• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENTANG PEDOMAN EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TENTANG PEDOMAN EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 21 TAHUN 2010

TENTANG

PEDOMAN EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999

TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan dan menjamin terselenggaranya

pemerintahan daerah pada daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara efektif, meningkatnya kualitas pelayanan publik, dan pemerataan pembangunan daerah serta percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat, perlu melakukan evaluasi daerah otonom hasil pemekaran;

b. bahwa efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah pada daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, perlu untuk diukur dan dievaluasi secara transparan dan akuntabel untuk memperoleh peta kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom hasil pemekaran dalam rangka percepatan pencapaian tujuan otonomi daerah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a

dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355;

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

(2)

6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4920);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4594);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan

Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4693);

10.Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4791);

11.Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN

EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Daerah Otonom Hasil Pemekaran yang selanjutnya disingkat DOHP adalah daerah otonom yang dibentuk setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau sebutan lainnya, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

(3)

(output), dan hasil (outcome) terhadap keberhasilan yang diharapkan.

6. Peta Kapasitas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil Pemekaran adalah pengelompokkan daerah otonom hasil pemekaran berdasarkan faktor peningkatan kesejahteraan masyarakat, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), ketersediaan pelayanan publik, dan peningkatan daya saing daerah.

7. Tim Evaluasi adalah Tim yang dibentuk Kementerian Dalam Negeri sesuai tugas dan fungsinya untuk melakukan persiapan, memfasilitasi, melaksanakan, dan menindaklanjuti hasil evaluasi daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 2

(1) Menteri melakukan evaluasi daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

(2) Menteri dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 3

(1) Tim Evaluasi Daerah Otonom Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri atas:

a. Tim Pengarah; b. Tim Pelaksana;

c. Tim Penilai Teknis; dan d. Tim Kesekretariatan.

(2) Tim Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 4

(1) Tim Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur: a. Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri;

b. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;

c. Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah; d. Direktorat Jenderal Bina Administrasi Pembangunan Daerah; e. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; dan

f. Deputi Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

(2) Unsur Tim Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Pasal 5

(1) Tim Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mempunyai tugas:

a. menyusun kebijakan, strategi, dan sasaran evaluasi DOHP setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan

b. memberikan arahan umum dan teknis kepada Tim Pelaksana, Tim Penilai Teknis, dan Tim Kesekretariatan dalam melakukan evaluasi DOHP setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

(2) Tim Pengarah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Menteri.

(4)

a. Direktorat Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;

b. Sekretariat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;

c. Direktorat Penataan Daerah dan Otonomi Khusus Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;

d. Direktorat Urusan Pemerintahan Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;

e. Direktorat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan Hubungan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;

f. Direktorat Pejabat Negara Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; g. Biro Hukum Sekretariat Jenderal;

h. Sekretariat Inspektorat Jenderal; dan

i. Deputi Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Wilayah I Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

(2) Unsur Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Pasal 7

(1) Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 mempunyai tugas:

a. merumuskan pelaksanaan evaluasi DOHP sejak proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta penanganan pasca evaluasi DOHP; dan b. melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain yang terkait demi kelancaran kegiatan

evaluasi DOHP setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

(2) Tim Pelaksana dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Tim Pengarah.

Pasal 8

(1) Tim Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c terdiri atas unsur:

a. perguruan tinggi/akademisi;

b. perwakilan dunia usaha/asosiasi profesi;

c. organisasi kemasyarakatan/peneliti/pemerhati otonomi daerah;

d. lembaga swadaya masyarakat/non government organization/ lembaga donor; dan e. perwakilan media massa (cetak dan/atau elektronik).

(2) Unsur Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Pasal 9

(1) Tim Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mempunyai tugas:

a. melakukan evaluasi DOHP setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

b. melakukan analisis kebijakan pemekaran daerah dalam kerangka penanganan pasca evaluasi DOHP;

c. merumuskan peta kapasitas penyelenggaraan pemerintahan DOHP; dan d. merekomendasikan penanganan DOHP.

(2) Tim Pelaksana Teknis dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Tim Pelaksana.

Pasal 10

(1) Tim Kesekretariatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d terdiri atas unsur:

a. Sub Direktorat pada Direktorat Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;

(5)

e. Staf pada Direktorat Jenderal Otonomi Daerah.

(2) Unsur Tim Kesekretariatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Pasal 11

(1) Tim Kesekretariatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 mempunyai tugas:

a. membantu Tim Pengarah, Tim Pelaksana, dan Tim Penilai Teknis dalam proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring-evaluasi, analisis kebijakan pemekaran daerah otonom, dan penanganan pasca evaluasi DOHP; dan

b. memberikan dukungan administratif, mendokumentasikan, dan mempublikasikan kegiatan Tim Pengarah, Tim Pelaksana, dan Tim Penilai Teknis.

(2) Tim Kesekretariatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Tim Pelaksana.

Pasal 12

Tim Pengarah, Tim Pelaksana, Tim Pelaksana Teknis, dan Tim Kesekretariatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 11 berdasarkan pedoman evaluasi daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 13

Pedoman evaluasi daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal 14

Peta Kapasitas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil Pemekaran dikategorikan menjadi 5 (lima) sebagai berikut:

a. sangat mampu;

b. Mampu;

c. Kurang Mampu;

d. Tidak Mampu; dan e. Sangat Tidak Mampu.

Pasal 15

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 23 Februari 2010

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

(6)

TANGGAL : 23 Februari 2010

PEDOMAN EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999

TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sepuluh tahun penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, telah membentuk 205 DOHP, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Mencermati laju pertumbuhan DOHP yang relatif tinggi, pemerintah melakukan beberapa upaya pengendalian, diantaranya melalui moratorium/penghentian sementara proses pembentukan daerah otonom, serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang persyaratan dan tata cara pembentukan daerah otonom. Idealnya upaya pengendalian ini disinergikan dengan evaluasi terhadap efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Evaluasi ini bersifat umum yang difokuskan terhadap kinerja 205 DOHP. Kegiatan ini dimaksudkan Kegiatan evaluasi DOHP ini dimaksudkan untuk memetakan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, mengukur kinerja DOHP, merekomendasikan kebijakan tentang pengaturan pembentukan DOHP agar pembentukan daerah dimasa mendatang benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu, evaluasi DOHP juga dilakukan untuk mengidentifikasi isu-isu strategis dalam perumusan kebijakan untuk peningkatan kinerja DOHP. Tujuan kegiatan evaluasi ini adalah:

(a) memahami, menganalisis, dan memberikan penilaian terhadap perkembangan kinerja DOHP dan daerah induk, utamanya dalam: peningkatan kemakmuran, kualitas tata pemerintahan, pelayanan publik, dan daya saing daerah;

(b) memetakan kinerja pemerintahan daerah pada 205 DOHP dan daerah induknya, serta mengelompokannya ke dalam berbagai kategori sesuai dengan ukuran kinerjanya; (c) mengembangkan program dan strategi yang tepat untuk perbaikan kinerja DOHP dan

daerah induk; dan

(d) merumuskan kebijakan yang terkait dengan pembentukan, penghapusan, dan penggabungan suatu daerah otonom di Indonesia.

