PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK AKIBAT PEMBATALAN MEREK
OLEH PENGADILAN NIAGA
Oleh
Nyoman Satyayudha Dananjaya
Fakultas Hukum Universitas Udayana Jalan Pulau Bali No. 1 Denpasar Email : satyayudhad@gmail.com
ABSTRAK
Perdagangan Barang dan Jasa tidak menutup kemungkinan terjadinya pemakaian Merek terkenal oleh pihak lain agar mendapat keuntungan yang lebih akibat dari keterkenalan Merek tersebut. Cara- cara seperti itu tentu dapat menimbulkan permasalahan yang menimbulkan kerugian bagi pada salah satu pihak. Setiap Merek memiliki pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa dan terhadap merek yang sudah didaftarkan akan mendapat perlindungan hukum dari gangguan pihak lain yang memakai Merek terkenal yang sudah terdaftar secara tidak sah.
Pemilik Merek yang Mereknya sudah terdaftar, dapat memberikan Lisensi pemakaian Mereknya kepada pihak lain yang dituangkan dalam Perjanjian Lisensi Merek. Penerima Lisensipun menurut peraturan perundang-undangan juga mendapat perlindungan hukum dalam hal Merek dihapus atau dibatalkan, hanya saja penghapusan Merek atau pembatalan Merek yang disebabkan oleh adanya pelanggaran terhadap peraturan perundangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum dirasakan belum ada pengaturan memadai. Oleh karena itu, apabila terjadi sengketa hukum menyangkut penghapusan dan pembatalan Merek atau pembatalan Perjanjian Lisensi diperlukan upaya penemuan hukum ataupun penafsiran hukumyang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga. Kata Kunci : Merek , Perlindungan hukum, Perjanjian Lisensi Merek
ABSTRACT
Trade in Goods and Services did not rule out that the use of well-known brands by the other party in order to obtain higher profits as a result of the brand fame. Ways as it is certainly can cause problems which can harm to other party. Each brand has a distinctive and used in the trading of goods or services and the brand which already registered will get legal protection from interference of others who use registered well-known brands illegally.
Brand owners whom the brand has been registered, may grant a license to use its brand to other party set forth in the Brand License Agreement. Lisence receiver according to the laws and regulations are also protected under the law in the case of the deleted or canceled Brands, only just the deletion Brand or cancellation Brand caused by a violation of applicable laws and regulations, religious morality, decency and public order is felt there is no reasonable arrangements. Therefore, in case of a legal dispute involves the deletion and cancellation Brand or cancellation Brand License Agreement required the effort of finding the law and also law interpretation made by Commercial Court Judges.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perkembangan perekonomian terutama permasalahan Hak atas Kekayaan Intelektual menjadi sorotan dan bahan pengkajian yang mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik nasional maupun internasional. Hak atas Kekayaan Intelektual tidak semata-mata berkaitan dengan hukum saja, melainkan erat hubungannya dengan masalah perdagangan, ekonomi dan pengembangan teknologi serta menjadi landasan bagi usaha untuk memajukan budaya bangsa dan masyarakat pada umumnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran perdagangan dan yang tidak boleh diabaikan dalam dunia perdagangan modern adalah faktor Merek. Berdasarkan atas ketentuan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 Pasal 1 menyebutkan : ”merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka diketahui bahwa Merek pada dasarnya merupakan suatu “tanda” untuk membedakan barang-barang hasil perusahaan lainnya. Begitu pula dengan lisensi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (13) yang menyebutkan bahwa : “ Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat-syarat”.
Fungsi utama Merek adalah untuk membedakan barang atau jasa produksi
perusahaan lain yang sejenis. Dengan demikian Merek dagang merupakan tanda
pengenal asal barang yang bersangkutan dengan produsennya. Dari sisi produsen
Merek dagang digunakan sebagai jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai
kualitas kemudian pemakaiannya, dari segi pedagang, merek digunakan untuk promosi
barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar. Dari sisi konsumen,
Merek dagang diperlukan untuk melakukan pilihan barang yang akan dibeli. Bahkan
terkadang penggunaan Merek dagang tertentu bagi seorang konsumen dapat
menimbulkan image tertentu pula. Jadi dalam masyarakat terdapat suatu anggapan
bahwa Merek dagang yang digunakan dapat menunjukkan status sosial si pemakai
Merek. Situasi ini tentunya dapat dimanfaatnkan produsen yang ingin mengambil
keuntungan secara tidak sah yakni menggunakan merek yang sudah dikenal
masyarakat terhadap hasil produksinya yaitu dengan membajak atau menirunya. Untuk
menghindari pembajakan tersebut dengan pemberian lisensi Merek, yang dalam
konteks ini terjadi pemberian lisensi Merek dagang.
Berdasarkan pengertian diatas maka lisensi adalah suatu bentuk hak untuk
melakukan satu atau serangkain tindakan atau perbuatan, yang diberikan oleh mereka
yang berwenang dalam bentuk izin, tanpa adanya izin tersebut merupakan suatu
tindakan yang tidak sah atau melawan hukum. Melalui lisensi pelaku usaha
memberikan izin kepada suatu pihak lain untuk menggunakan Mereknya tetapi tidak
secara cuma-cuma. Sebagai imbalan atas pemberian pemakaian izin tersebut pemilik
merek akan memperoleh pembayaran yang disebut dengan nama royalty. Besarnya
royalty ini biasanya dihubungkan dengan banyaknya atau besarnya jumlah produk yang
dihasilkan ataupun yang dijual dalam kurun waktu tertentu.
