18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Daerah Penelitian
Penelitian dilakukan di kawasan sub DAS Ciliwung hulu yang memiliki luas ± 14,964 Ha. Daerah ini
dalam koordinat geografis terletak antara 60 37’ 48” – 60 46’ 12” Lintang Selatan dan 1060 49’ 48” – 1070
05’ 0” Bujur Timur, termasuk dalam zona 48 UTM seperti dapat dilihat pada Gambar 4. Sub DAS Ciliwung Hulu berada pada wilayah administrasi Kabupaten dan Kota Bogor. Kabupaten Bogor mencakup beberapa kecamatan, yakni : Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cisarua, dan Kecamatan Megamendung. Sedangkan Kota Bogor hanya mencakup Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kecamatan Kota Bogor Selatan
Gambar 4. Posisi Sub DAS Ciliwung Hulu (BPDAS Ciliwung – Cisadane, 2007)
DAS Ciliwung Hulu dibagi menjadi tujuh Sub DAS yaitu (1) Sub DAS Tugu, (2) Sub DAS Cisarua, (3) Sub DAS Cibogo, (4) Sub DAS Cisukabirus, (5) Sub DAS Ciesek, (6) Sub DAS Ciseuseupan, (7) Sub DAS Kalulampa. Hulu sungai Ciliwung terdiri dari 10 anak sungai besar dengan ratusan anak sungai kecil. Anak sungai utama antara lain: Citamiang, Cimegamendung, Cilember, Ciesek, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, dan Ciseuseupan. Bentuk DAS Ciliwung Hulu secara keseluruhan menyerupai kipas dengan anak – anak sungai mengalir ke sungai utama dari bagian kanan dan kiri. Anak – anak sungai pada DAS
19 Ciliwung Hulu mengalir, terkonsentrasi di suatu titik di sekitar Katulampa dengan bentuk outlet menyerupai leher botol.
B. Iklim
Berdasarkan kalisifikasi iklim Koppen yakni pengklasifikasian berdasarkan temperatur dan curah hujan harian dan bulanan, iklim Sub DAS Ciliwung Hulu masuk dalam kategori iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson dan mempunyai dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim kemarau berlangsung singkat tetapi jumlah curah hujan pada musim kemarau tetap besar sehingga dapat menunjang adanya hutan hujan tropis yang tetap hijau sepanjang tahun (Trewartha, 1954).
Salah satu data yang digunakan sebagai masukan model hidrologi SWAT adalah data iklim. Unsur – unsur iklim yang digunakan sebagai masukan antara lain: curah hujan, temperature, kelembaban nisbi, radiasi matahari dan kecepatan angin. Data curah hujan diperoleh dari pos pengukuran curah ,hujan Gadog, Gunung Mas, Pasir Munjang, dan Panjang serta stasiun meteorologi Citeko. Sedangkan data unsur – unsur iklim yang lainnya hanya diperoleh dari stasiun meteorologi Citeko.
Berdasarkan hasil pengukuran di stasiun Meteorologi Citeko diperoleh data suhu maksimum rata –
rata sebesar 26.15 0C sedangkan suhu minimum rata – rata sebesar 17.81 0C dan kelembaban nisbi 81%
sampai 89% dengan radiasi surya terendah terjadi pada bulan Januari (15.67%) dan tertinggi pada bulan September (56.89%). Kecepatan Angin sepanjang tahun tidak seragam dengan rerata 0.81 m/s. Curah hujan tahunan dapat mencapai 3000 mm. Musim hujan terjadi pada Oktober sampai April mengikuti sistem moonson. Bulan terbasah biasanya terjadi pada bulan Januari sedangkan bulan terkering terjadi pada bulan Agustus. Data rerata hujan bulanan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 5. Grafik Rerata curah hujan bulanan (sumber : Arsip Stasiun Meteorologi Citeko)
Suatu ciri penting sifat hujan di kawasan DAS Ciliwung Hulu adalah intensitas yang tinggi, terjadi pada waktu singkat dalam sebaran waktu yang sempit. Waktu turunnya hujan adalah pada siang hari menjelang malam yaitu 60% sampai 80%, hujan terjadi antara 14.00 – 21.00 (Tim peneliti jurusan biologi FMIPA-IPB, 1992) 0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 Jan ua ri Febr ua ri Ma ret A pr il
Mei Juni Jul
i A gus tus Septem ber O kt o ber N o vem ber D es em ber C u ra h h u ja n (m m ) Bulan
rerata curah hujan bulanan(mm)
20
C. Tanah dan Topografi
Berdasarkan peta tanah tinjau skala 1:250,000 (LPT) dalam Hamdan (2010) terdapat beberapa jenis tanah yang dominan di DAS Ciliwung Hulu yaitu latosol, regosol, dan andosol dengan uraian sebagai berikut:
1. Latosol
Tanah ini berbahan induk batuan vulkanik yang bersifat intermedier yaitu batuan dengan kadar Mg dan Fe cukup tinggi. Umumnya latosol bersolum dalam, pH agak tinggi dan kepekaan terhadap erosi rendah.
