• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kebutuhan Belajar Klien dengan Penyakit Jantung Koroner

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Kebutuhan Belajar Klien dengan Penyakit Jantung Koroner"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Rega Dwi Putri, Aan Nur’aeni, Valentina Belinda Faculty of Nursing, Universitas Padjadjaran

Email : [email protected]

Abstrak

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang harus dikontrol seumur hidup. Hal ini membutuhkan kepatuhan dari penderitanya, salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan adalah melalui pendidikan kesehatan, namun demikian pendidikan kesehatan seringkali kurang efektif karena tidak melalui hasil kajian kebutuhan terlebih dahulu. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kebutuhan belajar klien dengan PJK di salah satu rumah sakit di Kota Bandung. Metode dalam penelitian ini deskriptif kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini adalah klien PJK yang menjalani rawat inap dan rawat jalan. Teknik sampling dilakukan dengan consecutive sampling, pengambilan data dilakukan selama 30 hari dan didapatkan sebanyak 105 responden. Pengumpulan data menggunakan instrumen A Turkish Version of the Cardiac Patients Learning Needs Inventory (TR-CPLNI). Analisis data menggunakan mean dan distribusi frekuensi dengan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima kebutuhan belajar dengan mean tertinggi, yaitu kebutuhan tentang anatomi dan fisiologi jantung (4,41±0,71); kebutuhan tentang informasi obat (4,34±0,76); kebutuhan informasi tentang gaya hidup (4,30±0,77); kebutuhan tentang informasi diet (4,19±0,82); serta kebutuhan tentang manajemen gejala (4,08±0,93), dan kelima kebutuhan ini masuk kedalam kategori kebutuhan belajar yang penting bagi pasien PJK. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seluruh kebutuhan belajar pasien PJK berdasarkan persepsi pasien adalah penting, termasuk didalamnya kebutuhan tentang informasi anatomi dan fisiologi jantung yang menjadi kebutuhan belajar yang paling penting dirasakan oleh pasien PJK. Tenaga kesehatan perlu memenuhi dan menyusun program pendidikan kesehatan bagi pasien PJK, meliputi seluruh kebutuhan belajar pasien ini.

Kata kunci: Kajian, kebutuhan belajar, penyakit jantung koroner.

Study of The Learning Needs for Clients with Coronary Heart Disease

Abstract

Coronary Heart Disease (CHD) is a disease that must be controlled. This requires adherence from the sufferer, and one of efforts improving adherence can be done through health education. However, health education is often less effective because it is not based on the needs assessment. The purpose of the study was identified the learning needs of clients with CHD in one hospital in Bandung. The method of the research used quantitative descriptive method. The samples was patients with CAD who undergone inpatient and outpatient. The sampling technique used consecutive sampling, data retrieval for 30 days and obtained of 105 respondents. The data was collected by A Turkish Version of the Cardiac Patients Learning Needs Inventory (TR-CPLNI) instrument. Data was analized using mean and frequency distribution with percentage. The results showed that there were five learning needs with the highest mean, namely the need for anatomy and cardiac physiology (4.41±0.71); the need for drug information (4.34±0.76); need for information about lifestyle (4.30±0.77); the need for dietary information (4.19±0.82); and the need for symptom management (4.08±0.93), and these needs were in important category according to patients perception. Based on the results of the study it can be concluded that all the learning needs of CHD patients based on patient perception was important and the need for information on cardiac anatomy and physiology became the most important learning need felt by CHD patients. Health workers need to meet and develop health education programs for CHD patients covering all the learning needs of these patients.

