INTEGRASI ARSITEKTUR TIONGHOA
KE DALAM ARSITEKTUR PURI AGUNG KARANGASEM* Oleh:
Sulistyawati
Murdana melihat keterpengaruhan unsur arsitektur Tionghoa yang terwujud dalam bentuk Patra Cina, sampai saat ini bisa dilihat di Puri Amlapura yang sering disebut Puri Amsterdam, Karangasem (Puri Maskerdam, red). Raja Karangasem di masa itu menugasi seorang arsitek/seniman Tionghoa bernama Cik A Tuang untuk mengukir pintu-pintu yang ada di kompleks istana raja. Guna menyelesaikan “orderan” itu Cik A Tuang berinteraksi dengan sejumlah seniman ukir Bali. Secara prinsip, karya ukir Cik A Tuang memang terkesan agak kaku jika dibandingkan dengan karya-karya orisinal seniman Bali. Tetapi dari segi akulturasi budaya, hasil karyanya tidak ternilai harganya, mengingat pada zaman itu seniman-seniman dengan latar belakang budaya berbeda sudah bisa bekerja sama begitu harmonis. Hasil interaksi budaya itulah yang kemudian dikembangkan para seniman Bali sehingga terwujud patra Cina seperti yang dikenal sekarang (Sumantika, Bali Post, 12 Mei 2007: hal. 13).
Pendahuluan
Berdasar paparan Murdana di atas, penulis memandang penting untuk melihat kemampuan tokoh yang mengintegrasikan ketiga unsur budaya tersebut ke dalam satu karya yang cukup monumental sampai saat ini. Kata integrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 383) berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh, yang dapat dipilah-pilah dalam pengertian lebih khusus, antara lain: Integrasi bangsa (istilah politik) adalah proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan suatu identitas nasional; Integrasi kebudayaan (istilah antropologi) merupakan proses penyesuaian di antara unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi di kehidupan masyarakat; dan Integrasi kelompok (istilah antropologi) adalah proses penyesuaian perbedaan tingkah laku warga suatu kelompok bersangkutan.
Berangkat dari berbagai bentuk pengertian integrasi tersebut di atas, penulis ter-inspirasi untuk melihat periode ke belakang sejarah atas ketokohan seseorang yang telah banyak memikirkan, mengonsep, dan melaksanakan proses yang terkandung dalam semua pengertian integrasi di atas, yang telah mendahului tokoh terkenal lain dari bangsa ini yang
* Makalah Seminar ”Integrasi Budaya Tionghoa Pada Budaya Bali” Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar, tanggal 19 Januari 2008, R 17, Lt.III. Gedung Timur Fakultas Sastra UNUD Denpasar.
tumbuh belakangan. Beliau adalah dua orang tokoh bijaksana, penguasa yang sangat disegani oleh masyarakat Karangasem dan Bali umumnya. Beliau tidak lain ialah raja besar Karangasem yang bergelar Anak Agung Gde Karangasem (I Gusti Gde Jelantik) yang memerintah dari tahun 1896 sampai dengan 1908, dan penggantinya bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem (I Gusti Bagus Jelantik), yang memerintah dari tahun 1908 sampai dengan tahun 1941 Masehi.
Semasa periode kekuasaan inilah, beliau berhasil membangun sebuah monumen integrasi yang dapat dilihat dan diwariskan sampai kini kepada pewarisnya dan bangsa ini serta dunia pada umumnya. Monumen tersebut adalah Puri Amlapura yang kini menjadi Puri Agung Karangasem. Penulis sengaja memberi penghargaan khusus kepada peninggalan arsitektur besar ini sebagai sebuah monumen integrasi, karena melalui karya-karya arsitektur inilah tercermin dan terkandung langkah-langkah nyata ke arah pembentukan sebuah integrasi, baik dalam arti umum ataupun khusus (integrasi bangsa, integrasi kebudayaan, maupun integrasi kelompok) ke dalam kesatuan wadah negara yaitu Kerajaan Karangasem.
Raja ini dikenal memiliki kemampuan rangkap hampir di segala bidang ilmu pengetahuan dan strategi kebijaksanaan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan. Maka tidak salah kalau beliau disebut sebagai seorang politikus, budayawan, sastrawan, seniman dan arsitek ulung di jamannya (Wawancara dengan Anak Agung Putra Agung, 19 Oktober 2007). Khusus pada kesempatan yang terbatas ini, penulis ingin melihat dari perspektif karya arsitektur beliau dan arti penting serta makna dari karya besarnya ini.
Tokoh Pembangun Puri Agung Karangasem
Puri Agung Karangasem (dulu Puri Amlapura atau Puri Kanginan) dibangun setelah raja Karangasem Anak Agung Gde Jelantik (I Gusti Gde Jelantik) berada di bawah pengaruh kolonial Belanda sebagai Stedehouder I (1894-1908), yang dilanjutkan oleh penggantinya Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem (I Gusti Bagus Jelantik) sebagai Stedehouder II (1908-1941).
Puri Agung Karangasem ini terdiri atas beberapa bagian palebahan, namun pembagian palebahan itu lebih sederhana daripada puri-puri agung tempat persemayaman raja-raja terdahulu lainnya. Dalam hal penataan halaman Puri Amlapura tidak mengikuti pembagian Sanga Mandala, melainkan membentuk halaman dalam tiga bagian sebagai-mana terdapat pada bangunan suci Hindu (pura). Kompleks puri ini terbagi atas: halaman pertama berada pada posisi terluar (sisi barat); halaman kedua merupakan celah sempit memanjang antara halaman pertama dan ketiga; dan halaman ketiga merupakan halaman inti puri. Di halaman ketiga tersebut berdiri Gedong Maskerdam sebagai tempat tinggal raja (Munandar, 2005: 73-75).
