• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Hutan di KPH Bojonegoro

KPH Bojonegoro adalah bagian dari Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang kehutanan yang diberi kewenangan dalam pengelolaan hutan negara seluas 50.145,45 hektar yang terdiri dari hutan produksi seluas 45.087,3 hektar (90%) dan hutan non produksi seluas 5.058,1 hektar (10%). Sebagaian besar wilayah KPH Bojonegoro berada di Wilayah Administratif Kabupaten Bojonegoro.

Sebagai bagian dari unit manajemen di Perum Perhutani Unit II Jawa Timur nilai strategis dari KPH Bojonegoro diantaranya adalah sebagai berikut:

1. KPH Bojonegoro sebagai kelas perusahaan jati, yang merupakan produsen kayu jati yang sampai saat ini masih menjadi penyokong penghasil utama Perum Perhutani

2. Kabupaten Bojonegoro di masa yang akan datang diprediksi menjadi kota yang mempunyai masa depan cukup baik dan strategis berkaitan dengan banyaknya potensi minyak.

3. Secara umum masyarakat pedesaan yang berdekatan dengan hutan banyak menggantungkan hidupnya dari hutan dan kehutanan

4. Wilayah hutan KPH Bojonegoro mempunyai banyak sungai yang berperan sangat penting dalam menopang kualitas hidup masyarakat di Kabupaten Bojonegoro yakni sungai Bengawan Solo beserta anak sungainya. Perilaku sungai sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan kualitas hutan di dalam DAS setempat.

5. KPH Bojonegoro juga mempunyai keragaman flora, fauna dan ekosistem endemik yang perlu mendapatkan perlindungan agar tidak terjadi kerusakan dan kepunahan di waktu yang akan datang.

Karakteristik yang sangat kompleks dan kritis tersebut membutuhkan dukungan kualitas lingkungan yang baik, khususnya kualitas sumberdaya hutan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja infrastruktur, industri, penyedian air yang cukup dan berkualitas, pengendalian

(2)

banjir, kekeringan dan tanah longsor, mikroklimat, penyedian produk-produk hasil hutan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan memberikan peluang lapangan kerja, serta lapangan usaha bagi masyarakat sekitar.

Berdasarkan karakteristik permasalahan yang dihadapi serta mengacu pada pengalaman panjang dalam pengelolaan hutan maka ditetapkan beberapa prinsip- prinsip dasar pengelolaan sumberdaya hutan sebagai berikut:

1. Collaborative Forest Management (CFM) dimana pengelolaan dan pengusahaan hutan, tidak semata-mata ditujukan untuk kepentingan perusahaan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat banyak. Dalam pengelolaanya, Perum Perhutani KPH Bojonegoro melibatkan masyarakat sekitar hutan dalam wadah LMDH untuk berpartispasi aktif mulai dari perencanaan, pengelolaan hingga pengawasan.

2. Resources Based Forest Management (RFBM). Prinsip ini menegaskan bahwa usaha Perum Perhutani KPH Bojonegoro tidak semata-mata memproduksi kayu dan hasil hutan lainnya, tetapi juga meliputi pengelolaan ekosistem, termaksuk seluruh sumberdaya yang terkandung di dalam maupun yang ada di permukaan lahan hutan sepertinya: air, galian C, agribisnis, wisata alam, dan lain sebagainya. Prinsip ini ditujukan untuk mengoptimalkan manfaat hutan bagi kesejahteraan masyarakat

3. Penerapan Good Corporate Governonce (GCG) dalam seluruh aspek pengelolaan perusahaan, artinya bahwa seluruh aktivitas pengelolaan perusahaan harus memenuhi azas trasparansi, akuntabilitas fairness, kemandirian, kewajaran serta bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) prinsip ini juga ditujukan untuk perbaikan manajeman guna menjamin kelestarian hutan dan kelestarian perusahaan (Perhutani 2010d).

Prinsip-prinsip dasar tersebut di jadikan acuan dan kriteria keberhasilan pada semua aktivitas perusahaan. Format Rencana Jangka Panjang (RJP) Perum Perhutani KPH Bojonegoro dimulai dengan evaluasi atas kinerja perusahaan selama 5 tahun yang lalu, serta analisa lingkungan internal dan lingkungan eksternal perusahaan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan. Berdasarkan kajian lingkungan usaha tersebut maka dapat ditetapkan sasaran-sasaran perusahaan yang terukur,

(3)

achievable dan reliable, serta strategi dan kebijakan usaha yang menjadi acuan manajeman dalam pencapaian sasaran perusahaan dengan efektif dan efisien.

Berdasarkan analisa lingkungan usaha, dapat diketahui bahwa Perum Perhutani KPH Bojonegoro dalam beberapa tahun terakhir manghadapi perubahan lingkungan internal yang sangat drastis, diantaranya penurunan potensi sumberdaya hutan akibat penjarahan hutan yang terjadi tahun-tahun sebelumnya dan adanya perencekan yang terus menerus. Sementara itu, lingkungan eksternal perusahaan seperti kondisi sosial, ekonomi, dan budaya belum sepenuhnya kondusif bagi perusahaan.

