• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

Penerapan Faktor-faktor Interaksi Sosial pada Kehidupan Komunitas

Belanda Depok dari Masa Cornelis Chastelein hingga Pra Kemerdekaan

Republik Indonesia

MAKALAH

GINISITA DOFANY

0906643401

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI BELANDA

DEPOK

(2)
(3)
(4)
(5)

Penerapan Faktor-faktor Interaksi Sosial pada Kehidupan Komunitas

Belanda Depok dari Masa Cornelis Chastelein hingga Pra Kemerdekaan

Republik Indonesia

Ginisita Dofany, Lilie Suratminto

Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

Ginisita.dofany@yahoo.com

Abstrak

Dalam jurnal ini, penulis membahas tentang kehidupan komunitas Belanda Depok pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia dimulai dari masa Cornelis Chastelein sebagai tuan tanah Depok dengan pendekatan-pedekatan ilmu Sosiologi. Pokok bahasan pada jurnal ini yaitu tentang kehidupan awal kaum Belanda Depok yang merupakan keturunan para budak yang dimerdekakan oleh tuan tanahnya yang bernama Cornelis Chastelein; kehidupan rohani komunitas Belanda Depok sebagai umat kristiani yang taat, dan acara-acara perayaan di Depok seperti Perayaan Sinterklaas (Sinterklaas Dag), Perayaan Wilhelmina (Wilhelmina Dag atau Koninginnedag), Perayaan Cornelis Chastelein, serta Natal dan Tahun Baru; interaksi sosial yang terjadi berikut faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya interaksi sosial; dan sosialisasi sekunder yang terjadi pada komunitas Belanda Depok seperti desosialisasi dan resosialisasi.

Implementation of Social Interaction Factors of Belanda Depok from Cornelis Chastelein Era to Pre Independence of Republic of Indonesia

Abstract

On this article, writer is about to analyze the life’s of Belanda Depok community before the independence day of Indonesia, started from the period of Cornelis Chastelein, the landlord of Depok, which used the sociology pattern. The main idea of this article is talking about the early life of this Belanda Depok’s people, that use to be servants and Chastelein set them free, such as they were a really great Christian and followed all patterns on it, the celebration of Sinterklaas Day, Wilhelmina’s Day, Chastelein’s Day, and also Christmas and New Year; the social interaction and all its factors behind: and the second socialization that happened to this Belanda Depok community such de-socialization and re-de-socialization.

(6)

Pendahuluan A. Latar Belakang

Pada abad 17, seorang pegawai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang bernama Cornelis Chastelein membeli tanah di wilayah Batavia dari pemerintah Belanda untuk dijadikan perkebunan, tepatnya pada tahun 1693 Chastelein membeli wilayah

Noordwijk (sekarang Pintu Air Jalan Juanda),Lapangan Banteng, Lenteng Agung, dan

Depok. Tanah tersebut merupakan tanah partikelir, sehingga tuan tanah berhak melakukan apapun terhadap tanahnya.

Untuk mengurus tanahnya tersebut, Chastelein mendatangkan budak-budak pria dan wanita yang berasal dari Bali, Makasar, Ambon, dan beberapa wilayah dari Indonesia Timur. Chastelein kemudian membagi budak-budaknya tersebut kedalam dua belas marga, seperti Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh. Para budak inilah yang nantinya dimerdekakan dan mendiami wilayah Depok yang keturunannya sering disebut sebagai Belanda Depok. (Jonathans 2011: 40)

Cornelis Chastelein merupakan seorang Protestan yang taat, sehingga Chastelein mempekerjakan budaknya penuh dengan cinta kasih serta menunjukkan sikap keteladanan kristiani yang diimaninya. Dalam surat wasiatnya, Chastelein menyatakan bahwa ia akan memberikan kebebasan kepada budak-budaknya dan menghibahkan harta serta tanahnya agar mereka membangun Depok dan hidup berdampingan dengan sejahtera.

