• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENCANA STRATEGIS REHABILITASI DAN PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI SELURUH ANAK INDONESIA, MELALUI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RENCANA STRATEGIS REHABILITASI DAN PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI SELURUH ANAK INDONESIA, MELALUI"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

RENCANA STRATEGIS 2015 - 2019

REHABILITASI DAN PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK

MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI

SELURUH ANAK INDONESIA, MELALUI PENINGKATAN

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB KELUARGA

SERTA MASYARAKAT

DIREKTORAT REHABILITASI SOSIAL ANAK

DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI SOSIAL

KEMENTERIAN SOSIAL RI

2015

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Convention on The Rights of The Child ( CRC/KHA ) merupakan instrumen/ hukum internasional tentang hak-hak anak. Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Kepres No 36/1990. Negara yang telah meratifikasi sebuah konvensi maka negara tersebut terikat secara yuridis dan politis.

Secara Yuridis, dengan telah meratifikasi KHA, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengembangkan sistem nasional kesejahteraan dan perlindungan anak dalam bentuk kebijakan, peraturan perundang-undangan, strategi dan program yang selaras dengan kewajiban negara dalam konvensi. Undang-Undang No 23 tahun 2002 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang No. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Revisi atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan salah satu perwujudan kewajiban negara dalam melaksanakan keterikatan secara yuridis sebagai konsekuensi dari ratifikasi hukum internasional. Dalam proses penyusunan undang-undang tersebut, menjadikan Konvensi Hak Anak menjadi rujukan utama, selain norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia.

Secara politis, negara berkewajiban secara aktif mengembangkan sistem yang dapat menjamin terciptanya kesejahteraan dan perlindungan anak. Oleh karena itu, konvensi mewajibkan negara untuk menjadikan prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsung hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak harus masuk dalam semua perencanaan nasional dan kebijakan di level pemerintah dan parlemen, termasuk menjamin penyediaan anggaran yang memadai untuk perlindungan anak. Hak-hak anak merupakan bagian integral dari HAM, berkaitan

(3)

dengan peranan negara, maka tiap negara mengemban beberapa kewajiban yaitu : melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill ) dan menghormati (to respect).

Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak merupakan salah satu Unit Eselon II dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI yang melaksanakan pembangunan di bidang kesejahteraan dan perindungan sosial anak. Mandat untuk melaksanakan kebijakan perlindungan anak antara lain diberikan kepada Kementerian Sosial sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial pasal 1 (15) dan 24 (2) yang mengamanatkan Kementerian Sosial sebagai kelembagaan pemerintah yang diberi mandat menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Pasal 6 Undang-Undang tersebut menyuratkan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial antara lain mencakup perlindungan sosial, termasuk didalamnya perlindungan sosial terhadap anak. Oleh karena itu Kementerian Sosial melalui Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial anak dan perlindungan anak.

Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak pada Kementerian Sosial RI, seperti diatur dalam Keputusan menteri Sosial Ri No 86/HUK/2010 tentang Organisasi dan Tata kerja Kementerian Sosial, mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perencanaan program, perumusan kebijakan teknis, standardisasi, pelaksanaan perumusan kebijakan teknis dan pemberian bimbingan teknis serta evaluasi di bidang Kesejahteraan Sosial. Adapun Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kesejahteraan sosial anak. Tugas tersebut menjadi dasar untuk merumuskan arah kebijakan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dalam melaksanakan kebijakan nasional tentang kesejahteraan dan perlindungan anak. Sehubungan dengan hal tersebut fungsi dari Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak meliputi :

a. Perumusan kebijakan di bidang kesejahteraan sosial anak balita dan pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak terlantar, kesejahteraan sosial

(4)

anak berhadapan dengan hukum, kesejahteraan sosial anak dengan kecacatan dan kesejahteraan sosial anak yang membutuhkan perlindungan khusus;

b. Pelaksanaan kebijakan di bidang kesejahteraan sosial anak balita dan pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak terlantar, kesejahteraan sosial anak berhadapan dengan hukum, kesejahteraan sosial anak dengan kecacatan dan kesejahteraan sosial anak yang membutuhkan perlindungan khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang kesejahteraan sosial anak balita dan pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak terlantar, kesejahteraan sosial anak berhadapan dengan hukum, kesejahteraan sosial anak dengan kecacatan dan kesejahteraan sosial anak yang membutuhkan perlindungan khusus;

d. pemberian bimbingan teknis di bidang kesejahteraan sosial anak balita dan pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak terlantar, kesejahteraan sosial anak berhadapan dengan hukum, kesejahteraan sosial anak dengan kecacatan dan kesejahteraan sosial anak yang membutuhkan perlindungan khusus;

e. evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang kesejahteraan sosial anak balita dan pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak terlantar, kesejahteraan sosial anak berhadapan dengan hukum, kesejahteraan sosial anak dengan kecacatan dan kesejahteraan sosial anak yang membutuhkan perlindungan khusus; dan

f. pelaksanaan urusan tata usaha, perencanaan program dan anggaran, kepegawaian, dan rumah tangga Direktorat.

Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan perlindungan anak sebagaimana yang diatur dalam Undang 35 tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, maka penyelenggaraan perlindungan anak dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial

(5)

anak merupakan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, serta tanggung jawab masyarakat.

Rencana Strategis Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Tahun 2015-2019 merupakan dokumen perencanaan yang memuat program-program pembangunan di bidang Kesejahteraan Sosial Anak yang akan dilaksanakan langsung oleh Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak maupun dengan memberikan dukungan dan advokasi kepada Kementerian teknis terkait, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat untuk berperan aktif selama kurun waktu lima tahun.

Renstra Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan, indikator-indikator kinerja capaian pembangunan nasional sesuai dengan tugas dan fungsi Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. Rernstra ini disusundengan menyesuaikan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM–Nasional) dan bersifat indikatif. Alasan penting perlunya dilakukan penyusunan Rencana Strategis Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, adalah sebagai aturan resmi dalam pelaksanaan pembangunan selama 5 (lima) tahun kedepan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka disusun Rencana strategis Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak.

B. Maksud dan Tujuan,

Maksud penyusunan Renstra Rehabilitasi Sosial Anak adalah membuat acuan guna menyatukan persepsi, pemahaman dan komitmen dari beragam pemangku kepentingan (stakeholders) tentang visi, misi, tujuan, strategi, sasaran utama, kebijakan dan Program rehabilitasi sosial yang didasarkan pada Renstra Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial dan Renstra Kementerian Sosial tahun 2015-2019

1. Tujuan

Tujuan penyusunan Renstra Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Tahun 2015-2019, adalah:

(6)

a. Menjadikan dasar acuan penyusunan kebijakan di bidang Rehabilitasi dan perlindungan sosial anak;

b. Terciptanya keterpaduan dan keserasian dalam kegiatan rehabilitasi dan perlindungan sosial anak dengan pembangunan kesejahteraan sosial anak;

c. Sebagai pedoman dan alat pengendalian kinerja dalam pelaksanaan program dan kegiatan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak;

d. Sebagai bahan rujukan bagi pimpinan dalam pengambilan keputusan terkait dengan perencanaan dan penganggaran.

2. Sasaran

Tersusunnya Rencana Strategis Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak yang memuat analisis lingkungan internal dan eksternal, SWOT Analysis, visi, misi, tujuan, sasaran, strategi operasional, kebijakan, program, dan kegiatan yang memuat indikator-indikator kinerja capaian pembangunan nasional sesuai dengan tugas dan fungsi Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak

3. Indikator Hasil/ Rencana Tindak Lanjut

Indikator output Renstra Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak adalah tersedianya Dokumen Rencana Strategis yang diselesaikan tepat waktu dan memenuhi kaidah-kaidah penyusunan ilmiah dengan menggunakan pendekatan Manajemen Strategik (Strategic Management).

