• Tidak ada hasil yang ditemukan

E-PROCEEDING COMICOS 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "E-PROCEEDING COMICOS 2018"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

E-PROCEEDING

COMICOS 2018

INOVASI, KOMUNIKASI, KOLABORASI:

“Strategi dan Kajian Membangun Masyarakat Kreatif di Era Digital”

Yogyakarta, 29-30 November 2018

Diterbitkan oleh:

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakara © 2018

(3)

ii

E-PROCEEDING

COMICOS 2018

INOVASI, KOMUNIKASI, KOLABORASI:

“Strategi dan Kajian Membangun Masyarakat Kreatif di Era Digital”

ISBN: 978-602-50218-1-7

Panitia Pelaksana:

Koordinator : Lukas Deni Setiawan, M.A. Wakil Koordinator : Kristian Tamtomo, Ph.D. Divisi Kesekretariatan : Rebekka Rismayanti, M.A. Divisi Finansial dan Sponsorship : Sherly Hindra Negoro, M.I.Kom. Divisi Publikasi : Brahma Putra Pratama, M.Si. Divisi Acara : Irene Santika Vidiadari, M.A.

Steering Committee:

Alexander Beny Pramudyanto, M.Si.

Reviewer:

Andreas A. Susanto, Ph.D. Mario Antonius Birowo, Ph.D. Lukas Deni Setiawan, M.A. Birgitta Bestari Puspita Jati, M.A.

(4)

iii Editor:

Brahma Putra Pratama, M.Si.

Layouter & Desain Cover: Elvina Caesar Haryanto

Diterbitkan oleh:

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Alamat:

Gedung Bunda Teresa

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 6 Yogyakarta 55281 Telp.: (0274) 487711, Fax.: (0274) 487748

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

(5)

iv KATA PENGANTAR

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Jejaring, barangkali, sebuah konsep penting untuk mendeskripsikan masyarakat abad 21. Manuel Castells secara jitu mendefinisikannya sebagai sebuah masyarakat di mana kuasa teknologi informasi-komunikasi membangun jejaring dan struktur sosial. Hasilnya, sebuah masyarakat jejaring yang likuid, cair, tak pernah statis, serta senantiasa bergerak bak tanaman sulur atau rhizome yang tak kenal batas waktu dan ruang. Sebuah paradoks hadir: ruang dan waktu yang terlipat, dan sulur jejaring yang senantiasa terbuka. Seperti air yang mengalir, di sebalik proses jejaring mengalir arus informasi yang berkesinambungan tak mengenal henti menciptakan peristiwa dan ruang-ruang baru!

Persis, pada titik paradoks itulah tersembunyi kecemasan dan ketidak-pastian, yang kini didefinisikan sebagai disrupsi. Kita cemas, bahwa apa yang kita rencanakan tak pernah terealisir. Kita khawatir bahwa hidup sehari-hari diombang-ambingkan oleh serbuan tsunami informasi. Dan tiba-tiba, disrupsi menyeruak dalam diskursus keseharian: ancaman sekaligus kreativitas strategi!

Di sisi lain, struktur likuid tersebut justru membuka ruang sebebas dan seluas bagi siapapun untuk bertemu, berdialog dan sekaligus konflik. Terjadilah tabrakan-tabrakan ide, resistensi dan adaptasi yang tak berkesudahan, membangun praksis-praksis hibriditas yang berkharakter progresif, diasporik, rhizomik, subversif, anti-esensialis, routes-oriented dan berbasis kolase, montase, atau percampuran.

Dalam titik-titik sulur dan struktur jejaring yang penuh tabrakan ide itulah lahir kreativitas dan kreator-inovator, yakni seseorang yang mampu mengerjakan sesuatu yang baru dan seolah tak mungkin dikerjakan sebelumnya. Inilah praksis-praksis inovasi dalam masyarakat jejaring, yang semakin merebak tak terbatas. Sebuah pertanyaan pun muncul, siapkah kita menyambut dan memiliki strategi-strategi kreatif untuk mencipta inovasi-inovasi dalam masyarakat?

Dalam konteks merayakan perbincangan inilah, kami menyelenggarakan konferensi bertema “Inovasi, Komunikasi, Kolaborasi: Strategi dan Kajian Membangun Masyarakat Kreatif di Era Digital”. Kita ingin bahwa konferensi ini menjadi ruang dan peristiwa “baru” yang tak hanya membincang, namun justru membuka cakrawala dan praksis baru berpengetahuan sosial.

Tidak mudah, tentu. Namun, kita percaya bahwa pertemuan, perbincangan atau perdebatan kita akan menciptakan daya-daya kreatif.

Akhir kata, kita berterima kasih kepada panitiayang telah bekerja keras menyiapkan konferensi. Selamat datang di Kampus FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan juga selamat ber-konferensi!

Yogyakarta, 29 November 2018 F.X.Bambang K. Prihandono, M.A.

(6)

v KATA PENGANTAR

Ketua Panitia Penyelenggara COMICOS 2018

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Siapa mendamba inovasi?

Inovasi muncul silih berganti dan melingkupi kita. Kita pun solah-olah dibuat kewalahan karenanya. Di bidang teknologi komunikasi, kita bahkan hampir tidak mungkin tidak bersentuhan dengan gawai setiap harinya. Inovasi-inovasi lain pun semakin membuat kita mudah melakukan banyak hal tanpa bantuan dan kerja sama orang lain. Kadang kita jumawa karena merasa hidup ada di genggaman atau jangan-jangan kita tidak menyadari bahwa kita telah tertelan hiruk-pikuk dan ketergesaan yang akut ini? Sungguhkah ini kondisi yang kita dambakan?

Inovasi memang ada yang terbatas pemanfaatannya, namun ada pula inovasi yang dapat menjadi jembatan dan moda interaksi antarmanusia. Inovasi yang inklusif semacam ini justru mendorong manusia untuk menghubungi dan menghubungkan diri sendiri dan orang lain dalam aktivitas-aktivitas bersama. Inovasi ini juga membuat manusia untuk cenderung berpikir dan bertindak keluar dari dunia diri dan keluarganya. Setiap orang yang memanfaatkan inovasi semacam ini dapat menaikkan spirit partisipasinya pada persoalan warga.

Inovasi yang inklusif sangat diharapkan dapat pula menjadi jembatan pada kesenjangan digital yang masih menjadi isu penting di Indonesia. Partisipasi yang dapat diwujudkannya diharapkan dapat pula menjangkau dan mengikutsertakan kelompok masyarakat yang belum dapat menikmati kemajuan teknologi yang bagi sebagian masyarakat lain sudah menjadi keseharian ini. Kemajemukan kondisi masyarakat Indonesia menjadi pertimbangan penting dalam penciptaan inovasi-inovasi ini. Inklusivitas yang melekat pada inovasi-inovasi tersebut sangat dibutuhkan oleh bangsa yang beragam kondisinya ini untuk memeratakan partisipasi warganya.

COMICOS 2018 ini menjadi forum bersama dalam mengkaji dan menularkan inovasi-inovasi baru yang mendorong partisipasi warga dalam pengelolaan sumber daya dan pencarian solusi pada permasalahan bersama. Semoga forum ini dapat menjadi salah satu wahana pertukaran kajian dan pembangunan inovasi yang menjadikan masyarakat luas sebagai fondasi utamanya. Selamat merayakan dan memperbincangkan inovasi-inovasi yang inklusif di sekitar kita!

Yogyakarta, 12 November 2018 Lukas Deni Setiawan, M.A.

(7)

vi

Daftar Isi

Halaman Judul i

Kata Pengantar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik iv

Kata Pengantar Ketua Panitia Penyelenggara COMICOS 2018 v

Daftar Isi vi

SUB TEMA MEDIA DIGITAL DAN JURNALISME KOLABORATIF

Kolaborasi Jurnalisme Wisata Melalui Pemanfaatan Media Digital 2

Wulan Herdininigsih, Lisa Mardiana,M.I.Kom, Heni Indrayani,M.I.Kom

Infografis Sebagai Jurnalisme Visual: Produksi Makna dan Informasi Melalui

Hubungan Teks-Gambar 24

Catleya Ayundasari, Abhirama S.D. Perdana

SUB TEMA KOLABORASI PRIVAT DAN KOMUNITAS DALAM CSR Strategi Membangun Kesamaan dalam Mendapatkan Penerimaan dari Mitra

Kerjasama (Studi Kasus: Kerjasama Yayasan Tahija dengan Tim EDP Yogyakarta) 55

MC Ninik Sri Rejeki, Sherly Hindra Negoro

Implementasi Program Corporate Sosial Responsbility (CSR) PT. Angkasa Pura II

Bandara Halim Perdana Kusuma 75

Siti Khadijah, Sinta Arum

Kampung Koran Sebagai Strategi CSR Kompas Gramedia 95

Dina Fatimah, Astrid Haryanti, B.Comn., M.Si

SUB TEMA MEDIA SOSIAL DAN INOVASI INDUSTRI KREATIF

Content Creator dalam Kacamata Industri Kreatif: Peran Personal Branding dalam

Media Sosial 128

Daniel Hermawan, S.AB., M.Si., MBA.

