Impact of an Increase in Final Demand for Regional Inflation Dampak Kenaikan Permintaan Akhir Terhadap Inflasi Daerah
Rasidin Karo Karo Sitepu
Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian UISU – Medan email:[email protected]
Abstract
Macroeconomic variables that are the issues are growth, inflation, unemployment, and balance of payments. Of the four issues, inflation and unemployment are the two main objects of macroeconomics, because the variables of inflation and unemployment have a direct influence on the people in the region. The purpose of this study are to determine the factors that determine the level of inflation and the impact of increased demand and production costs on regional inflation. Using a fixed effect approach with pooled-cross section data, where the series is from 2004 to 2016 and the cross-section is the province. Estimation techniques using GLS (cross section weights). The results of the analysis show that the inflation rate is influenced positively by the exchange rate, the price of fuel oil (BBM), the salary of civil servants, the money supply and final demand (public consumption, government consumption and investment) of each province. The increase in final demand has an impact on the increase in the inflation rate of the regions with different values. The province where the logistics distribution network is not yet developed and its geographical characteristics are islands, the inflation rate is more sensitive due to the increase in local demand as happened in Bangka Belitung, Jambi, East Nusa Tenggara, Gorontalo, Central Sulawesi, Southeast Sulawesi, Maluku, North Maluku, and West Papua. Repair and development of regional infrastructure is needed in order to reduce logistics costs, so that prices become relatively stable.
Keywords: exchange rates, fuel prices, civil servant salary, money supply, final demand, inflation, logistics Abstrak
Variabel makroekonomi yang menjadi isu adalah pertumbuhan, laju inflasi, pengangguran, dan neraca pembayaran. Dari empat isu tersebut, inflasi dan pengangguran merupakan dua obyek utama dari makroekonomi, karena variabel inflasi dan pengangguran bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat di daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan tingkat inflasi dan dampak kenaikan permintaan dan biaya produksi terhadap Inflasi di Daerah. Menggunakan pendekatan fixed effect dengan data pooled-cross section, dimana series adalah dari 2004 sampai 2016 dan cross-section adalah provinsi. Teknik estimasi menggunakan GLS (cross section weights). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat inflasi dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah, harga bahan bakar minyak (BBM), gaji PNS, jumlah uang beredar serta permintaan akhir (konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah dan investasi) masing-masing provinsi. Kenaikan permintaan akhir berdampak terhadap kenaikan laju inflasi daerah dengan nilai yang berbeda. Provinsi yang jaringan distribusi logistiknya belum maju dan karakteristik geografisnya berupa kepulauan, laju inflasinya lebih sensitif dipengaruhi oleh kenaikan permintaan lokal seperti yang terjadi di provinsi Bangka Belitung, Jambi, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Perbaikan dan pengembangan infrastruktur daerah tersebut diperlukan dalam rangka untuk mengurangi biaya logistik, sehingga harga menjadi relatif stabil. Kata Kunci: nilai tukar, harga BBM, Gaji PNS, uang beredar, permintaan akhir, inflasi, logistic
PENDAHULUAN
Umumnya variabel makroekonomi membahas tentang perilaku ekonomi secara agregat. Menurut Dornbusch, Fisher, dan Startz (1998:3) variabel makroekonomi yang menjadi isu adalah pertumbuhan output, laju inflasi, pengangguran, dan neraca pembayaran. Variabel makro ekonomi tersebut saling terkait secara langsung melalui variabel makroekonomi lain. Keterkaitan tersebut terjadi pada empat pasar, yaitu pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja, dan pasar saham yang membentuk keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal (balance of payment).
Dari empat isu tersebut, inflasi dan pengangguran merupakan dua obyek utama dari makroekonomi, karena variabel tersebut merupakan prinsip-prinsip yang menjadi perhatian pengambil kebijakan dan publik (Romer, 1996:388). Hal tersebut terjadi karena inflasi dan pengangguran bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat banyak, sehingga dampak perubahannya sangat dirasakan. Sementara itu pertumbuhan output dan neraca pembayaran lebih merupakan perhatian pemerintah yang sifatnya skala nasional dan internasional. Arikel ini memfokuskan pada masalah inflasi.
Inflasi sangat bervariasi antar negara dan antar waktu. Indonesia sebelumnya telah mencapai tingkat inflasi yang disebut hyperinflasi pada periode 1962–1967, yaitu antara 112 – 636 persen per tahun (BPS, berbagai terbitan). Pada tahun 1980-1990 Argentina, Bolivia, dan Brazil juga menglami hyperinflasi masing-masing 455, 344, dan 317 persen per tahun, kemudian pada tahun 1990-1995 Argentina dan Bolivia turun menjadi 14,5 dan –0,7 persen per tahun, sedangkan Brasil naik menjadi 956 persen per tahun (The World Bank, 1998:206).