2. Regosol
Jenis tanah regosol umumnya belum jelas membentuk diferensiasi horizon meskipun pada tanah
regosol tua, horizon sudah mulai terbentuk horizon A1 lemah berwarna kelabu, mengandung bahan
yang belum atau masih baru mengalami pelapukan. Tekstur tanah biasa kasar, struktur keras atau remah, konsistensi lepas sampai gembur dan pH 6 – 7. Makin tua umur tanah struktur dan konsistensi padat, bahkan seringkali membentuk padas dengan drainase dan porositas terhambat. Umumnya jenis tanah ini belum membentuk agregrat sehinga peka terhadap erosi. Umumnya cukup mengandung unsur P dan K yang masih segar dan belum siap diserap tanaman tapi kekurangan unsur N (Darmawijaya, 1990).
3. Andosol
Istilah andosol berasal dari kata jepang ando yang berarti hitam atau kelam. Tanah andosol adalah tanah yang berwarna hitam kelam, sangat sarang (porous), mengandung bahan organik dan lempung (clay) tipe amorf, terutama alofan serta sedikit silika, alumina atau hidroxida besi. Tanah ini tersebar di daerah vulkanik sekitar samudera Pasifik, mulai dari kepulauan Jepang, Filipina, Indonesia, Papua Nugini, Selandia Baru, Pantai Barat Amerika Selatan, Amerika Tengah, kepulauan Hawaii, sampai Alaska (Darmawijaya, 1990).
Berdasarkan peta jenis tanah yang diperoleh dari Balai Pengelolaan DAS Ciliwung - Cisadane , jenis tanah yang ada di daerah penelitian adalah (i) Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat (ii) Latosol coklat (iii) Asosiasi Andosol coklat & regosol coklat dan (iv) Asosiasi latosol coklat kemerahan & latosol coklat. Proporsi luas jenis tanah pada DAS Ciliwung dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 6. Sedangkan karakteristik masing – masing tanah dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 2. Jenis tanah dan luasannya di DAS Ciliwung Hulu
No. Jenis Tanah Luas
Ha %
1 Kompleks latosol merah kekuningan latosol
coklat p 1147.58 8.66
2 Latosol Coklat 658.65 4.97
3 Asosiasi Andosol coklat & regosol coklat 1558.82 11.76
4 Asosiasi latosol coklat kemerahan & latosol
coklat 9543.73 72.02
Jumlah 13251.62 100.00
21 Hulu sungai Ciliwung berada di kaki pegunungan dengan ketinggian berkisar antara 300 – 3000 dari permukaan laut. Batas Topografi DAS Ciliwung Terletak di punggung – punggung bukit dan puncak
Gambar 6. Peta tanah Sub DAS Ciliwung Hulu (BPDAS Ciliwung – Cisadane, 2007)
Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Megamendung dan Gunung Hambalang dengan bendungan Katulampa sebagai outletnya. Bentuk topografi kasar – sangat kasar, bentuk lereng terjal – sampai sangat
Tabel 3. Kelas lereng dan luasannya di DAS Ciliwung Hulu
No. Kelas lereng
Luas Ha % 1 0 – 8 2266.45 17.10 2 8 – 15 3354.92 25.32 3 15 – 25 3036.57 22.91 4 25 – 45 2585.64 19.51 5 > 45 1665.21 12.56 Jumlah 13251.62 100.00
22 terjal, dengan aliran air turbulen dan mengalir sepanjang tahun. Presentase kelas lereng pada di DAS Ciliwung Hulu ditunjukan pada tabel 3.
