• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Induksi Kalus Embriogenik.

Jenis media dasar dan komposisi media yang digunakan dalam kultur in vitro sangat mempengaruhi kecepatan terjadinya induksi kalus dari jaringan yang digunakan. Selain itu, adanya zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam media kultur juga merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan induksi kalus dari jaringan eksplan yang dikulturkan. Shirin et al. (2007) mengatakan bahwa adanya auksin 2,4-D dalam media kultur dapat mempercepat terjadinya induksi kalus. Tao (2002) menyatakan bahwa 2,4-D merupakan golongan auksin paling baik untuk mengiduksi terjadinya kalus dibandingkan golongan auksin 4-CPA, NAA, 2.4.5-T, MCPA, dicamba, dan picloram.

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa respon nuselus terhadap perlakuan media kultur memberikan pengaruh terhadap peubah lamanya induksi kalus. Berdasarkan uji F terhadap umur tumbuh kalus dari setiap media kultur yang di uji (M1, M2, M3, M4) secara umum memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Tabel 1 menunjukan bahwa komposisi media kultur M1 merupakan media yang terbaik untuk menginduksi terjadinya kalus dari eksplan nuselus, diikuti oleh media M2, M3 dan M4. Kecepatan induksi kalus pada media M1 adalah selama 22.4 hari, 25.2 hari pada media M2, 27.3 hari pada media M3, dan 29.1 hari pada media M4.

Tabel. 1 Respon nuselus terhadap perlakuan media kultur terhadap lama inisiasi kalus dan persentase pembentukan kalus.

Media kultur Lama inisiasi

kalus (hari) Persentase eksplan menjadi kalus (%) rata-rata jumlah PEM M1 M2 M3 M4 22.4 a 25.2 ab 27.3 b 29.1 b 40.00 a 32.12 b 25.00 b 27.02 b 31.0 26.0 22.2 26.1

Keterangan :Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. M1 = Murashige & Tucker + 3 mg/l BAP + 1 mg/l 24-D, M2 = Murashige & Skoog + 3mg/l BAP, M3 = Murashige & Skoog + Vit. MW, M4 = Murashige & Tucker + 0,5 mg/l NAA + 1,5 mg/l BAP . Semua media perlakuan ditambah 500 mg/l ekstark malt.

(2)

Kecepatan terjadinya induksi kalus pada media M1 diduga karena adanya kombinasi auksin (1 mg/l 2,4-D) dengan sitokonin (3 mg/l BAP) dan penambahan 500 mg/l ekstrak malt. 2,4-D merupakan senyawa golongan auksin yang sangat baik untuk mengiduksi terbentuknya kalus. Kiong et al. (2008) menyatakan 2,4-D merupakan senyawa auksin yang paling baik digunakan untuk induksi kalus embriogenik pada berbagai jenis eksplan jeruk manis dimana waktu inisiasi rata-rata selama 25.7 hari. Watter dan Constabel (1992) menyatakan bahwa BAP dapat memacu pertumbuhan kalus baru dan dapat meningkatkan persentase terbentuknya tunas. Aftal et al. 2009. Menyatakan bahwa BAP merupakan sitokinin yang sangat baik untuk memacu pertumbuhan kalus setelah terinduksi oleh auksin. Husni (2010) menyatakan bahwa dengan pemberian 3 mg/l BAP dapat mempercepat waktu inisiasi kalus dimana rata-rata waktu yang dibutuhkan selama 14 hari pada jeruk Siam Simadu dan Siam Pontianak. Hal ini didukung oleh Wattimena (1992) yang menyatakan bahwa pada beberapa tanaman sitokinin sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus. Sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman berfungsi antara lain untuk proses pembelahan sel.

Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa persentase kalus terbesar yang terbentuk juga berasal dari media kultur M1 dengan persentase kalus tumbuh sebesar 40%. Hal ini berbeda nyata dengan perlakuan pada media kultur M2, M3 dan M4 dimana persentase terbentuknya kalus tumbuh berturut 32.12%, 25% dan 27.02%. Husni 2010 menyatakan bahwa media MT merupakan media terbaik bila dibandingkan dengan media MS dan MW dimana persenatse pembentukan kalus pada media MT sebesar 82 %. Altaf et al. 2009 menyatakan bahwa kombinasi 0.25 mg/l BAP dan 0.05 mg/l 2,4 D juga dapat menginduksi kalus embriogenik pada jeruk Kinov Mandarin.

Kalus yang dihasilkan dari media perlakuan M1 bersifat embriogenik dimana ciri kalus embriogenik yaitu mempunyai sturktur pre embrio (PEM) (Husni 2010). Tingginya jumlah PEM yang dihasilkan pada media M1, selain pengaruh ZPT yang diberikan kemungkinan dikarenakan komposisi media dasar dan vitamin penunjang. Komposisi media dasar pada media kultur M1 adalah Murashige & Tucker (MT) dimana komposisi vitaminnya10 kali lebih banyak dari pada kompsisi vitmain media kultur Murashige & Skoog (MS). Hal ini didukung

(3)

Gambar 5. Induksi kalus embriogenik dari eksplan nuselus pada media perlakuan M1 (A= nuselus, B = kalus, C = PEM perbesaran 40x, D = kalus embriogenik mengandung PEM dan globular)

Hasil penelitian Husni (2010) yang menggunakan media dasar tersebut mendapatkan persentase pembentukan kalus pada jeruk siam Simadu sebesar 86% dan jeruk siam Pontianak sebesar 88%. PEM yang dihasilkan merupakan calon embrio somatik (Gambar 5C). PEM akan berkembang menjadi tanaman baru setelah ditumbuhkan pada media pendewasaan dan dilanjutkan pada media perkecambahan. Media M1 merupakan media yang baik untuk menginduksi kalus embriogenik walaupun hasilnya tidak berbeda nyata dengan media lainnya. Gambar 5B menunjukkan kalus terbaik pada media M1 stelah 4 MST dengan tekstur yang remah. Rata-rata PEM yang terbentuk pada media M1 adalah 31.0, kemudian diikuti media perlakuan M2, M4 dan M3. Gambar 5D memperlihatkan struktur kalus yang embriogenik dimana pada kalus tersebut terlihat banyak PEM dan sebagian ada yang mangandung struktur globular. Selain pengaruh ZPT diduga komposisi vitamin yang terdapat pada media MT lebih kaya unsur hara yang dibutuhkan sel untuk dapat berkembang. Hal ini didukung oleh pendapat Olivera et al. (1994) yang melaporkan bahwa media dasar MT merupakan media yang baik untuk menginduksi kalus embriogenik pada jeruk Cleopatra Mandarin (Citrus reticulata Blanco). Hal serupa juga dilaporkan oleh Husni et al. (2010)

B A C D C Globular Pre embrio Pre embrio Globular Pre embrio

(4)

yang melaporkan bahwa media MW dan MT merupakan media terbaik untuk menginduksi terjadinya kalus dengan struktur PEM pada jeruk siam Simadu dan Pontianak.

2. Proliferasi Kalus Embriogenik

Komposisi media dasar sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kalus. Inisiasi pembentukan kalus baru berhubungan dengan penambahan diameter kalus. Diharapkan dengan terbentuknya kalus baru maka peluang memperbanyak kalus yang embriogenik semakin besar. Selain media dasar, komposisi vitamin sebagai faktor penunjang juga memberikan peranan penting dalam terjadinya pembentukan kalus baru.

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa kandungan media dasar, penambahan vitamin dan komponen penunjang sangat berpengaruh terhadap penambahan diamater kalus yang terlihat pada grafik laju pertambahan diameter kalus pada Gambar 6.