Indikator hasil yang ingin dicapai meliputi:

a. Meningkatnya aksibiitas dalam pemenuhan hak dasar anak dalam keberfungsian sosial sebesar 5%

b. Meningkatnya sistem dan kualitas pengasuhan anak dalam keluarga dan pengasuhan alternative 5 % pertahun

c. Meningkatnya peran dan tanggungjawab keluarga dalam pengasuhan anak rata-rata 10 % pertahun

(7)

d. Meningkatnya Lembaga Kesjahteraan Sosial Anak dan komunitas dalam perlindungan sosial anak rata-rata 3 % pertahun

e. Meningkatnya sumber daya manusia Pekerja Sosial/Sakti Peksos, TKSA dan Petugas LKSA dalam pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak sebanyak 10 % per tahun

f. Meningkatnya Sistem Data PKSA berbasis IPTEK yang dapat diakses oleh masyarakat sebesar 5 % per tahun

g. Meningkatnya implementasi produk hukum dalam perlindungan dan rehabilitasi sosial anak rata-rata sebanyak 3 % per tahun

Hasil Renstra yang telah disusun akan disosialisasikan kepada seluruh pejabat dan karyawan di lingkungan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dan stakeholders yang terkait.

C. Metode Penyusunan Renstra

Perencanaan strategis adalah proses yang dilakukan suatu organisasi untuk menentukan strategi atau arahan, serta mengambil keputusan untuk mengalokasikan sumber dayanya (termasuk modal dan sumber daya manusia) untuk mencapai strategi ini (http://id.wikipedia.org/wiki/ Rencana_strategis)

Substansi renstra meliputi Visi, Misi dan Nilai-nilai; Analisis Lingkungan Stratejik (PLI, PLE, KAFI, KAFE); Faktor-faktor Kunci Keberhasilan (FKK); Renstra dan Rencana Kinerja Tahunan

Berbagai teknik analisis manajemen strategis dapat digunakan dalam proses ini, termasuk analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), PEST (Political, Economic, Social, Technological), atau STEER (Socio-cultural, Technological, Economic, Ecological, Regulatory). (http://id.wikipedia.org/ wiki/Rencana strategis). Dalam penyusunan Renstra Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak digunakan analisis SWOT

(8)

Gambar 1.1. Diagram ilustrasi analisis SWOT.

Analisis SWOT (singkatan bahasa Inggris dari "kekuatan"/strengths, "kelemahan"/weaknesses, "kesempatan"/opportunities, dan "ancaman"/threats) adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam suatu program/ proyek. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari program/ proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.

Merujuk pada metode penyusunan renstra Unicef (2007), flow diagram berikut menunjukkan kerangka teoritis dan pertimbangan praktis, termasuk kendala kontekstual, membantu menentukan kebutuhan informasi. Kebutuhan ini kemudian dijabarkan dalam ke dalam indikator yang dapat diukur dan akhirnya metode dan alat/ perangkat.

"Teori"

Sejumlah rujukan memberikan arahan mengenai pertanyaan yang hendaknya diajukan dan karenanya, membantu kita dalam menentukan kebutuhan informasi:

 Kerangka analitis (analytical framework) menyajikan teori hierarki kausal dan hubungan antar faktor yang mempengaruhi masalah atau isu tertentu. Kerangka analitis didasarkan pada akumulasi pengalaman dan studi empiris. Kerangka analitis digunakan untuk mengorganisasikan dan menganalisis data

(9)

yang ada, yang menggiring kita pada kesenjangan informasi yang utama, dan kemudian memberi bingkai pertanyaan untuk memandu pengumpulan data. Kerangka itu menunjukkan sebab dan akibat yang mungkin atau akan ada dari pertanyaan mengapa hak-hak tertentu dilanggar, pemangku kepentingan yang menuntut dan melindungi hak-hak tersebut, dan kesenjangan kapasitas pemangku kepentingan yang harus didalami.

 Standar dan patokan (Standards and benchmarks) menyediakan referensi mengenai kondisi yang diharapkan atau dikehendaki. Standar dan patokan ini membantu kita membandingkan keadaan saat ini dengan pengalaman lain, mengukur tingkat keadaan, dan menjadi referensi dalam mengambil keputusan tentang bidang prioritas intervensi.

 Pengalaman sebelumnya (Previous experience) membantu kita merumuskan kemungkinan isu, pertanyaan, dan masalah yang perlu diselami.

 Perangkat / checklist yang ada (Checklists/existing tools) biasanya didasarkan pada hal di atas dan juga membantu menentukan informasi apakah yang mungkin diperlukan dalam keadaan tertentu.

"Kenyataan di Lapangan "

Membingkai kebutuhan informasi bukanlah suatu hal yang abstrak. Pertimbangan praktis juga memberi bentuk pada pilihan atas data apa yang diperlukan. Hal ini mencakup hal berikut:

 Pertanyaan prioritas yang jawabannya diperlukan para pengelola di berbagai tingkatan, baik yang mengenai keadaan umum yang membantu membentuk desain program ataupun yang mengenai kinerja program.

 Ketersediaan informasi, baik secara internal maupun secara eksternal, termasuk beberapa pertimbangan mengenai kualitas informasi itu;

 Kapasitas organisasi kita sendiri mitra dan mitra potensial untuk mendukung pengumpulan data serta kapasitas pemangku kepentingan yang utama dalam hal waktu, kepentingan, dan potensi terlibat secara aktif.

Pengaruh kendala kontekstual

Seluruh konteks memiliki kendala praktis tambahan. Dalam konteks yang stabil, bahkan mobilitas musiman akan sangat menentukan kelayakan (feasibility)

(10)

pengumpulan data lapangan. Dalam konteks krisis atau ketidakstabilan, kendala tersebut menyangkut akses, keamanan, dan kejaran waktu. Kendala seperti itu tidak hanya mempengaruhi keluasan namun juga mutu dari apa yang tersedia. Lebih banyak isu lagi yang semata-mata menjadi terlalu sensitif sehingga pengumpulan data yang benar kurang dimungkinkan. Apa yang penting diketahui berdasarkan pada teori maupun kenyataan di lapangan—pada akhirnya disaring menurut apa yang mungkin diketahui.

D. LANDASAN HUKUM

1. Undang-Undang Dasar 45 Pasal 34 ayat (1) tentang fakir miskin dan Anak-Anakterlantar dipelihara oleh Negara.

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1979 tentang Pengadilan Anak. 3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4967);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4165) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4165);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

(11)

Nomor 4593);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4693);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4816);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5294);

15. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah

16. Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan; 17. Peraturan Menteri Sosial Nomor 129/HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal

Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota;

18. Peraturan Menteri Sosial Nomor 20/HUK/2016, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial Republik Indonesia;

19. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak di Lembaga Rehabilitasi Sosial Anak;

20. Keputusan Menteri Sosial Nomor 80/HUK/2010 tentang Panduan Perencanaan Pembiayaan Pencapaian SPM bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota;

(12)

21. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2004 tentang pertimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

22. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Rehabilitasi Sosial Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah.

23. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengerahan Convention On The

Rights Of Child ( Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) yang ditetapkan di Jakarta pada

tanggal 25 Agustus 1990

24. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

25. Peraturan Menteri Sosial Nomor 110 Th 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

26. Kesepakatan Bersama Antara Kementerian Sosial, Hukum dan HAM, Pendidikan Nasional, Kesehatan, Agama dan POLRI tahun 2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum

A. HUBUNGAN RENSTRA, RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH KEMENTRIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) DAN DOKUMEN PERENCANAAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Bab I, Pasal 1) menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sehubungan dengan hal tersebut, pencapaian pembangunan nasional dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sebagai acuan perencanaan pembangunan 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagai acuan perencanaan pembangunan 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai acuan perencanaan pembangunan tahunan.Rencana Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial tahun 2015 - 2019 merupakan pedoman bagi semua jajaran pembangunan kesejahteraan sosial dalam berkoordinasi antara pusat dan daerah di bidang kesejahteraan sosial akan berakhir masa berlakunya pada tahun 2019. Evaluasi pelaksanaan pembangunan selama kurun waktu tersebut dijadikan bahan acuan dalam penyusunan Rencana

(13)

Kkerja Kementerian/Lembaga Tahunan untuk menyusun RPJM 2015-2019 sesuai ketentuan yang berlaku.