D. Penggunaan Lahan
Kondisi penggunaan lahan, dalam hal ini tingkat penutupan lahan (land cover) merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau.
Hasil simulasi SWAT menunjukan bahwa Sub DAS Ciliwung Hulu dibagi menjadi enam jenis tutupan lahan yaitu hutan, semak belukar, perkebunan teh, pertanian lahan kering atau tegalan, pemukiman dan lahan terbuka. Proporsi luas penggunaan lahan pada DAS Ciliwung Hulu dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 7.
Gambar 7. Peta penggunaan lahan Sub DAS Ciliwung Hulu tahun 2008 (Arsip BPDAS Ciliwung – Cisadane, 2008)
23 Kawasan hutan yang ada di DAS Ciliwung bagian hulu sebagian besar merupakan hutan lindung yang berstatus hutan negara. Kawasan hutan ini didominasi oleh vegetasi hasil suksesi alami. Pada wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya tidak merata, sehingga terdapat daerah gundul (tanah kosong) yang perlu segera direhabilitasi. Kawasan pertanian di DAS Ciliwung bagian hulu, didominasi oleh persawahan yang hampir seluruhnya menggunakan sistem pengairan dan hanya sedikit yang menggunakan sistem tadah hujan. Perkebunan yang ada di wilayah ini didominasi oleh perkebunan teh dan cengkeh (Balai Pengelolaan DAS Citarum – Ciliwung, 2003).
Tabel 4. Jenis penggunaan lahan dan proporsi luasnya pada DAS Ciliwung Hulu
No. Penggunaan lahan
Luas
Ha %
1 Hutan 5076.71 38.31
2 Semak belukar 87.82 0.66
3 Perkebunan teh 455.15 3.43
4 Pertanian lahan kering 6485.21 48.94
5 Pemukiman 787.85 5.95
6 Lahan terbuka 16.04 0.12
Jumlah 13251.62 100.00
Sumber : Hasil simulasi MW-SWAT
E. Simulasi MW-SWAT
Soil ad Water Assesment Tool (SWAT) adalah model hidrologi yang dikembangkan untuk
memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air, sedimen, muatan pestisida dan kimia hasil pertaniaan. Untuk menjalankan model diperlukan data berupa data spasial (peta-peta) dan data atribut. Peta-peta yang digunakan oleh SWAT adalah peta DEM, peta penggunaan lahan, dan peta jenis tanah. Data atribut yang diperlukan sebagai masukan SWAT adalah data iklim, dan data debit sungai Ciliwung. Simulasi MW-SWAT terdiri dari empat tahap, yaitu:
1. Proses DEM (Watershed Delineation)
Proses DEM merupakan pengolahan peta DEM dan peta Batas DAS Ciliwung hulu untuk delinasi DAS Ciliwung Hulu secara otomatis. Pada proses ini akan diperoleh perhitungan topografi secara lengkap, peta jaringan sungai, batas DAS, jumlah Sub DAS dan letak outlet. Pada tahap ini harus dipastikan bahwa unit elevasi harus dalam satuan meter.
Berdasarkan hasil delinasi menggunakan peta DEM yang berasal dari SRTM (US Geological Survey) dan peta batas DAS Ciliwung Hulu yang berasal dari BPDAS dengan menggunakan ukuran
watershed delineation 15 km2 dan penambahan satu titik outlet di koordinat pengukuran debit Katulampa, maka DAS Ciliwung Hulu terbagi menjadi 7 Sub DAS dengan total luas wilayah 13,254.15 Ha. DAS Ciliwung hulu memiliki beberapa outlet, dalam penelitian ini outlet yang digunakan adalah outlet yang berada di SPAS Katulampa. Pada simulasi menggunakan MW-SWAT outlet ini berada pada Sub DAS 7. Dari hasil deliniasi ada pengurangan luas DAS Ciliwung Hulu yakni seluas 1,712.38 Ha. Hal ini disebabkan delinasi merupakan pembentukan DAS dari aliran terluar dan semua anak sungai akan mengalir pada outlet yang telah ditentukan yaitu outlet
24 Katulampa. Sehingga anak sungai yang tidak terhubung atau masuk ke outlet Katulampa tidak termasuk DAS penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Hasil deliniasi Sub DAS Ciliwung Hulu menggunakan model MW-SWAT
2. Pembentukan HRU
HRU merupakan unit analisis hidrologi yang mempunyai karakteristik tanah dan penggunaan lahan yang spesifik, sehingga dapat dipisahkan antara satu HRU dengan yang lainya. Pembentukan
Hydrological Response Units (HRUs) sebagai unit analisis dilakukan dengan cara tumpang tindih
(overlay) antara peta tanah dan peta penggunaan lahan. Jumlah HRU yang terbentuk oleh model dengan menggunakan threshold by percentage (dimana untuk landuse menggunakan threshold 20%, untuk jenis tanah menggunakan threshold 10%, dan kemiringan lereng menggunakan threshold 5%) sebanyak 80 HRU dalam 7 sub-basin. DAS Ciliwung hulu memiliki beberapa outlet, dalam penelitian ini outlet yang digunakan adalah outlet yang berada di SPAS Katulampa. Pada simulasi menggunakan MW-SWAT outlet ini berada pada Sub DAS 7.