Menyikapi kondisi tersebut maka KPH bojonegoro harus melakukan penyesuaian organisasi, sistem dan budaya perusahaan yang baik komprehensif dan terpadu untuk mewujudkan perusahaan yang tumbuh sehat secara finansial dan operasional yang didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, iklim kerja yang kondusif serta budaya kerja profesional. Secara umum upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan utama yang ingin dicapai sebagai berikut:

1. Efisiensi sumber daya baik pada struktur bisnis, struktur organisasi, aktivitas usaha maupun pembiayaan dengan menerapkan activity based budgeting 2. Memperbaiki infrastuktur organisasi seperti manajemen kinerja, pola karir,

diklat dan budaya perusahaan berazaskan good corporate governance 3. Meningkatkan potensi dan kualitas sumberdaya hutan melalui

pengembangan Jati Plus Perhutani (JPP) dan fast growing species (FGS) seperti mindi

4. Pengembangan usaha untuk meningkatkan value creation (penciptaan nilai perusahaan) dan cash flow perusahaan melalui panggalian potensi dan pengembangan usaha dalam format Unit Kelola Mandiri (UKM) di KPH Bojonegoro

5. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan secara berkelanjutan dengan melakukan perbaikan terus menerus baik oraganisasi, sumberdaya manusia, sumberdaya hutan, usaha dan manajemen secara umum

6. Meningkatkan kerjasama yang baik dengan instansi dan steakholder yang terkait untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan di Wilayah KPH Bojonegoro

(4)

Strategi utama tersebut ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan serta meningkatkan produktivitas dan daya saing usaha. Untuk meningkatan potensi dan kualitas sumberdaya hutan KPH Bojonegoro menggunakan Jati Plus Perhutani sebagai tanaman utama dalam setiap penanaman mulai tahun 2002 hingga saat ini. Ini dapat meningkatkan pendapatan Perhutani karena daurnya yang singkat yaitu 20 tahun serta JPP merupakan varietas unggul diantara varietas jati lainya. Berikut adalah grafik rekapitulasi penanaman JPP:

Gambar 1 Grafik penanaman jati plus Perhutani.

Pada penelitian ini dilakukan analisis finansial terhadap pengelolaan Jati Plus Perhutani di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II pada tahun tanam 2007 dengan luas lahan yang ditanam adalah 691,2 hektar. Sistem pengelolaan tanaman Jati Plus Perhutani (JPP) dibagi menjadi dua yaitu sistem pengelolaan kawasan dan sistem pengelolaan tanaman JPP. Sistem pengelolaan kawasan adalah sebagai berikut:

1. Manajemen kawasan meliputi penilaian tanaman dan pengecekan luas kawasan

2. Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ditetapkan oleh pemerintah dan dibayarkan setiap tahun

3. Perencanaan dilakukan sebelum dilakukan penanaman berupa pembuatan buku rencana operasional, analisis peta dan penentuan areal

(5)

4. Pengelolaan keamanan kawasan dilakukan oleh KRPH dan Polhut yang berpatroli dalam mengamankan areal tanaman JPP

5. Pengelolaan finansial dan penyuluhan adalah pengelolaan keuangan yang berkenaan dengan tanaman JPP dan penyuluhan terhadap LMDH bersama mengelola tanaman JPP

6. Pemeliharaan sarana dan prasarana meliputi perawatan rumah pegawai, perawatan kantor, dan lainya

7. Pembayaran gaji mandor dan pembantu mandor

Sedangkan untuk pengelolaan tanaman Jati Plus Perhutani (JPP) adalah sebagai berikut:

5.1.1 Persemaian

Seiring dengan perkembangan program pemuliaan pohon yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan dengan ditemukanya klon-klon unggulan, serta dengan terbatasnya luas maupun produksi kebun benih klonal (KBK) jati untuk pemenuhan kebutuhan benih bagi Perum Perhutani dan pihak ketiga, perlu dikembangkan pembuatan bibit asal stek pucuk secara luas dalam persemaian.

Pengembangan/pembuatan bibit asal stek pucuk secara luas atau skala besar memerlukan pembangunan atau penyediaan kebun pangkas JPP berikut persemaianya. Menurut Peraturan Mentri kehutanan (Permenhut) nomor: P.72/Menhut-II/2009 tanggal 20 desember 2009 tentang perubahan atas Peraturan Mentri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2009 tentang penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan, kebun pangkas merupakan sumber pangkas yang mempunyai klasifikasi paling tinggi. Menurut Permenhut tersebut pengertian kebun pangkas adalah sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari klon unggul berdasarkan hasil uji klon untuk memproduksi materi vegetatif. Kebun pangkas dikelola intensif dengan pemangkasan, pemupukan dan perlakuan lain untuk meningkatkan produksi bahkan stek.

Pembangunan kebun pangkas dilakukan dengan persiapan kebun pangkas seperti pembuatan dan pemasangan pal batas, pembersihan lapangan dan pengelolaan tanah, pembuatan jalan pemeriksa angkutan,

(6)

pembuatan tandon air, pembuatan dan pemasangan papan pengenal kebun pangkas pembuatan dan pemasangan acir, pembuatan lubang tanam, pemasukan pupuk kandang ke dalam lubang. Penanaman indukan kebun pangkas yaitu sebelum ditanam, bibit yang telah sampai di lapangan diterima dari persemaian harus ditempatkan/ ditata dengan baik, ditempatkan pada tempat yang aman dan terjamin keamanan dan keselamatan, bila diperlukan dilakukan penyiraman, polybag atau polytube dilepas dengan hati-hati agar media bibit menjadi kompak/ tidak lepas dan bibit yang ditanam dengan posisi tegak dimana leher akar akan sejajar dengan permukaan tanah. Setelah ditanam, sekeliling batang bibit dibuat gundukan setinggi 10 cm dengan diameter piringan 50 cm. Kantong polybag bekas wadah media bibit diselipkan atau diikat pada ujung utas acir, sebagai tanda bahwa kantong atau media bibit tidak ikut tertanam, selanjutnya dikumpulkan pada tempat tertentu. Acir ditancapkan kembali dengan posisi tegak lurus di sebelah Utara/ Selatan bibit dengan jarak 10 cm. Penanaman tanaman klon mengikuti skema yang didamping oleh Puslitbang. Setelah itu pemeliharaan kebun pangkas dilakukan dengan cara: pendangiran awal, pemupukan anorganik pertama, pembersihan gulma, pemangkasan batang, cabang dan daun, pendangiran, pemupukan pemulsaan, pembaharuan saluran air, penyiraman, pemberantasan hama penyakit dan penyulaman.

