Uji Pengaruh Ekstrak Kulit Batang dan Ekstrak Bunga Flamboyan
(Delonix regia) pada Mencit Swiss-webster yang Diinfeksi
Plasmodium berghei Secara In Vivo
In Vivo Study on Effect of Bark and Flower Extract of Delonix regia
to Swiss Webster Mice Infected by Plasmodium berghei
Wahyu Permatasari*, Fatmawaty**
*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
**Staff Departemen Kimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ABSTRAK. Malaria masih merupakan masalah kesehatan di dunia, termasuk
Indonesia dengan angka kejadian setiap tahun mencapai 500 juta jiwa dan lebih dari satu juta diantaranya meninggal dunia. Munculya, strain Plasmodium yang resisten menjadikan pengobatan kurang efektif sehingga dibutuhkan bahan alami sebagai alternatif antiplasmodium. Flamboyan diketahui telah digunakan untuk pengobatan malaria, namun masih sedikit penelitian mengenai aktivitas antiplasmodium tanaman ini. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga Delonix regia yang dilakukan uji penapisan fitokimia dan uji aktivitas antiplasmodium secara in vivo pada mencit Swiss-webster yang diinfeksi Plasmodium berghei. Dari 24 sampel dibagi menjadi 8 kelompok perlakuan yang terdiri atas 3 kelompok ekstrak kulit batang dan bunga masing-masing dengan dosis 2,8 mg, 8,4 mg, dan 14 mg, serta 1 kelompok kontrol positif dan 1 kelompok kontrol negatif. Setiap kelompok perlakuan diamati densitas parasit dan dihitung persentase pertumbuhan dan persentase penghambatan yang terjadi. Data kemudian dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-wilk dan uji hipotesis menggunakan One Way Anova dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Hasil penelitian menunjukan kulit batang dosis 2,8 mg dan 8,4 mg menunjukan aktivitas antiplasmodium. Aktivitas antiplasmodium terbesar terjadi pada kulit batang dosis 8,4 mg sebesar 66,25% (p=0,314) diikuti kulit batang dosis 2,8 mg sebesar 38,88% (p=0,550).
Kata kunci: aktivitas antiplasmodium, Delonix regia, malaria, Plasmodium berghei, uji in vivo
ABSTRACT. Malaria is still a worldwide health problem, including Indonesia. Each
year there are 500 million cases and more than one million people died. Resistant Plasmodium’s strains makes the treatment less effective, therefore, discovery of natural substance as an alternative antiplasmodium treatment is necessary. Flamboyan is used to treat malaria, but only few research were done about it. This study is an experimental research using extract from Delonix regia’s flower and bark. This study conducted phytochemical and antiplasmodium activity test using Swiss-Webster mice infected with Plasmodium berghei in vivo. From 24 samples, they
were divided into 8 groups that consists of 3 groups of bark extracts and flowers, each with a dose of 2.8 mg, 8.4 mg, and 14 mg, 1 positive control and 1 negative control group. Each group were counted the percentage of growth and inhibition parasite density. The normality data is tested with Shapiro-Wilk and the hypothesis test using One Way ANOVA followed by Post Hoc test. The results showed extract of bark dose 2.8 mg and 8.4 mg have antiplasmodium activity. The greatest effect occured at dose of 8,4 mg with 66.25% (p=0,314) growth inhibition percentage, followed by bark dose’s extract of 2,8 mg with 38,88% (p=0,550).
Keywords: antiplasmodium activity, Delonix regia, malaria, in vivo test
PENDAHULUAN
Malaria merupakan penyakit terinfeksinya sel darah merah oleh parasit protozoa Plasmodium sp, yang ditransmisikan melalui gigitan nyamuk
Anopheles sp. betina (WHO 2012).1
Sampai saat ini, malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat di dunia karena dapat mengancam keselamatan jiwa, terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil. Lebih dari 500 juta penduduk terinfeksi malaria dan lebih dari satu juta orang diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya. Separuh penduduk dunia berisiko terinfeksi malaria, terutama negara dengan berpenghasilan rendah, seperti Afrika dan beberapa negara Asia termasuk negara Indonesia. 2,3,4
Di Indonesia, tahun 2007, terdapat sekitar 80% kabupaten/kota yang masih merupakan endemis malaria dengan perkiraan 45% penduduk bertempat tinggal di daerah yang
berisiko tertular malaria.5 Jumlah kasus yang dilaporkan tahun 2009 sebanyak kurang lebih 1,1 juta jiwa dan yang memiliki hasil laboratorium positif sebanyak 199 ribu jiwa. Angka kejadian malaria mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan data yang ada karena terkait lokasi endemis malaria merupakan daerah terpencil dengan akses kesehatan yang kurang memadai.2,6
Malaria merupakan penyakit yang dapat membahayakan kehidupan karena Plasmodium sp. dapat merusak sel-sel darah merah dan menyebabkan anemia sehingga berakibat pada penurunan produktivitas kerja. Pada kasus malaria berat, penderita dapat mengalami koma, kegagalan multiorgan, dan kematian.2,4
Malaria pada ibu hamil dapat menghambat pembetukan otak janin sehingga anak memiliki kualitas berpikir yang rendah dan bahkan dapat menyebabkan kematian.7
Usaha untuk menekan angka morbiditas dan mortalitas dilakukan
melalui program pemberantasan penyakit malaria. Kegiatan program ini antara lain: diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans, dan pengendalian vektor penyakit yang bertujuan untuk memutus rantai penularan malaria.4,8
Munculnya strain parasit Plasmodium falciparum yang resisten terhadap obat malaria terutama klorokuin dan turunannya menyebabkan jumlah kasus meningkat hingga dua kali lipat pada dua dekade terakhir.9 Pada tahun 1973, ditemukan pertama kali kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin di Kalimantan Timur. Pada tahun 1990, dilaporkan resistensi
Plasmodium falciparum terhadap
klorokuin di seluruh Indonesia. Selain itu, ditemukan pula resistensi terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) di beberapa tempat di Indonesia. Di daerah Bangka dan Papua ditemukan strain
Plasmodium vivax yang resisten
terhadap klorokuin.4 Penyebaran parasit
yang telah resisten terhadap beberapa obat yang tersedia merupakan permasalahan utama yang harus diperhatikan.9
Tanaman obat sering digunakan untuk mengobati malaria.10 Pemanfaatan
tanaman sebagai bahan baku obat, terutama obat tradisional sudah mencapai 1000 jenis.9,10 Salah satu
tanaman obat yang dimanfaatkan untuk mengatasi malaria adalah tanaman flamboyan, bahasa ilmiah: Delonix regia. Di Indonesia, Ende Flores, Nusa Tenggara Timur diketahui bahwa masyarakat daerah tersebut menggunakan Delonix regia sebagai obat malaria. Delonix regia juga merupakan salah satu tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat Nigeria.11 Obat AM-1 decoction sebagai
anti malaria yang digunakan di Afrika memiliki kandungan beberapa tanaman obat, antara lain Jatropha curcas, Gossypium hirsutum, Physalis angulata, dan termasuk Delonix regia.12 Oleh sebab itu, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai aktivitas antiplasmodium ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga Flamboyan (Delonix regia) pada mencit Swiss-webster yang diinfeksi Plasmodium berghei secara in vivo.
Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak kulit batang Delonix regia memiliki aktivitas antiplasmodium pada mencit Swiss Webster yang diinfeksi Plasmodium berghei secara in vivo ?
2. Apakah ekstrak bunga Delonix
regia memiliki aktivitas
Swiss Webster yang diinfeksi Plasmodium berghei secara in vivo?
TINJAUAN TEORITIS
Malaria berasal dari kata mal yang berarti buruk dan area yang berarti udara. Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia terutama di negara-negara beriklim tropis dan subtropis (Prabowo, 2004).13
Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang ditransmisikan melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. betina. Di dalam tubuh manusia parasit bermultiplikasi di dalam hati dan kemudian menginfeksi sel darah merah. Plasmodium sp. yang menyebabkan malaria terdapat berbagai macam jenis, namun Plasmodium sp. yang dapat menginfeksi manusia ditemukan empat jenis, yaitu: Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium
malariae, dan Plasmodium ovale. 1,14.
Resistensi adalah kemampuan strain parasit untuk dapat tetap hidup, berkembang biak, dan menimbulkan gejala atau timbul kembali setelah parasit menghilang untuk sementara waktu walaupun telah diberikan pengobatan dalam dosis standar atau dosis tinggi yang masih dapat ditoleransi.15
Adanya resistensi Plasmodium falciparum terhadap golongan 4 -Aminokuinolin (klorokuin dan amodiakuin) pertama kali ditemukan di Kolumbia dan Brasil pada tahun 1960-1961. Setelah itu, secara berturut-turut ditemukan di negara Muangthai, Malaysia, Kamboja, Laos, Vietnam, dan juga Filiphina. Pada tahun 1973, penemuan kasus resistensi pertama kali ditemukan di Indonesia yaitu di daerah Kalimantan timur kemudian muncul juga di Irian Jaya tahun 1976, Sumatera Selatan tahun 1978, Timor-Timur tahun 1981, Jawa Tengah (Jepara tahun 1981), dan Jawa Barat tahun 1981. Mekanisme resistensi parasit terhadap klorokuin masih belum diketahui secara pasti. Beberapa mekansime resistensi parasit yaitu:4,15
1. Parasit tidak mempunyai tempat untuk mengikat klorokuin
2. Parasit memiliki jalur biokomia lain untuk mengadakan sintesis asam amino
3. Parasit mengalami mutasi spontan akibat tekanan obat.
Plasmodium berghei merupakan hemoprotozoa yang menyebabkan infeksi malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil. Menurut Landau, 199816, dasar biologi Plasmodium berghei mirip dengan Plasmodium sp. yang
menginfeksi manusia, baik morfologi, siklus hidup, genetik dan pengaturan genomnya. Penelitian aspek parasitologi, imunologi dan pengembangan vaksin malaria banyak menggunakan parasit Plasmodium
berghei dan mencit sebagai
hospesnya.16
METODE PENELITIAN Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi eksperimental.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Kimia Kedokteran FKUI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Parasitologi FKUI selama bulan Desember 2010 sampai Desember 2012.
Hewan Coba
Penelitian menggunakan hewan coba mencit Swiss-webster, jantan, sehat, berat 20-30 g, usia 2-3 bulan yang didapatkan dari Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Hewan Coba Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Bahan Uji
Kulit batang dan bunga tanaman Delonix regia diperoleh dari Balitro (Balai Penelitian Tanaman Tropis) Bogor yang sudah dibersihkan dan dikeringkan.
Cara Pemilihan sampel
Jumlah sampel hewan coba yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak 24 ekor hewan coba. Pemilihan dan pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu semua hewan coba yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi dimasukan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini terpenuhi.
Besar Sampel
Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Federer dengan jumlah sampel minimal adalah empat sampel untuk setiap kelompok perlakuan.
Cara Kerja
Persiapan Hewan Coba
Persiapan hewan coba dilakukan dengan pemilihan mencit Swiss-webster yang sesuai dengan kriteria inklusi. Seluruh mencit yang dipilih diberikan makan, minum secara ad-libitum dan ditempatkan pada kandang setiap hari seperti biasa.