3. Set up and Run
Setelah Hydrological Response Units (HRUs) terbentuk maka langkah selanjutnya adalah menjalankan model SWAT. Dalam operasi SWAT, unit lahan yang terbentuk dihubungkan dengan data iklim sesuai dengan file database yang telah disediakan. Periode simulasi juga ditentukan pada
katulampa Scale in kilometers 0 3 1.5 4.5 6 Batas DAS outlet Aliran sungai
Batas Sub DAS hasil deliniasi 1,2,3,… Nomor Sub DAS
25 tahap ini. Pada penelitian ini periode yang digunakan adalah tahun 2004 – 2006 untuk kalibrasi dan tahun 2007 – 2009 untuk validasi.
Data iklim dikumpulkan dalam file stnlist.txt dan wgn. File stnlist.txt terdiri dari file yang berisi data curah hujan (file pcp) dan data temperatur (file tmp). Data temperatur hanya berasal dari stasiun meteorologi Citeko saja karena stasiun lain (Gadog, Pasir Muncang, Panjang, Gunung Mas, dan Katulampa) hanya melakukan pengukuran curah hujan saja. Data iklim lain seperti radiasi matahari, kelembaban dan kecepatan angin juga hanya diambil dari stasiun meteorologi Citeko. Data – data iklim ini dikumpulkan pada file wgn. Nilai radiasi matahari pada file wgn diperoleh dari hasil penelitian Mohamad Hamdan (2010) ”Analisis Debit Aliran Sungai Sub DAS Ciliwung Hulu Menggunakan MWSWAT”. Nilai radiasi matahari yang digunakan pada penelitian tersebut cukup
rendah dengan nilai radiasi maksimum sebesar 12.91 MJ/m2. Nilai radiasi rata – rata di Indonesia
adalah 24.3 MJ/m2 (Manalu, 2002)
4. Visualisasi Hasil
Pada tahap ini, visualisai hasil diinginkan dapat dilihat. Pada penelitian ini output yang ditampilkan adalah debit aliran sungai harian. Visualisasi digambarkan dengan perubahan warna menurut nilai output parameter yang dipilih. Hasil dari simulasi MW-SWAT juga dapat ditampilkan menggunakan SWAT plot and graph. Pada SWAT plot and graph hasil simulasi berupa debit aliran sungai Sub DAS Ciliwung Hulu ditampilkan dalam bentuk grafik. SWAT plot and graph juga dapat digunakan untuk membandingkan debit hasil simulasi MW-SWAT dengan debit hasil pengukuran di SPAS Katulampa sehingga dapat diperoleh nilai validitas model. Dalam SWAT plot and graph
kriteria yang digunakan untuk menilai validitas model adalah koefisien determinasi (R2) dan
Nash-Sutcliffe Model Effisiensi (ENS). Van Liew dan Garbrech (2003) dalam Junaedi (2009)
menggolongkan hasil simulasi menjadi tiga kelompok yaitu hasil simulasi dikatakan baik jika nilai Nash-Sutcliffe ≥ 0.75, memuaskan jika nilai nilai 0.36 < Nash-Sutcliffe < 0.75, dan dinyatakan kurang memuaskan jika nilai Nash-Sutcliffe < 0.36. sedangkan menurut Santi et al. (2001) dalam
Junaedi (2009) hasil simulasi dikatakan baik jika nilai ENS dan R2 adalah ENS ≥ 0.5 dan R2 ≥ 0.6.