(2)

Pendahuluan

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian tertinggi. Secara global 17,5 juta penduduk meninggal karena penyakit jantung. Kematian akibat penyakit jantung sebanyak 80 persen di negara berpendapatan rendah dan menengah (Delima et al., 2009). Organisasi Kesehatan Dunia pun menyatakan bahwa sejak tahun 1990, lebih banyak orang di seluruh dunia meninggal karena Penyakit Jantung Koroner (PJK) dibanding penyebab lainnya (Cole, Smith, Hart, & Cupples, 2011). Prevalensi PJK di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter sekitar 883.447 orang dan diperkirakan jumlah terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (Kemenkes RI, 2014). Data insidensi PJK sangat tinggi didapatkan medical record dari rumah sakit rujukan terbanyak di Kota Bandung bahwa jumlah klien rawat jalan tahun 2015 saja mencapai 15.639 kasus.

PJK merupakan akibat adanya penyumbatan pembuluh darah koroner (Uysal & Enç, 2012). Gejala umum yang penderita PJK alami ketika serangan akut adalah nyeri dada yang kebanyakan sebagai penyebab kekambuhan (Haasenritter et al., 2012). Penanganan pada fase akut bertujuan menurunkan angka mortalitas. American Heart Association (AHA) merekomendasikan beberapa strategi manajemen nyeri, yaitu pemberian morfin sulfat dan oksigen (Ignatavicius & Workman, 2013).

Penanganan PJK pasca serangan akut adalah dengan melakukan pencegahan sekunder berupa perubahan gaya hidup dan rehabilitasi pasca serangan jantung. Penanganan PJK pasca serangan akut bertujuan menurunkan kejadian serangan berulang (Kemenkes RI, 2011 dalam Indrawati, 2012). Tujuan pencegahan sekunder merupakan salah suatu upaya yang dapat dilakukan klien untuk mencegah perburukan kondisi jantungnya (Rilantono, 2012).

Salah satu faktor berulangnya klien terkena serangan jantung adalah akibat ketidakmampuan klien PJK dalam melakukan pencegahan sekunder (Indrawati, 2012). Informasi obat merupakan salah satu kebutuhan belajar yang harus disampaikan

kepada klien, sehingga klien mampu meakukan tindakan pencegahan sekunder terkait obat, namun dalam kenyataan klien PJK belum mampu melakukan tindakan pencegahan sekunder terkait konsumsi obat yang tidak digunakan sesuai aturan. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab kekambuhan pada klien PJK (Handayani, 2013). Pengendalian dalam melakukan tindakan pencegahan sekunder tidak hanya terkait obat dan perubahan gaya hidup, namun didalamnya juga terdapat pengendalian stres. Komalasari (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa persepsi negatif terhadap penyakit masih menggangu pikiran klien. Klien lebih takut dan cemas jikalau secara tiba-tiba mereka mengalami serangan jantung dan nyeri hebat yang pernah dirasakan datang kembali. Selain itu, dalam hasil penelitian Haryati (2009) yang dilakukan di ruang intensif di salah satu Rumah Sakit di Jawa Barat bahwa klien dengan infark miokard akut 100% mengalami stres emosional. Klien yang mengalami stres emosional dapat memengaruhi kesehatannya dan memicu serangan berulang yang dapat menjadi salah satu potensial penyebab kekambuhan. Sehingga klien harus mengetahui kebutuhan belajar tentang informasi faktor psikologis.

Khan et al. (2006) mengemukakan bahwa sebagian besar pasien yang mengalami serangan jantung kurang pengetahuan tentang gejala akan terjadinya serangan jantung, sehingga terlambat dibawa kerumah sakit bahkan menyebabkan kematian mendadak. Hasil penelitiannya didapatkan bahwa 68% pasien memiliki pengetahuan yang rendah tentang faktor risiko penyebab PJK (Wahyuni, Nurrachmah, & Gayatri, 2012). Upaya perawat untuk menekan prevalensi kekambuhan adalah meningkatkan kesadaran klien untuk mengetahui dan melakukan manajemen preventif melalui pendidikan (Indrawati, 2012). Perawat harus memberikan pendidikan bagi klien sebagai metode dukungan rutin dan tindak lanjut perawatan dengan mempertimbangkan kebutuhan belajar klien sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup klien PJK (Valiee, Razavi, Aghajani, & Bashiri, 2016).

