SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
(Analisis Putusan Nomor: 94/PID.SUS/2020/PN.NAB)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persayaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pidana (S.H.)
Oleh:
Muhammad Farhan Ramadhan Polhaupessy 11170454000011
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M/ 1442 H
i
SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
(Analisis Putusan Nomor: 94/Pid.Sus/2020/PN Nab) Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pidana (S.H.)
Oleh:
Muhammad Farhan Ramadhan Polhaupessy 11170454000011
Di Bawah Bimbingan:
Dosen Pembimbing I
Dr. Yayan Sopyan, S.H.M M.A., M.H.
NIP. 196810141996031002
Dosen Pembimbing II
Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H.
NIP. 198505242020121006
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M / 1442 H
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “SANKSI PIDANA TERHDAPAT TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA (ANALISIS PUTUSAN NOMOR: 94/PID.SUS/2020/PN.NAB)”. Telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tangan 19 Januari 2022. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah).
Jakarta, 19 Januari 2022 Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A.
NIP.197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Qasim Arsadani, M.A.
NIP.196906292008011016
(………..)
2. Sekretaris : Mohammad Mujibur Rohman, M.A.
NIP.197604802007101001
(………..)
3. Pembimbing I : Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H.
NIP.196810141996031002
(………..)
4. Pembimbing II : Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H.
NIP.198505242020121006
(………..)
5. Penguji I : Dra. Ipah Parihah, M.H.
NIP.195908191994032001
(………..)
6. Penguji II : Muhammad Ishar Helmy, S.H., M.H.
NIDN.9920112859
(………..)
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv ABSTRAK
Muhammad Farhan Ramadhan Polhaupessy NIM 11170454000011, SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA (Analisis Putusan Nomor: 94/Pid.Sus/2020/PN Nab). Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2021 M/1442 H.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang berdasarkan perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, dengan teknik pengumpulan data library research serta menggunakan pendekatan yuridis normatif. Setelah data diperoleh, penulis menganlisis secara kualitatif data yang diperoleh terhadap objek kajian berdasarkan putusan Nomor 94/Pid.Sus/2020/PN Nab.
Hasil dari penelitian ini, menunjukan bahwa dalam putusan Nomor 94/Pid.Sus/2020/PN Nab menetapkan sanksi pidana yang dijatuhkan Hakim kepada terdakwa berupa pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebanyak Rp 120.000.000,00. Telah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan pertimbangan majelis Hakim menjatuhkan sanksi kepada terdakwa melihat dari berbagai faktor yaitu yuridis, sosiologis dan filosofis. Dan dalam Hukum Islam sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku perdagangan orang beurpa hukuman ta’zir.
Kata Kunci : Tindak Pidana dan Perdagangan Orang
Pembimbing : Dr. Yayan Sopyan, M.H. dan Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H.
v
KATA PENGANTAR
ِمْیِحَّرلا ِنلْحَّْرلا ِهلل ِمْسِب
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda tercinta Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat-Nya.
Bagi penulis, dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari materi yang disajikan maupun secara teknis penulisan karena keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Penulis juga menyadari bahwa hal tersebut tidak akan terwujud tanpa bantuan dan peran dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Qosim Arsadani, M.A. Selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Mohammad Mujibur Rohman, M.A. Selaku Sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., Selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah memperlancar tahapan menuju pembuatan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Yayan Sopyan, M.H., dan Bapak Mara Sutan Rambe, S.Hi., M.H.
selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang senantiasa peduli, sabar, meluangkan waktu untuk membimbing serta selalu memberikan pengarahan yang begitu baik bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini.
6. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
vi
Hukum yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan dan litetarur lainnya sehingga penulis dapat memperoleh informasi yang diperlukan.
7. Pimpinan dan karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan fasilitas dan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan keperluan administrasi.
8. Para Bapak dan Ibu Dosen serta civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan kepada penulis baik di dalam perkuliahan maupun di luar perkuliahan.
9. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis tercinta Ayahanda Moksin Polhaupessy (alm) dan Ibunda Salma Polhaupessy yang telah mendidik, selalu memberikan kasih sayang, dukungan, nasihat dan doa yang tiada hentinya sampai penulis dapat menempuh kuliah Strata Satu (S1).
10. Kepada Saudara dan Saudari penulis Abang Awi, Caca Danti, Caca Dila, Caca Uti, Caca Opi, Caca Tima dan Abang Agi yang selalu memberikan doa serta dukungan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Kepada teman-teman yang selalu memberikan support kepada penulis: om ijal, fikri, onyong, budi, ceks, dika, ucil, asep, ayas, rhita dan Nadya.
Terimakasih atas doa dan dukungannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Kepada sahabat sahabati seperejuangan perkuliahan Raka, Azer, Deswir, Izzul, Maul, Mahrus, Syarif, Andika, Samad, Yasser, Fahrul, Amir, Farhan Kecil, Dian, Halimah, Amalina, Annisa, Caca. Terimakasih atas segala duka, tawa, Bahagia dan kebersamaannya,
13. Kepada teman-teman jurusan Hukum Pidana Islam Angkatan 2017, yang telah menemani selama dibangku kuliah. Semoga dukungan dan kebaikan yang diberikan dibalas dengan yang lebih baik lagi oleh Allah SWT.
Jakarta, September 2021
Penulis
vii DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMIBING ... i
PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 8
C.Perumusan Masalah ... 9
D.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
E. Metode Penelitian ... 10
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II TINDAK PIDANA DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ... 13
A.Kerangka Konseptual ... 13
1. Tindak Pidana Dalam Hukum Positif ... 13
2. Tindak Pidana Dalam Hukum Islam ... 18
B.Kerangka Teori ... 21
1. Teori Hak Asasi Manusia ... 21
2. Teori Tujuan Pemidanaan ... 22
C.Tinjaun (Review) Kajian Terdahulu ... 23
BAB III PERDAGANGAN ORANG DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ... 25
A.Pengertian Perdagangan Orang ... 25
B.Faktor-Faktor Perdagangan Orang... 27
C.Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam ... 34
1. Perdagangan Orang Dalam Hukum Positif ... 34
2. Perdagangan Orang Dalam Hukum Islam... 38
D.Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Hukum Positif Dan Hukum Islam ... 40
viii
1. Sanksi Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007... 40
2. Sanksi Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Hukum Islam ... 46
BAB IV SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA ... 53
A.Modus Operandi Tindak Pidana Perdagangan Orang... 53
B.Pertimbangan Hakim Perkara No: 94/PID.SUS/2020/PN.NAB .. ... 58
1. Kronologi Kasus... 58
2. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 61
3. Pertimbangan Hakim ... 62
4. Amar Putusan ... 71
5. Analisis Putusan Hakim Dalam Hukum Positif dan Hukum Islam ... 73
BAB V PENUTUP ... 79
A.Kesimpulan ... 79
B.Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Manusia itu dilahirkan sama dan memiliki kedudukan yang sederajat, di dalam agama (Islam) dikatakan bahwa Allah tidak pernah membedakan manusia dari bentuk fisik melainkan tingkat ketakwaannya.