Debit hasil simulasi MW-SWAT tahun 2004 – 2006 jika dibandingkan dengan debit hasil observasi
pada SPAS Katulampa menunjukan nila ENS sebesar 0.173 dan nilai R2 sebesar 0.224. Jadi hasil
simulasi MW-SWAT masuk kriteria kurang memuaskan sehingga perlu dilakukan proses kalibrasi dan validasi.
F. Kalibrasi dan Validasi
Kalibrasi dan validasi model MWSWAT dilakukan dengan menggunakan software SUFI2.SWAT-CUP. Kalibrasi model dilakukan dengan cara membandingkan debit harian Sub DAS Ciliwung Hulu yang keluar dari outlet (SPAS) Katulampa dengan debit harian hasil simulasi model SWAT dari tahun 2004 – 2006. Sedangkan validasi menggunakan data debit harian tahun 2007 - 2009.
Kalibrasi perlu dilakukan pada model MW-SWAT karena banyaknya keterbatasan dalam model hidrologi ini. Keterbatasan model terjadi karena adanya penyederhanaan sehingga banyak kejadian alam pada daerah aliran sungai yang tidak bisa diwakili oleh model. Beberapa keterbatasan yang tidak dapat diwakili oleh model MW-SWAT adalah longsor, efek konstruksi besar seperti jembatan, jalan dan bendungan yang mengakibatkan sedimentasi, dan pembuangan limbah pabrik ke aliran sungai.
Software SUFI2.SWAT-CUP terdiri dari tiga bagian penting yaitu calibration inputs, executable files, dan calibration outputs. Calibration output merupakan kumpulan data – data yang digunakan
sebagai masukan proses kalibrasi, terdiri dari par_inf.sf2, observed.sf2, SUFI2_extract_rch.def,
26 memberikan perintah melakukan proses kalibrasi, terdiri dari SUFI2_pre.bat, SUFI2_run.bat,
SUFI2_post.bat dan SUFI2_extract.bat. Hasil dari proses kalibrasi kemudian dapat dilihat pada Calibration outputs yang terdiri dari 95ppu.sf2, Dotty plots, Best_par.sf2, Best_sim.sf2, Goal.sf2, New_pars.sf2, Summary Stat.sf2, dan Sensitivity.
Tabel 5. Parameter – parameter yang digunakan sebagai masukan dalam proses kalibrasi
No. Parameter Definisi Rentang nilai
1 CN2.mgt Initial SCS runoff curve number for moisture condition II 52.551 – 78.172
2 CH_L1.sub Longest “tributary” channel length in subbasin (km) 89.223 - 163.283
3 CH_S1.sub Average slope of tributary channels (m/m) (-0.236) - 2.770
4 CH_K1.sub Effective hydraulic conductivity in tributary channel
alluvium (m/m) (-35.710) – 31.381
5 CH_W1.sub Average width of tributary channels (m) 26.014 – 674.942
6 SLSUBBSN.hru Average slope length 36.243 – 73.420
7 OV_N.hru Manning’s “n” value for overland flow. 0.252 - 0.659
8 SLSOIL.hru Slope length for lateral subsurface flow (m) 0.161 - 0.430
9 GW_DELAY.gw Groundwater delay time (days) 224.444 - 387.211
10 GWQMN.gw Threshold depth of water in the shallow aquifer required
for return flow to occur (mm H2O) (-1354.64) - 1102.04
11 ALPHA_BF.gw Baseflow alpha factor (days) 0.014 - 0.318
12 REVAPMN.gw Threshold depth of water in shallow aquifer for “revap” or percolation to the deep aquifer to occur (mm H
2O) (-88.253) - 135.250
13 GW_REVAP.gw Groundwater “revap” coefficient 0.113 - 0.212
14 RCHRG_DP.gw Deep aquifer percolation fraction 0.028 - 0.401
15 GW_SPYLD.gw Specific yield of the shallow aquifer (m3/m3) 0.206 - 0.340
16 SOL_K().sol Saturated hydraulic conductivity (mm/hr) 823.403 - 1300.612
17 SOL_BD().sol Moist bulk density (Mg/m3 or g/cm3) 1.840 - 2.131
18 SOL_CRK().sol Potential or maximum crack flow of the soil profile
expressed as a fraction of the total soil volume. 0.189 - 0.526
