• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Corporate Social Responsibility (CSR). Hari demi hari gaungnya pun semakin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Corporate Social Responsibility (CSR). Hari demi hari gaungnya pun semakin"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Seperti angin semilir kemudian bertiup semakin kencang, begitulah hembusan wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau yang biasa disebut Corporate Social Responsibility (CSR). Hari demi hari gaungnya pun semakin terasa dan seolah telah menjadi tren global. Secara singkat, CSR dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan kepada para stakeholders-nya. Stakeholders atau para pemangku kepentingan tersebut merupakan pihak-pihak yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, seperti karyawan, pemegang saham, konsumen, masyarakat, pers, maupun pemerintah.

Secara teoritis, The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam publikasinya Making Good Business Sense (Wibisono, 2007: 7) mendefenisikan CSR sebagai komitmen dunia usaha untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.

CSR yang kini banyak diimplementasikan banyak perusahaan, mengalami evolusi dan metamorfosis dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pada saat industri berkembang setelah terjadi revolusi industri, kebanyakan perusahaan masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari keuntungan belaka.

(2)

dirinya sendiri, terjadilah perubahan. Masyarakat tak hanya menuntut organisasi bisnis untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial, karena kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif, misalnya eksploitasi sumber daya dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi perusahaan.

Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR yang paling primitif, yakni kedermawanan yang bersifat karitatif. Gema CSR semakin terasa pada tahun 1960-an, dimana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan (Wibisono, 2007: 4). Sejak saat itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian yang kian luas.

Di era 1980-an, makin banyak perusahaan yang menggeser konsep filantropisnya kearah community development. Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan, seperti, pendekatan integral, pendekatan stakeholder, maupun pendekatan civil society. (Wibisono, 2007: 6)

Terobosan besar dalam konteks CSR dilakukan oleh John Elkington (Wibisono, 2007: 6) melalui konsep “3P” (profit, people, dan planet) yang dituangkan dalam bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentith Century Business” yang dirilis pada tahun 1997. Ia berpendapat, jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people), dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan

(3)

(planet). Gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakan World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan.

Aktivitas CSR memang memperlihatkan kecendrungan yang sangat meningkat, baik di Indonesia maupun di berbagai negara. Sulit dipungkiri bahwa wacana CSR yang sebelumnya merupakan isu marginal, kini telah menjelma menjadi isu sentral. Komitmen untuk bertanggung jawab secara sosial disadari bahwa keuntungan untuk keberlangsungan suatu entitas usaha, secara jangka panjang hanya bisa didapatkan dengan adanya kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan pemberian nilai sumbangan yang bersifat charity, dari US $ 9,6 milyar pada tahun 1999 menjadi US $ 12,19 milyar pada tahun 2002 (http://www.csrindonesia.com/data/resensi/resensipamadi1-resdoc.pdf).

Body Shop, dari awal kemunculannya telah menunjukkan perhatiannya pada dunia ketiga, tidak melakukan uji coba pada hewan, serta menolak kekerasan dalam rumah tangga (Mix 16, Oktober, 2006, hlm. 15). Selain itu, McDonald juga mendirikan Ronald McDonald House Charities yang telah berjalan lebih dari 30 tahun serta Ben & Jerry’s dengan memberikan kontribusi sebesar 1,1 juta dolar AS per tahun melalui kegiatan kemanusiaan (Marketing 11, November, 2007, hlm. 59). Bahkan Nike pernah mendapatkan CSR Award yang tentunya berkat pelaksanaan CSR-nya.

Tren global lainnya adalah di bidang pasar modal. Beberapa bursa sudah menerapkan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang

(4)

memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai CSR yang baik. DJSI mulai dipraktekkan sejak tahun 1991. DJSI mencakup lebih dari 200 perusahaan dari 68 industri di 22 negara dengan jumlah kapitalisasi pasar mencapai 4,3 trilyun dolar AS pada tahun 1999 (Iriantara, 2004: 50).

Begitu pula London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang mempunyai FTSE4Good sejak 2001. Belakangan, inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hangseng Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange (Wibisono, 2007: 75).