Lebih lanjut Munandar menguraikan bahwa, halaman pertama (Jaba) terbagi atas tiga palebahan yaitu: Bancingah, Kawula Roban, dan Keramen. Bancingah sering disebut Ancak Saji dan merupakan halaman terdepan pada suatu puri, tempat tamu-tamu memper-siapkan diri untuk memasuki area puri yang lebih dalam. Pada tembok keliling sisi barat terdapat kori agung (gerbang) khas Puri Amlapura. Bentuk atap kori agung itu bertingkat tiga dan pada tiap tingkat terdapat relung (sisi dalam dan luar) yang diisi arca Ganesa. Bancingah dilengkapi dengan sepasang Bale Kembar yang berdiri mengapit jalan masuk dari kori agung pertama. Di sebelah Bancingah, yang dipisahkan tembok pembatas tinggi
terdapat palebahan Kawula Roban. Pada palebahan tersebut terdapat tempat tinggal para abdi istana (abdi dalem) yang membantu berbagai pekerjaan di dalam puri. Sisi selatan Kawula Roban merupakan palebahan Keramen, yang tidak dihubungkan dengan pintu. Karena itu, jika orang akan memasuki Keramen ia harus keluar dulu dari kompleks puri, kemudian masuk lagi lewat pintu angkul-angkul di tembok sisi barat Keramen. Sedangkan Keramen dengan halaman kedua puri dihubungkan oleh pintu yang terletak pada tembok pembatas Keramen di sisi timurnya.
Halaman kedua (Jaba Tengah), merupakan halaman sempit memanjang utara-selatan. Pada bagian utara halaman terdapat kori agung kedua yang menghubungkan halaman kedua dengan pertama. Sedangkan bagian selatan halaman kedua merupakan halaman depan bagi bangunan Gili (Bale Kambang) yang terdapat di tengah kolam. Jembatan untuk mencapai Gili terdapat di sisi barat yang menghubungkannya dengan pelataran halaman kedua. Gili adalah bangunan tanpa dinding, yang hanya dipagar kayu rendah, dan sewaktu-waktu digunakan sebagai tempat pertemuan seluruh keluarga penghuni puri. Gili dapat juga berfungsi sebagai tempat pertunjukkan kesenian dan ruang makan jika diadakan pesta menyambut tamu-tamu Belanda yang datang ke puri. Pada batas paling selatan halaman kedua terdapat bangunan Gedong Tua yang bagian depannya terbuka menghadap ke arah Gili dan dipakai untuk menonton pertunjukan seni yang diadakan di Gili, juga dipakai untuk berbagai kegiatan upacara.
Halaman ketiga, merupakan inti puri. Pada halaman ini berdiri beberapa bangunan penting, antara lain Gedong Maskerdam sebagai tempat tinggal raja. Gedong ini semula didirikan dengan tujuan untuk menerima tamu orang-orang asing, terutama pejabat-pejabat Belanda. Namanya semula adalah Gedong Amsterdam, kemudian karena diucapkan oleh penutur Bali, berubah bunyi menjadi Maskerdam, dan di gedong inilah raja tinggal (Putra Agung, 1985: 8). Tepat di depan Gedong Maskerdam terdapat Bale Pemandesan. Bangunan tersebut digunakan untuk tempat upacara potong gigi, upacara menjelang dewasa, pemberkatan perkawinan, dan bahkan dapat pula berfungsi sebagai Sumanggen (tempat persemayaman jenazah sementara). Di sisi baratnya terdapat Bale Pawedan, merupakan bangunan dengan batur tinggi sebagai tempat untuk membaca kitab-kitab suci (mabasan).
Di belakang Maskerdam terdapat Gedong Londen yang luas, bangunan itu melingkupi pula gedong lain yang dinamakan Gedong Betawi. Di sisi timur Maskerdam terdapat pula Gedong Yogya dan Ekalanga. Semua gedong di sekitar Maskerdam tersebut dihuni oleh keluarga raja (istri-istri raja beserta putra-putrinya). Di sisi timur Gili, satu deret dengan Gedong Yogya dan Ekalanga, terdapat pula Jero yang dihuni para keluarga dekat raja lainnya. Pada sudut tenggara (kelod kangin) kompleks puri terdapat Pamerajan Puri Amlapura yang tidak terlalu luas.
Anak Agung Gde Karangasem merupakan seorang raja yang mempunyai pengaruh di kalangan masyarakat dan disegani oleh raja-raja di Bali maupun para pembesar Belanda. Sejak awal menjalin kontak dengan pejabat pemerintah Belanda, ia telah mengetahui banyak hal tentang keadaan di Eropa dari orang Belanda yang berkunjung kepadanya. Hal ini menumbuhkan suatu keyakinan pada dirinya bahwa peradaban Barat akan dapat membawa kemajuan di kerajaan Karangasem (Putra Agung, 1996: 245).
Raja ini adalah seorang pemimpin yang mudah menerima pembaharuan sehingga pembangunan di Kerajaan Karangasem berjalan baik tanpa mengalami hambatan yang berarti. Setiap utusan Belanda yang datang kepadanya selalu menanyakan kemajuan-kemajuan yang sedang dialami di negaranya, dan memberi informasi rencana pembangunan
oleh pemerintah Belanda. Melalui informasi dari utusan orang Belanda itu ia berkeyakinan bahwa peradaban Barat yang dibawa pejabat Belanda ke daerahnya, akan memajukan negerinya (Karangasem). Buah pemikiran seperti itu ia tanamkam pula kepada kemenakannya I Gusti Bagus Jelantik (Stedehouder II) yang ia tunjuk sebagai penggantinya (Putra Agung, 1996: 292). I Gusti Bagus Jelantik kemudian bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem.
Seperti pendahulunya, I Gusti Bagus Jelantik juga adalah seorang tokoh yang mempunyai pengaruh di kalangan masyarakat dan disegani oleh raja-raja di Bali maupun para pembesar Belanda. Bagi pejabat kontrolir Belanda yang mulai bertugas di Karangasem pasti mendapat perintah dari Residen Bali Lombok, agar pertama-tama menghadap dan harus menemui I Gusti Bagus Jelantik (Stedehouder II) dan baru kemudian menghadap I Gusti Gde Jelantik (mantan Stedehouder I). Maksud perintah itu tidak lain agar kontrolir dapat menjalin kerja sama yang baik dengan kedua tokoh penguasa itu, di samping juga untuk memaparkan rencana pembangunan di Karangasem (Putra Agung, 1996: 286).
Hal yang menarik bagi penulis adalah adanya sebutan yang bercorak Barat (Eropa) dan bercorak Indonesia pada beberapa bangunan puri. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh Barat khususnya Belanda masuk ke Karangasem dan merasuknya semangat nasionalisme dan internasionalisme pada pemimpin Karangasem ini. Penghargaan terhadap nama kota Belanda ini diberikan oleh Anak Agung Gde Jelantik, untuk mengingat dan merayakan ikatan persahabatan kedua negara, sebagai rasa terima kasih atas kepercayaan penuh yang diberikan oleh Pemerintah Belanda kepada dirinya sebagai Stedehouder I, serta dampak kemajuan di berbagai bidang pembangunan yang telah berhasil dilakukan di Karangasem.