Masyarakat asli Depok yang merupakan orang Betawi disebut Depok asal, sedangkan para keturunan budak yang dimerdekakan disebut Depok asli. Masyarakat Depok asal menamai Depok asli sebagai Belanda Depok sebenarnya sebutan ini tidak menyenangkan karena Depok asli yang tidak memiliki darah Belanda bersikap sebagaimana orang Belanda pada umumnya, tetapi kaum Depok asli tidak tersinggung bila disebut keturunan budak. (http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/385/Depok 2011). Hal tersebut terjadi karena kaum Depok asli berasal dari berbagai daerah, dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Mereka dipaksa berkomunikasi sehari-hari dengan bahasa Belanda, sehingga tak heran jika mereka tidak dapat berbahasa lain selain bahasa Belanda (Suratminto 2013). ”Kami ini sejak dulu orang Indonesia. Leluhur kami hanya sebagai pekerja di

(7)

perkebunan milik Cornelis. Secara otomatis kami dididik dengan pola dan gaya hidup Belanda.” kata Ketua Lembaga Cornelis Chastelein, Rene Roland Loen yang lahir 66 tahun lalu. (http://www.kamusilmiah.com/sejarah/siapakah-sebenarnya-belanda-depok/ 2011)

A. Permasalahan

Bagaimana penerapan faktor-faktor interaksi sosial kehidupan kaum Belanda Depok sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dari masa Cornelis Chastelein?

B. Tujuan

Menginformasikan interaksi sosial kehidupan kaum Belanda Depok dari masa Cornelis Chastelein hingga sebelum Kemerdekaan Indonesia.

Tinjauan Teoritis

Penulis menggunakan pendekatan sosiologis mengenai interaksi sosial masyarakat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya interaksi sosial menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto dalam bukunya Sosiologi suatu pengantar.

Metode Penelitian

Dalam menulis jurnal ini penulis menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara untuk mendapatkan sumber informasi mengenai kehidupan sosial komunitas Belanda Depok. Setelah menemukan cukup informasi, penulis mengkaji sumber-sumber tersebut dengan mengaitkan ilmu sosiologi sebagai sumber jurnal, yaitu mengenai faktor interaksi sosial. Penulisan jurnal ini dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif menghasilkan data deskriptif, baik berupa kata-kata ungkapan tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong 2002:3).

(8)

Hasil Penelitian

Komunitas Belanda Depok yang merupakan sebutan untuk para keturunan budak Chastelein yang dimerdekakan (merdijker) selama beratus tahun mengalami proses interaksi sosial intern yaitu hanya di wilayah pendudukan yang seluruh perangkat kehidupan sosialnya bernuansa Belanda sehingga kehidupan sosial mereka pun kebarat-baratan menyerupai orang Belanda. Faktor-faktor interaksi sosial seperti imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati diterapkan langsung oleh kaum Belanda Depok dengan bangsa Belanda sebagai panutannya.

Pembahasan

A. Kehidupan Kaum Belanda Depok

1. Mata Pencaharian Kaum Belanda Depok

Setelah meninggalnya Chastelein, selaku tuan tanah, dengan meninggalkan surat wasiatnya yang pada salah satu isinya yaitu memerdekakan budaknya, budak-budak yang dimerdekakan tersebut mulai menata kehidupannya sehari-hari. Mereka yang saat itu sudah berstatus orang bebas, mengerjakan kegiatan sehari-hari tanpa adanya rasa ketergantungan terhadap tuan tanahnya, karena pada umumnya budak-budak yang diberikan kemerdekaan oleh tuan tanah dalam melakukan aktivitas sehari-harinya merasa tidak mengetahui apa saja yang harus dilakukan karena terbiasa dengan adanya perintah dari tuan tanah. Budak-budak yang dimerdekakan oleh Chastelein selama menjadi budak telah diajarkan hal-hal seperti kegiatan-kegiatan apa saja yang harus dilakukan dalam bermasyarakat, arti nilai kehidupan, kerohanian, bahkan cara bermusyawarah.

Sejak Chastelein wafat pada tahun 1714, masyarakat yang mewarisi tanah mulai mengelola sendiri tanah dan kebun mereka. Sawah yang sejak awal digarap oleh mereka sendiri, pengolahannya kemudian diserahkan kepada para penggarap sawah dengan aturan bagi hasil di bawah arahan pengawasan Gemeente Bestuur (kota praja) Depok yang mereka bentuk sendiri (Jonathans 2011: 57).