Persiapan bahan (Ekstrasi)
Bahan tersebut dibersihkan, dikeringkan dan diblender sehingga menjadi bubuk homogen. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan teknik maserasi bertingkat. Maserasi adalah proses ekstrasi dengan menggunakan pelarut, dalam penelitian ini etanol 70%, dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan. Maserasi dilakukan dengan merendam dan mengaduk secara berkala bahan dalam cairan etanol selama tiga hari. Etanol akan berdifusi dengan dinding sel yang mengandung senyawa aktif. Pengadukan dilakukan agar terjadinya perbedaan derajat konsentrasi larutan di dalam sel dan di luar sel. Larutan yang pekat akan didesak keluar dinding sel sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Pelarut dipertahankan diatas serbuk. Setelah itu, larutan disaring dan dilakukan perendaman beberapa kali lagi sampai filtrat tidak berwarna. Maserat kemudian difraksinasi dan dipekatkan dengan evaporator dengan suhu 50o C dengan kecepatan 50 rpm hingga pelarut habis. Setelah terbentuk ekstrak kental, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven sehingga diperoleh ekstrak kering dengan bobot tetap. (Depkes RI, 1986).
Penapisan Fitokimia
Untuk mengetahui kandungan senyawa aktif yang terdapat di dalam tumbuhan, dilakukan penapisan fitokimia (Praptiwi et al, 2007).9 Salah satu uji
penapisan fitokimia yang biasa digunakan adalah metode Cuilei (1982).
17 Komponen yang dinilai yaitu alkaloida,
flavonoida, terpenoid, dan fenolik.
Uji alkaloida
Ekstrak sebanyak 1 gram dilarutkan dalam 10 ml kloroform dan beberapa tetes NH4OH, kemudian
disaring dan filtratnya dimasukan ke tabung reaksi bertutup. Setelah itu, ditambahkan 10 tetes H2SO4, dikocok,
sampai terbentuk lapisan asam. Lapisan asam dipindahkan pada tabung tetes dan ditambahkan pereaksi Meyer’s. Ekstrak akan menimbulkan endapan warna putih apabila mengandung alkaloid.
Uji Flavonoida
Sampel dimaserasi dengan etanol panas dan diuapkan, kemudian ditambahakan kloroform dan air suling sebanyak 5 ml dengan perbandingan 1:1. Larutan tersebut kemudian dikocok dan didiamkan sampai terbentuk dua lapisan yaitu kloroform pada bagian bawah dan lapisan air pada bagian atas.
Lapisan air diambil dan dipindahkan ke tabung reaksi kemudian ditambahkan logam (serbuk) Mg sebanyak kurang lebih ujung spatula, dan 0,2 ml HCl pekat, dan beberapa tetes amil alkohol. Larutan dikocok dan dibiarkan memisah. Terbentuknya warna merah coklat pada lapisan amil alkohol menandakan adanya kandungan flavonoid.
Uji Terpen
Lapisan kloroform pada uji flavonoid dimasukan ke dalam plat tetes, kemudian ditambahkan pereaksi dua tetes asam asetat anhidrat dan dua tetes asam sulfat pekat. Perubahan warna merah atau ungu menunjukan adanya terpen.
Uji Fenolik
Lapisan air pada uji flavonoid diteteskan pada plat tetes dan ditambahkan pereaksi 2 ml FeCl3 1%
dalam HCl 0,1 N. Adanya kandungan senyawa fenolik pada uji ini diperlihatkan dengan terbentuknya warna biru ungu.
Penentuan dosis ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga Delonix regia
Penentuan dosis ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga Delonix regia dilihat berdasarkan penelitian lain yang juga menggunakan ekstrak Delonix regia, yaitu 100, 300, dan 500 mg/KgBB
tikus. Kemudian berat badan mencit 20 gram disetarakan dengan berat badan tikus sebesar 200 gram. Sehingga dosis untuk tikus 200 gram adalah 20, 60, 100 mg. Dosis tersebut kemudian dikalibrasi dengan dosis mencit dengan faktor perkalian 0,14, sehingga didapatkan dosis mencit sebesar 2,8 mg/20 g mencit, 8,4 mg/20 g mencit, dan 14 mg/20 g mencit. Penentuan dosis klorokuin dilihat berdasarkan dosis pada manusia kemudian dikalibrasi dengan dosis mencit dengan faktor perkalian 0,0026, sehingga didapatkan dosis mencit sebesar 0,52 mg/20g mencit. Penelitian ini menggunakan delapan kelompok perlakuan mencit yang sudah diinfeksi Plasmodium berghei, yaitu:
1. Perlakuan 1: mencit mendapatkan ekstrak kulit batang Delonix regia dosis rendah (2,8 mg/20 g mencit). 2. Perlakuan 2: mencit mendapatkan
ekstrak kulit batang Delonix regia dosis sedang (8,4 mg/20 g mencit). 3. Perlakuan 3: mencit mendapatkan
ekstrak kulit batang Delonix regia dosis tinggi (14 mg/20 g mencit) 4. Perlakuan 4: mencit mendapatkan
ekstrak bunga Delonix regia dosis rendah (2,8 mg/20 g mencit).