Di Indonesia sendiri, perusahaan yang melakukan CSR masih sangat sedikit dan pemahaman mengenai CSR pun masih belum merata. Mewujudka n CSR memang tidak semudah dalam ucapan. Di Indonesia, konsep ini masih dianggap sebagai hal yang ideal. Hal ini diperkuat oleh penelitian Chambers dan kawan-kawan (Wibisono, 2007: 72) terhadap pelaksanaan CSR di tujuh Negara Asia, yakni India, Korea Selatan, Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Dari masing-masing negara diambil 50 perusahaan yang berada pada peringkat atas berdasarkan pendapatan operasional untuk tahun 2002, lalu dikaji implementasi CSR-nya. Hasilnya, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling rendah penetrasi pelaksanaan CSR dan derajat keterlibatan komunitasnya.

Namun demikian, berbagai perusahaan di Indonesia berupaya untuk bisa menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan. Seperti Lifebouy dengan Berbagi Sehat, Kecap Bango dengan Pengembangan Komunitas Petani Kedelai, PT

(5)

Bogasari melalui pendampingan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, serta PT Astra Internasional Tbk. dengan membentuk Politeknik Manufaktur Astra. Bahkan beberapa perusahaan pernah memenangkan CSR Award, antara lain PT Petrokimia Gresik, PT Semen Gresik Tbk., dan PT Riau Andalan Pulp & Paper.

Tak ketinggalan AQUA yang juga berupaya melaksanakan tanggung jawab sosialnya. PT AQUA Golden Mississippi yang hadir di Bumi Pertiwi sejak tahun 1973 dan telah memutuskan untuk bergabung dengan Group DANONE pada tahun 1998, sudah diakui eksistensi, integritas, dan kredibilitasnya.

Sebagai perusahaan air minum terkemuka, AQUA menaruh perhatian besar terhadap tersedianya air bersih, terutama bagi kebutuhan anak-anak

Dari hari ke hari manfaatnya kian optimal dengan produk yang semakin berkualitas juga selalu menjawab kebutuhan, dan kepedulian sosialnya melalui CSR begitu membanggakan dan benefit juga terus dirasakan masyarakat. Melalui gerakan AQUA Lestari, sebuah model bisnis yang dirancang untuk melestarikan sumber daya air sehingga mampu memiliki sumber daya air yang berkelanjutan, mereka kemudian berkembang kepada masalah lingkungan dan sosial. Selain itu, juga permainan Ramsar yang memang dibuat Danone AQUA agar anak-anak lebih mudah mengenali permasalahan lingkungan dan Danone Nations Cup (DNC) yang digelar sejak tahun 2000 telah berhasil mengajak 15 juta anak seluruh dunia berpartisipasi dalam DNC, serta yang terkini program CSR bertajuk “Satu untuk Sepuluh”.

(6)

sayangnya, di Indonesia masih banyak anak-anak yang hidup di daerah kesulitan mendapat akses air bersih. Padahal, air bersih merupakan faktor penting untuk mewujudkan hidup sehat. Di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur, masih banyak warganya yang mengalami kelangkaan air bersih. Untuk mendapatkannya, tak jarang mereka harus berjalan kaki dengan jarak yang jauh. Alhasil, banyak anak-anak kehilangan waktu bermain karena harus mengambil air. Kelangkaan air bersih memang menjadi sumber munculnya berbagai persoalan di Timor Tengah Selatan (TTS). Masa depan sekolah tak terurus karena anak-anak harus berkonsentrasi penuh mencari air bersih. Belum lagi, penyakit demam berdarah, malaria, dan diare akut silih berganti mendera mereka.

Program charity ataupun pemberian sumbangan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sudah menjadi hal yang biasa. Untuk itu, AQUA menyelenggarakan program CSR “Satu untuk Sepuluh” yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan AQUA untuk Anak Indonesia (AuAI) berkomitmen aktif membantu memperbaiki kesejahteraan anak Indonesia

“Satu untuk Sepuluh” merupakan kegiatan CSR AQUA yang dilakukan melalui kegiatan marketing (cause related marketing). Dalam hal ini AQUA membuat sebuah cara yang baru. Memang AQUA tetap menggunakan produk terjual sebagai dasar perhitungan, serta dalam kerangka waktu tertentu. Namun, AQUA tidak menggunakan persentase atau proporsi tertentu untuk menentukan jumlah uang yang mereka sumbangkan, melainkan untuk menentukan jumlah air bersih yang akan mereka sediakan. Perhitungannya adalah volume untuk volume, bukan unit untuk uang. Pendekatan ini sangat menarik, terutama karena AQUA memberi dalam jumlah yang "lebih besar" daripada yang dijualnya. Dengan