Mata pencaharian masyarakat awal Depok adalah bertani dan berburu. Hasil utama dari sektor pertanian mereka adalah padi. Hasil padi mereka pada musim panen sangatlah

(9)

melimpah. Pengetahuan tentang pengairan tersebut didapat mereka dari Chastelein yang mengembangkan sektor pertanian di Depok. Untuk menggemburkan tanah, mereka juga belajar dari cara-cara yang diajarkan Chastelein, yaitu dengan menggunakan tenaga kerbau untuk membajak sawah.

2. Negara di dalam Negara

Depok yang merupakan tanah partikelir, dibentuk oleh Chastelein seolah-olah menjadi sebuah negara kecil. Karena melimpahnya hasil pertanian di Depok, maka tak heran jika Depok dijadikan sebagai sumber pangan oleh Batavia yang menyediakan pangan bagi penduduk Batavia. Hal tersebutlah yang membuat pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia memberikan kebijakan khusus untuk daerah Depok.

Pada tahun 1870 Undang-undang Agraria diberlakukan sehingga membuat status tanah di Depok berubah. Depok menjadi daerah otonomi di bawah keresidenan Bogor.

Depok sebagai daerah otonomi dipimpin oleh seorang Presiden (President) yang dibantu oleh seorang sekretaris daerah (Secretaris) dan seorang bendahara (Thesaurier) dan dua orang kemetir (gecommiteerden) atau komisi. Mereka dipilih langsung oleh seluruh warga yang sudah dewasa (meerderjarigen). Masa jabatan untuk Presiden selama 3 tahun dan bisa diperpanjang, untuk sekretaris, bendahara dan anggota komisi dipilih untuk masa jabatan dua tahun dan dapat diperpanjang (Suratminto 2008)

3. Kehidupan Rohani Kaum Belanda Depok

Depok pada masa Chastelein dan sepeninggalnya terkenal dengan kekristenannya. Hal ini dikarenakan Chastelein merupakan seorang tuan tanah yang baik hati, yang mempekerjakan budaknya dengan cinta kasih, sebagaimana ajaran yang diajarkan dalam agamanya, yaitu Kristen Protestan. Karena dengan pendekatannya yang tidak keras, budak-budak yang berkerja padanya tidak segan untuk mengikuti perintah-perintahnya dalam hal keagamaan. Hampir semua dari mereka pun akhirnya memeluk agama Protestan.

(10)

Pembentukan masyarakat Kristen di Depok merupakan tujuan hidup Cornelis Chastelein, jadi tidak heran jika pendidikan rohani menjadi pendidikan nomor satu. Hal ini tercantum dalam surat wasiatnya, yaitu sebagai berikut:

Zijn de tegenwoordig Baprima van Bali, gedoopt Lukas, die in sijn taale heel wel kan leesen en schrijven, gelijk mede Carrangassan, dog de eerste om sijn sagten inborst te prefereren, om de sondags voor de middag op de Balije van het hooft ofte we keen andere daartoe geschikte plaats, die tien geboden ende gebeden der Christelijke godsdienst haar voor te lessen mits gij, tweemaal sweeks hetselfe de kinderen te leeren boven weleke boete hem:…1 (Jonathans 2011: 69)

Dengan bukti dari surat wasiat tersebut, kaum Belanda Depok yang dimerdekakan oleh Chastelein dengan sepenuh hati menjalankan apa yang tertulis dalam surat wasiat tersebut, yaitu melakukan segala sesuatu yang baik sebagai umat kristiani yang taat, menjauhkan perbuatan-perbuatan yang buruk, serta menjadi contoh yang baik bagi orang lain.

Pada tanggal 21 Agustus 1878, didirikannya seminari atas gagasan Ds. Schuurman. Pada awal pendirian seminari ini, setiap hari Minggu sore, para murid seminari berjalan berkeliling Depok sambil membawa obor dan menyanyikan kidung pujian. Sejak saat itu, kegiatan tersebut diteruskan oleh murid-murid Sekoalah Minggu Gereja Immanuel Depok, yang berjalan di pagi buta dengan memegang obor pada setiap hari Paskah.

Gereja pertama yang dibangun pada saat itu yaitu Gereja GPIB Immanuel Depok yang berada di Jalan Pemuda. Gereja ini dibangun beberapa tahun setelah kedatangan Chastelein dan para pekerjanya di Depok.