MK4 merupakan media kultur terbaik jika dibandinagkan dengan media MK1, MK2, dan MK3. Grafik pertambahan diameter kalus memperlihatkan bahwa Perlakuan MK4 merupakan media yang sangat responsif terhadap pertambahan diameter kalus. Selama 4 minggu rata-rata pertambahan diameter kalus pada media MK4 sebesar 2.3 mm pada minggu ke-1, 2.5 mm pada minggu ke-2, 2.4 mm pada minggu ke-3, dan 2.2 mm pada minggu ke-4. Media dasar MK4 adalah MW dengan penambahan Kasein hidrolisat. Kasein hidrolisat berperan dalam inisiasi pembentukan kalus baru (Shiaty et al. 2004) Kasein

1,8 1,4 1,5 1,2 1,4 1,7 1,6 1,5 1,7 1,7 1,5 1,8 2,3 2,5 2,4 2,2 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 1 2 3 4 P er ta m ba h a n d ia m et er k a lus (m m )

Laju pertambahan kalus minggu ke

MK1 MK2 MK3 MK4

Gambar 6. Pertambahan diamater kalus pada media perlakuan MK1, MK2, MK3, dan MK4.

(5)

hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks dan ditambahkan dalam media in vitro sebagai sumber asam amino (Gunawan 1992). Sukma (2004) menyatakan Penambahan kasein hidrolisat dapat membantu meningkatkan hasil biomasa dan kandungan protein total yang didapat dari kultur tanaman paria belut (Trichosanthes cucumerina).

Vitamin yang digunakan pada media kultur MK4 adalah MW dimana di

dalam komposisi vitamin ini terdapat biotin dan ca-pantothenat. Peran ca-panthotenat pada media MW sebagai penyumbang kalsium dan asam

panthotenat yang berfungsi untuk mencegah terjadinya penuaan pada jaringan. Defisiensi kalsium menyebabkan translokasi karbohidrat terganggu sehingga sel yang terdapat pada jaringan yang aktif membelah menjadi mati (Gunawan 1992). Sedangkan asam pantotenat yang terdapat pada ca-panthotenat berperan dalam proses perubahan karbohidrat menjadi energi dan dapat mempercepat proses proliferasi jaringan (Wetter & Constabel 1992). Hal ini sesuai dengan pendapat Husni (2010) yang menyatakan bahwa respon inisiasi kalus dari eksplan nuselus jeruk Siam terbaik berasal dari media kultur dengan penambahan vitamin MW. Penambahan vitamin MW pada induksi kalus embriogenik, regenerasi kalus embriogenik menjadi tunas, regenerasi protoplas menjadi kalus dan tunas pada tanaman terung-terungan sangat baik digunakan (Husni et al. 2004).

Penambahan kasein hidorlisat pada media MK4 turut memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan media kultur lainnya. Pengaruh kasein hidrolisat terhadap pertumbuhan sel kalus pernah dilaporkan Rahim et al. (2000); Ricci et al. (2007); Carimi (2005) menyatakan bahwa asam amino yang terdapat pada kasein hidrolisat dapat meningkatkan bobot dan laju pertumbuhan kalus. Kasein hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks dan dapat ditambahkan dalam media in vitro sebagai sumber asam amino (Siregar et al. 2004). Penambahan kasein hidrolisat pada media kultur dapat memperbesar fase sekunder dari eksplan yang dikulturkan (Sukma et al. 2003).

Penambahan kasein hidrolisat ke dalam media dapat memacu pembentukan kalus yang embriogenik. Kasein hidrolisat merupakan sumber N di dalam media dimana asam amino yang terdapat pada kasein hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks sebagai sumber N organik. Sumber N organik lebih cepat

(6)

diserap tanaman dari pada sumber N anorganik. Lestari et al. (2009) menyatakan bahwa penambahan 500 mg/l kasein hidrolisat memberikan pengaruh yang baik dalam regenerasi kalus embriogenik. Kalus yang dihasilkan pada media kultur MK4 juga tetap bersifat embriogenik dengan struktur kalus yang remah dan banyak mengandung PEM (Gambar 7C )

Gambar 7. Proliferasi kalus embriogenik dari pada media MK4 (A= umur kalus 3 minggu, B = penampakan kalus secara mikroskopik C= PEM ).

Penambahan kasein hidrolisat pada media yang mengandung vitamin Morel dan Wetmore (MK4) terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan kalus baru sehingga diameter kalus bertambah. Gambar 7B menunjukkan bahwa kalus yang dihasilkan masih bersifat embriogenik dimana terlihat banyak PEM. Heimer dan Filner (1970) melaporkan bahwa kasein hidrolisat pada media merupakan sumber nitrogen yang sangat baik untuk pertumbuhan kalus pada tembakau, kacang-kacangan (Crocomo et al. 1976) dan produksi kalus dari tanaman ercis (Cardi & Monti 1993).

Vitamin Morel dan Wetmore merupakan vitamin yang komposisinya lebih lengkap dibandingkan dengan vitamin MS, yaitu mengandung kalsium pantotenat dan biotin yang dapat memacu pertumbuhan jaringan. Elshiaty et al. (2004) dan Badawy et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian biotin mempengaruhi perkembangan kalus embriogenik. Penambahan komponen tersebut pada media berpengaruh baik terhadap regenerasi kalus sebesar 63% pada pepaya (Damayanti 2007) dan dapat memacu proliferasi kalus nilam (Hutami el al. 2001)

(7)

3. Pendewasaan embrio somatik

Embriogenesis somatik secara langsung terbentuk dari sel-sel tunggal yang meristemoid dengan sifat embrioid serta aktif membelah sehingga tumbuh dan berkembang membentuk embrio somatik yang mempunyai dua kutub (bipolar) yang muncul sebagai tunas dan akar (Husni 2010). Salah satu faktor paling penting yang berkaitan dengan pertumbuhan dan pendewasaan dari jaringan embrio somatik adalah komposisi media kultur yang digunakan.

Tabel 2 menunjukan bahwa penambahan 2.5 mg/l ABA berbeda nyata dengan semua perlakuan pada peubah fase jantung dan fase kotiledon. Penambahan 2.5 mg/l ABA dalam media kultur merupakan konsentrasi ABA yang paling baik memacu pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik struktur globular menjadi fase jantung, fase torpedo, dan fase kotiledon dengan efisiensi pendewasaan sebesar 98.6 %. Efisiensi pendewasaan adalah kemampuan ABA dalam mendewasakan struktur globular hingga didapat embrio dengan fase akhir yaitu kotiledon. Efisiensi pendewasaan didapatkan dengan cara menjumlahkan tahap pendewasaan ES (fase jantung, fase terpedo dan kotiledon) kemudian dibagi dengan jumlah globular awal dan dikali 100%.

Tabel 2. Pengaruh penambahan ABA terhadap rata-rata pendewasaan embrio somatik pada umur 4 minggu setelah tanam.