Kenaikan harga merupakan kondisi yang relatif disukai produsen, karena akan mendorong produsen untuk berproduksi. Namun demikian jika peningkatan produksi tidak diikuti dengan kenaikan daya beli konsumen menjadi hal yang sia-sia. Sebaliknya jika tingkat harga menurun relatif akan disukai konsumen, karena akan meningkatkan daya beli. Akan tetapi peningkatan daya beli tidak ada gunanya jika tidak diikuti peningkatan produksi. Oleh karena itu keadaan yang dinginkan adalah terjadi pertumbuhan output dengan tingkat inflasi yang moderat terkendali. Inflasi yang fluktuatif, walaupun diikuti dengan pertumbuhan output yang tinggi kurang disukai, karena menyebabkan ketidakpastian pada kehidupan ekonomi.
Dilihat melalui penyebabnya, inflasi secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu inflasi tarikan permintaan atau demand pull inflation dan inflasi desakan biaya produksi atau cost push inflation. Demand pull inflation terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga. Untuk mengendalikan inflasi tentunya harus diketahui faktor-faktor yang menyebabkannya. Dari faktor tersebut faktor mana yang signifikan mempengaruhi inflasi. Kasus Indonesia pertumbuhan output dari sisi pasar barang cenderung disebabkan oleh konsumsi. Barang konsumsi dominan yang terkait dengan masyarakat adalah produk pangan. Diduga produk pangan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap laju inflasi.
Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi, Bank Indonesia sesuai amanat undang-undang memiliki tujuan untuk mencapai kestabilan nilai rupiah termasuk laju inflasi, akan tetapi pada kenyataannya laju inflasi tidaklah sepenuhnya di bawah kendali Bank Indonesia (BI). Inflasi pada sisi permintaan (demand-pull inflation) yang dikaitkan dengan ketersediaan uang beredar di
masyarakat dapat dipengaruhi melalui kebijakan moneter BI. Dari sisi penawaran, pergerakan inflasi sangat dipengaruhi oleh sisi produksi dan distribusi. Peningkatan biaya-biaya produksi yang membebani produsen (cost-push inflation) pada akhirnya dapat memicu kenaikan harga barang dan jasa di tingkat konsumen. Dengan kondisi tersebut, inflasi tidak dapat hanya direspon oleh kebijakan moneter yang merupakan tugas bank sentral untuk menurunkan inflasi pada level yang rendah dan stabil tetapi juga perlu dukungan dari Pemerintah Daerah setempat yang memiliki kewenangan untuk mengatasi gangguan (shock) dari sisi penawaran (supply), termasuk terkait gejolak harga pangan dan harga yang diatur pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di daerah dan untuk mengetahui dampak kenaikan permintaan akhir terhadap inflasi daerah.
METODOLOGI
Model ekonometrika merupakan suatu pola khusus dari model aljabar, yakni suatu unsur yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih peubah pengganggu (Intriligator, 1978). Menurut Koutsoyiannis, (1977) Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel penjelas (explanatory variables) terhadap peubah endogen (dependent variables) khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign) dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori ekonomi dengan kata lain, model yang baik haruslah memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria statistika dan kriteria ekonometrika.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2016 menggunakan
harga konstan tahun dasar 2010. Sedangkan sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro Pusat Statistik (BPS), Bappenas dan Lembaga Terkait lainnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan merupakan catatan bahwa dalam penelitian harga dideflasi dengan indeks harga sesuai dengan indeks harga masing-masing dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari pengaruh inflasi. Sehingga harga nominal yang diperoleh secara langsung dapat menjadi harga riil.
CPI ditempatkan sebagai sesuatu yang ingin diketahui atau bertindak sebagai endogenous variable dan akan dipelajari perilakunya lewat variabel-variabel lain yang nilainya dapat ditetapkan lebih dulu sebagai penjelasnya (explanatory atau exogenous variable). Yang menjadi variabel penjelasnya dikelompokkan menurut pengelompokkan faktor-faktor penyebab inflasi sebagai hipotesis adalah:
1. Demand pull Inflation: diwakili oleh konsumsi rumah tangga dan swasta nirlaba (CONS), konsumsi pemerintah (GC), dan pembentukan modal tetap domestik bruto (INV) merupakan instrument dari permintaan akhir. 2. Cost Push Inflation: diwakili oleh nilai
tukar rupiah dengan dollar USA (NER), harga BBM transportasi bersubsidi (premium, dan Solar), upah tenaga kerja akan didekati oleh rerata gaji PNS golongan IIIA (GAJIPNS), dan rata-rata tarif listrik PLN (PElect).
