11 2.1.1 Pengendalian Internal
Secara umum pengendalian internal merupakan bagian dari masing-masing sistem yang dipergunakan sebagai prosedur dan pedoman operasional perusahaan atau organisasi tertentu. Pengendalian internal harus dilakukan secara efektif dalam suatu perusahaan untuk mencegah dan menghindari terjadinya kesalahan dan kecurangan. Menurut Sukrisno Agoes (2012:100), IAPI (2011:319.2) mendefinisikan pengendalian internal sebagai suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen dan personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini:
a) Keandalan pelaporan keuangan b) Efektifitas dan efisiensi operasi
c) Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission) di dalam Hiro Tugiman (2002: 21) mengemukakan konsep pengendalian internal dirumuskan sebagai berikut:
“Pengendalian internal adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan komisaris, direksi atau top manajemen, personel-personel lainnya, dimaksudkan untuk menyajikan kepastian yang semestinya berkenaan dengan pencapaian tujuan-tujuan berikut:
• Efektivitas dan efisiensi operasi
• Ketaatan pada undang-undang dan peraturan yang telah ditetapkan”
Kemudian Mulyadi (2010: 180) mengungkapkan bahwa terdapat konsep dasar dari pengendalian internal, diantaranya adalah:
1. Pengendalian internal merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan tertentu. Pengendalian internal merupakan suatu rangkaian tindakan yang bersifat pervasif dan menjadi bagian tidak terpisahkan, bukan hanya sebagai tambahan dari infrastruktur entitas.
2. Pengendalian internal dijalankan oleh orang, bukan hanya terdiri dari pedoman kebijakan formulir, namun dijalankan oleh orang dari setiap jenjang organisasi, yang mencakup dewan komisaris, manajemen dan personel lain.
3. Pengendalian internal dapat diharapkan mampu memberikan keyakinan memadai, bukan keyakinan mutlak, bagi manajemen dan dewan komisaris entitas. Keterbatasan yang melekat dalam semua sistem pengendalian internal dan pertimbangan manfaat dan pengorbanan dalam pencapaian tujuan pengendalian menyebabkan pengendalian internal tidak dapat memberikan keyakinan mutlak. 4. Pengendalian internal ditujukan untuk mencapai tujuan yang saling
berkaitan diantaranya pelaporan keuangan, kepatuhan dan operasi.
Struktur pengendalian internal perlu dimiliki oleh suatu perusahaan untuk menjamin tujuan yang telah ditetapkan oleh pemilik atau manajemen sudah efektif
dan efisien. Pengendalian internal menurut Sawyer (2005: 62) secara garis besar memiliki empat tujuan yaitu sebagai berikut:
1. Meningkatkan susunan, keekonomian, efisiensi, dan efektivitas operasi serta kualitas barang dan jasa sesuai misi organisasi.
2. Mengamankan sumber daya terhadap kemungkinan kerugian akibat pelepasan, penyalahgunaan, kesalahan pengelolaan, kekeliruan, dan kecurangan.
3. Meningkatkan kepatuhan pada hukum dan arahan manajemen.
4. Membuat data keuangan dan manajemen yang dapat diandalkan serta pengungkapan yang wajar pada pelaporan yang tepat waktu.
Adapun tujuan pengendalian internal yang dikemukakan oleh Arens et al. (2008: 370) yaitu:
1. Reliability of financial reporting (keandalan pelaporan keuangan) Pihak manajemen bertanggung jawab dalam menyiapkan laporan keuangan bagi investor, kreditur dan pengguna lainnya. Manajemen mempunyai kewajiban hukum dan profesional untuk menjamin bahwa informasi telah disiapkan sesuai dengan standar pelaporan seperti prinsip yang berlaku umum.
2. Effectiveness and efficiency of operations (efektifitas dan efisiensi operasi)
Pengendalian bagi sebuah perusahaan adalah alat untuk mencegah terjadinya pemborosan yang disebabkan kegiatan-kegiatan yang tidak
perlu dalam segala aspek usaha dan untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan efisien.
3. Complience with applicable and regulation (ketaatan pada hukum dan perundang-undangan)
Perusahaan pada umumnya harus taat pada aturan dan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dengan dibentuknya pengendalian internal tersebut maka diharapkan perusahaan tidak melanggar aturan yang diterapkan oleh pemerintah sebagai pihak berwenang.