Dalam pelaksanaan persemaian stek pucuk dilakukan persiapan media seperti media pembuatan stek pucuk yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Tersedia cukup unsur hara

2. Tidak mengandung hama dan penyakit 3. Mudah didapat dan murah

4. Sesuai dengan kebutuhan /metode yang dipakai

media yang dipakai adalah kompos,pasir dan topsoil dengan perbandingan adalah 3:2:1, sebelum di campur media yang digunakan harus sudah diayak dan disterilkan. Pada saat pencampuran media tersebut diberi pestisida dan pupuk anorganik diaduk secara merata dengan media, selanjutnya dimasukan ke polybag dan ditata di bedeng induksi.

(7)

Dalam penanaman pucuk, tidak semua pucuk yang dipanen dapat dipergunakan sebagai bahan stek pucuk yang baik. Pucuk yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tunas ortrotop, memeliki 3 atau 4 interdonia, panjang batang 5 cm, minimal sudah berumur 2 minggu dari pehcahnya mata tunas, batang silindris, berbulu hijau cerah, dan kuncup masih kaku berwarna coklat. Penanaman pucuk di bedeng induksi yang harus disiapkan adalah sebagai berikut:

1. Larutan hormon perangsang akar atau IBA (indole-3 butyric acid) yaitu sebanyak 0.02 gram.

2. Memotong daun dengan menggunakan gunting disisakan 1/3 bagian yang bertujuan untuk menghindari penguapan dan persaingan cahaya di dalam bedeng induksi akar.

3. Merapikan potongan melintang stek batang dengan menggunakan cutter yang tajam agar penyarapan hormon ke pangkal batang bisa merata, setelah itu pangkal batang yang sudah dirapikan direndam dalam larutan hormon perangsang akar selama 5 menit.

4. Sambil menunggu masa perendaman, media yang sudah ditata bedeng induksi akar disiram sampai jenuh sehingga waktu penanaman pucuk bahan stek tidak luka.

5. Penanaman pucuk, dalam hal ini pucuk bahan stek langsung ditanam ke polybag yang sudah disiapkan.

6. Penanaman sedalam 2 cm dan pucuk tegak lurus, setelah itu dilakukan penyiraman menggunakan sprayer, sehingga butiran air mengkabut. 7. Penyiraman tidak boleh langsung disemprotkan tetapi cukup

pengkabutan untuk menghindari bibit roboh atau bahkan lepas dari polybag.

8. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari atau sesuai kondisi kelembaban di bedeng induksi akar.

9. Setelah berumur 3 minggu bibit sudah mulai ada yang berakar, sehingga mulai 1-2 bulan harus dilakukan seleksi bibit yang berakar secara periodik.

(8)

Hal-hal yang perlu diperhatikan pemeliharaan tanaman di dalam bedeng induksi akar adalah sebagai berikut:

1. Kelembaban harus dipertahankan 79-83% dan suhu dalam bedeng induksi akar 40-50˚C

2. Kecepatan berakarnya bibit tergantung kualitas pucuk dan kondisi lingkungan kondisi kelembaban media

3. Pemeliharaan yang harus dilakukan saat bibit di bedeng induksi akar adalah penyiangan gulma dan pembersihan daun layu serta bibit yang mati

4. Media bibit yang mati tidak boleh langsung ditanami pucuk yang baru 5. Setelah penyiraman plastik sungkup harus segera ditutup lagi

6. Sungkup harus selalu bersih dari lumut

7. Plastik sungkup yang sobek harus segera ditutup dengan lakban putih, sungkup yang tidak bisa diperbaiki agar segera diganti

8. Bibit yang sudah berakar harus dipindahkan ke bedeng aklimatisasi Pemeliharaan bibit yang berada di bedeng aklimatisasi (bibit yang memiliki akar dan 3 minggu berada dibedeng induksi) adalah sebagai berikut: bibit diseleksi setiap hari selama 1-2 bulan, bibit yang masih stres (daun layu) dikembalikan ke bedeng induksi, plastik sungkup dibuka secara bertahap selama 2 minggu dengan tujuan agar bibit dapat beradaptasi dengan kondisi luar, penyiraman dilakukan 2 kali sehari atau sesuai bibit dengan menggunakan percikan air yang halus, bibit dipupuk daun dengan dosis setara kristalon 2 gram/liter air, dilakukan penyiangan rumput atau gulma yang tumbuh di polybag, media bekas bibit yang mati tidak boleh digunakan pucuk yang baru, bibit dipelihara selama 2 minggu selanjutnya bibit yang daunnya hijau dan segar dipindahkan ke shading area.

Pemeliharaan di shading area (dibawah naungan) adalah sebagai berikut: penyiraman dilakukan pagi dan sore hari, bibit dipupuk daun dengan dosis setara kristalon 2 gram/ liter air, pembersihan daun layu dan busuk, bibit mati segera dipisahkan, media bekas bibit mati tidak boleh digunakan, pemberian insektisida bila terserang hama, seleksi bibit, penambahan media, bibit dipelihara selama 2 minggu, bibit yang sudah

(9)

hijau dan segar dipindahkan ke open area dan sebelum dipindahkan dikurangi daunya terlebih dahulu untuk mengurangi penguapan.