Semboyan (tagline) yang digunakan dalam evaluasi DOHP ini adalah: “Menuju Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Lebih Baik (Towards Better Local Governance)”.

Akselerator kegiatan evaluasi DOHP terdiri atas 4 (empat) elemen, yaitu: 1) Tim Pengarah; 2) Tim Pelaksana; 3) Tim Penilai Teknis; dan 4) Tim Kesekretariatan.

Memasuki 10 (sepuluh) tahun era otonomi daerah, pemerintahan daerah dituntut dapat mewujudkan tujuan otonomi daerah (TOD) sesuai amanah Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konteks ini, sampai saat ini telah terjadi pemekaran terhadap beberapa provinsi, kabupaten, dan kota. Landasan kebijakan yang memberi peluang bagi pembentukan daerah otonom hasil pemekaran (DOHP), atau yang lazim disebut sebagai pemekaran daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang kemudian direvisi menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memeratakan pembangunan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Proses pembentukan daerah

(7)

didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam rangka memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejak 1999 hingga Februari 2009 telah dibentuk 205 daerah otonom hasil Pemekaran (DOHP), yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Mencermati laju pertumbuhan DOHP yang relatif tinggi ini, pemerintah telah melakukan beberapa upaya pengendalian, diantaranya melalui moratorium atau penghentian sementara proses pembentukan daerah otonom hasil pemekaran (DOHP), serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang persyaratan dan tatacara pembentukan daerah otonom. Upaya pengendalian tersebut perlu disinergikan dengan upaya untuk mencari berbagai terobosan dan inovasi dalam peningkatan kualitas pelayanan publik dan pemerataan pembangunan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pemekaran daerah itu sendiri. Hal mendasar yang perlu segera diwujudkan adalah melakukan evaluasi daerah otonom hasil pemekaran daerah di 205 DOHP serta mencermati kembali keberadaan dan kinerja pemerintah daerah induknya.

1.2. Maksud, Tujuan, dan Sasaran

Kegiatan evaluasi DOHP ini dimaksudkan untuk memetakan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, mengukur kinerja DOHP, merekomendasikan kebijakan tentang pengaturan pembentukan DOHP agar pembentukan daerah dimasa mendatang benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu, evaluasi DOHP juga dilakukan untuk mengidentifikasi isu-isu strategis dalam perumusan kebijakan untuk peningkatan kinerja DOHP.

Cakupan lokasi kegiatan evaluasi meliputi 205 (dua ratus lima) DOHP yang terdiri atas 7 (tujuh) provinsi, 164 (seratus enam puluh empat) kabupaten, dan 34 (tiga puluh empat) kota (Daftar DOHP Terlampir). Selain itu, evaluasi juga dilakukan terhadap sekitar 127 (seratus dua puluh tujuh) pemerintah daerah induk (DI) sebelum dilakukan pemekaran daerah. Dengan mengevaluasi kinerja daerah induk, pasca pemekaran daerah, kajian ini diharapkan juga dapat memberi informasi tentang efek pemekaran terhadap kinerja daerah induk.

Memperhatikan hal-hal tersebut, terdapat 4 (empat) tujuan evaluasi DOHP, yaitu:

a. Memahami, menganalisis, dan memberikan penilaian terhadap perkembangan kinerja DOHP dan daerah induk, utamanya dalam: peningkatan kemakmuran, kualitas tata pemerintahan, pelayanan publik, dan daya saing daerah.

b. Memetakan kinerja pemerintahan daerah pada 205 DOHP dan daerah induknya, serta mengelompokannya ke dalam berbagai kategori sesuai dengan ukuran kinerjanya. c. Mengembangkan program dan strategi yang tepat untuk perbaikan kinerja DOHP dan

daerah induk.

d. Merumuskan kebijakan yang terkait dengan pembentukan, penghapusan, dan penggabungan suatu daerah otonom di Indonesia.

Berdasarkan maksud dan tujuan tersebut, maka sasaran yang ingin dicapai dari evaluasi DOHP, yaitu:

a. Tersedianya informasi tentang kinerja penyelenggaraan pemerintahan pada DOHP; b. Teridentifikasikannya faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas penyelenggaraan

pemerintahan daerah pada DOHP;

c. Terpetakannya kebutuhan pengembangan kapasitas pada DOHP;

d. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada DOHP.

(8)

1.3. Periodisasi Daerah Pemekaran

Dalam 10 tahun pertama sejak kemerdekaan, jumlah kabupaten/kota di Indonesia terhitung baru sekitar 101 yurisdiksi. Antara tahun 1956-1959, jumlah ini cepat membesar dari 149 (1956), menjadi 177 (1958), dan berubah menjadi 254 kabupaten/kota (1959). Namun, sejak tahun 1960 hingga 33 tahun kemudian, kecepatan pertambahan jumlah kabupaten/kota praktis rendah.

Tahun 1966, hanya dibentuk 6 kabupaten/kota baru, sehingga secara keseluruhan ada 260 kabupaten/kota yang mewarnai landscape administrasi Indonesia. Jumlah ini bertambah 9 daerah saja untuk menjadi 269 kabupaten/ kota di tahun 1970, lalu meningkat 6 daerah, sehingga menjadi 275 kabupaten/kota di tahun 1980-an. Diparuh akhir 1980-an terbentuk tak lebih dari 2 daerah kabupaten/kota baru untuk menjadi 277, sebelum jumlah daerah tersebut naik menjadi 280 yurisdiksi memasuki tahun 1990-an. Secara total 340 kabupaten/kota mewarnai awal reformasi pemerintahan daerah di Indonesia.