Menurut COSO (2013: 4) menyatakan beberapa komponen pengendalian internal yaitu:
1. Control Environment
Control Environment atau lingkungan pengendalian merupakan landasan untuk semua komponen pengendalian internal yang membentuk disiplin dan struktur, seperti yang dikemukakan COSO (2013: 4-6) bahwa:
“The control environment is the set of standards, processes, and structures that provide the basis for carrying out internal control across the organization. The board of directors and senior management establish the tone at the top regarding the importance of internal control including expected standards of conduct. Management reinforces expectations at the various levels of the organization. The control environment comprises the integrity and ethical values of the organization; the parameters enabling the board of directors to carry out its governance oversight responsibilities; the organizational structure and assignment of authority and responsibility for performance. The resulting control environment has pervasive impact on the overall system of internal control”
Lingkungan pengendalian yang dihasilkan memiliki dampak yang luas bagi operasi organisasi/instansi dan system secara keseluruhan pengendalian internal.
2. Risk Assessment
Risiko dapat dipahami sebagai kemungkinan terhadap ketidakpastian tentang kejadian atau dampak yang akan terjadi terhadap pencapaian tujuan organisasi, seperti halnya COSO (2013: 4) menjelaskan mengenai komponen penilaian risiko (risk assessment) sebagai berikut: “Risk is defined as the possibility that an event will occur and adversely affect the achievement of objectives. Risks assessment involves a dynamic and interative process for identifying and accessing risk to the achievement of objectives. Risk to the achievement of the objectives from across the entity are considered relative to established risk tolerance. Thus, risk assessment forms the basis for determining how risks will be managed.”
Dengan begitu, penilaian risiko melibatkan proses yang dinamis dan interaktif untuk mengidentifikasi dan menilai risiko terhadap pencapaian tujuan.
3. Control Activities
COSO (2013: 5) menjelaskan mengenai aktivitas pengendalian sebagai berikut:
“Control activities are the action established through policies and procedures that help ensure that management’s directives to mitigate risks to the achievement of objectives are carried out. Control activities are performed at all levels of the entity, at various stages within business process, and over the technology environment.”
Bagi organisasi/instansi aktivitas pengendalian dilakukan agar arahan manajemen untuk mengurangi risiko terhadap pencapaian tujuan telah dilakukan melalui kebijakan dan prosedur.
4. Information and Communication
Informasi dan komunikasi diperlukan dalam suatu organisasi/intansi, seperti yang dikemukakan oleh COSO (2013: 5) menjelaskan mengenai komponen informasi dan komunikasi (Information and Communication) dalam pengendalian internal sebagai berikut:
“Information is necessary for the entity to carry out internal control responsibilities to support the achievement of its objectives. Management obtains or generates and uses relevant and quality information from both internal and external sources to support the functioning of other components of internal control. Communication is the continual, iterative process of providing, sharing, and obtaining necessary information. Internal communication is the means by which information is disseminated throughout the organization, flowing up, down, and across the entity.”
Informasi dan komunikasi sangat dibutuhkan didalam organisasi/instansi untuk menunjang aktivitas perusahaan, guna melaksanakan tanggung jawab pengendalian internal dan mendukung pencapaian tujuan-tujuannya. Organisasi/instansi membangun suatu sistem informasi untuk memenuhi kebutuhan informasi yang andal, relevan, dan tepat waktu.
5. Monitoring Activities
Pemantauan dilakukan untuk dasar evaluasi organisasi, COSO (2013: 5) menjelaskan mengenai aktivitas pemantauan (monitoring activities) dalam pengendalian internal sebagai berikut:
“Ongoing evaluations, separate evaluations, or some combination of the two are used to ascertain whether each of the five components of internal control, including controls to effect the principles within each component, is present and functioning. Ongoing evaluations, built into business processes at different levels of the entity, provide timely information. Separate evaluations, conducted periodically, will vary in scope and frequency depending on assessment of risks, effectiveness of ongoing evaluations, and other management considerations. Findings are evaluated against criteria established by regulators, recognized standard setting bodies or management and the board of directors, and deficiencies are communicated to management and the board of directors as appropriate.”