Demikian pula dengan nama-nama kota Indonesia diberikan sebagai semangat nasionalisme yang telah tumbuh dan mulai terlihat sejak ia menganjurkan perdamaian dan kerjasama kepada Raja Mataram terhadap Belanda pada saat Perang Lombok, untuk menghindari korban jiwa sia-sia para pejuang bangsa melawan kekuatan senjata modern Belanda. Walau taruhannya, di kalangan orang-orang Bali garis keras ia dikira memihak Belanda. Pandangan luas dan cara-cara damai (diplomasi) yang ia kobarkan dalam membangun bangsa menunjukan kelas kenegarawanan dan pandangan internasionalis-menya, sehingga pemerintah Belanda merasa segan dan berterima kasih serta mengangkat beliau sebagai Stedehouder (Bandingkan dengan pendapat A. De Wit dalam Putra Agung, 1996: 303).
Keyakinan itu kemudian menjadi kenyataan, terbukti pada tahun 1909 dengan anggaran keuangan pemerintah Belanda sebesar f. 7500, berhasil dibangun sebuah jembatan dan beberapa buah gedung, yaitu: kantor Pos, rumah Kontrolir, dan asrama tentara. Pemerintah Belanda juga membangun jalan yang menghubungkan kota Amlapura (Karang-asem) dengan kota lainnya, yaitu: 1) dengan kota Singaraja melalui jalur: Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Tejakula, Kubutambahan; 2) dengan kota Klungkung melalui dua jalur, yaitu: jalur pertama, Bugbug, Manggis, Ulakan, Kusamba, Klungkung; jalur kedua, Bebandem, Sibetan, Duda, Sidemen, Talibeng, terus ke kota Klungkung. Pada masa kontrolir C. De Wit (1915-1920) juga dibangun jalan raya yang menghubungkan kota Karangasem dengan distrik Bugbug dan Manggis. Dengan dibangunnya jalan tersebut maka sesuai dengan tujuan utamanya, dapat memperlancar komunikasi dan jalannya administrasi pemerintahan, mempermudah pengangkutan hasil pertanian dan perkubunan antar tempat atau kota, yang menyebabkan meningkatkan ekonomi di distrik-distrik (Putra Agung, 1996:
246-249).
Arsitektur Puri Agung Karangasem
Dari segi arsitektur Puri Agung Karangasem pada beberapa bangunannya mempunyai gaya dan corak hiasan yang menunjukkan kena pengaruh kebudayaan Tiongkok dan kebudayaan Barat. Pada masa pemerintahan I Gusti Gde Jelantik di Karangasem (raja Anak Agung Gde Karangasem), tercatat ada 19 orang penduduk Tionghoa, di antaranya ada yang pandai di bidang ilmu bangunan (Cik A. Tuang?), dan seorang lagi diangkat sebagai syahbandar di Pasir Putih, bernama Yap Sian Liat. Untuk tempat menerima tamu Belanda seperti residen, kontrolir dan lain-lainnya, Gusti Gde Jelantik membuat bangunan gaya Barat dengan pintu bercorak ukiran Tiongkok yang diberi nama Amsterdam, kemudian diucapkan dengan lafal Bali menjadi ”Maskerdam”. Beberapa bangunan yang dibuat kemudian diberi nama Gedong Betawi, Gedong Yogya, Londen (London) menunjukkan nama-nama kota negeri Belanda dan Inggris serta Jawa.
Raja ini juga membuat bancingah baru sekaligus dipakai kantor dan tempat menyimpan barang-barang. Yang unik lainnya dari bangunan di Puri Agung Karangasem adalah dibangunnya sebuah gili, yaitu sebuah bangunan yang berada di tengah-tengah kolam disebut Pepelik. Di salah satu sudut bancingah didirikan sebuah bangunan tinggi disebut Lembu Agung atau Bale Tegeh, yang diperuntukkan sebagai tempat melepaskan lelah bagi raja dan keluarganya (Putra Agung, 1996: 207-208).
Untuk keperluan pembangunan puri dan taman, raja memelihara beberapa seniman ukir di Puri, baik sebagai pemahat atau pematung di samping beberapa orang ahli bangunan. Mereka diberi tanah pecantu yang terdiri atas sawah dan perkebunan. Pembuatan taman merupakan kegemaran raja-raja Karangasem dan Lombok. Peninggalan berupa taman dari raja Karangasem yang dapat diwarisi sampai kini yaitu: Taman Sitisrengga, Taman Ujung Sukasada, Taman Sekuta dan yang terakhir taman Tirtha Gangga, sedangkan di Lombok terdapat Taman Mayura dan Taman Narmada (Putra Agung, 1996: 215).
Pembangunan Puri Agung Karangasem sekitar tahun 1900-an sampai 1920-an, dilanjutkan oleh I Gusti Bagus Jelantik sebagai raja yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem, dengan mengambil arsitek dari orang Belanda dan orang Tionghoa yang ada di Karangasem, tetapi ide-ide dan kendali tetap berada pada raja sebagai arsitek. Sedangkan para pekerjanya diambil dari para tukang dan sangging masyarakat Bali Karangasem sendiri. Raja ini sangat tertarik dengan masalah inovasi arsitektur dan merupakan tokoh yang pertama mengadopsi struktur modern (Eropa) dan ornamen Tiongkok ke dalam arsitektur Bali. Berkat ide-ide besar beliaulah kemudian lahir karya-karya arsitektur inovatif pertama dan beberapa unsur inovasi ini kemudian mampu memberi kontribusi bagi keberadaan arsitektur tradisional Bali keseluruhan. Salah satu kontribusi tersebut adalah: a) diperkenalkannya penggunaan struktur modern ke dalam arsitektur tradisional Bali; b) diperkenalkannya kembali ornamen asing (baru) yang disebut Mesir dan Cina serta Sae. Sebenarnya bentuk motif Cina dan Sae ini telah pernah diperkenalkan di Bali pada masa pemerintahan Bali Kuna oleh seniman-seniman Tionghoa, seperti ditemukan pada peninggalan purbakala dari abad XII, yaitu Gapura Pura Dalem Balingkang, Sukawana, Kintamani, Bangli, tetapi gaungnya belum meluas ke penjuru Bali.