(7)

kampanye yang didukung oleh bekas pemain sepak bola terbaik di dunia yang juga sebagai duta DANONE, Zinedine Zidane, program ini berhasil menarik banyak minat, sehingga volume air yang akan disediakan cukup tampak fantastis.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Program Corporate Social Responsibility (CSR) “Satu untuk Sepuluh” Terhadap Citra AQUA”. Untuk lokasi penelitian, peneliti memilih untuk melakukan penelitian ini di Universitas Sumatera Utara (USU). Mahasiswa (USU) terdiri dari manusia-manusia kritis yang dapat memandang segala sesuatu secara bijak, termasuk tanggung jawab sosial yang dilakukan AQUA melalui program bertajuk “Satu untuk Sepuluh” terkait dengan citra AQUA. Para mahasiswa USU juga dapat memahami dengan baik tentang tanggung jawab sosial perusahaan, terutama mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Alasan tersebut yang melandasi peneliti melakukan penelitian di USU.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Sejauhmanakah program Corporate Social Responsibility (CSR) “Satu untuk Sepuluh” berpengaruh terhadap citra AQUA?”

(8)

I.3. Pembatasan Masalah

Perumusan masalah yang terlalu umum dapat mengakibatkan masalah yang akan dibahas tidak jelas hasilnya. Oleh karena itu, perlu adanya pembatasan masalah agar ruang lingkup masalah lebih jelas dan terarah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan terhadap program Corporate Social Responsibility (CSR) “Satu untuk Sepuluh” terkait dengan citra AQUA.

2. Khalayak yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa aktif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara S-1 Reguler.

3. Penelitian dilakukan pada tanggal 13 Maret 2008 sampai dengan 5 April 2008.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.4.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan dalam program CSR “Satu untuk Sepuluh”.

b. Untuk mengetahui perhatian khalayak terhadap program CSR “Satu untuk Sepuluh”.

c. Untuk mengetahui penilaian khalayak terhadap program CSR “Satu untuk Sepuluh” sebagai tanggung jawab sosial AQUA.

(9)

d. Untuk mencari hubungan antara pengaruh program Corporate Social Responsibility (CSR) “Satu untuk Sepuluh” dengan citra AQUA.

I.4.2. Manfaat Penelitian

a. Secara akademis, penelitian ini diharapakan dapat memperkaya khasanah penelitian komunikasi dan sumber bacaan, khususnya penelitian tentang public relations.

b. Secara teoritis, penelitian ini diharapakan dapat memperluas cakrawala dan wawasan peneliti tentang public relations, khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan dan citra perusahaan.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengetahuan mahasiswa tentang public relations, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan.

I.5. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian tersebut disoroti (Nawawi, 1995: 40).

Menurut Kerlinger (Rakhmat, 2004: 6), teori merupakan himpunan konstruk (konsep), yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala

(10)

dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.

Dengan adanya kerangka teori, akan membantu peneliti dalam menentukan tujuan dan arah penelitiannya. Kerangka teori akan membantu penelitian dalam memilih kosep-konsep yang tepat, guna membentuk hipotesa-hipotesa selanjutnya.

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

I.5.1. Public Relations (PR)

Public relations (PR) menyangkut kepentingan setiap organisasi, baik itu organisasi yang bersifat komersial maupun non-komersial. Kehadirannya tidak bisa dicegah, terlepas dari kita menyukainya atau tidak. Sebenarnya, PR terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara antara organisasi yang bersangkutan dengan siapa saja yang menjalin kontak dengannya. Setiap orang pada dasarnya juga selalu mengalami PR, kecuali jika ia terisolasi dan tidak menjalin kontak dengan manusia lainnya.

Secara etimologis, public relations terdiri dari dua kata, yaitu public dan relations. Public berarti publik dan relations berarti hubungan-hubungan. Jadi, public relations berarti hubungan-hubungan dengan publik. Menurut (British) Institute of Public Relations (IPR) (Jefkins, 2004: 9), public relations (PR) adalah keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam

(11)

rangka menciptakan dan memelihara niat baik (goodwill) dan saling pngertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya.

