• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena hikikomori..., Shella Diasti Pasyah, FIB UI, 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fenomena hikikomori..., Shella Diasti Pasyah, FIB UI, 2014"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

FENOMENA HIKIKOMORI DI TENGAH MASYARAKAT JEPANG

MODERN

Shella Diasti Pasyah

Program Studi Jepang

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia

Abstrak

makalah ini membahas tentang bagaimana perkembangan perekonomian di Jepang pasca perang dunia II mampu mengubah sistem keluarga di Jepang, sekaligus meningkatkan dunia pendidikan Jepang. Beratnya persaingan dalam meraih prestasi membuat para orangtua berusaha keras agar anak-anak mereka dapat bersekolah di sekolah unggulan dan bekerja di perusahaan yang prestisius. Namun demikian, tidak semua anak mampu memenuhi harapan orang tua mereka, dan hal tersebut akan menjadi tekanan bagi mereka hingga berujung pada sikap menarik diri dari lingkungan atau disebut juga dengan Hikikomori. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjelaskan mengenai apa itu Hikikomori, faktor penyebab serta dampaknya di kalangan masyarakat Jepang modern. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode deskriptif, sehingga dalam pengumpulan data penulis menggudanakan data kepustakaan mengenai masalah yang terkait serta pengumpulan data melalui internet.

Hikikomori Phenomenon in Modern Japanese Society

Abstract

This paper discusses how economic developments in Japan after World War II were able to change the family system in Japan, while enhancing the education of Japan. Weighing competition in achievement makes the parents tried to keep their children could attend superior schools and working in a prestigious company. However, not all children are able to meet the expectations of their parents, and it will be pressure for them to lead to withdrawal from the environment or also called Hikikomori. The purpose of this paper is to make it clear what Hikikomori, causes and impact on modern Japanese society. The research method used is descriptive writer, so the authors using data collection of data on issues related literature and data collection via the internet.

(4)

Pendahuluan

Pasca perang dunia II, berangsur-angsur Jepang memulihkan kestabilan perkonomiannya. Sehingga pada tahun 1989 Jepang telah berhasil menjadi pendonor terbesar di dunia. Usaha Jepang untuk mensejajarkan negaranya dengan negara maju lainnya tentu tidak berhenti sampai di situ. Hingga saat ini Jepang juga dikenal sebagai negara dengan teknologinya yang sangat maju. Akan tetapi, modernisasi yang dialami Jepang ternyata juga turut mengubah masyarakatnya. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat Jepang adalah terbentuknya masyarakat yang lebih individualistis. Terlihat pada perubahan pola keluarga tradisional di Jepang. Dahulu, khususnya ketika Jepang masih memberlakukan politik sakoku yaitu politik di mana Jepang menutup negaranya dari negara lain, sistem keluarga yang dianut Jepang adalah sistem Ie. Sistem keluarga tradisional ini sudah ada dan berkembang sejak zaman Edo oleh para kaum samurai. Pada sistem ini, ciri khas yang terjadi di Jepang adalah peranan kelompok, sehingga pola keluarga tradisional ini terbentuk karena adanya kekerabatan yang sangat kuat antar anggota keluarga. Seperti yang telah ditulis oleh Someya Yoshimichi dalam artikelnya yang berjudul The Changing Japanese Society: from the

Related to the Unrelated mengatakan bahwa dahulu masyarakat lebih diutamakan daripada individu. Sehingga

masyarakat mengutamakan kedamaiannya di atas kesejahteraan pribadi. Berbeda dengan sistem keluarga pasca perang dunia II, sistem ini berubah menjadi sistem kaku-kazoku atau keluarga batih. Dalam sistem ini, setiap individu diberi otoritasnya masing-masing. Sehingga membentuk pribadi yang kurang bersosialisasi dan mengurangi kekerabatan dalam suatu keluarga. Ini menjadi salah satu bukti semakin minimnya rasa sosial atau kekerabatan antar individu di Jepang.