Proses terakhir adalah pemeliharaan di open area (area terbuka) sebagai berikut: bibit yang masih stress agar dikembalikan ke shading area, bibit langsung menerima pancaran sinar matahari minimal 2 bulan sebelum ditanam, bibit yang mati segera dipisahkan dan media bekas bibit yang mati tidak boleh digunakan pucuk baru, dilakukan penyiraman 2 kali sehari, penegakan batang pada bibit yang miring atau bengkok, pemupukan dilakukan akar dan daun, pengurangan daun dan seleksi bibit, penyiangan, penambahan media, pemangkasan akar, pemangkasan daun, pemberantasan hama dan penyakit.

Bibit yang bisa diangkut dari persemaian harus memiliki pertumbuhan normal, tinggi bibit 20-30 cm, batang lurus, berkayu, kokoh, daun tidak lebar, tidak terserang hama dan penyakit.

Setelah bibit memiliki persyaratan untuk diangkut dari persemaian ke lahan penanaman bibit harus dikemas ke dalam kotak dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tinggi 50 cm lalu bibit disusun dalam kotak dengan posisi tidur, Sebelum diangkut bibit harus disiram dulu sampai jenuh, kotak bibit disusun didalam truk dan ditutup shading net

5.1.2 Penanaman

Sebelum dilakukan penanaman, persiapan lahan (pemeliharaan hutan T-0) sangat penting dilakukan seperti pembutan tanda batas blok, PCP ulang, tunjuk tolet, tebang tanpa hasil, dan pruning. Lubang tanam dibuat dengan ukuran panjang x lebar x dalam = 40 cm x 40 cm x 40 cm dengan penampang lubang bagian bawah 30 cm x 30 cm, biasanya dilakukan pada bulan Oktober dan pupuk dasar yang menggunakan pupuk kandang.

Dalam pelaksanaan pemupukan, pupuk kandang dicampur dengan top soil bekas galian yang telah diremahkan dan setiap lubang tanam diberi 3 kg pupuk kandang. Pupuk dikemas setiap 3 kg dalam kantong plastik untuk memudahkan pengawasan dan pengangkutan ke lubang tanam.

Penanaman dilakukan pada bulan November-Desember, sebelum ditanam bibit terlebih dahulu diletakkan di lubang tanam, kantong plastik

(10)

disobek, baru dilepas dengan hati-hati agar media tetap kompak dan akar tidak terpisah. Kantong plastik bekas diikat pada acir untuk selanjutnya dikumpulkan ditempat tertentu sesuai dengan ketentuan. Penanaman dilakukan sesuai kemampuan tenaga kerja dan sekaligus selesai (jangan meninggalkan bibit di acir yang tidak tertanam) setelah ditanam segera lakukan pendangiran.

5.1.3 Pemeliharaan tanaman

Tanaman jati mampu tumbuh dengan baik apabila pada awal pertumbuhannya terpelihara dengan baik. Tanaman jati umur 0 s/d 5 tahun merupakan masa pertumbuhan yang harus mendapatkan perhatian serius, berbagai persyaratan tumbuh harus dipenuhi seperti nutrisi dan bebas dari berbagai gangguan. Pemeliharaan tanaman jati merupakan salah satu kegiatan silvikultur intensif untuk manipulasi lingkungan. Pemeliharaan tanaman bertujuan mendapatkan tegakan sesuai dengan tujuan pengelolaan yang akan dicapai. Kegiatan pemeliharaan tanaman jati sebagai berikut: 1. Babat jalur

Sebelum pendangiran dilakukan pembabatan tumbuhan bawah selebar 1-1,5 m, bekas tumbuhan bawah dapat digunakan sebagai mulsa setelah didangir. Waktu pelaksanaan babat jalur pada banjar harian tabel 5.

Tabel 5 Waktu pelaksanaan babat jalur pada banjar harian Babat jalur (tahun) Waktu pelaksanaan (triwulan)

Kedua I,III,IV

Ketiga I dan IV

Keempat I dan IV

Kelima I dan IV

2. Pendangiran

Tanaman jati memerlukan tanah yang mempunyai aerasi baik dan tidak tergenang air. Pendangiran sedalam 10-20 cm dengan menggemburkan tanah sekitar tanaman membentuk piringan berdiameter 1 meter dan tanah yang dibuat membumbung (gundukan) setinggi minimal 10 cm agar tanaman pokok tidak tergenang jika hujan, bila pada musim kemarau dapat mengurangi penguapan air tanah, serta menahan laju api bila terjadi kebakaran. Pendangiran tahun kedua sampai dengan tahun kelima dilakukan 2 kali dalam setahun yaitu Februari-Maret dan Oktober-November.

(11)

Pada tanaman jati muda bila ada kelainan yaitu jarak intermodal (jarak antar ruas daun) menjadi pendek (kesan daun berduduk melingkar atau rosset). Hal ini disebabkan oleh Solum tanah yang tipis dan miskin hara. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan pendangiran dan pemupukan berdosis tinggi (urea 100 gr/pohon) dan Bila solum tanah tebal biasanya drainase jelek, terjadi pemadatan tanah sehingga diperlukan adanya pendangiran dan pemupukan

3. Penyulaman

Penyulaman dilakukan pada tanaman pokok, tanaman pengisi, tanaman sela, tanaman tepi dan tanaman pagar. Sebelum dilakukan penyulaman tanah digemburkan terlebih dahulu. Penyulaman tanaman pokok dilakukan maksimal sebanyak 20 % pada tahun kedua setelah tanam dan hanya dilakukan sekali. Pada tanaman yang bengkok atau tumbuh miring dengan sudut kemiringan kurang dari 45⁰ dilakukan pemotongan 1 cm diatas mata tunas paling bawah, sehingga diharapkan tumbuh tunas baru yang lurus dan kelak menjadi batang pohon yang lurus.