Inovasi Produk Batik Motif Abstrak dalam Memenuhi Permintaan Pasar Melalui

Media Sosial 143

Trimanah, S. Sos, M. Si

Analisis Starup Traveloka sebagai Pembelajaran dalam Menghadapi Era Disrupsi 166

Intan Pitaloka

Pola Pemanfaatan Jaringan Media Online Kalangan PSK Pria di Bali 172

I Dewa Ayu Sugiarica Joni, Ni Nyoman Dewi Pascarani, Tedi Erviantono

Peran Jejaring Sosial dalam Pembangunan Komunitas Kreatif 184

(8)

vii

Situs Crowdsourcing dan Pengaruhnya sebagai Media Pajang dan Media Kerja Karya Desain Komunikasi Visual (Kajian Pada Mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut

Seni Indonesia Yogyakarta) 220

P. Gogor Bangsa, S.Sn., M.Sn.

SUB TEMA INOVASI PEMASARAN DI MEDIA DIGITAL

Strategi Public Relations Membangun Brand Image dalam Inovasi Teknologi dan

Produksi Program Televisi 227

Mochamad Syaefudin

Strategi Pemasaran Virgin Coconut Oil Melalui Instagram (Studi Deskriptif pada Akun

@Kalpa_Id) 260

Natalia Ayu Widyawati Tukau

Sepakbola dan Inovasi di Era Industri Digital 288

Erwin Rasyid, Asri Dewi,Qholiva Yuni Fadilla

Mengomunikasikan Airyrooms dalam Siklus Partisipan Ekonomi-berbagi

Hospitality 305

Z. Hidayat

SUB TEMA LITERASI INFORMASI BERBASIS KOMUNITAS

Kontestasi Baliho Ormas pada Ruang Publik Kota (Studi Strategi Pesan Baliho Ormas

Pemuda Bali Bersatu) 328

Ni Nyoman Dewi Pascarani, I Dewa Ayu Sugiarica Joni

Gerakan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi melalui #Nasbedag 348

Ajeng Dwi Wardani, Heni Indrayani, M.I.Kom

Literasi Media Berbasis Pesantren di Pondok Sabilurrasyad Kota Malang melalui Media Santri NU (MSN) sebagai Upaya Preventif Penyebaran Radikalisme

dan Hoax 374

Hamidah Izzatu Laily

Peningkatan Kapasitas Infrastruktur dan Akses Internet untuk menunjang Literasi Informasi dalam Mewujudkan Masyarakat Pedesaan yang Berbasis Pengetahuan di

Nusa Tenggara Timur 394

Sandra Clarissa Umbu Datta

Kampanye Partisipatif sebagai Upaya Memupuk Literasi Berbasis Komunitas (Studi Kasus Praktik Kampanye Booklovers Festival oleh Komunitas Radio Buku,

Yogyakarta) 417

(9)

viii

The Impact of Media Literacy to The Beginner Voter Political Consciousness of Senior

High School Student in Yogyakarta 444

Dendy Suseno Adhiarso, Prahastiwi Utari, Sri Hastjarjo

SUB TEMA INOVASI BISNIS SOSIAL BERBASIS MASYARAKAT

Inovasi Perguruan Tinggi Menghadapi Era Disrupsi (Studi Kasus Creative Hub

FISIPOL UGM sebagai Model Eksperimental University 4.0) 458

Lisa Lindawati, Matahari Farransahat, Muhammad Hafidullah

Peran Komunikasi Interpersonal dalam Pengembangan Kewirausahaan Sosial dan Upaya Peningkatan Kunjungan Wisatawan ke Daerah Tujuan Wisata Berbasis

Komunitas 485

Suharsono, Agung Nugroho

Dampak Inovasi dan Ekonomi Tenun Ikat NTT 505

Rani Christin Abi

Model Pengembangan Pariwisata Berbasis Komunitas (Community Based Tourism) Melalui Aplikasi Digital (Studi Kasus pada Pokdarwis Kelurahan Sudiroprajan

Surakarta dan Startup Pariwisata Digital Triponyu) 527

Yolanda Presiana Desi

Festival Troso: Inovasi Promosi Untuk Keberlanjutan Bisnis Tenun 549

Mamik Indaryan, Kertati Sumekar, Budi Gunawan

SUB TEMA INOVASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Kolaborasi Media Luar Ruang dan Media Sosial dalam Penyampaian

Kebijakan Publik 563

Mukaromah M.I.Kom, Dzuha Hening M.Ds

New Media dan New Branding (Analisis City Branding Kota Bekasi) 590

Kartini Rosmalah D.K, M.I.Kom., Winda Primasari, S.Hum, M.Si

Strategi Komunikasi Bencana Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi

Kebencanaan Geologi di Era Media Sosial 618

Sisilia Claudea Novitasari, S. Ikom.

Pemanfaatan Aplikasi Layanan Publik Jogja Smart Service (Tingkat Pemanfaatan Aplikasi dan Integrasi Informasi Layanan Publik Jogja Smart Service di Kalangan

Karyawan PT. Media Tribun Jogja) 641

Antonia Meme

Telepsychiatry dalam Komunikasi Terapeutik Pada Pasien Skizofrenia Hebefrenik (Studi Kasus Psikiater dan Perawat dalam penanganan Pasien Skizofrenia Heberfrenik Pada Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat Kecamatan Lawang Kabupaten Malang di Desa Blandit Wonorejo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang sebagai

(10)

ix

Sri Wahyuningsih, Susanne Dida, Yanti Setianti, Jenny Ratna Suminar

SUB TEMA KEWIRAUSAHAAN KOLABORATIF

Komunikasi Pemasaran Terpadu Untuk Potensi Pengembangan Pemanfaatan Hasil

Pohon Lontar Bagi Masyarakat di Pulau Rote 685

Adesandy Detaq

Peluang dan Tantangan Inkubator Kreasi dan Inovasi Telematika (Ikitas)

Semarang 708

Made Dwi Adnjani

Gender Harmoni Keluarga Perempuan Entrepreneur Pada Masyarakat Urban 726

Ade Kusuma, M.Med.Kom., Aulia Rahmawati, Ph.D., Sumardjijati, M.Si

SUB TEMA KAJIAN SOSIAL TERHADAP DAMPAK INOVASI

Etika Berdiskusi dalam Ruang Virtual 738

Nadya Surya Shindita, Heni Indrayani, M.I.Kom

Kesenjangan Teknologi Sebagai Dampak dari Kurangya Minat dan Sistem Pendidikan di Bidang Teknologi di Sekolah Dasar dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0 (Studi

kasus: Sekolah Dasar Negeri Mekar Mukti 01Cikarang) 764

Silvia Betrice, Abhirama S.D. Perdana

Implementasi Strategi Kehumasan UAJY di Era Digital 784

R.A. Vita N.P. Astuti

Selebgram dalam Ranah Banal Media Sosial (Sebuah Inovasi atau Komodifikasi) 804

Ade Irma S.

SUB TEMA INOVASI COMMUNITY DEVELOPMENT

Peran Media Sosial Mendorong Keterlibatan Relawan Indonesia Mengajar 816

Heppy N.Y. Haloho, Kartika Suci Lestari P

Media Sosial: Sarana Pelestarian dan Literasi Komunitas Dayak 847

Pricilla Pascadeany Frelians

Peran PHI DIY Sebagai Komunitas Anti Diskriminasi Terhadap ODHA 868

Leonardus Wical Zelena Arga

Balee Inong Sebagai Wadah Pemberdayaan Perempuan di Kota Banda Aceh 883

Akmal Saputra, S.Sos I., MA

Gerakan Sosial Balee Inong Berbasis Komunitas Melalui Ranah Musrena dan

Musrenbang 903

(11)

x

Komunikasi Kelompok Perempuan Urban dalam Komunitas Web Urban Women

Jakarta 931

(12)

903

Gerakan Sosial Balee Inong Berbasis Komunitas Melalui Ranah

Musrena dan Musrenbang

Masrizal

Dosen Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Mahasiswa Doktoral Sosiologi UGM Yogyakarta, Email: masrizalfisip@unsyiah.ac.id HP: 081360428473

Abstrak: Artikel ini mengkaji tentang inovasi Balee Inong sebagai sebuah gerakan sosial

perempuan melalui ranah Musrena dan Musrenbang. Tahapan penelitian lapangan mendeskripsikan tiga hal, yakni, pertama, bagaimana Balee Inong berproses dalam arena Musrena dan Musrenbang, kedua, posisi tawar (bargaining positon) dan ketiga, faktor pendorong dan penghambat komunitas Balee Inong dalam Musrena dan Musrenbang. Perspektif teoritik yang dikembangkan mengkolaborasikan teorinya Wilbert Moore tentang perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, dan teori gerakan sosial Rajendra Singh, tentang gerakan sosial baru yang mengekpresikan usaha-usaha kolektif masyarakat untuk menuntut kesetaraan dan keadilan sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan metode kajian entnografi feminis kontemporer, dengan teknik pengumpulan datanya melalui observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses gerakan sosial perempuan akar rumput (Balee Inong) dapat diterima di tengah masyarakat dan ikut berpartisipasi terwujudnya Perwal Musrena Nomor 52 tahun 2009, dan komunitas Balee Inong terintegrasi tidak hanya dengan pemerintah kota Banda Aceh namun juga dalam hal penguatan kapasitas sumberdaya manusianya dengan institusi Perguruan Tinggi di Banda Aceh.