Kemajuan ekonomi dan teknologi yang dialami Jepang juga membuat seluruh masyarakat Jepang agar mampu bersaing baik di dunia kerja maupun dunia pendidikan. Oleh karena itu, saat ini Jepang dikenal sebagai negara gakureki shakai di mana latar belakang pendidikan seorang individu sangatlah berpengaruh. Terutama bagi para generasi muda yang diharapkan mampu menjadi penerus bangsa yang berkualitas. Bila pada awal petumbuhan ekonomi dan industrialisasi di Jepang masyarakat pedesaan berlomba-lomba pindah ke kota untuk mendapatkan pekerjaan, lalu apakah yang terjadi dengan generasi muda di usia produktive saat ini yang tinggal di perkotaan?. Menurut Janti (2006:188) bahwa dalam menghadapi persaingan di dunia pendidikan ini ternyata menimbulkan berbagai penyimpangan sosial, seperti ijime, toko kyohi, hikikomori, taijin, kyofuso, otakuzoku dan sebagainya sering dihadapi oleh siswa sekolah, mulai dari kadar yang ringan sampai yang berat.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah, apakah faktor penyebab seseorang melakukan hikikomori serta bagaimanakah dampaknya terhadap kehidupan masyarakat di Jepang?. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana latar belakang terjadinya fenomena Hikikomori dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat Jepang. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. Sehingga dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan, dengan mengambil acuan dari berbagai buku, artikel, majalah, dan jurnal yang berkaitan dengan pembahasan. Selain itu penulis juga menggunakan data lain yang diakses melalui website yang bersangkutan sebagai pendukung pembahasan penelitian.

(5)

Pengertian hikikomori

Hikikomori adalah istilah untuk menyebut mereka yang mengurung diri di kamarnya dan menolak melakukan

aktifitas sosial. Fenomena ini bukanlah hal baru di Jepang. Seperti yang ditulis oleh Michael Dzienski dalam

Hikikomori Investigation into the Phenomenon of Acute Social Withdrawal in Contemporary Japan sesuai dengan

apa yang telah ditulis oleh Kudo bahwa sebenarnya fenomena ini telah ada selama hampir 20 tahun. Mereka yang berhenti sekolah atau menolak untuk datang ke sekolah pada tahun 1970-an dan 1980-an adalah mereka yang mengalami hal seperti apa yang disebut dengan Hikikomori pada tahun 2003. Kemudian dalam jurnalnya yang berjudul ‘hikikomori’ Among Youth Adults in Japan Mami Suwa dan Koichi Hara menuliskan;

In 2002, Watts introduced hikikomori is a new social problem in japanese society. Hikikomori means behavior in wich adolecents and young adults refuse all contact with society and withdraw with all social activity1

Artinya:

‘pada tahun 2002, Watts memperkenalkan hikikomori sebagai permasalahan baru dalam masyarakat jepang.

Hikikomori merupakan perilaku orang dewasa atau anak muda yang menolak segala hubungan dengan

masyarakat dan menarik diri dari aktifitas sosial’

Dalam sebuah artikel Ilma Sawindra Janti yang berjudul “Gejala Hikikomori Pada Masyarakat Jepang Dewasa Ini” menyebutkan bahwa istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh seorang psikolog Jepang bernama Saito Tamaki. Saito mendefinisikan Hikikomori sebagai:

‘keadaan lebih dari enam bulan mengurung diri di rumahnya sendiri, tidak berpartisipasi dalam masyarakat seperti pekerjaan dan sekolah, tidak ada hubungan akrab dengan orang lain selain keluarga’2

Selanjutnya, berdasarkan pengertian hikikomori yang ditulis oleh Saito, Ilma Sawindra Janti menambahkan bahwa, hikikomori bukanlah suatu penyakit kejiwaan. Melainkan satu keadaan di mana seseorang mengurung diri dan menolak untuk berpartisipasi ke tengah masyarakat untuk waktu yang cukup lama. Sehingga bila hal ini terus berlanjut, akan menyebabkan pelaku hikikomori mengalami gangguan psikis seperti depresi dan pada akhirnya benar-benar kehilangan keberanian untuk kembali berinteraksi dengan orang lain.