Media kultur MW dengan Penambahan ABA (mg/l)

Tahap pendewasaan embrio somatik Jumlah globular awal Fase Jantung Fase Terpedo Fase Kotiledon Efisiensi pendewasaan (%) 1.5 2.0 2.5 3.0 15 15 15 15 3.6 b 4.4 b 6.2 a 4.2 b 3.6 b 4.4 a 3.6 b 4.2 ab 3.4 b 3.8 b 5.0 a 4.0 b 70.6 88.0 98.6 82.6

Rata-rata jumlah embrio somatik fase jantung ati adalah 6.2, fase torpedo 3.6 dan fase kotiledon 5.0 kemudian diikuti penambahan 2 mg/l ABA dengan efisiensi pendewasaan sebesar 88%, penambahan 3 mg/l ABA sebesar 82% dan pemberian 1.5 mg/l ABA sebesar 70.6%. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik pada fase globular menjadi fase jantung, torpedo, kotiledon dan sitologinya terdapat pada Gambar 8. Hasil percobaan pendewasaan

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin Morel & Wetmore

(8)

embrio somatik pada Tabel 2 terlihat bahwa penambahan konsentrasi 2.5 mg/l ABA pada medium MW berpengaruh nyata terhadap semua fase pendewasan embrio.Tingginya efisiensi pendewasaan embrio somatik yang terdapat pada perlakuan dengan penambahan 2.5 mg/l ABA diduga karena konsentrasi yang diberikan mampu untuk mempercepat fase pendewasaan embrio somatik. Perlakuan dengan penambahan 3 mg/l ABA efisensi pendewasannya sebesar 82.6 % lebih kecil jika dibandingkan dengan penambahan konsentrasi 2 mg/l ABA dengan efisiensi 88%. Hal ini kemungkinan disebabkan ABA yang diberikan terlalu besar sehingga menghambat proses pendewasaan embrio somatik. Hal serupa juga disampaikan oleh Kobashi et al. (2001) yang menyatakan bahwa penambahan konsentrasi 10-6 mg/l ABA berpengaruh nyata bila dibandingkan penambahan konsentrasi 10-4 mg/l ABA dengan sumber gula fruktosa.

Pendewasaan embrio somatik pada tanaman jeruk sangat tergantung dari komposisi ZPT yang diberikan kepada eksplan (Husni 2010). Pendewasaan embrio somatik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lintasan kultur in vitro, konsentrasi karbohidrat, dan level dari ABA (Anjaneyulu & Giri 2008). Embrio somatik pada proses pendewasaan akan berhenti berproliferasi, ukurannya membesar, dan mulai mengakumulasi cadangan nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Embrio dirangsang untuk menjadi dewasa dengan menggunakan asam absisik (ABA) dan meningkatkan potensial osmotik (Egerstsdotter 1999). Menurut Renukdas et al. (2006) peningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik dapat dilakukan dengan penambahan etilen antagonis pada konsentrasi tinggi (10 μM) seperti spermidine, ABA, dan AgNO3. Pemberian ABA harus sesuai dengan konsentrasi yang diberikan karena akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan (Santi & Kusumo 1996). Husni (2010) menambahkan bahwa dengan penambahan 0.5 mg/l ABA dapat meningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik jeruk Siam sampai 90%. ABA merupakan salah satu inhibitor yang berperan dalam proses pematangan atau pendewasaan.

Gambar 8 menunjukan bahwa terjadi perkembangan globular menjadi fase jantung. Fase jantung merupakan awal pembentukan embrio dimana terdapat struktur awal bipolar (Gambar 8B) yang akan terus berkembang menjadi fase

(9)

terpedo (Gambar 8C). Memasuki fase terpedo, sel akan mengarahkan pertumbuhannya ke arah bawah dan membentuk meristem akar hal ini ditandai dengan terbentuknya struktur batang. Akhir dari pematangan embrio akan terbentuk kotiledon sempurna dimana pada bagian meristem tunas dan meristem akar mulai terbentuk (Gambar 8D).

Pemberian ABA pada embrio somatik bertujuan agar mempercepat fase pendewasaan sehingga didapat kotiledon yang siap ditumbuhkan. Selain itu pemberian ABA juga dapat menekan terjadinya pertumbuhan embrio yang prematur. Kotiledon yang terbentuk pada akhir fase pematangan kemudian dipindah ke media perkecambahan agar berkembang menjadi tanaman utuh (planlet). Hal tersebut juga dilaporkan oleh Cardoza et al. (2002) bahwa pemberian konsentrasi 0.5 mg/l ABA pada kalus yang diinduksi dari nuselus menunjukan adanya fase pendewaasan embrio somatik yang dimulai dari globular kemudian jantung dan kotiledon. Pemberian konsentrasi 10 μM ABA pada oak dapat meningkatkan persentase pendewasaan sebesar 36% (Mauri 2004). Pendewasaan embrio somatik pada jeruk dimulai dari terbentuknya globular kemudian fase jantung, fase terpedo dan kotiledon (Husni 2010). Hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa pengaruh konsentrasi ABA terhadap pendewasaan embrio somatik menunjukan hasil yang nyata. Faktor endogen yang terdapat pada eksplan juga sudah cukup besar sehingga dengan penambahan eksogen yang terlalu besar justru memberikan efek negatif. Penurunan efisiensi perkecambahan juga dilaporkan oleh Mauri dan Manzenera (2004) yang menggambarkan bahwa pemberian ABA dengan penambahan 40 μM ABA tidak lebih baik dari pada penambahan ABA 10 μM untuk pendewasaan embrio somatik pada Holm oak.

(10)

A1 A2 B1 B2 C1 C2 D1 D2 kotiledon Bakal tunas baru Bakal akar

Gambar 8. Perkembangan embrio somatic dan sitologinya ( A1 & A2 = Fase globular, B1 & B2 = Fase heart, CI & C2 = Fase torpedo, D1 & D2 = Kotiledon)

(11)

4. Perkecambahan Embrio Somatik.

Perkecambahan embrio somatik setelah fase pendewasaan menjadi tanaman lengkap sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengaruh faktor lingkungan (suhu dan cahaya ) dan komposisi ZPT yang terdapat pada media perkecambahan. Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang mampu mendorong, mengatur dan menghambat proses fisiologis tanaman. Salah satu ZPT yang berperan dalam proses perkecambahan embrio somatik adalah GA3 (Davies, 2004). GA3 berperan dalam menggiatkan fungsi kerja aktivitas α-amilase dalam metabolisme sehingga terjadi perkecambahan (Woodger et al. 2004). Hal ini juga terbukti pada perkecambahan embrio somatik jeruk siam Simadu dan Pontianak dengan menggunakan GA3 yang mengakibatkan efisiensi perkecambahan menjadi meningkat (Husni 2010).

Tabel 3. Pengaruh penambahan GA3 terhadap rata-rata perkecambahaan embrio somatik pada umur 4 minggu setelah tanam.

Media kultur MW dengan penambahan GA3 (mg/l)

Tahap Perkecambahaan embrio somatik Jumlah fase kotiledon Awal Rata-rata Planlet Efisiensi perkecambahaan (%) 1.5 2.0 2.5 3.0 10 10 10 10 5.2 b 5.4 b 8.4 a 6.8 b 52.0 54.0 84.0 68.0

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore

Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan 2.5 mg/l GA3 berbeda nyata dengan semua taraf perlakuan pada peubah jumlah planlet yang terbentuk. Berdasarkan data percobaan yang telah diperoleh didapatkan informasi bahwa pemberian konsentrasi GA3 pada media kultur berpengaruh terhadap fase perkecambahan dari embrio somatik menjadi tanaman lengkap. Tabel 3 menunjukan bahwa efisiensi perkecambahan terbesar terdapat pada perlakuan penambahan konsentrasi 2.5 mg/l GA3. Efisiensi perkecambahan tanaman pada media dengan pemberian 2.5 mg/l GA3 adalah sebesar 84% dengan rata-rata planlet 8.4. Efisiensi perkecambahan adalah kemampuan dari konsentrasi GA3 yag diberikan dalam mengecambahkan kotiledon hingga tahap planlet. Efisiensi

(12)

perkecambahan tanaman dengan penambahaan kosentrsi 3 mg/l GA3 sebesar 68% dengan rata-rata planlet 6.8, penambahan konsentrasi 2 mg/l GA3 sebesar 54% dengan rata-rata planlet 5.4 dan penambahan konsentrasi 1.5 mg/l GA3 sebesar 52 % dengan rata-rata planlet 5.2.