4. Acara Perayaan di Depok

Masyarakat Depok yang terdiri atas orang Depok asli dan Depok asal saling bekerja sama dalam merayakan hari-hari besar walaupun mayoritas orang Depok asal

1

Artinya: … “menunjuk dari Bali dengan nama baptisan Lukas yang bisa membaca dan menulis bersama Carrangassan, setiap hari minggu di balai atau tempat lain yang cocok, membacakan “Sepuluh

Penyuruhan” (Sepuluh Perintah Allah) dan juga “Aku Percaya” (Pengakuan Iman Rasuli) dan permintaan doa Masehi sebanyak dua kaliseminggu di gereja dan kebaktian sekolah Minggu. Dan disamping itu mengerjakan bagaimana mereka harus menjadi pelaku kristiani yang taat, menjauhkan pergaulan yang buruk, seperti madat, judi, dan perbuatan dosa lainnya dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain”.

(11)

beragama Islam. Pada setiap acara perayaan-perayaan di Depok, semua komunitas Belanda Depok turut meramaikan acara, seperti acara Perayaan Sinterklaas (Sinterklaas

Dag), Perayaan Wilhelmina (Wilhelmina Dag atau Koninginnedag), Perayaan Cornelis

Chastelein, dan Natal dan Tahun Baru.

Perayaan Sinterklaas yang dirayakan di Depok ini dirayakan setiap tanggal 5 Desember, bukan pada Hari Raya Natal tanggal 25 Desember. Jadi ada dua perayaan yang dilakukan di bulan Desember, yaitu Perayaan Sinterklaas dan Perayaan Natal.

Hari Sinterklaas diadopsi langsung dari perayaan Sinterklaas di Belanda. Semua kegiatan yang dilakukan pada hari ini sama dengan apa yang dilakukan di Belanda. Pada perayaan ini, anak-anak percaya bahwa mereka akan mendapatkan kado dari Sinterklaas yang datang pada malam hari ditemani oleh Zwarte Pit (Pit Hitam). Sebelumnya, mereka harus menaruh wortel di dalam sepatu dan diletakan di bawah tempat tidur. Wortel ini ditujukan untuk kuda Sinterklaas yang mengantarkan Sinterklaas dan Zwarte Pit ke rumah-rumah.

Pada pagi hari, anak-anak akan menemukan hadiah di sampingnya yang mereka percaya kado tersebut berasal dari Sinterklaas yang datang pada malam hari. Semua kado yang anak-anak terima bukanlah dari Sinterklaas, melainkan dari orang tuanya sendiri yang mengetahui kado apa saja yang diingini oleh anaknya.

Perayaan lainnya pada masa Depok Tempo Doeloe adalah Perayaan Wilhelmina, atau saat ini biasa disebut dengan Hari Raya Ratu (Koninginnedag). Pada perayaan ini kaum Belanda Depok merayakan hari kelahiran ratu Belanda, yaitu Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus.

Pada perayaan ini, suasana di Depok terlihat sangat meriah, karena ada banyak sekali perlombaan-perlombaan yang diadakan, seperti lomba menghias sepeda, festival topeng, dan perlombaan-perlombaan lainnya. Tidak hanya masyarakat Depok saja yang merayakan Perayaan Wilhelmina ini, melainkan semua orang Belanda yang berada di Nusantara, jadi banyak sekali acara yang diadakan pada saat perayaan ini.

Perayaan yang sangat istimewa bagi masyarakat Depok, khususnya kaum Belanda Depok adalah Hari Cornelis Chastelein atau dikenal juga dengan sebutan Depokschdag yang dirayakan setiap tanggal 28 Juni. Saat ini Hari Cornelis Chastelein diperingati

(12)

sebagai hari peringatan “Jemaat Masehi Depok”. Tanggal 28 Juni 2014 nanti adalah hari peringatan 300 tahun kemerdekaan Depok dari perbudakan.

Pada perayaan ini, masyarakat melakukan upacara di depan tugu Cornelis Chastelein yang berada tepat di depan Gemeente Bestuur (sekarang Rumah Sakit Hermina). Mereka mengenang kebaikan Chastelein yang dengan cinta kasihnya memerdekakan semua budak-budaknya dan mereka juga mengucap syukur pada tuhan atas berkahnya selama ini yang diberikan bagi masyarakat Depok.

