek, yaitu:

a. Aspek Non Pro Justisia, yaitu;

a. Aspek Perlindungan Saksi dan Korban b. Aspek Pencegahan dan Penanganan

c. Aspek Kerja sama dan Peran serta Masyarakat

b. Apek Pro Justisia, yaitu; Merupakan Aspek Pemindanaan atau Hukum Materil dan Aspek Hukum Acara Pidana.

Adapun secara menyeluruh undang-undang ini berisi dan menceritakan tentang beberapa aspek yang terdapat di dalam beberapa pasal berikut ini ;42

41http://www.stoptrafiking.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=163

&Itemid=6 (terakhir dikunjungi tanggal 17 Januari 2010 Jam 15.50). 

42   Lihat  beberapa  Pasal  dalam  UU  Nomor  21  Tahun  2007,  Pemberantasan  Tindak 

(16)

1. Aspek Tindak Pidana Perdagangan Orang

Secara garis besar aspek ini memuat tentang berbagai macam dan cara serta jenis-jenis dari Tindak Pidana Perdagangan orang yang dimulai dari perekrutan, pengangkutan hingga nantmya diperkerjakan, baik itu yang ditujukan ke dalam atau ke luar negeri, yang mana baik itu dilakukan dengan unsure penipuan, pembujukan, pemanfaatan ataupun kekerasan bahkan yang dilakukan secara korporasi, yang mana kesemuanya itu terdapat didalam Pasal 2 hingga Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini. Pada Pasal 2 hingga Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini, pada dasarya berisikan mengenai ketentuan-ketentuan pidanan yang dijatuhkan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang, baik Pidana Penjara, Kurungan ataupun Denda. Bagi pelaku Human Trafficking yang melakukan tindak pidana baik yang mengakibatkan seseorang mengalami eksploitasi ataupun yang melakukan kegiatan perdagangan orang yang dimulai dari percobaan, pemanfaatan, pengiriman bahkan korporasi terhadap tindak pidana perdagangan orang akan dijatuhkan pidana denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah, dan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama seumur hidup.

2. Aspek Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Aspek ini bercerita mengenai berbagai tindak pidana kejahatan yang bersifat menghalangi pemeriksaan terhadap kejahatan perdagangan orang yang terjadi, atau dengan kata lain berusaha mencegah, merintangi dan bahkan

(17)

menggagalkan suatu penyelidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, dan juga aspek ini berisikan berbagai tindak pidana lain yang terjadi dan mendukung terhadap terjadinya tindak pidana kejahatan perdagangan orang, yang mana aspek ini dimulai dari pasal 19 hingga 27 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007. Dalam Undang-undang ini ditetapkan bahwa berbagai tindakan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang dan bahkan bersifat menghalangi akan dipidana dengan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah, dan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun.

3. Aspek Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Aspek ini berisikan mengenai penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, termasuk didalamnya pemeriksaan alat bukti, saksi dan korban. Aspek ini dimulai dari pasal 28 hingga pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007.

4. Aspek Perlindungan Saksi dan Korban.

Didalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, seorang korban dan saksi perlu mendapat perlindungan sebagaimana tercantum, antara lain :

1. Ruang Pelayanan Khusus (Pasal 45) 2. Pusat Pelayanan Terpadu (Pasal 46)

3. Mekanisme Pembayaran Restitusi (Pasal 48-50) 4. Rehabilitasi untuk pemulihan Korban (pasal 51) 5. Rumah Perlindungan sosial/pusat trauma (Pasal 52)

(18)

Di sinilah sangat penting peran masyarakat untuk membantu memberikan perlindungan kepada saksi korban. Adapun aspek ini meliputi Pasal 43 hingga pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

5. Aspek Pencegahan dan Penanganan. Aspek ini meliputi 2 hal yaitu:

a. Program Pencegahan (Pasal 57) b. Pembentukan Gugus Tugas (Pasal 58)

6. Aspek Kerjasama Internasional Dan Peran Serta Masyarakat43

Dalam Aspek ini berisikan tentang berbagai upaya dari Pemerintah dengan mengadakaa Kerjasama Intemasional dalam menyelenggatakan pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Aspek ini juga bercerita mengenai peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban tindak Pidana perdagangan Orang. Aspek ini terdapat dalam Pasal 59 hingga 63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

7. Aspek lain yang meliputi: a. Ketentuan Umum (Pasal 1) b. Ketentuan Peralihan (Pasal 64) c. Ketentuan Penutup (Pasal 65 -67)

43  Perdagangan  Orang  merupakan  kejahatan  tidak  saja  dalam  wilayah  republik 

indonesia, tetapi juga merupakan kejahatan transnasional, melewati lintas batas negara antar  negara. Dan  masyarakat dapat berperan serta dalam upaya pencegahan, penanganan korban  dan melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum. 