4. Pemupukan

Pemupukan pertama dilakukan setelah penanaman selesai yaitu menggunakan urea 50 gram/ tanaman selama satu bulan setelah tanam untuk mempercepat pertumbuhan awal. Sebelum dilakukan pemupukan dilakukan dangir piringan. Dangir piringan dimaksudkan untuk memperbaiki aerasi dan drainase tanah. Pemberian pupuk berjarak 20-25 cm dari tanaman pokok dengan dua lubang sedalam 10 cm di Sebelah Timur dan Barat dan dilakukan pada saat curah hujan relatif banyak.

Pemupukan kedua sampai tahun kelima dilakukan dua kali dalam setahun yaitu bulan Februari-Maret dan November-Desember, dengan urea dosis 100 gram atau NPK (15:15:15) 150 gram sekali pemupukan dan sebelum pemupukan dilakukan pendangiran berdiameter 1 meter. Pemberian pupuk berjarak 20-25 cm dari tanaman pokok dengan cara membuat lubang sedalam 10 cm di sebelah Timur dan Barat serta dilakukan saat hujan masih banyak.

(12)

5. Perwiwilan

Tunas air (bakal cabang) yang tumbuh pada batang pokok tumbuh waktu tanaman masih muda perlu dilakukan perwiwilan, sedangkan wiwil daun (perempesan daun) tidak boleh dilakukan karena dapat menghambat pertumbuhan tinggi dan diameter. Perwiwilan daun sering terjadi pada tanaman tumpang sari, dalam hal ini ada dua kepentingan. Di satu pihak (Perhutani) menginginkan pertumbuhan-pertumbuhan tanaman pokok tumbuh baik dengan tidak dilakukan perwiwilan, di pihak lain (pesanggem) menginginkan tanaman pertaniannya tumbuh maksimal dengan cara mewiwil daun jati supaya tidak menaungi tanaman pertanian. Untuk mengatasi hal ini harus ada ketegasan serta kerjasama yang baik antara petugas perhutani dengan LMDH setempat. Tunas air tumbuh apabila tanaman jati mengalami stress akibat kekurangan air setelah bibit ditanam di lapangan kemudian setelah tanaman jati kena air hujan akan tumbuh tunas-tunas air. Tunas air akan segera dihilangkan dengan dilakukan perwiwilan sehingga pertumbuhan menjadi lebih optimal.

5.1.4 Penjarangan

Rencana penjarangan disusun dalam buku RKPH berdasarkan frekuensi penjarangan. Untuk menentukan penjarangan dibuat PCP (petak coba penjarangan). Persiapan sebelum penjarangan (persiapan pemeliharaan hutan (T-II)) kegiatannya adalah tanda batas blok babat trowong, pembutan PCP, tunjuk tolet dan babat tumbuhan bawah.

Penjarangan dilaksanakan berdasarkan Rencana Tebang Tahunan (RTT) penjarangan dengan diterbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) oleh administrator. Khusus tegakan yang terlambat dijarangi, SPH melakukan pengecekan lokasi sebelum pelaksanaan penjarangan dengan membuat BAP bersama KPH sebelum diterbitkan suplisi. Batas lokasi penjarangan ditetapkan berdasarkan peta kerja skala 1:10.000 setelah itu pada peta yang sama dibuat jaringan PCP dengan titik awal rintis diletakkan pada titik yang mudah dikenal di lapangan seperti pal hm, pal batas, persilangan alur dan lain-lain. Titik awal PCP dinyatakan oleh pohon atau patok permanen dengan dituliskan petunjuk arah ke letak PCP sesuai dengan jaringan pada

(13)

peta. Titik pusat PCP dinyatakan pada patok yang menunjukan titik pusat PCP sebagai sumber identitas data PCP. Pohon tengah diberi tanda lingkaran cat warna merah selebar 20 cm dengan ketinggian 160 cm diatas permukaan tanah. Pada pohon tengah saat pembuatan PCP agar dituliskan tanda arah ke letak PCP berikutnya dengan ketinggian 100 cm di atas permukaan tanah dengan cat warna merah. Pohon yang masuk ke dalam lingkaran PCP adalah pohon-pohon yang setengah atau lebih dari diameternya terkena oleh ujung tali pengukur radius (17.8 m) untuk pohon-pohon yang terikat batas tepi keliling lingkaran diberi tanda cat warna merah selebar 10 cm setinggi 160 cm.

Setelah dibuat petak coba penjarangan (PCP), pohon-pohon yang masuk dalam lingkaran dilakukan perhitungan dan diberi nomor urut untuk memudahkan pemberian nomor dimulai dari pohon tengah kemudian bergeser ke arah Barat Laut selanjutnya menuju ke titik pusat dan demikian seterusnya. Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah pohon, rata-rata diameter, rata-rata tinggi, peninggi, presentase tumbuh dan volume taksasi tegakan dan penjarangan. Pengukuran peninggi pada setiap PCP diukur rata-rata 5- 10 pohon. Perhatian utama dalam penjarangan ditujukan pada pohon-pohon yang hendak menjadi pohon-pohon tinggi atau akhir yaitu pohon-pohon yang normal, sehat dan tersebar merata di lapangan. Semua pohon penjarangan dalam tiap PCP diberi tanda silang (X) dan nomor urut, kelilingnya diukur dan ditulis pada pohon dengan ketinggian 1,30 meter di atas tanah.

5.1.5 Penebangan

Sebelum dilakukan penebangan, pohon-pohon jati tersebut diteres terlebih dahulu untuk memudahkan kegiatan penebangan. Peneresan dilakukan dua tahun sebelum penebangan yang sebelumnya didahului oleh kegiatan penentuan batas teresan dan pembagian blok. Terkadang dalam prosesnya masih ada beberapa pohon yang tidak mati setelah diteres, hal ini disebabkan adanya tanaman rambat yang menempel di pohon induk sehingga menyebabkan pohon mengalami cacat growong yaitu terdapat rongga di dalam batangnya dan menyebabkan menurunnya kualitas batang tersebut. Ketika peneresan dilakukan, pada saat itu pula dilaksanakan

(14)

kegiatan klemstat, yaitu pengukuran keliling masing-masing pohon pada ketinggian 1,3 meter, dicatat dalam buku khusus dan ditaksir volumenya dengan menggunakan tarif volume lokal untuk menentukan target tebangan.