Cultip dan Center (Suhandang, 2004: 45) dalam bukunya Effective Public Relations mengemukakan defenisi public relations sebagai suatu kegiatan komunikasi dan penafsiran, serta komunikasi-komunikasi dan gagasan-gagasan dari suatu lembaga kepada publiknya, serta pendapat dari publiknya itu kepada lembaga tadi, dalam usaha yang jujur untuk menumbuhkan kepentingan bersama sehingga dapat tercipta suatu persesuaian yang harmonis dari lembaga itu dengan masyarakatnya.

Dari defenisi Cultip dan Center, tergambar adanya ciri khas dari PR, yaitu suatu kegiatan timbal balik antara lembaga dengan publiknya. Tidak saja melakukan kegiatan kepada publik yang ada di luar lembaga, tetapi juga pihak publiknya melakukan kegiatan terhadap lembaga itu, sehingga terjadilah suatu pengertian bersama dalam meraih kepentingan bersama. Dalam proses komunikasinya, PR tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menerima.

Secara lebih rinci, Lesly (Iriantara, 2004: 57) menyusun semacam daftar objektif kegiatan PR, diantaranya:

1. Prestise atau “citra yang favourable” dan segenap faedahnya

2. Promosi produk atau jasa

3. Mendeteksi dan mengahadapi isu dan peluang

4. Menetapkan postur organisasi ketika berhadapan dengan publiknya

5. Good will karyawan atau anggota organisasi

(12)

7. Mengatasi kesalahpahaman dan prasangka

8. Merumuskan dan membuat pedoman kebijakan

Tujuan kegiatan PR tersebut, pada gilirannya akan memberi manfaat terhadap organisasi. Prestise atau citra yang baik, misalnya akan memberi manfaat yang sangat besar bagi organisasi, bahkan citra dan reputasi ini sering disebut sebagai aset terbesar perusahaan. Karena itu, reputasi mendapat perhatian yang sangat besar, dan manajemen reputasi merupakan salah satu bagian dari kegiatan PR yang penting. Untuk mempertahankan bahkan meningkatkan citra dan reputasi organisasi atau perusahaan dapat dilakukan salah satunya dengan melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan dalam rangkaian kegiatan PR.

I.5.2. Community Relations

Jerold (Iriantara, 2004: 20) mendefenisikan community relations sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya untuk kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas.

DeMartinis (Iriantara, 2004: 20) menjelaskan community relations hanya sebagai cara berinteraksi dengan berbagai publik yang saling terkait dengan operasi organisasi. Publik dalam public relations (PR) disebut sebagai stakeholders. Stakeholders ini terbagi dua, yaitu stakeholders internal dan stakeholders eksternal. Yang termasuk dalam stakeholders internal, antara lain pemegang saham, direksi dan manajer professional, karyawan, serta keluarga

(13)

karyawan. Sedangkan stakeholders eksternal terdiri dari konsumen, penyalur dan pemasok, pemerintah, pers, pesaing, serta komunitas dan masyarakat. Konsep DeMartinis tentang komunikasi menunjukkan bahwa sesungguhnya apa yang dinamakan publik dalam PR itu adalah komunitas.

Hubungan antara organisasi dengan komunitas bukanlah soal bertetangga belaka. Konsep komunitas telah megalami pergeseran, sehingga komunitas tidak hanya dimaknai dengan lokalitas belaka, melainkan juga dimaknai secara struktural, artinya dilihat dari aspek interaksi yang ada saat ini bisa saja berlangsung diantara individu yang berbeda lokasinya. Karena itu, hubungan antara organisasi dan komunitas lebih tepat dipandang sebagai wujud tanggung jawab sosial organisasi.

Create Profit Inc. (2001) (Iriantara, 2004: 27) menggambarkan 3 tahapan perkembangan konsep tanggung jawab sosial organisasi bisnis dalam konteks community relations. Pertama, community relations dan pemberian sumbangan sebagai respons atau kebutuhan/ tekanan lokal dan manajemen senior/ chief executive officer (CEO) pada tahun 1960-an dan 1970-an. Kedua, pada tahun 1980-an dan 1990-an berkembang model community relations yang dinamakan “Model Kewarganegaraan Korporat” yang didasarkan pada isu-isu etis. Ketiga, berkembang konsep aliansi strategis yang terkait erat dengan tujuan organisasi yang muncul sejak tahun 1999.