(19)

Berikut ini adalah beberapa ketentuan baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang :44

a. Penjelasan Umum

 Penyalahgunaan Posisi Rentan

Merupakan salah satu bentuk praktek eksploitasi, keadaan yang di dalamnya terdapat ketidakseimbangan status/kedudukan antara 2 pihak. Pihak yang lebih tinggi memiliki kekuasaan dibanding pihak yang lebih rendah atau berada dalam posisi rentan ( Contoh : majikan dan buruh). Pihak yang memiliki kekuasaan, menyalahgunakan kekuasaannya untuk memegang kendali atas kerentanan orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut.

 Perbudakan

Adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Perbudakan diatur pula dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Ham pasal 9c. Yang dimaksud dengan perbudakan dalam ketentuan ini termasuk perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak.

 Praktik Serupa Perbudakan

Adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara

(20)

melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak mengkehendakinya.

b. Ketentuan Umum

 Perekrutan

Adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya (pasal 1 angka 9). Perekrutan juga banyak digunakan dalam Undang-Undang no.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri. Namun demikian, perlu dipahami bahwa pengertian perekrutan disebut dalam UU PTPPO adalah tujuan eksploitasi, sedangkan dalam UU No.39, perekrutan dimaksudkan sebagai tindakan untuk menempatkan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Meski pada kenyataannya, banyak diketemukan praktek perdagangan orang berkedok pengiriman Tenaga Kerja Indonesia keluar negeri dengan cara-cara sebagaimana dilakukan dalam TPPO.

Dalam kasus perdagangan orang, jika seseorang melakukan perekrutan, pengiriman, dan penampungan korban dengan cara memberi janji-janji akan dipekerjakan keluar negeri, kemudian diserahkan kepada orang lain dengan maksud atau tujuan mengeksploitasi korban, sudah dianggap sebagai pelaku TPPO dan bisa dikenai tindakan hukum. Meskipun mungkin saja eskploitasi belum terjadi, tetapi karena tujuan/maksud sudah jelas, maka pelaku sudah memenuhi delik formil dalam TPPO. Sementara bila karena perbuatannya pelaku telah terbukti mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku sudah

(21)

memenuhi delik materil yang menghukum pelaku dengan pidana yang sama beratnya (lihat Pasal 2 ayat (1) dan (2)).

 Penjeratan Utang

Adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang (pasal 1 angka 15).

Penjeratan utang45 ini seringkali terjadi dalam praktek pengiriman tenaga kerja keluar negeri. Agen maupun majikan tidak membayar gaji selama 5-8 bulan pertama sebagai penggantian biaya penempatan termasuk keberangkatan, dokumen perjalanan maupun pelatihan sebelum keberangkatan. Namun, korban tidak mendapatkan gaji sama sekali, karena dianggap masih memiliki utang yang tidak pernah habis. Ini yang digunakan pelaku untuk mengekploitasi korban. Selama ini modus ini dianggap sebagai kasus penipuan biasa.

c. Tindak Pidana Perdagangan Orang

 Reviktimisasi

Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana (pasal 18).

45 Penjeratan hutang adalah salah satu modus yang paling sering dilakukan oleh pelaku 

tindak pidana perdagangan orang. Keluarga korban karena tidak mampu membayar hutang,  harus menyerahkan anak gadisnya sebagai ganti pembayaran hutang tersebut. 

(22)

Penjelasan dari pasal tersebut adalah: Yang dimaksud dengan “dipaksa” dalam ketentuan ini adalah suatu keadaan dimana seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.

Jadi bila seorang korban tertangkap sebagai pelaku karena melakukan tindak pidana yang berlawanan dengan kehendak sendiri atau karena dipaksa, maka dia tidak dapat dijatuhkan pidana.