Setelah upacara selesai, acara selanjutnya adalaha hiburan-hiburan dan berbagai perlombaan, seperti penampilan orkes, pagelaran gamelan, keroncong, lomba panjat pinang, dan beberapa perlombaan lainnya.

Perayaan yang selalu dinantikan oleh kaum kristiani Depok adalah Natal (Kerstdag) dan Tahun Baru (Oud en Nieuw). Pada awal-awal bulan Desember, para ibu mulai sibuk menjahit pakaian untuk keluarganya yang akan dikenakan pada hari Natal dan Tahun Baru. Lalu pada tengah bulan Desember, para ibu mulai memasak masakan khas Natal dan Tahun Baru, seperti perkedel bakar, sup kacang merah (bruine bonen stoof), salad (sla), acar gurame, dan lain-lain.

Malam Natal tidak terlalu dirayakan dengan meriah, kegiatan pada saat itu terpusat pada kehikmatan dalam rasa syukur. Perayaan yang begitu meriah biasanya terjadi saat malam Tahun Baru, hampir semua penduduk keluar rumah dan berkumpul dengan sanak saudara atau dengan tetangga, dan ketika waktu menunjukan pukul 12.00 segera mereka memohon keinginan untuk tahun baru yang akan mereka jalani.

B. Interaksi Sosial yang Terjadi pada Kaum Belanda Depok

Depok asli atau yang biasa disebut dengan istilah Belanda Depok memiliki sejarah dalam memperoleh istilah tersebut, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Perubahan status sosial yang dialami mereka memengaruhi gaya hidup, pergaulan, bahasa yang digunakan, dan lain-lain. Status mereka yang semula merupakan berstatus budak, berubah menjadi orang merdeka bahkan menjadi “anak emas” pemerintah Belanda yang pada saat itu berkuasa tentu membuat mereka merasa istimewa dibandingkan dengan penduduk sekitar, yaitu masyarakat Depok asal.

(13)

Komuntas Belanda Depok yang merupakan komunitas istimewa bagi pemerintah Belanda karena latar belakang agama dan bahasa, tetap mempertahankan gaya hidup orang Eropa sepeninggalnya Chastelein, mereka tidak bergaya hidup layaknya orang pribumi di Depok. Namun demikian, interaksi sosial mereka dengan masyarakat sekitar berjalan dengan baik. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antarindividu, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto 2005: 61). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada awalnya kaum Belanda Depok berinteraksi dengan tuan tanahnya, Chastelein, sehingga lambat laun mereka mengaplikasikan ajaran-ajaran yang diberikan karena seringnya berinteraksi dengan sang tuan tanah sehingga mereka berperilaku seperti orang Belanda. Selain itu, kaum Belanda Depok juga menanamkan gaya hidup orang-orang Eropa karena mereka juga berinteraksi dengan orang Eropa dan secara perlahan mengimitasi gaya orang Eropa tersebut. Dengan masyarakat pribumi, kaum Belanda Depok pun saling berinteraksi, seperti saling membantu dalam melakukan aktivitas pertanian.

Adapun faktor-faktor yang menimbulkan proses interaksi sosial adalah faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati (Soekanto 2005: 63). Imitasi adalah suatu tindakan sosial seseorang untuk meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku dan penampilan fisik seseorang. Dalam hal ini kaum Belanda Depok mengimitasikan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku pada masa Chastelein, seperti menerapkan nilai-nilai kemanusiaan, kerohanian, kesopanan, dan nilai-nilai lainnya yang sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan Eropa. Selain itu, dengan interaksi sosial yang dilakukan secara intens, membuat kaum Belanda Depok mengimitasi tidak hanya yang bersifat implisit (norma dan nilai), namun juga bersifat eksplisit seperti meniru semua perilaku dan penampilan fisik orang Belanda seperti selalu tepat waktu dan bersifat tegas, berpenampilan seperti orang Belanda; lebih suka menggunakan alas kaki.