Edukasi harus diberikan kepada klien dengan mempertimbangkan dan mengkaji kebutuhan utamanya, sehingga klien menjadi

(3)

tahu serta dapat mengontrol faktor resiko kekambuhan terkait PJK. Selain itu, efek dari ketepatan edukasi sesuai kebutuhan belajar klien adalah dapat menekan angka risiko kekambuhan. Terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kemampuan melakukan pencegahan sekunder (Indrawati, 2014). Pengetahuan klien terhadap penyakitnya juga dapat membantu untuk mengatasi efek penyakitnya dengan lebih baik (Jaarsma et al., 2000 dalam Galdeano & Rossi, 2010).

Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan salah satu perawat di salah satu rumah sakit di Kota Bandung mendapatkan informasi bahwa form pengkajian edukasi sudah ada. Namun, kelemahan dari form pengkajian edukasi yang ada hanya dalam bentuk pertanyaan secara umum tidak mendeskripsikan satu-satu item kebutuhan pada klien PJK dan form tersebut digunakan di segala ruangan, sehingga tidak secara spesifik khusus untuk mengkaji kebutuhan belajar pasien jantung.

Berbagai macam tipe kebutuhan setiap klien penting diketahui oleh perawat agar nantinya apa yang diberikan dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Hal yang diperlukan untuk pendidikan yang efektif yaitu berupa identifikasi kebutuhan pembelajaran utama yang klien butuhkan. Sehingga pemberian edukasi dapat tersampaikan maksimal dan tepat sasaran sesuai kebutuhan klien. Maka dengan ini peneliti merasa perlu melakukan penelitian mengenai kajian kebutuhan belajar pada klien dengan PJK.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Variabel yang diteliti adalah kebutuhan belajar pasien dengan PJK. Sampel penelitian berjumlah 105 responden dipilih menggunakan non probability sampling dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Kuesioner menggunakan instrumen A Turkish Version of the Cardiac Patients’ Learning Needs Inventory; Patient Questionnaire (TR-CPLNI) yang dikembangkan oleh Uysal dan Enç (2012). TR-CPLNI memiliki nilai reabilitas alpha cronbach sebesar 0,916. Uji validitas pada instrumen (TR-CPLNI) telah dilakukan melalui back translation method. Kemudian instrumen pada penelitian ini telah dilakukan uji konten dengan cara melakukan konsultasi kepada ahli bidang. Analisis data hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi dan nilai mean dari setiap subvariabel.

Penelitian ini telah melalui uji etik dan mendapatkan persetujuan etik melaui surat Nomor 453/UN6.C.10/PN/2017 dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Seluruh responden yang ikut serta dalam penelitian telah diberikan informed consent dan bersedia untuk mengikuti penelitian.

Hasil Penelitian

Tabel 1 menunjukkan data karekteristik Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karekteristik Responden Klien dengan PJK (n=105)

Karekteristik Responden Frekuensi (f) Persentase (%) Usia 18-39 tahun 2 1.9 40-59 tahun 61 58.1 60-74 tahun 39 37.1 75-90 tahun 3 2.9 Jenis kelamin Laki-laki 78 74.3 Perempuan 27 25.7 Pekerjaan Bekerja 57 54.3

(4)

Tidak Bekerja 48 45.7 Pendidikan Tidak Sekolah 1 1 Pendidikan Dasar 44 41.9 Pendidikan Menengah 33 31.4 Pendidikan Tinggi 27 25.7 Agama Islam 98 93.3 Kristen 7 6.7 Suku Sunda 84 80 Jawa 13 12.4 Lain-lain 8 7.8

Tabel 2 Kebutuhan Belajar Klien dengan Penyakit Jantung Koroner dari Tiap-tiap Subvariabel