Keyword: Gerakan Sosial Perempuan, Musrena, Musrenbang, Balee Inong

I. Pendahuluan

Studi tentang perempuan menjadi kajian yang sangat menarik untuk dibahas dikarenakan perempuan mendapat ruang istimewa pada hampir semua Negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. beragam bentuk pola yang dilakukan oleh masing-masing Negara dalam memberikan ruang kepada perempuan agar terlibat aktif dalam ruang publik. Artikel ini mencoba untuk menggambarkan beberapa Negara di dunia yang telah memberikan ruang kepada perempuan diranah publik.

(13)

904 Gerakan Perempuan Global

Konferensi akbar yang dilakukan pada tahun 1975 yang berlangsung di Meksiko City (Amerika), yang menghadirkan hampir semua Negara belahan dunia (Amerika, Eropa, Australia, China dan beberapa Negara Asean lainnya), mengutus perwakilannya membahas tentang isu-isu pokok kebutuhan perempuan yang menjadi tolak ukur agar perempuan dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya (Nana Nurliana Soeyono, 2014). Pertemuan tersebut membahas hal dasar yang menjadi topik hangat saat itu tentang keterlibatan penuh perempuan dalam pembangunan yang dikenal dengan sebutan International Decade of

Women, yang menitik beratkan pada Women in Development (WID), karena organisasi

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengharapkan terjadinya integrasi perempuan dalam bidang pembangunan yang berfokus pada produktifitas kerja perempuan. Setelah dilihat perkembangannya akhirnya dirasa perlu di evaluasi pergerakan perempuan dari WID keprogram lainnya, karena saat itu perkumpulan perempuan dunia memandang WID gagal dalam memperbaiki perempuan. Kemudian konferensi selanjutnya menyepakati agar adanya program baru yang disebut dengan Women and Development (WAD) yang dicetuskan oleh feminis-Marxis (Mansoer Fakih 2008; Nana Nurliana Soeyono 2014).

Gerakan Perempuan Indonesia

Pergerakan perempuan di Indonesia jika merujuk pada gerakan perempuan global, ikut mengadopsi pola program WID dan WAD. Misalnya, gerakan perempuan sejak masa Kartini hingga sekarang mempraktikkan program tersebut, karena persoalan dasar perempuan adalah menjadi hal utama yang harus dipecahkan bersama. Kartini menjadi ibu pertama bagi Indonesia dalam mengenalkan perempuan Indonesia lepas dari buta huruf, dan ikut terlibat penuh menggerakkan perempuan dari ranah domestik keranah publik, meskipun saat itu perempuan belum sepenuhnya mempraktikkannya dikarenakan masih kuatnya budaya patriarki di Indonesia. Bagi kelompok aktifis perempuan di Indonesia patriarki menjadi

(14)

905

kendala tersendiri dalam mengembangkan perempuan terjun keranah publik, sehingga menjadikan patriarki sebagai musuh bersama yang harus dikalahkan dengan saling terintegrasinya perempuan, baik di pusat maupun di daerah. Begitu juga dengan perempuan di Aceh ruang geraknya masih dipengaruhi oleh budaya patriarki. Hal ini dapat dilihat pada saat pelaksanaan Musrenbang, dominansi laki-laki sangat kental. Meskipun sebenarnya pelaksanaan Musrenbang masih sangat jauh dari harapan pelaksanaan gender.

Secara teknis, pelaksanaan Musrenbang masih dilakukan secara maraton dan paralel. Mulai dari tingkat gampong/desa telah disusun jadwal yang dibuat oleh BAPPEDA Kota. Dalam satu hari dibagi desa yaitu pagi dan siang hari. Masing-masing desa dan gampong mengadakan musyawarah di meunasah atau kantor balai pertemuan gampong dalam waktu 3-4 jam. Jika kita mengamati alur perencanaan daerah, dimana Musrenbang menjadi salah satu kegiatan yang harus dilalui, terlihat jelas bahwa perencanaan lebih bercorak teknokratik-formalistis dalam rangka menjaring aspirasi secara adiministratif.

Rumusan yang dihasilkan lebih banyak bersifat pembangunan fisik seperti pembangunan pagar, kantor desa, perbaikan jalan, dan pembangunan gedung pertemuan. Rumusan usulan telah diformalisasikan dalam bentuk isian form yang sudah disebarkan oleh Bappeda. Karena Musrenbang merupakan forum berjenjang, usulan-usulan yang disampaikan di tingkat gampong pun akan terus dibawa ke tingkat yang lebih tinggi. Sehingga disinilah sering persoalan akan muncul. Misalnya, Persoalan pertama, program yang sudah disepakati pada tingkat bawah (Gampong/desa) belum tentu semuanya terakomodir ketika di aspirasikan ke forum ditingkat kecamatan hingga kabupaten/kota. Sehingga, banyak usulan-usulan tidak melihat pada kebutuhan masing-masing ditingkat Gampong/desa, yang terjadi sebaliknya, usulan yang seharusnya sudah disampaikan pada tahun sebelumnya menjadi prioritas kembali, kerap menjadi pengulangan usulan tahun sebelumnya. Persoalan kedua, rendahnya keterlibatan/partisipasi perempuan di dalamnya, sehingga secara langsung ataupun tidak,

(15)

906

banyak program atau kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kabupaten/kota sering bermasalah terkait sensitifitas gender. Oleh karena itu, dilihat dari mekanisme pelaksanaannya, tingkat kehadiran perempuan yang minim, rumusan program yang dihasilkan tidak berkeadilan gender, sehingga dipandang perlu dibentuk sebuah wadah yang sama yang dapat menampung seluruh persoalan dan kebutuhan perempuan, maka dirasa perlu diadakan Musrena.

Secara umum Musrena bertujuan untuk menciptakan perencanaan Kota Banda Aceh berbasis keadilan gender dengan mengadaptasi sistem perencanaan bottom up dan top down. Sedangkan secara khusus adalah: (1) Sebagai wadah komunikasi langsung bagi kaum perempuan di daerah sekaligus pembelajaran dalam merumuskan suatu rencana aksi pembangunan. Di sisi lain, menjadi ajang pembelajaran bagi kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam mengutarakan permasalahan serta kebutuhannya secara nyata dalam kegiatan Musrenbang. (2) Sebagai salah satu dasar pertimbangan proporsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG atau Bantuan Gampong). (3) Sebagai upaya khusus sementara yang dilakukan pemerintah kota untuk memastikan partisipasi perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan menikmati hasil pembangunan.

Manfaat umum Musrena adalah dapat memperkuat kapasitas kaum perempuan di dalam proses perencanaan pembangunan, dan dapat memberikan masukan kepada pemerintah mengenai aspirasi-aspirasi kaum perempuan, mendengarkan dengan lebih jelas hal-hal apa yang menjadi aspirasi kaum perempuan, dan kemudian dapat diintegrasikan di dalam program kerja pemerintah. Sedangkan manfaat khusus adalah Pemerintah Kota Banda Aceh dapat mengetahui keluhan, permasalahan dan kebutuhan perempuan sehingga dapat di rumuskan solusi penangulangan dalam perencanaan pembangunan. Dimasa kepemimpinan Mawardi Nurdin dan Illiza Sa’aduddin Djamal, Musrena (musyawarah rencana aksi perempuan) yang dijalankan berdasarkan Peraturan walikota (Perwal No 52 tahun 2009), telah mendapatkan

(16)

907

penghargaan secara nasional dalam bidang partisipasi perempuan dalam pembangunan. Selanjutnya sekarang Walikota telah membentuk komunitas perempuan tersebut dengam sebutan Balee Inong dengan di SK kan oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (PPKB).

Balee Inong adalah sekumpulan individu perempuan yang saling bekerjasama dalam

menyelesaikan persoalan pembangunan, baik dari tingkat gampong hingga ketingkat kecamatan sampai kabupaten/kota. Organisasi ini hanya ada di Kota Banda Aceh, dan tidak ada diwilayah lain diluar Kota Banda Aceh, dengan jumlah organisasi tersebut 18 (delapan belas) yang tersebar pada 9 kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh. Pada tahun 2015 yang lalu Bappeda Kota Banda Aceh telah merancang Kamus e-Musrenbang yang di dalam program tersebut pagu indikatifnya dari budgeting 200 Juta rupiah pergampong, dimana 10% diperuntukkan untuk kegiatan komunitas Balee Inong (komunitas perempuan) yang berada pada 90 gampong dan 90 % lainnya untuk kegiatan gampong yang dikelola oleh aparatur gampong.