Dan di dalam konstitusi juga menyatakan hal yang sama bahwasanya setiap warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan.
Munculnya peringatan Allah tentang kesetaraan dan pasal konstitusi di banyak negara merupakan reaksi atas perlakuan manusia maupun kelompok masyarakat tertentu terhadap manusia atau kelompok masyarakat tertentu baik berdasarkan agama, ras, etnik dan aneka pembeda lainnya. Dan cara pandang seseorang atau kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya telah melahirkan eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya, yang mana bisa menjadi sebuah kejahatan.1
Mengingat kejahatan sudah ada sejak adanya manusia tetapi jenis dan macamnya selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, sesuai perkembangan dan tempat manusia berada, yang mana kejahatan yang masih banyak terjadi saat ini ialah kejahatan perdagangan orang.2
Pada masa yang lalu, perdagangan orang merupakan suatu simbol/status sosial, dimana orang yang mempunyai status sosial yang tinggi (ekonomi dan kekuasaan/politik) dipastikan akan mempunyai budak/budak belian. Adapun yang dimaksud dengan ‘budak’ adalah orang yang dibeli dan dijadikan budak, hamba, jongos. Dan setiap orang yang mempunyai budak akan dianggap mempunyai status sosial yang tinggi, sehingga hal ini merupakan suatu hal yang umum.3
1 Erdianto Effendi, “Pemberantasan Perdagangan Orang Dengan Sarana Hukum Pidana”, Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1 Juni 2013, h., 86.
2 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h., 352.
3 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya), h., 90.
Perdagangan orang juga disini dapat dikatakan sebagai perbudakan dan juga melanggar hak asasi manusia. Karena kondisi ini juga berkembang dalam komunitas ekonomi yang memiliki tingkat ekonomi yang lemah atau bisa dibilang orang yang tidak berkecukupan, kemudian kurangnya pemahaman agama atau moralitas, dan bergantung pada kelompok atau komunitas yang memiliki ekonomi yang kuat.4 Perilaku ini juga meluas dalam berbagai bentuk, modus dan jaringan tindakan baik yang terorganisir maupun yang tidak baik terorganisir di berbagai belahan dunia dan pada akhirnya mengancam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.5
Mengingat fenomena tindak pidana perdagangan orang yang sering terungkap di Indonesia dalam persidangan, menurut Menteri PPPA, sebagian besar tujuannya untuk eksploitasi seksual, yaitu pelacuran, pedofilia, dan eksploitasi tenaga kerja. Menurut data Kementerian Sosial sejak 2016 hingga juni 2019, terdapat 4.906 korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia. Sementara itu juga data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga memperlihatkan, selama januari 2019 hingga juni 2020, terdapat 155 kasus tindak pidana perdagangan orang dengan 195 korban perempuan dan anak.6
Di Indonesia sendiri perdagangan orang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, adapun defenisi dari tindak pidana perdagangan orang ialah Perdagangan Orang adalah Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
4 Brian Septiadi Daud dan Eko Sopoyono, “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Di Indonesia”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol 1, No 3, 2019, h., 353.
5 Rr. Rina Antasari, “Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Global dan Islam di Provinsi Sumatera Selatan”, Jurnal Ka’faah, Vol 8, No 1, 2018, h., 53.
6 https://nasional.kompas.com/read/2020/07/30/16564671/indonesia-negara-asal- dan-tujuan-perdagangan-orang-terutama-untuk diakses pada tgl 19 februari 2021.
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Bahwasanya isu mengenai perdagangan orang ini erat kaitannya dengan pemahaman konsep hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu, penanganan masalah perdagangan orang ini sangat membutuhkan andil yang sangat besar dari negara sebagai sebuah sistem hukum yang wajib melindungi dan memenuhi hak asasi manusia (HAM) seluruh warga negaranya. Tanpa membeda-bedakan berdasarkan status sosial, gender, jenis kelamin, suku, agama, dan ras. 7
Aksi yang perlu dilakukan yaitu disamping mendesak pemerintah untuk terus mengupayakan adanya bentuk formal perlindungan hukum bagi para korban trafficking dan Tindakan tegas kepada para pelaku, disini juga sangat diperlukan kesadaran masyarakat agar ikut berperan aktif dalam memberantas praktek trafficking sehingga tujuan pemberantasan tercapai dengan maksimal, dengan adanya Kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat.8 Maka dari itu pemerintah atau siapapun yang berwewenang melarang tindak pidana pada pelaku trafficking dan memberikan hukuman yang setimpal.9
Karena perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban manusia menurut kodrat yang diberikan oleh penciptanya (Tuhan), yaitu hak untuk hidup bebas dan tidak boleh diperlakukan seperti makhluk lainnya (binatang), bahkan tidak dianggap sebagai barang (walaupun berujud).10 Seperti yang dikatakan oleh ulama dari
7 Nikodemus Niko, “Fenomena Trafficking In Person Di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat”, Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol 4, No 1, 2017, h., 34.
8 Zia Zakhiri dan Mahfud, “Tindak Pidana Perdagangan Orang (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Jantho Aceh Besar)”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana, Vol. 1, No. 1, 2017, h., 191.
9 Rusdaya Basri, “Human Trafficking Dan Solusinya Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Hukum Diktum, Vol. 10, No. 1, 2012, h., 93.