Aktivitas pemantauan merupakan kegiatan evaluasi. Evaluasi bertujuan untuk melihat tingkat keberhasilan pengelolaan kegiatan, melalui kajian terhadap manajemen dan output pelaksanaannya serta permasalahan yang dihadapi, untuk selanjutnya menjadi bahan evaluasi kinerja program dan kegiatan selanjutnya. Aktivitas pemantauan atau evaluasi digunakan untuk memastikan apakah masing-masing dari lima komponen pengendalian internal mempengaruhi prinsip-prinsip dalam setiap komponen, ada dan berfungsi. Informasi terkait harus diidentifikasi, ditangkap dan dikomunikasikan dalam bentuk dan kerangka waktu yang memungkinkan orang untuk melaksanakan tanggung jawab mereka. Sistem informasi menghasilkan laporan, yang berisi operasional, informasi keuangan dan kepatuhan yang terkait, yang memungkinkan untuk menjalankan dan mengendalikan bisnis. Komunikasi yang efektif juga harus terjadi dalam arti luas, mengalir ke bawah, terus hingga ke puncak organisasi. Mereka harus memahami
peran mereka sendiri dalam sistem pengendalian internal, serta bagaimana kegiatan individu berhubungan dengan pekerjaan.
Kelima komponen ini terkait satu dengan yang lainnya, sehingga dapat memberikan kinerja sistem yang terintegrasi yang dapat merespon perubahan kondisi secara dinamis. Sistem pengendalian internal terjalin dengan aktifitas opersional perusahaan, dana akan lebih efektif apabila pengendalian dibangun ke dalam infrastruktur perusahaan, untuk kemudian menjadi bagian yang paling esensial dari perusahaan atau organisasi.
Terlepas dari bagaimana bagusnya desain dan operasinya, pengendalian internal hanya dapat memberikan keyakinan memadai bagi manajemen dan dewan komisaris berkaitan dengan pencapaian tujuan pengendalian internal entitas (Sukrisno Agoes, 2012: 105). Pengendalian internal setiap entitas memiliki keterbatasan bawaan, seperti yang dikemukakan oleh Mulyadi (2010: 181) keterbatasan yang melekat dalam setiap pengendalian internal yaitu:
1. Kesalahan dalam pertimbangan
Seringkali manajer dan personel lain dapat salah dalam mempertimbangkan keputusan bisnis yang diambil atau dalam melaksanakan tugas rutin karena tidak memadainya informasi, keterbatasan waktu dan tekanan lain.
2. Gangguan
Gangguan dalam pengendalian yang telah ditetapkan dapat terjadi karena personel secara keliru memahami perintah atau membuat kesalahan karena kelalaian, tidak adanya perhatian, atau kelelahan.
Perubahan yang bersifat sementara atau permanen dalam personel atau dalam sistem dan prosedur dapat pula mengakibatkan gangguan. 3. Kolusi
Tindakan bersama beberapa individu untuk tujuan kejahatan disebut dengan kolusi (collusion). Kolusi dapat mengakibatkan bobolnya pengendalian internal yang dibangun untuk melindungi kekayaan entitas dan tidak terungkapnya ketidakberesan atau tidak terdeteksinya kecurangan oleh pengendalian internal yang dirancang.
4. Pengabaian oleh manajemen
Manajemen dapat mengabaikan kebijakan atau prosedur yang telah ditetapkan untuk tujuan yang tidak sah seperti keuntungan pribadi manajemen, penyajian kondisi keuangan yang berlebihan, atau ketaatan semu.
5. Biaya lawan manfaat
Biaya yang diperlukan untuk mengoperasikan pengendalian internal tidak boleh melebihi manfaat yang diharapkan dari pengendalian internal tersebut. Karena pengukuran biaya secara tepat baik biaya maupun manfaat biasanya tidak mungkin dilakukan, manajemen harus memperkirakan dan mempertimbangkan secara kuantitatif dan kualitatif dalam mengevaluasi biaya dan manfaat suatu pengendalian internal.