Subvariabel Kebutuhan Belajar

Klien dengan PJK

Jumlah Item

Pernyataan (Nilai Rerata)Mean±SD Interpretasi

Kebutuhan tentang anatomi dan fisiologi jantung (cara kerja jantung)

5 4,41±0,71 Subvariabel dengan nilai mean tertinggi mengartikan subvariabel yang sangat penting atau sangat dibutuhkan bagi

klien PJK Kebutuhan tentang

informasi obat 5 4,34±0,76

Kebutuhan tentang

faktor gaya hidup 3 4,30±0,77

Kebutuhan tentang informasi diet 5 4,19±0,82 Kebutuhan tentang manajemen gejala 6 4,08±0,93 Kebutuhan tentang faktor psikologis 4 4,07±0,77 Kebutuhan terkait lainnya 4 3,99±0,87 Kebutuhan tentang aktivitas fisik 6 3,64±1,12

Tabel 3 Pernyataan dengan Nilai Mean Tertinggi dari Masing-masing Subvariabel Kebutuhan Belajar Klien dengan PJK

Subvariabel Kebutuhan Belajar

Klien dengan PJK Tertinggi dari Tiap SubvariabelPernyataan dengan Nilai Mean (Nilai Rerata Tertinggi dari Mean±SD Setiap Pernyataan Tiap

Subvariabel)

Anatomi dan fisiologi jantung (cara

kerja jantung) Apa yang dilakukan orang yang mengalami serangan pada jantung? 4,51±0,62 Faktor psikologis Apa yang dapat saya lakukan untuk

mengurangi stres dalam hidup saya?

(5)

Faktor gaya hidup Apa yang dapat saya lakukan agar saya tidak mengalami serangan pada jantung lagi?

4,44±0,64 Informasi obat Aturan umum mengenai

penggunaan obat 4,41±0,71

Informasi diet Aturan umum mengenai pola

makan sehat 4,35±0,73

Aktivitas fisik Aturan umum mengenai kegiatan

fisik setelah serangan pada jantung 4,26±0,76 Manajemen Gejala Apa yang dapat saya lakukan saat

nyeri dada? 4,27±0,76

Informasi Lainnya Dimanakah keluarga saya dapat memperoleh informasi rinci mengenai CPR (resusitasi jantung paru)?

4,31±0,84

demografi berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, agama, dan suku. Dilihat dari karekteristik responden, sebagian besar klien PJK berusia dalam rentang 40-59 tahun sebanyak 61 responden, berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 78 responden, dan klien masih bekerja sebanyak 57 responden. Dilihat dari pendidikan, hampir setengahnya klien berpendidikan dasar sebanyak 44 responden, dan hampir seluruh beragama Islam yaitu sebanyak 98 responden serta bersuku Sunda yaitu sebanyak 84 responden.

Table 2 mendapatkan hasil bahwa sebagian besar kebutuhan belajar klien dengan PJK yang dianggap sangat penting yaitu kebutuhan belajar pada subvariabel anatomi dan fisiologi jantung (cara kerja jantung) dengan nilai mean tertinggi (4,41), dan kebutuhan belajar dengan nilai mean terendah (3,64) yaitu kebutuhan tentang aktivitas fisik.

Tabel 3 menunjukkan bahwa item pernyataan dengan nilai mean tertinggi dari masing-masing subvariabel. Nilai mean mengartikan semakin tinggi nilai mean, maka semakin penting bagi klien. Dari tabel diatas didapatkan nilai mean pernyataan tertinggi dari seluruh subvariabel adalah pernyataan pada subvariabel anatomi fisiologi jantung yaitu pernyataan “Apa yang dilakukan orang yang mengalami serangan pada jantung”.