Rencana Strategis Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak sebagai perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam kurun waktu 1- 5 tahun sehubungan dengan tugas dan fungsi Kementerian Sosial melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak, berpedoman pada RPJM dan telah memperhitungkan perkembangan lingkungan strategis serta substansi program dalam merespon berbagai masalah sosial dan mengantisipasi berbagai upaya yang dapat dilakukan Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak bersinergi dengan masyarakat, lintas sektoral (instansi terkait dan LKSA) dan dunia usaha.

B. PENGERTIAN

1. RENSTRA : perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam kurun waktu 1- 5 tahun sehubungan dengan tugas dan fungsi Satker

RPJPN

(20 Tahun)

RPJMN

(5 Tahun)

RKP

(1 Tahun)

Renstra Kemsos

(5 Tahun)

Renja Satker

(1 Tahun)

jadi pedoman jadi pedoman menjadi masukan dijabarkan menjadi masukan jadi acuan

Renstra Satker

(5 Tahun)

(14)

yang disusun dengan memperhitungkan perkembangan lingkungan strategis.

2. VISI : rumusan umum mengenai suatu keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan yang dirumuskan untuk memberi arah kemana dan bagaimana suatu satker harus dibawa agar tetap eksis dan dapat berkarya secara konsisten, antisipatif, inovatif dan produktif.

3. MISI : rumusan umum mengenai upaya-upaya yang perlu diemban oleh satker untuk mencapai visi yang ditetapkan sejalan dengan tujuan organisasi.

4. TUJUAN : rumusan yang menjelaskan arah pelaksanaan visi, ditetapkan sesuai dengan tugas, fungsi dan peranan organisasi.

5. SASARAN : penjabaran dari tujuan secara terukur yang akan dicapai secara nyata oleh Satker dalam jangka waktu tertentu (5 tahun).

6. STRATEGI : Langkah-langkah yang berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.

7. KEBIJAKAN : arah/tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan.

8. PROGRAM : kumpulan kegiatan-kegiatan nyata, sistematis dan terpadu yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa Satker dan masyarakat guna mencapai sasaran dan tujuan.

C. SISTEMATIKA PENULISAN

Berdasarkan substansi sajian tersebut, maka naskah Rencana Strategis disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini menguraikan pokok-pokok pikiran yang meliputi (1) Latar belakang tentang pentingnya penyusunan Rencana Strategis (RENSTRA) Rehabilitasi sosial Anak, (2) Maksud dan tujuan disusunnya Rencana Strategis (RENSTRA) Rehabilitasi Sosial Anak, (3) Landasan hukum yang memuat berbagai komitmen, regulasi dan legislasi nasional yang relevan dengan Rencana Rehabilitasi Sosial Anak, (4) Hubungan Renstra Rehabilitasi sosial dengan dokumen perencanaan lainnya dan (5) Sistematika penulisan.

(15)

Bab II Gambaran Umum Kondisi Rehabilitasi Sosial Anak. Berisikan tentang : (1) Kondisi umum yang sudah dijalankan pada periode pembangunan sebelumnya, (2) Isu-isu strategis dan (3) Kondisi yang diinginkan dan proyeksi ke depan.

Bab III Struktur Organisasi dan Tata Kerja. Berisikan tentang : (1) Struktur Organisasi, (2) Tugas dan Fungsi, (3) Susunan Kepegawaian dan Perlengkapannya serta hal-hal lain yang relevan.

Bab IV Visi, Misi, Tujuan, Strategi dan Kebijakan Rehabilitasi sosial Tuna Sosial. Bab ini menguraikan tentang : (1) Visi dan misi Rehabilitasi sosial tuna sosial yang akan dicapai pada lima tahun mendatang yang dilandasi oleh nilai-nilai kerja, (2) Tujuan yang ingin dicapai, (3) Kebijakan dan (4) Strategi yang akan digunakan (5) Sasaran utama serta (6) Indikator kinerja Rehabilitasi sosial Anak.

Bab V Program dan Kegiatan. Bab ini berisikan sajian tentang Program rehabilitasi sosial anak yang terdiri atas program-program dalam cakupan lokalitas direktorat ditambah program lainnya yang bersifat lintas direktorat dan kewilayahan, sebagaimana ditetapkan dalam Renstra Kementerian Sosial dan Direktorat Jenderal Rehabilitasi sosial 2015-2019. Sajian pada bab ini akan mencakup keadaan, tujuan, sasaran, kegiatan pokok. Fokus sajian pada bab ini terutama ditujukan pada penajaman prioritas permasalahan dan sasaran, serta pendayagunaan manajemen sumber dan mekanisme pengelolaannya.

E. Bab VI Penutup. Naskah RENSTRA Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Sosial Tahun 2015-2019 ini diakhiri dengan suatu uraian penutup yang memuat urgensi, manfaat dan kaidah pelaksanaan RENSTRA Rehabilitasi sosial Anak bagi para pengambil keputusan, penanggungjawab program dan pelaksana Rehabilitasi sosial tuna sosial serta himbauan kepada para pelaku pembangunan kesejahteraan sosial untuk ikut serta secara aktif dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial anak

(16)

BAB II

GAMBARAN UMUM

REHABILITASI SOSIAL ANAK

A. PERKEMBANGAN MASALAH SOSIAL

Berdasarkan Hasil Survey Hasil Kekerasan Terhadap Anak yang dilakukan UNICEF bekerja sama dengan Pusdatin, Kesos. (2013), disebutkan bahwa dari 600.000 anak – 1,5 juta anak, telah dilakukan survey kepada anak laki-laki dan perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sekian anak tersebut sebagai sample terdapat 1 anak dari 4 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik oleh orang dewasa, 1 anak dari 8 anak laki-laki mengalami kekerasan emosional dan 1 anak dari 12 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual. Sedangkan anak perempuan disebutkan bahwa 1 (satu) anak dari 7 anak perempuan mengalami kekerasan fisik, 1 dari 9 anak perempuan mengalami kekerasan emosional dan 1 dari 19 anak perempuan mengalami kekerasan seksual. Jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 orang. Sedangkan menurut data nasional Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) tahun 2012 menyebutkan bahwa Anak yang mengalami kasus keterlantaran (anak telantar) sebanyak 3.115.177 jiwa (6,76 persen), Balita terlantar 1.224.168 anak (susenas), Anak Berhadapan Hukum/Anak Nakal 146.228 dan anak

(17)

jalanan sebanyak 134.903 anak (dinsos th. 2012) dan anak penyandang disabilitas sebanyak 532.130 anak (Pusdatin. 2013)

Informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (2008), selain anak yang terlantar, terdapat anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 295.763 jiwa, anak dengan kecacatan sebanyak 189.075 jiwa, anak korban kekerasan sebanyak 182.406 jiwa, anak yang bekerja sebanyak 5.201.1452 jiwa, anak jalanan sebanyak 232.894 jiwa.

Grafik di atas dapat dijelaskan bahwa PKSA telah dilaksanakan sejak tahun 2010 hingga tahun 2015 dimana dalam kurun waktu selama 5 atau 6 tahun walauppun berdampak terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak, tetapi belum mengalami perubah yang signifikan. Dalam hal peganggaran dan jumlah sasaran pada awal tahun 2010 berjalanannya PKSA sasaran anak sebanyak 147.321 dengan anggaran 271, 227 milyar, sedangkan sampai tahun 2015 ini Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak telah memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap anak yang bermasalah sebanyak 981.747 jiwa.

Dibandingkan dengan anggaran tahun 2008 mengalami penurunan 5% dan dalam 3 tahun terakhir rata-rata menurun 3,4 %. Akibatnya jumlah sasaran anak yang dapat dibantu juga mengalami penurunan. Kondisi ini merupakan kondisi pada umumnya di berbagai kementrian dan lembaga negera, mengingat keterbatasan anggaran negara yang terkena dampak dari krisis ekonomi dan harga minyak dunia yang fluktuatif meningkat.