Istilah efektivitas penting artinya dalam pengendalian internal. Pengendalian berorientasi pada usaha untuk menilai dan meningkatkan unsur
efektivitas dari setiap aktivitas dalam suatu organisasi. Efektivitas merupakan suatu keadaan yang menunjukan tingkat keberhasilan atau kegagalan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu (Komarudin, 1994: 269). Sedangkan menurut Hasibuan (2003: 242) “Effectiveness is measuring intern of attaining prescibled goal objectivities”, diartikan bahwa efektifitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat dikatakan bahwa efktivitas merupakan ketercapaian tujuan sesuai dengan yang ditargetkan melalui sejumlah ukuran. Pengendalian internal dapat dikatakan efektif apabila ketiga kategori tujuan pengendalian internal di dalam perusahaan dapat dicapai, dengan melaksanakan komponen-komponen pengendalian internal dengan baik.
2.1.2 Kredit
Dalam bahasa latin kredit disebut “credere” yang artinya percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya (Kasmir, 2014: 112). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam, yang dibuat oleh bank atau koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan menurut Mahmoeddin (2002: 2) pengertian kredit adalah:
“Kredit ialah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”
Dari beberapa pengertian kredit diatas, dapat disimpulkan bahwa kredit merupakan proses kesepakatan antara pihak kreditur sebagai penyedia dana dan pihak debitur sebagai pihak peminjam, untuk melakukan perjanjian penyediaan dana dari pihak kreditur kepada pihak debitur dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama.
Unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit menurut Kasmir (2014: 114) adalah sebagai berikut:
1. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bagi si pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan baik berupa uang, barang atau jasa benar-benar diterima kembali di masa yang akan datang sesuai jangka waktu kredit. 2. Kesepakatan
Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing-masing-masing. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam akad kredit dan ditandatangani kedua belah pihak sebelum kredit dikucurkan.
3. Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak.
4. Risiko
Akibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu kredit. Semakin panjangnya suatu jangka waktu kredit, maka semakin besar risikonya, demikian pula sebaliknya.
5. Balas jasa
Balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan atas pemberian kredit. Dalam bank jenis konvensional biasa disebut dengan bunga. Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai, seperti yang dikemukakan oleh Kasmir (2014: 116) dalam praktiknya tujuan pemberian suatu kredit sebagai berikut:
Tujuan utama pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan ini bertujuan untuk kelangsungan hidup bank dan juga untuk memperbesar usaha bank.
2. Membantu usaha nasabah
Tujuan selanjutnya adalah membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana untuk investasi maupun dana untuk modal kerja.
3. Membantu pemerintah
Tujuan lainnya adalah membantu pemerintah dalam rangka peningkatan pembangunan di berbagai sektor, terutama sektor riil. Menurut Kasmir (2014: 117) disamping memiliki tujuan pemberian suatu fasilitas kredit juga memiliki suatu fungsi yang sangat luas. Fungsi kredit yang secara luas tersebut antara lain:
1. Untuk meningkatkan daya guna uang
Pemberian kredit uang menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit serta dapat memberikan penghasilan tambahan kepada pemilik dana.
2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya sehingga, wilayah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka wilayah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari wilayah lainnya.
Kredit yang diberikan dapat dipakai untuk mengolah barang yang semula tidak bermanfaat menjadi berguna atau bermanfaat.
4. Meningkatkan peredaran barang
Kredit dapat menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dan dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar.
5. Sebagai alat stabilitas ekonomi
Dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat.
6. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha
Dengan pemberian kredit nasabah dapat memperbesar atau memperluas usahanya.
7. Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan
Dengan pemberian kredit para nasabah dapat memperluas usahanya yang membutuhkan tenaga kerja untuk melaksanakannya, sehingga akan meningkatkan pendapatan.
8. Untuk meningkatkan hubungan internasional
Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan hubungan dan kerjasama di bidang lainnya, sehingga dapat tercipta perdamaian dunia.
Sebelum suatu fasilitas kredit diberikan, lembaga keuangan harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan kembali. Penilaian kredit oleh lembaga keuangan dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan
keyakinan tentang nasabahnya. Analisis kredit adalah penelitian yang dilakukan oleh account officer terhadap kelayakan perusahaan, kelayakan usaha nasabah, kebutuhan kredit, kemampuan menghasilkan laba, sumber pelunasan kredit serta jaminan yang tersedia untuk meng-cover permohonan kredit (Rivai, 2013: 217)
Tujuan utama analisis kredit adalah untuk memperoleh keyakinan apakah usaha nasabah layak, nasabah mempunyai kemauan dan kemampuan memenuhi kewajibannya, baik pembayaran pokok pinjaman maupun bunganya sesuai dengan kesepakatan. Hal ini terjadi karena dalam pemberian kredit akan menghadapi risiko, yaitu tidak kembalinya uang yang dipinjamkan. Hal yang harus diperhatikan dalam menganalisis kredit adalah kemauan dan kemampuan dari nasabah itu untuk memenuhi kewajibannya (Rivai, 2013:217).