Dimasa reformasi pemerintahan dan kebijakan pengguliran desentralisasi, jumlah kabupaten/kota menjadi lebih besar lagi. Tahun 2001 tak kurang dari 353 kabupaten/kota. Tahun 2002 menjadi 390, sebelum melonjak ke 440 (2003). Tahun 2007 tercatat 465 kabupaten/kota dan di tahun 2008 mencapai 498 kabupaten/kota. Pada tahun 1999, Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan berada di bawah PBB hingga merdeka penuh pada tahun 2002. Indonesia kembali memiliki 26 Provinsi. Sementara itu, pada era reformasi, terdapat pemekaran disejumlah Provinsi di Indonesia. Ketujuh provinsi pemekaran di Indonesia sejak tahun 1999 adalah:

a. Maluku Utara dengan Ibukota Sofifi-Ternate, dimekarkan dari Provinsi Maluku, menjadi Provinsi Indonesia ke-27 pada tanggal 4 Oktober 1999;

b. Banten dengan Ibukota Serang dimekarkan dari Provinsi Jawa Barat, menjadi Provinsi Indonesia ke-28 pada tanggal 17 Oktober 2000;

c. Kepulauan Bangka Belitung dengan Ibukota Pangkal Pinang, menjadi Provinsi Indonesia ke-29 pada tanggal 4 Desember 2000;

d. Gorontalo dengan Ibukota Gorontalo, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara, menjadi Provinsi ke-30 pada tanggal 22 Desember 2000;

e. Irian Jaya Barat dengan Ibukota Manokwari, dimekarkan dari Provinsi Papua menjadi Provinsi Indonesia ke-31 pada tanggal 21 November 2001. Pada tanggal 11 November 2001, Provinsi Papua dimekarkan pula Provinsi baru Irian Jaya Tengah. Namun pemekaran ini akhirnya dibatalkan karena mendapat banyak tentangan;

f. Kepulauan Riau dengan Ibukota Tanjung Pinang, dimekarkan dari Provinsi Riau, menjadi Provinsi Indonesia ke-32 pada tanggal 25 Oktober 2002;

g. Sulawesi Barat dengan Ibukota Mamuju, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Selatan, menjadi Provinsi Indonesia ke-33 pada tanggal 5 Oktober 2004.

Kelahiran ratusan DOHP tersebut menambah daftar daerah sebelumnya, sehingga pada awal tahun 2009 terdapat 524 daerah otonom yang meliputi 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Laju perkembangan setiap tahun menunjukan kecenderungan yang fluktuatif, dengan beberapa tahun diantaranya pernah mencapai nol (zero) pemekaran sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

(9)

Tabel 1.1.

Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) Setelah Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah

No. Tahun Provinsi Kabupaten Kota Prov/Kab/Kota ∑

DOHP Sebelum 1999 26 234 59 319 1. 1999 2 34 9 45 2. 2000 3 - - 3 3. 2001 - - 12 12 4. 2002 1 33 4 38 5. 2003 0 47 2 49 6. 2004 1 - - 1 7. 2005 - - - 0 8. 2006 - - - 0 9. 2007 - 21 4 25 10. 2008 - 27 3 30 11. 2009 - 2 - 2

DOHP Pasca UU No. 22/1999

7 164 34 205

Total Pemda (2009) 33 398 93 524

Sumber: Data Diolah dari berbagai sumber.

Data pemekaran provinsi/kabupaten/kota di Indonesia yang sudah berlangsung pasca ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beserta daerah induknya disajikan dalam lampiran tersendiri.

1.4. Semboyan (Tagline)

Menuju Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Lebih Baik (Towards Better Local

Governance).

1.5. Organisasi Evaluator

Akselerator kegiatan evaluasi DOHP terdiri atas 4 (empat) elemen, yaitu:

1) Tim Pengarah, diketuai oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah dan beranggotakan beberapa pejabat Eselon I dan Eselon II dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Lingkup tugas Tim Pengarah adalah memberi arahan dalam proses penyusunan rencana, pelaksanaan evaluasi sampai dengan penetapan, pemetaan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan DOHP, dan penyampaian apresiasi/penghargaan serta upaya penanganan pasca evaluasi.

2) Tim Pelaksana, diketuai oleh Direktur Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PK-EKD) Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dan beranggotakan beberapa pejabat Eselon II dan Eselon III dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Lingkup tugas Tim Pelaksana adalah melaksanakan program evaluasi DOHP yang diawali dari proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pendampingan, peninjauan lapangan, serta penanganan pasca evaluasi;

3) Tim Penilai Teknis (Pakar Independen), adalah Tim yang dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan pejabat Eselon I. Berkedudukan di bawah koordinasi Direktur Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PK-EKD) Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. Keanggotaan Tim Penilai teknis terdiri dari 9 (sembilan) orang anggota yang bersifat profesional dan mandiri meliputi unsur: a) Perguruan Tinggi/Akademisi; b) Perwakilan Dunia Usaha/Asosiasi Profesi; c) Organisasi

(10)

Kemasyarakatan/Peneliti/ Pemerhati Otonomi Daerah; d) LSM/NGO/Lembaga Donor; dan e) Perwakilan Media Massa (cetak dan/atau elektronik).

Tim Penilai Teknis bertugas melakukan evaluasi, penilaian, peninjauan lapangan (fact finding mission), melakukan analisis kebijakan pemekaran, dan pemetaan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah (DOHP).

4) Tim Kesekretariatan, diketuai oleh pejabat Eselon III dan beranggotakan beberapa pejabat Eselon IV dan Staf di lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Lingkup tugas Tim Kesekretariatan adalah membantu Tim Pengarah, Tim Pelaksana, dan Tim Penilai Teknis (Pakar Independen) dalam proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pendampingan/peninjauan lapangan (fact

finding mission) serta membantu penanganan pasca evaluasi DOHP.

1.6. Landasan Hukum

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan

Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);

7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan

Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4663);

(11)

13. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4693);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4791);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817);

18. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri Sebagaimana Telah Diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2008.

II. KONSEP DAN METODA EVALUASI

2.1. Kerangka Konseptual Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran

Aktivitas evaluasi terhadap 205 daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) ini dilandasi semangat untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan pencapaian tujuan otonomi daerah setelah suatu daerah mengalami pemekaran. Beberapa peraturan yang mendasari pelaksanaan evaluasi tematik ini diantaranya adalah amanat PP Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dengan tetap memperhatikan PP Nomor 78 Tahun 2007 yang secara spesifik mengatur tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 PP Nomor 39 Tahun 2006 yang dimaksud dengan “Evaluasi” adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar. Sementara itu, menurut Pasal 1 Angka 13 PP Nomor 6 Tahun 2008, yang dimaksud dengan “Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah, dan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan pada daerah yang baru dibentuk (DOHP).