(18)

Lima Klaster Anak PKSA

3.657 532.130 1,2 juta 2,9 juta 5.900

ABT – Anak Balita

Terlantar

ABH – Anak

Berkonflik dengan Hukum

APD – Anak Penyandang

Disabilitas

AMPK – Anak Memerlukan

Perlindungan Khusus

Anak Jalanan LKSA Dari 2,9 juta Anak

Terlantar, terdapat 34.400 Anak Jalanan (STKS, 2014)

Sebagian Antar tinggal di 5,166 LKSA. Mereka masih punya ORTU (60%); Yatim (24%), Piatu (3%) dan Yatim Piatu (5%)

Sakti Peksos

Ada 670 Sakti Peksos yang mendampingi anak dan LKSA

Sumber: Pusdatin (2013), BPS (2012); Dit KSA (2015)

ANTAR/ANJAL Anak Terlantar/ Anak Jalanan

Gambar 2.1. Data Lima Klaster Anak PKSA tahun 2015 Sumber : BPS, Pusdatin dan Dit. KSA.

Dalam kondisi demikian terdapat potensi dana yang berhasil dapat digali untuk pembiayaan program perlindungan anak antara lain dari lembaga swadaya masyarakat antara lain kerjasama dengan Unicef, Save the Children, ILO, IOM, Plan Indonesia, World Vision Indonesia, Child Fund, dan lembaga lainnya.

Walaupun sudah ada dukungan dana hasil kerjasama luar negeri, jangkauan pelayanan (coverage rate) dari pemanfaatan dana APBN hanya mencapai sekitar 1,8 persen, KLN sekitar 0,7 persen, APBD sekitar 1,2 persen dan Dana Usaha Kesejahteraan Sosial sekitar 0,8 persen. Dalam kondisi anggaran dan coverage rate layanan yang terbatas dan stagnan, mengakibatkan pertumbuhan masalah anak semakin meningkat. Pada tahun 2000, persentase anak terlantar sebesar 5,3 %, meningkat menjadi 5,4 % pada tahun 2003 dan data terkahir tahun 2006 menjadi 6,5 %. Sementara itu, sumber pendanaan bertumpu hanya dari APBN, KLN, APBD, ormas, orsos, dan LSM.

(19)

Hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak, banyak ditemukan permasalahan yang bervariasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kebanyakan Daerah belum mengalokasikan anggaran secara khusus untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak karena dianggap anggaran di bidang sosial masih dianggap suatu pemborosan dan dianggap tidak menghasilkan. Pembangunan kesejahteraan sosial, seperti pengembangan anak sebagai investasi SDM bangsa, justru sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi dan daerah pada masa yang akan datang.

Daerah yang menjamin kesejahteraan anak adalah daerah yang mempunyai visi ke depan, untuk memajukan daerahnya. Masa depan suatu daerah terletak pada komitmen untuk menjamin kesejahteraan anak, karena anak yang sejahteralah yang kelak akan menjadi putera terbaik daerah, yang akan menjadi pemimpin masa depan, yang dapat membawa daerahnya menjadi lebih baik, bahkan terbaik dibanding daerah lain. Jadi daerah yang ingin maju selayaknya memastikan terwujudnya kesejahteraan anak yang baik pula.

Anggaran yang dapat dimanfaatkan untuk program perlindungan anak tahun 2015 antara lain bersumber dari APBN sebesar Rp. 326.993.078.000. Anggaran itu dialokasikan untuk pusat sebesar Rp 101.067.028.000, anggaran untuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) senilai Rp 83.957.757.000, dan dana dekonsentrasi (Dekon) sebesar Rp. 141.968.293.000.

Anggaran tahun 2015 terdapat penambahan pagu yang berasal dari Hibah Luar Negeri (HLN) kegiatan UNICEF dan Child Helt Internationla (CHI) sebesar Rp. 2.138.484.000

B. Permasalahan

Akibat dari modernisasi dan globalisasi yang tidak dapat dibendung selama ini, maka jangkauan dan mengalami kesenjangan, sehingga masalah anak terlantar, anak yang diekploitasi, korban kekerasan, anak berhadapan hukum,

(20)

anak yang memerlukan perlindungan khuusus, anak jalanan, dan anak dengan disabilitas yang diperlakukan salah semakin meningkat.

Selain adanya kekeliruan dalam kebijakan Kesejahteraan Sosial Anak, saat ini cenderung pelayanan sosial kepada anak sektoral/ fragmentaris, mengembangkan program berdasarkan trend isu aktual, jangkauan pelayanan terbatas, reaktif dan berorientasi pada krisis, fokus pada pendekatan institusi/ panti sosial dan menciptakan ketergantungan keluarga dan masyarakat, serta belum adanya rencana strategis nasional yang dapat diajukan acuan bagi pemangku kepentingan dalam mewujudkan upaya-upaya perlindungan kepada anak.

Tujuan utama rehabilitasi dan perlindungan sosial anak adalah memperkuat pengasuhan keluarga atau menghindarkan keterpisahan anak dari keluarga, kecuali dalam kasus yang dengan jelas bertentangan dengan kepentingan terbaik anak. Pengasuhan keluarga adalah pengasuhan yang dilakukan oleh keluarga inti (orang tua termasuk ayah/ibu tiri) atau keluarga besar anak seperti kakek, nenek, paman, dan bibi atau kerabat anak.

Alasan ekonomi dan kemiskinan tidak boleh menjadi alasan bagi penempatan anak dalam pelayanan panti. Semua organisasi yang menyediakan pelayanan sosial bagi anak-anak yang tergolong rentan, termasuk panti asuhan, harus memberikan/menfasilitasi bantuan bagi kebutuhan pengasuhan anak dalam keluarga mereka secara individual, termasuk bantuan keuangan dan psikososial agar anak tidak ditempatkan di panti karena alasan ekonomi. Jika keluarga dinyatakan tidak mampu memberikan pengasuhan pada anak karena berbagai alasan, termasuk yang bertentangan dengan kepentingan terbaik anak, maka pengasuhan berbasis komunitas harus menjadi alternatif pengasuhan yang terlebih dahulu diprioritaskan bagi anak.

Pengasuhan alternatif merupakan pengasuhan berbasis komunitas yang dilaksanakan oleh pihak-pihak di luar keluarga inti (orang tua, termasuk ayah/ibu tiri) atau keluarga besar (kakek, nenek, paman, bibi) atau kerabat

(21)

anak (kinship). Pengasuhan berbasis komunitas ini dilakukan melalui sistem orang tua asuh (fostering), wali (guardianship) atau adopsi (adoption) dan pada pilihan terakhir adalah panti asuhan (residential care). Pengasuhan tersebut, kecuali adopsi, bersifat sementara. Apabila setelah melalui asesmen, orang tua atau keluarga besar atau kerabat anak dianggap sudah mampu untuk mengasuh anak, maka anak akan dikembalikan kepada mereka.

Kebijakan yang bertumpu pada sistem panti asuhan berdampak jangkauan pelayanan menjadi terbatas dan kualitas pelayanan sangat tergantung pada upaya yang dilakukan panti tersebut, yang umumnya kurang melibatkan orang tua/ keluarga dan masyarakat.

Secara lebih jelas, faktor-faktor penyebab rendahnya jangkauan dan kualitas pelayanan sosial kepada anak sebagai berikut:

1. Pelayanan sosial kepada anak cenderung sektoral dan fragmentaris. Sumber daya pembangunan di bidang perlindungan dan kesejahteraan anak didistribusikan kepada berbagai kementrian dan lembaga negara dan tidak dikelola secara terpadu. Masing-masing pihak melaksanakan program berdasarkan kepentingan dan target-target sasaran masing-masing, tanpa upaya untuk mensinegiskan sasaran strategis, sehingga pada tataran implementasi di daerah sering terjadi tumpang tindih. Akibatnya menjadi tidak efisien dan efektif.