Faktor Penyebab Hikikomori

Seseorang yang melakukan hikikomori tidak serta merta menarik diri dari lingkungan sosialnya, tentu ada faktor penyebab yang membuat mereka memutuskan untuk mengundurkan diri dari kompetisi yang ketat di tengah masyarakat Jepang saat ini. Michael Dziesinski dalam penelitiannya yang berjudul Hikikomori Investigations into

the phenomenon of acute social withdrawal in contemporary Japan, menuliskan adanya tekanan sosial yang

dirasakan oleh para pelaku hikikomori dan dipicu oleh tindak kekerasan yang dalam hal ini terjadi di lingkungan sekolahnya atau dikenal juga dengan istilah ijime, merupakan awal penyebab seseorang perlahan-lahan menarik diri

1 Mami Suwa, Kochi Hara 2007:94

(6)

dari lingkungan sosialnya. Istilah ijime berasal dari kata ijimeru yang memiliki arti harafiah sebagai tindakan menyiksa, memarahi dan mencaci maki ( Erika Valentina, 2008). Ijime banyak terjadi di sekolah-sekolah yang pelaku dan korbannya adalah siswa dari sekolah itu sendiri.

Jepang merupakan negara dengan struktur masyarakatnya yang cukup unik yaitu kelompok atau dikenal juga dengan istilah shuudan shugi. Dengan struktur masyarakat yang demikian, sejak kecil masyarakat Jepang diajarkan untuk dapat menjadi bagian dari satu kelompok tertentu yang berdasarkan pada kriteria pendidikan, pekerjaan dan sebagainya. Sehingga apabila salah seorang individu gagal menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu maka biasanya akan dijadikan sebagai korban tindakan ijime. Akan tetapi, tidak semua korban ijime adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kriteria suatu kelompok tertentu, ada juga beberapa diantara mereka menjadi korban ijime karena memiliki kemampuan yang justru melebihi anggota kelompok lain. Jepang terbilang sebagai negara yang sangat menjunjung keseragaman. Sehingga, terdapat satu paribahasa di Jepang

deru kugi wa utaeru yang memiliki arti paku yang menonjol harus dipalu. Adapun paku menonjol yang dimaksud di

sini adalah perbedaan yanng tidak dikehendaki dalam sistem masyarakat Jepang yang homogen. Ini membuktikan betapa Jepang mengharuskan masyarakatnya untuk mengedepankan persamaan kelompok daripada individu. Oleh sebab itu, bagi mereka para korban yang mendapat perlakuan ijime akan enggan untuk datang ke sekolah atau di Jepang lazim disebut sebagai touko kyouhi. Ini merupakan proses awal mereka menjauhi lingkungan sosialnya.

Selain ijime, gagalnya seseorang dalam ujian atau gagal mendapatkan pekerjaan juga menjadi salah satu penyebab seseorang melakukan hikikomori. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Jepang merupakan negara

gakureki shakai yang di mana latar belakang pendidikan sangatlah berpengaruh, sehingga menuntut setiap

individunya untuk mampu bersaing dan berlomba-lomba memasuki sekolah unggulan dan bekerja di perusahaan yang prestisius. Selain itu tingginya harapan orangtua terhadap anaknya juga ternyata merupakan tekanan dan beban yang cukup berat bagi mereka. Sehingga bila gagal, mereka akan mengalami depresi dan bagi mereka yang tidak tahan akan mengambil jalan singkat yaitu bunuh diri. Budaya malu yang melekat pada masyarakat Jepang, membuat sebagian dari mereka yang gagal kemudian memutuskan untuk mundur dari persaingan dan mengurung diri di rumahnya. Oleh sebab itu, para pelaku hikikomori juga sering disebut sebagai generasi NEET ( Not in Education,

Employment or Training ) karena mereka menolak untuk bersekolah dan bekerja.