Nama mesir dan cina diberikan oleh arsiteknya, tidak ada hubungannya dengan pengaruh dari Mesir atau Tiongkok sebagai negara, tetapi hanya sebuah nama yang diberi
oleh arsiteknya untuk pengenal bentuk-bentuk tersebut, yang kemudian di Bali dikem-bangkan atau dimodifikasi lebih lanjut oleh para undagi, tukang dan sangging dan diberi nama patra mesir dan patra cina serta karang sae. Dengan demikian, boleh dibilang dari Puri Agung Karangasemlah awal lahirnya kembali bentuk motif asli Tiongkok Patra Cina dan Patra Mesir serta Karang Sae, yang kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ornamentasi arsitektur tradisional Bali (Wawancara dengan Anak Agung Putra Agung, 19 Oktober 2007).
Lebih lanjut Anak Agung Putra Agung mengatakan bahwa “adalah wajar kalau bentuk-bentuk Patra Cina seperti di Bali ini tidak dapat ditemukan di negeri Tiongkok, dan demikian pula dengan Patra Mesir tidak ditemukan di negeri Mesir, karena nama Cina dan Mesir itu hanya suatu nama dari bentuk ornamen yang diberikan oleh arsitek/senimannya yang berasal dari keturunan etnis Tionghoa (Cina) Karangasem, yang membangun Puri Agung Karangasem. Terlebih lagi bentuk-bentuk yang bernama Cina dan Mesir ini telah mengalami transformasi di tangan para undagi, sangging Bali di masa kemudian, sehingga bentuk-bentuknya sudah menjadi khas Bali, walau inspirasinya tetap berasal dari karya-karya arsitek sekaligus seniman Tionghoa Karangasem yang mengerjakan Puri Agung Karangasem.
Jadi, tidaklah tepat kalau kemudian Patra Mesir disebut pengaruh yang datang dari negara Mesir, tetapi kalau disebut pengaruh seniman Tionghoa (Cina) mungkin ada benarnya, karena arsitek atau seniman yang melahirkan bentuk-bentuk itu di Bali berasal dari keturunan etnis Tionghoa, yang telah lama menjadi warga Bali tepatnya Karangasem, tetapi bukan pengaruh Cina sebagai negara”.
Kalam (1988: 19-21) melihat, nilai-nilai ragam hias lama di Puri Agung Karangasem sudah merupakan bentuk-bentuk karya tradisi yang telah melahirkan identitas puri Amlapura. Pada masa lalu, kerajaan (puri) merupakan pusat berbagai jenis kehidupan sosial dan kebudayaan. Aspek sosial puri dapat dilihat dari berbagai fungsi, antara lain: perlindungan keamanan, kesejahteraan hidup, permusyawaratan, penyelenggaraan seni hiburan, tempat mengabdi. Sedangkan aspek budaya puri dapat dilihat dari berbagai fungsi, antara lain: tempat pengembangan berbagai jenis kesenian, tempat mempelajari sejarah, tempat meneliti hasil-hasil kebudayaan masa lalu, tempat rekreasi.
Di dalam bangunan puri terlihat bahwa, penampilan hiasan-hiasan dalam berbagai bentuknya, pada hakekatnya merupakan cermin dari aktivitas kepemimpinan. Di samping itu, puri juga sebagai alat komunikasi yaitu mencerminkan unsur-unsur pendidikan dan mengagungkan identitas serta kewibawaan di lingkungan bangunan puri. Puri dapat memotivasi perkembangan ragam hias dan selanjutnya dapat lebih dikembangkan di luar lingkungan puri. Karena itu puri dapat menjadi sumber potensial bagi penggalian nilai-nilai tradisi yang menjadi akar kepribadian dan kebudayaan bangsa.
Menurut Kalam (1988: 15-16), orang-orang yang mengerjakan atau pemahat motif-motif hiasan di puri Amlapura (Puri Agung Karangasem) tersebut memang sengaja ditatangkan dari negeri Tiongkok dan Balanda. Motif hiasan style Tiongkok, dengan jelas dapat dijumpai pada pintu masuk bangunan Gedong Maskerdam dengan ciri-ciri spesifik sebagai berikut: a) Bentuknya berupa relief dengan teknik pahatan krawangan; b) Obyek yang dipahatkan berupa motif binatang, tumbuhan, manusia dan awan-awanan; c) Susunan komposisi bidang dan garis-garisnya serba simetris; d) Bidangnya penuh dengan motif hias; e) Bentuk karakter hiasan yang dipahatkan mencerminkan keadaan negeri Tiongkok, tercermin dari beberapa ciri pada nama ornamen di bawah ini sesuai hasil penelitian Kalam
dan kawan-kawan.
Patra Cina di Puri Agung Karangasem, bentuknya memperlihatkan pengaruh unsur kebudayaan negeri Tiongkok asli, terdapat pada hiasan dinding dan daun-daun pintu gedong Maskerdam. Patra Cina ini merupakan bentuk stiliran dari kembang sepatu, yang dalam pengolahan batang, daun dan bunganya dibuat dengan garis tegas sehingga mencerminkan pola yang konstruktif (Kalam, 1988: 10).
Karang Sae di Puri Agung Karangasem bentuknya juga memperlihatkan pengaruh unsur kebudayaan negeri Tiongkok asli, yang dapat dibedakan dari bentuk karang sae yang biasa dilihat di daerah-daerah Bali lainnya. Karang sae tersebut wujudnya montok dan kesan garisnya lebih tegas. Karang sae yang merupakan stilirian kepala kelelawar, diyakini mempunyai kekuatan gaib untuk menjaga rumah di malam hari, agar mendapatkan keselamatan, oleh karena binatang kelelawar selalu terjaga dan waktu kegiatannya di malam hari (Kalam, 1988: 11).
Berbagai Makna di Balik Arsitektur Puri Agung Karangasem
Pembangunan Puri Agung Karangasem oleh Anak Agung Gde Karangasem dan Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem, dimanfaatkan sebagai momen untuk menciptakan sebuah monumen integrasi, yang berusaha memadukan unsur arsitektur Belanda, Tionghoa di Bali dengan arsitektur Bali. Unsur arsitektur Belanda yang dipakai lebih memilih struktur modernnya yang kuat, agar dapat bertahan lama sehingga dapat dilihat dan diwarisi oleh generasi mendatang. Unsur arsitektur Tionghoa yang dipilih untuk bangunan-bangunan utama lebih pada ornamentasinya, dan pada beberapa bangunan penunjang juga mengarah ke bentuk struktur. Kedua unsur arsitektur asing (baru) ini diintegrasikan untuk menampilkan wajah Bali, yang boleh dibilang sebagai arsitektur modern Bali awal.