Pembahasan

PJK memiliki dampak terhadap berbagai aspek kehidupan penderitanya, baik secara fisik maupun psikososial. Secara fisik penderita akan merasakan sesak, mudah lelah, mengalami gangguan seksual, serta nyeri dada, selain itu masalah psikososial seperti cemas dan depresi juga sering dialami oleh klien (Gustad, Laugsand, Janszky, Dalen, & Bjerkeset, 2014; Lane, Carrol, Lip, Carroll, & Lip, 2003). Proses pendidikan secara bersama-sama melakukan kegiatan belajar dan mengajar yang hasilnya didefinisikan berupa suatu perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) akibat paparan terhadap stimulus lingkungan (Bastable & Susan, 2002). Pembelajaran bertujuan membentuk kesadaran perubahan sikap dan perilaku klien. Perawat harus mengkaji, mengidentifikasi, menentukan, dan mengembangkan metode pembelajaran atau pendidikan dengan menentukan kebutuhan utama yang ingin klien ketahui (Uysal & Enç, 2012).

Hasil penelitian “Kajian Kebutuhan Belajar Klien dengan Penyakit Jantung Koroner di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Bandung” secara keseluruhan kebutuhan belajar yang paling dibutuhkan oleh klien dengan PJK adalah kebutuhan belajar tentang anatomi dan fisologi jantung (cara kerja jantung), kedua tentang informasi

(6)

obat, ketiga tentang faktor gaya hidup, dan kebutuhan yang menjadi prioritas terendah adalah kebutuhan tentang aktivitas fisik.

Kebutuhan anatomi dan fisiologi jantung dianggap paling penting pada penelitian ini. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Uysal dan Enç (2012) di Turki, bahwa informasi mengenai anatomi dan fisiologi juga merupakan kebutuhan yang paling penting bagi klien dalam evaluasi pra-discharge. Berbeda dengan hasil penelitian Gerard dan Peterson tahun 1984 dalam Uysal dan Enç (2012), kebutuhan pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi ditemukan tidak menjadi kebutuhan paling penting dibandingkan dengan kebutuhan faktor psikologis, faktor risiko, informasi obat, informasi diet, dan aktivitas fisik, justru dalam penelitian Gerard dan Peterson kebutuhan yang paling dibutuhkan adalah tentang faktor gaya hidup. Dalam penelitian yang peneliti lakukan bahwa kebutuhan belajar mengenai anatomi dan fisiologi jantung menjadi sangat penting, namun penelitian sebelumnya tidak penting kemungkinan dipengaruhi oleh faktor pengetahuan. Kebanyakan klien dalam penelitian ini tidak memiliki pengetahuan mengenai informasi anatomi dan fisiologi jantung, tidak menerima informasi yang memadai tentang anatomi fisiologi jantung atau cara kerja jantung. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Karlik et al. dalam Jaworsky (2005) bahwa kebutuhan anatomi dan fisiologi menjadi penting pada area penelitiannya, karena tidak banyak data tentang anatomi dan patofisiologi PJK yang ditemukan di media. Selain itu, di iklan televisi, sumber internet, dan informasi pamflet yang diberikan kepada pasien hanya sedikit yang mengandung informasi tentang struktur jantung dan apa yang terjadi pada jantung selama serangan. Klien tahu bahwa untuk benar-benar memahami penyakit mereka, maka mereka harus mulai dengan memahami proses penyakit jantung koroner dan kerusakan apa yang telah terjadi pada otot jantung.

Pemahaman yang baik tentang anatomi dan fisiologi PJK ini juga penting untuk mereka memahami bagaimana obat yang diresepkan akan bekerja. Selain itu banyak

penelitian lain juga yang menemukan bahwa informasi pengobatan dan faktor gaya hidup merupakan bidang perhatian yang paling penting, bersamaan dengan anatomi dan fisiologi jantung (Jaworski, 2005). Melihat dari hasil penelitian ini, maka perawat dan tenaga medis lainnya dapat memberikan atau lebih menekankan pendidikan kesehatan mengenai anatomi dan fisiologi jantung.