Pada dasarnya, Community relations dikembangkan demi kemaslahatan organisasi dan komunitasnya dalam bentuk tanggung jawab sosial.

(14)

I.5.3. Corporate Social Responsibility (CSR)

Sebagai sebuah konsep yang makin populer, Corporate Social Responsibility (CSR) ternyata belum memiliki defenisi yang tunggal. Dari sisi etimologis, CSR kerap diterjemahkan sebagai “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”

Ada banyak istilah yang digunakan untuk menunjukkan tanggung jawab sosial perusahaan. Ada yang menyebutnya tanggung jawab korporat, ada juga yang menyebut dengan kewarganegaraan korporat (corporate citizenship), ada yang menamakannya juga corporate community relationship, atau juga yang menyebutnya organisasi berkelanjutan. Selain itu, juga ada yang menyebutnya tanggung jawab sosial korporasi atau tanggung jawab sosial dunia usaha (tansodus).

The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) (Wibisono, 2007: 7) dalam publikasinya Making Good Business Sense mendefenisikan CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan sebagai komitmen dunia usaha untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.

Sedangkan menurut Chambers et.al. (Iriantara, 2004: 49) tanggung jawab sosial perusahaan adalah melakukan tindakan sosial (termasuk lingkungan hidup) lebih dari batas-batas yang dituntut peraturan perundang-undangan. Secara singkat, CSR dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat sukarela. CSR adalah konsep yang mendorong organisasi untuk memiliki tanggung jawab sosial secara seimbang kepada pelanggan, karyawan, masyarakat,

(15)

lingkungan, dan seluruh stakeholder. Sedangkan program charity dan community development merupakan bagian dari pelaksanaan CSR.

Lebih jauh lagi, CSR dapat dimaknai sebagai komitmen dalam menjalankan bisnis dengan memperhatikan aspek sosial, norma-norma dan etika yang berlaku, bukan saja pada lingkungan sekitar, tetapi juga pada lingkup internal dan eksternal yang lebih luas. Tidak hanya itu, CSR dalam jangka panjang memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan.

Perusahaan yang menjalankan program CSR dengan sepenuh hati akan memperoleh sejumlah manfaat (Wibisono, 2007: 78) sebagai berikut:

1. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan

2. Layak mendapatkan social license to operate

3. Mereduksi resiko bisnis perusahaan

4. Melebarkan akses sumber daya

5. Membentangkan akses menuju market

6. Mereduksi biaya

7. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders

8. Memperbaiki hubungan dengan regulator

(16)

I.5.4. Satu untuk Sepuluh

“Satu untuk Sepuluh” adalah kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) AQUA yang ditujukan terutama untuk membantu meningkatkan kesejahteraan anak-anak melalui pengadaan air bersih dan penyuluhan hidup sehat. “Satu untuk Sepuluh” merupakan bagian dari rangkaian kegiatan AQUA untuk Anak Indonesia (AuAI) untuk membantu meningkatkan kesejahteraan anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa.

Untuk mekanisme programnya, yaitu dari setiap 1 liter botol AQUA ukuran 600 ml dan 1500 ml berlabel khusus yang terjual pada bulan Juli hingga September 2007, AQUA akan menyediakan 10 liter air bersih kepada komunitas di daerah Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai tahap awal (http://auai.aqua.com/tentang_AUAI.html).

Pemilihan NTT sebagai lokasi kegiatan ini didasarkan pada survey terbaru yang dilakukan oleh LSM internasional ACF (Action Contre la Faim) (http://auai.aqua.com). NTT juga dianggap sebagai lokasi yang tepat disebabkan oleh kondisi kelangkaan air yang umum terjadi di Indonesia belahan timur. Namun, NTT hanya merupakan tahapan awal dan menggambarkan permulaan dari komitmen AQUA untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak.

Selain penyuluhan hidup sehat, AQUA juga mengupayakan memperpendek jarak sumber air ke kawasan penduduk dari 710 meter menjadi 50 meter melalui titik-titik pengambilan air dan melakukan pembangunan infrastruktur, seperti penempatan pipa-pipa penyaluran. Program ini dilakukan

(17)

secara berkesinambungan untuk mengikutsertakan warga setempat memelihara sumber air. Upaya pemeliharaan ini berkelanjutan sampai dengan 10 tahun (http://www.rmexpose.com/detail.php?id=2180&judul=Aqua%20Danone%20Lun curkan%20Program%20%E2%80%99Satu%20untuk%20Sepuluh%E2%80%99).