Pada awalnya pemberian lisensi ini diberikan pada penggunaan teknologi atau
pengetahuan saja dan hal ini kurang dirasakan memuaskan oleh kalangan usahawan,
karena produk yang dipasarkan bukan hanya menggunakan teknologi yang sama saja
tetapi juga dibutuhkan adanya kesamaan dalam segala wujud karena hal ini juga
berpengaruh kepada citra (image) dari suatu produk. Kemudian pemberian lisensi
berkembang dalam berbagai macam bentuk hak atas kekayaan intelektual termasuk
didalamnya yaiitu lisensi atas Merek dagang, hak cipta, desain idustri, bahkan juga
rahasia dagang.
Lisensi merupakan suatu bentuk pemberian hak yang melahirkan perikatan.
Pemberi lisensi mengharapkan adanya kontra prestasi dari penerima lisensi yang
berupa suatu pembayaran yang disebut lisensi fee atau royalty. Selain dari adanya
suatu bentuk kontra prestasi berupa royalty, penerima lisensi juga mempunyai
kewajiban untuk menjaga kerahasiaan dari hak atas kekayaan intelektual yang
diberikan, termasuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan pemberi lisensi
tersebut.
1Perjanjian lisensi ini merupakan suatu cara pengembangan usaha yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan usaha baik dilakukan dalam suatu negara maupun
tanpa batas berbagai negara di dunia, namun ada suatu hal yang perlu diperhatikan
oleh pelaku usaha dalam pemberian lisensi khususnya di bidang Merek dagang ini yang
dilakukan secara internasional yang para pihaknya jelas berasal dari negara yang
berbeda sehingga timbul ketentuan hukum yang akan digunakan dalam perjanjian
lisensi ini.
Lisensi Merek yang diberikan kepada pihak lain dan dituangkan dalam suatu
perjanjian, menyebabkan para pihak terikat kepada perjanjian yang dibuatnya.
Perjanjian itu harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian juga tunduk kepada
kebatalan-kebatalan suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang Undang
Hukum Perdata, antara lain seperti diatur dalam Pasal 1254, 1335 jo. 1337
KUHPerdata sebagai lex generalis. Sedangkan sebagai lex specialis pembatalan Merek
sebagaimana Pasal 68 sampai Pasal 72 Undang Undang No. 15 tahun 2001 tentang
Merek. Dengan demikian sangat terbuka luas kemungkinan suatu Merek dapat
dibatalkan, baik oleh pemerintah yang memberikan ijin merek maupun oleh pihak ketiga
yang dirugikan atas pemberian Merek tersebut.
Apabila suatu Merek yang berbentuk ijin yang diberikan oleh Pemerintah
dibatalkan baik oleh Pemerintah cq Direktoral Jenderal Kekayaan Intelektual atau atas
permohonan pihak ketiga, apakah perjanjian lisensi yang dibuat oleh pemegang Merek
dengan penerima lisensi, akan batal dengan sendirinya?. Bagaimana perlindungan
hukum bagi pemegang Merek dan penerima lisensi Merek manakala pendaftaran
Merek sebagai dasar pemberian lisensi merek dibatalkan ?. Dalam hal ini terdapat
kekaburan hukum, yang memerlukan penafsiran hukum untuk kepentingan penegakkan
hukum dan kepastian hukum bagi pemegang Merek dan penerima lisensi Merek.
Uraian diatas merumuskan sebuah judul yang menarik untuk dibahas mengenai
”Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Akibat Pembatalan Merek Oleh Pengadilan
Niaga”
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu suatu
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
dari sisi normatif.
2Menurut Bambang Sunggono, bahwa penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang didasarkan atau hanya menelaah data sekunder (data
kepustakaan).
3Jenis Pendekatan
Dalam rangka untuk menyelesaikan masalah, jenis pendekatan yang digunakan
adalah jenis pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan analisis
(analityc approach), dan pendekatan konsep (concepts approach). Ketiga jenis
pendekatan ini dipergunakan dalam membahas permasalahan penelitian, adalah dalam
rangka upaya memperoleh kajian yang sifatnya komprehensif.
Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan-bahan hukum dimaksud adalah:
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat, yaitu:
-Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
-Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
-Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
2. Bahan hukum sekunder adalah literatur yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer yang meliputi: buku-buku, literatur, artikel, makalah dan
bahan-bahan huku tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Mengingat bahan hukum dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, maka tehnik pengumpulannya dilakukan melalui
studi dokumen, yaitu dengan cara menginvetarisir dan mengidentivikasi bahan-bahan
hukum yang relevan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dalam pengumpulan bahan
hukum dilakukan pencatatan dan pengorganisasian secara sitematis, guna
mempermudah penelusuran terhadap bahan-bahan hukum tersebut.
2
Jhony Ibrahim, 2006, Tiori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Baya Publishing, Malang, h. 99.
3
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Radja Grapindo Persada, Jakarta, h. 83-102.
Teknik Analisis Bahan Hukum
Dari bahan-bahan hukum yang berhasil dikumpulkan, maka dilakukan analisis secara kualitatif dan komprehensif, yaitu analisis dengan menguraikan bahan-bahan hukum secara bermutu, logis, sistematis, dan menyentuh berbagai aspek sesuai dengan materi penelitian. Setelah dianalisa, selanjutnya bahan hukum tersebut disajikan secara diskriptif analisis, sehingga dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan.