10 Henny Nuraeny. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h., 241.
muhammadiyah wilayah Sumatera Utara yaitu Dra. Salmi Abbas, M.H., bahwasanya kejahatan perdagangan orang merupakan tindak pidana yang berat dan serius dan harus dibesar-besarkan karena telah merampas kemerdekaan seseorang. Dan karena merampas kebebasan manusia padahal setiap manusia mempunyai hak yang sama.11
Jenis pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang berupa sanksi pidana penjara, pidana denda, dan pidana tambahan. Menurut KUHP ada beberapa jenis pemberian pidana dalam undang-undang yang mengatur pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang atau berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang, yaitu:
1. Ada pasal-pasal yang menggunakan sanksi pidana minimal- maksimal dan dendan minimal-maksimal.
2. Ada pasal yang menggunakan sanksi pidana saja, tetapi tetap ada minimal dan maksimal.
3. Ada pasal-pasal yang menggunakan sanksi pidana maksimal dan denda maksimal.
4. Ada pasal-pasal yang dimana menggunakan sanksi pidana maksimal saja.12
Hal ini juga dapat kita ketahui siapa saja yang menjadi target dari para pelaku tindak pidana ini untuk dapat dijadikan sebagai korban human trafficking:
1. Anak-anak jalanan.
2. Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan/informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilih.
3. Orang miskin di kota dan pedesaan.
4. Orang yang berada diperbatasan.
11 Nurhayati, Perbudakan Zaman Modern (Perdagangan Orang Dalam Perspektif Ulama), (Medan: Perdana Publishing, 2016), h., 151.
12 Farhana. Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h., 131.
5. Perempuan yang menjadi korban perkosaan.13
Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada bulan April 2007, peraturan-peraturan yang ada dan berlaku belum dapat memadai untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang, guna menjerat para pelaku perdagangan orang dan memenuhi rasa keadilan bagi perlindungan korban karena peraturan perundangan yang dapat digunakan yaitu, Pasal 297 KUHP dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan perdagangan orang dan sanksi hukum yang terdapat dalam Pasal 297 KUHP hukumnya masih tergolong ringan, yang dimana ancamannya hanya 0-6 tahun penjara, sedangkan dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak ada sanksinya. 14
Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada April 2007, yang merupakan peraturan yang khusus yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang, sehingga dapat menjadi sarana bagi penegakan hukum khususnya terhadap penanganan perdagangan orang.15
Secara umum ancaman hukuman yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang sejalan dengan konvensi PBB tentang kejahatan Terorganisir Antarnegara (United Nations Againts Transnational Organized Crime) yang menyatakan bahwa semua pihak harus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mengkriminalisasi semua perbuatan yang berkaitan dengan perdagangan dan sanksi akan dikenakan kepada mereka yang bertindak sebagai pelaku utama, kaki tangan dan sebagai bagian suatu organisasi.16
13 Alfitra, “Tindak Pidana Perdagangan Orang: Analisis Undang-Undang No. 21 Tahun 2007”, Jurnal Hukum Islam, Vol 7, No 1, 2009, h., 61.
14 Farhana. Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h., 19.
15 Farhana. Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, h., 20.
16 Farhana. Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, h., 137.
Sejarah Islam, pada masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW di wilayah jazirah Arab sudah dikenal dengan adanya perdagangan manusia (human trafficking) yang mana pada masa itu disebut dengan perbudakan.
Pada masanya, dalam mensiarkan agama Islam Nabi Muhammad SAW melakukan pembebasan manusia dari praktek perbudakan tersebut dengan mengajarkan, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling istimewa, paling sempurna, tidak hanya sempurna secara fisik namun juga dilengkapi dengan akal dan kemampuan lainnya.17
Pandangan hukum Islam tentang perdagangan orang, menurut pandangan ulama NU dari wilayah Sumatera Utara yaitu Drs. Asnan Ritongga, M.A., secara mendetail tidak ada disinggung secara langsung oleh Al-Quran atau al-Sunnah, tetapi dari segi fiqh bahwa manusia tidak termasuk barang yang bisa diperjualbelikkan. Dan di dalam mazhab Syafi’I belum diatur tentang perdagangan orang karena ini masalah baru.18 Dan menurut Drs. Musaddad Lubis, M.Ag., ia menyatakan bahwa secara langusng Al-Quran dan Hadis tidak ada menyinggung tentang perdagangan oran, apalagi dengan istilah trafficking, karena ini merupakan istilah yang baru, tetapi secara umum ada. Menurut Al-Quran semua manusia itu bebas merdeka sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Isra ayat 70, al-Nur ayat 33, dan al-Nisa ayat 75. Dalam salah satu hadis teksnya jelas disebutkan bahwa
“Jangan kamu memperbudak manusia karena mereka dilahirkan dalam keadaan merdeka.” Fiqh klasik memang membahas tentang perbudakan tetapi bukan berarti perbudakan diperbolehkan karena sanksi terhadap perbuatan tertentu ditetapkan Rasul dengan memerdekakan budak.19
Bahwasanya agama Islam sangat menghargai kemanusiaan setiap orang, dan karenanya Islam memiliki langkah-langkah untuk menghapus
17 Rr. Rina Antasari, “Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Global dan Islam di Provinsi Sumatera Selatan”, Jurnal Ka’faah, Vol. 8, No. 1, 2018, h., 53.
18 Nurhayati, Perbudakan Zaman Modern (Perdagangan Orang Dalam Perspektif Ulama), (Medan: Perdana Publishing, 2016), h., 151.
19 Nurhayati, Perbudakan Zaman Modern (Perdagangan Orang Dalam Perspektif Ulama), h., 155.
perbudakan sebagai berikut : a) memerdekakan budak, dimana hal ini membawa pelakunya mendapat balasan kebaikan dari Tuhan, b) menetapkan sanksi berbagai pelanggaran hukum dengan memerdekakan budak, c) memerintahkan majikan agar memberikan kesempatan kepada budak untuk memerdekakan diri, yang karenanya budak berhak mendapatkan zakat sebagai usaha usaha memerdekakan dirinya dan tidak memiliki ketergantungan ekonomi dengan majikannya, d) melaksanakan nazar dengan memerdekakan budak.20
Sebagaimana hukum positif, dalam hukum Islam juga terdapat sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang ini. Pelaku dalam tindak pidana ini dimasukan ke dalam kategori jarimah tazir karena tidak ditentukan secara khusus jenis hukumannya baik dalam Al-Quran maupun Al-Hadist. Berbeda dengan qisas dan hudud, untuk menentukan jenis dan ukuran sanksi tazir ini menjadi wewenang hakim atau penguasa setempat.21
Seperti yang harus diketahui juga bahwasanya mengenai perdagangan orang yang sering terjadi di Indonesia ini beragam sekali jenisnya, seperti dengan cara eksploitasi, perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang, penggunaan kekerasan dll. Sebagai salah satu bukti, terjadi tindak pidana perdagangan orang pada hari Jumat, 21 Agustus 2020 yang mana terdakwa menawarkan pekerjaan kepada para saksi sebagai lady companion (LC) atau pemandu nyanyi atau menemani minum-minuman beralkohol diiringi musik di Kabupaten Paniai, Papua, dengan dibayar perjam apabila melakukan pekerjaan tersebut.