Dilihat dari segi struktur bangunan, hampir semua bangunan utama memakai struktur modern dengan ornamen Tiongkok dan Bali terutama bagian pintu dan jendelanya, antara lain: Gedong Maskerdam, Bale Pelayonan/Sumanggen, dan Bale Pawedan. Sedangkan yang memakai struktur sekalian ornamen Tiongkok ada beberapa bangunan antara lain: Bale Bengong dekat kolam Bale Kambang, pintu masuk (Angkul-angkul di tembok timur Keramen yang menuju jaba tengah di depan bale bengong Tiongkok), Angkul-angkul jaba sisi merajan menghadap ke barat, Gedong Tua (hampir hancur) di selatan kolam menghadap ke Bale Kambang (ke arah belakang menghadap jaba tengah merajan). Sedangkan, bentuk integrasi yang inpirasinya mirip arsitektur pagoda Tiongkok dan Candi India atau Jawa adalah bangunan pintu gerbang utama di Jaba Sisi Puri Agung Karangasem.
Penulis melihat integrasi arsitektur ini memiliki makna penting, sebagai berikut: pertama, terwujudnya wadah integrasi bangsa atau negara dalam hal ini Kerajaan Karangasem; kedua, terwujudnya integrasi budaya di kalangan masyarakat yang berbeda budaya di Karangasem; ketiga, terwujudnya integrasi kelompok yang saling berbeda asal ras dan budaya di Karangasem. Semua ini adalah cermin dari kemampun seorang pemikir dan penguasa Anak Agung Gde Karangasem dan Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem dalam membaca fakta sejarah, akan arti penting dari keberadaan kesemua itu bagi eksistensi kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan negara kerajaan Karangasem.
Keberadaan dan kemegahan Puri Agung Karangasem ini dapat menjadi pertanda terjalinnya hubungan baik antara pemerintah Belanda dengan pemerintah kerajaan Karangasem dan telah membawa kemajuan yang sangat berarti terhadap perkembangan perekonomian puri ataupun rakyat Karangasem secara keseluruhan. Kemegahan puri itu juga tanda dari hubungan baik raja dengan para saudagar Tionghoa Karangasem. Ini juga menjadi cermin kemampuan raja dalam mengetahui secara persis peranan para pedagang Tionghoa dan mampu memanfaatkan untuk mempercepat kemajuan ekonomi kerajaan dan rakyat Karangasem.
Seperti telah diketahui semua, bahwa sejak zaman lampau, yang menempati posisi sangat penting dalam memobilisasi perdagangan di Bali adalah para pedagang Tionghoa. Raja memandang perlu memanfaatkan keberadaan etnis Tionghoa di wilayahnya untuk berpartisipasi dalam membangun puri, agar lambat laun terjadi kedekatan hubungan budaya antara etnis pribumi dan Tionghoa. Oleh karena itu, raja Karangasem tetap menganggap penting peran pedagang Tionghoa dalam memutar roda ekonomi puri dan masyarakat Karangasem, dalam rangka alih pengetahuan perdagangan kepada masyarakat Bali sendiri di kerajaan Karangasem.
Ini mencerminkan Anak Agung Gde Karangasem dan Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem telah mengetahui fakta sejarah, tentang kedudukan penting para pedagang Tionghoa dalam sistem perdagangan Bali. Bukti-bukti peran itu nyata, seperti ditulis Pageh (1999: 8) tentang Peranan Pedagang Tionghoa di Bali di masa lampau, dibuktikan dengan melihat masih adanya sebutan subandar, yang sudah dikenal sejak masa pemerintahan raja-raja Bali Kuna dari abad XII. Ada yang menafsirkan kata subandar berasal dari istilah syahbandar artinya orang yang memegang kekuasaan di pelabuhan. Peranan itu rupanya menurut Pageh tetap bertahan sampai periode antara pertengahan abad XIX dan awal abad XX, seperti dapat dilihat pada pengangkatan syahbandar oleh Anak Agung Gde Karangasem di Pasir Putih, bernama Yap Sian Liat. Hal ini bisa terjadi karena dilatarbelakangi oleh beberapa kelebihan yang telah dimiliki orang-orang Tionghoa, seperti: a) kemampuan dan pengalaman di bidang managemen; b) penguasaan jaringan perdagangan yang luas di Asia Tenggara; c) kemampaun permodalannya; dan penulis tambahkan dengan d) kemampuannya melakukan pendekatan/kerjasama dengan penguasa pribumi ataupun asing setelah berkuasanya kolonial Belanda.
Kerjasama antara raja-raja Bali dengan para pedagang Tionghoa di masa Bali Kuna sampai abad ke XIX terutama sangat berkaitan dengan pengelolaan pelabuhan-pelabuhan di wilayah kekuasaan raja-raja Bali. Pada waktu itu hampir semua pelabuhan di Bali berada dalam kekuasaan hak monopoli pedagang Tionghoa. Pelabuhan-pelabuhan pantai Bali ini dapat dikuasai oleh para pedagang Tionghoa, yang menurut Pageh dengan cara menyewa dari raja yang menguasai wilayah sekitarnya. Para pedagang Tionghoa biasanya menjadi pelaku perdagangan antar pulau, disamping juga menjabat sebagai syahbandar. Jabatan penting ini dapat mereka raih karena mereka dapat mengambil hati raja, disamping juga telah dipercaya memiliki kelebihan-kelebihan seperti telah disebutkan di atas. Pada jaman itu, alat sewanya biasanya memakai barang, berupa sejumlah Candu (Opium). Berdasarkan kontrak dengan penguasa (raja), syahbandar Tionghoa dapat memegang kendali di pelabuhan, karena itu seluruh barang keluar-masuk pelabuhan harus mendapat izin darinya.
Lanjut Pageh, dijadikannya candu sebagai ukuran sewa pelabuhan ketika itu dapat menggambarkan bahwa, barang candu sangat mahal dan sebagai komunitas penting di Bali. Candu didatangkan dari Tiongkok dan Singapura melalui perdagangan gelap. Pemasukan
candu ke Buleleng saja pada abad XIX setiap tahun sekitar 300 peti. Kemudian dari Buleleng disalurkan ke wilayah lain seperti Karangasem dan Tabanan. Cukai dari impor candu dapat dihitung, yaitu 300 peti sama dengan 12.000 bola. Setiap bola kena cukai 500 kepeng bolong, sehingga cukai masuk sebanyak 6.000.000 kepeng atau seharga fl 15.000, belum terhitung cukai barang lain seperti kain sutera, lenen, gambir, besi dan perhiasan emas (Waanders, 1859: 14; Hanna, 1976:64; Pageh, 1999: 13-14).