Pada umumnya para analisis kredit dalam melakukan penilaian kriteria-kriteria serta aspek penilaiannya tetap sama. Biasanya kriteria-kriteria penilaian yang umum dan harus dilakukan oleh para analisis kredit untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar layak untuk diberikan, dilakukan dengan analisis 5 C dan 7 P. Seperti yang dikemukakan oleh Kasmir (2014: 136) penilaian analisis 5 C adalah sebagai berikut.
1. Character
Character merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat dari orang yang akan diberikan kredit harus benar-benar dapat dipercaya. Untuk dapat membaca karakter calon debitur dapat dilihat dari latar belakang nasabah, baik yang bersifat latar belakang pekerjaan atau yang bersifat pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan
keluarga, hobi dan jiwa sosial. Dari sifat dan watak ini dapat dijadikan suatu ukuran tentang kemauan nasabah untuk membayar
2. Capacity
Capacity adalah analisis untuk mengetahui kemampuan nasabah dalam membayar kredit. Dalam penilaian ini terlihat kemampuan nasabah dalam mengelola bisnis.
3. Capital
Untuk melihat penggunaan modal apak efektif atau tidak. Analisis capital juga menganalisis dari mana saja sumber modal yang ada sekarang ini.
4. Condition
Dalam hal ini penilaian kondisi atau prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.
5. Collateral
Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan serta harus teliti terlebih dahulu keabsahan dan kesempurnaannya, sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.
Selanjutnya menurut Kasmir (2014: 138) penilaian suatu kredit dapat pula dilakukan dengan analisis 7 P dengan unsur penilaian sebagai berikut.
Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun kepribadiannya masa lalu. Penilaian personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah dan menyelesaikannya.
2. Party
Yaitu mengklasifikasikan nasabah tertentu atau golongan-golongan tertentu, berdasarkan modal, loyalitas, serta karakternya.
3. Purpose
Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit, termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat bermacam-macam sesuai kebutuhan.
4. Prospect
Yaitu untuk menilai usaha nasabah yang akan datang mempunyai prospek atau sebaliknya.
5. Payment
Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitur, maka akan semakin baik. Sehingga jika salah satu usahanya merugi akan dapat ditutupi oleh usaha lainnya.
6. Profitability
Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode, apakah akan tetap
sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya.
7. Protection
Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar kredit yang diberikan mendapatkan jaminan perlindungan, sehingga kredit yang diberikan benar-benar aman.
Seluruh perjanjian pembiayaan antara perusahaan pembiayaan dengan debitur wajib dibuat secara tertulis. Perjanjian pembiayaan antara perusahaan pembiayaan dengan debitur wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 29/POJK.05/2014 perjanjian pembiayaan paling sedikit memuat:
1. jenis kegiatan usaha dan cara pembiayaan; 2. nomor dan tanggal perjanjian;
3. identitas para pihak;
4. barang atau jasa pembiayaan; 5. nilai barang atau jasa pembiayaan;
6. jumlah piutang dan nilai angsuran pembiayaan; 7. jangka waktu dan tingkat suku bunga pembiayaan; 8. objek jaminan (jika ada);
9. rincian biaya-biaya terkait dengan pembiayaan seperti biaya survey, biaya asuransi/penjaminan/fidusia, biaya provisi, dan biaya notaris.
10. Klausul pembebanan fidusia secara jelas, apabila terdapat pembebanan fidusia dalam kegiatan pembiayaan;
11. Mekanisme apabila terjadi perselisihan dan pemilihan tempat penyelesaian perselisihan;
12. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak; dan 13. Ketentuan mengenai denda.