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Proses sugesti ini terjadi apabila orang yang memberikan sugesti adalah orang yang berwibawa. Dalam hal ini, jelas orang yang memberikan sugesti adalah Cornelis Chastelein yang memberikan pandangan-pandangannya kepada para budaknya, sehingga semua pandangannya diterima dan dijalankan. Contohnya, Chastelein selalu berpandangan bahwa manusia selama hidupnya harus mengabdi pada Tuhan dan selalu bersikap baik kepada sesama manusia (Chastelein

(14)

adalah seorang protestan yang taat). Hal tersebut diterima oleh para budak-budaknya, dan mereka pun hampir semua memeluk agama Kristen Protestan yang dipeluk Chastelein.

Faktor lainnya adalah identifikasi yang merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Komunitas Belanda Depok jelas sekali mengidentifikasi orang Eropa, mereka ingin terlihat seperti orang Eropa dan mereka tunjukkan dalam gaya hidupnya, seperti mereka makan di meja makan menggunaka piring dan sendok, sedangkan masyarakat Depok asli makan di mana saja tanpa menggunakan sendok, lalu kaum Belanda Depok hanya mau dipanggil mijnheer untuk pria dan mevrouw untuk wanita. Mereka berparas pribumi namun gaya hidupnya seperti orang Eropa, itulah salah satu hasil interaksi sosial kaum Belanda Depok dengan orang-orang Eropa. Proses identifikasi ini terjadi pada situasi seseorang atau kelompok (kaum Belanda Depok) benar-benar mengenal pihak lain yang menjadi idealnya (orang-orang Eropa).

Proses simpati merupakan proses ketika seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Dorongan utama pada simpati ini adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya, namun peranan yang terpenting dalam proses ini adalah perasaan. Jelas sekali bahwa komunitas Belanda Depok memiliki simpati dan tertarik kepada orang-orang Eropa sehingga mereka, komunitas Belanda Depok, mengikuti gaya hidup dan pergaulan orang-orang Eropa. Contohnya dalam hal pendidikan, komunitas Belanda Depok bersekolah ala Eropa dengan pengantar bahasa Belanda, sedangkan masyarakat Depok asal bisa dihitung jumlahnya yang bisa baca tulis, sehingga dapat disimpulkan bahwa dibandingkan dengan komunitas Belanda Depok, struktur kelas masyarakat Depok asal kalah segalanya, maka tak heran banyak orang Depok asal yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah orang Belanda Depok (Wanhar 2011: 6)

C. Sosialisasi Sekunder Kaum Belanda Depok

Menurut sosiolog Berger dan Luckmann, sosialisasi sekunder adalah proses yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya. Pada sosialisasi sekunder ini, individu diperkenalkan dengan dunia di luar sebagai proses lanjutan sosialisasi primer, yaitu dengan bersosialisasi di sekolah, lingkungan bermain, lingkungan kerja, dan lain-lain.

(15)

Salah satu bentuk sosialisasi sekunder adalah proses resosialisasi yang didahului dengan proses desosialisasi. Dalam proses resosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses desosialisasi seserorang diberi suatu diri yang baru (Kamanto 2004: 29).

Proses sosialisasi sekunder ini dialami oleh budak-budak Chastelein pada abad 18. Mereka dilahirkan ke dunia ini sebagai orang bebas, namun karena adanya berbagai kebijakan yang berlaku di tempat mereka hidup, mengharuskan mereka berstatus sebagai budak, mereka semua mengalami desosialisasi: segala kebebasan yang mereka miliki hilang dan mereka harus patuh kepada atasannya. Mereka harus menuruti semua perintah yang diberikan oleh sang tuan tanah untuk melakukan berbagai hal, seperti membersihkan rumah beserta halamannya, mengurus tanah pertanianan, melayani segala sesuatu yang diinginkan tuan tanah, dan lain-lain.

Setelah menjalani proses yang cenderung membawa dampak terhadap citra diri serta harga diri ini, kemudian mereka menjalani proses resosialisasi (proses penerimaan aturan dan nilai baru) untuk memunyai diri yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Budak-budak yang bekerja dan mengabdi pada Chastelein pada akhirnya mendapatkan kemerdekaannya, yaitu kembali menjadi orang bebas, dalam hal ini mereka menjalani proses resosialisasi. Pada proses ini mereka mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dalam hidupnya, yaitu dengan bertambahnya ilmu yang diberikan oleh Chastelein dan pengalaman yang tidak bisa dibayar oleh apapun.