Misalnya seorang perempuan yang menjadi korban TPPO dan disekap dalam suatu rumah bordil, dipaksa pelaku mengedarkan 10 bungkus narkoba atau menjual pil ekstasi. Perempuan/korban tersebut mengetahui bahwa mengedarkan narkotika dilarang dan bertentangan dengan kehendaknya, tetapi dalam keadaan “terpaksa” ia melakukannya juga karena takut dan tidak mampu mengelak. Bilamana perempuan/korban itu ditangkap petugas, dan korban dapat membuktikan adanya unsur paksaan oleh pelaku TPPO, maka perempuan/korban itu tidak dapat dihukum. Bahkan perempuan tersebut telah menjadi korban. Namun bila kemudian dapat dibuktikan bahwa perempuan/korban tersebut menjadi sebuah kebiasaan, dan diketahui juga bahwa korban banyak mendapatkan keuntungan dari perbuatannya, maka dalam kasus kedua ini perempuan/korban tersebut dapat dijatuhi hukuman, karena unsur paksaan tidak ada lagi.

(23)

Dalam KUHP, orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana, tetapi tindak pidana itu tidak terjadi (mislukte uit lokking), maka orang itu tidak dijatuhi pidana.

Lain halnya UU PTPPO pasal 9 yang menyatakan: setiap orang yang berusaha menggerakan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

Jadi, walaupun tindak pidana tidak terjadi, namun jika terbukti ada upaya menggerakkan orang lain untuk tujuan melakukan tindak pidana perdagangan orang, maka pelaku dapat dipidana.

 Persetujuan Korban

Persetujuan korban perdagangan orang, tidak menghilangkan penuntutan TPPO (pasal 26). Karenanya, berdasarkan UU PTPPO ini dengan persetujuan atau tanpa yang persetujuan dari pihak korban, apabila salah satu cara yang telah disebutkan dalam ketentuan umum pasal 1 UU PTPPO dan mengakibatkan korban dieksploitasi atau tereksploitasi.

Misalnya seorang perempuan menyetujui bahwa dirinya akan dijadikan pembantu rumah tangga di Malaysia dengan gaji 450 ringgit. Apabila dikemudian hari perempuan tersebut tidak mendapatkan gaji seperti yang

(24)

dijanjikan, atau juga mendapatkan siksaan fisik maupun seksual, maka persetujuan korban untuk menjadi pembantu rumah tangga tidak dapat digunakan untuk menghilangkan penuntutan terhadap TPPO. Hal ini disebabkan pelaku menggunakan cara penipuan antara lain dengan maksud mengeksploitasi korban. Artinya pelaku bisa dituntut sesuai dengan hukuman yang diatur dalam UU TPPO. Perlu diingat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang mau dirinya dieksploitasi.

2. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi.

Protokol Palermo adalah suatu perjanjian yang berisi sebuah perangkat hukum mengikat yang menciptakan kewajiban bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya untuk mencegah, menekan dan menghukum trafficking pada manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak

Penandatanganan protokol untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak oleh pemerintah republik indonesia merupakan pencerminan keikutsertaan bangsa indonesia dalam pemberantasan perdagangan orang.

Konvensi Palermo memuat tiga protokol, yaitu anti perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak, antipenyelundupan imigran, serta

(25)

antiproduksi dan penyelundupan senjata api gelap. Sedangkan dalam perdagangan orang, tindakan-tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang , terutama perempuan dan anak-anak, membutuhan sebuah pendekatan internasional yang komprehensif di negara asal, negara transit dan negara tujuan yang mencakup langkah-langkah untuk mencegah perdagangan, untuk menghukum para pelaku perdagangan dan untuk melindungi korban-korban perdagangan orang, termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional.

F. Ketentuan Internasional Terhadap Larangan Tindak Pidana

Perdagangan Orang.

Larangan Human Trafficking secara internasional telah banyak instrument yang mengaturnya, terdapat berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan masalah "human trafficking". Instrumen-instrumen itu antara lain adalah :

1. Universal Declaration of Human Rights; 2. Convention on the Rights of the Child (CRC);

3. Optional Protocol to the CRC on the sale of children, , child

prostitution, and child phonography;

4. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts

Women (CEDAW);

5. The Hague Convention 28 on the Civil Aspects of International Child

Abduction;

(26)

7. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; 8. ILO Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action

for the the Worst Elimination of the Worst Forms of Child Labour No. C 182;

9. United Nations Protocol to Suppress, Prevent and Punish Trafficking

in Persons especially Women and Children supplementing the Convention against Transnational Organized Crime (The Palermo Convention);

10. SAARC Convention on Combating Trafficking in Women and

Children for Prostitution.46

11. Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment.