Dengan kampanye yang didukung Zinedine Zidane, program ini berhasil menarik banyak minat, sehingga volume air yang disediakan cukup tampak fantastis. Dalam waktu sekitar tiga bulan saja, jumlah air bersih yang disediakan

AQUA mencapai lebih dari satu milyar liter

(http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20071106065142).

I.5.5. Citra

Menciptakan citra yang positif terhadap perusahaan merupakan tujuan utama bagi seorang Public Relations. Citra merupakan suatu penilaian yang sifatnya abstrak yang hanya bisa dirasakan oleh perusahaan dan pihak-pihak yang terkait. Citra yang ideal merupakan impresi yang benar, yang sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya.

Dalam buku Essential of Public Relations (Soemirat dan Ardianto, 2004: 111), Jefkins menyebut bahwa citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta-fakta atau kenyataan. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi (Soemirat dan

(18)

realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas, citra adalah dunia menurut realitas. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang.

Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu objek, dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Solomon, dalam Rakhmat (Soemirat dan Ardianto, 2004: 115), menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan.

Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai dengan pengertian sistem komunikasi dijelaskan oleh John S. Nimpoene (Soemirat dan Ardianto, 2004: 115), dalam laporan penelitian tentang tingkah laku konsumen sebagai berikut:

Model Pembentukan Citra pengalaman mengenai stimulus

Stimulus Respon Rangsang Perilaku Rangsang Kognisi Persepsi Sikap Motivasi

(19)

Public relations digambarkan sebagai input-output, proses intern dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Citra itu sendiri digambarkan melalui persepsi-kognisi-motivasi-sikap.

Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada individu dapat diterima atau ditolak. Empat komponen persepsi-kognisi-motivasi-sikap diartikan sebagai citra individu terhadap rangsang. Walter Lipman menyebut ini sebagai “picture in our head”.

Jika stimulus mendapat perhatian, individu akan berusaha untuk mengerti tentang rangsang tersebut. Persepsi diartikan sebagai hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan yang dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain, individu akan memberikan makna terhadap rangsang tersebut. Kemampuan mempersepsi itulah yang dapat melanjutkan proses pembentukan citra. Persepsi individu akan positif apabila informasi yang diberikan oleh rangsang dapat memenuhi kognisi individu.

Kognisi yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan ini akan timbul apabila individu telah mengerti rangsang tersebut, sehingga individu harus diberikan informasi-informasi yang cukup yang dapat mempengaruhi perkembangan kognisinya. Motivasi dan sikap yang ada akan menggerakkan respons seperti yang diinginkan oleh pemberi rangsang.

(20)

suatu tujuan. Sedangkan sikap adalah kecendrungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan. Sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sikap juga dapat diperteguh atau diubah. Proses pembentukan citra pada akhirnya akan menghasilkan sikap, pendapat, tanggapan, atau perilaku tertentu.

I.6. Kerangka Konsep

Kerangka sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil yang dicapai dan dapat mengantar penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi, 1995: 33).

Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial.

Dengan demikian, kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesa, yang sebenarnya merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi variabel.

(21)

Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Variabel Bebas (X)

Variabel bebas merupakan segala faktor atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi munculnya variabel kedua yang disebut variabel terikat. Tanpa variabel ini maka variabel berubah, sehingga akan muncul variabel terikat yang berbeda atau yang lain sama sekali tidak muncul (Nawawi, 1995: 57).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah program CSR “Satu untuk Sepuluh”.

b. Variabel Terikat (Y)

Variabel terikat merupakan sejumlah gejala ataupun faktor maupun unsur yang ada ataupun muncul, dipengaruhi, atau ditentukan oleh adanya variabel bebas (Nawawi, 1995: 57).

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah citra AQUA.

c. Variabel Antara (Z)

Variabel antara merupakan variabel yang berada diantara variabel bebas dan variabel terikat, berfungsi sebagai penguat atau pelemah hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.