Selama ini komunitas BI ini berada ditingkat kemukiman, jadi sebagai sebuah komunitas yang baru mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kota Banda Aceh maka sangat diperlukan pengetahuan tentang bagaimana merancang program kegiatan yang mendukung capaian Multi Development Goals (MDGs) dan sekarang lebih dikenal dengan

Sustainable Development Goals-SDGs. Untuk itu penulis ingin melihat kekuatan dan

kelemahan yang dipraktikkan oleh komunitas Balee Inong dalam partisipasinya melalui Musrena sebagai sebuah afirmatif Musrenbang yang belum berpihak pada kebutuhan perempuan dilihat sebagai sebuah gerakan sosial.

Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan di atas maka tujuan artikel ini akan melihat beberapa proposisi. pertama, melihat gerakan sosial Balee Inong berkelaborasi dalam arena Musrena dan Musrenbang, Kedua, mengetahui dan menjelaskan posisi tawar

(17)

908

(bargaining positon) komunitas Balee Inong di dalam Musrena dan Musrenbang, pada tahap ini akan dilihat apa yang yang membuat sehingga perempuan grassroot (Ibu-ibu Rumah Tangga) yang tergabung dalam komunitas Balee Inong ini memiliki kekuatan (power) pada pelaksanaan forum Musrena dan Musrenbang mulai dari level desa, kecamatan hingga ke kabupaten/kota mereka ikut dilibatkan, dan Ketiga, ingin mengetahui dan menjelaskan faktor pendorong dan penghambat komunitas Balee Inong bisa masuk ke dalam Musrenbang sebagai sebuah forum tertinggi dalam pelaksanaan perencanaan dan penganggaran setiap program kegiatan.

II. Tinjauan Pustaka

Mengkaji artikel ini menarik kiranya melihat beberapa teori dan kajian terdahulu ynag relevan yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam menguatkan pengkajian gerakan perempuan berbasisis komunitas. Artikel ini akan melihat perspektif teoritik yang dikembangkan Wilbert Moore tentang perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, dan teori gerakan sosial Rajendra Singh, tentang gerakan sosial baru yang mengekpresikan usaha-usaha kolektif masyarakat untuk menuntut kesetaraan dan keadilan sosial. Penelitian secara khusus melakukan kajian tentang Gerakan Sosial Balee Inong Berbasis Komunitas Melalui Ranah Musrena dan Musrenbang sejauh amatan pengetahuan peneliti belum banyak ditemukan. Namun ada dua studi tentang Musrena sebagai sebuah inovasi pemerintah Kota Banda Aceh yang dilakukan (Tim UNFGI dan PPKK UGM 2013) (University Networking for Government Innovation) yang dibawah koordinasi FISIPOL UGM, dengan judul Banda Aceh Sebagai Role Model Kota Ramah Gender: Mengurai Musrena Menangkap Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan. Penelitian ini hanya seputar untuk melahirkan brief policy dan lebih bersifat penelitian projek yang hanya bersifat penelitian kebijakan, dan tidak memberikan gambaran yang komprehensif tentang

(18)

909

keterlibatan kelompok perempuan di level desa (Balee Inong) sehingga fokus penelitiannya tidak mendalam seperti apa yang akan peneliti lakukan. Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan lebih melihat kepada bagaimana proses yang diperankan oleh Komunitas

Balee Inong sehingga Musrena itu Muncul kepublik dan bagaimana pula perempuan mampu

mengakses Musrenbang yang selama ini arena tersebut didominasi oleh laki-laki serta kekuatan apa yang dimiliki oleh Balee Inong sehingga dua arena ini mampu diperankan dengan baik.

Penelitian Zaki Fuad Khalil dengan judul Penguatan Pemberdayaan Perempuan

dalam Musyawarah Rencana aksi Perempuan (Musrena) di Kota Banda Aceh, hasil

penelitiannya menjelaskan bahwa penguatan pemberdayaan perempuan sudah sangat bagus dan melahirkan regulasi pelaksanaan Musrena, dan perempuan sudah mampu berbicara didepan publik. Penelitian ini hemat penulis belum menyentuh sisi bagaimana relasi sosial yang dibangun antara kelompok komunitas perempuan (Balee Inong) dengan kelompok laki-laki, sampai dengan Perwal ini disahkan dan lebih kepada penelitian ini melihat sesuatu yang sudah dilahirkan oleh komunitas Balee Inong, dengan lahirnya Perwal Musrena tanpa melihat proses panjang yang dilakukan oleh kelompok Balee Inong. Sedangkan penelitian ini akan lebih komprehensif penulis lakukan dengan melihat bagaimana proses sehingga Musrena itu ada dan bagaimana posisi tawar perempuan dalam Musrena dan Musrenbang dan apa saja kekuatan yang dimiliki sehingga perempuan Balee Inong ini memiliki power untuk mendorong lahirnya Musrena dan disahkan Perwalnya, serta bagaimana sosial kapitalnya ikut mempengaruhi.

Disamping itu penulis juga mengutip beberapa riset terdahulu diluar Aceh yang relevan dalam menunjang dan memudahkan mereview temuan riset. Riset terdahulu yang dilakukan Farida untuk disertasi doktoralnya tentang gerakan sosial lokal perempuan di dusun Dasun yang terletak di kawasan pegunungan Wilis, Kediri, Jawa Timur, Penelitiannya

(19)

910

menjawab pertanyaan tentang (1) Bagaimana aksi kolektif terbentuk dan berkembang? Aksi Kolektfif seperti apa yang dapat dimaknai sebagai gerakan sosial dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan? Dan (2) sejauhmana pencapaian aksi kolektif yang dilakukan oleh kaum perempuan Dasun berimplikasi pada kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Dan kerangka teori yang digunakan adalah meminjam kerangka konsepsi teoritik gerakan sosial Rajendra Singh dan pandangan Doan Tella Potra dan Mario Diani.

Secara umum hasil penelitiannya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Aksi kolektif di Dasun dapat berkembang menjadi sbeuah gerakan Sosial karena dilandasi oleh kesadaran kolektif yang kemunculannya diinspirasi oleh kehadiran mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata). Bentuk keberhasilannya adalah aksi-aksi kolektif dalam menyelesaikan masalah mrndorong kaum perempuan untuk mengintegrasikannya dalam satu naungan, yaki paguyuban perempuan Sido Rukun. Proses pengintegrasiannya melahirkan aksi kolektif yang memunculkan seorang pemimpin perempuan, yakni Sulastri terpilih sebagai seorang kepala desa. Kemampuan memproduksi aksi kolektif pada temuan riset ini tentang lahirnya pemimpin merupakan hasl spesifik yang jarang ditemui pada aksi kolektif ditempat lainnya. Bahkan fenomena ini tidak dapat sepenuhnya disebutkan dengan kerangka teori gerakan sosial lama atau gerakan sosial baru (GSB) yang telah ada.

Merujuk pada para teoritisi gerakan sosial yang ada, sejauh ini aksi kolektif di Dasun diperankan oleh kelompok perempuan lokal dan masyarakatnya yang berasal dari kelas menengah bukan dari kelas bawah. Namun gerakan sosial yang dipraktikkan oleh masyarakat dasun sudah disebut sebagai gerakan sosial, yakni telah terpenuhinnya unsur kolektifitas, tujuan bersama, penggorganisasian yang longgar, adanya pemimpin, spontan bergerak diluar kekuasaan formal. Sedangkan ditinjau dari makna pluralism isu yang diusung maupun heterogenitasnya dilihat dari pelaku yang tidak berbasis pada kelas, maka gerakan sosial di

(20)

911

Dasun dapat dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial baru. Tetapi pada gerakan Sosial baru itu sendiri tidak sepenuhnya dijadikan sebagai sebuah GSB, karena setting masyarakatnya sudah post- industry dan aktor atau agennya dari kelas menengah bukan kelas bawah (Farida 2012; Oman Sukmana 2016). Implikasi pencapaian gerakan sosial di Dasun dipilah dalam ranah rumah tangga dan kehidupan masyarakat. Dalam ranah rumah tangga, terlihat adanya perubahan relasi gender khususnya dalam pengelolaan keuangan (control keuangan mulai bergeser kepada perempuan) dan pengambilan keputusan (suami melibatkan perempuan). Sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat dengan ditunjukkan dengan adanya berbagai capaian yang diperinci dalam bidang sosial budaya, politik, ekonomi, dan lingkungan.

III. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif itu dari beberapa literatur ilmuwan sosial menjelaskan bahwa berangkat dari fenomena yang ditemukan dilapangan kemudian dikembangkan pemahaman secara mendalam, alamiah, melibatkan konteks secara penuh, data dikumpulkan langsung dari partisipan (Creswell 2010; Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln 1994; Septiawan Santana K 2010). Penelitian ini meninjau tiga kajian penting yang digerakkan oleh perempuan Aceh, khususnya pada perempuan akar rumput yang tergabung dalam komunitas Balee Inong di Banda Aceh, antara lain : pertama, melihat gerakan sosial Balee Inong berkelaborasi dalam arena Musrena dan Musrenbang, disini yang akan dilihat adalah cara berfikir perempuan, perjuangan perempuan yang dapat dimengerti oleh kaum laki-laki dan idenya bisa diterima oleh laki-laki, dan kemampuan mereka memanajamenkan anggota komunitas, menjalin kordinasi kedalam dan keluar serta kemampuan mereka mempertahankan kekerabatan sesama anggota kelompok.

(21)

912

Kedua, Bagaimana posisi tawar (bargaining positon) komunitas Balee Inong di dalam

Musrena dan Musrenbang, pada tahap ini akan dilihat apa yang yang membuat sehingga perempuan grassroot (Ibu-ibu Rumah Tangga) yang tergabung dalam komunitas Balee Inong ini memiliki kekuatan (power) pada pelaksanaan forum Musrena dan Musrenbang mulai dari level desa, kecamatan hingga ke kabupaten/kota mereka ikut dilibatkan, serta menghapus

image tentang dan Ketiga, melihat apa faktor pendorong dan penghambat komunitas Balee Inong bisa masuk ke dalam Musrena dan Musrebang. Tahapan ini akan melihat faktor

pendorong komunitas Balee Inong ini mampu memposisikan perempuan dalam masyarakat khususnya dalam forum Musrena dan Musrenbang baik yang dibuat di tingkat desa sampai dengan kabupaten/kota dengan tidak melawan nilai-nilai agama dan sosial-budaya (kearifal lokal) di masyarakat, dan kemampuan mereka dalam mengakses dana desa dalam mewujudkan kesetaraan gender, dan sebaliknya apa yang menjadi hambatan perempuan dalam mengakses Musrena dan Musrenbang.

Kajian ini menggunakan metode etnografis dalam pengumpulan datanya. Sebagaimana Arthur J. Vidich & Stanford M. Lyman dalam (Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln 1994), menjelaskan bahwa perlu ditegaskan bahwa kajian ini tidaklah seperti metode etnografis murni yang digambarkan dalam kajian antropologi yang berusaha mendeskripsikan secara ilmiah tentang manusia dan landasan budayanya secara menyeluruh (holistik-integratif). Tetapi riset ini lebih kepada menelusuri dan menemukan pengetahuan bersama masyarakat (mutual knowledge) tentang gerakan peran perempuan dilevel komunitas dalam menggerakkan perempuan dari ranah domestik keranah publik.

Pendekatan metode etnografis digunakan lebih kepada metode kajian entnografi feminis kontemporer yang dikembangkan Mary Kay Thomson, 1985 dalam (Shulamit Reinharz 1992), dijelaskan ada tiga pola yang digunakan oleh feminis kontemporer, diantaranya: (1), untuk mendokumentasikan kehidupan dan aktifitas perempuan. (2), untuk

(22)

913

memahami pengalaman perempuan dalam sudut pandang mereka sendiri dan (3), untuk mengkonseptualisasikan perilaku perempuan sebagai ekspresi dari konteks sosial. Kajian tentang ini juga telah diteliti oleh Annete Weiner (1976) dalam (Shulamit Reinharz 1992) menyimpulkan bahwa perempuan Trobriand memiliki kekuasaan dan mereka “memainkan peran yang secara simbolis, struktural dan fungsional penting bagi pengaturan” masyarakat mereka.

Mengingat pendekatan etnografi feminis kontemporer ini masih sangat jarang digunakan di Indonesia maka dirasa perlu penjelasan lebih lanjut dan spesifik tentang tiga hal yang dikembangkan oleh Mary Kay Thomson, Pertama, mendokumentasikan kehidupan dan aktifitas perempuan, pola ini dilakukan untuk memudahkan peneliti mendapatkan informasi menyeluruh dari informan, sebagaimana yang pernah dibuat oleh Sosiolog Lyn Lofland dalam (Shulamit Reinharz 1992) menjelaskan pentingnya mendokumentasikan aktifitas perempuan dalam kritiknya terhadap tradisi androsentris dari studi komunitas, Ia Mengklaim bahwa, sebaik-baiknya perempuan semata-mata tersedia disana bagi pengamat partisipatoris, karena para etnografer belum melihat bagaimana perempuan memaikan peran penting dalam latar sosial, walaupun para perempuan itu merupakan bagian dari latar tersebut. begitu juga pendapat Annette Weiner juga menjelaskan bahwa pengamat partisipatoris penting melihat perempuan sebagai anggota penuh dunia sosial, ekonomi dan politis. Kedua, memahami perempuan dari perspektif perempuan, dalam memahami pengalaman perempuan ini George Simmel (1858-1918) seorang ilmuwan sosial menerangkan bahwa hampir semua pembahasan tentang perempuan hanya mengulas soal hubungan perempuan dengan laki-laki dalam rangka kriteria ril, kriteria ideal atau kriteria nilai, dan tidak ada yang bertanya tentang bagaimana perempuan untuk diri perempuan sendiri, meskipun dalam pandangannya bersifat endemik pada peradaban barat dan pada ilmu-ilmu sosialnya. Sebaliknya sosiolog Kanada, Dorothy

(23)

914

Smith, merujuk pada riset-riset yang mempertanyakan bagaimanakah perempuan bagi diri perempuan sendiri sebagai penelitian dari sudut pandang perempuan.

Sosiolog Judith Stacey dalam (Shulamit Reinharz 1992), menerangkan bahwa salahsatu cara etnografer feminis mengerti pengalaman perempuan adalah dengan memperlakukan perempuan sebagai narasumber kunci. Dari pemahaman para sosiolog feminis ini maka dipandang perlu dalam melihat kajian gerakan perempuan ini menjadikan perempuan sebagai narasumber kunci. Selanjutnya pada tahapan ketiga, dalam kajian feminis ini dalah memahami perempuan dalam konteks. Intinya pada tahapan ini etnografer feminis berupaya menafsirkan perilaku perempuan sebagai sesuatu yang dibentuk oleh konteks sosial ketimbang sebagai bebas konteks atau berakar pada anatomi, kepribadian, atau kelas sosial. Sebagaimana yang dijelaskan dalam studinya Irene Dabrowski terhadap perempuan kelas pekerja yang menggambarkan pentingnya konteks, secara khusus ia memaparkan jenis-jenis pekerja perempuan dari kelas pekerja, dengan melihatnya masing-masing melalui hubungan perkawinan.

Selanjutnya untuk pengumpulan datanya menggunakan observasi, wawancara mendalam (indept interview), studi dokumentasi, dan fokus grup diskusi (FGD) jika diperlukan (tentative). Elizabeth Murphy And Robert Dingwal menjelaskan bahwa beberapa teknik ini digunakan untuk dipilih didasarkan pada prinsip sebagaimana disebutkan oleh Atkinson, bahwa kita tidak dapat meneliti realitas sosial tanpa menjadi bagian dari realitas itu sendiri. Disamping itu riset ini juga dalam pengumpulan datanya menggunakan studi dokumentasi. Dimana data-data yang telah dikumpulkan melalui observasi partisipan dan wawancara mendalam merupakan data primer, sementara data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen baik berupa buku, catatan harian, surat keputusan dan dokumen lainnya yang relevan dengan tema studi ini merupakan data sekunder. Sehingga tujuan penelitian ini akan mencoba mendeskripsi, mengungkap dan menjelaskan tentang sistem atau pola gerakan

(24)

915

perempuan yang dilevel desa/gampong hingga kabupaten/kota di Banda Aceh dalam menjawab kebutuhan perempuan.

IV. Temuan dan Pembahasan

Dari hasil temuan lapangan banyak hal yang menarik yang dapat dirangkum dan dijelaskan dalam artikel ini terutama menjawab tentang tujuan penelitian yang menjadikan perempuan sebagai kekuatan baru bagi laki-laki di Aceh dalam merancang program pembangunan yang berkeadilan gender. Aceh sebagai kota yang dulunya memiliki ketokohan kepemimpinan perempuan menjadi kekuatan tersendiri dalam melihat gerak-gerik perempuan dewasa ini terjun keranah publik. Memang bukan hal yang baru lagi bagi publik memahami Aceh, karena Aceh pernah menjadi primadona di Asia tenggara dalam menggerakkan perempuan terjun kedunia publik, tetapi ada yang lebih unik ketika Aceh dihadapkan dengan persoalan konflik berkepanjangan dari sejak kolonialisme masa penjajahan hingga masa kelam konflik GAM-RI, sampai kepada traumatik gempa dan tsunami. Tetapi itu semua mampu dilalui dan bahkan Aceh menjadi salahsatu provinsi bagian ujung barat Indonesia memberikan nilai tersendiri bagi perjuangan perempuan terlibat aktif dalam pembangunan. Bahkan perempuan dilevel grassroot pun mampu melahirkan inovasi sosial. Seperti halnya menyuarakan aspirasinya agar Musrena sebagai sebuah afirmatif Musrenbang.