Permasalahan perdagangan orang menurut penulis menarik untuk dibahas, meskipun telah terdapat aturan hukum dan sanksi yang jelas tetapi perdagangan orang ini masih sering terjadi dan terlebihnya lagi kepada kaum Perempuan dan Anak-anak di Indonesia. Penulis akan menggunakan
20 Rusdaya Basri, “Human Trafficking Dan Solusinya Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Hukum Diktum, Vol. 10, No. 1, Januari 2012, h., 93.
21 M. Nurul Irfan. Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), h., 93.
perspektif hukum positif dan hukum islam sebagai sanksi atau hukuman yang akan diberikan kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang dan penulis akan mengkomparasikan sanksi antara keduanya. Hal ini yang membuat penulis untuk mengkaji dan mengetahui lebih dalam mengenai perdagangan orang ini dengan judul: “SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA (Analisi Putusan No: 94/PID.SUS/2020/PN.NAB)”
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis dapat mengidentifikasi beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
a. Penyebab terjadinya perdagangan orang.
b. Ketentuan sanksi terhadap pelaku pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
c. Ketentuan hukum Islam kepada pelaku Perdagangan Orang.
d. Bentuk modus operandi tindak pidana perdagangan orang.
e. Persamaan dan perbedaan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dalam mengatur sanksi perdagangan orang.
f. Pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara putusan No: 94/PID.SUS/2020/PN NAB.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan masalah yang diidentifikasi tersebut, maka penulis disini membatasi masalah yang akan dikaji dan diteliti lebih dalam seputar sanksi pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang yang sering terjadi di Indonesia dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang akan penulis teliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk modus operandi tindak pidana perdagangan orang?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana perdagangan orang dalam Putusan No:
94/PID.SUS/2020/PN.NAB?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bentuk modus operandi tindak pidana perdagangan orang.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana perdagangan orang dalam Putusan No:
94/PID.SUS/2020/PN.NAB.
2. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat yang sangat berguna, antara lain sebagai berikut:
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan sanksi tindak pidana perdagangan orang.
b. Penelitian ini dimaksudkan untuk menambah wawasan informasi seputar sanksi tindak pidana perdagangan orang bagi para pembaca.
c. Memberikan penjelasan bagaimana hukum Islam dan hukum positif dalam mengatur tindak pidana perdagangan orang.
d. Penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran kepada para penegak hukum dalam menerapkan dan menjalankan hukuman di Indonesia.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian ini pada dasarnya merupakan suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skirpsi ini adalah penelitian normatif. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwasanya penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal biasanya hanya menggunakan sumber data sekunder saja, yaitu peraturan perundang-undangan, teori hukum, pendapat para sarjana terkemuka, dan keputusan-keputusan pengadilan.22
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang dipakai penulis dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka.23
3. Sumber Data
Adapun sumber data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Sumber Primer
Sumber primer, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Al-Quran, Hadist, dan Putusan Hakim Analisis Putusan No:
94/PID.SUS/2020/PN.NAB.
b. Sumber Sekunder
22 Soejonno dan Abdurrahman. Metodologi Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), h., 56.
23 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h., 13.
Sumber sekunder, menggunakan beberapa buku-buku, jurnal, surat kabar atau artikel yang berkaitan dengan judul penelitian ini.
c. Sumber Tersier
Sumber tersier, berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Arab, Kamus Besar Inggris, dan Ensiklopedia.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data yaitu studi Pustaka (library research), dan teknik pengumpulan datanya melalui bahan-bahan tertulis atau dokumen- dokumen berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal/aritkel dan sumber lainya yang ada relevansinya atau keterkaitan terhadap penelitian ini.
5. Teknik Analisis Data
Adapun analisis data yang digunakan dalam pembahasan ini dengan analisis kualitatif yakni menarik kesimpulan secara deduktif dan deskriptif, dan seluruh data yang didapatkan akan diklasifikasikan lagi dari bentuk yang bersifat umum sehingga akan mendapatkan gambaran kesimpulan yang lebih spesifik lagi.
Penulis disini menggunakan metode penulisan skripsi ini dengan berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum, tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini mudah dipahami, maka penulis disini membagi menjadi 5 (lima) bab dan masing-masing bab mempunyai sub-sub bab sebagaimana standar pembuatan skripsi, yaitu:
BAB I: PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan yang menguraikan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: TINDAK PIDANA DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
Pada bab ini membahas antara lain, A. Kerangka Konseptual yang meliputi tindak pidana dalam hukum positif dan tindak pidana dalam hukum Islam. B. Kerangka Teori, dan C.
Tinjauan Review Kajian Terdahulu.
BAB III: PERDAGANGAN ORANG DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
Pada bab ini membahas mengenai perdagangan orang, faktor-faktor perdagangan orang dan tindak pidana perdagangan orang dalam hukum positif dan hukum islam, serta sanksi-sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam hukum positif dan hukum islam.
BAB IV: ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NOMOR:
94/PID.SUS/2020/PN.NAB
Pada bab ini membahas mengenai modus operandi tindak pidana perdagangan orang dan pertimbangan majelis hakim dalam putusan No: 94/PID.SUS/2020/PN.NAB dan
BAB V: PENUTUP
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan bab awal sampai bab keempat dan juga saran terhadap penelitian ini.