3. Quantity of Money: jumlah uang beredar jenis M1.
Variabel penjelas M1, NER, PBBM, dan GAJIPNS diukur pada level nasional, sementara variabel CONS, GC dan INV diukur di setiap propinsi. Dengan demikian pengaruh M1, NER, PBBM, GAJIPNS memiliki magnitude yang sama untuk semua provinsi. Sedangkan besaran pengaruh CONS, GC, INV, bersifat lokal
sehingga pengaruhnya berbeda-beda antar provinsi. Bentuk umum model CPI di suatu propinsi dapat ditulis sebagai:
CPIit = f (M1t, NERt, PBBMt, CONSit, GVit,
INVit, GajiPNSit)
Model tersebut disusun dalam struktur model panel dan diterapkan di 33 provinsi pada periode pengamatan 2010-2016. Untuk menangkap nature of behaviour kenaikan harga (CPI), dan untuk mempermudah interpretasi model akan diformulasikan dalam double logarithm. Bentuk spesifikasi modelnya adalah:
Log(CPIit) = 0+ 1 log(M1t)
+ 2 log(NERt) + 3 Log(PBBMt)
+ 4 log(GajiPNSt) +
+ 1 log(CONSit+INVit+GCit) + it
Subcript i melambangkan provinsi ke-i, dan variabel yang tidak mengandung subcript i berarti variabel diukur pada level nasional. Model inflasi diestimasi dengan pendekatan yaitu pure pooled model.
Pilihan yang mungkin dilakukan untuk teknik mengestimasi model data panel adalah:
1. Model Pooled OLS – semua sampel observasi misalkan, seluruh provinsi dikumpulkan menjadi satu dimana tindakan ini menghilangkan cross-section dan runtun waktu. Model ini sering juga disebut Model koefisien konstan (Constant Coefficient Model). 2. Model Efek Tetap Kwadrat Terkecil
Variabel Boneka (Fixed Effects Least Squares Dummy Variable Model – LSDV) - semua data digabungkan tetapi diijinkannya cross section memiliki variabel dummy.
3. Model Efek Tetap dalam kelompok (Fixed Effects Within-Group Model) – semua data digabungkan tetapi unit observasi (objek) mengekspresikan
setiap peubah sebagai selisih dari rata-ratanya dan diestimasi menggunakan metoda kwadrat terkecil.
4. Model Efek Acak (Random Effects Model) – seperti model LSDV dimana setiap observasi memiliki nilai intersep dan diasumsikan diambil secara acak dari populasi yang lebih besar (Gujarati dan Porter, 2009).
Pengujian yang selalu dipergunakan untuk menggunakan pemilihan antara Pooled, fixed effect dan random effect dikenal dengan istilah Pengujian Model. Pengujian model pooled dibandingkan dengan model fixed effect mempunyai hipotesis sebagai berikut:
H0 : Model Pooled lebih baik dari fixed
effect
H1 : Model fixed effect lebih baik dari
Model Pooled
Pengujian ini dikenal dengan pengujian Chow dimana Statistik ujinya mengikuti distribusi F sebagai berikut:
𝐹
𝐸 𝑅
𝑚 1
1 𝑅
𝑛 𝑘 1
Dimana m adalah jumlah cross-section, n adalah jumlah seluruh observasi, dan k adalah jumlah parameter yang diestimasi. Jika statistik F lebih besar dari F tabel dimana numeratornya (m-1) dan denominatornya (n-k-1), maka H0 ditolak
yang menyatakan bahwa nilai intersep tidak sama sehingga model yang dipergunakan model fixed effect (EF).