Dalam Article 4 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) disebutkan bahwa "no shall be held in slavery or servitude: slave trade shall

beprohibited in all their forms". Ketentuan dalam Article 4 secara jelas

melarang perbudakan dan perdagangan budak. Larangan perbudakan juga terdapat dalam The International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR). Dengan kalimat yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama

dengan ketentuan sebagaimana terdapat dalam Article 4 (UDHR), Article 8 (ICCPR) secara jelas menyatakan bahwa "no one shall be held in Slavery:

Slavery and the slave-trade in all their forms shall be prohibited". Dengan

demikian jelas bahwa perbudakan merupakan suatu larangan.

(27)

Dalam UDHR dan ICCPR, tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan

"slavery". Pengertian "slavery", menurut Convention of Slavery (1926) adalah "the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the rights of ownership are exercised". Dalam pengertian ini

termasuk pula membeli. menjual, dan mengadakan transportasi terhadap orang-orang dengan maksud untuk melakukan eksploitasi, guna memperoleh keuntungan.

Hukum Humaniter Internasional, menentang dan melarang segala bentuk

"slaver)”. Bahkan, masalah yang berkaitan dengan "slavery'" dikualifikasikan

sebagai kejahatan internasional, selain kejahatan perang (war crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Oleh karena itulah, masalah ini menjadi masalah yang penting bagi setiap negara untuk melakukan pelarangan dalam hukum nasionalnya, sekalipun dalam keadaan perang ataupun keadaan darurat.47

Perkembangan secara Internasional, telah membawa masalah "slavery” ini ke dalam permasalahan international. "Slavery” telah berkembang sebagai

jus cogens.48 International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) telah memutuskan bahwa "enslavement” termasuk dalam pengertian "crimes against humanity”. Demikian pula dalam International Criminal Court (ICC) Statute, "enslavement” dan "sexual slavery" dikatakan sebagai

47

 Ibid, hal. 20. 

48

 Jus cogens diartikan sebagai: a norm accepted and recognized by the International  community  as a  whole  as  a norm  from  which no derogation  is  permitted  and  which can be 

(28)

kejahatan. Menurut ICC, "enslavement" diartikan sebagai "the exercise of any

or all of the powers attaching to the right of ownership over a person"49.

Termasuk dalam hal ini adalah "the exercise of such power in the course of

trafficking in parsons, in particular women and children.50

Dalam kaitannya dengan "sexual slavery”, ICC memberikan batasan sebagai berikut:

1. The perprelator exercised any or all of the powers attaching to the right of ownership over one or more persons, such as by purchasing, selling, landing, or bartering such a person or persons or by imposing on them a similar deprivation of liberty.

2. The perpretator caused such person or persons to engage in one or more acts of sexual nature.51

Selain masalah yang berkaitan dengan perbudakan, terdapat beberapa instrumen Internasional yang memberikan perlindungan bagi wanita dan anak-anak. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against

Women (CEDAW), merupakan konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi

wanita dari segala bentuk kekerasan, yang mungkin dapat terjadi karena dia adaiah seorang wanita. Dalam Article 6, secarajelas menyatakan bahwa "States

modified only by a subsequent norm of general international law having the same character".  Article 53 Vienna Convention. 

49

 Article 7 (2) © International Criminal Court. 

50  Consideration  Of  The  Issue  of  Trafficking,  Background  Paper.  11  ‐  12  November 

2002, New Delhi, India. 

(29)

Parlies shall take all appropriate measures, including legislation, to suppress all forms of traffic in women and exploitation of prostitution of women".

Ketentuan daiam Article 6 ini merupakan himbauan agar negara-negara lebih memperhatikan masalah yang berkaitan dengan "human trafficking", khususnya yang berkaitan dengan wanita.

Ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 CEDAW menunjukkan bahwa masalah "traffic in woman" dan "prostitution of woman" sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan sangat berbahaya bagi individu yang bersangkutan serta keluarga dan masyarakat luas. Oleh karena itulah, negara peserta harus memberikan sanksi pidana kepada setiap orang yang :

Perfama, mencari, memindahkan, ataupun mengajak orang lain, dengan tujuan

untuk aktivitas prostitusi, meskipun orang yang bersangkutan menyetujui.