13 BAB II
TINDAK PIDANA DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Kerangka Konseptual
1. Tindak Pidana Dalam Hukum Positif a. Defenisi Tindak Pidana
Istiliah tindak pidana dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Belanda yaitu “strafbaar feit”,24 tetapi karena pemerintah sendiri tidak menetapkan secara resmi atas istilah dari Bahasa Belanda tersebut, maka timbullah pandangan yang bervariasi dalam Bahasa Indonesia sebagai padanan dari istilah “strafbaar feit”, seperti: perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan lain sebagainya.25
Para pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelesan mengenai apa yang dimaksud dengan kata “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat mengenai apa sebenarnya yang di maksud dari kata “strafbaar feit”.
Pengertian tindak pidana dapat dilihat dari para ahli hukum yakni, menurut profesor Simons, strafbaar feit yaitu “suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat di hukum.
Selain itu apa yang dikemukakan oleh para ahli di Eropa, pengertian “strafbaar feit” dikemukakan juga oleh para ahli dari Indonesia, seperti pendapat yang dikemukakan oleh Moeljanto.
Moeljanto berpendapat bahwa, setelah memilih “perbuatan pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit”, beliau memberikan perumusan sebagai perbuatan yang dilarang dan
24 Andi Sofyan dan Nur Azizah, Hukum Pidana, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2016), h., 96.
25 Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h., 68.
diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan terciptanya tata pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.26 Adapun Menurut Wirjono Prodjodikoro, Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana, dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.27
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat dari Lamintang, pada umumnya tindak pidana dalam KUHP dijabarkan unsur-unsurnya menjadi 2 (dua) macam, yaitu unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri dari si pelaku atau berhubungan pada diri pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yang mana tindakan dari si pembuat itu harus dilakukan.28
Unsur subjektif dari tindak pidana adalah:
1) Kesengajaan (culpa) atau ketidaksengajaan (dolus).
2) Maksud dan voornemen pada suatu percobaan atau poging.
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu seperti dalam kejahatan pembunuhan.
26 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana , (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h., 122.
27 Wirjono Prodjodjokro, Tindak Pidana Tertentu DI Indonesia, (Jakarta- Bandung: Eresco, 1981), h., 50.
28 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 2014), h., 184.
5) Perasaan takut seperti yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana pembuangan bayi.
Unsur Objektif dari tindak pidana adalah:
1) Sifat melanggar hukum.
2) Kualitas si pelaku.
3) Kausalitas, yaitu hubungan antar suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Jenis-Jenis tindak pidana (delik) dalam hukum pidana sebagai berikut:
1) Delik Kejahatan dan Delik Pelanggaran
Pembedaan tindak pidana yang paling lazim dikenal adalah pembedaan berdasarkan sistematika KUHP, yakni Buku II yang memuat tindak pidana kejahatan dan Buku III yang memuat tindak pidana pelanggaran.
2) Delik Formil dan Delik Materiil
Delik formil yaitu delik yang yang terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, contohnya Pasal 209 KUHP dan Pasal 210 KUHP tentang penyuapan atau penyuapan aktif. Sedangkan delik materiil baru dianggap terejadi setelah timbul akibatnya yang dilarang dan diancam pidana oleh udang-undang, contohnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.29
3) Delik Sengaja dan Delik Kealpaan
Delik sengaja yaitu delik yang dilakukan dengan sengaja, contohnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal
29 Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2016), h., 105.
351 tentang penganiayaan. Sedangkan Delik kealpaan yaitu delik yang dilakukan karena kesalahannya atau kealpaan, contohnya Pasal 359 KUHP yaitu karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang mati dan Pasal 360 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka.30
4) Delik Aduan dan Delik Bukan Aduan
Tindak pidana aduan, merupakan tindak pidana yang penuntunnya didasarkan pada adanya pengaduan dari pihak korban dari tindak pidana itu. Sedangkan tindak pidana bukan aduan merupakan tindak pidana yang penuntutannya tidak didasarkan pada inisiatif dari korban, baik korban mengadu ataupun tidak sejauh diketahui adanya laporan atau karena dilihat langsung oleh aparat penegak hukum yang berwenang, maka aparat penegak hukum wajib melakukan penuntutuan atas tindak pidana itu.31
5) Delik Tunggal dan Delik Berganda
Delik tunggal adalah tindak pidana yang kejadiannya cukup dengan perbuatan satu kali. Sementara delik berganda merupakan suatu tindak pidana yang baru dianggap terjadi bilamana dilakukan beberapa kali perbuatan, contoh penadahan sebagai kebiasaan (Pasa; 481 KUHP).32
6) Delik Yang Berlangsung Terus dan Delik Yang Tidak Berlangsung Terus
Delik berlangsung terus mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung lama, contohnya merampas
30 Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2016), h., 107.
31 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, Hukum Pidana (Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP), (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h., 110.
32 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, Hukum Pidana (Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP), h., 112.
kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP). Sedangkan delik tidak berlangsung terus merupakan tindak pidana yang terjadinya tidak mensyaratkan keadaan terlarang yang berlangsung lama.
7) Delik Ringan dan Delik Berat
Tindak pidana ringan merupakan tindak pidana yang dampak kerugiannya tidak besar dan karena itu ancaman pidana juga ringan, sementara tindak pidan berat merupakan tindak pidana yang dampak kerugiannya ditimbulkan cukup besar, oleh karena itu ancaman pidananya juga berat.33
8) Delik Sederhana dan Delik Yang Ada Pemberatannya
Tindak pidana yang ada pemberatnya, contohnya seperti pembunhan dengan sengaja dan dengan mempunyai rencan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP), penganiayaan yang menyebabkan terjadinya luka berat atau matinya seseorang (Pasal 351 ayat 2, 3 KUHP). Sementara tindak pidana sederhana, contohnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pencurian (Pasal 326 KUHP).34
9) Delik Commissionis, Delik Omissionis, dan Delik Commissionis Per Omisionem Commissa
Delik commissionis berupa melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, jadi merupakan pelanggaran terhadap larangan. Delik omissionis, berupa perbuatan pasif atau negatif ditandai dengan tidak dilakukannya sesuatu perbuatan yang diperintahkan atau diwajibkan oleh undang-undang. Delik commissionis per omisionem commissa, perbuatan itu sebenarnya merupakan
33 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, Hukum Pidana (Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP), (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h., 113.