Evaluasi yang akan dilakukan ini adalah evaluasi yang bersifat khusus untuk menilai kinerja DOHP dan daerah induk dalam rangka merumuskan kebijakan untuk penataan daerah, terutama dalam pengendalian pembentukan daerah otonom baru. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pembentukan DOHP mampu mewujudkan tujuan dari pembentukan daerah otonom, yaitu: peningkatan kesejahteraan rakyat, terwujudnya good

governance, penyelenggaraan pelayanan publik, dan daya saing daerah. Melalui evaluasi

(12)

yang memadai tentang kinerja DOHP, unsur-unsur yang membentuk kinerja DOHP, dan klasifikasi daerah menurut ukuran kinerjanya. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan dalam rangka pengaturan kembali persyaratan dan mekanisme pembentukan daerah, peningkatan kinerja daerah, dan penataan kembali daerah otonom.

Secara visual faktor, variabel, dan indikator yang digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja DOHP dapat dilihat dalam grafik berikut.

Gambar 2.1.

Kerangka Konseptual Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) Faktor-faktor Evaluasi 205 DOHP Variabel/Indikator 1. Peningkatan Kemakmuran Masyarakat a. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita b. Pengurangan Angka Kemiskinan c. Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk miskin 2. Berkurangnya Ketimpangan Gender a. Produk Hukum (Perda, Peraturan/Keputus an Kepala Daerah) Tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan b. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan (Badan/Dinas/ Kantor) Metode Analisis

Variabel & Indikator

Variabel/Indikator 1. Efektivitas

a. Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD b. Daya Serap Anggaran

(APBD) Per Tahun 2.Tranparansi

a. Produk Hukum Daerah Untuk Transparansi b. Publikasi APBD dan

Pengadaan Barang/Jasa (Procurement) 3. Akuntabilitas a. Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat b. Pakta Integritas/Kontrak Kinerja c. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD d. Persentase Belanja DPRD dan Persentase Belanja Kepala Daerah Terhadap APBD 4. Partisipasi

a. Konsultasi Publik Dalam Setiap Proses Penyusunan Perda, APBD, dll. b. Jumlah Perda Inisiatif

DPRD Variabel/Indikator 1. Pendidikan a. Persentase Anggaran Pendidikan Terhadap APBD

b. Angka Partisipasi Kasar Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat, SMP/ Sederajat, dan SMA/ Sederajat 2. Kesehatan

a. Persentase Anggaran Kesehatan Terhadap APBD

b. Persentase Balita Gizi Buruk (BGB) 3. Penyediaan Sarana dan

Prasarana Pelayanan Umum a. Akses Terhadap Air

Bersih dan Sanitasi b. Panjang Jalan Per Luas

Wilayah (Prov/Kab/Kota) c. Inisiatif Pemda untuk

Menangani Krisis Listrik 4. Pelayanan Tata Kelola

Administrasi Kependududukan a. Persentase Kepemilikan

Kartu Tanda Penduduk (KTP) b. Persentase Kepemilikan Akta Kelahiran Analisis Kuantitatif Analisis Kualitatif Kualifikasi Kinerja DOHP

Pasca Evaluasi DOHP: Penyusunan Konsep Pengembangan Kapasitas Aparatur Pemda (Capacity Building Action Plans)

Pola Analisis Rekomendasi Kebijakan/Regulasi Pemekaran Daerah Variabel/Indikator 1. Kebijakan Daerah

a. Perda “Tata Ruang” b. Produk Hukum Daerah (Perda,

Per./Kep. KDH) yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup c. Produk Hukum Daerah yang

Memberikan Insentif dan/atau Kemudahan Kepada Investor untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah (yang Tertera dalam Perda, Per./Kep. KDH) 2. Kelembagaan Daerah

a. Tipologi Institusi Pelayanan Terpadu

b. Ketersediaan Informasi Potensi Ekonomi Daerah yang Ditampilkan Dalam Situs Web Pemda

3. Fasilitasi Investasi a. Anggaran Program

Pengembangan Usaha untuk UMKM

b. Forum Komunikasi Reguler KDH (dan Jajaran SKPD Terkait) dengan Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-investasi secara Konsisten

4. Realisasi Investasi a. Jumlah Realisasi Investasi b. Nilai Realisasi Investasi

Langkah-langkah Kualifikasi Kinerja DOHP:

a. Pengumpulan Data dengan Instrumen yang sama untuk DOHP dan DI;

b. Melakukan Pembobotan untuk data yang terkumpul sebagai dasar penentuan “Angka Capaian” kinerja DOHP setiap tahunnya, baik untuk DOHP maupun DI. “Angka Capaian” kinerja DOHP ini menjadi dasar penentuan kualifikasi sebagai “Daerah Mampu” atau “Daerah Belum Mampu”. Patokan angka batas kemampuan ditetapkan dari rata-rata “Angka Capaian” kinerja DI secara regional (rata-rata DI di suatu provinsi untuk kabupaten/kota, atau rata-rata DI secara nasional untuk provinsi).

c. Dihitung angka perkembangan (trend) untuk DOHP dan DI. Angka tersebut kemudian diperbandingkan, dengan tujuan untuk mengidentifikasi kemajuan yang telah dicapai DOHP dibandingkan dengan DI-nya.

Good Governance Ketersediaan Pelayanan Publik Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat TOD Peningkatan Daya Saing Daerah

Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP)

Daerah Induk (DI)

(13)

Evaluasi terhadap daerah induk dilakukan untuk melihat efek dari pemekaran terhadap daerah induk. Observasi terhadap beberapa daerah induk menunjukan adanya pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda antardaerah. Untuk melihat secara umum efek dari pemekaran terhadap daerah induk, maka dalam kajian ini evaluasi yang sama dilakukan pada daerah yang mengalami pemekaran. Hasil kajian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi tentang dinamika yang terjadi di daerah sebagai akibat dari terpecahnya daerah tersebut kedalam dua atau lebih daerah otonom.