Kedua, mengeksploitasi orang lain : sebagai prostitusi, meskipun orang

tersebut menyetujui.

Selain masalah tersebut, CEDAW juga telah memberikan batasan-batasan dalam memperlakukan wanita dalam melakukan pekerjaan. Dalam

Article 11, dinyatakan sebagai berikut:

1. States Parties shall fake appropriate measures to eliminate discrimination against women in the field of imployment in order to ensure, on a basis of equality of men and women, the same rights, in particular :

a. The right to work as an inalienable right of all human beings

b. The right to the same employment opportunities, including the application of the same criteria for selection in matters of employment;

(30)

c. The right to free choice of profession and employment, the right to promotion, job security and all benefits and conditions of service and the right to receive vocational training and retraining, including apprenticeship, advanced vocational training and recurrent training;

d. The right to equal remuneration, including benefits, and to equal treatment in respect of work of equal value, as well as equality of treatment in the evaluation of the quality of work;

e. The right to social security, particularly in cases of retirement, unemployment, sickness, invalidity and old age and other incapacity to work, as well as the right to paid leave:

f. The right to protection of health and to. safety in working conditions, including the safeguarding of the function of reproduction.52

Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1984. Pasal 6 konvensi tersebut, mewajibkan semua negara untuk menekan segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi perempuan.53

Konvensi ILO No. 29 tahun 1930 mencantumkan pengertian "force or compulsory labour" sebagai "all work or service which is exacted from any

person under the manace of any penalty, and for which the said person has not offered himself voluntarily". Lebih dari 25 tahun kemudian, ILO menyetujui

52 Harkristuti Harskrisnowo, Op. Cit., hal. 22. 

(31)

instrument tambahan, yang kemudian disebut sebagai Abolition of Forced Labour Convention No. 105 (1957). Dalam konvensi tersebut, yang dimaksud dengan "suppression of forced labour " adaiah "political coercion, labour

discipline, or rasial, national or religious discrimination; as a method of mobilizing and using labour for purposes of economic development; an as punishment for having participated in strikes".54

Permasalahan yang berkaitan dengan anak, tidak lepas dari perhatian masyarakat internasional. Isue-isue yang berkaitan dengan tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah-masalah yang perlu mendapatkan perhatian. Pendek kata, segala bentuk eksploitasi anak haruslah mendapatkan perhatian dari semua negara.

Convention on the Rights of the Child (CRC), merupakan salah satu

konvensi yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Pasal 32 Konvensi Hak Anak (KHA) menegaskan bahwa setiap negara wajib mengedepankan perlindungan anak dari segala macam bentuk eksploitasi atau pekerjaan yang mengakibatkan atau kerusakan atau mengganggu pendidikan anak, atau yang mengancam kesehatan fisik, mental, spiritual anak, maupun perkembangan sosial lainnya. Hal ini juga ditegaskan dalam konvensi ILO No.182, tentang larangan dan pemberantasan segala macam pekerajaan terburuk bagi anak.

54  Force  Labour,  Child  Labour  and  Human  Trafficking  In  Europe:  At:  ILO  Perspective, 

Technical  Paper  for  the  EU/IOM  STOP  "European  Conference  on  Preventing  and  Combating  Trafficking In Human Beings", 18‐20 September 2002, Brussels, Belgium. 

(32)

Ditambahkan pula dalam pasal 35 KHA, bahwa pemerintah berkewajiban membuat langkah-langkah multilateral untuk mencegah penculikan dan perdagangan anak untuk tujuan apapun, serta memberikan pula pelayanan program sosial, menyediakan dukungan yang sesuai dengan anak. Pembahasan langkah-langkah ini tetap harus juga memikirkan pemulihan fisik, sosial dan reintegrasi anak yang membutuhkan. Tindak lanjut penanganan kasus ini harus sampai ke tahap pengadilan.55