PEMBAHASAN
Pendaftaran Merek dan Lisensi Merek
Perdagangan sebagai suatu usaha ekonomi setiap tahun menunjukkan kegiatan yang semakin mengglobal dan iklim perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat persaingan usaha yang sehat. Untuk menciptakan dan mempertahankan iklim usaha yang sehat, Merek yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa menjadi sangat penting.4
Dalam Undang-Undang Merek, pemeriksaan substantif dilakukan setelah permohonan pendaftaran Merek dinyatakan memenuhi syarat administratif. pemeriksaan substanstif dilakukan setelah selesai masa pengumuman tentang adanya permohonan pendaftaran Merek, sehingga terbuka kesempatan bagi pihak lain untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan pendaftaran Merek tersebut.
Undang-Undang Merek juga menyatakan bahwa pada prisipnya permohonan dapat dilakukan untuk lebih dari satu kelas barang atau jasa sesuai dengan ketentuan Trademark Law Treaty yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 1997. Hal ini dimaksudjkan untuk memudahkan pemilik Merek yang akan menggunakan Mereknya untuk beberapa barang dan jasa yang termasuk dalam beberapa kelas yang semestinya tidak perlu direpotkan dengan presedur administrasi yang mengharuskan pengajuan permohonan secara terpisah bagi setiap kelas barang atau jasa yang dimaksud 5 .
Sebagai bentuk dukungan terhadap kelancaran kegiatan dunia usaha,dalam hubungannya dengan kepastian lengkap tidaknya syarat-syarat yang diperlukan dalam pendaftaran, Pemerintah cq Ditektorat Jenderah Hak Kekayaan Intelektual melakukan memberikan limit waktu bagi pemohon pendaftaran Merek untuk melengkapi syarat-syarat yang diperlukan mana kala ternyata syarat-syarat dalam permohonan tersebut belum dipenuhi.
4 Penjelasan Undang Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek.
5 Ricardo Simanjuntak, 2002, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Mingguan Ekonomi dan Bisnis, Jakarta, h. 335
Dalam hubungannya dengan permohonan dan syarat-syarat permohonan pendaftaran Merek ini, tampak jelas Pemerintah sudah berupaya untuk memberikan kepastian hukum sejak awal agar pelayanan yang berkaitan dengan merek lebih baik dan lebih memberikan kepastian hukum yang sangat diperlukan oleh dunia usaha 6 .
Pemeriksaan Substantif Permohonan Pendaftaran Merek
Setelah syarat-syarat yang diperlukan untuk mengajukan pendaftaran Merek dipenuhi, maka Direktorat Jenderak Hak Intetektual akan melakukan pemeriksaan substantif terhadap permohonan pendaftaran Merek itu. Pemeriksaan substantif adalah pemeriksaan terhadap substansi permohonan itu sendiri yaitu apakah permohonan itu secara materiil melanggar hukum atau tidak. Undang Undang Merek memberikan perincian substansi yang harus diperiksa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4,5 dan 6 yaitu apakah sipemohon beritikad baik, apakah Merek yang diusulkan untuk didaftar bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum atau apakah Merek yang diusulkan untuk didaftar mempunyai persamaan pada dengan Merek yang sudah terdaftar terlebih dahulu.
Pemeriksaan substantif ini merupakan inti dari dikabulkannya atau ditolaknya permohonan pendaftaran Merek oleh karena substansi tersebut akan berkaitan dengan kebatalan-kebatalan dari Merek yang sudah didaftar, dan bahkan akan berdampak kepada tuntutan - tuntutan dari pihak yang dirugikan atas pembatalan Merek oleh Pengadilan Niaga, apabila ternyata ditemukan pendaftaran merek melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Merek. Adapun Pasal yang menjadi inti dari Undang-Undang Merek tersebut yang yang merupakan substansi yang diperiksa dan menentukan dapat tidaknya suatu Merek didaftarkan. Pendaftaran Merek mengandung makna bahwa betapa perlunya pengawasan terhadap pemakaian Merek yang akan dapat berdampak luas dalam persaingan usaha yang sehat, dan pendaftaran Merek yang selanjutnya mendapat perlindungan hukum, tidak boleh merugikan perekonomian Negara.7
Akibat Hukum Yang Timbul Dalam Perjanjian Lisensi Merek
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek menimbulkan akibat hukum yang harus dipikul oleh subyek hukum tersebut. Bentuk akibat hukum adalah hak dan kewajiban yang timbul yang harus dipikul terutama oleh subyek hukum tersebut. Perbuatan hukum dalam hal ini adalah perbuatan hukum perjanjian, maka konsekuensi dari perbuatan hukum perjanjian itu
6 Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial ,Kencana Prenada Group, Jakarta, 43
adalah akibat hukum berupa hak-hak dan kewajiban yang harus dipukul oleh para pihak. Bentuk nyata hak dan kewajiban yang timbul akibat perbuatan hukum perjanjian adalah menyangkut hak dan kewajiban terhadap prestasi. Prestasi yang dimaksud adalah cara pelaksanaan perjanjian, yang bentuknya berupa hak dan kewajiban dimana ada hak-hak yang dapat dipegang/diperoleh dan ada kewajiban-kewajiban yang harus dipikul. Dalam perjanjian, hal tersebut dikenal dengan recital prestasi sebagai contoh dalam perbuatan hukum perjanjian jual beli recital prestasinya akan berbunyi : “ Pihak pertama berjanji dan mengikat diri untuk menjual dan menyerahkan kepada pihak kedua yang berjanji dan mengikat diri untuk membeli dan menerima penyerahan atas : ….selanjutnya diikuti dengan recital obyek dengan menyebut identitas obyek misalnya : sebidang tanah terletak di Kelurahan Sesetan dan seterusnmya “. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), akibat hukum yang timbul dari dibuatnya suatu perjanjian yaitu hak-hak dan kewajiban yang terutama dibebankan kepada para pihak yang membuatnya8 . Atau dalam bahasa undang-undang dinyatakan perjanjian mengikat para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 jo. 1340 KUHPerdata dengan pengecualian perjanjian yang dibuat oleh siberhutang yang merugikan kepentingan siberpiutang, maka siberpiutang dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja, hal ini lazim dikenal dengan azas actio pauliana.