Lembaga keuangan memiliki catatan tentang pembayaran angsuran nasabah setiap bulan, baik yang lancar maupun tidak lancar. Kolektibilitas kredit adalah penggolongan kredit berdasarkan keadaan pembayaran pokok dan bunga oleh nasabah serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang masih ditanamkan dalam surat-surat berharga atau penanaman lainnya. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (BI) No. 32/268/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998, maka kredit dapat dibedakan menjadi :
1. Kredit Lancar
Kredit lancar yaitu kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunganya tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit. Kredit lancar mempunyai kriteria sebagai berikut :
a. Pembayaran angsuran pokok dan bunga tepat waktu. b. Memiliki mutasi rekening yang aktif.
c. Bagian dari kredit yang dijamin dengan uang tunai. 2. Kredit Kurang Lancar
Kredit kurang lancar yaitu kredit yang pengembalian pokok pinjaman atau pembayaran bunganya terdapat tunggakan telah melampaui 90 hari sampai 180 hari dari waktu yang telah disepakati. Kredit kurang lancar mempunyai kriteria sebagai berikut :
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan bunga yang telah melampaui 90 hari.
b. Frekuensi mutasi rendah.
c. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang telah dijanjikan lebih dari 90 hari.
d. Terjadi mutasi masalah keuangan yang dihadapi debitur. e. Dokumentasi pinjaman lemah.
3. Kredit Diragukan
Kredit diragukan yaitu kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunganya terdapat tunggakan yang telah melampaui 180 hari sampai 270 hari dari waktu yang disepakati. Kredit diragukan memiliki kriteria sebagai berikut :
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok atau bunga yang telah melampaui 180 hari.
b. Terjadinya wanprestasi lebih dari 180 hari. c. Terjadi cerukan yang bersifat permanen. d. Terjadi kapitalisasi bunga.
e. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian maupun pengikat pinjaman.
4. Kredit Macet
Kredit Macet yaitu kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunganya terdapat tunggakan telah melampaui 270 hari. Kredit macet mempunyai kriteria sebagai berikut :
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok yang telah melampaui 270 hari.
b. Kerugian operasional dituntut dengan pinjaman baru.
c. Jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar, baik dari segi hukum maupun dari segi kondisi pasar.
Di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 perusahaan pembiayaan wajib menilai, memantau dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan terhadap piutang pembiayaan agar kualitas piutang pembiayan senantiasa baik. Penilaian kualitas piutang pembiayaan dikategorikan sebagai berikut:
1. Lancar
Lancar apabila tidak terdapat keterlambatan atau terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender.
2. Dalam perhatian khusus
Dalam perhatian khusus apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender.
Kurang lancar apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sampai dengan 120 (seratus dua puluh) hari kalender.
4. Diragukan
Diragukan apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 120 (seratus dua puluh) hari kalender sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari kalender.
5. Macet
Macet apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari kalender.
Perusahaan pembiayaan wajib menjaga kualitas piutang pembiayaan. Perusahaan pembiayaan yang dikategorikan kredit bermasalah (non performing financing) terdiri atas piutang pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet.
Menurut Kasmir (2014: 131) kredit dikatakan macet jika nasabah sudah tidak mampu lagi untuk membayar pinjamannya, sehingga perlu diselamatkan. Faktor-faktor terjadinya kredit macet adalah hal-hal yang ikut menyebabkan suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan. Faktor-faktor penyebab terjadinya kredit macet menurut Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono (2002: 472) adalah sebagai berikut:
a. Adanya maksud tidak baik dari para debitur yang diragukan. b. Adanya kesulitan atau kegagalan dalam proses likuidasi dari
perjanjian kredit yang telah disepakati antara debitur dengan bank.
c. Kondisi manajemen dan lingkungan usaha debitur.
d. Musibah (misalnya kebakaran, bencana alam) atau kegagalan usaha.
2. Faktor internal
a. Kurang adanya pengetahuan dan keterampilan para pengelola kredit.
b. Tidak adanya kebijakan perkreditan pada bank yang bersangkutan.
c. Pemberian dan pengawasan kredit yang dilakukan oleh bank menyimpang dari prosedur yang telah ditetapkan.
d. Lemahnya organisasi dan manajemen dari bank yang bersangkutan.