5. Perlakuan 5: mencit mendapatkan ekstrak bunga Delonix regia dosis sedang (8,4 mg/20 g mencit).
6. Perlakuan 6: mencit mendapatkan ekstrak bunga Delonix regia dosis tinggi (14 mg/20 g mencit).
7. Perlakuan 7: mencit mendapatkan klorokuin dosis 0,52 mg/20 g mencit sebagai kontrol positif
8. Perlakuan 8: mencit mendapatkan air sebagai kontrol negatif.
Inokulasi Plasmodium berghei ke dalam mencit
Isolat Plasmodium berghei diperoleh dari Departemen Kesehatan Jakarta. Isolat terlebih dahulu disuntikan secara intraperitoneal pada mencit donor sebanyak 0,2 ml. Mencit donor dipelihara dan diberi makan pelet dan minum secara ad libtium (secukupnya) sampai 7 hari sampai ditemukan parasit di dalam darahnya. Kemudian, dilakukan pengambilan darah mencit donor dari jantung dan disuntikan ke dalam mencit coba secara intraperitoneal sebanyak 0,2 ml. Mencit coba dipelihara selama 7 hari. Setelah itu, dilakukan pengambilan darah dengan memotong sedikit ujung ekor mencit untuk membuat apusan darah tipis. Apusan darah tersebut kemudian diperiksa dengan mikroskop untuk melihat adanya Plasmodium
berghei pada 1000 eritrosit.
Pemeriksaan densitas parasit dilakukan dengan membuat apusan darah tipis.
Uji In Vivo
Setelah mendapatkan perlakuan pada masing-masing kelompok, dilakukan pengambilan darah pada ujung ekor mencit pada hari ke-0 dan hari ke-3 untuk pembuatan apusan darah tipis. Apusan darah tipis dibuat dengan cara meneteskan darah mencit pada gelas objek. Apusan darah tersebut kemudian difiksasi dengan metanol absolut dan dikeringkan pada suhu kamar. Setelah kering, apusan darah diwarnai dengan pewarna giemsa selama 30 menit kemudian dibersihkan dengan mengaliri air pada sediaan. Apusan darah tipis kemudian dilakukan penghitungan densitas parasit dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 10x100 kali dengan sebelumnya ditetesi minyak emersi. Densitas parasit dihitung dari jumlah parasit yang menginfeksi eritrosit dalam 1000 eritrosit.
% Pertumbuhan =
Densitas parasit H-3 – Densitas parasit H-0.
% Penghambatan = 100% - [Pt/Pk x 100%]
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dilakukan uji distribusi data, yaitu normalitas dan homogentias dengan metode
Shapiro-wilk. Untuk menguji homogenitas data dapat dilakukan uji Test of Homogenity of Varians. Setelah data terdistribusi secara normal dan homogen, data dapat dianalisis dengan uji One way Anova kemudian diilanjutkan dengan uji Post hoc LSD.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menguji pengaruh ekstak kulit batang dan ekstrak bunga
Delonix regia sebagai zat
antiplasmodium pada mencit Swis-Webter yang telah diinfeksi oleh Plasmodium berghei. Berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Nii-Ayi et al, 2003 18 dikatakan bahwa campuran dari Jatropha curcas, Gossypium hirsutum, Physalis angulata dan Delonix regia yang diformulasikan menjadi AM-1 dapat digunakan untuk mengatasi malaria, penelitian ini untuk mengetahui tumbuhan Delonix regia secara tunggal dapat memiliki pengaruh dalam menurunkan densitas parasit. Pada penelitian ini menggunakan bagian tumbuhan Delonix regia yaitu kulit batang dan bunga secara terpisah sebagai bahan uji. Hasil pengujian fitokimia dari Ekstrak Kulit Batang dan Ekstrak Bunga Delonix regia adalah seperti terlihat pada tabel 1
Tabel 1. Hasil Penapisan Fitokimia Senyawa Aktif dalam Delonix Regia Senyawa Aktif Ekstrak
Kulit Batang Ekstrak Bunga Alkaloid ++++ + Flavonoid ++ ++++ Terpen ++ + Fenolik +++ +++
Dari tabel diatas terlihat bahwa ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga Delonix regia memiliki berbagai macam senyawa. Kadar alkaloid pada ekstrak kulit batang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak bunga. Seperti halnya alkaloid, kandungan terpen pada ekstrak kulit batang juga lebih tinggi dibandingkan ekstrak bunga. Sedangkan kadar flavonoid pada ekstrak bunga lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak kulit batang. Untuk kadar senyawa aktif fenolik, baik ekstrak kulit batang maupun ekstrak bunga memiliki kadar yang sama.
Setelah dilakukan uji fitokimia, dilakukan pengujian ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga kepada mencit yang telah terinfeksi Plasmodium. Hasil pengujian didapat dari densitas parasit yang diamati pada sediaan apus darah tipis dengan menggunakan perbesaran
10x100. Densitas parasit diamati pada hari ke-0 dan hari ke-3.
Setelah didapatkan densitas parasit dari masing-masing hewan coba dilakukan penghitungan persentase pertumbuhan dan persentase penghambatan parasit terhadap ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga Delonix regia yang dapat dilihat di Tabel 2
Tabel 2. Persentase pertumbuhan dan penghambatan
Perlakuan % Pertum buhan
% Pengham batan Perlakuan 1 3,93 38,88 Perlakuan 2 2,17 66,25 Perlakuan 3 9,30 -44,63 Perlakuan 4 12,09 -88,02 Perlakuan 5 14,08 -118,97 Perlakuan 6 6,00 6,69 Perlakuan 7 -11,37 276,83 Perlakuan 8 6,43 Keterangan:
Perlakuan 1 = ekstrak kulit batang Delonix regia dosis rendah (2,8 mg) Perlakuan 2 = ekstrak kulit batang Delonix regia dosis sedang (8,4 mg) Perlakuan 3 = ekstrak kulit batang Delonix regia dosis tinggi (14 mg)
Perlakuan 4 = ekstrak bunga Delonix regia dosis rendah (2,8 mg)
Perlakuan 5 = ekstrak bunga Delonix regia dosis sedang (8,4 mg)
Perlakuan 6 = ekstrak bunga Delonix regia dosis tinggi (14 mg)
Perlakuan 7 = kontrol positif Perlakuan 8 = kontrol negatif
Berdasarkan tabel diatas, dapat terlihat persentase pertumbuhan parasit yang lebih kecil dibandingkan dengan kontrol negatif terjadi pada perlakuan ekstrak kulit batang dosis rendah, ekstrak kulit batang dosis sedang, ekstrak bunga dosis tinggi, dan kontrol positif. Persentase penghambatan terbesar terjadi pada kontrol positif diikuti oleh ekstrak kulit batang dosis sedang. Grafik mengenai persentase pertumbuhan dapat dilihat pada gambar 1 dan grafik mengenai persentase penghambatan dapat dilihat pada gambar 2.