Sebelum pohon ditebang, para mandor tebang sudah memberi tanda mana pohon yang berpotensi menjadi kelas hara nantinya dan di pohon tersebut diberi tanda “H”. Hal ini dilakukan untuk menandai agar para buruh tebang berhati-hati saat menebang pohon yang telah diberi tanda “H”, sehingga pohon tersebut tidak mengalami kesalahan dan cacat apapun dalam proses penebangannya dan target dapat terpenuhi.

Dalam pelaksanaannya, tebangan harus dilakukan pohon per pohon, artinya setiap pohon harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menebang pohon berikutnya. Demikian juga dengan setiap blok harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum pindah ke blok berikutnya. Penentuan arah rebah penebangan dilakukan oleh mandor tebang sesuai dengan arah tajuk/ condong tajuk. Kegiatan penebangan termasuk pembagian batang dilakukan oleh blandong sesuai dengan petunjuk mandor tebang kemudian mandor tebang memberikan mutu V/H atau lokal atau ukuran sesuai dengan pasaran. Setelah pohon di tebang, pada tunggak pohon diberi tanda untuk memudahkan dalam pelaksanaan program CoC (Chain of Custody) atau lacak balak nantinya. Ada beberapa tugas bagi mandor tebang terkait dengan kegiatan CoC tersebut adalah sebagai berikut:

1. Melakukan penandaan pada fisik setiap batang kayu dan tunggak dengan tulisan yang mudah dibaca oleh orang lain dan menggunakan bahan (cat atau ter) yang berkualitas bagus dan tahan lama sesuai dengan petunjuk dan aturan yang berlaku.

2. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan pada dokumen yang telah ditentukan sesuai point.

3. Menjaga keberadaan tunggak (dari kegiatan pembongkaran/ perencekan oleh masyarakat) hingga 1 tahun setelah penebangan untuk keperluan lacak balak.

4. Melaporkan pelaksanaan pekerjaan lacak balak kepada Asper/KBKPH melalui KRPH.

(15)

2 10-05-10 23

X ds Gondang P

Gambar 2 Contoh penandaan pada tunggak. Keterangan:

2 = Nomor urut penebangan pohon

23 = Nomor pohon

10-05-10 = Tanggal-Bulan-Tahun menebang X ds Gondang = Nama dan alamat penebang

P = Paraf

Sedangkan penandaan pada kayu adalah sebagai berikut:

23 3.00 23 2.00 23 3.5 1 2 3

Gambar 3 Contoh penandaan pada kayu. Keterangan:

23 = Nomor pohon

1,2,3,dst = Nomor urut potongan kayu 3.00 ,2.00 , 3.5 ,dll = panjang kayu (m)

Penandaan pada bontos kayu dilakukan pada pangkal batang (bawah) dan bujung batang (atas). Penandaan pada pangkal batang (bawah) dilakukan sebagai berikut:

23 2

Gambar 4 Penandaan pada pangkal batang. Keterangan :

23 = Nomor pohon

(16)

Pada ujung batang (atas),oleh mandor dibagi menjadi dua bagian dengan dipisahkan oleh garis tegak lurus, menjadi bagian kiri (A) dan nagian kanan (B). Bagian A diperuntukkan bagi pemberian tanda di hutan dan bagian B di TPK. Tanda-tanda yang diberikan adalah sebagai berikut :

37A-GDG 740 3.50 0 40 0.46 P.G A B

Gambar 5 Contoh gambar pada pangkal log. Keterangan:

37A = Anak petak tebangan GDG = Kode BKPH 740 = Nomor kayu 3.50 = panjang kayu 40 = diameter ujung (cm) 0.46 = volume kayu (m2) P.G = mutu kayu

Setelah pohon roboh maka langkah selanjutnya adalah pembagian batang. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses pembagian batang adalah sebagai berikut:

1. Kepras cabang,tonjolan dan banir

2. Sortimen A.III, A.II, dan A.I dan batas kelas harga ditandai 3. Status Vi, H dan IN ditentukan

4. Prioritas pembagian batang

5. Pembagian batang dari pangkal ke ujung 6. Penandaan dengan teer

7. Administrasi

Hal yang paling penting dalam pembagian batang adalah dalam hal prioritas pembagian batang karena hal ini berkaitan dengan permintaan pasar dan

(17)

harga jual. Prioritas pembagian batang kayu bundar jati adalah sebagai berikut (Perhutani 2010c) :

1. Sortimen AI

a. Diameter 4 cm, panjang batang ≥ 2,00 m b. Diameter 7 cm, panjang batang ≥ 1,50 m

c. Diameter 10 cm dan 13 cm, panjang batang ≥ 0,70 m d. Diameter 16 cm dan 19 cm, panjang batang ≥ 0,40 m 2. Sortimen A II

a. Diameter 22 cm, 25 cm, dan 28 cm, panjang batang ≥ 0,40 m 3. Sortimen A III

a. Diameter 30 cm ke atas, panjang batang ≥ 0,40 m

Untuk urutan prioritas pembagian batang kayu bundar jati adalah sebagai berikut (Perhutani 2010c) :

1. Kayu Bundar Vinir (Vi)

Panjang 2,40 – 2,90 m, diameter 30 cm ke atas. 2. Kayu Bundar Hara (H)

a. A III : Panjang 0,70 – 2,90 m, diameter 30 cm ke atas b. A II : Panjang 0,70 – 2,90 m, diameter 25 - 28 cm 3. Kayu Bundar Lokal Industri (IN)

a. A III : Panjang 0,70 – 2,90 m, diameter 30 cm ke atas b. A II : Panjang 0,70 – 2,90 m, diameter 22 - 28 cm 4. Kayu Bundar Besar (A III) Lokal

Panjang 0,40 – 4, 10 m ke atas, diameter 30 cm ke atas, dengan catatan kayu doreng > 5 % diameter atau buncak-buncak > 0,5 keliling.