Akibat lebih jauh yang dapat timbul karena dibuatnya perjanjian adalah menyangkut unsur naturalia perjanjian yaitu bahwa pihak yang menyerahkan wajib menjamin apa yang diserahkan adalah tidak cacat baik cacat fisik tersembunyi maupun cacat hukum dalam bentuk masih terkait sengketa hukum. Kalaupun para pihak lupa mencantumkan kewajiban “menjamin”, maka secara mutatis mutandis hukum yang ada akan berlaku terhadapnya misalnya menyangkut cacat tersembunyi, akibat hukumnya dibebankan kepada pihak yang menyerahkan. Kepada pihak yang melaksanakan prestasi untuk menerima penyarahan dengan kewajiban untuk melunasi harganya, kepadanya juga diikat dengan ketentuan unsur aksidentalia yaitu bersedia menerima sanksi-sanksi yang ditentukan dalam perjanjian itu berupa denda, bunga , ganti kerugian, apabila ia terlambat atau lalai melekukan kewajiban membayar harganya. Bahkan secara lex generalis, perbuatan hukum yang berkaitan dengan hukum perutangan, bagi pihak yang berutang harus menjamin pelunasan utang-utangnya dengan seluruh barang-barangnya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal.1131 KUHPerdata. Mengenai akibat hukum yang timbul akibat dari dibuatkan perjanjian Lisensi Merek meliputi akibat hukum yang timbul bagi pemegang Merek dan akibat hukum yang timbul bagi
8 Mr. Pitlo, 1977, alih bahasa M. Moerasad, Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, h. 79
penerima Lisensi dapat diatur dalam surat Perjanjian. Bagi pemegang Merek yang memberi Lisensi kepada pihak lain selaku penerima Lisensi yang dituangkan dalam perjanjian Lisensi Merek, tentunya pihak pemegang Merek adalah selaku pihak yang menyerahkan dan pihak lainnya adalah pihak yang menerima penyerahan prestasi, menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban secara timbal balik pada pihak-pihak.
Dikaitkan dengan perjanjian Lisensi Merek dalam anatomi tersebut tergambar hak-hak dan kewajiban yang harus dituangkan dalam suatu perjanjian, hak-hak dan kewajiban mana menyesuaikan dengan jenis barang dan jasa yang akan dilindungi oleh Lisensi Merek yang akan dituangkan dalam perjanjian tersebut. Sebagai lex specialis Undang-Undang Merek juga menekankan akibat hukum yang akan timbul dalam perjanjian Lisensi Merek berupa hak-hak dan kewajiban yang harus dipikul oleh para pihak. Hak-hak dan kewajiban tersebut timbul diawali dengan hak yang diperoleh oleh Pemegang Merek sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang Undang Merek menyatakan “Hak atas Merek adalah Hak Eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya”.
Yang dimaksud dengan dapat memberikan izin kepada pihak lain adalah bahwa pemilih Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain yang dituangkan dalam suatu perjanjian disebut perjanjian Lisensi Merek yang isinya bahwa penerima Lisensi akan ikut menggunakan Merek tersebut untuk sebagaian atau seluruh jenis barang atau jasa.
Dalam perjanjian Lisensi Merek, pihak pemilik Merek pemberi Lisensi memberikan hak kepada penerima Lisensi untuk dapat mempergukanan Merek yang dimilikinya dalam menjalankan usaha dagang atau jasa, dengan kewajiban membayar royalty yang jumlah dan lamanya ditentukan dalam perjanjian, sebagai bagian pokok dari perjanjian. Perjanjian yang isinya pemberian royalty tersebut adalah inti dari hubungan perdagangan, dimana royalty yang harus dibayarkan oleh penerima Lisensi kepada pemilik Merek sudah merupakan perhitungan atas keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh oleh penerima Lisensi atas pemakaian Merek tersebut, dengan demikian perjanjian Lisensi Merek tidak boleh menimbulkan akibat kerugian bagi pihak lain terutama kepada perekonomian negara, larangan mana kalau dilanggar akan dapat menyebabkan pemberian izin Merek akan dibatalkan.
Dikaitkan dengan dasar- dasar hukum perdata maka hal ini bersesuaian dengan substansi Pasal 1341 KUHPerdata yaitu perjanjian yang dibuat merugikan pihak ketiga dapat dimintakan pembatalannya oleh pihak ketiga tersebut sejauh dan sebatas yang merugikannya9. Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Merek dan Penerima Lisensi Apabila Terjadi Penghapusan dan Pembatalan Merek.