Uji normalitas persentase pertumbuhan parasit dengan
Shapiro-wilk terhadap delapan kelompok
perlakuan menunjukan bahwa sampel terdistribusi normal dengan nilai p = 0,202 (p>0,05) (terlampir). Uji homogenitas data dengan Test of Homogenity of Variances menunjukan data homogen dengan nilai p = 0,341. Dengan demikian data tersebut dapat digunakan untuk analisis.
Gambar 1. Persentase Pertumbuhan Parasit
Gambar 2. Persentase Penghambatan Parasit
Analisis data menggunakan metode One-way ANOVA dengan nilai kepercayaan 95% (α=0,05) dengan SPSS. Uji ini memberikan hasil p = 0,001 (<0,05), artinya menunjukan ada dua kelompok uji yang memiliki perbedaan hasil yang bermakna. Sehingga uji hipotesis dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Uji ini (terlampir) memperlihatkan perbandingan pengaruh setiap kelompok uji dengan kelompok uji lainnya dalam persentase pertumbuhan parasit. Untuk mengetahui pengaruh ekstrak dalam menurunkan densitas parasit maka persentase pertumbuhan parasit pada kelompok uji akan dibandingkan dengan kontrol negatif. H1
berarti terdapat perbedaan yang bermakna pada densitas parasit dengan pemberian dosis ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga Delonix regia yang berbeda. Ho diterima bila nilai p>0,05.
Sebaliknya, H0 akan ditolak dan H1
diterima bila hasil p<0,05.
Pada kelompok perlakuan ekstrak kulit batang Delonix regia dosis 2,8 mg (perlakuan 1) didapatkan nilai p = 0,550 yang menunjukan tidak adanya perbedaan yang bermakna terhadap kontrol negatif. Pada perlakuan ekstrak kulit batang dosis 8,4 mg (perlakuan 2) didapatkan nilai p = 0,314 yang menunjukan tidak adanya perbedaan yang bermakna terhadap kontrol negatif.
-‐15 -‐10 -‐5 0 5 10 15 % P ertumbuhan Plasmodium berghei Jenis Perlakuan
%
Pertumbuhan Parasit
Ekstrak kulit batang dosis rendah Ekstrak kulit batang dosis sedang ekstrak kulit batang dosis 6nggi Ekstrak bunga dosis rendah ekstrak bunga dosis sedang ekstrak bunga dosis 6nggi kontrol posi6f -‐150 -‐100 -‐50 0 50 100 150 200 250 300 % P enghamba tan Plasmodium berghei Jenis Perlakuan
% Penghambatan Parasit
Ekstrak kulit batang dosis rendah Ekstrak kulit batang dosis sedang ekstrak kulit batang dosis 6nggi Ekstrak bunga dosis rendah ekstrak bunga dosis sedang ekstrak bunga dosis 6nggi kontrol posi6fPada perlakuan ekstrak kulit batang dosis 14 mg (perlakuan 3) didapatkan nilai p = 0,490 yang menunjukan tidak adanya perbedaan bermakna terhadap kontrol negatif.
Pada perlakuan ekstrak bunga Delonix regia dosis 2,8 mg (perlakuan 4) didapatkan nilai p = 0,187 yang menunjukan tidak ada perbedaan bermakna terhadap kontrol negatif. Pada perlakuan ekstrak bunga dosis 8,4 (perlakuan 5) didapatkan nilai p = 0,081 yang menunjukan tidak ada perbedaan bermakna terhadap kontrol negatif. Pada perlakuan pemberian ekstrak bunga dosis 14 mg (perlakuan 6) didapatkan nilai p = 0,920 yang menunjukan tidak ada perbedaan bermakna terhadap kontrol negatif.
Perlakuan 1 hanya memiliki perbedaan yang bermakna terhadap perlakuan 5 (p=0,025) dan kontrol positif (perlakuan 7). Perlakuan 2 hanya memiliki perbedaan bermakna dengan perlakuan 4 (p=0,028), perlakuan 5 (0,010), dan perlakuan 7 (p=0,005). Perlakuan 3 hanya memiliki perbedaan bermakna dengan perlakuan 7 (p=0,000). Perlakuan 4 hanya memiliki perbedaan bermkna dengan perlakuan 2 (p=0,028) dan perlakuan 7 (p=0,000). Perlakuan 5 hanya memiliki perbedaan bermakna dengan perlakuan 2 (p=0,010) dan perlakuan 7 (p=0,000). Perlakuan 6
hanya memiliki perbedaan bermaknga dengan 7 (p=0,001). Perlakuan 7 memiliki perbedaan bermakna terhadap semua kelompok perlakuan yang lain. Sedangkan perlakuan 8 (kontrol negatif) hanya menunjukan perbedaan bermakna dengan perlakuan 7.