5. Kayu Bundar Sedang (A II) Lokal

Panjang 0,40 – 4,00 m ke atas, diameter 22 – 28 cm, dengan catatan tidak mengandung dua sortimen.

6. Kayu Bundar Kecil (A I)

a. Diameter 0,70 - 4,00 m ke atas, diameter 16 – 19 cm b. Diameter 0,40 – 4,00 m ke atas, diameter 10 – 13 cm c. Diameter 1,50 – 4,00 m ke atas, diameter 4 – 7 cm

(18)

7. Kayu Bahan Parket (KBP)

a. Diameter 0,40 – 1,90 m, diameter 16 – 19 cm b. Diameter 0,40 – 1,90 m, diameter 22 – 28 cm c. Diameter 0,40 – 1,90 m, diameter 30 cm ke atas 8. Kayu Bundar Limbah/ KBL (Kayu Bakar)

a. Diameter 0,50 m, diameter 9 – 15 m b. Diameter 0,50 m, diameter 5 – 8 cm c. Diameter 1,00 m, diameter 2 – 4 cm 9. Brongkol

a. Panjang 0,40 - < 1,00, diameter 16 cm ke atas

Setelah kayu dibagi menjadi bermacam-macam ukuran,lalu kayu dimuat untuk kemudian diangkut ke TPK. Kegiatan pengangkutan dilakukan atas kerjasama pihak Perhutani dengan pihak swasta.

(19)

5.2 Biaya dan Penerimaan Pengelolaan Tanaman JPP 5.2.1 Biaya Pengelolaan Tanaman JPP

Biaya tanaman JPP dibagi menjadi dua yaitu biaya pengelolaan kawasan tanaman JPP dan biaya pengelolaan tanaman JPP. Biaya pengelolaan kawasan JPP anatara lain biaya manajemen kawasan, biaya PBB, biaya perencanaan, biaya keamanan, biaya finansial dan penyuluhan, biaya pemeliharaan sarana dan prasarana, gaji mandor dan gaji pembantu mandor. Sedangkan biaya pengelolaan tanaman JPP antara lain biaya persemaian, biaya pemeliharaan hutan (T-0), biaya pengangkutan bibit, biaya pengadaan sarana penanaman, biaya penanaman, biaya pemupukan, biaya silvikultur intensif 2009, biaya silvikultur intensif 2010, biaya silvikultur intensif 2011, biaya pemeliharaan lanjutan, biaya pemeliharaan (T-2), biaya angkutan penjarangan I, biaya pengangkutan penjarangan II, biaya tebangan dan biaya angkutan tebangan. Untuk mengetahui rincian biaya pengeloaan JPP dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6 Biaya pengelolaan JPP

No Uraian Kegiatan Biaya (/Ha) Total Biaya

1 Biaya Manajemen kawasan 62.250 903.571.200

2 Biaya PBB 43.477 631.077.350

3 Perencanaan 136.240 94.169.088

4 Biaya Keamanan 187.027 2.714.734.310

5 Biaya Finansial dan Penyuluhan 11.300 164.021.760

6

Pemeliharan sarana dan

prasarana 18.846 273.553.459

7 Gaji mandor 2.500.000 35.280.000.000

8 Gaji pembantu mandor 150.000 10.584.000.000

9 Persemaian 193 117.393.408

10 Pemeliharaan Hutan (T-0) 1.260 870.912

11 Pengangkutan Bibit 2.577 1.568.008.870

12 pegadaan sarana penanaman 2.427.550 1.677.922.560

(20)

No Uraian Kegiatan Biaya (/Ha) Total biaya

14 Biaya pemupukan 2.853.620 1.972.422.144

15 Biaya Silvikultur Intensif 2009 1.609.733 1.112.647.550

16 Biaya Silvikultur Intensif 2010 - 101.518.400

17 Biaya Silvikultur Intensif 2011 - 75.822.200

18 Pemeliharaan Lanjutan 120.422 83.235.686

19 Pemeliharaan (T-2) 16.728 2.315.490

20 Biaya Angkutan Penjarangan - 917.515.738

21 Pemeliharaan (T-2) 16.728 1.849.983

22 Biaya Angkutan Penjarangan II - 1.788,361.165

23 Biaya Tebangan 8.527.800 3.536.649.216

24 Biaya Angkutan Tebangan - 7.818.640.322

TOTAL BIAYA 19.059.777 71.678.827.848

5.2.2 Penerimaan Pengelolaan Tanaman JPP

Penerimaan diterima dari hasil penjarangan pada tahun 2017, hasil penjarangan pada tahun 2022 dan hasil penebangan pada tahun 2027. Dalam penentuan harga log berdasarkan harga jual dasar kayu bundar jati dan rimba tahun 2011. Di bawah ini adalah tabel penerimaan dari hasil pengelolaan JPP.