2. Pengembangan program cenderung berdasarkan trend isu aktual. Permasalahan anak yang dinamis direspon dengan berbagai program sektoral dan kurang memperhatikan sasaran strategis pemenuhan hak-hak anak secara menyeluruh. Hal ini juga disebabkan adanya isu dan kepentingan donor dari berbagai lembaga international, baik organisasi-organisasi PBB maupun lembaga international non pemerintah.

(22)

3. Sumber daya pelayanan terbatas. Dengan sumber daya yang terbatas dan dikelola secara sektoral, mengakibatkan jangkauan pelayanan sosial bagi anak menjadi terbatas. Pada sisi lain laju pertumbuhan masalah anak meningkat terus. Hal ini disebabkan percepatan pertumbuhan masalah anak tidak diikuti dengan percepatan jangkauan pelayanan sosial bagi anak. Rendahnya jangkauan dan kualitas Kesejahteraan Sosial Anak mengakibatkan perkembangan masalah anak tanpa asuhan orang tua (anak terlantar), anak yang diekploitasi, korban kekerasan dan diperlakukan salah semakin meningkat. Keterbatasan jangkauan pelayanan sosial bagi anak, disebabkan alokasi sumber daya pembangunan, termasuk dana masih sangat terbatas dan cenderung dialokasikab berdasarkan incremental analysis.

4. Program dibuat cenderung reaktif dan berorientasi pada pemecahan masalah krisis. Program dan kegiatan yang dikembangkan oleh berbagai sektor cenderung reaktif, misalnya ketika sedang ramai dibicarakan masalah perdagangan anak, maka semua sektor mengembangkan program penanggulangan perdagangan anak. Padahal masalah anak berkembang demikian kompleks, bukan hanya masalah perdagangan anak, namun masalah lainnya juga berkembang sedemikian rupa, seperti perlakuan salah, diskriminasi, eksploitasi dan penelantaran

5. Fokus pelayanan bertumpu pada pendekatan institusi/ panti sosial dan cenderung mengabaikan pendekatan keluarga dan masyarakat. Merespon masalah anak cenderung didorong penyelesaianya dimasukkan ke panti, sehingga tanggung jawab orang tua dan keluarga semakin melemah.

Untuk memahami gap antara kondisi saat ini dengan kondisi yang diharapkan dilakukan gap analysis sebagai berikut:

(23)

Tabel 2.1. Gap Analysis antara Kondisi Saat ini dan Kondisi yang diharapkan

Dimensi Kondisi Saat Ini Kondisi yang Diharapkan

Perspektif analisis masalah & kebutuhan - Pendekatan Patologis - Melihat masalah sebagai hambatan fungsi sosial/ penyakit social

Pendekatan Hak Anakdan HAM umumnya, sehingga negara mempunyai kewajiban dalam mempromosikan, memenuhi dan melindungi hak dasar anak. Pola

operasional layanan

- Pendekatan kolektivitas - Institutional/ residential

care & long term based care

- Pendekatan individual & respon keberagaman kebutuhan - Continum care (primary

prevention, family suport & protective services for target beneficiares)

Keberlanjutan layanan

- Fokus pada individu dan kurang memperhatikan tanggung jawab orang tua/ saudara/keluarga/ dan komunitas - Layanan keluarga bertumpu pada pemberdayaan ekonomi keluarga - Layanan bersifat

fragmentaris & sektoral - Layanan terbatas/ hit

and run

- Masalah yang ditangani mengikuti trend/ isu actual

- Continum care (anak, ortu/keluarga, komunitas

- Pelayanan anak (child protective

services, intensive family suport, out-home care)

- Pelayanan keluarga (home care,

kinship care, foster parent care, guardianship care, adoption, residential care)

- Pelayanan remaja & komunitas (gerakan nasional tanggung jawab keluarga dalam

pengasuhan dan perlindungan anak, youth services, pendidikan masyarakat, penyebarluasan informasi, advokasi dan kampanye sosial) Penerima

Manfaat

- anak balita, anak

terlantar, anak jalanan, anak putus sekolah, anak nakal, anak cacat, anak yang

diperdagangkan, anak dalam situasi darurat

- anak balita, anak tanpa asuhan orang tua, anak dgn kecacatan, anak berhadapan dgn hukum, anak yg memerlukan

(24)

Dimensi Kondisi Saat Ini Kondisi yang Diharapkan

Pengelola Direktorat

Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak :

- Subdit Kesos. Anak Balita

- Subdit Kesos. Antar dan Anak Jalanan

- Subdit Kesos. Anak Berhadapan Hukum - Subdit Kesos. Anak

Dengan Kecacatan - Subdit Kesos. Anak

Membutuhkan

Perlindungan Khusus

Direktorat Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak : - Subdit Pelayanan Sosial Anak

Balita

- Subdit Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar

- Subdit Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum - Subdit Rehabilitasi dan

Perlindungan Anak Yang Membutuhak Perlindungan Khusus

- Subdit Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak Sistem penetapan target sasaran/ target beneficiaries - berdasarkan kriteria dalam pedoman operasional/ Juklak/ Juknis - diserahkan ke lembaga atau dinsos Penerima Manfaat:

- data Program Perlindungan Sosial (hasil PPLS)

- database Panti Sosial

- data sasaran LSM/ Yayasan Ortu/ Keluarga

- maching targeting - maching lokasi Lembaga Kesos Anak

- Data regristasi & database Panti Sosial

- Seleksi LKS Pemerintah Daerah

- Lokasi pengembangan model - Lokasi prioritas nasional Pengelola UPT - Panti Sosial Asuhan

Anak

- Panti Sosial Bina Remaja

- Panti Sosial Petirahan Anak

- Panti Sosial Marsadi Putra

- Taman Anak Sejahtera/ Kelompok Bermain - Rumah Perlindungan

Sosial Anak - FKKADK - LPA

- Pusat Asuhan Anak

- Pusat Pengembangan Remaja - Pusat Perlindungan Anak

Sekolah

- Pusat Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum - Taman Balita Sejahtera/

Kelompok Bermain

- Rumah Perlindungan Sosial Anak

- Optimalisasi fungsi PSR Paca bagi Anak dengan Kecacatan (<18 tahun)

- Optimalisasi fungsi PSR Korban Napza (< 18 tahun)

- Optimalisasi fungsi PSR Karya Wanita (< 18 tahun)

(25)

Dimensi Kondisi Saat Ini Kondisi yang Diharapkan

Peran UPT - Fungsi terbatas, jika ada multifungsi layanan - longterm care atas

dasar kebutuhan pendidikan

- Jenis vocational training terbatas dan sejenis (umumnya bengkel, jahit, salon)

- Layanan kepada keluarga dan

masyarakat terbatas

- Multifungsi bagi target beneficiares (satu rumpun karakteristik masalah/ sasaran & multi metode)

- PSAA, PSBR, TPA - PSMP, PSPA, RPSA - SDC & Daarud Saadah - PRS Paca (dewasa dan Anak) - PRS Tuna Sosial

- PRS Lansia & Anak - Temporary shelter & early

intervention berbasis case management

- Peningkatan keberagaman

vovational training dan terapi

(musik, olah raga, melukis, tari, jenis keterampilan sesuai

kebutuhan pasar)

- Pusat layanan kepada keluarga

(family suport) dan masyarakat

- outreaching, tracing, home visit,

family mediation, family preservation, family reunification, reintegrasi, sosialisasi/ awarness raising, kampanye sosial, dll.

- Pusat Ekonomi Produktif

Kondisi yang diharapkan merupakan refleksi adanya paradigma baru yang hendaknya dapat dipahami dan diimplementasikan oleh Direktorat KSA, Pemerintah Daerah, LSM /Orsos dan Instansi terkait. Paradigma baru ini akan lebih banyak membawa manfaat bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat dibanding paradigma lama. Paradigma baru mendorong penyelenggaraan kesejahteraan anak menjadi lebih efektif dan efisien.