2.2. Faktor, Variabel, dan Indikator Evaluasi

Kinerja DOHP dalam evaluasi ini dilihat dari 4 (empat) aspek atau faktor, yaitu: kesejahteraan masyarakat, tata pemerintahan yang baik (good governance), pelayanan publik, dan daya saing daerah. DOHP dinilai memiliki kinerja yang baik apabila daerah tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya di daerah, mewujudkan tata pemerintahan yang baik, menyelenggarakan pelayanan publik, dan meningkatkan daya saing daerah. Keempat faktor ini nantinya membentuk kinerja DOHP.

Untuk menilai peningkatan kesejahteraan masyarakat, evaluasi ini akan mengukur peningkatan kemakmuran masyarakat dan berkurangnya ketimpangan gender. Dua variabel ini diharapkan dapat menggambarkan bukan hanya peningkatan kemakmuran tetapi juga bagaimana peningkatan kemakmuran itu terdistribusi secara adil, setidak-tidaknya dilihat dari perspektif gender. Peningkatan tata pemerintahan yang baik (good

governance) yang terjadi di DOHP akan dilihat dari perubahan pada 4 (empat) variabel,

yaitu: efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. DOHP dinilai memiliki kualitas tata pemerintahan yang baik, jika daerah tersebut memiliki nilai yang tinggi pada keempat variabel tersebut.

Faktor ketiga yang digunakan untuk menilai kinerja DOHP adalah ketersediaan pelayanan publik. Ketersediaan pelayanan publik akan dinilai dari 4 (empat) variable, yaitu: pelayanan pendidikan, kesehatan, penyediaan sarana dan prasarana umum, dan pelayanan administrasi kependudukan. Keempat jenis pelayanan publik ini dinilai mampu menggambarkan kebutuhan dasar masyarakat untuk dapat mewujudkan kesejahteraan sosial dan ekonominya. Pendidikan, kesehatan, prasarana umum, dan identitas kewargaaan adalah bagian dari kebutuhan dasar yang penting dari kehidupan masyarakat.

Faktor yang terakhir adalah peningkatan daya saing daerah. Faktor ini akan dinilai dari berbagai variabel sebagai berikut: kebijakan daerah yang pro-investasi, kelembagaan daerah, fasilitasi investasi, dan kinerja investasi. Keempat variabel ini diharapkan mampu menggambarkan secara lengkap perbaikan daya saing daerah sebagai akibat dari terbentuknya daerah otonom baru. Perbaikan daya saing dalam evaluasi ini dilihat secara menyeluruh mencakup perubahan kebijakan, penguatan kelembagaan, implementasi, dan hasil dari perbaikan daya saing daerah yang diukur dari jumlah dan nilai realisasi investasi.

Secara lengkap faktor, variabel, dan indicator dari kinerja DOHP dapat dilihat pada tabel berikut ini.

(14)

Tabel 2.1.

Faktor, Variabel, dan Indikator Evaluasi DOHP

FAKTOR 1. PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Variabel 1 Peningkatan Kemakmuran Masyarakat

Indikator:

1.1.1. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita 1.1.2. Pengurangan Angka Kemiskinan

1.1.3. Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk Miskin

Variabel 2 Berkurangnya Ketimpangan Gender

Indikator:

1.2.1. Produk Hukum (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) Tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan

1.2.2. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan (Badan/Dinas/Kantor) FAKTOR 2. GOOD GOVERNANCE

Variabel 1 Efektivitas

Indikator:

2.1.1. Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD 2.1.2. Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun

Variabel 2 Transparansi

Indikator:

2.2.1. Produk Hukum Daerah Untuk Transparansi

2.2.2. Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement)

Variabel 3 Akuntabilitas

Indikator:

2.3.1. Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat 2.3.2. Pakta Integritas/Kontrak Kinerja

2.3.3. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

2.3.4. Persentase Belanja DPRD dan Persentase Belanja Kepala Daerah Terhadap APBD

Variabel 4 Partisipasi

Indikator:

2.4.1. Konsultasi Publik Dalam Setiap Proses Penyusunan Perda, APBD, dll.

2.4.2. Jumlah Perda Inisiatif DPRD

FAKTOR 3. KETERSEDIAAN PELAYANAN PUBLIK

Variabel 1 Pendidikan

Indikator:

3.1.1. Persentase Anggaran Pendidikan Terhadap APBD

3.1.2. Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat

(15)

Variabel 2 Kesehatan Indikator:

3.2.1. Persentase Anggaran Kesehatan Terhadap APBD 3.2.2. Persentase Balita Gizi Buruk

Variabel 3 Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum

Indikator:

3.3.1. Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi

3.3.2. Panjang Jalan Per Luas Wilayah (Provinsi/Kabupaten/Kota) 3.3.3. Inisiatif Pemda untuk Menangani Krisis Listrik

Variabel 4 Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan

Indikator:

3.4.1. Persentase Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) 3.4.2. Persentase Kepemilikan Akte Kelahiran

FAKTOR 4. PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH

Variabel 1 Kebijakan Daerah

Indikator:

4.1.1. Perda Tata Ruang

4.1.2. Produk Hukum Daerah (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup 4.1.3. Produk Hukum Daerah yang Memberikan Insentif dan/atau

Kemudahan Kepada Investor untuk

Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah (yang Tertera dalam Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah)

Variabel 2 Kelembagaan Daerah

Indikator:

4.2.1. Tipologi Institusi Pelayanan Terpadu

4.2.2. Ketersediaan informasi Potensi Ekonomi Daerah yang Ditampilkan Dalam Situs Web Pemda

Variabel 3 Fasilitasi Investasi

Indikator:

4.3.1. Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM (Anggaran APBD untuk Kegiatan-kegiatan yang Terkait dengan Pengembangan Kapasitas UMKM) dalam hal: a. Produksi;

b. Pemasaran;

c. Akses Finansial; dan

d. Administrasi Keuangan Daerah.

4.3.2. Forum Komunikasi Reguler Kepala Daerah (dan Jajaran SKPD Terkait) dengan Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-investasi secara Konsisten

Variabel 4 Realisasi Investasi

Indikator:

4.4.1. Jumlah Realisasi Investasi 4.4.2. Nilai Realisasi Investasi

Evaluasi kinerja DOHP ini akan menggunakan data sekunder yang bersifat obyektif dari berbagai sumber, antara lain dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum, Bappenas, dan Pemerintah Daerah serta institusi lainnya. Penggunaan data obyektif diharapkan akan membuat evaluasi ini dapat menghasilkan informasi tentang kinerja DOHP yang reliabel. Evaluasi ini akan menggunakan data

(16)

antar-waktu per tahun, yang dikumpulkan sejak DOHP tersebut secara resmi dibentuk. Dengan menggunakan data antar-waktu, maka kecenderungan (trend) perubahan kinerja DOHP dapat diamati.