DISKUSI
Tumbuhan obat tradisional untuk malaria diperoleh beberapa golongan senyawa aktif antara lain alkaloid, terpen, fenolik, dan senyawa kimia lainnya. Hasil penapisan fitokimia pada ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga delonix regia menunjukan bahwa adanya kandungan alkaloid, flavonoid, terpen, dan fenolik pada kedua bahan ekstrak. Hal ini menunjukan secara etnofarmakologi ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga memiliki khasiat antiplasmodium. Pada penelitian ini, data yang diamati adalah densitas parasit Plasmodium dalam mencit yang dihitung dalam 1000 eritrosit. Densitas parasit diamati sebelum pemeberian perlakuan pada hari ke-0 dan pada hari ke-3. Pemeriksaan darah dilakuakn untuk mengetahui potensi pengaruh ekstrak batang dan ekstrak bunga Delonix regia terhadap Plasmodium.
Perhitungan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus
Frederer. Hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel yang diperlukan adalah empat hewan coba. Dalam melakukan percobaan, terdapat beberapa kesulitan dalam memenuhi jumlah sampel tersebut. Kesulitan yang dialami berupa mencit yang mati sebelum penelitian selesai sehingga tidak dapat dimasukan ke dalam sampel percobaan. Kesulitan lain adalah gagal tumbuhnya Plasmodium berghei yang diinokulasikan ke dalam mencit. Hal ini dapat disebabkan baik oleh rendahnya densitas Plasmodium berghei yang diinokulasikan kepada mencit, tingginya sistem imunitas mencit, maupun kesalahan peneliti dalam menyuntikan isolat Plasmodium bergehi ke dalam tubuh mencit. Selain kedua alasan tersebut, keterbatasan fasilitas, waktu dan dana juga menjadi pertimbangan dalam menentukan jumlah sampel pada penelitian ini sehingga jumlah sampel pada penelitian ini adalah tiga hewan coba.
Penentuan dosis pada penelitian ini berdasarkan penelitian lain yang juga menggunakan ekstrak Delonix regia. Pada penelitian Chitra et all, (2010)19, dosis ekstrak bunga Delonix regia yang digunakan sebagai antiartritis dan antioksidan adalah 200 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB dengan hewan coba tikus. Pada penelitian lain oleh Shewale et all,
(2012)20 yang menggunakan ekstrak daun Delonix regia sebagai antiinflamasi menggunakan dosis 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB juga dengan hewan coba tikus. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pada dosis tersebut, ekstrak bunga dan ekstrak daun Delonix regia cukup aman digunakan. Oleh sebab hal tersebut, peneliti memutuskan menggunakan dosis 100 mg/kgBB, 300 mg/kgBB dan 500 mg/kgBB untuk ekstrak kulit batang dan ekstrak bunga. Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah mencit, oleh sebab itu perlu dilakukan kalibrasi dosis tikus menjadi dosis mencit dan didapatkan faktor kalibrasi dengan perkalian 0,14 dengan penyetaraan 200 gram tikus setara dengan 20 gram mencit. Dari hasil tersebut, diperoleh dosis sebesar 2,8 mg/20 g mencit, 8,4 mg/20 g mencit, dan 14 mg/20 g mencit.
Berdasarkan persentase pertumbuhan dan persentase penghambatan, ekstrak kulit batang Delonix regia dosis 8,4 mg memiliki aktivitas penghambatan tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lain. Dari hasil pengamatan, perlakuan yang dapat menghambat peningkatan pertumbuhan Plasmodium berghei pada mencit adalah ekstrak kulit batang Delonix regia dosis 2,4 mg (38,88%), ekstrak kulit batang Delonix regia dosis
8,4 mg (66,25%), ekstrak bunga Delonix regia dosis 14 mg (6,69%). Menurut Pouplin et al. (2007)21 ekstrak dikatakan memiliki aktivitas antiplasmodium apabila mampu melakukan penghambatan densitas parasit lebih dari 30%.
Ekstrak kulit batang dosis 2,4 mg menunjukan persentase pertumbuhan parasit yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol negatif. Selain itu, pada dosis ini terjadi penghambatan terhadap plasmodium sebesar 38,88%. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak kulit batang dosis ini memiliki efek antiplasmodium. Jika dibandingkan dosis yang lebih tinggi, dosis ekstrak kulit batang 8,4 mg memiliki efek antiplasmodium yang lebih tinggi dengan persentase penghambatan 66,25%. Pada uji ANOVA kedua dosis diatas tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap kontrol negatif, yaitu p=0,550 (dosis 2,8 mg) dan p= 0,314 (dosis 8,4 mg). Pada dosis ekstrak kulit batang 14 mg terlihat bahwa persentase pertumbuhan parasit yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan kontrol negatif, artinya pada dosis ini tidak memiliki aktivitas antiplasmodium. Berdasarkan hasil diatas, pada dosis 2,4 mg sudah mulai terjadi aktivitas antiplasmodium dan dosis 8,4 mg merupakan dosis optimum yang memiliki
efek antiplasmodium, sedangkan pada dosis 14 mg mungkin terjadi dosis yang toksik sehingga terjadi pertumbuhan parasit yang lebih tinggi dibandingkan kontrol negatif dan tidak mampu lagi melakukan penghambatan parasit.