Suatu fakta, diperlukannya kehadiran orang-orang Tionghoa, juga dibuktikan dari hasil penelitian Dwipayana (2001: 101-104) yang menyatakan bahwa, sektor perdagangan pada waktu itu berada di tangan orang-orang Tionghoa, Mandar dan Bugis. Dengan kapal-kapal kecil mereka berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Bali Selatan (seperti Kuta), pantai timur (seperti Amed, Padangbai dan Bias Putih), pantai barat dan utara Bali (seperti pelabuhan Buleleng, Sangsit dan Temukus). Pedagang-pedagang luar etnis Bali ini mendatangkan barang-barang dari luar Bali yang dibutuhkan oleh masyarakat Bali pada waktu itu, seperti: candu, gambir, tekstil, uang kepeng (yang merupakan alat pembayaran sah di Bali), barang-barang besi, mesiu dan senjata api. Barang-barang tersebut mereka tukar dengan barang-barang hasil bumi dan produksi masyarakat Bali, misalnya beras, minyak, kelapa, tembakau, kulit sapi, kapas, telor asin, dendeng dan kain tenun Bali.
Lanjut Dwipayana, adanya dominasi perdagangan di tangan orang-orang Tionghoa, Mandar dan Bugis disebabkan oleh karena penduduk Bali pada masa itu memang tidak berminat untuk berpijak hidup di dunia perdagangan. Mereka adalah petani-petani yang mengerjakan sawah dan ladang atau mengabdi kepada rajanya, yang membutuhkan tenaga mereka untuk membangun pura-pura atau pun puri-puri. Dan, mereka juga direkrut sebagai prajurit-prajurit bagi pasukan raja-raja untuk menghadapi peperangan yang sering terjadi di antara raja-raja Bali pada waktu itu, bahkan ada juga yang dijual sebagai budak.
Candu merupakan komoditi yang sangat banyak dijual di Bali oleh pedagang Tionghoa, Mandar dan Bugis, oleh karena menghisap candu merupakan suatu hal umum di Bali pada waktu itu. Diperkirakan impor candu yang masuk Bali lebih dari 100 sampai 125 peti, yang tiap peti berisi 40 bola candu dengan harga fl. 72 sampai fl. 80 perbola. Uang kepeng (pitjes) sebagai barang perdagangan yang sangat penting di Bali pada waktu itu, banyak didatangkan dari daratan Tiongkok disebabkan karena harganya di daratan Tiongkok jauh lebih murah daripada di Bali. Dengan uang satu ringgit dapat dibeli 600 sampai 700 kepeng di daratan Tiongkok, sedangkan di Bali satu ringgit berharga 900 sampai 1400 kepeng pada waktu itu.
Beras-beras dan barang dagangan lainnya dari Bali diangkut oleh orang-orang Tionghoa, Mandar dan Bugis ke Singapura, yang sangat membutuhkan beras. Sebaliknya, barang-barang yang diimpor ke Bali, seperti candu dan uang kepeng didatangkan dengan kapal-kapal kecil oleh pedagang Tionghoa, Mandar dan Bugis dari pelabuhan-pelabuhan di Singapura. Raja-raja Bali sebagai pemilik pelabuhan di wilayahnya, memperoleh pengha-silan dari perdagangan ini (yang dapat dipakai untuk membangun pura-pura dan puri-purinya ataupun membiayai peperangan antar kerajaan yang kerap terjadi). Tiap-tiap barang yang keluar dan masuk dikenai upeti atau cukai, yang pemungutannya diserahkan kepada seorang petugas yang disebut ”Subandar” atau juga disebut ”Syahbandar”. Petugas ini biasanya orang Tionghoa yang bermukim di kerajaan itu, yang diberi hak oleh raja untuk memungut cukai. Subandar menyerahkan sebagian dari hasil cukai kepada raja atau ia menyerahkan sejumlah tertentu uang setiap tahun kepada raja sebagai ganti rugi dari hasil
yang diperoleh dari cukai. Seringkali subandar diberi hak monopoli untuk mengimpor beberapa barang tertentu, untuk itu subandar harus memberikan ganti rugi kepada raja.
Dengan demikian, jelaslah pada jaman pemerintahan kerajaan di Bali para pedagang Tionghoa telah mempunyai suatu kedudukan yang istimewa sebagai subandar, yang sebenarnya memberikan kekuasaan kepada mereka untuk menguasai perdagangan Bali. Dari kasus ini, dapat dimengerti betapa diperlukannya kehadiran para pedagang Tionghoa di Bali dan di Karangasem khususnya. Namun dari sisi lain Pageh juga melihat bahwa dilema perekonomian bisa ditemukan sepanjang zaman. Untuk mengembangkan perekonomian yang memasuki jaringan luas, banyak orang percaya bahwa kehadiran orang Tionghoa sangat dibutuhkan. Tetapi di lain pihak, orang-orang Tionghoa sangat eksklusif dalam budaya dan perkawinan dengan lingkungannya, sehingga menyulitkan terjadinya akulturasi budaya secara wajar.
Dari uraian Pageh dan Dwipayana di atas penulis dapat berasumsi bahwa rupanya masalah integrasi dan akulturasi inilah yang mau diatasi oleh raja Karangasem, dengan mendekatkan keberadaan kaum Tionghoa kepada masyarakat Karangasem khususnya kaum Puri, agar tidak terjadi kesenjangan sosial di masyarakat Karangasem, di samping untuk tujuan kemudahan mengontrol dan mengayomi keberadaan orang-orang Tionghoa di Karangasem.
Integrasi dan akulturasi ini tidak menjadi masalah bagi orang Tionghoa karena kebanyakan orang Tionghoa menganut kebudayaan Tao, Budha dan Konghucu (Tri Dharma) yang filsafat-filsafatnya tidak jauh berbeda dari agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat Bali. Kemudian, sukses orang Tionghoa dalam bidang ekonomi juga disebabkan karena kepatuhan orang Tionghoa terhadap penguasa, mengutamakan harmoni, sifat kekeluargaan, dan rasa hormat terhadap yang lebih senior dan sebagainya, yang menjadi inti ajaran Tao, Budha dan Konghucu (Tri Dharma). Kebudayaan (Konghucuisme) dan ras Tionghoa itu melahirkan strategi bisnis dan praktik manajemen yang unggul, yang akhirnya membawa mereka ke jalan kejayaan seperti dikatakan oleh Limlingan (dalam Suryadinata, 2002: 201).