(22)

I.7. Model Teoritis

Variabel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut:

I.8. Operasional Variabel

Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka dibuat operasionalisasi variabel yang berfungsi membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, yaitu sebagai berikut:

Variabel Teoritis Variabel Operasional

1. Variabel Bebas (X)

Program CSR “Satu untuk Sepuluh”

a. Frekuensi Menonton Iklan Kampanye “Satu untuk Sepuluh” b. Tema Kegiatan c. Tujuan Kegiatan d. Lokasi Kegiatan Variabel Bebas (X) Program CSR “Satu untuk Sepuluh”

Variabel Terikat (Y) Citra AQUA

Variabel Antara (Z) Karakteristik

(23)

e. Jingle “Satu untuk Sepuluh” f. Mekanisme Program

2. Variabel Terikat (Y)

Citra AQUA a. Persepsi b. Kognisi c. Sikap 3. Variabel Antara (Z) Karakteristik Responden a. Jenis Kelamin b. Fakultas c. Stambuk

I.9. Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan unsur penelitian untuk mengetahui bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah suatu informasi alamiah yang sangat membantu peneliti lain yang akan menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 2006: 46).

Adapun defenisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel Bebas (Program CSR “Satu untuk Sepuluh”)

a. Frekuensi menonton iklan kampanye AQUA “Satu untuk Sepuluh”, yakni apakah responden pernah atau tidak pernah menonton iklan kampanye “Satu untuk Sepuluh”.

(24)

c. Tujuan Kegiatan, yakni tujuan kegiatan CSR “Satu untuk Sepuluh”.

d. Lokasi Kegiatan, yakni lokasi kegiatan CSR “Satu untuk Sepuluh”.

e. Jingle “Satu untuk Sepuluh”, yakni jingle dalam kampanye program CSR “Satu untuk Sepuluh”.

f. Mekanisme Program, yakni teknik atau cara yang digunakan dalam program CSR “Satu untuk Sepuluh”.

2. Variabel Terikat (Citra AQUA)

a. Persepsi, yakni hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan yang dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan.

b. Kognisi, yakni suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus.

c. Sikap, yakni kecendrungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai.

3. Variabel Antara (Karakteristik Responden)

a. Jenis Kelamin, yakni jenis kelamin responden, pria/ wanita.

b. Fakultas, yakni fakultas responden program S-1 Reguler USU.

(25)

I.10. Hipotesis

Secara etimologis hipotesis dibentuk dari dua kata, yaitu hypo dan thesis. Hypo berarti kurang dan thesis berarti pendapat. Jadi, hipotesis merupakan kesimpulan yang belum sempurna, sehingga perlu disempurnakan dengan membuktikan kebenaran hipotesis itu dengan menguji hipotesis dengan data di lapangan (Bungin, 2001: 90).

Hipotesis adalah suatu pernyataan sementara mengenai sesuatu, yang keandalannya biasanya tidak diketahui. Dengan hipotesis, penelitian menjadi tidak mengambang, karena dibimbing oleh hipotesis tersebut.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ho : Tidak terdapat hubungan antara program CSR “Satu untuk Sepuluh” dengan citra AQUA.

Ha : Terdapat hubungan antara program CSR “Satu untk Sepuluh” dengan citra AQUA.

Referensi

Dokumen terkait

The activity of comprehending reading text has some specific purposes. The purposes depend on the intention of the reader to read the passage and what kind of information

Di dalam perusahaan ini belum terdapat adanya suatu perencanaan distribusi produk yang terkoordinasi dengan baik, sehingga permintaan untuk semua jenis produk yang datang

Dari sisi sistem yang dibutuhkan adalah database karena semua aplikasi web yang akan dibuat semua terhubung ke database dan akan melakukan tiga tahap yaitu input,

Menjadi menarik ketika etnis Minang merupakan salah satu etnis yang sering diangkat pada Media, namun banyak penggambaran akan etnis Minang yang disajikan membuat etnis ini

Proses komunikasi politik yaitu proses penyampaian pesan – pesan politik yang berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah oleh aktor-aktor politik

Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan..

Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematik hasil observasi terhadap berbagai kegiatan-kegiatan yang diperankan oleh Guru PAI MA Ma’arif NU kota Blitar

Gambaran potensi sebagaimana yang disajikan dalam bab tiga dan empat, tidak serta merta dapat direalisasikan menjadi benar-benar penerimaan kalau beberapa prasyarat tidak dapat