Sebagai sebuah bentuk afirmatif Musrenbang dari pemerintah dalam rangka peningkatan partisipasi aksi perempuan dalam pembangunan, dibentuknya Forum Musrena yang telah dilakukan secara berkesinambungan selama 11 tahun, sejak 2007-2018, di Kota Banda Aceh, dengan mekanisme pelaksanaan penjaringan informasi dan program kegiatan sejak dari Pra Musrena yang dirancang dari Desa/gampong, hingga kelevel Kecamatan, sampai dengan masuk kedalam realisasi Musrenbang ditingkat Kota, sampai sekarang terus

(25)

916

disempurnakan sesuai situasi dan kondisi. Dan hasil setiap tahunnya juga sudah ada yang diintergrasikan ke dalam program SKPK walaupun tidak meningkat secara signifikan. Oleh karena itu, maka sampai saat ini Musrena masih diperlukan untuk terus menjadi wadah pembelajaran bagi perempuan dalam menyampaikan aspirasi dan inspirasinya, serta membantu perencanaan pembangunan kota yang partisipatif gender (Masrizal 2015). Selain itu, pelaksanaan Musrena ini, sudah mulai dikenal dan dipelajari oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam rangka pengembangan, penyempurnaan dan program replikasi untuk melakukan sistem perencanaan pembangunan yang partisipatif.

4.1. Gerakan Komunitas Balee Inong di Kota Banda Aceh

Kota Banda Aceh merupakan salahsatu dari empat kota/kabupaten (Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar), yang terparah diterjang gempa dan gelombang Tsunami pada 2004 yang silam, tetapi semangat institusi pemerintahanya, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, dan tidak terkecuali kelompok perempuannya telah bangkit kembali dari keterpurukan tersebut membuat kota ini kembali memiliki nilai yang menjadi pusat pemerintahan, pendidikan dan pusat ekonomi untuk provinsi Aceh, bahkan dewasa ini semangat kemandirian perempuan, tidak hanya perempuan yang ikut mengenyam pendidikan formal Sekolah Dasar - Perguruan Tinggi (SD-PT), tetapi perempuan desanya juga ikut mendapatkan pendidikan informal yang dikembangkan oleh institusi pemerintah, perguruan tinggi dan beberapa LSM lokal, nasional dan internasional.

Kemandirian perempuan Aceh yang terkenal sejak tempo dulu ikut mempengaruhi gerakan perempuannya dewasa ini. Padahal sejarah mencatat dengan jelas bagaimana perempuan Aceh sulitnya saat konflik, dimana mereka berperan sebagai seorang ibu dan seorang pencari nafkah bagi keluarganya karena sang suami meninggalkan rumah untuk ikut bergabung dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Belum pulih akibat traumatik konflik

(26)

917

yang berkepanjangan mereka harus dihadapkan dengan musibah gempa dan tsunami 2004 silam, dimana harus kehilangan keluarga (suami, anak, orang tua) dan sanak keluarga lainnya. Namun menariknya sebegitu sulitnya kondisi perempuan Aceh, tetapi mereka masih tetap semangat untuk menghidupkan ekonomi rumah tangganya, dan bahkan ikut bersama dengan perempuan lainnya mendirikan sebuah komunitas untuk membuktikan kepada khalayak (publik) bahwa mereka adalah perempuan yang pantang menyerah dalam mengarungi kehidupan.

Balee Inong adalah salahsatu komunitas yang ada di Kota Banda Aceh yang sangat aktif terlibat dalam menyuarakan aspirasi perempuan dalam pembangunan. Balee Inong yang identik dengan sebutan BI ini telah berdiri sejak 2007 silam, komunitas ini awalnya dari perkumpulan ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam kegiatan rutin bulanan arisan (Julo-julo) ibu-ibu yang berada pada kecamatan Meuraxa Banda Aceh yang waktu pembentukannya difasilitasi oleh LSM lokal dan internasional. Awalnya komunitas ini berada pada tiga desa atau gampong istilah di Aceh, yakni di desa Lamjabat, desa Lampaseh Aceh dan desa Punge Jurong. Lambat-laun komunitas ini terus berkembang hingga sekarang sudah ada pada masing-masing desa di Kota Banda Aceh dengan sentral kegiatannya pada tingkat kemukiman. Komunitas BI ini sekarang menjadi primadona di masing-masing desanya, karena keberadaam mereka sangat memberi dampak positif bagi kepala desa (keuchik) dan apararatur pemerintahan lainnya, baik dilevel desa khususnya juga dilevel kecamatan, bahkan hingga kelevel kabupaten/kota. Seperti halnya kutipan wawancara dengan beberapa ketua Balee Inong di Banda Aceh

“Kami baru sekarang ini merasakan keterlibatan kami menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh pak Keuchik hingga pak Camat, belum lagi bapak dewan yang terhormat, yang menjadikan kami para komunitas Balee Inong sebagai mitra mereka, apakah itu persoalan dengan program kerja maupun dengan membantu mereka dalam hal merealisasikan aspirasi dewan untuk kegiatan peningkatan kapasitas perempuan di tingkat desa”. (inti Kutipan wawancara dengan Ketua Balee Inong, Neusu Aceh, Geuceu Meunara dan Lamjamee).

(27)

918

Meningkatnya partsisipasi perempuan yang diperankan oleh komunitas BI di atas membuktikan bahwa keberadaan perempuan menjadi sangat dibutuhkan oleh stakeholder terkait, terutama dalam menjalankan misi mereka sesuai dengan kerjasama kedua belahpihak. Jika hal ini terus berlanjut maka dipastikan sesuatu yang dulunya subordinat perempuan di Aceh sekarang terjadi pergeseran kearah yang lebih baik. Bahkan keberadaan perempuan sekarang yang dulunya tidak dilibatkan secara aktif kedalam Musrenbang sekarang kehadiran mereka menjadi sesuatu yang ditunggu. Terutama dalam membahas program kerja yang berbasis pada kebutuhan perempuan dan program kerja lainnya yang menjadi kepentingan berbasis gender. Komunitas BI ini sekarang sudah 18 (delapan belas) yang terletak pada 9 Kecamatan di Kota Banda Aceh.

4.2. Legalisasasi Musrena sebagai kekuatan Komunitas Balee Inong di Ranah Publik Untuk memperkuat regulasi Musrena dari sisi legal-formal pada ditingkat lokal dan nasional, maka dijelaskan beberapa regulasi di tingkat lokal yang menjadi acuan, yakni:

1. Perwal MUSRENA, No. 52 tahun 2009 2. QANUN Kota Berkeadilan Gender; 3. RPJM (2017-2022);

4. Renstra, Renja, KUA/PPAS.

Sedangkan regulasi nasional yang dijadikan sandaran dan juga untuk menjaga sustainibilitas khususnya terkait dengan hambatan-hambatan adininistrative merujuk regulasi pembangunan partisipatif, utamanya:

1. UU RI No. 25 Th. 2004 (UU 25/2004) tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN);

(28)

919

3. UU RI No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah;

4. UU RI No. 7 Th. 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriininasi Terhadap Perempuan (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29 Tambahan Lembaran Negara 3277);

5. UU RI No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia;

6. UU RI No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah tangga; - UU RI No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas khususnya Bab VIII tentang kedudukan dan kualitas hidup perempuan;

7. UU RI No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, terutama pada: Ps. 75 tentang keterwakilan perempuan dan Partai politik lokal,Ps. l38tentang perempuan dan pembentukan MPU,Ps. 154 tentang perempuan dan perekonoinian, ps. 215 tentang perempuan dan pendidikan,ps. 23l tentang perempuan dan anak dan HAM.PS 226 tentang perempuan dan kesehatan dan psikososial;

8. Instruksi Presiden RI No. 9 Th. 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional;

9. PP No. 19 Th. 2001 mengenai pengarusutamaan gender;

10. Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri No.0008/M. PPN/01/2007 dan 050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Penvelenggaraan MUSRENBANG Tahun 2007. SEB ini merupakan peraturan transisi sambil menunggu keluamya peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaan UU SPPN;

11. Konvensi Mengenai Hak-hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women, New York 31 March 1953), Indonesia meratifikasi konvensi tanggal 16 Desember 1998);

(29)

920

12. PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan dan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, Pelaksanaan Evaluasi Pembangunan Daerah.