Perkecambahan embrio yang sempurna ditandai dengan pembentukan akar dan munculnya tunas (Gmietter & Moore 1986). Hasil penelitian Husni (2010) didapatkan informasi bahwa dengan penambahan GA3 dengan konsentrasi 1.5 mg/l memberikan pengaruh yang nyata terhadap fase-fase perkecambahan embrio somatik. Hal ini juga didukung oleh pendapat Kuniktake et al. (1991) yang menyatakan bahwa penambahan GA3 pada media kultur meningkatkan efisensi perkecambahan sebesar 5 % dengan waktu 30-60 hari pada jeruk.

Tingginya efisiensi perkecambahan pada perlakuan 2.5 mg/l GA3 diduga karena konsentrasi tersebut merupakan kondisi optimum yang diperlukan eksplan untuk melakukan proses perkecambahan dari embrio somatik, sedangkan pada penambahan konsentrasi 3 mg/l GA3 terlalu tinggi untuk inisiasi perkecambahan sehingga terjadi penurunan efisiensi perkecambahan. Hal serupa pernah dilaporkan oleh Acar et al. (2010) yang menyatakan terjadinya penurunan persentase perkecambahan hingga 50% pada Pistacia vera dengan penambahan konsentrasi GA3 hingga 100 mg/l. Hal tersebut juga didukung oleh hasil percobaan Ake et al. (2007) yang mendapatkan penurunan efisiensi perkecambahan 40% pada konsentrasi 46 μM GA3 bila dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Penambahan konsentrasi 3 mg/l GA3 tidak terlalu efisien dalam perkecambahan embrio somatik karena terjadinya pembelahan sel yang terjadi terus menerus sehingga menurunkan efisiensi perkecambahan.

Tahap perkecambahaan embrio somatik hingga menjadi tanaman lengkap menurut Husni (2010) dimulai dari pembentukan fase terompet kemudian diikuti fase pembukaan kotiledon lalu proses perkecambahan hingga terbentuk tanaman lengkap (Gambar 9). Tabel 3 menunjukan bahwa pembentukan planlet terbesar terdapat pada konsentrasi 2.5 mg/l GA3 dengan rata-rata pembentukan planlet sebesar 8.4 per botol. Hal serupa juga dilaporkan oleh Komatsuda et al. (1992) dengan penambahan konsentrasi GA3 pada media kultur dapat meningkatkan proses perkecambahan menjadi planlet sebesar 90% pada tanaman kedelai.

(13)

GA3 merupakan senyawa yang mengandung gibban skeleton yang berperan dalam menstimulasi pembelahan sel serta mobilisasi cadangan makanan dari endosperm untuk pertumbuhan embrio. Perkecambahan dari embrio somatik yang ditunjukan pada Gambar 9 dimulai dari fase perkembangan kotiledon muda yang memasuki fase terompet (Gambar A) dan pembukaan kotiledon (Gambar 9B). Pada fase ini terlihat bahwa perkembangan kotiledon terjadi pada bagian tunas atas dimana bagian daun mulai terbentuk. Fase perkecambahaan embrio somatik dimulai ketika kotiledon mulai membuka yang ditandai dengan terbentuknya akar (Gambar 9C).

Terbentuknya akar akan mengoptimalkan penyerapan hara sehingga pertumbuhan planlet yang dikecambahkan menjadi maksimal. Akar akan tumbuh pada fese ini dan berkembang untuk menyerap hara yang terdapat di sekitar media. Terbentuknya akar pada embrio somatik menjadikan pertumbuhan embrio somatik menjadi optimal yang ditandai dengan terbentuknya organ lengkap seperti akar, daun dan batang pada tanaman (Gambar 9E). Pertumbuhan dan pekembangan planlet dioptimalkan dengan cara dipindakan ke media tanpa ZPT. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko penuaan pada planlet akibat perkembangan sel yang terjadi secara cepat karena terinduksi oleh ZPT.

Pemberian konsentrasi GA3 yang berbeda pada embrio somatik ternyata memberikan pengaruh terhadap tipe-tipe perkecambahan embrio somatik (Gambar 10). Variasi pekecambahan yang ditunjukkan merupakan efek dari pemberian konsentrasi GA3 mulai dari tipe yang sulit untuk berkecambah (roset) pada gambar 10E, hingga perkecambahan tunas yang lebih dari dua tunas (Gambar 10D). Variasi tunas yang muncul lebih dari dua paling banyak Gambar 9. Fase perkecambahan embrio somatik pada media 2.5 mg/l GA3 (A = fase

terompet, B = fase pembukaan kotiledon, C = fase perkecambahan membentuk akar, D = perkecambahan membentuk akar dan tunas, E = Planlet umur 4 minggu setelah berkecambah)

(14)

ditemukan pada perlakuan 2.5 mg/l GA3 sedangkan variasi embrio somatik dengan tipe roset banyak dijumpai pada perlakuan 3 mg/l GA3. Hal yang sama juga diperoleh dari hasil perkecambahan biji jeruk yang menghasilkan tunas lebih dari satu karena sifat poli embrioni yang dimilikinya. Hal ini membuktikan bahwa embrio somatik yang berasal dari sel-sel nuselus juga memilki sifat yang sama seperti embrio yang yang tumbuh dari biji jeruk. Gambar 10 memperlihatkan perbandingan berbagai tipe perkecambahan embrio somatik dan embrio zigotik .

Gambar 10A merupakan perkecambahan dengan menggunakan biji pada media kultur tanpa pemberian GA3 jika dibandingkan dengan Gambar 10C dan 10D terlihat bahwa melalui ES yang berkembang dari jaringan non zigotik juga memiliki kemampuan yang sama dalam berkecambah dimana rata-rata tunas yang dihasilkan lebih dari satu.

5. Multiplikasi Tunas Embrio Somatik.

Multiplikasi tunas pada embrio somatik tanaman jeruk secara khusus bertujuan untuk memgoptimalkan jumlah tunas yang tumbuh dengan cara memanfaatkan sifat poli embrioni. Hasil multiplikasi pada teknik kultur jaringan dioptimalkan dengan cara memodifikasi media tumbuh seperti manambahkan vitamin (Park et al. 2000) thiamin, pyridoxin (Dods & Robert. 1995) dan biotin (Shiaty et al. 2004).

Vitamin yang diujikan sebagai perlakuan pada percobaan ini adalah biotin. Biotin merupakan salah satu jenis vitamin yang umum digunakan untuk embrio somatik (Shiaty et aI. 2004) serta regenerasi tanaman (Khalil & Elbanna 2003).

D C

B

A E

Gambar 10. Variasi perkecambahan embrio somatik dan perkecambahan biji (A = perkecambahan biji, B = variasi embrio somatik 1 tunas , C = variasi embrio somatik 2 tunas , D = variasi embrio somatik labih dari 2 tunas, E = variasi embrio somatik tipe roset)

(15)

Embrio somatik yang dihasilkan kemudian dikulturkan pada media MW dengan penambahan beberapa konsentrasi biotin (0, 1, 3, 5, dan 7 mg/l). Hasil percobaan pada Tabel 4 menunjukan bahwa pemberian konsentrasi yang berbeda ternyata berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas baru yang terbentuk. Semakin tinggi konsentrasi biotin yang ditambahkan maka akan semakin tinggi pula efisiensi multiplikasi tunas yang dihasilkan dan jumlah tunas yang dihasilkan juga lebih banyak. Penambahan 7 mg/l biotin merupakan konsentrasi terbaik dimana efisiensi multiplikasi tunas sebesar 86% dengan pertambahan tunas rata-rata 3.06. Hal ini berbeda nyata dengan kosentarsi 0, 1, 3, 5 mg/l biotin dimana efisiensi multiplikasi tunasnya sebesar 24 %, 42 %, 46 % dan 50%.