2.3. Definisi Operasional

2.3.1. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

Dalam Faktor TOD - 1, terdapat 2 (dua) variabel yang akan diukur, yaitu: 1) Peningkatan Kemakmuran Masyarakat; dan 2) Berkurangnya Ketimpangan Gender. Pada kedua variabel tersebut terdapat 5 (lima) indikator. Berikut ini penjelasan masing-masing variabel dan indikator tersebut.

2.3.1.1. Variabel 1 : Peningkatan Kemakmuran Masyarakat

Pada Variabel 1 – Peningkatan Kemakmuran Masyarakat – terdapat 3 (tiga) indikator, yaitu: 1) Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita; 2) Pengurangan Angka Kemiskinan; dan 3) Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk Miskin. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini.

2.3.1.1.1. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Definisi

PDRB merupakan singkatan dari Produk Domestik Regional Bruto, yaitu penjumlahan nilai

output bersih perekonomian yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi (mulai

kegiatan pertanian, pertambangan, industri pengolahan, sampai jasa) di suatu wilayah tertentu (provinsi, kabupaten/kota) dalam kurun waktu tertentu (biasanya dihitung dalam satu tahun kalender). PDRB per Kapita adalah angka perbandingan antara PDRB suatu daerah dengan jumlah penduduk di daerah tersebut.

Kegunaan

PDRB, seperti telah dijelaskan sebelumnya, digunakan sebagai salah satu ukuran untuk menjelaskan kinerja ekonomi suatu daerah selama suatu periode waktu tertentu. PDRB per kapita berguna untuk memperkirakan tingkat kinerja ekonomi rata-rata penduduk di suatu daerah. Semakin tinggi PDRB suatu daerah, semakin tinggi kemampuan rata-rata kinerja penduduk di daerah tersebut, dan semakin tinggi kemampuan kinerja ekonomi daerah tersebut.

Cara Menghitung

PDRB dapat dihitung dengan 2 (dua) cara, yaitu:

1) Nilai tambah barang dan jasa atas dasar harga yang berlaku setiap tahun. Angka ini berguna untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi;

2) Nilai tambah barang dan jasa atas dasar harga konstan, yaitu nilai tambah barang dan jasa tersebut dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu. Angka ini berguna untuk memonitor pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.

Dalam kasus-kasus data dalam harga berlaku tidak tersedia, dimungkinkan untuk melakukan estimasi dengan melihat perkembangan PDRB atas dasar harga konstan. Terdapat 3 (tiga) metode yang dapat digunakan, yaitu:

1) Revaluasi, yaitu perkalian kuantum produksi tahun berjalan dengan harga tahun dasar (tahun 2000), menghasilkan langsung PDRB atas dasar harga konstan;

2) Ekstrapolasi, yaitu dengan cara mengalikan nilai tahun dasar dengan suatu indeks kuantum dibagi 100;

3) Deflasi, yaitu dengan membagi nilai pada tahun berjalan dengan suatu indeks harga di bagi 100.

(17)

Penghitungan PDRB per Kapita dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Sumber Data

Elemen data tersebut dapat diperoleh dari BPS dan BAPPEDA. 2.3.1.1.2. Pengurangan Angka Kemiskinan

Definisi

Persentase penduduk di atas garis kemiskinan adalah proporsi penduduk yang berada di atas garis kemiskinan.

Angka Kemiskinan adalah prosentase penduduk yang masuk kategori miskin terhadap jumlah penduduk.

Definisi kemiskinan yang digunakan dalam konteks ini mengacu pada definisi kemiskinan BPS. Pada tahun 1994, BPS merumuskan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. Kegunaan

Indikator ini mencerminkan kemampuan suatu daerah dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk daerah tersebut.

Keberadaan kebijakan pemberdayaan penduduk miskin terkait dengan sasaran penanggulangan kemiskinan, yakni menurunnya jumlah penduduk miskin laki-laki dan perempuan dan terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap.

Semakin tinggi nilai indikator ini, semakin mampu suatu daerah meningkatkan kesejahteraan penduduk daerah tersebut. Artinya, semakin tinggi kemampuan daerah tersebut dalam menyelenggarakan otonomi.

Cara Menghitung

Angka Kemiskinan dihitung dengan cara membandingkan persentase penduduk yang masuk kategori miskin terhadap jumlah seluruh penduduk.

Nilai indikator ini diperoleh dengan menggunakan formula sebagai berikut:

Di mana:

Penduduk miskin dihitung berdasarkan garis kemiskinan.

Persentase penduduk di atas garis kemiskinan adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di atas garis kemiskinan.

Garis Kemiskinan itu sendiri adalah nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan–kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh individu untuk hidup layak.

Sumber Data

Elemen data tersebut dapat diperoleh dari BPS yang secara periodik melakukan pengukuran kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Penduduk Pertengahan Tahun

Jumlah Penduduk Miskin x 100 Jumlah Penduduk

(18)

2.3.1.1.3. Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk Miskin

Definisi

Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk Miskin adalah keberadaan Peraturan Daerah dan/atau Peraturan/Keputusan Kepala Daerah dalam upaya pemberdayaan penduduk miskin.

Kebijakan pemberdayaan penduduk miskin dapat berupa perda, program, renstra, dan/atau kegiatan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan di daerah. Kebijakan ini terutama dimaksudkan untuk pencapaian kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Kegunaan

Kebijakan pemberdayaan penduduk miskin bermanfaat untuk penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, mengembangkan kelembagaan kerja sama antardesa serta menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat.

Melalui kebijakan pemberdayaan penduduk miskin diharapkan masyarakat miskin, terutama kelompok perempuan dapat meningkatkan partisipasinya melalui pelembagaan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan menggunakan sumber daya lokal.

Semakin tinggi nilai indikator ini, semakin mampu suatu daerah meningkatkan kemakmuran penduduknya.

Cara Menghitung

Sebutkan Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah, Renstra, Program, dan/atau Kegiatan yang mendukung upaya pemda dalam rangka memberdayakan penduduk miskin.

Sumber Data

Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, pemberdayaan masyarakat, dan BAPPEDA.

2.3.1.2. Variabel 2 : Berkurangnya Ketimpangan Gender

Pada Variabel 2 – Berkurangnya Ketimpangan Gender – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Produk Hukum (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan; dan 2) Bentuk Kelembagaan yang

Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan

(Badan/Dinas/Kantor). Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini.