Berdasarkan dari regulasi lokal dan nasional di atas menjadikan gerakan perempuan di Indonesia memiliki kekuatan dalam menjalankan misinya diranah publik. Khususnya Aceh sebagai provinsi yang sudah memiliki sejarah luar biasa dalam pergerakan perempuannya sejak kepemimpinan Keumalahayati (1599), dengan mengumpulkan janda-janda perang sebanyak 2000 orang untuk membentuk gerakan bersenjata yang diberi nama dengan Pasukan Inong Balee untuk melawan penjajah, Kemudian kepemimpinan Sultanah Safiatuddin (1641-1675) menjadi raja perempuan pertama di Asia Tenggara, setelah itu lahir gerakan perang gerilya yang dipimpin oleh Tjut Nyak Dhien (1896-1910) memimpin perang melawan kolonial (penjajah) (Farid Wajidi 2008; Ozay 2011; Sufi 1994). Historical semacam ini dalam pandangan Foucault sebagai sebuah kekuatan turunan dari geneologi sedangkan Bourdieu menamainya dengan habitus.

4.3. Forum Musrena Sebagai Wadah Posisi Tawar Perempuan dalam Pembangunan Pelaksanaan Musrena bagi perempuan di Kota Banda Aceh dilaksanakan setiap bulan Februari, sejak mulai tahun 2007 silam, pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut adalah perwakilan perempuan dalam komunitas Balee Inong, dan ibu-ibu pengurus PKK se Kota Banda Aceh, pemerintah Kota Banda Aceh, semua SKPD (satuan kerja pemerintah daerah), Anggota DPRK Kota Banda Aceh, para camat dan Keuchik se Kota Banda Aceh, LSM Perempuan Kota Banda Aceh.

Kegiatan Musrena ini difasilitasi oleh Bappeda Kota, dan Kepala Kantor Badan PP&KB, dengan fasilitatornya dari institusi perguruan Tinggi dan pihak LSM Perempuan. Pelaksanaannya selama tiga hari dibagi pada tiga regional. Setiap hari ada satu regional. Setiap regional terdiri dari 3 Kecamatan. Regional 1 (Kecamatan Lhung Bata, Ulee Kareng

(30)

921

dan Syiah Kuala), regional 2 (Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Kuta Raja dan Jaya Baru) sedangkan regional 3 (Kecamatan Banda Raya, Baiturrahman dan Kuta Alam). Pada tiap harinya peserta utama adalah komunitas Balee Inong dan ibu-ibu pengurus PKK, perwakilan Keuchik se Kota Banda Aceh dan menghadirkan narasumber dari SKPD Terkait, Anggota DPRK sesuai Daerah Pemilihannya (Dapil regional) dengan dimoderatori/fasilitator dari pihak perguruan tinggi dan pihak LSM Perempuan. Pertemuan tersebut membahas usulan yang telah disiapkan oleh masing-masing peserta dari masing-masing kebutuhan dasar desanya, dan dari usulan tersebut dipilih prioritas program kegiatannya sesuai dengan alokasi Anggaran pada tiap tahunnya.

Pasca pelaksanaan pembahasan program kegiatan, maka forum tersebut menunjuk dua wakilnya pada masing2 regional agar menyampaikan aspirasinya pada pelaksanaan Musrenbang, yang menjadi final pengalokasian Anggaran yang dibahas pada forum Musrenbang di Balai Kota Banda Aceh atawa balai Pertemuan Bappeda Kota Banda Aceh. Kedua perwakilan masing dapil tersebut menyuarakan aspirasi yang telah didapatkan dari Musrena dengan berkoordinasi dengan para dewan, camat, keuchik dalam lingkungan regional tersebut. Pentingnya koordinasi agar usulan yang telah disampaikan bisa dikontrol oleh masing-masing operator kecamatan yang telah memiliki tugas dan fungsinya mengontrol mata anggaran yang telah disepakati bersama dalam Musrenbnag ditingkat kabupaten/kota.

Berikut keterangan Kegiatan Musrena berdasarkan Regional, antara lain:

TERTIB ACARA MUSRENA 2016

Hari/Tanggal : Kamis / 18 Februari 2016 Tempat : Aula Kecamatan Syiah Kuala

NO WAKTU

(wib) ACARA PELAKSANA KETERANGAN

(31)

922 09.20 - Pembacaan ayat suci Al

Quran

- Pembacaan Saritilawah

Panitia

2 09.21 – 09.30

Laporan Panitia Pelaksana Kepala Bappeda 3 09.31 – 09.50 Sambutan dari DPRK (tentative) Ketua DPRK atau yang mewakili Tentative (Apabila ybs tidak hadir, dapat diganti dengan sambutan Camat pelaksana) 4 09.51 –

10.35

Sambutan Walikota Banda Aceh, sekaligus membuka secara resmi pelaksanaan Musrena Tahun 2016 Walikota Banda Aceh 5 10.36 – 10.45 Do'a Panitia 10.46 – 11.00 R e h a t 6 11.01 – 11.25 Paparan kerangka

penganggaran Pemko (situasi terkini) Bappeda (koordinator/ Kabid. Sosial) Presentasi 7 11.26 – 12.30

Review partisipasi perempuan dalam perencanaan gampong (musrenbang 2016) Fasilitator Brainstorming (tiap BI) 12.31 – 14.00 I S H O M A 8 14.01 – 14.20

Teknis perumusan prioritas Fasilitator Presentasi

14.21 - 15.10 Diskusi kelompok merumuskan prioritas usulan kegiatan tahun 2017.

Fasilitator Diskusi kelompok

9 15.11– 15.50 Perumusan prioritas dan pemilihan perwakilan perempuan (tiap kecamatan) dalam Forum SKPD.

Fasilitator Interaktif, pleno

10 15.51 – 16.00

(32)

923

a.n. KEPALA BAPPEDA KOTA BANDA ACEH

Sekretaris,

Muhammad Ridha, S.STP.,MT.M.Sc Penata Tk. I (III/d)

Nip. 19820714 200112 1 003

4.4. Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender Melalaui Ranah Musrena dan Musrenbang Advokasi anggaran berkeadilan gender mulai dipraktikan sejak 2001 oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anggota forum Gender Budget Analysis yang bekerja pada tingkat nasional dengan jaringan di daerah dan anggota forum yang bekerja di daerah. Pada level nasional, forum tersebut melakukan advokasi gender budget dengan mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) agar mengalokasikan anggaran sebesar 30 persen untuk sektor pendidikan, kesehatan 15 persen, dan anggaran pemberdayaan perempuan 5 persen dari APBN (Ketetapan MPR Nomor 6 Tahun 2002). Untuk di Banda Aceh dipertegaskan lagi dengan lahirnya Perwal Musrena Nomor 52 tahun 2009 yang mengharuskan 5% dari Alokasi Anggaran pada SKPD diarahkan pada realiasi program yang berkeadilan gender. Berdasarkan dari berbagai kekuatan hukum tersebut sehingga kegiatan Musrena di Kota Banda Aceh berjalan dengan baik dan akan diberhentikan ketika Musrenbang sudah mengakomodir partisipasi penuh perempuan dalam Musrenbang, hingga tahun kesebelas Musrena masih dilihat ada kekurangan, untuk itu Musrena yang berada dibawah kendali Bappeda Kota Banda Aceh terus berbenah untuk perbaikan Musrena selanjutnya dengan selalu menjalin koordinasi dengan pihak terkait.

Musrenbang sebagai suatu kegiatan tahunan yang diamanatkan oleh Undang-undang, merupakan ajang bertemunya warga gampong untuk mendiskusikan permasalahan mereka dan memutuskan prioritas pembangunan jangka pendek. Musrenbang merupakan bentuk

(33)

924

partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara bottom-up dengan memastikan pembangunan sesuai dengan kebutuhan. Dalam rangka mensosialisasikan sistem baru musrenbang secara online, Bappeda mengundang para camat dan geuchik/kepala desa, perwakilan perempuan dalam kawasan Kota Banda Aceh untuk memperkenalkan aplikasi electronic Musrenbang.

Meskipun sejak 2007 dilaksanakan Musrena, baru pada 2015 yang silam, memberikan dampak yang sangat signifikan dalam pengalokasian program yang berkeadilan gender yang masuk kedalam penganggaran (budgeting) Musrenbang. Sebagaimana laporan Bappeda Kota Banda Aceh yang telah merancang Kamus e-Musrenbang yang di dalam program tersebut pagu indikatifnya dari total budgeting 200 Juta rupiah per desa/gampong, dimana 10% diperuntukkan untuk kegiatan organisasi Balee Inong dan PKK dan 90 % lainnya untuk kegiatan gampong yang dikelola oleh aparatur gampong, dari 90 gampong yang ada di Kota Banda Aceh. Bahkan hingga sekarang budgeting untuk perempuan terus mendapatkan suntikan dana bagi kegiatan komunitas perempuan yang ada dimasing-masing desa di Kota Banda Aceh. Realitas ini membuktikan bahwa Musrena telah menjadi salahsatu forum yang sangat bermanfaat bagi pemerintah kota dalam menjalankan program yang berkeadilan gender. Dan bisa saja suatu saat forum Musrena ini akan hilang melebur dalam Musrenbang jika halnya keadilan gender telah mengakomodir sepenuhnya setiap kebutuhan perempuan. Menguatnya komunitas perempuan dilevel grassroot ini akan memberikan dampak positif terhadap pembangunan Kota Banda Aceh, sebagaimana temuan (Kusmawati Hatta dkk 2012) yang menjelaskan bahwa perempuan yang bekerja disektor ekonomi atawa pedagang kaki lima asal kota Banda Aceh yang berjualan di pasar Peunayong, pasar Ulee Kareng dan pasar Aceh sangat mendukung PDRB (produk domestik regional bruto) Kota Banda Aceh.