Melihat ketentuan yang terdapat dalam CRC nampak bahwa CRC belum mengatur secara lengkap hal-hal yang berkaitan dengan anak. Anak, seharusnya dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomis, eksploitasi seksual, maupun dari segala bentuk "sexual abuse”.56 Kelemahan-kelemahan

yang terdapat dalam CRC kemudian dilengkapi dengan Optional Protocol to

the Convention on the Rights of The Child. Protocol ini memperluas pengertian

yang berkaitan dengan "sale of child", "child prostitution", dan "child

pornography”.57

Larangan "trafficking" dan eksploitasi anak, mendapat perhatian pula di dalam ILO Convention on the Worst Form of Child Labour. Berkaitan dengan pekerja anak-anak, ILO menyetujui instrumen yang berkaitan dengan Minimum

Age Convention No. 138. Seiring dengan perkembangan pekerja anak-anak,

kemudian dibentuklah Worst Forms of Child Labour Convention No. 182, 55  International Organization for Migration ( IOM), loc. cit.  56  Force Labour, Child Labour and Human Trafficking In Europe: At: ILO Perspective, Op.  Cit., hal.19.  57  Ibid    

(33)

tahun 1999. Worst Forms of child Labour diartikan sebagai "all forms of slavery or practices similar to slavery, such as the sale and trafficking in children, debt bondage and selfdom and forced or compulsory labour, including forced or compulsory recruitment of children for armed conflict”.58

Hukum internasional, juga memberikan perlindungan kepada individu-individu, sebagai migrant atau pekerja migrant, instrumen internasional yang berkaitan dengan hal tersebut adafah Convention on the Protection of the

Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families. Dalam

konvensi ini dinyatakan bahvva "The right to life of migrant workers and

members of their families shall be protected by law". Perlindungan hukum

tidak hanya dari negara penerima saja tetapi juga dari negara di mana pekerja tersebut berasal. Perlindungan terhadap migrant workers, merupakan perluasan dari hak-hak asasi manusia yang perlu mendapatkan perlindungan hukum. Yang menjadi masalah adalah illegal migrant worker, sebagaimana dikemukakan oleh Leonard M. Hammer, bahwa "the situation of illegal

migrant workers is especially problematic, "exemplify [ing] the jurisdiclional between state sovereignty and its control over immigration versus obligation on the State to uphold the human rights of all individuals found within a Slate 's territory.59

58 Ibid, hal. 24. 

59  Leonard  M.  Hammer,  1999,  Migrant  Workers  in  Israel:  Towards  proposing  a 

Framework  of  Enforceable  Customary  International  Human  Rights,  Netherlands  Quaterlv  of 

(34)

Hak-hak tersebut secara jelas tercantum dalam Article 8, yang menyatakan sebagai berikut :

Migrant workers and members of their families shall be free to leave any State, including their State of origin. Rhis right shall not be subject to any restrictions except those that are provided by law, are necessary to protect national security, public order, public health or morals or the rights and freedoms of others and are consistent with the other rights recognized in the present part of the Convention. 60.

Selain memiliki hak untuk dilindungi secara hukum, "migrant worker" pun memiliki beberapa hal yang perlu diperhatikan guna mendapatkan perlindungan. Hal-hal apa yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut :

1. No migrant worker or member of his or her family shall be held in slavery or servitude.

2. No migrant worker or member of his or her family shall be required to perform forced or compulsory labour.61

Konvensi tersebut dimaksudkan agar migrant workers terbebas dari segala bentuk perbudakan, serta tekanan-tekanan. Negara harus memberi sanksi kepada setiap orang/kelompok orang yang melakukan kekerasan kepada

migrant workers, between state sovereignty and its control over immigration versus obligation on the State uphold the human rights of all individuals found within a State 's territory.62

60

Harkristuti Harkrisnowo, Op, Cit., hal. 2.

61 Ibid,. 

62  Leonard  M.  Hammer,  1999,  Migrant  Workers  in  Israer  Leonards  proposing  a 

Frainwork of Enforceable Customary International Human Rights, Nederland aterly of Human 

(35)

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, nyatalah bahwa "human

trafficking” sangat penting untuk diperhatikan dan ditangani bersama. Untuk

itu, lembaga-lembaga internasional telah pula mengatur masalah tersebut dalam instrumen Internasional. Dalam Article 3 Protocol To Prevent, Suppress

And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, "trafficking" diartikan sebagai berikut:

"Trafficking in persons” shall mean the recruitment, transportation, transfer,harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.63

Pengertian "trafficking in persons” memiliki perbedaan dengan apa yang disebut sebagai "smuggling", yang diartikan sebagai berikut:

"Smuggling of migrants " shall mean the procurement, in order to obtain, directly or indirectly, a financial or other material benefit, of the illegal entry of a person into a Stale Parly of which the person is not a national or permanent resident.