2.3.1.2.1. Produk Hukum (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) Tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan

Definisi

Produk Hukum tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan adalah keberadaan peraturan daerah, peraturan/keputusan kepala daerah dan/atau kebijakan berupa renstra, program, kegiatan, dsb. yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan, sebagai akibat dari adanya praktek diskriminasi terhadap perempuan.

Keberadaan produk hukum terkait kesetaraan gender merupakan wujud perhatian pemerintahan daerah untuk membuka akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang tinggi, ketenagakerjaan, dan keterlibatan

(19)

perempuan dalam bidang politik serta kegiatan publik lainnya sekaligus untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development Index, GDI). Kegunaan

Indikator ini mengukur keberadaan produk hukum di daerah terkait dengan keterlibatan kaum perempuan dalam ketenagakerjaan sebagai cerminan dari tingkat ketimpangan gender, baik yang disebabkan oleh adanya kebijakan diskriminatif, maupun yang dihasilkan dari budaya masyarakat. Semakin tinggi nilai indikator ini di suatu daerah, semakin kecil tingkat diskriminasi gender di daerah tersebut, dan semakin tinggi tingkat kemampuan daerah tersebut dalam mengurangi diskriminasi dan ketimpangan gender. Oleh karenanya semakin tinggi kemampuan daerah tersebut untuk menyelenggarakan otonomi.

Cara Menghitung

Sebutkan Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah, Renstra, Program, dan/atau Kegiatan yang mendukung kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan.

Sumber Data

Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan serta BAPPEDA.

2.3.1.2.2. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/ atau Pemberdayaan Perempuan (Badan/Dinas/Kantor)

Definisi

Bentuk Kelembagaan yang Menangani Kesetaraan Gender adalah bentuk/jenis perangkat daerah yang membantu kepala daerah, khususnya sebagai pengelola kegiatan kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan.

Dalam konteks ini, dibedakan menjadi perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.

Kegunaan

Bentuk kelembagaan yang menangani kesetaraan gender di suatu daerah merupakan indikasi keseriusan suatu daerah untuk membuka akses perempuan terhadap pendidikan dan kesehatan, keterlibatan perempuan di bidang politik, partisipasi perempuan dalam pembangunan, dan proses pengambilan keputusan dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, daerah yang memiliki kelembagaan yang secara spesifik menangani kesetaraan gender, dapat diidentifikasi sebagai daerah yang memiliki kemampuan untuk mengelola kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan di daerah sebagai unsur penunjang dalam pencapaian tujuan otonomi daerah.

Cara Menghitung

Sebutkan “Bentuk” dan “Dasar Hukum” pembentukan kelembagaan yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan.

(20)

Sumber Data

Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, organisasi perangkat daerah, dan/atau mengelola kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan.

2.3.2. Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Dalam Faktor TOD - 2, terdapat 4 (empat) variabel yang akan diukur, yaitu: 1) Efektivitas; 2) Transparansi; 3) Akuntabilitas; dan 4) Partisipasi. Pada keempat variabel tersebut terdapat 10 (sepuluh) indikator. Berikut ini penjelasan masing-masing variabel dan indikator tersebut.

2.3.2.1. Variabel 1 : Efektivitas

Pada Variabel 1 – Efektivitas – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD; dan 2) Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini.

2.3.2.1.1. Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD Definisi

Ketepatan waktu daerah menetapkan APBD merupakan amanah dari Pasal 53 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 53 menyatakan:

Ayat (1) Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

Ayat (2) Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.

Ayat (3) Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota selambar-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

Diakui bahwa ketepatan waktu penetapan APBD bukanlah hal utama dalam menjamin keberhasilan atau keunggulan kinerja APBD, namun paling tidak hal itu harus dipenuhi terlebih dahulu oleh daerah. Apabila penetapan APBD terlambat, maka semua proses pelaksanaan anggaran daerah akan menjadi terlambat pula, mulai dari proses tender sampai dengan penyelesaian proyek-proyeknya.

Kegunaan

Ketepatan waktu penetapan APBD, akan memberikan kepastian bagi kepala SKPD untuk menyusun dan menyampaikan rancangan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD). Hal ini akan berimplikasi terhadap kualitas belanja APBD dan kecepatan penyerapan belanja bagi keberhasilan Pemerintah Daerah.

Melalui penetapan APBD secara tepat waktu, memotivasi SKPD untuk melakukan penyerapan anggaran secara efektif dan membantu percepatan pencapaian kinerja pemerintahan daerah.

Melalui ketepatan waktu daerah menetapkan APBD, berarti pemerintahan daerah dapat menjalankan aktivitasnya, terutama stimulus fiskal serta program yang dibutuhkan masyarakat. Implikasi dari lebih awalnya penetapan APBD setiap tahun adalah agar per 1 Januari pada tahun anggaran berikutnya, APBD dapat dilaksanakan secara efektif. Selain itu, dampaknya adalah penyerapan semua anggaran yang direncanakan setiap SKPD akan lebih optimal dan efektif.

(21)

Cara Menghitung

Sebutkan Nomor dan Tanggal ditetapkannya Perda APBD.

Sumber Data

Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Sekretariat DPRD.

2.3.2.1.2. Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun Definisi

Daya serap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan suatu ukuran atas efektivitas pengelolaan dan penggunaan belanja daerah sesuai alokasi pemanfaatannya dalam kurun waktu satu tahun anggaran. Hal ini sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Dalam Pasal 18 ayat (2) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tersebut dinyatakan bahwa belanja daerah adalah belanja yang telah dialokasikan dalam APBD secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi khususnya dalam pelayanan umum baik aparatur maupun publik.

Kegunaan

Daya serap anggaran secara efektif dan optimal sangat bermanfaat untuk melihat sejauhmana APBD telah dilaksanakan serta memenuhi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi dalam pemenuhan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan kemampuan pendapatan daerah yang tersedia. Sebagai misal, apabila daya serap APBD masih belum maksimal, hal ini akan nampak dari besaran akumulasi dana APBD yang ditanamkan dalam SBI.

Cara Menghitung

Menetapkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) sebelumnya yang mencakup pelampauan penerimaan ”Pendapatan Asli Daerah (PAD)”, pelampauan penerimaan ”Dana Perimbangan”, pelampauan penerimaan lain-lain, pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan dan sisa dana kegiatan lanjutan. Sumber Data

Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda).