Raja Karangasem Anak Agung Gde Karangasem dan Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem berhasil memanfaatkan situasi/kondisi ini untuk kemajuan kerajaan atau puri, dan sekaligus untuk mengangkat perekonomian rakyat Karangasem. Dengan adanya integrasi, akhirnya diharapkan terjadi pengaruh terhadap minat dan alih pengetahuan serta profesi perdagangan ke masyarakat pribumi Karangasem secara damai dalam koridor kerja sama saling menguntungkan dan hidup berdampingan dalam kebersamaan, ”saling asah, asih, asuh, sagilik saguluk salulung sabayantaka” kata pepatah Bali (Dwipayana, 2001: 89). Sumber Dana Pembangunan Kerajaan Karangasem
Perlu diketahui, struktur ekonomi utama pada masa kerajaan di Bali adalah bersifat agraris. Dengan demikian sebagian besar penduduk Bali pada masa itu hidup bertani seperti bercocok tanam, berladang dan memelihara ternak, entah sebagai pemilik tanah ataupun sebagai penggarap tanah puri, sehingga membutuhkan para pedagang Tionghoa untuk memasarkan hasil buminya ke luar daerah, di samping untuk memenuhi kepentingan ekonomi kelas puri. Aernoutdt Lintgens (Dwipayana, 2001: 90) menceritakan, pada tahun 1597 penduduk Bali kelihatan sangat sejahtera dan nampaknya cukup makan, karena banyak dilihat sawah yang menghasilkan padi dan bahan makanan lainnya untuk konsumsi.
Di Bali ditanam kapas yang dijadikan benang oleh penduduk untuk kemudian dijadikan kain untuk dijual kepada pedagang asing yang tiba di Bali. Yang menyolok, sebagian besar penduduk desa di Bali, terutama wanitanya mencari nafkah sambilan sebagai pedagang kecil, nelayan, tukang atau perajin, yang dikembangkan secara tradisional. Pekerjaan ini dilakukan bila tidak ada pekerjaan di sawah atau ladang.
Dwipayana juga melihat, dalam bidang perdagangan kelas puri menguasai pertu-karan dan memonopoli perdagangan asing melalui kontrak dengan orang-orang Tionghoa. Tiap-tiap barang yang keluar dan masuk pelabuhan dikenakan upeti atau cukai, yang pemungutannya diserahkan kepada petugas yang disebut Subandar, yang biasanya diangkat dari orang Tionghoa yang bermukim di kerajaan tersebut. Subandar menyerahkan sejumlah uang tertentu setiap tahun kepada raja sebagai ganti rugi dari hasil yang diperoleh dari cukai. Ekspor utama dalam perdagangan kerajaan di Bali adalah kopi, dan impor utama adalah candu, yang dilaksanakan seorang Tionghoa kaya raya yang disebut Syahbandar, yang mendapatkan hak monopoli kerajaan sesuai dengan upeti yang dibayarnya. Dan orang Tionghoa lainnya, yang sedikit jumlahnya bertindak sebagai agen-agennya.
Dengan demikian, sumber pendapatan kerajaan Karangasem seperti juga kerajaan-kerajaan di Bali pada umumnya, diambil dari: 1) denda dari orang yang melanggar undang-undang atau paswara yang dibuat oleh raja; 2) penjualan budak; 3) peninggalan warisan dari orang yang camput, yaitu tidak mempunyai keturunan; 4) pajak sawah (pajeg) yang ditarik tiap tahun; 5) kekayaan kerajaan (druwe) yang sebagian besar terdiri atas sawah-sawah yang dikerjakan oleh penduduk sebagai penyakap (penggarap) dengan mendapat imbalan sepertiga dari hasil sawah yang dikerjakan; 6) pajak pemasukan dan pengeluaran hasil bumi; 7) pajak pelabuhan; 8) perampasan barang-barang dari kapal atau perahu yang terdampar di pantai, yang disebut hak ”tawan karang”; 9) hasil penjualan candu. Adanya pendapatan dari hasil penjualan candu diketahui dari hasil laporan perdagangan tahun 1887 yang menyebutkan bahwa, di Tianyar ada sebuah pabrik candu kepunyaan orang Tionghoa bernama Oei Soen Tjoe, dan raja Karangasem menempatkan seorang bandar Tionghoa di pelabuhan Culik untuk mengawasi perdagangan candu (Putra Agung, 1996: 195-196).
Lebih lanjut Putra Agung menyebutkan, pada masa pemerintahan I Gusti Gde Putu, I Gusti Gde Oka dan I Gusti Gde Jelantik (Stedehouder I), semua penjualan candu di bangsal-bangsal yang ada di seluruh pelabuhan dihentikan, dan penjualannya dipusatkan di kota. Raja melarang orang memperdagangkan candu lewat laut, kecuali sebagai bekal bagi mereka yang berlayar dari Karangasem ke Lombok. Semua hasil pajak pelabuhan dan perdagangan candu diurus oleh I Gusti Gde Jelantik. Di samping perdagangan candu, ada beberapa jenis barang dagangan yang boleh diperjual-belikan kepada subandar-subandar yang ada di Amed, Ujung, Tianyar, Padang, Mantu, dan Mandira, yaitu: kelapa, minyak, kulit, lemak sapi, kopi, garam, daun ental (rontal), tikar, kulit pohon pace, kapas, apyun (candu), besi, ara, gambir, kayu ketewel, kayu cendana, kayu tehep, kayu cempaka, dan kayu majagahu. Apabila ada orang yang melanggar ketentuan di atas, orang itu dapat didenda sesuai dengan paswara (peraturan hukum kerajaan). Pendapatan kerajaan dari hasil denda merupakan salah satu pemasukan yang cukup besar, karena dalam paswara-paswara banyak ketentuan-ketentuan pelanggaran yang dapat dikenakan hukuman denda.
Dijadikannya candu sebagai salah satu komoditi perdagangan di Karangasem pada masa itu disebabkan karena bangsawan Karangasem dari tingkat keluarga raja sampai tingkat punggawa, pada umumnya senang mengisap candu. Kegemaran menghisap candu pada waktu itu sudah menjadi salah satu simbol yang dapat dipakai untuk menunjukkan
gaya hidup seseorang atau kedudukan kelasnya sebagai bangsawan. Akibat ramainya transaksi perdagangan candu, maka di Kerajaan Karangasem ada sampai tiga pelabuhan sebagai tempat jual-beli candu, yaitu: Pasir Putih, Tianyar dan Culik. Ketiga pelabuhan tersebut dikelola oleh syahbandar Tionghoa. Pada tahun 1877 harga candu di Tianyar f. 200 per peti, di Culik f. 150 per peti, dan di Karangasem sebagai tempat pengecer candu, f. 25 per kotak (Putra Agung, 1996: 215).