Kurangnya sosialisasi yang terjadi di dalam keluarga juga ikut menjadi salah satu penyebab seorang anak melakukan hikikomori. Keadaan perekonomian di Jepang yang baik dan proses industrialisasi yang maju telah memberi kesempatan bagi para perempuan untuk mendapatan pendidikan dan bekerja. Sehingga tidak jarang bagi para ibu saat ini yang bekerja sambil mengurus anaknya. Namun sayangnya, para ibu yang mengurus anaknya sambil bekerja tidak semua mampu mengerjakannya keduanya dengan seimbang. Sebagai contoh, dewasa ini anak-anak Jepang terbiasa membawa kunci rumahnya sendiri karena ketika mereka pulang dari sekolah tidak ada satupun anggota keluarganya yang berada di rumah. Baik ayah maupun ibu sibuk bekerja, dan pola asuh yang seperti ini justru memberi efek kepada sang anak merasa terasing di tengah keluarganya sendiri. Sehingga, mereka semakin kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orangtuanya dan perlahan-lahan mereka melakukan pengasingan diri yang berawal dari menjauhi keluarganya.

(7)

Kemajuan teknologi di Jepang ternyata juga memberi efek yang kurang baik bagi perkembangan kepribadian seorang anak dalam bersosialisasi. Seperti yang terjadi saat ini, maraknya video game di Jepang sudah tidak diragukan lagi. Di manapun dan kapanpun anak-anak di Jepang dapat menikmati kecanggihan teknologi ini. Ditambah lagi, semakin majunya teknologi Jepang semakin membuat industri yang bergerak di bidang ini berlomba-lomba untuk memasarkan berbagai macam video game ke tengah masyarakat. Akibatnya, anak-anak kini terbiasa bermain sendiri dan tidak membaur dengan teman-temannya. Sehingga saat ini tidak jarang pemandangan sekelompok anak bermain di satu tempat tetapi mereka asik dengan mainan masing-masing. Selain itu, perangkat elektronik mutakhir seperti telepon genggam, komputer dan internet yang saat ini bahkan dianggap sebagai kebutuhan dasar bagi masyaraat Jepang menyediakan ruang kesendirian yang lebih menarik daripada kehidupan nyata. Bahkan mereka mampu menghabiskan waktunya hanya dengan bermain game atau mengakses apapun melalui internet yang juga merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku hikikomori selama mereka mengurung diri di kamarnya.

Selain itu, di Jepang saat ini terdapat istilah Amae yaitu suatu keadaan dimana seorang anak sangat bergantung dengan orang tua mereka. Para pemuda yang hidup dengan menikmati fasilitas dari orangtua mereka tanpa melakukan usaha apapun untuk bekerja disebut juga sebagai parasite single atau bujangan benalu. Mereka hidup tergantung pada orangtuanya dan tidak ingin hidup mandiri dengan kekuatan mereka sendiri.3 Dan yang terjadi di Jepang adalah para orangtua cenderung berbagi cinta pasif dengan melayani segala kebutuhan anaknya. kemajuan ekonomi dan industri di Jepang mengharuskan para orangtua untuk bekerja dengan giat, sehingga seperti yang telah djelaskan sebelumnya, saat ini tidak jarang para ibu yang memiliki peran ganda, mereka mengurus anak dan juga bekerja. Para pemuda tersebut sudah terbiasa dilayani sehingga mereka tdak ingin bekerja karena merasa mereka bisa hidup berkat fasilitas yang diberikan oleh orangtua mereka, sehingga mereka tidak ingin hidup terpisah dan bahkan untuk beberapa kasus mereka bahkan sampai tidak ingin menikah. Dalam artikel yang berjudul Japan:

The Missing Million yang ditulis oleh Phil Rees bahwa,

More recently, Dr Saito points to the relationship between mothers and their sons. “In Japan, mothers and sons often have a symbiotic, co-dependent relationship. Mothers will care for their sons until they become 30 or 40 years old.