Item pernyataan dengan rerata tertinggi pada subvariabel anatomi dan fisiologi adalah mengenai “Apa yang dilakukan orang yang mengalami serangan pada jantung?”. Menurut Henrickson et al. (2004) saat serangan jantung hal yang dapat dilakukan klien adalah klien harus membatasi aktivitas dan harus istirahat karena dapat mengurangi kerja jantung. Bantuan cepat untuk meredakan nyeri dada adalah dengan istirahat dan nitrogliserin. Nitrogliserin dapat mengurangi 50% lebih intensitas nyeri dada yang diarasakan kurang lebih 5 menit. Widiastuti (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa edukasi klien dilakukan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan klien, mencegah penyakit, dan memperbaiki atau mengembalikan kesehatan.

Subvaribel kebutuhan belajar dengan rerata terendah pada klien PJK pada hasil penelitian ini adalah pada subvaribel tentang kebutuhan aktivitas fisik. Kebutuhan belajar tentang aktivitas fisik menjadi paling rendah, hal ini berkaitan dan dipengaruhi oleh karekteristik responden yang sebagian besar berada pada masa dewasa madya. Menurut teori Hurlock (1980) pada umumnya usia madya atau usia setengah bayi (40-59 tahun) merupakan masa dimana pada masa tersebut ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani, terjadi penurunan kekuatan fisik, diiringi pula penurunan daya ingat, dan meningkatnya kecenderungan untuk pensiun. Menurut Erikson, selama usia 40-59 tahun seseorang bisa jadi akan lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi. Selain itu, pada masa ini terjadi perubahan seksual pada wanita maupun pria, berkaitan dengan item tersebut sebagian besar responden menganggap kehidupan seksual tidak penting lagi serta adanya perubahan minat akibat dari

(7)

perubahan tugas, tanggung jawab, kesehatan, dan peran dalam hidup. Dalam segi aktivitas banyak orang usia madya khususnya kaum pria secara konstan mungkin menentang atau menolak untuk patuh mengikuti resep dokter tentang diet atau membatasi kegiatan walaupun dengan alasan demi kesehatan (Hurlock, 1980). Hasil penelitian ini mendukung teori tersebut, dimana kebutuhan tentang aktivitas fisik menjadi prioritas terakhir karena sebagian besar responden (58,1%) berada pada usia madya yang dapat mempengaruhi klien kurang membutuhkan informasi tentang aktivitas fisik terutama dalam hal kehidupan seksual.

Item pernyataan dengan mean tertinggi pada subvariabel kebutuhan belajar tentang aktivitas fisik adalah pada item mengenai “Aturan umum mengenai kegiatan fisik setelah serangan pada jantung”. Menurut Davis (2004) aktivitas fisik adalah multidimensi yang dibuktikan dengan upaya untuk menentukan (frekuensi, durasi, dan intensitas) dalam kaitannya dengan morbiditas, dan mortalitas. Aktivitas fisik telah menunjukkan efektivitas dalam peningkatan rasa kesejahteraan, suasana hati, rasa percaya diri, dan kualitas hidup pada orang dengan penyakit kardiovaskular. Selain itu, menurut Baird (2016) ketika klien keluar dari rumah sakit, penting untuk diketahui klien, bahwa klien harus melanjutkan program aktivitas berupa berjalan kaki yang dimulai secara perlahan dengan catatan tidak melakukan melebihi kemampuan klien. Salah satu tujuan eduaksi klien PJK yaitu klien memiliki semangat hidup, kepercayaan diri, kualitas hidup yang baik (Widiastuti, 2012).