Dengan mengalami proses sosialisasi sekunder, para mantan budak-budak tersebut mendapatkan manfaat seperti mendapatkan keterampilan dalam bidang pertanian, perkebunan, irigasi, bermasyarakat, serta dapat berkomunikasi dengan baik dengan sesama manusia khususnya dengan orang Belanda. Selain itu, mereka juga memiliki iman yang ditanamkan oleh tuan tanahnya, Cornelis Chastelein yang menganut Protestan. Namun, tidak hanya yang beragama Protestan yang dapat bersosialisai dengan baik pada masa itu, mantan budak-budak tersebut yang beragama Islam juga dapat bersosialisasi dengan baik. Hal ini menunjukan bahwa perbedaan agama tidak menjadi masalah dalam bersosialisasi pada masa Cornelis Chastelein.

(16)

Kesimpulan

Interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sangat menentukan perilaku seseorang dalam bersosialisasi seperti hal komunitas Belanda Depok yang mengadopsi seluruh perilaku orang Belanda karena lingkungan kehidupan sosialnya bernuansa Belanda sehingga faktor-faktor interaksi sosial (imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati) dilakukan komunitas Belanda Depok terhadap orang Belanda.

Walaupun terdapat perbedaan kelas sosial antara masyarakat Depok asal dengan komunitas Belanda Depok, mereka tetap menjalankan kehidupannya secara berdampingan, hal ini terlihat pada kegiatan pertanian, perayaan-perayaan hari besar, kehidupan beragama, dan hal-hal lainnya.

Saran

Penelitian ini masih awal. Sebenarnya masih banyak hal yang bisa digali lebih dalam lagi. Semoga peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih dalam berdasarkan ilmu-ilmu sosial dengan metode penelitian yang lebih baik lagi dari penelitian sebelumnya.

Kepustakaan

Depok. (2013, Juli 29). Diunggah dari

http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/385/Depok

Jonathans, Yano. (2011). Depok Tempo Doeloe. Jakarta: Libri.

Siapakah sebenarnya Belanda Depok?. (2013, Juli 29). Diunggah dari

(17)

Soekanto, Soerjono. (2005). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sunarto, Kamanto. (2004). Pengantar Sosiologi, Ed. Rev. Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suratminto, Lilie. (2013, Juli 12). Wawancara pribadi.

Suratminto, Lilie. (2008, November 7). “Depok dari Masa Prakolonial ke Masa Kolonial Model Otonomi Daerah A la Chastelein dan Perkembangannya”, 12. Juli 29, 2013.

http://www.fib.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=131:depok-dari-masa-pra-kolonial&catid=47:artikel-sejarah&Itemid=122&lang=

Wanhar, Wenri. (2011). Gedoran Depok, Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955. Depok: Sadar Media.

Referensi

Dokumen terkait

Berkesempatan menjadi mahasiswa Manajemen Pemasaran UNAIR tidak di sia-siakan oleh Dewi, ia banyak mendapat ilmu tentang manajemen keuangan, salah satunya adalah strategi

Untuk dapat mengerjakan latihan ini, Anda harus menguasai materi Kegiatan Belajar 1. Langkah yang disarankan untuk menjawab pertanyaan di atas adalah sebagai berikut. 1)

Analitycal Hierarchy Process (AHP) Adalah metode untuk memecahkan suatu situasi yang komplek tidak terstruktur kedalam beberapa komponen dalam susunan yang hirarki, dengan

Hal ini sesuai pula dengan Kent (2004) yang menyatakan bahwa metakognisi pada hakikatnya untuk pembelajaran yang berhasil karena memungkinkan individu-individu lebih baik

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistem hidroponik wick organik menggunakan limbah ampas tahu terhadap respon pertumbuhan tanaman pak choy

Melati 27 adalah pancig ulur (hand line) yang pada umumnya digunakan oleh nelayan Kota Bitung terdiri dari gulungan tali, tali utama, swivel pemberat, kantong umpan, tali cabang,

TAI(UITAS HUI(UiI UIIIYERSITAS SUNABAYA.

Nariyan pa ang halimbawang ipinamalas ng mga Kastila: pag-iwas sa pagpaparumi ng kamay sa paggawa, pagkuha ng maraming utusan sa bahay, na para bang alangan sa kanilang kalagayan ang