Selanjutnya, pemilihan antara model Pooled dengan Random Effect Model (RM) dilakukan dengan pengujian yang dikenal dengan pengujian hipotesis sebagai berikut: H0 : Model Pooled lebih tepat dan sesuai
dengan data
H1 : Random Effect Model lebih tepat dan
Statistik uji yang digunakan adalah:
𝐿𝑀 𝑁𝑇
2 𝑇 1
∑ ∑ 𝑒̂
∑ ∑ 𝑒̂ 1
Uji statistik tersebut mengikuti Distribusi Normal (0,1), sehingga diperbandingkan dengan Zα, jika nilai LM
lebih besar dari nilai Zα maka tolak H0
sehingga penolakan H0, menyatakan
menerima RE yang sesuai. Selanjutnya, pemilihan FE dan RE perlu dilakukan pengujian dimana pengujiannya dikenal dengan pengujian Hausman yang mempunyai hipotesa sebagai berikut: H0 : RE yang paling sesuai
H1 : FE yang paling sesuai
Adapun uji statistiknya sebagai berikut:
𝜒 𝛽 𝛽
𝜎
Jika 2observasi ini lebih tinggi dari 2 tabel dengan derajat kebebasanya jumlah variabel bebas, maka hipotesis nol ditolak yang menyatakan bahwa fixed effect yang sesuai dipergunakan dalam model tersebut. Pemilihan FE dan RE ini juga dapat menggunakan kaidah sebagai berikut: 1. Jika T (jumlah periode waktu) sangat
besar dan N (jumlah cross-section) sangat kecil maka sangat kecil perbedaan nilai parameter yang diestimasi dengan FE dan RE tetapi lebih disukai menggunakan FE.
2. Pada Panel Pendek (N besar dan T kecil) dan terjadi perbedaan yang cukup besar pada estimasi, lebih disukai (tepat) menggunakan FE.
3. N sangat besar dan T sangat kecil, dimana asumsi RE tetap ada maka FE lebih tepat sebagai estimator dibandingkan FE.
4. Jika komponen kesalahan individu i dan salah satu peubah penjelas (regressor) berkorelasi makan estimasi dengan RE akan bias sehingga lebih tepat menggunakan FE model.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kenaikan tingkat harga secara umum atau inflasi dimodelkan oeh variabel-variabel yang secara teoritis menjadi penyebab tingkat inflasi. Merujuk pada teori bahwa penyebab inflasi dikelompokkan ke dalam (1) demand pull inflation, (2) quantity of money, dan (3) cost push inflation. Kenaikan harga produksi tersebut disebabkan oleh kenaikan harga-harga pada faktor. Adapun kenaikan harga faktor dapat disebabkan oleh (1) harga barang modal, (2) harga material dan energi. Kenaikan harga BBM maupun sumber energi lainnya yang diregulasi (regulated price) pada umumnya meningkatkan biaya produksi, (3) upah tenaga kerja. Upah minimum regional (UMR) berkontribusi meningkatkan biaya produksi, dan (4) Nilai tukar rupiah, sangat berpengaruh karena produsen domestik membeli bahan baku dari luar negeri atau konsumen membutuhkan barang konsumsi dari luar negeri.
Laju Inflasi (INF) tidak lain adalah laju pertumbuhan angka indeks harga konsumen atau Consumer Price Index (CPI) yang diperoleh dengan rumus:
𝐼𝑁𝐹 100
dimana
INFt = tingkat inflasi pada periode t
CPIt = indeks harga konsumen pada
periode t
CPIt-1= indeks harga konsumen pada satu
periode sebelum periode t
Untuk memprediksi dampak inflasi harus didahului dengan memprediksi angka CPI lewat suatu model tertentu. Untuk itu
dibutuhkan data CPI historis pada level nasional dan provinsi. Pada beberapa tahun terakhir, BPS telah mengumpulkan data CPI bulanan di tingkat kabupaten/kota meliputi semua provinsi se-Indonesia. CPI provinsi berasal dari rata-rata CPI semua kabupaten atau kota sampel di provinsi tersebut. Dalam model digunakan rata-rata CPI bulan Desember agar bisa menggambarkan perkembangan harga sepanjang tahun.
Berdasarkan runutan logika di atas, maka dalam pemodelan ini, CPI ditempatkan sebagai sesuatu yang ingin diketahui atau bertindak sebagai endogenous variable dan akan dipelajari perilakunya lewat variabel-variabel lain yang nilainya dapat ditetapkan lebih dulu sebagai penjelasnya (explanatory atau exogenous variable).
Model dalam kajian ini dirancang dalam format model pooled-crossection yang mengandung komponen koefisien umum untuk variabel yang berlaku secara nasional yaitu: Kurs Nominal rupiah terhadap Dollar USA (NER), rata-rata gaji pokok PNS golongan IIIA (Gaji pns), Harga BBM transportasi bersubsidi (PBBM), dan jumlah uang beredar jenis M1 (M1).
Untuk koefisien yang berlaku secara cross-section dikenakan pada variabel (PC+GC+INV) yaitu penjumlahan dari pengeluaran akhir untuk konsumsi rumah tangga (PC), pengeluaran pemerintah (GC) dan pengeluaran untuk pembentukan modal tetap bruto (INV).