Kebutuhan lainnya yang dibutuhkan klien PJK didapatkan item pernyataan dengan rerata tertinggi mengenai “Dimanakah keluarga saya dapat memperoleh informasi rinci mengenai CPR (resusitasi jantung paru)?”. Kebutuhan lainnya yang dibutuhkan klien pada penelitian ini tentang informasi CPR, kemungkinan besar karena kekhawatiran klien terkait pengalaman yang pernah mereka alami terutama saat terjadi serangan pada diri sendiri ataupun berdasarkan kejadian di sekitar. Kebutuhan mengenai informasi CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) bagi

keluarga klien memang belum didapatkan, maka perlu bagi perawat dan tenaga medis lainnya agar merencankan pembelajaran dan pelatihan untuk keluarga agar belajar bagaimana melakukan CPR. Hal ini bertujuan agar keluarga klien dapat memberikan bantuan dan penanganan langsung terhadap klien saat situasi darurat, serta meminimalisir risiko kematian lebih cepat. Hal yang bisa diberikan rumah sakit adalah dengan mengadakan simulasi penatalaksanaan CPR bagi keluarga klien.

Kebutuhan tiap individu dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan juga memengaruhi tingkat tersebut (You et al., 2014). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pendidikan untuk klien PJK memengaruhi kebutuhan belajar mereka serta dapat meningkatkan pengetahuan mereka tentang penyakit dan meningkatkan kesehatan mereka setelah serangan (You et al., 2014). Berdasarkan teori, jenis kelamin memengaruhi kebutuhan belajar seseorang. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kebutuhan belajar pada laki-laki lebih dominan pada kebutuhan aktivitas fisik terkait pekerjaan mereka ingin mengetahui kapan mereka dapat kembali bekerja setelah serangan, dan dalam segi aktivitas seksual. Akan tetapi bila dilihat dari kebutuhan prioritas pada wanita informasi diet menjadi kebutuhan yang paling terpenting bagi mereka, hal ini kemungkinan mereka lebih mementingkan perencanaan dan penyesuaian dirumah setelah keluar dari rumah sakit (Jaworski, 2005). Namun, hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini, walaupun responden penelitian ini sebagian besar berjenis kelamin laki-laki namun kebutuhan tentang aktivitas fisik justru menjadi kebutuhan yang paling rendah. Peneliti menyimpulkan perbedaan prioritas hasil penelitian ini, kemungkinan juga dipengaruhi oleh perbedaan karekteristik responden di negara tersebut dengan karakteristik responden pada penelitian ini. Kemungkinan diluar negeri dalam rentang usia madya masih sangat produktif. Sehingga mereka memikirkan bagaimana agar dapat kembali bekerja.

(8)

Hasil penelitian mengenai kajian kebutuhan belajar klien dengan Penyakit Jantung Koroner di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Bandung dapat ditarik kesimpulan bahwa delapan subvariabel kebutuhan belajar yang diteliti merupakan kebutuhan belajar yang penting menurut pasien PJK. Dari 8 subvariabel tersebut jika diurutkan berdasarkan kebutuhan belajar yang paling penting (mean tertinggi) ke kebutuhan belajar dengan prioritas terendah adalah sebagai berikut: kebutuhan tentang anatomi dan fisiologi jantung; kebutuhan tentang informasi obat; kebutuhan informasi tentang gaya hidup; kebutuhan tentang informasi diet; serta kebutuhan tentang manajemen gejala; kebutuhan belajar tentang faktor psikologi; kebutuhan lainnya; dan kebutuhan tentang aktivitas fisik. Selain itu, informasi lainnya yang paling dibutuhkan klien adalah informasi terkait dimana keluarga klien dapat mempelajari informasi rinci mengenai CPR. Daftar Pustaka

Cole, J., Smith, S.M., Hart, N., & Cupples, M.E. (2011). Systematic review of the effect of diet and exercise lifestyle interventions in the secondary prevention of coronary

heart disease. Cardiology Research and Practice, 2011 (Mi), 232351. https://doi. org/10.4061/2011/232351.

Davis, L. (2004). Cardiovascular nursing secrets. United States Of America: Elsevier Mosby.

Delima, M.L., & Siswoyo, H. (2009). Prevalensi dan faktor determinan penyakit jantung di Indonesia. Bulletin Peneliti Kesehatan, 37(3), 142–159. http://doi. org/10.1017/CBO9781107415324.004. Galdeano, L.E., & Rossi, L.A. (2010). Deficient knowledge nursing diagnosis: Identifying the learning needs of patients, 21(3). https://doi.org/10.1111/j.1744-618X.2010.01155.