34 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, Hukum Pidana (Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP), h., 112.
tindak pidana commissionis tetapi dilakukan dengan jalan tidak berbuat, yaki tidak melakukan sesuatu yang merupakan kewajiban.35
10) Delik Politik dan Delik Umum
Delik politik yaitu delik yang ditujukan terhadap keamanan negara dan kepala negara. Sedangkan delik umum adalah delik yang tidak ditujukan kepada keamanan negara dan kepala negara.36
2. Tindak Pidana Dalam Hukum Islam
Di dalam Hukum Pidana Islam, kejahatan/tindak pidana biasanya didefenisikan dari istilah-istilah seperti: al-jarimah, al-jinayah, al- janhah, atau al-mukhalafah. Keempat isitilah tersebut memiliki kesamaan, yaitu sebagai suatu tindakan yang melawan hukum. Kata jarimah identik dengan hukum positif sebagai tindak pidana atau pelanggaran, dan jarimah diistilahkan dengan delik atau tindak pidana.37 Dan didalam hukum positif, contoh jarimah diistilahkan dengan tindak pidana pembunuhan, pencurian dan sebagainya.
Secara terminologi kata jarimah atau jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al-Qadir Audah, jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda atau lainnya.38
Tindak pidana didefenisikan dalam syariat islam adalah larangan- larangan syariat yang dicega Allah dengan hukuman had atau hukuman
35 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, Hukum Pidana (Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP), (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h., 111.
36 Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2016), h., 108.
37 Fitri Wahyuni, Hukum Pidana Islam (Aktualisasi Nilai-Nilai Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia), (Banten: Nusantara Persada Utama, 2018), h., 25.
38 Abd al-Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub, 1963), h., 67.
ta’zir atau tindakan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan yang syariat telah menetapkan pengharamannya dan sanksi atasnya.39
Dari defenisi di atas mengenai tindak pidana menjadi jelas bahwa tindakan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan tidak termasuk tindak pidana, kecuali apabila telah ditetapkan suatu hukuman atas tindakan tersebut. Dan apabila tidak ada penetapan sanksi atas tindakan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, maka tindakan itu tidak dinamakan dengan tindak pidana.
Adapun di dalam hukum islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika terpenuhi semua unsur-unsurnya, yakni:
a. Unsur formil atau rukun syar’i yaitu unsur yang menyebutkan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang- undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.40
b. Unsur materil atau rukun maddi, yaitu adanya perbuatan pidana yang dilakukan41 atau bisa dibilang adanya perbuatan yang melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan, dan alasan bahwa jarimah yang harus memenuhi unsur materil seperti yang dikatakan dalam Hadist Nabi Riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah yang mengajar bahwa “Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati selagi ia tidak menyatakan dengan lisan atau mengerjkannya dengan nyata”.
c. Unsur moril atau rukun adabi yaitu adanya niat atau kesengajaan pelaku untuk berbuat jarimah. Unsur ini menyangkut tanggung
39 Fitri Wahyuni, Hukum Pidana Islam (Aktualisasi Nilai-Nilai Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia), (Banten: Nusantara Persada Utama, 2018), h., 26.
40 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h., 2.
41 Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang: Rafah Press, 2020), h., 57.
jawab yang hanya dikenakan kepada orang yang telah dewasa / baliqh, sehat akalnya dan tidak terpaksa dalam melakukannya.42 Adapun jenis-jenis tindak pidana atau jarimah yang terdapat dalam hukum islam sebagai berikut:
a. Jarimah Qisas dan Diyat
Qisas secara terminologi seperti yang dikemukakan oleh Al- Jurjani, yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti persis tindakan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Lebih jelas lagi, dalam Al-Muj’am Al-Wasith qisas diartikan dengan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan; nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.43 Sedangkan diyat adalah uang tebusan sebagai ganti rugi akibat kasus pembunuhan dan penganiayaan yang mendapatkan permaafan dari keluarga korban dan wajib dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga korban.44
b. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, had secara bahasa adalah pemisah antara dua hal agar tidak bercampur dengan yang lainnya, atau batasan antara satu dengan yang lain. Contohnya seperti batas tanah, batas haram dan lain sebagainya.45
Adapun pendapat dari Nawawi Al-Bantani mendefenisikan hudud yaitu, sanksi yang telah ditentukan dan wajib diberlakukan kepada seseorang yang melanggar suatu pelanggaran yang
42 Fitri Wahyuni, Hukum Pidana Islam (Aktualisasi Nilai-Nilai Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia), (Banten: Nusantara Persada Utama, 2018), h., 73.
43 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), h., 30.
44 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 41.
45 Reni Surya, “Klasifikasi Tindak Pidana Hudud dan Sanksinya Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2018, h., 531.
akibatnya sanksi itu dituntut, baik dalam rangka memberikan peringatan pelaku maupun dalam rangka memaksanya.46
c. Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zir adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had.
Hukuman ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Atau bisa dibilang bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara melainkan disertakan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya.
Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja.47
B. Kerangka Teori
Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan. Teori ini berguna sebagai landasan sekaligus batasn mengenai pembahasan yang akan diangkap dalam skripsi.
1. Teori Hak Asasi Manusia
Setiap manusia pada dasarnya bebas dari merdeka, ia memiliki posisi yang sama di depan hukum karena pada hakikatnya manusia sama dan sederajat. Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang dicetuskan di Inggris pada tahun 1689 menyatakan bahwa asas persamaan antar manusia harus diwujudkan betapa pun rintangan yang dihadapi. Hal ini disebabkan, tanpa hak persamaan, hak kebebasan manusia mustahil dapat terwujud. Terkait dengan hak dasar manusia, John Lock mencetuskan teori hukum kodrati yaitu bahwa di dalam masyarakat manusia terdapat hak-hak dasar manusia yang tidak dapat
46 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h., 14.