Merek yang sudah terdaftar pada Direktorat Jenderal Hak Intelektual dan termuat dalam Daftar Umum Merek dapat berakhir karena penghapusan dan pembatalan. Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan atas prakarsa Direktoral Jenderal Hak Intelektual (Direktoral Jenderal) atau berdasarkan permohonan pemilik Merek. Penghapusan pendaftaran Merak atas prakarsa Direktoral Jenderal dapat dilakukan jika Merek tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam perdagangan barang atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal. Yang dimaksud dengan pemakaian terakhir adalah penggunaan Merek tersebut pada produksi barang atau jasa yang diperdagangkan. Saat pemakaian terakhir tersebut dihitung dari tanggal terakhir pemakaian sekalipun setelah itu barang yang bersangkutan masih beradar di Indonesia.
Pendaftaran Merek juga dapat dihapus karena Merek yang digunakan untuk jenis barang dan jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang dan jasa yang dimohonkan pendaftarannya, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar. Khusus terhadap keberatan yang diajukan oleh pemilik Merek dalam penghapusan Mereknya berdasarkan ketentuan bahwa tidak digunakan Merek tersebut selama 3 tahun berturut-turut, keberatan dapat diterima kalau hal tersebut berhubungan dengan larangan Import, atau berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang mengunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan yang berwenang bersifat larangan yang ditetapkan dalam peraturan Pemerintah.
Sesuai ketentuan Pasal 61 ayat (5) Undang Undang Merek, keberatan terhadap penghapusan pendaftaran Merek dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga. Penghapusan pendaftaran Merek oleh pemilik Merek atau kuasanya baik sebagaian ataupun seluruh jenis barang dan jasa, dalam hal Merek yang dimohonkan penghapusan Mereknya masih terikat perjanjian Lisensi, maka penghapusan tersebut harus mendapat persetujuan dari penerima Lisensi. Hal ini berkaitan dengan kerugian yang mungkin dapat timbul pada pihak penerima Lisensi, apabila penghapusan perndaftaran Merek tanpa persetujuan penerima Lisensi.
Bagaimana halnya jika penghapusan pendaftaran Merek atas prakarsa Direktorat Jenderal Hak Intetektual sebagaimana dijelaskan diatas, dalam mana Merek tersebut sudah
9
terikat dengan Perjanjian Lisensi?. Undang Undang Merek tidak mengatur hal tersebut, sehingga dengan demikian dalam penghapusan atas prakarsa Direktorat Jenderal, penerima Lisensi tidak mendapat kepastian perlindungan hukum. Disini terdapat kekosongan hukum, dan jika pihak Penerima Lisensi yang menderita kerugian akibat dari penghapusan Pendaftaran Merek tersebut melakukan gugatan terhadap Pemegang Merek ke Pengadilan Niaga, hukum apakah atau ketentuan manakah yang dipakai dasar untuk menjatuhkan putusan oleh Pengadilan Niaga dalam mengadili dan memutus perkara tersebut. Hukum acara perdata menentukan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak mengadilan dan memutus perkara karena alasan tidak ada undang-undangnya ( Ius Curia Novit )10. Dalam hal tersebut, maka hakim harus mampu menemukan hukumnya baik secara Argumentum Acontrario, maupun dengan Argumentum per Analogium. Dua cara penemuan hukum tersebut sudah lazim dipergunakan oleh hakim dalam hal terdapat kekosongan hukum11.
Dalam kejadian seperti tersebut, gugatan yang diajukan oleh Penerima Lisensi yang merasa dirugikan karena adanya Penghapusan Merek baik atas prakarsa dari Direktorat Jenderal, maupun atas gugatan yang diajukan oleh pihak ketiga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 63 Undang-Undang Merek adalah dengan mencermati ketentuan-ketentuan dalam Hukum Perdata atau dalam Hukum Tata Usaha Negara menyangkut pembatalan suatu surat yang dapat menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dapat kita temukan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu tentang Perbuatan Melawan Hukum yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam hal tersebut bukan hak dan kewenangannya (Direktorat Jenderal) untuk melakukan penghapusan yang dipersoalkan, melainkan dalam menjalankan kewenangan tersebut ada unsur Perbuatan Melawan Hukum misalnya dalam melakukan penghapusan Pendaftaran Merek yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal, tidak mempertimbangkan kerugian yang didereta oleh Penerima Lisensi yang telah memakai Merek tersebut dalam perdagangan barang atau jasa.
Dalam hal tersebut, Direktorat Jenderal tidak dapat dibenarkan secara serta merta melakukan penghapusan, akan tetapi harus menimbang kepentingan semua pihak, baik pihak Pemilik Merek maupun pihak Penerima Lisensi dan memberikan keputusan yang bijaksana dan tidak merugikan pihak Pemilik Merek, maupun Penerima Lisensi bahkan juga kepentingan Negara.
Apabila hal itu tidak dilakukan, maka Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara tersebut dapat memberikan pertimbangan yang adil dan memutus perkara tersebut berdasarkan
10 Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Leberty, Yogyakarta, h.7
11
ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan juga berdasarkan ketentuan materiil Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dan tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahannya, dimana ditentukan bahwa suatu surat izin Tata Usaha Negara dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan azas azas umum pemerintahan yang baik, dan peraturan perundangan yang berlaku.