2.3.2.2. Variabel 2 : Transparansi

Pada Variabel 2 – Transparansi – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Produk Hukum Daerah Untuk Transparansi; dan 2) Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement). Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini.

2.3.2.2.1. Produk Hukum Daerah Untuk Transparansi Definisi

Produk Hukum Daerah untuk Transparansi adalah keberadaan peraturan daerah dan/atau peraturan/keputusan kepala daerah yang berupaya mewujudkan keterbukaan dan pertanggungjawaban sebagai salah satu pilar good governance.

(22)

Produk hukum untuk transparansi ini merupakan aturan dan prosedur kerja pemerintahan daerah yang bersifat transparan dan diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintah bertanggung jawab dan untuk memerangi korupsi.

Transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah jaminan kesempatan bagi masyarakat untuk mengetahui “siapa mengambil keputusan apa beserta alasannya”. Format dan konsep transparansi yang wajib diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari salah satu azas-azas umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik tuntutan adanya transparansi tidak hanya kepada pemerintah daerah (eksekutif) tetapi juga kepada DPRD (legislatif). Mengingat posisi DPRD yang cukup kuat dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka dalam setiap kegiatannya DPRD harus lebih transparan (terbuka) kepada masyarakat.

Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pada transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sudut DPRD adalah: 1) rapat-rapat DPRD yang terbuka untuk umum agar dapat diinformasikan kepada masyarakat agenda dan jadwalnya; 2) penyediaan risalah rapat-rapat terbuka bagi umum ditempat yang mudah diakses masyarakat; dan 3) keputusan yang dihasilkan DPRD hendaknya dapat dipublikasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat.

Sedangkan transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam hubungannya dengan pemerintah daerah perlu kiranya perhatian terhadap beberapa hal berikut: 1) publikasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; 2) publikasi dan sosialisasi regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah tentang berbagai perizinan dan prosedurnya; 3) publikasi dan sosialisasi tentang prosedur dan tata kerja dari pemerintah daerah; 4) transparansi dalam penawaran dan penetapan tender atau kontrak proyek-proyek pemerintah daerah kepada pihak ketiga; dan 5) kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi yang jujur, benar, dan tidak diskriminatif dari pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kegunaan

Azas keterbukaan (transparansi) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Penerapan azas transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui berbagai informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif.

Bila rapat pemerintah dibuka kepada umum dan media massa, bila anggaran dan laporan keuangan bisa diperiksa oleh siapa saja, bila undang-undang, aturan, dan keputusan terbuka untuk didiskusikan, semuanya akan terlihat transparan dan akan lebih kecil kemungkinan pemerintah untuk menyalahgunakannya untuk kepentingan sendiri. Dalam penyusunan peraturan daerah yang menyangkut hajat hidup orang banyak hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara proporsional. Hal ini berguna untuk mewujudkan transparansi dan akan sangat membantu pemerintah daerah dan DPRD dalam melahirkan Peraturan Daerah yang accountable dan dapat menampung aspirasi masyarakat. Semakin banyak peraturan daerah dan/atau peraturan/keputusan kepala daerah yang dapat menciptakan transparansi, semakin suatu daerah mampu menyelenggarakan otonomi.

(23)

Cara Menghitung

Sebutkan Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah, Renstra, Program, dan/atau Kegiatan yang mendukung Transparansi.

Sumber Data

Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda).

2.3.2.2.2. Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement) Definisi

Publikasi APBD merupakan amanat Pasal 103 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Dinyatakan dalam Pasal 103

Ayat (1) Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) disampaikan kepada kepala daerah.

Ayat (2) Rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada masyarakat. Ayat (3) Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan.

Ayat (4) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dilaksanakan oleh sekretaris daerah selaku coordinator pengelolaan keuangan daerah.

Khusus peraturan daerah tentang APBD, rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peraturan daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur, diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.

Di sisi lain, Publikasi Pengadaan Barang/Jasa (Procurement) adalah mekanisme pemberitahuan kepada publik dalam rangka pelaksanaan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk mempersiapkan pelaksanaan pengadaan barang/ jasa yang akan dilaksanakan oleh Pemda.

Kegunaan

Indikator ini digunakan untuk melihat sejauhmana komitmen pemerintah daerah dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance (efektif, transparan, akuntabel, dan partisipatif) agar mampu mendorong iklim investasi di daerah. Semakin intens pemda melakukan publikasi “Ringkasan APBD”, “Rincian APBD”, dan “Pengadaan Barang/Jasa” akan menciptakan iklim usaha yang kondusif di daerah, sehingga daerah semakin mampu menyelenggarakan otonominya.

Cara Menghitung

Sebutkan media/sarana publikasi yang dipergunakan untuk mempublikasikan Ringkasan APBD, Rincian APBD, dan Pengadaan Barang/Jasa. Media tersebut dapat berupa: 1)

website/situs resmi pemda; 2) surat kabar; dan/atau 3) pengumuman di SKPD terkait.

Sumber Data

Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani informasi dan komunikasi (infokom), dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan nilai TBE menggunakan metode USLE dengan dasar curah hujan selama 12 tahun maka dengan tanaman ubi jalar yang ditanam pada tanah ultisol di kecamatan

Peralatan P3K dan cara penggunaannya Disajikan wacana tentang P3K, peserta didik dapat menjelaskan pengertian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dengan benar C2

Karakteristik keluarga responden meliputi : riwayat keluarga yang overweight, pada kelompok kontrol keluarga yang memiliki riwayat overweight lebih tinggi

Meningkatkan Pemahaman Karer Siswa dengan Pemberian Layanan Informasi Karier di Kelas XI IS-4 SMA Negeri 13 Surabaya (Suatu Penelitian Tindakan Dalam Bimbingan dan

perancangan (desain) upaya membelajarkan siswa. Model pembelajaran klasikal dengan ceramah menjadikan pembelajaran kurang bermakna, karena partisipasi pengajar terlalu

Namun begitu, tidak dapat ditentukan secara sah selama tempoh program Saijana Pendidikan (Teknikal) KUiTTHO ini ditawarkan, adakah graduan lepasan program ini benar-benar

Hasil pengujian metode ini, didapatkan akurasi terbaik sebesar 100% dan waktu komputasi 0.83s dengan menggunakan metode Color Histogram dengan parameter : kuantisasi

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi survivin dengan subtipe molekuler karsinoma mammae invasif namun Triple-negative adalah subtipe yang paling