Dalam hal kredit pihak lembaga keuangan perlu melakukan penyelamatan, sehingga tidak akan menimbulkan kerugian. Kasmir (2014: 149) mengemukakan upaya yang dilakukan lembaga keuangan untuk menyelamatkan terhadap kredit bermasalah antara lain:
1. Rescheduling
Suatu tindakan yang diambil dengan cara memperpanjang jangka waktu kredit atau jangka waktu angsuran. Dalam hal ini debitur diberikan
keringanan dalam masalah jangka waktu pembayaran kredit, misalnya perpanjangan jangka waktu kredit dari enam bulan menjadi satu tahun, sehingga debitur mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengembalikannya.
2. Reconditioning
Upaya lembaga keuangan mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti:
a. Kapitalisasi bunga yaitu bunga dijadikan utang pokok.
b. Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu, dalam hal ini hanya bunga yang dapat ditunda pembayarannya, sedangkan pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa.
c. Penurunan suku bunga dimaksudkan agar lebih meringankan beban nasabah.
d. Pembebasan bunga diberikan kepada nasabah dengan pertimbangan nasabah tidak mampu lagi membayar kredit tersebut.
3. Restructuring
Tindakan lembaga keuangan kepada nasabah dengan cara menambah modal nasabah dengan pertimbangan nasabah memang membutuhkan tambahan dana dan usaha yang dibiayai memang masih layak. Tindakan ini meliputi dengan menambah jumlah kredit atau dengan menambah equity.
4. Kombinasi
Upaya gabungan antara dilakukan reschelduling dan restructuring misalnya, lembaga keuangan memperpanjang jangka waktu kredit dan menambah jumlah kredit.
b. Reschelduling dan reconditioning
Lembaga keuangan dapat melakukan kombinasi dua cara yaitu dengan memperpanjang jangka waktu dan meringankan bunga.
c. Restructuring dan reconditioning
Upaya penambahan kredit diikuti dengan keringanan bunga atau pembebasan tunggakan bunga akan mendorong pertumbuhan usaha nasabah.
d. Reschelduling, restructuring dan reconditioning
Upaya gabungan ketiga cara tersebut merupakan cara maksimal yang dilakukan oleh lembaga keuangan misalnya jangka waktu diperpanjang, kredit ditambah, dan tunggakan bunga dibebaskan. 5. Penyitaan Jaminan
Penyitaan jaminan merupakan jalan terakhir apabila nasabah sudah benar-benar tidak punya itikad baik ataupun sudah tidak mampu lagi membayar semua utangnya.
2.2 Kerangka Pemikiran
Pengendalian internal sangat diperlukan untuk menjamin agar setiap aktivitas perusahaan dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efisien. Menurut Sukrisno Agoes (2012:100), IAPI (2011:319.2) mendefisikan pengendalian internal sebagai suatu proses yang dijalankan oleh
dewan komisaris, manajemen dan personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan, diantaranya adalah keandalan pelaporan keuangan, efektifitas dan efisiensi operasi, serta kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
Suhardjono (2003: 81) mengungkapkan bahwa lembaga keuangan harus menerapkan pengendalian internal yang dapat melakukan pencegahan sedini mungkin terhadap hal-hal yang dapat merugikan pihak lembaga keuangan serta terjadinya praktek-praktek yang tidak sehat. Penerapan pengandalian internal harus dapat mendorong terciptanya operasional yang efektif dan efisien, sistem pelaporan keuangan yang handal dan pemenuhan perundangan, peraturan serta kebijakan lembaga keuangan.
Mahmoeddin (2002: 2) mengungkapkan bahwa kredit ialah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Malayu S.P Hasibuan (2002: 105) menyatakan bahwa pengendalian internal kredit adalah usaha-usaha untuk menjaga kredit yang diberikan tetap lancar, produktif dan tidak macet. Lancar dan produktif artinya kredit itu dapat ditarik kembali bersama bunganya sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui kedua belah pihak. Hal ini penting karena jika kredit macet berarti kerugian bagi lembaga keuangan yang bersangkutan. Oleh karena itu, penyaluran kredit harus
didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan dengan sistem pengendalian internal yang baik dan benar.