47 Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang: Rafah Press, 2020), h., 62.
dilanggar oleh negara dan juga tidak diserahkan kepada negara. Bahkan menurut John Lock sendiri, hak dasar manusia ini justru harus dilindungi oleh negara dan menjadi Batasan bagi kekuasaan negara yang mutlak. Hak-hak kodrati (alamiah) manusia yang dicetuskan oleh John Lock meliputi: hak atas hidup, hak atas kemerdekaan dan hak atas milik pribadi.48 Bahwasanya di Indonesia sendiri HAM sudah diatur di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa:49
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Oleh karena itu, masalah kejahatan perdagangan orang merupakan kejahatan terbesar terhadap kemanusiaan abad ini. Dengan kata lain, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Manusia yang harkat dan martabatnya yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, maka sesama manusia siapa pun dia tidak diperkanankan untuk memperlakukan sesama manusia seperti benda atau barang dengan memperjualbelikannya untuk tujuan apapun.50
2. Teori Tujuan Pemidanaan a. Teori Absolut
Menurut teori ini, pidana dapat dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau tindak pidana. Pendapat dari Muladi dan Barda Nawawi menyatakan bahwa, pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, jadi
48 Fuad Mustafid, “Perdagangan Orang Dalam Perspektif HAM dan Filsafat Hukum Islam”, Jurnal Al-Ahkam, Vol. 29, No.1, April 2019, h., 98.
49 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
50 Yohanes Suhardin, “Tinjauan Yuridis Mengenai Perdagangan Orang Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol.21, No.3, Oktober 2008, h., 481.
dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.51
b. Teori Relatif
Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa pejatuhan pidana dan pelaksanaannya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana dari kemungkinan akan melakukan kejahatan lagi di masa yang akan datang, serta mencegah masyarakat pada umumnya dari kemungkinan untuk melakukan kejahatan seperti kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana maupun lainnya.52 Jadi tujuan dari teori relatif untuk mencegah agar ketertiban dalam masyarakat tidak terganggu.
C. Tinjaun (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis terhadap kajian terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Andi Atika, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, dalam skripsin ya yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Kota Makassar (Studi Kasus Putusan No.597/Pid.B/2013/PN.MKS)”, yang membahas mengenai tindak perdagangan orang yang terjadi di kota makassar berdasarkan putusan No.597/Pid.B/2013/PN.MKS. Perbedaan skripsi di atas dengan peneliti yang akan dibahas yaitu skripsi tersebut menggunakan studi kasus putusan sebagai bahan acuannya, sedangkan peneliti disini hanya fokus kepada sanksi tindak pidana perdagangan orang menurut Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan di skripsi tersebut tidak membahas mengenai sanksi tindak pidana perdagangan orang menurut hukum
51 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), h., 11.
52 John Kenedi, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h., 145.
Islam, selanjutnya persamaan skripsi tersebut dengan penelitian yang akan diteliti yaitu sama-sama membahas mengenai tindak pidana perdagangan orang.
2. Herman Nadeak, Mahasiswa Prodi Kepidanaan, Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, dalam skripsinya yang berjudul “Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Melalui Media Sosial (Studi Putusan Nomor 388/Pid.Sus/2018/PN.Mdn)”, dalam skripsinya membahas mengenai tindak pidana perdagangan orang melalui beberapa platform media sosial lainnya seperti facebook, whatsapp, line, dan facetime. Dan perbedaan antara skripsi di atas dengan peneliti yang akan dikaji yaitu skripsi tersebut membahas mengenai mengapa bisa terjadi perdagangan orang melalui platform media sosial, sedangkan peniliti hanya membahas mengenai sanksi yang akan diberikan kepada pelaku tindak perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan skripsi di atas tidak membahas mengenai sanksi tindak perdagangan orang menurut hukum Islam. Persamaan skripsi di atas dengan peniliti disini sama-sama membahas mengenai tindak pidana perdagangan orang.
25 BAB III
PERDAGANGAN ORANG DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Perdagangan Orang
Apabila berbicara mengenai Perdagangan orang (trafficking) maka dapat mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Perdagangan orang meliputi serangkian masalah dan isu-isu sensitif dan kompleks, yang dapat ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut pandang pribadi masing-masing atau organisasinya.53
Michelle O.P. Dunbar disini memberi pengertian mengenai perdagangan orang dalam konteks yang lebih sempit yaitu, dalam hubungannya dengan perdagangan perempuan. Menurutnya, konsep mengenai perdagangan perempuan ini tidak hanya dibatasi pada pelacuran paksa. Dan pelacuran tidak hanya dikaitkan dengan perempuan, mengingat karena tidak semua para korban perdagangan orang yaitu pelacur perempuan.54
Steve Chalke menyebutkan perdagangan orang dipahami sebagai dislokasi seseorang melalui penipuan atau kekerasan untuk tujuan eksploitasi melalui cara menjadikan seseorang menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) dan buruh secara paksa, atau bentuk dari perbudakan lainnya.55
Pada tahun 2000 ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengumumkan pertama kali mengenai defenisi perdagangan manusia, mengunakan protokol untuk menekan, mencegah dan menghukum perdagangan atas manusia, khususnya untuk para kaum perempuan dan
53 Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan Dan Anak Di Indonesia, (Jakarta:
Usaid, 2003), h., 11.
54 Michelle O.P. Dunbar, “The Past, Present, and Future of International Trafficking in Women for Prostitution”, Buffalo Women’s Law Journal, Vol. 8, 1999, h., 105.
55 Steve Chalke, Stop The Traffik: People Shouldn’t Be Bought And Sold, (T.tt.:
Lion Hudson Ple, 2009), h., 14.
anak-anak yang akhirnya sekarang terkenal dengan sebutan
“Protocol Palermo”. Protokol ini merupakan sebuah perangkat hukum yang mengikat dan menciptakan kewajiban bagi semua negara yang meratifikasinya dan menyetujuinya.56 Kemudian perdagangan orang menurut Protokol Palermo seperti yang tertuang di dalam pasal 3 yang rumusannya sebagai berikut:
a. Perdagangan orang yang dilakukan oleh orang lain, berarti perekrutan, pengiriman kesuatu tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan lain, penculikan, penipuan, penganiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapat keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi setidaknya mencakup eksploitasi pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui perbudakan, melalui praktek-praktek serupa perbudakan, melalui penghamaan atau melalui pemindahan organ tubuhnya.
b. Persetujuan korban perdagangan orang atas eksploitasi yang dimaksud pada pasal (3) sub (a), pasal ini menjadi tidak relevan apabila digunakan sarana yang dimaksud pada sub (a).
c. Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seorang anak untuk maksud eksploitasi di anggap sebagai
“perdagangan orang” meskipun apabila hal ini tidak mencakup salah satu sarana yang termaktub pada sub (a) pasal ini.
d. “Anak” berarti seseorang yang masih dibawah umur 18 (delapan belas) tahun.57
56 I Made Sidia Wedasmara, “Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)”, Jurnal Yustitia, Vol. 12, No. 1, 2018, h., 3.