Model pooled-cross section ini dijalankan atas asumsi bahwa terdapat korelasi kuat antara faktor yang tidak dimasukkan ke dalam model dengan variabel-variabel bebas dalam model, dimana faktor yang tidak terukur tersebut bersifat spesifik pada daerah, atau dalam istilah ekonometrikanya faktor tersebut dianggap sebagai fixed-effect factor. Sehingga modelnya pun disebut sebagai model pooled-cross section dengan
fixed-effect, yang hasil estimasinya dicantumkan pada Tabel 1.
Tabel 1 dapat diketahui bahwa model memiliki derajat kesesuaian yang sangat tinggi yang ditunjukkan oleh koefisien determinasi yang tinggi (R2=0.9998), yang berarti 99.98% dari
variasi CPI di daerah dapat dijelaskan oleh model. Semua variabel skala nasional memberikan pengaruh positif signifikan (sesuai dengan teori). Demikian pula untuk variabel skala regional provinsi memberikan pengaruh positif signifikan.
Jika dibandingkan hasil penelitian Perwira (2001), Kannapiran (2000), Mallik dan Chowdhury (2001) dengan nilai R2
masing-masing 0,7325; 0,6300; dan antara 0.3333 – 0.8851, nilai R2 pada penelitian ini
masih relatif baik, beberapa hal yang menyebabkan model ini lebih baik adalah karena memasukkan variabel yang berhubungan dengan penawaran uang, income, dan pengeluaran pemerintah.
Oleh sebab itu model ini dapat dianggap sebagai model yang baik dan layak digunakan untuk memproyeksikan variabel CPI, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung laju inflasi. Tabel 1 mengindikasikan bahwa seluruh variabel memiliki pengaruh positif terhadap inflasi. Inflasi di daerah juga dipengaruhi oleh intervensi pemerintah di tingkat nasional seperti nilai tukar, pengaturan gaji PNS golongan IIIA, pengaturan harga BBM, dan jumlah uang beredar yang notabenanya merupakan instrument dari Bank Indonesia. Tingkat inflasi juga dipengaruhi secara positif oleh komponen pendatapan dari sisi pengeluaran yang seluruh variabelnya signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen.
Untuk melihat pengaruh variabel di tingkat nasional, interpretasi hasl estimasi dari koefisiennya dicantumkan dan diuraikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Hasil Estimasi Model Inflasi PCI
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -2.555426 0.229344 -11.14233 0.0000 LOG(NER) 0.169301 0.022464 7.536540 0.0000 LOG(GAJIPNS) 0.268119 0.025331 10.58471 0.0000 LOG(PBBM) 0.162130 0.006883 23.55633 0.0000 LOG(M1) 0.194968 0.021685 8.990994 0.0000 _11--LOG(PC_11 + GC_11+ INV_11) 0.051199 0.012316 4.157078 0.0000 _12--LOG(PC_12 + GC_12+ INV_12) 0.037835 0.010796 3.504706 0.0005 _13--LOG(PC_13 + GC_13+ INV_13) 0.041373 0.011972 3.455891 0.0006 _14--LOG(PC_14 + GC_14+ INV_14) 0.042174 0.011198 3.766271 0.0002 _15--LOG(PC_15 + GC_15+ INV_15) 0.045861 0.012730 3.602444 0.0004 _16--LOG(PC_16 + GC_16+ INV_16) 0.045771 0.011364 4.027627 0.0001 _17--LOG(PC_17 + GC_17+ INV_17) 0.048269 0.014124 3.417382 0.0007 _18--LOG(PC_18 + GC_18+ INV_18) 0.043628 0.011949 3.651174 0.0003 _19--LOG(PC_19 + GC_19+ INV_19) 0.054117 0.013709 3.947435 0.0001 _21--LOG(PC_21 + GC_21+ INV_21) 0.034713 0.012628 2.748828 0.0063 _31--LOG(PC_31 + GC_31+ INV_31) 0.030268 0.009788 3.092516 0.0021 _32--LOG(PC_32 + GC_32+ INV_32) 0.034299 0.009868 3.475796 0.0006 _33--LOG(PC_33 + GC_33+ INV_33) 0.032842 0.010289 3.191970 0.0015 _34--LOG(PC_34 + GC_34+ INV_34) 0.045443 0.012481 3.640977 0.0003 _35--LOG(PC_35 + GC_35+ INV_35) 0.032140 0.009766 3.291039 0.0011 _36--LOG(PC_36 + GC_36+ INV_36) 0.040076 0.011254 3.561170 0.0004 _51--LOG(PC_51 + GC_51+ INV_51) 0.037926 0.012445 3.047419 0.0025 _52--LOG(PC_52 + GC_52+ INV_52) 0.043399 0.012760 3.401232 0.0007 _53--LOG(PC_53 + GC_53+ INV_53) 0.049638 0.012951 3.832793 0.0001 _61--LOG(PC_61 + GC_61+ INV_61) 0.038916 0.012110 3.213487 0.0014 _62--LOG(PC_62 + GC_62+ INV_62) 0.039055 0.012603 3.098841 0.0021 _63--LOG(PC_63 + GC_63+ INV_63) 0.039098 0.012546 3.116343 0.0020 _64--LOG(PC_64 + GC_64+ INV_64) 0.042794 0.011672 3.666423 0.0003 _71--LOG(PC_71 + GC_71+ INV_71) 0.046684 0.012920 3.613288 0.0003 _72--LOG(PC_72 + GC_72+ INV_72) 0.054257 0.012965 4.184920 0.0000 _73--LOG(PC_73 + GC_73+ INV_73) 0.035851 0.011582 3.095513 0.0021 _74--LOG(PC_74 + GC_74+ INV_74) 0.052786 0.013447 3.925481 0.0001 _75--LOG(PC_75 + GC_75+ INV_75) 0.057296 0.015516 3.692798 0.0003 _76--LOG(PC_76 + GC_76+ INV_76) 0.043398 0.014809 2.930424 0.0036 _81--LOG(PC_81 + GC_81+ INV_81) 0.045659 0.014954 3.053238 0.0024 _82--LOG(PC_82 + GC_82+ INV_82) 0.053634 0.015599 3.438188 0.0007 _91--LOG(PC_91 + GC_91+ INV_91) 0.065708 0.014128 4.650723 0.0000 _92--LOG(PC_92 + GC_92+ INV_92) 0.051348 0.012413 4.136556 0.0000 Weighted Statistics
R-squared 0.999817 Mean dependent var 6.396039
Adjusted R-squared 0.999799 S.D. dependent var 2.427115
S.E. of regression 0.034423 Sum squared resid 0.452653
F-statistic 56287.37 Durbin-Watson stat 1.073866
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics
R-squared 0.988254 Mean dependent var 5.140649
Adjusted R-squared 0.987117 S.D. dependent var 0.303274
S.E. of regression 0.034423 Sum squared resid 0.452654
Durbin-Watson stat 0.706392
Keterangan Kode Provinsi:
Kode Deskripsi Provinsi Kode Deskripsi Kode Deskripsi
11 Nangroe Aceh Darussalam 35 Jawa Timur 76 Sulawesi Barat
12 Sumatera Utara 36 Banten 81 Maluku
13 Sumatera Barat 51 Bali 82 Maluku Utara
14 Riau 52 Nusa Tenggara Barat 91 Papua Barat
15 Jambi 53 Nusa Tenggara Timur 92 Papua
16 Sumatera Selatan 61 Kalimantan Barat 90 Pulau Papua
17 Bengkulu 62 Kalimantan Tengah 00 Indonesia
18 Lampung 63 Kalimantan selatan
19 Bangka Belitung 64 Kalimantan Timur
21 Kepulauan Riau 71 Sulawesi Utara
31 DKI Jakarta 72 Sulawesi Tengah
32 Jawa Barat 73 Sulawesi Selatan
33 Jawa Tengah 74 Sulawesi Tenggara
34 DI Yogyakarta 75 Gorontalo
Selanjutnya variabel-variabel yang mewakili faktor Demand pull inflation baik pada level nasional maupun level provinsi, yaitu jumlah dari PC, GC dan INV, memberikan pengaruh positif signifikan (sesuai dengan teori: demand pull inflation) terhadap inflasi. Setiap kenaikan 10 persen untuk pengeluaran tersebut, akan meningkatkan inflasi nasional sebesar 0.61%.