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi biotin terhadap rata-rata jumlah multiplikasi tunas

Media kultur penambahan biotin (mg/l) Multiplikasi tunas Jumlah ES awal Rata-rata ES somatik bermultiplikasi Rata- rata jumlah tunas baru yg muncul Saat muncul tunas baru (hari) Efisiensi multiplikasi tunas (%) 0 1 3 5 7 5 5 5 5 5 1.20 2.10 2.30 2.50 4.30 0.20 b 0.40 b 0.46 b 1.00 b 3.06 a 20.2 d 19.1 c 17.9 b 16.9 b 15.0 a 24.0 42.0 46.0 50.0 86.0

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore

Tingginya pembentukan tunas pada media dengan penambahan 7 mg/l biotin diduga konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi yang tepat untuk menginduksi tunas baru. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa munculnya tunas baru tercepat juga berasal dari media perlakuan yang sama dengan lama hari 15.0 hari. Penambahan 7 mg/l biotin terhadap peubah umur muncul tunas berbeda nyata juga terhadap media perlakuan lainnya dimana waktu terlama muncul tunas terdapat pada media kontrol (0 mg/l biotin) dengan lama waktu 20.2 hari. Selain berpengaruh terhadap jumlah tunas yang muncul pemberian biotin ternyata berpengaruh juga terhadap saat muncul tunas baru.

(16)

Gambar 11 memperlihatkan bahwa pemberian 7 mg/l biotin memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas baru. Gambar 11A, 11B, dan 11C menunjukkan secara jelas bahwa tunas-tunas baru yang muncul setelah 4 mst. Kondisi tunas pada saat tersebut masih sangat muda dimana jumlah daun rata-rata 2-3 helai sedangakan pada Gambar 11D umur tunas telah di atas 5 minggu dimana tunas-tunas baru mulai menunjukan fase dewasa. Gambar 11D memperlihatkan bahwa batang dan daun telah terbentuk sempurna pada kondisi ini tunas-tunas tersebut telah siap dipisah untuk ditanam dan atau diberi perlakuan untuk pertumbuhan perakaran.

6. Induksi Perakaran.

Sistem perakaran pada embrio somatik merupakan hal yang penting dan sangat dibutuhkan. Secara umum fungsi utama akar pada tanaman in vitro sama seperti fungsi akar pada tanam lapang yaitu menyerap unsur hara yang terkandung pada media dan sebagai penopang agar tanaman tidak reba. Sifat poli embrioni yang terdapat pada embrio somatik jeruk memungkinkan embrio somatik untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Akar pada kondisi tersebut yang terbentuk pada tunas primer tidak akan cukup banyak untuk menyarap hara pada media untuk itu diperlukan pengiduksian akar pada tanaman hasil multiplikasi tunas embrio somatik tersebut. Percobaan induksi perakaran dilakuan pada tunas hasil multiplikasi dengan beberapa jenis ZPT golongan auksin. Auksin merupakan golongan zat pengatur tumbuh yang dapat mengatur terjadinya pertumbuhan akar (Liu et al. 1998). Gaspar et al. (1996) menyatakan bahwa auksin sangat diperlukan dalam organogenesis termasuk dalam pembentukan akar. Auksin

A B C

Gambar 11. Multiplikasi tunas dengan penambahan 7 mg/l Biotin (tanda panah merupakan tunas baru ) A , B , C = tunas umur 4 mst, D = tunas dewasa)

(17)

dengan konsentrasi yang tepat dapat meningkatkan inisiasi dan induksi akar (IBA, NAA dan IAA) (Nandagopal & Kumari 2007).

Tabel 5. Pengaruh IBA, NAA dan IAA terhadap induksi perakaran 5 mst

Media kultur MW dengan penambahan ZPT (mg/l) Induksi akar Jumlah tunas Jumlah tunas berakar Saat muncul akar (Hari) Jumlah akar Panjang Akar (Cm) Efisiensi induksi akar (%) Kontrol IBA 3 mg/l NAA 3 mg/l IAA 3 mg/l 15 15 15 15 2 13 11 9 26.0 b 15.3 a 18.0 a 18.4 a 0.30 c 5.40 a 3.70 b 3.50 b 0.46 c 1.34 a 0.96 b 0.93 b 13.3 86.6 73.3 69.0

Keterangan :Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh informasi bahwa dengan menambahkan 3 mg/l IBA dapat menginduksi terbentuknya akar pada tunas embrio somatik jeruk. Semua jenis auksin yang digunakan dapat menginduksi terbentuknya akar (Tabel 5).

Tabel 5 menunjukan bahwa pemberian auksin IBA, NAA, dan IAA pada tunas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah saat muncul akar tetapi berbeda nyata dengan tunas tanpa auksin. Pemberian 3 mg/l IBA memberikan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah akar dan panjang akar. Pemberian 3 mg/l IBA lebih baik dari pada 3 mg/l NAA dan 3 mg/l IAA dengan efisiensi keberhasilan pembentukan akar menggunakan ZPT IBA sebesar 86%. Kemudian diikuti NAA sebesar 73.3% dan IAA sebesar 69% . Efek IBA terhadap keberhasilan dalam menginduksi akar juga di laporkan Islam et al. (2005) dimana efesiensi perakaran tanaman Cicer arietinum naik sampai 90% dengan pemberian 0.50 mg/l IBA. Sedangkan pada tanaman Sugarcane penambahan 3 mg/l IBA memberikan efisiensi perakaran sebesar 88 %.

Pengaruh IBA terhadap peubah saat muncul akar lebih baik jika dibandingkan dengan NAA dan IAA walaupun tidak berpengaruh nyata. IBA pada peubah muncul akar merupakan ZPT yang tercepat dalam mengiduksi terjadinya perakaran dimana lama waktu yang dibutuhkan selama 15.3 hari kemudian diikuti oleh IAA dan NAA dengan lama induksi 18.4 dan 18 hari sedangkan tanaman kontrol membutuhakn waktu lebih lama yaitu 26 hari. Hal

(18)

yang sama dilaporkan Gantait et al. (2009) bahwa IBA merupakan ZPT yang sangat baik untuk kecepatan induksi perakaran pada tunas Dendrobium chrysotoxum bila dibandingkan dengan NAA dan IAA.

Selain itu IBA juga merupakan ZPT yang sangat respon terhadap pertambahan jumlah dan panjang akar (Polat & Caliskan 2008). Pemberian 2 mg/l IBA juga telah dilaporkan berhasil menginduksi terjadi kecepatan muncul akar pada tanaman kedelai dimana akar mulai muncul pada hari ke 12 (Liu et al. 1998).