19 CNOP().mgt SCS runoff curve number for moisture condition III 10.820 - 35.521
20 CH_N11().sub Manning’s “n” value for the tributary channels. 0.297 - 0.413
21 ESCO.hru Soil evaporation compensation factor. 0.838 - 1.234
22 SFTMP.bsn Snowfall temperature (0C) 0.109 - 4.026
23 SMFMN.bsn Melt factor for snow on December 21 (mm H2O/0C-day) 5.731 - 8.452
24 TIMP.bsn Snow pack temperature lag factor 0.777 - 1.036
25 CH_N2.rte Manning’s “n” for the main channel 0.054 - 0.160
26 CH_K2.rte Effective hydraulic conductivity in main channel alluvium
(mm/hr) 121.321 - 191.142
27 CO2.sub Carbon dioxide concentration (ppmv) 482.018 - 659.360
28 CANMX.hru Maximum canopy storage (mm H2O) 10.442 - 50.953
27 Parameter – parameter yang bisa digunakan sebagai masukan proses kalibrasi hanya parameter yang ada pada file absolute_SWAT_value.txt seperti yang dapat dilihat pada lampiran 1. Dalam file tersebut juga terdapat range nilai absolut dari setiap parameter. Range nilai ini yang digunakan sebagai nilai awal dari parameter masukan kalibrasi. Menurut Kohnke dan Bertrand (1959) dalam Soesanto (1995), air yang keluar dari suatu DAS dapat terdiri dari bermacam bentuk yaitu: limpasan permukaan (surface runoff), limpasan bawah permukaan (subsurface runoff), aliran air bawah tanah (groundwater flow) dan akan berkumpul menjadi aliran sungai atau steam flow. Dalam sistem Hidrologi suatu DAS, jumlah limpasan yang terjadi terdiri suatu DAS jumlah limpasan yang terjadi terdiri dari curah hujan di atas permukaan sungai (chanel precipitation), aliran permukaan (overland flow), aliran bawah permukaan (interflow), dan aliran bawah permukaan (groundwater flow). Oleh karena itu, parameter - parameter yang digunakan sebagai masukan kalibrasi adalah parameter yang berkaitan dengan limpasan permukaan (surface runoff), limpasan bawah permukaan (subsurface runoff), aliran air bawah tanah (groundwater flow). Karakteristik tanah Daerah Aliran Sungai juga digunakan sebagai parameter masukan kalibrasi. Struktur dan tekstur tanah merupakan faktor – faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi, maka karakteristik limpasan sangat dipengaruhi oleh jenis tanah daerah pengaliran. Parameter – parameter yang digunakan sebagai masukan dalam proses kalibrasi pada awalnya berjumlah 33 parameter. Range nilai parameter – parameter masukan kalibrasi yang digunakan adalah range nilai maksimal yang ada pada file
absolute_SWAT_value.txt. Parameter – parameter ini dikumpulkan dalam file par_inf.sf2. Setelah proses
iterasi akan diperoleh range nilai parameter yang baru. Range nilai yang baru ini digunakan sebagai range nilai masukan untuk proses iterasi selanjutnya jika nilai P-value dan R-factor dari model belum optimum.
Range nilai parameter yang baru ini dapat dilihat pada Calibration ouput pada bagian new_pars.sf2.
Gambar 9. Grafik hasil kalibrasi data debit Sungai Sub DAS Ciliwung Hulu tahun 2004 – 2006 Hari ke- De bi t (m 3 /s )
28 Selain itu jumlah parameter masukan juga dapat dikurangi sesuai dengan nilai sensitifitasnya. Hanya parameter – parameter yang dianggap sensitif mempengaruhi nilai output yang akan digunakan sebagai parameter masukan pada iterasi selanjutnya. Nilai sensitifitas parameter masukan dapat dilihat pada
Calibration outputs pada bagian sensitivity.