Artinya:

’Baru-baru ini, Dr Saito menitik beratkan pada hubungan antara ibu dan anak mereka. ”Di Jepang, ibu dan anak lelakinya sering mempunyai sebuah simbiotik, hubungan saling ketergantungan. Ibu akan mengurus anak-anaknya sampai mereka berusia 30 atau 40 tahun.”

Namun demikian, pola asuh yang seperti ini justru mengarahkan anak-anak mereka menuju pengasingan dan kehilangan kemampuan untuk berinteraksi di tengah masyarakat. Sehingga hal ini diduga menjadi salah satu faktor pendukung seorang anak melakukan hikikomori.

Tidak semua faktor penyebab hikikomori berasal dari lingkungan si pelaku. Karena ternyata salah satu penyebabnya dapat berasal dari dalam diri pelaku itu sendiri. Hal ini terbukti dari beberapa pelaku hikikomori yang didiagnosa menderita high-functioning pervasive development disorders. Yaitu, suatu kelainan yang di mana

(8)

penderitanya mengalami gangguan perkembangan tetapi masih memiliki kemampuan fungsi kognitif. Dalam

‘Hikikomori’ among Young Adults in Japan yang ditulis oleh Mami Suwa dan Koichi Hara menyebutkan bahwa,

terdapat pelaku hikikomori yang melakukan hikikomori dikarenakan pelaku memiliki kecenderungan asperger4 sejak kecil. Lebih lanjut Mami dan Koichi memberikan salah satu contoh pelaku yang menderita asperger dan menjadi

hikikomori setelah dia beranjak dewasa. Subjeknya adalah seorang pria berusia 26 tahun, ia mengaku mengalami

gejala asperger sejak kecil. Seperti kesulitan untuk berbicara sampai usia 4 tahun, sulit untuk memahami peraturan di lingkungan sosialnya, selalu terlihat tenang, tidak pernah merasa kesal dengan orang lain dan lebih senang menyendiri daripada bermain dengan teman-temannya. Ketika ia mulai masuk sekolah, ia mulai merasakan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia mengaku selalu gelisah dan takut disalahkan atas segala hal yang ia lakukan atau tidak lakukan. Sehingga ia sering menghabiskan hari-harinya dengan menghindari kontak sosial dengan teman-temannya. Hal ini terus berlanjut sampai ia memasuki dunia kerja. pada bulan-bulan pertama ia bekerja, ia sering menerima teguran dari atasannya yang disebabkan oleh sikap canggungnya. sehingga pada akhirnya ia mundur dari perusahaan tersebut dan hanya tinggal di rumah. Kondisi itulah yang menjadi awal baginya melakukan penarikan diri dari kehidupan sosialnya, karena kemudian, Ia hanya berinteraksi dengan keluarganya, dan melakukan aktifitas di dalam rumah. Perilaku tersebut sesuai dengan definisi hikikomori yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi psikologis seorang anak dengan kecenderungan gangguan perkembangan juga menjadi faktor penyebab seseorang melakukan hikikomori yang berasal dari pribadi pelaku itu sendiri.

Jangka Waktu Hikikomori

5

Berdasarkan data yang dari jurnal Michael Dziesinski yang ditulis pada taun 2003 di atas, menunjukkan bahwa sebanyak 25,3 % pelaku hikikomori mengurung dirinya selama 1-3 tahun. Selanjutnya sesuai dengan definisi

(9)

hikikomori bahwa seseorang melakukan pengasingan diri selama 6 bulan menempati posisi kedua dalam diagram

tersebut dengan presentase 17,9 %.

Fakta yang mengejutkan bila melihat diagram di atas, ternyata terdapat pelaku hikikomori yang mampu mengurung diri selama lebih dari 10 tahun. Berdasarkan penelitian Michael pelaku hikikomori yang melakukan pengasingannya dengan jangka waktu lebih dari 10 tahun sebanyak 7.7% .