Dengan demikian, berdasarkan paparan pengertian tersebut di atas, terdapat perbedaan yang cukup tajam antara "trafficking in persons” dengan

''smuggling”. "Smuggling" lebih menekankan pada pengiriman secara illegal

orang-orang dari suatu negara ke negara lain, yang menghasilkan keuntungan bagi "smuggler". Dalam pengertian "smuggling" tidak terkandung adanya

(36)

eksploitasi terhadap orang-orang. Mungkin akan terjadi bahwa akan terdapat korban dalam pengiriman itu, tetapi itu bukanlah merupakan hal yang mendasar. Inti dari pengertian "smuggling" adalah adanya pengiriman (transport) orang-orang secara illegal dari suatu negara ke Negara lain. Sedangkan "trafficking" memiliki target khusus, yaitu orang-orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Dengan demikian, sejak awal telah terdapat keinginan untuk mengekploitasi orang-orang. Adanya unsur

"deception” dan "coercion” merupakan unsur yang esensiil dalam "trafficking in persons”.64

Bahwa kemudian, ada satu instrumen lagi yang perlu mendapatkan perhatian adalah South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC)

Convention on Preventing and Combating Traffiking in Women ard Children for Prostitution.65 SAARC dimaksudkan untuk mencegah dan membasmi perdagangan wanita dan anak, dengan tujuan untuk prostitusi. Sangat disadari bahwa di wilayah Asia Selatan telah banyak terjadi perdagangan wanita dan anak, dengan tujuan untuk prostitusi, yang dilakukan oieh kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi. Oleh karena itu, negara-negara yang tergabung dalam SAARC, diharuskan untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan

63  Ibid,.  64 Frank Laczko, Amanda Klekowski von Koppenfels dan Jana Barthel,  September 2002,   Trafficking in Women from Central and Eastern Europe: A Review of Statistical Data, European  Conference On Preventing And Combating Trafficking In Human Beings: Global Challenge For  21st Century, Brussels, Belgium, hal. 2. 

65  SAARC  diadopsi  pada  Bulan  Januari  2002,  dengan  negara  anggota:  Bangladesh, 

(37)

terhadap akti vitas ini, dengan cara menetapkan aktivitas ini sebagai kejahatan yang dapat dipidana.

Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman

lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia ini mengatur lebih rinci tentang larangan memperlakukan seseorang menjadi sasaran penyiksaan, dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, seperti yang disebutkan dalam pasal 5 deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan pasal 7 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.66

Pasal 2 Konvensi ini menekankan setiap negara untuk mengambil langkah administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif untuk mencegah penyiksaan di dalam wilayah kekuasaan negaranya.

Selain beberapa instrumen hukum internasional yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebenarnya masih banyak instrumen hukum internasional lainnya yang mengkriminalisasi kejahatan perdagangan orang.

Referensi

Dokumen terkait

ISOLASI DAN ANALISIS KOMPONEN KIMIA MINYAK ATSIRI DAUN BARU CINA (Artemisia vulgaris L.) SERTA UJI.. AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN

Berdasarkan hasil pengujian johansen (lampiran 4),ternyata pada level signifikansi lima persen bahwa pendapatan nasional dan konsumsi rumah tangga saling berkointegrasi

Dalam melakukan analisis pemeringkatan website PT Lion Air, PT Garuda Indonesia dan PT Sriwijaya Air, penulis menggunakan tools pemeringkatan web yaitu Alexa Rank untuk

Pengalaman Belajar : Mengkaji makhluk hidup dan kehi-dupannya melalui pendekatan proses, mengkaji hubung-an antara makhluk hidup dengan ling-kungannya, termasuk peran

Simplifikasi simbolik dalam hal ini dapat dilihat dari contoh yang diberikan oleh Teungku Seumeubeut terhadap pengikut Wahabi dengan mengatakan bahwa yang tidak

Variabel Usia Kawin Pertama (X1) memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap fertilitas. (Y) pada wanita pekerja di kota Palangka Raya dalam hal

Histon adalah protein yang mempunyai sifat basa dan dapat larut

Penelitian ini merancang sebuah aplikasi ujian berbasis komputer (Computer Based Test - CBT) menggunakan metode User Centered Design dan berbasis desktop untuk lebih