Dalam jangka panjang, paradigma tersebut merupakan penghematan anggaran secara signifikan, karena menekankan pada pelayanan yang terkoordinasi dan system yang terintegrasi, komprehensif, prioritas pada aspek pencegahan, berfokus pada penguatan anak dan keluarga (bukan panti) melalui Temu Penguatan Keluarga dan Anak (TEPAK). Paradigma ini juga dapat memperkecil timbulnya permasalahan anak khususnya dan

(26)

masalah social umumnya, karena fokusnya lebih pada pencegahan. Untuk mempercepat terjadinya perubahan paradigma dalam peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak diperlukan manajemen strategik, yang meliputi rencana strategis dan pengembangan indikator kinerja untuk mengetahui implementasi dari perubahan paradigma dimaskud.

Selanjutnya dalam rangka memahami hubungan antara kondisi eksternal dan intrenal, digunakan analisis SWOT, sebagai berikut:

Tabel 2.2. Analisis SWOT

Ekternal

Internal

Tantangan

1. Masalahsosialdanhakanak (5 cluster)

2. Tggjawabortu, kelg, masy (pengasuhan alternatif) 3. JangkauandanMutu

PelayananSosialDasar(kes, dik, sos)

4. Kelembagaannas-lokera otda

Peluang

1. NGO nas-lok-inter 2. Lembaga PBB (konvensi

int’l)

3. Stake Holder (KOMNAS PA, KPAI, LPA, instansi, duniausaha, PT)

4. PerkembanganIPTEK

(Sosial) Kekuatan

1. Legislasi (Konvensi, UU, PerUU, PP, Kepmen, Permen)

2. Komitmen dan Kapasitas SDM

3. Sarana & Prasarana 4. Kerjasama dgn pihak luar

StrategiUtama

Sosialisasi, promosi, kampanye sosialdanpublikasi, KIE Advokasisosial& banthukum FasilitasidanPeningkatan

kapasitaskelembagaan PemberdayaandanPenguatan

fungsikeluarga

Koordinasilintaspelaku

Strategi Kerjasama

 Penguatan, Pengembangan kerjasama serta kemitraan strategis

 Pengembangan model pelayanan berbasis iptek  Mobilisasi sumber &

pemberdayaan stakeholder/mitra kerja Kelemahan

1. Data indikator& SIM 2. Koordinasiinternal 3. Strategic Planning, Management & conseptualframework 4. Anggaran Strategi Investasi

Pemutakhiran data base anak Capacity building/ pendidikan dan

pelatihan

Manajemen program terpadu Sharing budget

StrategiJangkaPanjang Peningkatan otoritas

kelembagaan PengembanganSIM Pengembangansistem

(27)

BAB III

STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA DIREKTORAT REHABILITASI SOSIAL TUNA SOSIA

A. STRUKTUR ORGANISASI

B. Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 20/HUK/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI, maka struktur organisasi Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak adalah sebagai berikut :

B. SUSUNAN KEPEGAWAIAN DAN PERLENGKAPANNYA

Susunan kepegawaian dilingkungan Direktorat Rehabilitasi sosial tuna sosial diproyeksikan akan mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas sesuai dengan tantangan dan kebutuhan selama 2015-2016 itu. Mengacu kepada kondisi terakhir 2009, susunan kepegawaian ditinjau berdasar deskripsi ; tingkat pendidikan, golongan, dan penempatannya sebagai berikut :

(28)

Tabel 1.1. Susunan Pegawai berdasarkan Pendidikan Tahun 2015 - 2016 Pendidikan 2015 2016 Doktor/S3 Pasca Sarjana/S2 Sarjana/S1 D4 D3 D1 SMA sederajat SMP sederajat J u m l a h

Sumber : Dit. Rehsos. Anak 2015

Memperhatikan tabel latar belakang pendidikan di atas, terdapat peningkatan jumlah pegawai yang mempunyai pendidikan S2 dan S1 pada tahun 2015. Hal ini dikarenakan adanya mutasi dan penambahan jumlah pegawai yang ditempatan di Direktorat REhabilitasi Sosial Anak, selain itu adanya peningkatan jenjang pendidikan dari tingkatan SMA/sederajat ke pendidikan S1 pada tahun 2009.

Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak, terdiri dari : 1. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Balita

2. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar dan Anak Jalanan 3. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan Hukum.

4. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus

5. Sub Direktorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak 6. Sub Bagian Tata Usaha.

(29)

7. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak.

1. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Balita.

Subdirektorat Pelayanan Sosial Anak Balita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 huruf a mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan sosial anak balita. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Subdirektorat Pelayanan Sosial Anak Balita menyelenggarakan fungsi:

a. penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang pengangkatan anak dan pengasuhan anak balita;

b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pengangkatan anak dan pengasuhan anak balita;

c. penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengangkatan anak dan pengasuhan anak balita;

d. penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengangkatan anak dan pengasuhan anak balita; dan

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang pengangkatan anak dan pengasuhan anak balita

Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Balita Terlantar terdiri dari : 1. Seksi Pengangkatan Anak.

2. Seksi Pengasuhan Anak Balita.

2. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar.

Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 huruf b mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis, dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak terlanta.

(30)

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224, Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar menyelenggarakan fungsi:

a. penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak terlantar di dalam keluarga, masyarakat, dan lembaga;

b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak terlantar di dalam keluarga, masyarakat dan lembaga;

c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang rehabilitasi sosial anak terlantar di dalam keluarga, masyarakat, dan lembaga;

d. penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang rehabilitasi sosial anak terlantar di dalam keluarga, masyarakat, dan lembaga; dan

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak terlantar di dalam keluarga, masyarakat, dan lembaga..

Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar terdiri dari :

1. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar dalam Keluarga dan Masyarakat; dan

2. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar dalam Lembaga.

3. Sub Direktorat Kesejahteraan Soaial Anak Berhadapan dengan Hukum.

Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 huruf c mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak berhadapan dengan hukum

(31)

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228, Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum menyelenggarakan fungsi:

a. penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak pidana dan anak berkonflik dengan hukum;

b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak pidana dan anak berkonflik dengan hukum;

c. penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak pidana dan anak berkonflik dengan hukum;

d. penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak pidana dan anak berkonflik dengan hukum; dan

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak pidana dan anak berkonflik dengan hukum

Sub Direktorat Kesejahteraan Soaial Anak Berhadapan Hukum dan terdiri dari :

1. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Korban Tindak Pidana; dan 2. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Berkonflik Dengan Hukum.

4. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus.

Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 huruf d mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak yang memerlukan perlindungan khusus.

(32)

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232, Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus menyelenggarakan fungsi:

1) penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak kekerasan, anak korban situasi darurat, minoritas, dan terisolasi;

2) penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak kekerasan, anak korban situasi darurat, minoritas, dan terisolasi; 3) penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan

kriteriarehabilitasi sosial anak yang memerlukan perlindungan khusus di bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak kekerasan, anak korban situasi darurat, minoritas, dan terisolasi;

4) penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang rehabilitasi sosial anak yang memerlukan perlindungan khusus; dan

5) pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak kekerasan, anak korban situasi darurat, minoritas, dan terisolasi.

Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus terdiri dari :

1. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Korban Tindak Kekerasan; dan

2. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Korban Situasi Darurat, Minoritas, dan Terisolasi.

5. Sub Direktorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak

Subdirektorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 huruf e mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang kelembagaan rehabilitasi sosial anak.

(33)

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236, Subdirektorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak menyelenggarakan fungsi:

a. penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang analisis dan pemetaan kelembagaan serta pemantauan dan evaluasi kelembagaan;

b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan pemetaan kelembagaan serta pemantauan dan evaluasi kelembagaan;

c. penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan pemetaan kelembagaan serta pemantauan dan evaluasi kelembagaan;

d. penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan pemetaan kelembagaan serta pemantauan dan evaluasi kelembagaan; dan

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan teknis di bidang analisis dan pemetaan kelembagaan serta pemantauan dan evaluasi kelembagaan.