Penutup
Dengan memahami arti sejarah dan makna arsitektural dari Puri Agung Karangasem, maka keberadaannya saat ini dapat dilihat sebagai sebuah monumen integrasi, baik dalam arti luas (mencakup segala bidang kehidupan politik, ekononomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan) ataupun arti sempit (arsitektur itu sendiri). Monumen integrasi ini merupakan cermin dari kepemimpinan seorang tokoh negarawan besar, yang memiliki pandangan realistis dan mampu bersikap bijaksana terhadap keadaan bangsanya dimasa lampau. Beliau adalah Anak Agung Gde Jelantik (I Gusti Gde Jelantik), raja besar pada masanya, sehingga dihargai dan dihormati oleh lawan maupun kawan, dengan diangkatnya beliau sebagai perwakilan pemerintahan Belanda di Bali (Stedehouder I), suatu kedudukan yang lebih tinggi dari raja-raja Bali lain di masa itu.
Beliau berani mengorbankan harga diri (dianggap berpihak pada musuh) untuk menyelamatkan ribuan nyawa para pemimpin negeri dan rakyatnya (yang masih dalam keadaan emosi) dari kematian sia-sia akibat ketidakseimbangan persenjataan kolonial Belanda di masa itu. Ia memilih jalan diplomasi untuk membangun negaranya dalam mencapai kemajuan yang dicita-citakan, untuk bisa sejajar dengan kemajuan yang telah dicapai negara Barat. Demikian pula di bidang ekonomi, secara realistis ia mampu melihat keberadaan saudagar dan syahbandar Tionghoa dalam memutar roda ekonomi negeri, dan mampu memanfaatkan keberadaan mereka untuk membangun puri dan ekonomi negerinya, sekaligus nantinya sebagai bentuk alih profesionalisme secara damai ke penduduk pribumi. Keyakinan ini ia tanamkan juga kepada calon penggantinya yang ia persiapkan dengan matang tentang wawasan nasionalisme dan internasionalisme. Beliau adalah Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem (I Gusti Bagus Jelantik sebagai Stedehouder II), yang juga menjadi raja paling dihormati semua pihak di masa itu.
Wawasan internasionalisme dan nasionalisme kedua raja ini tidak saja dapat dilihat dari segi politis atau kedudukan pentingnya di kalangan para pemimpin Belanda dan raja-raja Bali ataupun Indonesia di masa itu, tetapi juga tercermin dari karya-karya arsitektural puri yang ia ciptakan. Wawasan internasionalisme dalam arsitektur puri tercermin dari diserapnya teknik konstruksi modern, struktur bangunan dan ornamen asing dalam tampilan bentuk aslinya, yang dipadukan dalam bentuk integrasi arsitektur internasional nasional Bali. Bentuk-bentuk itu kemudian telah memberi inspirasi dan diserap oleh para undagi, sangging untuk menciptakan desain khas Bali, yang setelah melalui modifikasi bentuk-bentuk mirip itu sekarang diberi nama Patra Mesir, Patra Olanda dan Patra Cina serta Karang Sae. Demikian pula dengan pemberian nama-nama bangunan di kawasan purinya tidak alergi memakai nama-nama kota di Barat. Wawasan nasionalisme dalam arsitektur puri tercermin dari dominasi unsur arsitektur tradisional Bali yang juga telah dimodernisasi dalam tekniknya, dan pemberian nama-nama bangunan sesuai dengan nama-nama kota di Indonesia, selain dengan nama-nama tradisional yang telah lumrah di Bali.
Sebagai rekomendasi, kepada semua pihak yang berkepentingan terutama dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sangatlah tepat memilih Puri Agung Karangasem sebagai monumen integrasi dan dijadikan kawasan konservasi arsitektur Bali atau kawasan cagar budaya dunia, mengingat kekhasan ornamen dan teknik konstruksi serta nilai-nilai pendidikan, nilai-nilai sejarah dan nilai-nilai budaya yang dikandungnya sangat tidak ternilai harganya. Keberadaan puri ini telah memberi kontribusi yang cukup berarti bagi pengembangan arsitektur tradisional Bali, sehingga menjadi setapak lebih maju dan lebih kaya dalam menyerap berbagai unsur-unsur asing.
Daftar Pustaka:
Dwipayana, AAGN Ari. 2001. Kelas Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali. Yogyakarta, Penerbit Lapera Pustaka Utama.
Kalam, Tjidera, Subrata, Ardana, Buda. 1988. Ragam Hias di Puri Karangasem (Laporan Penelitian Dana Penunjang Pendidikan Universitas Udayana). Denpasar, Program Studi Seni Rupa dan Disain Universitas Udayana.
Munandar, Agus Aris. 2005. Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad Ke-14 s/d Abad Ke-19. Depok, Komunitas Bambu.
Pageh, I Made. 1999. Pelabuhan Temukus dan Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitarnya pada Abad XIX di Daerah Banjar Kabupaten Buleleng Bali (Artikel Majalah Ilmiah Aneka Widya No. 3 Th. XXXII Juli 1999, ISSN 0215-8250). Singaraja, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Putra Agung, Anak Agung. 1985. ”Kebudayaan Istana Amlapura”, dalam Peranan Kebudayaan Daerah Dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Jakarta, Dirjen Kebudayaan Depdikbud.
Putra Agung, Anak Agung. 1992. Birokrasi Kerajaan Karangasem (Laporan Penelitian Sumbangan Pembinaan Pendidikan Universitas Udayana). Denpasar, Universitas Udayana.
Putra Agung, Anak Agung. 1996. ”Peralihan Sistem Birokrasi Kerajaan Karangasem 1890 – 1938”. Yogyakarta, Disertasi Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada.
Sumantika, W. 2007. Interaksi Budaya Tercermin pada Ornamen. Denpasar, Bali Post Sabtu Wage, 12 Mei 2007: hal 13.
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa, Kasus Indonesia. Jakarta, Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Bali Pustaka.
Wawancara dengan Anak Agung Putra Agung (Guru Besar Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Penglingsir Puri Agung Karangasem), tanggal 19 Oktober 2007, di Puri Agung Karangasem.