Untuk ekstrak bunga Delonix regia dosis 2,4 mg, 8,4 mg menunjukan persentase pertumbuhan parasit yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol negatif dan juga tidak adanya penghambatan parasit yang terjadi. Hal ini berarti bahwa pada dosis tersebut tidak adanya aktivitas antiplasmodium. Pada ekstrak bunga Delonix regia dosis 14 mg menunjukan persentase pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol negatif. Namun, dari hasil penghambatan parasit menunjukan nilai 6,69% (<30%) sehingga dikatakan bahwa pada dosis 14 mg, ekstrak bunga tidak memiliki aktivitas antiplasmodium. Pada uji ANOVA, diketahui ekstrak bunga dosis 14 mg tidak menunjukan perbedaan bermakna terhadap kontrol negatif, p=0,920. Hal ini dapat menunjukan bahwa ketiga dosis yang diberikan pada mencit belum dapat menunjukan aktivitas antiplasmodium. Untuk dapat memiliki aktivitas antiplasmodium mungkin diperlukan dosis ekstrak bunga Delonix regia yang lebih besar karena pada dosis terbesar sudah mulai
menunjukan adanya penghambatan, walaupun belum dapat dikatakan memiliki efek antipalsmodium. Hal ini dapat berguna pada penelitian selanjutnya untuk melakukan uji dengan dosis yang lebih besar. Selain itu, ekstrak bunga mengandung berbagai bahan pengotor yang ikut terlarut di dalam ekstrak tersebut, diantaranya klorofi. Klorofil diduga mengganggu aktivitas antiplasmodium dari senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak bunga. Dari data persentase penghambatan diketahui bahwa ekstrak kulit batang memiliki aktivitas antipalsmodium yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak bunga. Dari uji Post hoc ekstrak kulit batang dosis 2,8 mg memiliki perbedaan bermakna dengan ekstrak bunga dosis 8,4 mg (p=0,25) dan ekstrak kulit batang dosis 8,4 mg memiliki perbedaan bermakna dengan ekstrak bunga dosis 2,4 mg dan 8,4 mg sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak kulit batang memiliki aktivitas antiplasmodium lebih tinggi.
Hal ini mungkin disebabkan besarnya aktivitas antiplasmodium dari senyawa metabolit sekunder dalam kulit batang yang terdeteksi dengan penapisan fitokimia atau zat lain yang tidak terdeteksi dengan penapisan fitokimia tersebut. Senyawa alkaloid,
terpenoid, flavonoid, dan fenolik diketahui sebagai zat bioaktif antimalaria.22, 23
Pada penapisan fitokimia, ekstrak kulit batang memang terbukti memiliki kadar alkaloid yang lebih tingggi dibandingkan dengan ekstrak bunga. Alkaloid memiliki aktivitas antiplasmodium dengan menghambat pertumubuhan skizon. Alkaloid bersenyawa dengan DNA sehingga proses pembelahan dan pembentukan RNA terganggu pada parasit Plasmodium sehingga pertumbuhan parasit akan terhambat (Lusiana H, 2009)24. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa kandungan alkaloid pada ekstrak kulit batang yang lebih besar mampu menunjukan persentasi penghambatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak bunga.
Selain itu kadar terpen pada ekstrak kulit batang juga lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak bunga. Terpenoid mampu menghambat biosintesis senyawa pada stadium trofozoit dan skizon sehingga pertumbuhan parasit terhambat. Penghambatan biosintesis dengan cara berkompetisi dengan substrat natural pada reaksi enzim-substrat atau dengan mengganggu mekanisme elongasi pada cincin isoprenik parasit (Goulart, et all. 2004).25
Senyawa aktif flavonoid sebenarnya mampu menghambat pertumbuhan stadium intraeritrosit parasit malaria (Lehane dan Saliba, 2008).23 Pada penelitian ini kadar
flavonoid pada ekstrak bunga kurang dapat menimbulkan efek penghambatan pertumbuhan Plasmodium. Hal ini mungkin disebabkan rendahnya dosis ekstrak bunga yang digunakan. Pada dosis rendah dan sedang, diketahui tidak adanya efek penghambatan pertumbuhan parasit, namun, pada dosis tinggi diketahui bahwa terdapat efek penghambatan pertumbuhan.
Pada perlakuan kontrol positif diketahui bahwa ditemukan efek antiplasmodium 276,83% (>30%). Dengan uji one-way ANOVA didapatkan hasil p=0,001. Kelompok kontrol positif, yaitu dengan memberikan perlakuan berupa klorokuin juga memiliki perbedaan bermakna pada setiap perlakuan yang lain. Hal ini menunjukan kelompok perlakuan memiliki aktivitas antiplasmodium tidak sebaik dengan kontrol positif.
Ekstrak yang memiliki aktivitas antiplasmodium yang paling besar adalah ekstrak kulit batang Delonix regia dosis 8,4 mg dengan persentase penghambatan 66,25%, diikuti oleh ekstrak kulit batang Delonix regia dosis
2,4 dengan persentase penghambatan masing-masing adalah 38,88%.
KESIMPULAN
1. Ekstrak kulit batang Delonix regia dosis 2,8 mg dan 8,4 mg memiliki aktivitas antiplasmodium pada mencit Swiss-webster yang diinfeksi Plasmodium berghei secara in vivo. 2. Ekstrak bunga Delonix regia tidak
memiliki aktivitas antiplasmodium pada mencit Swiss-webster yang diinfeksi Plasmodium berghei secara in vivo.
3. Ekstrak kulit batang dosis 8,4 mg memiliki aktivitas antiplasmodium paling baik pada mencit Swiss-webster yang diinfeksi Plasmodium berghei secara in vivo dengan persetase penghambatan pertumbuhan parasit sebesar 66,25%.