Untuk melihat dampaknya di level provinsi dari faktor demand pull factor dapat dijelaskan bahwa setiap persen
kenaikan permintaan masyarakat untuk keperluan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan investasi akan memberikan kontribusi terhadap kenaikan laju inflasi yang berbeda-beda, yang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3. Misalnya untuk setiap kenaikan satu persen (1%) dalam permintaan akhir berdampak meningkatkan laju inflasi sebesar 0.66 persen di Provinsi DKI Jakarta, 1 persen di Provinsi Bengkulu, 1.15 persen inflasi di Provinsi Papua Barat, dan seterusnya. Tabel 2. Interpretasi Koefisien Model Inflasi yang berlaku pada Level Nasional
Variabel Koefisien Interpretasi
LOG(NER) 0.169301 Jika rupiah terdepresiasi sebesar 1 persen terhadap Dollar USA, maka inflasi nasional meningkat sebesar 0.169%; ceteris paribus
LOG(GAJIPNS) 0.268119 Jika gaji pokok PNS meningkat sebesar 1%, maka inflasi akan meningkat sebesar 0,268%; ceteris paribus. LOG(PBBM) 0.162130 Jika harga premium SPBU meningkat 10%, maka akan menaikkan inflasi sebesar 1.62%; ceteris paribus LOG(M1) 0.194968 Jika rata-rata jumlah uang beredar M1 meningkat 10%, maka akan berkontribusi meningkatkan inflasi sebesar
1.95%; ceteris paribus. Sumber: Diambil dari Tabel 1
Tabel 3. Dampak Laju Inflasi Akibat Kenaikan 1% dalam Permintaan akhir: “PC+GC+INV”
Provinsi Dampak (%) Provinsi Dampak (%)
Nasional 0.061 Bali 0.037926
Nangroe Aceh Darussalam 0.051199 Nusa Tenggara Barat 0.043399
Sumatera Utara 0.037835 Nusa Tenggara Timur 0.049638
Sumatera Barat 0.041373 Kalimantan Barat 0.038916
Riau 0.042174 Kalimantan Tengah 0.039055
Jambi 0.045861 Kalimantan selatan 0.039098
Sumatera Selatan 0.045771 Kalimantan Timur 0.042794
Bengkulu 0.048269 Sulawesi Utara 0.046684
Lampung 0.043628 Sulawesi Tengah 0.054257
Bangka Belitung 0.054117 Sulawesi Selatan 0.035851
Kepulauan Riau 0.034713 Sulawesi Tenggara 0.052786
DKI Jakarta 0.030268 Gorontalo 0.057296
Jawa Barat 0.034299 Sulawesi Barat 0.043398
Jawa Tengah 0.032842 Maluku 0.045659
DI Yogyakarta 0.045443 Maluku Utara 0.053634
Jawa Timur 0.032140 Papua Barat 0.065708
Banten 0.040076 Papua 0.051348
Dari Tabel 3 ditemukan hal-hal yang menarik, yaitu daerah-daerah yang jaringan distribusi logistiknya belum terlalu maju atau karakteristik geografisnya berupa kepulauan ternyata laju inflasinya lebih sensitif dipengaruhi oleh kenaikan permintaan lokal. Dalam arti bahwa jika terjadi kenaikan permintaan akhir di daerah dalam jumlah yang besar akan direspon dengan kenaikan inflasi yang lebih besar seperti yang terjadi di provinsi Bangka Belitung, Jambi, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Ditingkat nasional pengaruh nilai tukar erat kaitannya dengan banyaknya produksi dalam negeri yang menggunakan komponen impor dan juga melalui barang impor yang langsung di konsumsi. Sementara hasil penelitian Gunawan (1991) penawaran uang hanya merupakan variabel perantara yang menyebabkan difisit anggaran mempengaruhi tingkat inflasi.
Sementra itu difisit anggaran antra lain ditentukan oleh penerimaan pemerintah dari pajak. Dengan demikian pajak merupakan variabel yang mempresentasikan penawaran uang atau pengeluaranm pemerintah atau defisit anggran. Pengaruh harga BBM dan upah disebabkan penentuan harga BBM dan upah (digambarkan oleh Gaji) lebih banyak ditetapkan oleh pemerintah (administered price). Di samping itu, untuk kasus Indonesia, kedua komponen Harga BBM dan Gaji PNS tersebut relatif besar memberikan fluktuasi harga dan perubahan tingkat inflasi.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Secara teoritis ada lima kelompok variabel yang mempengaruhi inflasi, yaitu yang berasal dari sektor riil, sektor moneter, sektor upah dan input produksi, kebijakan (bank sentral), dan sektor luar negeri. Berdasarkan pengalaman beberapa negara, kebijakan target inflasi mampu umumnya
mampu mengendalikan inflasi lebih rendah dengan ouput yang lebih tinggi dan keragaman keduanya lebih rendah dibandingkan negara yang tidak melakukan target inflasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat inflasi di daerah dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah, harga bahan bakan minyak (BBM), besaran gaji PNS, dan jumlah peredaan uang, sedangkan di tingkat daerah dipengaruhi oleh komponen dari permintaan akhir yaitu konsumsi masyarakat, pemerintah dan tingkat investasi. Kenaikan dalam permintaan akhir akan memberikan dampak yang berbeda terhadap perubahan inflasi di daerah.