Perlindungan Hukum Kepada Para Pihak Dalam Pembatalan Merek dan Lisensi
Penghapusan Merek dan pembatalan Merek adalah dua hal yang berbeda. Penghapusan Merek terjadi atas inisiatif dari pejabat yang berwenang, walaupun kemudian dapat dilawan dengan gugatan ke Pengadilan Niaga, sedangkan pembatalan Merek terjadi karena adanya putusan pengadilan dalam hal ini Pengadilan Niaga, karena adanya gugatan dari pihak yang dirugikan dan gugatannya dikabulkan oleh Pengadilan Niaga dengan membatalkan Pendaftaran Merek tersebut.
Gugatan pembatalan Merek ini adalah ada dua jenis.
Pertama, ada gugatan sejenis gugatan Tata Usaha Negara yaitu gugatan diajukan oleh pemohon pendaftaran Merek, tetapi permohonannya itu ditolak oleh Direktoral Hak Kekayaan Intetelktual dan karena ditolaknya pendaftaran tersebut pihak pemohon lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga dan bukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kedua , gugatan sejenis gugatan biasa yaitu gugatan dilakukan oleh pihak yang Mereknya sudah terdaftar lebih dahulu terhadap pemilik Merek yang Mereknya terdaftar belakangan berdasarkan alasan ketentuan Pasal 6 Undang Undang Merek yaitu mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak penggugat. Contohnya dalam hal ini adalah, gugatan yang dilakukan oleh perusahaan Korea bernama Magic Com Co Ltd pemegang Merek terdaftar dengan Merek bernama : Yong Ma Electrics Co Ltd yang terdaftar di Indonesia pada tanggal 4 Agustus 1997, Nomor 377393 menggugat perusahaan Indonesia bernama PT. Yong Ma Indonesia, pemegang Merek terdaftar dengan Merek bernama Yong Ma Indonesia yang terdaftar di Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1997 nomor 382737 dengan alasan gugatan adalah bahwa Merek milik tergugat yang didaftarkan belakangan mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak penggugat yang sudah lebih dahulu di Dirjen Hak Kekayaan Intelektual. Dan dalam kasus ini penggugat dimenangkan, karena terbukti bahwa tergugat yang Mereknya terdaftar belakangan mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik penggugat.
Terhadap pembatalan Merek yang sudah terdaftar karena adanya gugatan pihak ketiga dimana pemegang Merek tersebut sudah memberikan Lisensi kepada pihak lain, dan bagaimana perlindungan hukumnya terhadap pemegang Lisensi diatur dalam Pasal 48 Undang
Undang Merek yang menyatakan Penerima Lisensi yang beritikad baik tetapi kemudian Merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu, berhak melaksanakan perjanjian Lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perejanjian Lisensi. Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud diatas tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalty kepada pemberi Lisensi yang Mereknya dibatalkan,melainkan wajib melaksanakan pembayaran kepada pemilik Merek yang tidak dibatalkan. Dalam hal pemberi Lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalty secara sekaligus dari penerima Lisensi, pemberi Lisensi tersebut wajib menyerahkan bagian dari royalty yang diterimanya kepada pemilik Merek yang tidak dibatalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian Lisensi.
Undang Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, mengatur dengan detail perlindungan hukum bagi penerima Lisensi yang beritikad baik, akibat pembatalan Merek dari pemberi Lisensi yang Mereknya terdaftar karena adanya “persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar”. Penjelasan dari Pasal 4 Undang-Undang Merek menyatakan Pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur tanpa niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen .
Sebagaimana sudah dijelaskan diatas, perlindungan hukum bagi penerima Lisensi yang beritikad baik karena dibatalkannya Merek dengan alasan “adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek lain yang terdaftar” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 48 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 yaitu penerima Lisensi tetap dapat mempergunakan Lisensinya sampai dengan perjanjian Lisensi berakhir.
Pembatalan Merek disebabkan karena alasan lain diluar alasan “adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar”, bagi penerima Lisensi misalnya pembatalan dengan alasan pemegang Merek tidak beritikad baik, Merek yang terdaftar bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Merek, perlindungan hukumnya bagi dan terhadap penerima Lisensi belum diatur, sehingga disini terjadi kekosongan hukum atau setidak tidaknya terdapat kekaburan hukum. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan pembatalan-pembatalan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, sebagaimana termuat dalam Pasal 1254, 1335 jo. Pasal 1337 yang intinya suatu perjanjian batal demi hukum karena perjanjian mengandung syarat yang tidak mungkin dapat
dilaksanakan, perjanjian dibuat tanpa sebab atau sebab palsu, dan perjanjian dibuat bertentangan dengan peraturan perudangan yang berlaku, bertentangan dengan kesusilaan dan bertentangan dengan ketertiban umum. Apakah ketentuan-ketentuan ini juga berlaku bagi pembatalan Merek dan berakibat lebih lanjut terhadap Perjanjian Lisensi, sehingga dengan demikian Perjanjian Lisensi juga menjadi batal atas dasar alasan sebagaimana diatur dalam hukum perdata berikut akibat hukum.
Ditegaskan sekali lagi bahwa Undang Undang Merek, tidak mengatur dan tidak memberi perlindungan hukum terhadap penerima Lisensi Merek yang Mereknya dibatalkan disebabkan pemilik Merek tidak beritikad baik, pendaftaran Merek bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang Undang Merek, yang diatur hanyalah menyangkut perlindungan hukum terhadap penerima Lisensi Merek yang beritikad baik, yang mereknya dibatalkan disebabkan karena “adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang Undang Merek. Kekosongan hukum atau setidaknya dalam kekaburan hukum seperti ini, hakim dalam hal ini hakim Pengadilan Niaga dapat menemukan hukum atau setidaknya memberikan penafsiran terhadap hukum yang kabur dengan jalan argumerntum atau interpretasi hukum.