Gustad, L., Laugsand, L., Janszky, I., Dalen,

H., & Bjerkeset, O. (2014). Symptoms of anxiety and depression and risk of acute myocardial infarction: The HUNT 2 study. European Heart Journal, 35(21), 1394–403. http://doi.org/10.1093/eurheartj/eht387. Haasenritter, J., Aerts, M., Bosner, S., Buntinx, F., Burnand, B., Herzig, L., … Donner-Banzhoff, N. (2012). Coronary heart disease in primary care: Accuracy of medical history and physical findings in patients with chest pain--a study protocol for a systematic review with individual patient data. BMC Family Practice, 13, 81. http:// doi.org/10.1186/1471-2296-13-81.

Handayani, S. (2013). Gambaran Tindakan pencegahan sekunder pada klien penyakit jantung koroner, 39–46.

Haryati, R. (2009). Studi deskriftif tentang konstipasi pada klien akut miokard infark di ruang CICU, HCCU, HCU Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. Bandung, 42.

Henrickson, C.A., Howell, E.E., & Bush, D.E. (2004). Chest pain relief by nitroglycerin does not predict active coronary artery disease. ACC Current Journal Review, 13(4), 1–7. Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Ignatavicius, D.D., & Workman, M. (2013). Medical surgical nursing patient-centered collaborative care. America: Elsevier Saunders.

Indrawati, L. (2012). Analisis faktor yang berhubungan dengan kemampuan pasien PJK melakukan pencegahan sekunder faktor risiko di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Jakarta: Universitas Indonesia.

Lane, D., Carrol, D., Lip, G.Y.H.H., Carroll, D., & Lip, G.Y.H.H. (2003). Anxiety, depression, and prognosis after myocardial infarction. Journal of the American College of Cardiology, 42(10), 1808–1810. http://doi. org/10.1016/j.jacc.2003.08.018.

(9)

Valiee, S., Razavi, N.S., Aghajani, M., & Bashiri, Z. (2016). Effectiveness of a psychoeducation program on the quality of life in patients with coronary heart disease: A clinical trial. Applied Nursing Research, 33, 36–41. http://doi.org/10.1016/j. apnr.2016.09.002.

Wahyuni, A., Nurrachmah, E., & Gayatri, D. (2012). Kesiapan pulang pasien penyakit

jantung koroner melalui penerapan. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15, No. 3, 151–158. You, G.-Y., Li, X., Xu, Y., Hu, X.-L., He, L., Wang, Y.-L., … Zhang, Q. (2014). Learning needs of Chinese patients before undergoing elective percutaneous coronary intervention. Contemporary Nurse, 47(1–2), 152–8. http:// doi.org/10.5172/conu.2014.47.1-2.152.

Gambar

Tabel  1  menunjukkan  data  karekteristik  Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karekteristik Responden Klien dengan PJK (n=105)
Tabel 3 Pernyataan dengan Nilai Mean Tertinggi dari Masing-masing Subvariabel    Kebutuhan  Belajar Klien dengan PJK
Table  2  mendapatkan  hasil  bahwa  sebagian  besar  kebutuhan  belajar  klien  dengan  PJK  yang  dianggap  sangat  penting  yaitu  kebutuhan  belajar  pada  subvariabel  anatomi  dan  fisiologi  jantung  (cara  kerja  jantung) dengan nilai mean tertingg

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan obat pada pasien penyakit jantung koroner di Rumah Sakit “A” Kudus tahun 2012 berdasarkan jenis obat yang digunakan

Depdiknas (2010: 1) dalam lokakaryanya kesegaran jasmani tahun 1984 TKJI telah disepakati dan ditetapkan menjadi suatu instrumen yang berlaku diseluruh wilayah

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,