57 I Made Sidia Wedasmara, “Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)”, Jurnal Yustitia, Vol. 12, No. 1, 2018, h., 4.
B. Faktor-Faktor Perdagangan Orang
Jika berbicara mengenai faktor penyebab terjadinya kasus perdagangan orang, tentu kita tidak bisa hanya menentukan penyebab terjadinya perdagangan orang dari satu faktor saja, karena kasus ini begitu kompleks dan penyebabnya multifaktor. Selain itu tidak ada faktor khusus yang menyebabkan kasus ini bisa terjadi, akan tetapi ada beberapa faktor yang saling mempengaruhi untuk terjadinya human trafficking ini.58
Praktik perdagangan orang yang masih sering terjadi baik itu di Indonesia maupun di negara-negara kawasan Asia Tenggara, biasanya identik dengan kekerasan dan pekerjaan-pekerjaan yang diketahui paling banyak dijadikan tujuan perdagangan yaitu perempuan dan anak-anak.
Terjadinya perdagangan kepada perempuan dan anak-anak merupakan multifaktor, yang dapat dikatakan bukan masalah yang sederhana, sehingga diperlukan juga kerjasama yang sinergi dari berbagai instansi aparat penegak hukum. Untuk mencegah terjadinya perdagangan orang khususnya perempuan dan anak salah satu faktor yang dapat dilaksanakan adalah pemberdayaan sumber daya manusia.59
Beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadi perdagangan orang tersebut yaitu karena:
1. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia yang dilatarbelakangi kemiskinan dan susahnya lapangan pekerjaan atau lapangan pekerjaan yang ada tapi tidak sebanding dengan jumlah penduduk, sehingga penyebab inilah yang mengakibatkan seseorang untuk melakukan sesuatu, dengan mencari
58 Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan Dan Anak Di Indonesia, (Jakarta:
Usaid, 2003), h., 25.
59 Sherly Ayuna Putri dan Agus Takariawan, “Pemahaman Mengenai Perlindung Korban Perdagangan Anak (Trafficking) Dan Pekerja Anak Di Bawah Umur Di Jawa Barat”, Jurnal Aplikasi Ipteks Untuk Masyarakat, Vol. 6, No. 3, Desember 2017, h., 247
pekerjaan meskipun harus ke luar dari daerah asalnya dengan resiko yang besar juga yang harus ia hadapi.60
Tingkat ekonomi yang rendah seringkali menjadi sumber munculnya sejumlah masalah sosial, antara lain semakin banyaknya pengemis yang bermunculan dan terlantarnya anak-anak. Tidak jarang juga dengan adanya kemiskinan ini menculnya disharmoni keluarga, termasuk di dalamnya juga muncul praktik perdagangan perempuan dan anak-anak untuk tujuan pelacuran. 61
Kemiskinan yang begitu berat dan langkahnya kesempatan kerja, membuat penduduk yang berada di Indonesia sendiri untuk melakukan migrasi baik di dalam negeri dan ke luar negeri, dengan alasan untuk menemukan cara bagaimana bisa menghidupi dirinya sendiri atau keluarga mereka sendiri.62
Demikian dari pengaruh kemiskinan dan kemakmuran masih bisa menjadi faktor utama terjadinya perdagangan orang ini. Oleh karena itu, kemiskinan dan keinginan seseorang untuk memperbaiki keadaan ekonomi masih menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam rangka mengentaskan kemiskinan.
2. Faktor Ekologis
Penduduk Indonesia yang sangat amat banyak ini jumlahnya yaitu 270 juta jiwa,63 dan secara geografi Indonesia terdiri 17.000 pulau dan 34 Provinsi. Dan letak dari Indonesia sendiri sangat strategis untuk menjadi negara asal dan transit, serta di Indonesia juga
60 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h., 50.
61 Abu Hanifah, “Perdagangan Perempuan Dan Anak: Kajian Faktor Penyebab Dan Alternatif Pencegahannya”, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 13, No. 02, 2008, h., 53.
62 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h., 50.
63 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210121161458-20- 596759/penduduk-indonesia-naik-276-juta-orang-dalam-6-bulan diakses pada tgl 15 juli 2021.
dilengkapi dengan banyaknya Pelabuhan dan bandar udara yang hampir ada disetiap daerah.64
Kepadatan penduduk di suatu daerah juga merupakan salah satu faktor yang juga dapat mendorong banyak orang untuk berimigrasi untuk mencari pekerjaan agar bisa membiayai hidup mereka dan keluarga mereka sehari-hari, sehingga banyak orang yang masih memilih untuk mencari pekerjaan di luar daerah merek dan bahkan bisa saja sampai ke luar negeri. Hal ini lah yang mengakibatkan kemunculan lembaga-lembaga penyalur tenaga kerja, dan apabila lembaga-lembaga tersebut tidak dikelola dengan benar maka akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan, yang diantaranya bisa yaitu terjadinya kejahatan perdagangan orang (Human Trafficking).65
Indonesia yang juga diapit oleh beberapa negara tetangga seperti Kalimantan Barat berabatasan dengan Malaysia, Papua berbatan dengan Papua Nugini, NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, dan di bagian selatan Indonesia berbatasan dengan Australia. Letak geografis yang amat terbuka dan mudah dipantau oleh negara-negara lain, juga kurangnya pengawasan oleh aparat pemerintah di setiap pelabuhan maupun bandar udara, memudahkan para trafficker memanfaatkan keadaan seperti ini untuk melalukan aksinya.66 Kemudian yang bisa dibilang letak geografis negara Indonesia seperti ini, sangat memudahkan orang untuk keluar masuk ke Indonesia melalui berbagai pintu baik secara legal maupun
64 Lewister D. Simartama, Maidin Gultom, dan Mhd. Ansori Lubis,
“PertanggungJawaban Pidana Berupa Pembayaran Restitusi Oleh Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)”, Jurnal Retentum, Vol. 2, No. 1, Februari 2021, h., 141.
65 Nur Liana Wijaya, “Tinjauan Yuridis Terhadap Korban Yang Dipaksa Melakukan Tindak Pidana Oleh Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang”, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 26, No. 5, Februari 2020, h., 561.
66 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h., 54.