Argumentum ada dua yaitu argumentum analogium dan argumentum accontrario. Sedangkan Interpretasi hukum dapat kita sebutnya secara berurutan yaitu: (1) Interperetasi Yuridis, (2) Interpretasi Gramatikal, (3) Interpretasi Historis, (4) Interpretasi Sosiologis, (5) Interpretasi Filosofis, (6) Interpretasi Futuristis. Dengan argumentum dan interpetasi hakim dapat menemukan hukum dan memperjelas hukum yang kabur.
Tentang akibat pembatalan Merek terhadap perjanjian Lisensi Merek dengan alasan diluar “adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar”, akibat hukumnya terhadap Perjanjian Lisensi adalah adalah tetap berlaku ketentuan pembatalan-pembatalan perjanjian dalam hukum perdata dan akibat hukumnya.
Terhadap Perjanjian Lisensi Merek yang ijin pendaftaran Merek sebagai
dasarnya dan apabila Mereknya kemudian dibatalkan disebabkan karena Merek
terdaftar tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku,
melanggar moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, maka mutatis mutandis
berlaku akibat hukum pembatalan terhadap pelanggaran syarat obyektif perjanjian yaitu
batal demi hukum secara argumentum analogium diatur dalam Pasal 1254, 1335 jo.
1337 KUHPerdata menyatakan:
Psl. 1254 KUHPerdata menyatakan Semua syarat yang bertujuan melaksanakan
sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan
kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang undang, adalah batal,
dan berakibat bahwa persetujuan yang digantungkan kepadanya tak berdaya.
Psl. 1335 KUHPerdata menyatakan ; Suatu persetujuan tanpa sebab, atau
sesuatu yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang , tidak
mempunyai kekuatan.
Psl. 1337 KUHPerdata menyatakan, Suatu sebab adalah terlarang apabila
dilarang oleh undang undang, apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.
Apabila perjanjian batal demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap tidak
pernah ada, sehingga akibat hukum bagi para pihak yaitu terhadap pemegang Merek
terdahulu sebagai penggugat dan pemegang Merek belakangan sebagai tergugat
berlaku ketentuan batal demi hukum.. Artinya perjanjian itu sama sekali tidak
menimbulkan hak-hak dan kewajiban bagi para pihak, dan para pihak tidak dapat saling
tuntut menuntut satu sama lain dengan alasan kerugian disebabkan adanya
pembatalan demi hukum.
Dalam hubungan dengan pemegang Merek dengan penerima Lisensi yang
mengikatkan diri berdasarkan perjanjian Lisensi Merek yang ternyata dikemudian hari
Mereknya dibatalkan dengan putusan hakim Niaga dengan amar putusan “batal demi
hukum” maka berlakulah perlindungan hukum bagi pemberi Lisensi ketentuan Pasal
1365 KUHPerdata yang berbunyi ;
“Tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian kepada
orang lain, harus mengganti kerugian tersebut”.
Dalam hal ini pihak pemegang Merek, terbukti karena salahnya melanggar ketentuan
Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Merek, sehingga Mereknya dibatalkan oleh Pengadilan
Niaga, yang menyebabkan kerugian pada pemegang Lisensi, sehingga pemegang
Lisensi Merek dalam hal ini dapat mengajukan gugatan ganti rugi, berdasarkan
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
Upaya Hukum Terhadap Penghapusan dan Pembatalan Merek
Upaya Hukum Terhadap Penghapusan Pendaftaran Merek
Upaya hukum adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk melawan suatu
putusan hukum. Dalam penghapusan pendaftaran Merek, manakala pemilik Merek
berkeberatan Mereknya dihapus, maka hal-hal apa yang dapat dilakukan untuk
melawan putusan penghapusan pendaftaran merek tersebut?. Sebagaimana diuraikan
sebelummnya, penghapusan pendaftaran Merek dapat dilakukan, Pertama, atas
prakarsa Direktorat Jenderal, Kedua, atas permohonan pemilik Merek itu sendiri, dan
Ketiga, dapat pula atas gugatan pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan Niaga.
Adapun alasan Penghapusan pendaftaran Merek baik atas prakarsa Direktorat
Jenderal, atas permohonan pemilik Merek maupun atas gugatan pihak ketiga
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (2)a dan (2)b Undang-Undang Merek
bahwa Merek tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam perdagangan
barang/jasa sejak tanggal perndaftaran atau Merek digunakan untuk jenis barang
dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan
pendaftarannya, termasuk pemakaian Merek yang tidak sesuai dengan Merek yang
didaftar. Apabila pemilik Merek terdaftar yang perndaftaran Mereknya dihapus oleh/dan
atas prakarsa Direktorat Jenderal, maka upaya hukum yang dapat dilakukan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (5) Undang-Undang Merek adalah
mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. Dalam gugatan tersebut yang digugat
adalah Direktorat Jenderal dengan petitum gugatan agar putusan Direktorat Jenderal
yang menghapus pendafataran Merek milik penggugat dibatalkan. Sedangkan, apabila
pendaftaran Merak dihapus berdasarkan putusan Pengadilan Niaga karena adanya
gugatan dari pihak ketiga, maka upaya hukum yang dapat dipakai untuk melawan
putusan Pengadilan Niaga yang membatalkan pendaftaran Merek tersebut adalah
langsung Kasasi ke Mahkamah Agung.