Pelaku Hikikomori

Pelaku hikikomori adalah mereka yang berada di usia produktif yaitu terjadi pada remaja sekitar 20-an. Hal ini disebabkan mereka yang sedang berada pada masa itu dituntut untuk ikut serta dalam persaingan dan berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Ilma Sawindra Janti dalam jurnalnya memperoleh data melalui home page NHK bahwa sebanyak 31% pelaku hikikomori berusia 20-24 tahun. Ilma melanjutkan bahwa hal tersebut kemungkinan dikarenakan hikikomori merupakan kelanjutan dari perilaku menolak untuk sekolah. Namun ternyata tidak sampai di situ, karena kemudian ditemukan kasus adanya pelaku hikikomori yang telah lulus sekolah, ini diperkirakan mereka adalah orang-orang yang mengalami kesulitan di tempat kerjanya, atau bahkan mereka yang gagal untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu, mayoritas pelaku hikikomori adalah pria. Hal ini dikarenakan adanya peranan jenis kelamin laki-laki yang lebih dominan di Jepang. Di mana, seorang pria dituntut untuk dapat sukses. Seperti yang ditulis Micheal Dziesinski dalam makalah penelitiannya yang berjudul Hikikomori: Investigations into the

phenomenon of acute social withdrawal in contemporary Japan bahwa,

Foremost are the cultural expectations placed upon a young middleclass person to conform to norms and succeed in life, …

Artinya:

‘Pertama adalah anggapan budaya yang menempatkan seorang remaja kelas menengah untuk menyesuaikan diri dengan norma dan kesuksesan dalam hidup, …’

Dampak Hikikomori

Munculnya kasus banyak generasi muda yang melakukan penarikan diri dari lingkungan sosialnya atau disebut juga dengan istilah hikikomori tentunya menjadi permasalahan sosial di Jepang dewasa ini. Karena bila melihat demografi Jepang saat ini, mayoritas penduduk Jepang adalah kaum lanjut usia atau dikenal juga dengan istilah

koreikashakai. Bahkan berdasarkan data statistik yang diambil dari stat.go.jp saat ini Jepang merupakan negara

dengan kaum lanjut usia terbanyak bila dibandingkan dengan negara lain. Berikut adalah data statistik perbandingan jumlah kaum lanjut usia di Jepang dengan negara lainnya:

(10)

6

Melihat data tersebut, maka penyimpangan sosial yang dilakukan oleh para generasi muda yang diharapkan menjadi penerus bangsa sangatlah mengkhawatirkan dan membahayakan perekonomian sekaligus produktifitas negara Jepang karena generasi mudanya memilih untuk mengundurkan diri dari segala aktifitas sosialnya.

Selain efek negatif yang mungkin akan dirasakan Jepang akibat fenomena ini, dampak lain juga membayangi masyarakat Jepang, di mana mulai muncul kasus kriminalitas yang berhubungan dengan pelaku hikikomori. Sebagai contoh, berikut adalah salah satu pemberitaan yang dimuat di internet oleh Hiroshi Tomishige pada tahun 2012,

“Seorang pria pelaku hikikomori menikam keluarganya dan…”

Seorang pria pelaku hikikomori (30 tahun) membunuh dan melukai keluarganya kemudian membakar rumahnya pada 17 April 2010.

Pria itu bernama Takayuki Iwase tinggal di Toyokawa, prefektur Aichi di pusat Jepang. Ia telah melakukan penarikan diri dari masyarakat selama 14 tahun.

Sebelumnya, orang tuanya mempercayai pengaturan keuangan keluarga kepadanya. Tetapi, semakin lama ia semakin suka menghabiskan uang untuk belanja dan pelelangan. Hal tersebut mengakibatkan dirinya terlilit hutang sekitar 3 juta yen. Sehingga, ayahnya menghentikan kontrak dengan penyedia layanan internet. Ia menjadi marah dan melakukan tindakan kriminal. Ayah dan adik perempuannya (1 tahun) dibunuh, dan anggota keluarganya yang lain yang tinggal satu rumah dengannya termasuk ibunya, terluka.