Data debit harian hasil observasi dari SPAS Katulampa tahun 2004 - 2006 juga digunakan sebagai masukan kalibrasi. Data ini dimasukan dalam file observed.sf2. Data hasil observasi ini digunakan sebagai data pembanding data debit harian hasil simulasi SWAT-CUP sehingga nilai P-value dan R-factor dapat diperoleh. SUFI2_extract_rch.def berisi data – data yang akan di-extract dari MWSWAT.
var_file_rch.sf2 berisi nama variabel yang akan dikalibrasi. Sedangkan SUFI2_swEdit.def berisi
banyaknya jumlah simulasi dalam satu kali iterasi. Pada penelitian ini dalam satu kali iterasi dilakukan 500 kali simulasi.
Hasil dari proses kalibrasi data debit tahun 2004 – 2006 menggunakan SUFI2.SWAT-CUP dapat dilihat pada Calibration outputs. File 95ppu.sf2 berisi hasil proses kalibrasi dalam bentuk grafik seperti yang terlihat pada Gambar 9. Luasan grafik berwarna hijau (95PPU) menunjukan debit hasil simulasi SUFI2.SWAT-CUP. Garis berwarna merah menunjukan hasil simulasi terbaik (best estimation) dan garis biru menunjukan data hasil observasi di SPAS Katulampa. Menurut Abbaspour (2007), model dianggap valid jika lebih dari 80% data hasil observasi perpotongan dengan luasan grafik 95PPU (P-value > 0.8). Selain itu, rata – rata selisih nilai antara batas bawah (pada level 2.5%) dan batas atas (pada level 97.5%) grafik 95PPU lebih kecil dari stadar deviasi data hasil observasi (R-fator < 1). Hasil kalibrasi menunjukan bahwa 88% data hasil observasi berpotongan dengan 95PPU (P-value = 0.88). Kemudian proses kalibrasi juga menghasilkan nilai R-fator sebesar 1.10. Pada penelitian ini dalam satu kali iterasi dilakukan 500 simulasi. Dari 500 simulasi yang dilakukan simulasi nomor 187 pada iterasi 12 dianggap sebagai simulasi terbaik karena menghasilkan nilai debit paling mendekati dengan nilai debit hasil observasi di SPAS
Katulampa. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe Model Effi-
Gambar 10. Grafik hasil validasi data debit Sungai Sub DAS Ciliwung Hulu tahun 2007 – 2009 Hari ke- D e bi t (m 3 /s )
29
siensi (ENS) dari simulasi nomor 187 yang memuaskan. Nilai Sutcliffe Model Effisiensi (ENS) dari hasil
simulasi nomor 187 sebesar 0.51 dan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.51.Nilai P-value,
R-factor, koefisien determinasi (R2), dan Nash-Sutcliffe Model Effisiensi (ENS) yang optimum ini dicapai
setelah melakukan 12 iterasi. Pada iterasi pertama rentang nilai parameter – parameter masukan merupakan rentang nilai maksimal yang ada pada file absolute_SWAT_value.txt. Kemudian pada iterasi selanjutkan rentang nilai parameter masukan yang digunakan berasal dari New_pars.sf2 yang berasal dari hasil kalibrasi proses iterasi sebelumnya. Jumlah parameter masukan juga berkurang dari 33 parameter menjadi 29 parameter karena ada 4 parameter yang dianggap tidak sensitif mempengaruhi nilai
output. Rentang nilai parameter – parameter masukan pada iterasi 12 yang menghasilkan debit hasil
simulasi mendekati nilai debit observasi dapat dilihat pada Tabel 5. Rentang nilai parameter - parameter inilah yang digunakan sebagai masukan pada proses validasi.
Gambar 11. Debit Sungai Sub DAS Ciliwung Hulu
Validasi dilakukan dengan menggunakan data debit harian Sub DAS Ciliwung Hulu tahun 2007 – 2009. Hasil dari proses validasi dapat dilihat pada Gambar 10. Proses validasi menunjukan hasil yang kurang memuaskan, hanya 53% data hasil observasi berpotongan dengan luasan 95PPU dengan nilai
R-factor sebesar 0.17. Pada proses validasi hanya dilakukan satu kali iterasi dan dalam satu iterasi terdiri
dari 500 simulasi. Dari 500 simulasi tersebut, simulasi nomor 238 dianggap sebagai simulasi terbaik.