Sub Direktorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak terdiri dari : 1. Seksi Analisis dan Pemetaan Kelembagaan ; dan

2. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Kelembagaan.

6. Sub Bagian Tata Usaha.

Subbagian Tata Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 huruf f mempunyai tugas melaksanakan urusan tata usaha, kepegawaian, dan rumah tangga serta administrasi perencanaan program dan anggaran Direktorat

Perubahan paradigma dan Implikasi Kebijakan

Tantangan terbesar yang dihadapi Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, yaitu melakukan pergeseran paradigma (paradigm shift) dalam upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak yang sejak lama berbasis sistem panti sosial menjadi berbasis keluarga dan komunitas. Untuk itu

(34)

diperlukan analisis kebijakan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak

1. Identifikasi variable

Adapun variable yang berkaitan dengan upaya untuk mengimplentasikan perubahan paradigma kebijakan peningkatan dan perlindungan anak yang semula berbasiskan sistem panti sosial menjadi berbasiskan keluarga dan komunitas, sebagai berikut:

a. Sektoral. b. Trend Isu c. Sumber Daya d. Reaktif

e. Fokus Institusi/ Panti f. Renstra

g. Jangkauan Pelayanan h. Kualitas Pelayanan i. Masalah Anak

2. Causal Loop Diagram

Sektoral Trend Isu Sumber Daya Reaktif Fokus Institusi Jangkauan Pelayanan Kualitas Pelayanan Masalah Anak Renstra o o o s o o o o s o o o o o o s s s s s s o o R1 o o B2 B1 B3 B4

(35)

Tabel 2.3. Jumlah Loop berdasarkan variable Variabel Jumlah Loop Keterangan Renstra Fokus Institusi Trend isu Reaktif Sumber Daya Sektoral Jangkauan pelayanan Kualitas Pelayanan 3 3 3 3 3 3 4 4 Pengungkit Pengungkit

Berdasarkan CLD diketahui variable pengungkit ada dua yaitu Jangkauan Pelayanan dan Kualitas Pelayanan. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan dapat ditingkatkan, jika peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak tidak hanya bertumpu pada focus institusi, namun perlu dikembangkan berbasis keluarga dan komunitas, sehingga jangkauan dan kualitas pelayayanan dapat meningkat.

Analisis Kebijakan

1. Dinamika Lingkungan Kebijakan

Untuk memahami permasalahan strategis, digunakan analisis berdasarkan teori Gunung Es (Ice Berg), melalui pemahaman tentang berbagai kejadian/ peristiwa (events). Berbagai tindakan yang dilakukan dalam menangani masalah tersebut sifatnya reaktif karena hanya memecahkan masalah simtomnya saja. Tahap selanjutnya dilakukan analisis pada tingkat pemahaman yang lebih mendalam melalui analisis pola perilaku (patern of behavior) yang menyebabkan kejadian itu terjadi. Tindakan yang diambil atas pola perilaku tersebut dilakukan tindakan yang bersifat responsif.

(36)

Untuk memahami masalah yang fundamental dari events tersebut dilakukan analisis yang lebih dalam lagi melalui analisis struktur sistemik (sistemic structure) dengan tindakan yang dilakukan bersifat generative. Tahap akhir dari analisis adalah mempelajari mental model individu atau organisasi yang menyebabkan mengapa hal itu terjadi. Berdasarkan pemahaman melalui implementasi teori Ice Berg dapat diidentifikasi masalah dalam peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak sebagai berikut:

Events: peningkatan anak tanpa asuhan orang tua, dieksploitasi, korban kekerasan, berhadapan dengan hukum dan didiskriminasi. Upaya yang sifatnya

Reactive yang telah dilakukan adalah peningkatan pelayanan sosial berbasis panti asuhan dan pemberian subsidi panti. Namun, upaya ini tidak menyelesaikan permasalahan karena sifatnya kuratif/ rehabilitatif. Dalam keadaan sumber daya terbatas, maka peningkatan anak yang mengalami masalah sosial tidak dapat direspon melalui pelayanan sosial berbasis panti asuhan. Pada sisi lain, pelayanan berbasis panti asuhan adalah pilihan terakhir, apabila orang tua/ keluarga sudah dipandang tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya.

a. Patern of behavior: disparitas dan rendahnya cakupan dan kualitas Kesejahteraan Sosial Anak di daerah. Distribusi anggaran yang kurang merata atau proporsional karena terbatasnya sumber daya pembangunan/ anggaran mengakibatkan jangkauan pelayanan menjadi tidak merata. Faktor sosial ekonomi yang beragam antar daerah mempengaruhi disparitas dan rendahnya cakupan dan kualitas Kesejahteraan Sosial Anak di daerah. Upaya yang sifatnya Responsive yang dilakukan adalah optimalisasi APBD dan peningkatan peran masyarakat. Namun demikian, kurangnya upaya peningkatan dan perlindungan anak di banyak daerah belum menjadi prioritas pembangunan, sehingga upaya

(37)

yang sifatnya responsive ini tidak dapat menyelesaikan masalah yang lebih fundamental.

b. Sistemic structure: ketidakselarasan KHA dengan UU 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak, serta peraturan daerah. Upaya yang bersifat generative yang telah dilakukan adalah kajian peraturan perundangan di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak. Hasil kajian yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Pelayanan Sosial bekerjasama dengan Unicef dan Save The Children menunjukkan bahwa substansi peraturan perundangan yang ada belum sepenuhnya mengadopsi substansi Konvensi Hak Anak, sehingga pemerintah dan pemerintah daerah belum memiliki rujukan hukum yang kuat, terutama mengenai diferensiasi kewajiban pemerintah dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat.

c. Mental model: rendahnya komitmen penyelenggara Kesejahteraan Sosial Anak dalam meningkatkan sumber daya pembangunan. Komitmen ini juga terkait dengan kurangnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip dalam meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, termasuk hak-hak anak dan kewajiban negara.Hasil pemahaman masalah melalui Ice Berg dapat dilihat pada gambar berikut ini:

(38)

Gambar 2.3. Analisis Ice Berg

Tahap berikut ini adalah penetapan Agenda Setting yang merupakan urutan pertama dalam proses pembuatan kebijakan. Berikut ini gambar tentang proses agenda formasi.

Private Problem

- Anak sulit sekolah & droup out

- Anak sulit mendapat pelayanan kesehatan dasar

- Orang tua menelantarkan anak

Public Problem

-Hak dasar anak tidak terpenuhi

-Akses anak terhadap pelayanan dasar rendah -keluarga miskin meningkat

Issues

Anak jalanan/terlantar (anak tanpa asuhan orang tua), anak dieksploitasi, anak korban kekerasan, anak berhadapan hukum meningkat

Institutional Agenda

Kajian kebijakan/ perundangan tentang kesejahteraan dan perlindungan anak

Systemic Agenda

Ketidakselarasan KHA dengan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan Perda Peningkatan anak yang

terlantar, dieksploitasi, korban kekerasan, berhadapan dengan hukum dan didiskriminasi Disparitas dan rendahnya cakupan dan kualitas Kesejahteraan Sosial Anak di daerah

Ketidakselarasan KHA dengan UU 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak, serta peraturan daerah Rendahnya komitmen penyelenggara Kesejahteraan Sosial Anak dalam

meningkatkan sumber daya pembangunan Event Patern of Behavior Sistemic structure Mental model JENIS TINDAKAN REACTIVE

Pelayanan berbasis panti asuhan, bantuan subsidi panti

RESPONSIVE

Optimalisasi APBD dan peran masyarakat

GENERATIF

Kajian peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan anak

(39)

Gambar 3. The Agenda Formation Process

Berdasarkan proses formasi agenda dapat diketahui bahwa munculnya masalah private yang terjadi masif, seperti banyak anak dari keluarga miskin yang sulit mendapatkan akses sekolah dan pelayanan kesehatan disertai dengan melemahnya tanggung jawab orang tua/ keluarga, dapat merefleksikan masalah publik tidak terpenuhi hak-hak dasar anak atau rendahnya aksesibilitas anak terhadap pelayanan sosial dasar.