Dia sudah ditahan dan kasusnya dibawa ke pengadilan. Poin yang diperdebatkan adalah apakah dia harus bertanggungjawab atas perbuatannya, karena masalah kesehatan mental. Sebelum keputusan hakim diputuskan, pengacaranya meminta para ahli untuk memeriksa, apakah kliennya mengalami gangguan mental. Sebagai hasilnya, pelaku didiagnosa memiliki (1) gangguan spectrum autis (2) cacat intelektual (3) shopaholic, dan pengacaranya menegaskan bahwa terdakwa memiliki tanggung jawab yang terbatas. Di sisi lain, para jaksa juga meminta para ahli untuk memeriksa masalah gangguan mental terdakwa, dan para ahli

(11)

menyimpulkan dia bertanggungjawab. Berdasarkan hasil penelitian, para jaksa menuntut hukuman seumur hidup.

Pada akhirnya, ia dinyatakan hukuman penjara selama 30 tahun pada masa percobaan tahanan tanggal 7 Desember 2010. Hakim memutuskan ia bertanggung jawab, karena ia memiliki kemampuan untuk berperilaku dalam menanggapi bagaimana anggota keluarganya bersikap di depannya, sebagai contoh, ia mengejar mereka ketika berusaha melarikan diri darinya.

Ia mengajukan banding terhadap keputusan hakim pada 12 Desember 2011.

(diterjemahkan oleh penulis)

Contoh kasus di atas menunjukan bagaimana pelaku hikikomori melakukan tindakan kriminal terhadap keluarganya dikarenakan gangguan kejiwaan yang dialami oleh pelaku hikikomori setelah mengurung diri selama 14 tahun. Hal tersebut membuktikan bahwa, perilaku hikikomori dapat merusak mental seseorang dan dapat mengarahkan si pelaku pada tindakan kriminal. Selain contoh kasus di atas, pernah juga dikemukakan dalam sebuah artikel di internet bahwa, pelaku hikikomori menculik seorang gadis lalu disekap di kamarnya untuk dijadikan satu-satunya teman baginya. Dengan adanya pemberitaan kasus kriminal yang dilakukan oleh pelaku hikikomori membentuk stigma negatif di tengah masyarakat bahwa hikikomori merupakan suatu tindakan yang mengarah pada tindak kriminalitas dan kekerasan.

Dengan demikian, stigma negatif yang tertanam dalam masyarakat Jepang ternyata membawa pengaruh buruk untuk menanggulangi masalah sosial ini baik bagi pelaku maupun bagi keluarganya. Karena, stigma negatif ini ternyata menjadi penghalang bagi para orangtua untuk mencari solusi yang berkaitan dengan keadaan anaknya. Pada akhirnya para orangtua cenderung menyembunyikan kondisi anaknya yang tengah melakukan hikikomori. Selain itu, hal ini juga menyulitkan pemerintah serta lembaga sosial yang ingin membantu untuk mengembalikan mereka ke tengah masyarakat.

Kesimpulan

Hikikomori merupakan fenomena penyimpangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat Jepang dewasa ini. Di

mana pelakunya melakukan penarikan diri dari lingkungan masyarakat dan menolak untuk melakukkan segala akitifitas sosial. Faktor penyebab seseorang melakukan hikikomori dapat berasal dari dua hal. Pertama, faktor penyebab yang berasal dari diri pelaku itu sendiri, seperti si pelaku mengalami gangguan perkembangan psikologis sejak ia masih kecil. Kedua, faktor yang berasal dari lingkungan si pelaku. Seperti kekerasan yang dialami oleh pelaku di sekolahnya (ijime), besarnya harapan orangtua yang justru menjadi beban, ketergantungan si anak terhadap orangtua (amae), dan juga kemajuan teknologi yang dianggap menjadi penyebab berkurangnya nilai-nilai sosial dalam diri seseorang. Hikikomori bukanlah suatu penyakit gangguan mental. Namun, hikikomori juga dapat menyebabkan para pelakunya mengalami gangguan mental apabila dia terlalu lama melakukan hikikomori. Biasanya mereka melakukan pengasingannya selama enam bulan. Namun, beberapa penelitian menunjukan adanya perlaku

hikikomori yang melakukan penarikan diri hingga lebih dari sepuluh tahun. Melihat fakta tersebut, ini akan berakibat