Namun, nilai koefisien determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe Model Effisiensi (ENS) hasil simulasi tersebut
juga kurang memuaskan, yaitu nilai koefisien determinasi (R2) hanya sebesar 0.11 dan nilai
Nash-Sutcliffe Model Effisiensi (ENS) hanya sebesar 0.04. Hal ini bisa terjadi karena pada bulan Januari tahun
2009 terjadi debit sungai yang luar biasa ekstrim seperti yang terlihat pada Gambar 11. Rata – rata debit
pada tahun 2009 adalah 29.43 m3/s, jauh diatas rata – rata debit tahun sebelumnya yang hanya mencapai
kisaran 6 – 14 m3/s. Menurut Suripin (2004), sistem hidrologi kadang – kadang dipengaruhi oleh
peristiwa – peristiwa yang luar biasa (ekstrim), seperti hujan lebat, banjir, dan kekeringan. Besaran 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 1 19 37 55 73 91 109 127 145 163 181 199 217 235 253 271 289 307 325 343 361 debit 2004 debit 2005 debit 2006 debit 2007 debit 2008 debit 2009 Hari ke- D e bi t (m 3 /s )
30 peristiwa ekstrim berbanding terbalik dengan frekuensi kejadiannya, peristiwa yang luar biasa ekstrim kejadiannya sangat langka.
Validasi kemudian kembali dilakukan dengan asumsi debit observasi bulan Januari tahun 2009 yang memiliki nilai ekstrim diganti dengan rata – rata nilai debit observasi bulan Januari tahun 2007 dan 2008. Hasil dari proses validasi ini lebih baik dari proses sebelumnya. Nilai P-value dan R-factor yang dihasilkan masing – masing adalah 0.56 dan 0.64 seperti yang terlihat pada Gambar 12. Pada proses validasi ini juga hanya dilakukan satu kali iterasi yang terdiri dari 500 simulasi. Dari 500 simulasi
tersebut, simulasi nomor 384 dianggap merupakan simulasi terbaik. Nilai koefisien determinasi (R2) dan
Nash-Sutcliffe Model Effisiensi (ENS) juga lebih baik dari proses validasi sebelumnya. Nilai koefisien
determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe Model Effisiensi (ENS) dari proses validasi ini masing – masing
adalah 0.59 dan 0.41.
Gambar 12. Grafik hasil validasi data debit Sungai Sub DAS Ciliwung Hulu tahun 2007 – 2009 dengan asumsi debit bulan Januari 2009 menggunakan nilai rata – rata debit bulan Januari 2007 dan 2008
Hasil dari keseluruhan proses penelitian dari simulasi sampai validasi dapat dilihat pada Tabel 6. Meskipun nilai P-value hasil validasi kurang dari 80% namun menurut Abbaspour (2007) model harus dievaluasi ketika nilai P-value kurang dari 50%. Nilai P-value hasil validasi adalah 56%. Van Liew dan Garbrech (2003) dalam Junaedi (2009) menggolongkan hasil simulasi menjadi tiga kelompok yaitu hasil simulasi dikatakan baik jika nilai Nash-Sutcliffe ≥ 0.75, memuaskan jika nilai nilai 0.36 < Nash-Sutcliffe < 0.75, dan dinyatakan kurang memuaskan jika nilai Nash-Sutcliffe < 0.36. sedangkan menurut Santi et
al. (2001) dalam Junaedi (2009) hasil simulasi dikatakan baik jika nilai ENS dan R2 adalah ENS ≥ 0.5 dan
R2 ≥ 0.6. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hasil simulasi SWAT cukup memuaskan untuk
Hari ke- D e bi t (m 3 /s )
31 digunakan memprediksi debit Sungai Sub DAS Ciliwung Hulu dengan asumsi tidak terjadi debit ekstrim seperti pada bulan Januari 2009.
Tabel 6. Statistik hasil penelitian
Simulasi Kalibrasi Validasi I Validasi II
P – value - 0.88 0.53 0.56
R – factor - 1.10 0.17 0.64
R2 0.224 0.51 0.11 0.59
ENS 0.173 0.51 0.04 0.41
Keterangan: Kalibrasi menggunakan data debit tahun 2004 – 2006 Validasi I mengunakan data debit tahun 2007 - 2009
Validasi II menggunakan data debit tahun 2007 – 2009 tetapi debit ekstrim pada bulan Januari 2009 diganti dengan nilai rata – rata debit bulan Januari tahun 2007 dan 2008