IBA pada peubah jumlah dan panjang akar (Tabel 12) dengan konsentrasi yang sama masih merupakan ZPT yang lebih baik jika di bandingakn dengan NAA dan IAA dimana rata-rata jumlah akar yang terbentuk 5.40 sedangkan pada NAA dan IAA sebesar 3.7 dan 3.5. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ucelar et al. (2004) yang menyimpulkan bahwa IBA sangat baik digunakan untuk menginduksi banyaknya jumlah akar primer pada buah kiwi dan panjang akar pada jeruk (Bhatt & Tomar 2010). IBA merupakan ZPT yang baik untuk merangsang aktifitas perakaran seperti memproduksi jumlah akar (Tabel 5) hal tersebut didukung oleh pendapat Hassan et al. (2010) yang mendapatkan jumlah akar rata-rata 6.2 dengan penambahan konsentrasi 2.0 mg/l IBA pada tunas Ficus glomerata. Hal ini menurut Islam et al. (2005) karena pada IBA kandungan kimianya lebih stabil dan persistensi lebih lama. IAA biasanya mudah menyebar kebagian lain sehingga menghambat perkembangan serta pembentukan akar. Gambar 12. Variasi induksi perakaran tunas dengan penambahan IBA, NAA dan IAA (A =

tanaman kontrol umur 5 mst, B = induksi perakaran dengan 3 mg/l IBA umur 5 mst, C = induksi perakaran dengan 3 mg/l NAA umur 5 mst, D = induksi perakaran dengan 3 mg/l IAA umur 5 mst).

(19)

Penggunaan NAA yang kurang tepat konsentrasinya akan memperkecil peluang terbentuknya akar (Ghopitha et al. 2010).

Gambar 12A memperlihatkan bahwa tunas pada media kontrol (MW tanpa ZPT) juga dapat tumbuh akar tetapi tidak sebanyak tunas yang diberi ZPT (Gambar 12B, 12C dan 12D). Waktu yang diperlukan untuk induksi akar pada media kontrol cukup lama sekitar rata-rata 26 hari dengan jumlah akar rata-rata 0.30. Hal ini dapat terjadi karena kandungan endogen auksin yang terdapat pada tunas masih dapat digunakan untuk pembentukan akar. Liu et al. (1998) yang menyatakan bahwa endogenous auksin pada tunas dapat merubah arah perkembangan atau pertumbuhan.

7. Penghitungan Jumlah Kromosom

Keseragaman tanaman yang dihasilkan melalui jalur embriogenesis somatik sangat diperlukan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan bibit yang seragam dan identik dengan induk. Variasi jumlah kromosom yang timbul dalam sistem regenerasi embriogenesis somatik dipengaruhi oleh lingkungan dan lamanya umur kultur. Indrayasa (2010) melaporkan bahwa umur kultur yang lama pada tanaman jeruk Siam Pontianak menyebabkan terjadinya variasi jumlah kromosom. Variasi jumlah kromosom yang muncul diduga karena pengaruh subkultur yang berulang-ulang dan berlangsung dalam tempo yang lama.

Analisis kromosom dilakukan secara acak terhadap sampel akar dari tunas ES. Tujuan dari analisis ini untuk mengetahui ada atau tidaknya variasi jumlah kromosom pada tanaman yang dihasilkan melalui regenerasi secara ES. Variasi jumlah kromosom yang timbul berdasarkan perbedaan fenotip bisa disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan sehingga perlu dilakukan pengamatan terhadap jumlah kromosom.

Gambar 13. Pengamatan kromosom pada akar tunas jeruk keprok batu 55 hasil regenerasi embrio somatik

(20)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada sampel akar dari tunas hasil ES diketahui bahwa jumlah kromosom tanaman sampel berjumlah 2x = 18. Hal ini membuktikan bahwa pada sistem perbanyakan dengan teknologi ES ternyata tidak mempengaruhi jumlah kromosom dari pada tanaman sampel.

Gambar 13 menunjukkan bahwa jumlah kromosom pada akar 2n=2X=18 artinya bahwa secara in vitro tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah kromosom hasil ES dengan jumlah kromosom hasil in vivo. Indarayasa (2010) menyatakan bahwa umur kultur yang lama dapat mempengaruhi tingkat ploidi pada tanaman in vitro jeruk 2n = 2X=18 menjadi 2n = 3X=27.

Jumlah kromosom berhubungan dengan ukuran sel karena semakin banyak jumlah kromosom yang terdapat dalam satu sel maka akan mempengaruhi ukuran sel tersebut, selain itu jumlah kromosom juga dapat mewakili tingkat ploidi (Suryo 2007). Jumlah kromosom merupakan sarana karakterisasi pada tingkat seluler untuk identifikasi pada tanaman. Pengamatan kromosom hasil regenerasi secara ES memperlihatkan bahwa jumlah kromosom tersebut dapat mewakili tingkat ploidi dari jeruk keprok batu 55 hasil ES. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Sastrosumarjdo (2008) yang menyatakan bahwa pengamatan pada kromosom dapat digunakan untuk klasifikasi atau penggolongan dari spesies yang dilihat dari jumlah dan bentuknya.

8. Embrio Somatik Sekunder

Embrio somatik sekunder merupakan produk dari embrio somatik primer dimana pada keadaan tertentu embrio somatik primer mampu memproduksi lagi embrio somatik. Embrio somatik sekunder pada jeruk muncul ketika media kultur mengandung GA3. Tepatnya ketika proses perkecambahan dari embrio somatik primer. Tokuji dan Kuriyama (2003) melaporkan bahwa GA3 mampu memproduksi embrio somatik sekunder ketika embrio somatik primer memasuki fase globular. Kemunculan embrio somatik sekunder juga dikaitkan dengan perlakuan eksogen yang diberikan seperti pengaruh pemberian GA3 (Sutanto & Azis 2006). Banyak embrio somatik pada saat melakukan pengecambahan membentuk embrio somatik sekunder, sehingga menyebabkan jumlah embrio somatik bertambah banyak, akan tetapi untuk memperoleh planlet dari jumlah

(21)

embrio yang dihasilkan diperlukan waktu yang lama karena memerlukan waktu untuk mendewasakan embrio somatik sekunder menjadi planlet (Mujib & Samaj 2009).

Pendewasaan embrio somatik sekunder menggunakan konsentrasi media terbaik pada embrio somatik primer yaitu 2.5 mg/l ABA. Hal yang sama juga digunakan pada perkecambahan embrio somatik sekunder dimana konsentrasi terbaik terdapat pada 2.5 mg/l GA3.

Tabel 6. Pengaruh penambahan ABA terhadap pendewasaan embrio somatik sekunder dan primer pada umur 4 minggu setelah tanam

Media kultur MW dengan Penambahan 2.5 mg/l ABA

Tahap pendewasaan embrio somatik sekunder Jumlah globular awal Fase jantung Fase terpedo Fase Kotiledon Efisiensi pendewasaan (%) ES sekunder ES primer 15 15 5.4 6.2 4.2 3.6 4.3 5.0 92.6 98.6

Tabel 6 menunjukan bahwa terdapat penurunan efisiensi pendewasaan pada embrio somatik sekunder. Efisiensi pendewasaan pada embrio somatik sekunder sebesar 92.6% jika dibandingkan dengan embriosomatik primer sebesar 98.6% terjadi penurunan 0.6%. Ini berarti dengan menggunakan embrio somatik sekunder kita masih bisa mendapatkan efisiensi pendewasaan yang tinggi sehingga embrio somatik sekunder masih bisa digunakan untuk perbanyakan selanjutnya. Pola fase pendewasaan pada embrio somatik sekunder sam dengan embrio somatik primer dimana perkembangan setelah fase globular adalah fase jantung, fase terpedo dan kotiledon.