Adapun tujuan pengendalian internal kredit menurut Malayu S.P Hasibuan (2002: 105) diantaranya adalah:
1. Menjaga agar kredit yang disalurkan tetap aman
2. Mengetahui apakah kredit yang disalurkan itu lancar atau tidak
3. Melakukan tindakan pencegahan dan penyelesaian kredit macet atau kredit bermasalah.
4. Mengevaluasi apakah prosedur penyaluran kredit yang dilakukan telah baik atau masih perlu disempurnakan.
5. Memperbaiki kesalahan-kesalahan karyawan analisis kredit dan mengusahakan agar kesalahan itu tidak terulang kembali.
6. Mengetahui posisi persentase collectability credit yang disalurkan lembaga keuangan.
7. Meningkatkan moral dan tanggung jawab karyawan analisis kredit lembaga keuangan.
Beberapa hasil terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh R Mentari (2015) yang meneliti tentang pengaruh efektivitas pengendalian internal dalam mencegah terjadinya kredit macet di PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Bandung Selatan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pengendalian internal berpengaruh dalam meminimalisir kredit macet. Pengendalian internal memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 45,0% terhadap kredit macet pada
PT. Bank Rakyat Indonesia unit Bandung Selatan. Begitu pun dalam penelitian yang dilakukan oleh Haninun (2011) tentang pengaruh pengendalian internal terhadap kredit bermasalah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) cabang Teluk Betung. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pengendalian internal dengan kredit bermasalah sebesar 63,60%.
Berdasarkan uraian tersebut, pengendalian internal merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan suatu koordinasi antara bagian-bagian pada suatu divisi yang ada disuatu perusahaan dalam kaitannya untuk menilai dan mengetahui suatu kebijakan yang telah ditentukan. Dengan adanya pengendalian internal dalam pemberian kredit diharapkan dapat mencegahan sedini mungkin dari hal-hal yang dapat merugikan pihak lembaga keuangan serta terjadinya praktek-praktek yang tidak sehat.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengambil rujukan dari penelitian terdahulu, seperti berikut ini:
Tabel 2.1 Peneliti Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1
Hendrik Elisa Sutejo Samosir
(2016)
Analisis Efektivitas Pengendalian Internal Pemberian Kredit Pada PT. Bank Sumut Kantor
Cabang Sidikalang
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengendalian intern pemberian kredit pada Bank SUMUT Cabang Sidikalang sudah sangat efektif. Terjadinya kredit macet pada Bank
SUMUT Cabang
Sidikalang disebabkan oleh faktor eksternal
(pihak nasabah). 2 Edi Suseno (2015) Analisis Sistem Pengendalian Intern Atas Pemberian Kredit
Gadai Pada PT. Pegadaian (Persero)
Cabang Pegadaian Syariah Simpang Patal
Palembang
Terjadinya kredit macet dipengaruhi risiko internal dikarenakan
dengan kurang
mempertimbangkan penurunan harga emas sehingga terlalu tinggi dalam menaksir sehingga nasabah lebih memilih tidak menebus atau memperpanjang barang yang digadaikan dan Risiko eksternal karena Nasabah tidak mampu
menebus atau memperpanjang barang yang digadaikan. 3 R Mentari Lingga Puspita (2015) Pengaruh Efektivitas Pengendalian Internal Dalam Mencegah Terjadinya Kredit Macet
(Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Bandung Selatan)
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengendalian internal memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 45,0% terhadap kredit macet pada PT. Bank Rakyat Indonesia unit Bandung Selatan 4 Fahmi Alfian Hasanuddin (2015) Pengaruh Pengendalian Internal Terhadap Kredit Macet Kantor
Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Makassar Hasil penelitian menunjukan bahwa pengendalian internal pemberian kredit mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemacetan kredit. 5 Amirah Ahmad (2013) Tinjauan Efektivitas Penerapan Sistem Pengendalian Internal Pemberian Kredit Pada PT Bank Mega Cabang
Makassar
Hasil penelitian menunjukan bahwa
adanya sistem
pengendalian internal pemberian kredit yang efektif menjadi sebuah
bukti nyata atas usaha PT. Bank Mega Tbk untuk mencapai visi dan misinya, 6 Haninun (2011) Pengaruh Pengendalian Intern Perkreditan Terhadap Kredit Bermasalah pada PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero) Tbk.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel pengendalian internal perkreditan terhadap variabel kredit bermasalah sebesar 63,60%
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, maka dibuat paradigma penelitian yang ditunjukan pada gambar 2.1 sebagai berikut:
Gambar 2.1 Paradigma Penelitian Efektivitas Pengendalian Internal Pencegahan Kredit Macet