(12)

mereka yang berada di usia produktif. Mengingat populasi Jepang yang didominasi oleh kaum lanjut usia, sementara generasi mudanya gemar melakukan hikikomori, tentu ini menjadi masalah serius bagi Jepang. Sehingga diperlukan usaha lebih dari pemerintah dan lembaga sosial serta peran orangtua untuk membantu mengembalikan mereka ke tengah masyarakat dan ikut berkontribusi memajukan negaranya.

Daftar Pustaka

- Anwar, Etty N. “Ideology Keluarga Tradisional “IE” dan Kazoku Kokka Pada Masyarakat Jepang Sebelum dan Sesudah Perang Dunia II”. Wacana. No. 2 (2007): 194-205.

- Janti, Ilma Sawindra. “Fenomena Hikikomori pada Masyarakat Jepang”. Manabu. Vol.1 No.2 (2006): 187-202.

- Someya, Yoshimichi. “Perubahan Masyarakat Jepang: Dari Keterikatan sampai Kebebasan”. Manabu. Vol.1 No.2 (2006): 177-186.

- Michael, J Dziesinski, “Hikikomori: Investigations into the Phenomenon Of Acute Social Withdrawal in Contemporary Japan. Honolulu, Hawai (2003) hal: 1-48

- Mami Suwa, Kochi Hara. “Hikikomori Among Youth Adults in Japan”. .医療福祉研究第 3 号 (2003) hal: 94-101

- Japan: The Missing Million diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/programmes/correspondent/2334893.stm, 12 Februari 2013

- Hikikomori Social withdrawal in Japan diakses dari http://nhjournal37.blogspot.com, 12 Februari 2013 - Data statistik Japan as the Country With the Largest Elderly Population diakses dari

http://www.stat.go.jp/english/data/kokusei/index.htm, 12 Februari 2013

- Hikikomori, Fenomena Penyakit Sosial di Kalangan Remaja Jepang diakses dari

http://forum.kompas.com/kesehatan/152878-hikikomori-fenomena-penyakit-sosial-di-kalangan-remaja-jepang.html, 13 Februari 2013

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan tentang Interaksi muslim etnik Tionghoa dengan lingkungan sosialnya adalah masalah yang menarik untuk dilakukan penelitian, karena persoalan etnik yang berbeda

Hal ini terdapat pada data di lapangan, misalnya ketika informan memutuskan untuk melakukan kenakalan remaja dikarenakan adanya faktor lingkungan yang mendukung yaitu

Dalam siklus pencegahan kecelakaan, salah satu hal yang penting adalah bagaimana melakukan investigasi kecelakaan untuk mencari faktor – faktor penyebab terjadinya

Introvert adalah kecenderungan seseorang untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya, minat, sikap atau keputusan-keputusan yang diambil selalu berdasarkan pada

Hasil penelitian ditemukan bahwa faktor penyebab remaja melakukan pernikahan usia dini di Desa Suhada sebagian besar adalah dari rendahnya ekonomi keluarga, serta rendahnya

Faktor yang menjadi penyebab seseorang melakukan kejahatan penipuan dengan undian berhadiah adalah Faktor ekonomi, faktor lingkungan dan faktor pergeseran sosial

Untuk mempermudah dalam melakukan analisis penyebab overpressure serta melakukan sizing secara akurat dengan menghitung terlebih dahulu laju relieving pada berbagai

Faktor adanya anggapan belum menikah dari orang lain Faktor penyebab pasangan MS dan IS melakukan nikah baru dikarenakan adanya faktor hukum bahwa masyarakat setempat beranggapan