Upaya Hukum Terhadap Pembatalan Pendaftaran Merek
Merek dapat dibatalkan oleh Pengadilan Niaga, karena adanya gugatan dari
pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaiumana diatur dalam Pasal 4,
Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Merek. Gugatan pembatalan pendaftaran Merek
hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak tanggal pendaftaran Merek,
kecuali gugatan pembatalan terhadap pendaftaran Merek berdasarkan alasan
bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum, dapat
diajukan tanpa batas waktu.
Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan Pengadilan Niaga adalah
Kasasi. Dan putusan Kasasi tentu saja masih dapat dilawan dengan upaya hukum
Peninjauan Kembali, manakala ada alasan untuk itu sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 67 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 dirubah dengan Undang-Undang No.5
Tahun 2004 dan dirubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung.
PENUTUP Simpulan
Peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang Merek dan pemberian Lisensi Merek berlaku ketentuan Hukum Perdata dan ketentuan hukum menyangkut Hak Kekayaan Intetektual sebagai lex generalis dan Undang-Undang Merek sebagai lex specialis. Ketentuan hukum perdata dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian, pembatalan pembatalan perjanjian, sedangkan ketentuan hukum berkaitan dengan HAKI dalam hal ini adalah menyangkut Perjanjian Lisensi, Substansi perjanjian Lisensi, dan ketentuan tentang akibat hukum dan upaya hukum bagi pemegang Merek dan penerima Lisensi yang diikat dengan Perjanjian Lisensi Merek.
1. Perlindungan hukum bagi pemegang Merek dan penerima Lisensi yang diikat dengan perjanjian Lisensi Merek adalah bahwa :
Bagi pemilik Merek yang Mereknya sudah terkenal dan terdaftar, diberikan perlindungan hukum yaitu dijamin dapat menjalankan usahanya berdasarkan Mereknya yang sudah terkenal tersebut agar tidak dirugikan oleh pihak lain yang ikut memakainya secara tidak sah. Dan kepada mereka yang mempergunakan Merek secara tidak sah dapat dipidana penjara karena secara sengaja dan tanpa hak mengunanakan Merek yang sudah terdaftar. Pemegang Merek yang sudah terdaftar juga mendapat perlindungan hukum selama jangka waktu berlakunya pendaftaran berupa kepastian berusaha dan mengembangkan usahanya dengan memakai Merek tersebut baik sendiri ataupun bekerjasama dengan pihak lain. Bagi penerima Lisensi Merek yang beritikad baik, yang ternyata Merek yang menjadi dasar perjanjian Lisensi dibatalkan oleh Pengadilan Niaga disebabkan oleh karena “adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar”, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang Undang Nomor 125 tahun 2001, maka kepada penerima Lisensi mendapat perlindungan hukum berupa masih tetap berhak untuk
melaksanakan perjanjian Lisensi sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjiajian Lisensi tersebut.
2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemilik Merek terdaftar, manakala pendaftaran Mereknya dihapus oleh Direktorat Jenderal maupun pendaftaran Mereknya dibatalkan oleh Pengadilan Niaga adalah Kasasi ke Mahkamah Agung. Manakala Mahkamah Agung tetap menguatkan pembatalan tersebut, maka upaya hukum yang dapat dipakai untuk melawan putusan Kasasi adalah Penninjauan Kembali.
Saran
Mengacu kepada simpulan diatas dapat disampaikan saran sebagai berikut :
1. Pemerintah hendaknya dapat menjadikan Merek terdaftar sebagai sarana untuk lebih memacu semangat para pengusaha dalam memajukan perekonomian Nasional melalui pemberian perlindungan hukum yang lebih baik dengan memberikan kepastian ketenangan dalam berusaha melalui aturan aturan tentang Merek yang lebih sempurna dan lebih lengkap, dan tidak ada kekosongan hukum ataupun kekaburan hukum.
2. Hendaknya dalam perbaikan terhadap Undang Undang Merek dikemudian hari tidak saja mencantumkan akibat hukum bagi parta pihak khususnya bagi penenerima Lisensi yang beritikad baik menyangkut pembatalan Merek karena “adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar Pasal 6 Undang-Undang Merek, melainkan juga hendaknya dicantumkan ketentuan yang lebih tegas menyangkut perlindungan hukum bagi pemegang Lisensi, manakala Merek yang menjadi dasar Perjanjian Lisensi dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap moralitas agama, kesusilaan, dan ketertiban umum, yang selama ini tidak diatur dalam Undang Undang Merek.
DAFTAR BACAAN
Buku
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial ,Kencana Prenada Group, Jakarta.
Eddy P Soekadi, 1987, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Yahya Harahap, 1986 , Segi Segi Hukum Perjanjian , Alumni Bandung, BandungGunawan Wijaya, 2001, Lisensi merupakan Hak Previlege, Seri Hukum Bisnis, PT Raja
Grafindo Persada
Gunawan Wijaya dan Kartini Mulyadi, 2004, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Raja Grafindo, Jakarta.
H. Salim HS, dkk, 2008, Perancangan Kontrak dan Memorandum Of Understanding,
Sinar Grafika.
H Salim, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Press, Jakarta.
H. Salim HS, 2010, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
Jhony Ibrahim, 2006, Tiori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Baya Publishing, Malang