(22)

Embrio somatik sekunder pada Gambar 14 terlihat dapat tumbuh pada saat fase-fase tertentu. Gambar 14A dan 14B menjelaskan bahwa embrio somatik sekunder tumbuh pada media perkecambahan embrio somatik primer dimana pada media kultur tersebut mengandung GA3. Pada Gambar 14C kalus embrio somatik sekunder tumbuh pada fase globular hal ini diduga karena pengaruh eksogen yang diberikan mampu menumbuhkan embrio somatik sekunder. Oktavia et al. 2003 menjelaskan bahwa eksogen sangat berperan aktif dalam membantu proses pembelahan sel pada planlet yang dikulturkan.

Tabel 7. Pengaruh penambahan GA3 terhadap perkecambahaan embrio somatik sekunder dan primer pada umur 4 minggu setelah tanam

Media kultur MW dengan Penambahan 2.5 mg/l GA3

Tahap Perkecambahaan embrio somatik sekunder

Jumlah kotiledon Awal

Planlet Efisiensi perkecambahaan

(%) ES sekunder ES primer 10 10 8.8 8.4 88.0 84.0

Tabel 7 menunjukan bahwa pada perkecambahan embrio somatik sekunder mengalami kenaikan sebesar 4% dimana efisiensi perkecambahan menjadi 88.0%. planlet yang terbetuk pada perkecambahan embrio somatik sekunder sebesar 8.8 sedangkan pada perkecambahan embrio somatik primer sebesar 8.4. terjadi peningkatan 0.4. Gambar 15 menjelaskan urutan fase pendewasaan embrio somatik sekunder dengan penambahan 2.5 mg/l ABA,

A B

Gambar 14. Embrio somatik sekunder (A dan B = kalus embrio somatik sekunder pada fase perkeecambahan embrio somatik primer. C= kalus embrio somatik sekunder pada fase globular)

(23)

sedangkan pada efisiensi perkecambahan embrio somatik primer hanya 84.0%. Hal serupa pernah dilaporkan Sukmadjaja (2005) yang mendapatkan embrio somatik sekunder dihasilkan relatif sama dengan embrio somatik primer pada media dengan kandungan GA3 pada cendana

9. Aklimatisasi

Tahapan akhir dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet. Akllimatisasi merupakan masa penyesuaian tanaman in vitro yang akan dipindah ke lapang. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media aklimatisasi dengan intensitas cahaya rendah dan kelembaban nisbi tinggi, kemudian secara berangsur-angsur kelembabannya diturunkan dan intensitas cahayanya dinaikkan (Yusnita 2003). Tahap ini merupakan tahap yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca atau rumah plastik dan di lapangan sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur. Tabel 8. Pengaruh aklimatisasi pada embrio somatik 4 MST

Kondisi ES yang diaklimatisasi

Jumlah ES yang hidup Jumlah embrio somatik 2 MST 3 MST 4 MST Efisiensi aklimatisasi % ES tanpa akar ES berakar 20 20 14 19 8 19 1 18 5 90

Keterangan : Media aklimatisasi yang digunakan adalah campuran humus dan tanah dengan penambahaan vitamin morel & wetmore.

Dari hasil percobaan didapatkan informasi bahwa ES yang berakar dapat bertahan hidup sedangkan ES tanpa akar tidak dapat bertahan hidup (Tabel 8). Gambar 15. Fase pendewasaan embrio somatik sekunder dengan penambahan 2.5 mg/l

ABA (A = fase globular, B = fase jantung, C = fase terpedo, D = fase kotiledon)

(24)

Tabel 8 memperlihatkan bahwa efisiensi aklimatisasi dari planlet ES yang berakar sebesar 90%. Hal ini sangat berbeda jauh terhadap ES tanpa akar diamana efisiensinya hanya sebesar 5%.

Tebel 9 menunjukan perbedaan yang signifikan terjadi setiap minggu pada planlet embrio somatik yang hidup. Planlet ES tanpa akar dan planlet ES berakar pada minggu pertama setelah aklimatisasi (data tidak ditampilakan) semuanya masih bertahan hidup (100%). Planlet ES yang mati pada minggu ke 2 mulai terlihat terutama pada planlet ES yang tidak memiliki akar. Hal tersebut berlangsung terus menerus hingga minggu ke 4 hanya satu planlet ES yang bertahan hidup sedangkan pada ES yang berakar mampu bertahan hidup sebanyak 18 planlet ES.

Keberhasilan aklimatisasi ES tidak terlepas dari jumlah akar yang terbentuk pada saat induksi perakaran. Semakin banyak akar yang terbentuk maka akan semakin besar peluang ES bertahan hidup ketika diaklimatisasi. ES yang mampu bertahan hidup ketika diaklimatisasi memiliki warna yang cerah dan segar (Gambar 16A, dan 16B) sedangkan ES tanpa akar umumnya batang dan daun berwarna kuning dan layu ketika diaklimatisasi (Gambar 16C dan 16D), Akibatnya daun dan batang menjadi transparan, berwarna hijau muda hingga pucat dengan kandungan klorofil yang rendah (Olmos & Hellin 1998).

Tingginya efisiensi aklimatisasi ES yang berakar dikarenakan kondisi awal ES. Hal ini didukung oleh Rohayati dan Marlina (2009) yang menyatakan keberhasilan aklimatisasi sangat tergantung dari kondisi awal planlet. Pertumbuhan ES yang diaklimatisasi akan semakin optimum sejalan dengan berkembangnya akar. Semakin berkembangnya akar maka akan semakin optimum pertumbuhan tanaman tersebut (Gambar 16E) sedangkan planlet ES tanpa akar akan mengalami kematian karena planlet ES tanpa akar tidak sanggup membentuk akar (Gambar 16F). akar pada kondisini ini akan lebih aktif dalam menyerap hara pada media tanam, hal tersebut terbukti dengan bertambahnya panjang dan jumlah akar.

(25)

Gambar 16E dan 16F menunjukan bahwa pertumbuhan akar setelah aklimatisasi selama 4 minggu bertambah panjang jika dibandingkan dengan ES sebelum diaklimatisasi (Gambar 16B, 16C, dan 16D). Hal ini diduga karena keaktifan dari hormon auksin yang terdapat pada jaringan akar yang bekerja optimal ketika ES berada didalam tanah. Dalam kondisi gelap auksin lebih aktif bekerja terutama pada akar sehingga terjadi pertambahan panjang dan jumlah dari akar tersebut . Hal tersebut menyebabkan terjadinya pemanjangan pada akar (Gambar 16E) semakin banyak akar maka semakin banyak hara yang diserap sehingga pertumbuhan ES semakin optimum.

10. Grafting

Teknik regenerasi ES dapat diterapkan juga untuk program perbaikan sifat, salah satu cara yang dapat ditempuh dengan cara grafting atau metode sambung. Garfting dilakukan dengan cara menyambungkan batang bawah yang unggul

A B C D

E F

Gambar 16. Aklimatisai tunas embrio somatik (A dan B = planlet ES yang diinduksi perakaran , C dan D = planlet ES tanpa induksi akar, E = Planlet ES berakar 4 minggu setelah aklimatisasi, F = Planlet ES tanpa induksi akar sekunder 3 minggu setelah aklimatisasi, G = planlet umur 5 minggu )

(26)

dengan tunas batang atas hasil regenersai ES. Hasil akhir dari grafting adalah didapatkan tanaman dengan batang bawah yang kompatibel dengan batang atas agar didapatkan tanaman elit.

Model yang digunakan untuk batang atas pada penelititan ini berasal dari in vitro jeruk batu 55 dengan batang bawah yang berasal dari Jeruk JC (Japanish citroen). Batang atas yang digunakan harus bebas dari virus dan mempunyai karakter unggul. Hasil penelitian yang telah dilakuan terhadap metode grafting menunjukan bahwa dari 40 batang atas yang disambung dengan batang bawah menunjukan tingkat kompatibel yang baik. Rata –rata persentase keberhasilan batang untuk bertahan hidup sampai minggu keempat menunjukan 62.4% batang atas dapat bertahan hidup (Tabel 9).