SARAN
1. Perlu ditentukan densitas parasit sebelum diberikan perlakuan ekstrak
Delonix regia. Setiap sampel
sebaiknya memiliki densitas parasit dalam kisaran yang tidak terlalu luas untuk menghindari kerancuan. 2. Perlu dilakukan uji kuantitatif untuk
yang bersifat antiplasmodium dalam ekstrak kulit batang Delonix regia 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
untuk mengetahui mekanisme kerja kandungan zat antiplasmodium dalam ekstrak kulit batang dan menemukan dosis kulit batang Delonix regia yang paling tepat sehingga dapat menghasilkan obat baru yang mempunyai pengaruh yang sama atau lebih baik dalam menurunkan jumlah Plasmodium di dalam darah.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Malaria. [online]. 2012. [disitasi, 13 Desember 2012]. Diunduh dari:
http://www.who.int/topics/malaria/en/ 2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Bersama Kita Berantas Malaria. [online]. 2010. [disitasi, 28 Juli 2012] Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/index.php/b erita/press-release/1055-bersama-kita-berantas-malaria.html
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peringatan Hari Malaria Sedunia Tahun 2009. [online]. 2010. [disitasi, 28 Juli 2012]. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/index.php/b
erita/press-release/228-peringatan- hari-malaria-sedunia-tahun-2009.html
4. Direktorat Jenderal Peengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta: Depatemen Kesehatan RI. 2009 . h. 1-39
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Himbauan Hari Malaria Sedunia Tahun 2009. [online]. 2010 [disitasi, 28 Juli 2012]. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/index.php/b erita/info-umum-kesehatan/210-
himbauan-hari-malaria-sedunia-tahun-2009.html
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Menkes Resmikan Malaria Center. [online]. 2010. [disitasi, 28 Juli 2012]. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/index.php/b
erita/press-release/1059-menkes-resmikan-malaria-center.html
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Bebas Malaria Prestasi Seluruh Anak Bangsa. [online]. 2010. [disitasi, 29 Juli 2012] Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/index.php/b erita/press-release/221-bebas- malaria-prestasi-seluruh-anak-bangsa.html
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Malaria. [online]. [disitasi, 20 Desember 2012]. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/downloads/ world_malaria_day/fac_sheet_malari a.pdf
9. Praptiwi, Harapini M, Chairul. Uji Aktivitas Antimalaria Secara In-Vivo Ekstrak Ki Pahit (Picrasma javanica) Pada Mencit Yang Diinfeksi Plasmodium berghei. Biodiversitas ISSN: 1412-033X Volume 8, Nomor 2. Bogor: Bidang Botani, Puslit Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. h. 111-3
10. Poeloengan M, Chairul, Komala I, Salmah S, Susan MN. Aktivitas Antimikroba Dan Fitokimia Dari Beberapa Tanaman Obat (Antimicroba And Fitochemical Activities Of Herbal Medicine). Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 2006. h. 974-8
11. Lawal IO, Uzokwe NE, Igboanugo ABI, Adio AF, Awosan AE, Nwogwugwu JO et al. Ethno medicinal information on collation and identification of some medicinal plants in Research Institutes of South-west Nigeria. African Journal of Pharmacy and Pharmacology Vol. 4(1), January 2010, pp. 001-007
12. Ndounga M. Traditional approach and scientific evidence of remedies used for the treatment of malaria in the African context. [online]. 2008. [Disitasi 4 Desember 2012]. Diunduh dari
http://www.unicam.it/archivio/eventi/i ncontri_convegni/2008_Workshop_
Malaria/documenti/Ndounga_02.pdf
13. Mm Prabowo A. Malaria, Mencegah dan Mengatasinya. Cetakan 1. Depok: Puspa Swara. 2004. h. 2-10 14. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK,
Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit FKUI. 2008; 189-204
15. Gandahusada S, Ilahude HHD, Pribadi W. Parasitologi Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2000. H. 171-209.
16. Landau I, Gautret P. Animalmodels rodents In: Malaria, Parasites Biology, Pathogenesis, and Protection. Ed: Sherman, I.W. ASM Press, Washington, DC. 1998. h. 401-17
17. Cuilei, J. Methodology for Analysis of Vegetables and Drugs. Ministry of Chemical Industry, Bucharest, Rumania.1982. h. 1-67.
18. Nii-Ayi Ankrah et al. Evaluation of Efficacy and Safety of a Herbal Medicine Used for the Treatmentof
Malaria. Phytother. Res. 17, 2003. h.697–701
19. Chitra V, Ilango K, Rajanandh MG, Soni D. Evaluation of Delonix regia Linn. Flowers for Antiarthritic and Antioxidant activity in Female Wistar Rats. Annals of Biological Research. 2010; I (2): 142-7.
20. Shewale VD, Deshmukh TA, Patil LS, Patil VR. Anti-Inflammatory Activity of Delonix regia (Boj. Ex. Hook). Hindawi Publishing Corporation Advances in Pharmacological Sciences Volume 2012, Article ID 789713 p.4
21. Pouplin, J.N., T.H. Tran, T.A. Phan, C. Dolecek, J. Farrar, P. Caron, B. Bodo, and P. Grellier. Antimalarial and Cytotoxic Activities of Ethnopharmacologically Selected Medicinal Plants from South
Vietnam. Journal of
Ethnopharmacology 109. 2007. h. 417-427.
22. Fitrianingsih SP, Suriyatna, Diantini A, Muis A. Aktivitas Antiplasmodium Ekstrak Etanol Beberapa Tanaman Obat Terhadap Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei. Prosiding SnaPP Edisi Eksakta ISSN: 2089-3582. 2010.p. 1-12
23. Lehane AM, Saliba KJ. Common Dietary Flavonoids Inhibit the Growth of the Intraerythrocytic Malaria Parasite. BMC Research Notes 2008, 1:26 doi:10.1186/1756-0500-1-26. 2008.
24. Lusiana H. Isolasi dan Uji Anti-Plasmodium Secara In Vitro Senyawa Alkaloid dari Albertisia Papuana Becc. [Skripsi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institute Pertanian Bogor. 2009.
25. Goulart HR. Kimura EA. Peres VJ. Couto AS, Duarte FAA. Katzin AM. Terpenes Arrest Parasite Development and Inhibit Biosynthesis of Isoprenoids in
Plasmodium falciparum.
Antimicrobial Agents And Chemotherapy, July 2004. p. 2502–9 Vol. 48, No. 7.