Dalam kondisi semakin meningkatnya keluarga miskin, berdampak munculnya masalah masalah anak yang lebih kompleks dan telah menjadi isu publik, seperti semakin banyaknya anak-anak yang terpaksa bekerja di jalanan, anak terlantar, anak dieksploitasi seksual komersial, anak korban kekerasan, anak berhadapan hukum dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus lainnya.

Dalam kondisi demikian, kondisi menjadi semakin parah karena pemerintah pusat dan daerah belum dapat menjangkau seluruh anak-anak yang mengalami masalah sosial. Kemampuan APBN setiap tahun hanya mampu menjangkau 1,8% per tahun dari total populasi anak terlantar sebanyak 5,4 juta orang. Demikian juga kemampuan APBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota jauh lebih rendah lagi, atau sekitar 0,4% (hasil kajian Kementerian Sosial di 10 provinsi tahun 2007).

Terbatasnya alokasi anggaran untuk peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak, disebabkan oleh landasan hukum yang tidak jelas mengatur kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah dalam peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak. Dalam UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak ada pasal yang mengatur hal tersebut.

(40)

Berbeda dengan UU Nomor 20 Tahun 2007 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara jelas mencantumkan prosentase anggaran yang wajib dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk kewajiban negara (pasal 49 ayat 1), demikian juga pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah diatur sedemikian rupa secara jelas, sehingga ketika daerah menetapkan Perda maka memperoleh rujukan yang jelas dari peraturan perundangan diatasnya.

Untuk dapat merumuskan kebijakan yang sesuai dengan masalah kebijakan selanjutnya diidentifikasi terlebih dahulu elemen sistem kebijakan. Gambar berikut menunjukkan tentang elemen sistem kebijakan.

PEMBUAT KEBIJAKAN

1. Depsos

2. Kementrian PP & PA 3. Kementrian Hukum & HAM 4. Gubernur/Bupati/Walikota 5. DPR/DPRD LINGKUNGAN KEBIJAKAN Stakeholders - Kelpok Kepentingan - Partai Politik - Instansi Pemerintah - Masyarakat Masalah Kebijakan - Data base - Kinerja Pelayanan - Koordinasi - Pengawasan - Evaluasi - Keterpaduan Program - Anggaran, dll KEBIJAKAN PUBLIK • Kepres 36/ tahun 1990 tentang

Ratifikasi KHA

• UU Nomor 23 tahun 2009 tentang Perlindungan Anak • Peraturan Daerah tentang

perlindungan anak

KELOMPOK SASARAN

- Anak

- Orang Tua/ keluarga - LSM/ Yayasan/ Orsos - NGO International - KPAI - Komnas PA I II III IV

(41)

2. Masalah kebijakan

Berdasarkan analisis dinamikas lingkungan kebijakan ditetapkan masalah kebijakan : “Bagaimana mewujudkan kebijakan peningkatan dan perlindungan anak yang selaras antar sektor dan antar pemerintah pusat dan daerah?”

3. Peramalan

Ketidakselarasan kebijakan/peraturan perundangan antara sektor dan antar pemerintah dan daerah jika tidak segera diatasi, akan berdampak semakin tidak jelas arah kebijakan nasional dan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak. Arah kebijakan yang tidak jelas akan berdampak pada strategi dan program/ kegiatan tidak didukung oleh anggaran yang cukup, sehingga jangkauan dan kualitas Kesejahteraan Sosial Anak tidak dapat ditingkatkan secara signifikan untuk mencakup keseluruhan masalah anak yang semakin kompleks. Kondisi anak yang membutuhkan perlindungan khusus (anak yang dieksploitasi, korban kekerasan, memperoleh perlakukan salah dan berhadapan dengan hukum) jika tidak dapat ditangani secara serius, akan berdampak pada rendahnya kualitas SDM pada masa yang akan datang, sehingga kemiskinan pada generasi berikutnya semakin sulit diatasi atau semakin meningkatnya kemiskinan kronis (chronic poverty).

4. Alternatif kebijakan

Untuk dapat mewujudkan kebijakan peningkatan dan perlindungan anak yang selaras antar sektor dan antar pemerintah pusat dan daerah, maka alternatif kebijakan yang diajukan sebagai berikut:

a. Yudicial review terhadap UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

b. Membuat peraturan pemerintah dan peraturan lainnya secara rinci. c. Optimalisasi peraturan yang sudah ada dan pembuatan peraturan

(42)

5. Penilaian alternatif kebijakan

Untuk memilih alternatif kebijakan yang paling sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, maka ditetapkan kriteria pemilihan alternatif dengan menggunakan metode SWOPA, sebagai berikut:

a. Kekuatan (Strengths), keunggulan kebijakan dilihat dari (a) dampaknya terhadap kehidupan masyarakat yang mengalami masalah sosial (b) dukungan publik; (c) beban anggaran

b. Kelemahan (Weaknesses), kekurangan kebijakan dilihat dari point a s.d c di atas

c. Peluang (Opportunities) apa kesempatan/peluang eksternal yang akan mendukung diterimanya kebijakan ini oleh policy audience dilihat dari: (a) political agenda (kebijakan ini sejalan dengan agenda pemerintah); (b) public interest sejalan dengan untuk meningkatkan kualitas SDM/investasi sosial; (c) global trends (akan didukung oleh masyarakat luas yang sedang gandrung untuk meningkatkan praktik good governance.

d. Masalah (Problems) apa masalah-masalah yang mungkin menghambat diterimanya kebijakan ini oleh policy audience dilihat dari point a sd c di atas.

e. Aksi (Actions) apa saja tindakan atau langkah yang dapat/perlu dilakukan untuk mengatasi kelemahan dan masalah di atas? (terutama untuk melihat apakah kebijakan ini ‘cukup’ realistis dalam arti tujuan-tujuannya dapat dicapai dalam kurun waktu yang ditentukan.

Gambar

Gambar 1.1. Diagram ilustrasi analisis SWOT.
Grafik di atas dapat dijelaskan bahwa PKSA telah dilaksanakan sejak tahun  2010  hingga tahun 2015 dimana  dalam kurun waktu selama 5 atau 6 tahun  walauppun  berdampak  terhadap  kesejahteraan  dan  perlindungan  anak,  tetapi  belum  mengalami  perubah
Gambar 2.1. Data Lima Klaster Anak PKSA tahun 2015  Sumber : BPS, Pusdatin dan Dit. KSA
Tabel 2.1. Gap Analysis antara Kondisi Saat ini dan Kondisi yang                   diharapkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

dengan hasil pengujian yang menggunakan roti yang memiliki perubahan lebar selama pemanggangan (pengujian pemanggangan roti dengan berat 65 g), pada

Seleksi F3 Galur Harapan Kedelai Hitam Toleran Kekeringan Hasil Persilangan Varietas Mallika dan Wilis Berdasarkan Nilai Heritabilitas dan Kemajuan Genetik.. Dibimbing

Untuk menjawab permasalahan mengenai sulitnya menampilkan potensi wilayah di Kecamatan Waluran Kabupaten Sukabumi, maka pada penelitian ini akan dirancang sebuah

Masalah lain yang ditemukan oleh Dinas Pendapatan Kota Blitar, pada sektor Pajak Hiburan dengan self assessment system dilapangan yaitu kurangnya pemahaman dan

Jika Dividend Per Share (DPS) yang diterima naik maka akan menarik investor untuk membeli saham perusahaan. Dengan banyaknya saham yang dibeli maka harga saham suatu

Saya senang jika dapat mengerjakan tugas dengan cara yang berbeda dari teman

Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)

10 hari: Andal &amp; RKL-RPL 3 hari: UKL-UPL Paling lama 2 (Tiga) hari kerja terhitung sejak dokumen persyaratan administratif serta UKL-UPL yang dimohonkan dinyatakan lengkap