Tabel 7 Penerimaan dari hasil pengelolaan JPP

No Uraian Kegiatan Pendapatan (/Ha) Total Pendaptan

1 Hasil Penjarangan I 2.724.000 21.742.932.588

2 Hasil Penjarangan II 5.135.500 79.897.800.870

3 Hasil Penebangan 7.759.000 645.547.868.920

Total Pendapatan 15.618.500 747.188.602.378

5.3 Analisis Kelayakan Finanasial

Kelayakan usaha yang di lakukan berdasarkan analisis finansial, dengan menggunakan analisis aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto

(21)

atau Discounted Cash Flow (DCF) yang menggunakan tiga kriteria yaitu NPV, BCR dan IRR berdasarkan kegiatan pengelolaan Jati Plus Perhutani (JPP) KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Agustus. Tabel dibawah ini adalah analisis kelayakan finansial berdasarkan tiga kriteria yaitu NPV,BCR dan IRR

Tabel 8 Analisis Kelayakan Finansial

No Analisis Nilai

1 NPV (Net Present Value) Rp 91.484.610.335

2 BCR (Benefit Cost Ratio) 3,86

3 IRR (Internal Rate of return) 21,72%

Dilihat dari tabel nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp 91.484.610.335 lebih besar dari nol (> 0) dan Benefit Cost Ratio (BCR) sebesar 3,86 lebih besar dari satu (> 1) sedangkan nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 21,72% lebih besar dari suku bunga sebesar 10 % sehingga usaha layak untuk dijalankan.

5.4 Analisis sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Dalam analisis sensitivitas pengelolaan JPP, dibuat skenario kenaikan biaya total sebesar 10% dan penurunan harga log sebesar 10%. Tabel dibawah ini adalah tabel analisis sensitivitas pengelolaan tanaman JPP.

Tabel 9 Analisis sensitivitas pengelolaan tanaman JPP

Kriteria

Kondisi

Normal Biaya Total Naik 10% Harga Log Naik 10%

Nilai ∆ (%) Nilai ∆ (%)

NPV (Rp) 91.484.610.335 88.286.439.635 -3,50% 79.137.978.601 -13,49%

BCR 3,86 3,5 -9,32% 3,47 -10,10%

(22)

Nilai NPV mengalami penurunan sebesar 3,5% menjadi Rp 88.286.439.635. Nilai BCR mengalami penurunan sebesar 9,32% menjadi 3,5 Sedangkan untuk nilai IRR mengalami penurunan sebesar 3,45% menjadi 20,97%. Biasanya biaya total mengalami kenaikan dikarenakan kenaikan gaji karyawan, kenaikan harga bahan baku seperti polybag, pupuk, pasir dan lain-lain, terjadi serangan hama dan penyakit sehingga perlu adanya penanaman ulang dan illegal logging sehingga perlu lebih intensif dalam keamanan.

Nilai NPV mengalami penurunan sebesar 13,49% menjadi Rp 79.137.978.601. Nilai BCR mengalami penurunan sebesar 10,1% menjadi 3,47. Sedangkan untuk nilai IRR mengalami penurunan sebesar 4,18% menjadi 20,81%. Biasanya harga log mengalami penurunan karena berkurangnya permintaan pasar, banyak jenis log kayu lain yang lebih murah seperti sengon, jabon dan lain-lain, dan subtitusi bahan baku log kayu jati menjadi barang lain seperti rangka atap yang biasanya memakai bahan baku jati diganti dengan rangka atap baja yang lebih murah dan kokoh dan kusen jendela sudah banyak yang memakai alumunium dibanding log jati sebagai bahan baku.

Dari kondisi pada analisis sensitivitas dengan dua skenario yaitu kenaikan biaya total sebesar 10% dan penurunan harga log jati sebesar 10% terlihat bahwa secara finansial pengelolaan tanaman JPP di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur layak dilaksanakan walaupun nilai NPV, BCR dan IRR mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi normal tetapi masih bernilai positif. Dilihat dari persentase penurunan yang terjadi pada kriteria kelayakan finansial, kondisi penurunan harga log kayu jati sebesar 10% memberi dampak negatif terhadap aspek finansial lebih besar dibandingkan dengan kenaikan biaya total sebesar 10%. Untuk mengatasi penurunan harga log kayu jati dapat dilakukan dengan cara menyimpan log kayu jati dan menjualnya pada saat harga normal atau lebih tinggi, menjadikan log kayu menjadi barang jadi seperti furniture, meuble dan lain-lain. Mengurangi biaya produksi dengan cara efisiensi gaji karyawan, menggunakan bahan baku yang lebih ekonomis dan menggunakan teknologi yang lebih efisien dan ekonomis.

Gambar

Gambar 1  Grafik penanaman jati plus Perhutani.
Gambar 4  Penandaan pada pangkal batang.
Tabel 6  Biaya pengelolaan JPP
Tabel 7  Penerimaan dari hasil pengelolaan JPP
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil Evaluasi dan Pembuktian Kualifikasi serta Penetapan Hasil Kualifikasi, kami Kelompok Kerja I Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Lamandau Tahun

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Yudi Utomo, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KETIMPANGAN ANTAR KECAMATAN DI KABUPATEN

suatu barang atau jasa tertentu dengan menggunakan gabungan faktor-faktor produksi dalam jangka waktu tertentu.&#34;... PANDANGAN ISLAM THD PANDANGAN

[r]

Peraturan Pemerintah nomor 03 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP no 06 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan

Kalimat itu juga yang menjadi penyemangat untuk berjuang dalam kehidupan ini termasuk berjuang dalam menyelesaikan Laporan Skripsi dengan judul Perbandingan Metode Spray Drying dan

Sеlama kеgiatan produksi bеrlangsung, PT Pupuk Kalimantan Timur sеlalu mеlalukan pеngеcеkan tеrhadap produk yang dihasilkan sеcara rutin dan bеrkala. Hasil produksi

cenderung mengarah kepada persoalan-persoalan perilaku para akuntan atau auditor yang akan berdampak terhadap penurunan kualitas audit sehingga cenderung menurunkan