Besarnya peran nilai tukar rupiah mengindikasikan bahwa barang konsumsi dan bahan baku yang digunakan di Indonesia banyak berasal dari barang impor. Kebiasaan mengkonsumsi barang impor pada saat itu, kemungkinan masih menjadi kebiasaan setelah priode regim floating exchange rate. Keadaan tersebut didukung pula oleh semakin menurunnya tarif impor. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan produksi domestik dengan menggunakan komponen domestik dan mengkonsumsi produksi dalam negeri perlu ditingkatkan lagi.
Daerah-daerah yang jaringan distribusi logistiknya belum baik atau karakteristik geografisnya berupa kepulauan laju inflasinya lebih sensitif dipengaruhi oleh kenaikan permintaan lokal. Sehingga perbaikan infrastruktur dan pengembangan daerah-daerah tersebut diperlukan dalam rangka untuk mengurangi biaya logistik.
DAFTAR PUSTAKA
Agenor, P. R. 2000. Monetary Policy Under Flexible Exchange Rate: A Introduction of Inflation Targeting. World Bank. Washington. USA.
Alamsyah, H., C. Joseph, J. Agung, dan D. Zulverdy. 2000. Framework for Implementing Inflation Targeting in Indonesia. Paper presented in Bank Indonesia International Monetary Fund Conference on “Monetary Policy and Inflation Targeting in Emerging Economies”. Jakarta, July 13 – 14, 2000. Directorate of Economic Research and Monetary Policy. Bank Indonesia. Jakarta.
Batalgi, Badi H. (1995); Econometric Analysis of Panel Data; John Wiley & Sons.
Bernanke B.S. and F. S. Mishkin. 1997. Inflation Targeting: A New Framework For Monetary Policy ? Journal of Economic Perspectives. Volume 11, Number 2- Spring 1997: 97-116.
Debelle G. 2000. Inflation Targeting And Output Stabilisation. Paper presentedin Bank Indonesia International Monetary Fund Conference on “Monetary Policy and Inflation Targeting in Emerging Economies”. Jakarta, July 13 – 14, 2000. Reserve Bank of Australia.
Dornbusch, R. , S. Fischer, and R. Srartz. 1998. Macroeconomics. Seventh
Ed.Edition. McGraw-Hill
Companies, Inc. Boston, United States.
Egger, P. Pfaffermayr, M.; and Hannes Winner (2005); An unbalanced spatial panel data approach to US state tax competition; Economics Letters, Vol. 88; pp. 329 – 335. Gujarati, Damodar and Dawn C. Porter
(2009); Basic Econometrics; 5th eds.; Palgrave Macmillan.
Harris, J.R., F. Schiantarelli dan M.G. Siregar, 1994. The Effect of Finacial Liberalization on the Capital Structure and Invesment Decisions
of Indonesian Manufacturing Establishment. The Word Bank Economic Review, Edisi Januari 1994. Vol. 8. No. 1 : 18-48
Honohan, P. 1991. Inflationary Impact of Money-Financed Deficits. Jornal of Policy Modeling 13 (2): 229-240. Intriligator, M. D. 1978. Econometric
Model, Techniques, and
Applications. Prentice Hall Inc, New Jersey.
Kannapiran, C.A. 2000. Commodity Price Stabilisation: Macroeconomic Impacts and Policy Option. Agricultural Economics No. 23 June 2000: 17-30.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometic Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London
Lopez-Pueyo, C.; Barcenilla-Visus, S. and J. Sanau (2008); International R&D spillovers and manufacturing productivity: A panel data analysis; Structural Change and Economic Dynamics. Vol. 19; pp. 152–172 Mallik, G and A. Chowdhury. 2001.
Inflation and Economic Growth: Evidence from Four South Asian Countries. Asia-Pacific Development Journal Vol.8, No.1, June 2001: 123 – 135.
Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi keempat. Worth Publishers, Inc., New York, United States. Alih bahasa: Imam Nurmawan. Penerbit Erlangga. Jakarta.
McCallum B.T. 1989. Monetary Economics: Theory and Policy. Macmillan Publishing Company. New York.
Perwira, D. 2001. Pengaruh Perubahan Kondisi Ekonomi Makro Terhadap Permintaan Saham Sektor Pertanian di Indonesia. EKI, Vol. XLIX
No.4-2001: 357-374. Universitas Indonesia. Jakarta
Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forcasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York.
Romer, D. 1996. Advanced
Macroeconomics. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York, United States.
Temple, J. 2002. Openness, Inflation, and the Phillips Curve: A Puzzle. Journal of Money, Credit, and Banking, Vol. 34. No. 2 (May 2002):450-468.
The World Bank. 1998. World Develoment Indicators. The World Bank
Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics an Introduction. Addison-Wesley. England.
Wooldrige, J. M (2006); Introductory Econometric: A Modern Approach; 2nd eds.; Thomson. South Western.