Tabel 9. Perkembangan batang atas ES setelah grafting pada 4 mst

Pengamatan (minggu ke) Rata-rata pertambahan pertumbuhan perminggu Rata-rata jumlah daun (helai) Rata-rata Tinggi tanaman (cm) Persentase tunas Hidup (%) 1 0.58 0.16 67.4 2 1.33 0.47 65.0 3 1.99 0.97 65.0 4 2.05 1.13 52.2 Rata-rata keseluruhan 1.48 0.68 62.4

Grafting yang hidup pada minggu pertama rata-rata pertambahan daun masih relatif sedikit yaitu 0,58 helai sedangkan pertambahan tinggi hanya 0,16 cm. tunas yang disambung pada minggu pertama masih mengalami adaptasi terhadap lingkungan baru sehingga terjadi stress pada tunas baru sehinga pertmbuhan daun dan tinggi tanaman belum stabil. Untuk mengurangi penguapan tunas harus dibungkus dengan plastik transparan hal ini bertujuan mengurangi stress pada tunas akibat penguapan.

Persentase tunas yang hidup pada minggu pertama sebesar 67.4%, 65.0% pada minggu kedua, 65.0% pada minggu keempat 62.4%. Banyak tunas pada minggu pertama yang mengalami sterss akibatnya sebagian tunas mati. Adapatsi tunas ES terhadap grafting sangat dipengaruhi oleh faktor suhu. Suhu sangat menentukan keberhasilan metode dari grafting tersebut dimana tanaman in vitro

(27)

selama siklus hidupnya selalu mendapatkan suhu yang stabil ketika tunas tersebut digunakan di lapang maka akan terjadi proses adaptasi. Tunas yang dapat bertahan pada masa penyesuaian maka akan memilikin peluang untuk hidup sedangkan tunas yang tidak bisa bertahan akan mengalami stres dan akhirnya mati.

Gambar 17. Pertumbuhan tunas ES grafting pada umur 1 minggu (A = hasil grafting, B = penyungkupan dengan plastik, C & D = umur garfting 1 minggu E = tunas yang mati)

Tunas yang mampu bertahan pada saat grafting akan terlihat lebih vigor sedangkan tunas yang tidak mampu bertahan akan layu. Tunas yang tidak dapat bertahan menunjukan gejala kematian (Gambar 17E). Persentase tunas hasil grafting yang hidup pada minggu ke 3 minggu ke 4 cenderung meningkat. Hal itu disebabkan oleh tunas yang dapat bertahadan tidak lagi mengalami stres dan dapat beradaptasi dengan batang bawah. Tunas ES pada umur dua minggu yang digrafting telah mendapat menyerap unsur hara melalui batang bawah dan fotosintesis mejadi lebih optimal ketika sungkup plastik dibuka. Tunas yang vigor ditandai dengan bertambahnya jumlah daun dan tinggi tunas seperti yang terlihat pada Tabel 9. Jumlah daun dan tinggi tanaman akan terus bertambah setiap

A

B C

D E

(28)

Gambar 18.Perkembangan tunas ES grafting. (A = tunas grafting umur 2 minggu,

B = Tunas grafting umur 3 minggu, C = tunas grafting umur 4 minggu).

minggunya jika kebutuhan hara yang tersedia di dalam tanah tersedia dengan baik. Kompabilitas antara batang bawah dan batang atas sangat menentukan keberhasilan dalam teknik grafting. Secara umum Mathius et al. (2006) menjelaskan bahwa sel-sel parenkim dari batang bawah dan batang atas saling kontak, menyatu dan membaur, sel-sel parenkima yang terbentuk dan terdiferensiasi membentuk kambium sebagai lanjutan dari lapisan kambium batang bawah dan batang atas yang lama. Dari lapisan kambium akan terbentuk jaringan pembuluh sehingga proses translokasi hara dari batang bawah ke batang atas atau sebaliknya hasil fotosintesis dari batang atas ke batang bawah berlangsung sebagaimana mestinya.

Diharapkan melalui proses grafting ini didapatkan model untuk batang atas yang berasal dari regenerasi tanaman secara embriogenesis somatik dengan batang bawah yang berasal dari biji dan stek. Selain itu dengan teknik grafting ini diharapkan akan mempersingkat masa vegetatif pada tanaman jeruk dimana tanaman ini mempunyai juvenilitas yang tinggi menyebabkan masa vegetatif yang lama. Metode grafting juga menguntungkan untuk tanaman yang memiliki perakaran yang tidak kuat, dan dapat bertahan pada berbagai kondisi yang tidak menguntungkan. Gambar 18C memperlihatkan bahwa antara batang atas dan batang bawah telah memiliki kompatibiltas yang satbil. Pertumbuhan tunas hasil grafting akan maksimal jika dilakukan pemangkasan tunas-tunas muda dari batang bawah yang tumbuh kembali dan perawatan terhadap tunas batang atas

A B

Gambar

Gambar 5. Induksi kalus embriogenik dari eksplan nuselus pada media perlakuan  M1  (A=  nuselus,  B  =  kalus,  C  =  PEM  perbesaran  40x,  D  =  kalus  embriogenik mengandung PEM dan globular)
Gambar 7. Proliferasi  kalus embriogenik dari pada media MK4 (A= umur kalus 3  minggu, B = penampakan kalus secara mikroskopik C= PEM )
Gambar 8. Perkembangan embrio somatic dan sitologinya ( A1 & A2 = Fase               globular, B1 & B2 = Fase heart, CI & C2 = Fase torpedo, D1 & D2 =       Kotiledon)
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi biotin terhadap rata-rata jumlah  multiplikasi tunas  Media kultur  penambahan  biotin (mg/l)  Multiplikasi tunas                      Jumlah ES  awal     Rata-rata ES somatik  bermultiplikasi  Rata- rata jumlah  tunas baru  y
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar terlihat bahwa pada waktu kontak 60 menit adsorben bekerja lebih optimum dibandingkan dengan variasi waktu lainnya.. Pada gambar 4.1 dan 4.2 menunjukan bahwa

Struktur mikro disini terlihat untuk ferit pada batas logam induk tersusun paling renggang dibandingkan struktur HAZ pada variasi arus yang lain.. Pada gambar (b)

Pola perkembangan berat kering biji pada varietas Wilis dan Anjasmoro tidak berbeda diantara ke tiga konsentrasi giberelin, namun pada Grobogan pemberian GA3 250

Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa varietas IR64 menghasilkan produksi biji yang lebih rendah turun sampai 43.1% dibandingkan dengan tanaman

Gambar diagram batang 4.20 menunjukkan bahwa pada lahan perkebunan jambu biji semi organik memiliki komposisi fauna tanah lebih banyak dibandingkan dengan lahan perkebunan

Hasil akhir penilaian menunjukkan bahwa setiap pemasukan media pembawa eucalyptus baik dalam bentuk benih/biji, kultur jaringan, bibit, tanaman hidup dan hasil tanaman mati

Pada kondisi DO terendah yaitu 0.13mg/L (Gambar 6) terlihat pada perlakuan PA5 (perlakuan tanpa aerasi dan penambahan pakan) terjadi pada hari kelima setelah pemberian

Ketika dikecambahkan, saat benih akan berimbibisi bahan aditif mengalami dispersi terlebih dahulu dibandingkan dengan bahan pelapisnya, sehingga alumunium pada daerah perkecambahan