Sampai saat ini komunitas Balee Inong yang dimotori oleh kelompok perempuan ibu-ibu rumah tangga terus aktif beraktifitas ditengah-tengah masyarakat (Kusmawati Hatta dkk

(34)

925

2015). Kekuatan yang mendasarinya adalah kuatnya konsep kekerabatan yang dibentuk sesama anggotanya. Misalnya dalam bidang ekonomi komunitas ini memiliki kelompok usaha pada masing-masing desa dengan menggunakan pola konsep tanggung renteng (Masrizal 2016). Apabila dilihat pola pengembangannya meniru pola misi terbentuknya komunitas

grameen bank yang dikembangkan dalam kajiannya (Muhammad Yunus 2017a; Yunus 2007)

yang menjelaskan bahwa penghapusan kemiskinan, penyediaan pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan kerja bagi kaum miskin, kesetaraan jender melalui pemberdayaan perempuan serta memastikan kesejahteraan manula, semua merupakan tujuan-tujuan sosial yang menjadi komitmen Grameen Bank. Grameen bukanlah bank non riba, Grameen bank menyalurkan tiga jenis kredit dan membebani masing-masing kredit tersebut dengan suku bunga berbeda-beda antara lain: Pertama, Kredit mata pencaharian dengan suku bunganya 20 %. Kedua, kredit perumahan dengan suku bunganya 8 % dan ketiga, kredit pendidikan tinggi anak-anak keluarga nasabah grameen dengan suku bunga 5 % (Muhammad Yunus 2017b).

Gerakan perempuan sebagai agen-agen sosial yang diperankan oleh individu-individu yang mengkonstruksi sekeliling mereka (desa), akan menjadi menarik jika ditinjau dari perspektif studi feminisme. Irwan Abdullah dengan pendekatan post feminisme menjelaskan bahwa relasi sosial bukan lagi bersifat top-down, melainkan bersifat horizontal yang menyangkut hubungan-hubungan yang sinergis dan kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan bertindak sebagai pelaku dalam proses sosial, karena perempuan sebagai aktor utama dalam kehidupan (Abdullah 2016). Apalagi desa atau daerah tersebut telah memiliki nilai historis gerakan perempuan sejak masa kolonial hingga sekarang. Aceh merupakan daerah yang sangat unik kental dengan keislamannya. Namun, harus juga diakui bahwa nilai agama merupakan jantung kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh, intinya bahwa kehidupan perempuan Aceh sangat ditentukan oleh budaya patriarkhi (Sukiman 2010).

(35)

926

Seorang perempuan jika sudah menikah maka dituntut untuk selalu tunduk dan patuh kepada suaminya sebagai kepala keluarga. Sebagai mana yang dijelaskan dalam Al-quran Surat An-Nisa ayat 34 yang artinya “…Kaum Laki-laki adalah pemimpin (qawwaamum) atas kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain…” maksudnya adalah agar perempuan dapat diarahkan oleh suaminya (Hastanti, Nugroho, and Murtiningsih 2008; Ilyas 2015; Nurjanah 2003)

Faktor penghambat yang sekarang sedang dipikirkan oleh komunitas Balee Inong dalam menjalankan misi komunitasnya adalah dalam bidang politik, khususnya keterlibatan perempuan pada partai politik hingga menuju gedung dewan Kota Banda Aceh masih kurang, misalnya sejak dicetuskannya Musrena hingga sekarang keterwakilan perempuan di dewan masih kurang. Intinya secara politik perempuan Aceh dewasa ini masih jauh tertinggal dari laki-laki, meskipun telah ada undang-undang yang mengatur adanya kuota 30% perempuan di legislatif, tetapi faktanya perempuan Aceh masih jauh dari harapan capaian tersebut. Realitas pemilihan legislatif tahun 2014-2019, pada tingkat provinsi Aceh perempuan hanya 13% atau 11 orang dari jumlah total 81 kursi, sedangkan di level kabupaten/kota, khususnya di Kota Banda Aceh Perempuan hanya terwakilkan 1 orang atau 3 % dari total 31 Kursi terpilih di legislatif, sejak dari periode 2009-2014 hingga sekarang dari jumlah total anggota dewan 31 kursi atas dasar itu pula Musrena menjadi sebagai sebuah kekuatan politik baru bagi perempuan Kota Banda Aceh (KIP Banda Aceh tahun 2014). Khusus untuk Kota Banda Aceh komunitas perempuan Balee Inong berharap pada tahun 2019 kedepan ini ada tiga wakil perempuan di dewan kota Banda Aceh. Sehingga keberadaan forum Musrena akan terus diperjuangkan dalam posisi tawarnya di Musrenbang yang menjadi nilai dasar menjawab kebutuhan perempuan. Sehingga harapannya perempuan akan terus mendapatkan ruang publik yang lebih dari sekarang.

(36)

927

4.5. Musrena sebagai sebuah Inovasi Perencanaan Pembangunan berbasis Perempuan dalam Pembangunan

Inovasi perencanaan pembangunan berbasis perempuan yang menjadi primadona dalam keterlibatan penuh perempuan di Kota Banda Aceh adalam forum Musrena, bahkan forum ini telah mendapatkan banyak rewards dari pemerintah provinsi, pusat hingga internasional. Beberapa penghargaan yang telah diperoleh antara lain: Gender Awareness Award dari pemerintah german (2008), Inovasi Musrena Menjadi Best Practice-Apeksi (2011), Pemko Banda Aceh berhasil meraih penghargaan IGA berkat adanya program Musrena dan E-Kinerja. Selanjutnya Kementerian PPN/Bappenas RI menetapkan Pemerintah Kota Banda Aceh sebagai pilot project Open Goverment Indonesia (OGI) yang juga menjadi salah satu program prioritas Presiden Jokowi. Selain itu, Banda Aceh juga diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam Open Goverment Partnership (OGP) secara global, salahsatu penilaianya adalah program Musrena. Banyaknya inovasi yang diperoleh oleh Pemerintah Kota Banda Aceh tersebut tidak terlepas dari aktifnya komunitas Balee Inong dalam menjadikan komunitasnya bermanfaat tidak hanya dilevel desanya masing-masing juga untuk mendukung pemerintah kota.

5. Penutup

Forum Musrena menjadi sebuah inovasi bagi perempuan dalam perencanaan pembangunan yang berkeadilan gender. Musrena akan menjadi langkah awal bagi perempuan dalam menuangkan segala aspirasinya dalam bidang pembangunan. Apa yang telah dikembangkan di Aceh, khususnya di Banda Aceh dapat menjadi rujukan untuk wilayah lainnya di Indonesia dalam menampung aspirasi perempuan dalam pembangunan, karena perempuan butuh tempat atau wadah bagi mereka sendiri dalam menuangkan apa yang menjadi

(37)

928

kebutuhannya. Karena tidak semua kebutuhan perempuan dapat dengan mudah disampaikan pada forum besar seperti Musrenbang yang menjadi andalan pemerintah dalam menyampaikan segala aspirasinya. Berdarskan dari temuan penilitian ini maka dapat ditarik beberapa hal dari artikel ini antara lain:

Pertama, forum Musrena sebagai sebuah sarana bagi gerakan perempuan, untuk melihat cara berfikir perempuan, perjuangan perempuan yang dapat dimengerti oleh kaum laki-laki dan idenya bisa diterima oleh laki-laki-laki-laki, dengan tujuan akhirnya adalah mengangkat harkat martabat perempuan Aceh umumnya dan khusussnya perempuan Kota Banda Aceh. Kedua, melihat program pemberdayaan perempuan dari alokasi dana gampong (ADG/ADD), selama ini dana ADG menjadi lahan perebutan kekuasaan banyak pihak dilevel gampong, sehingga kebutuhan perempuan kurang diperhatikan, hampir sebagian dananya diarahkan kepada infrastruktur dan kurang menyentuh kepada penguatan potensi yang dimiliki oleh perempuan. Forum Musrena menjadi salahsatu wadah negosiasi perempuan Kota Banda Aceh Pada tahun 2015 dari alokasi dana gampong (ADG/ADD), sehingga perempuan telah dapat akses untuk mengelola dana masing-masing 20 Juta/gampong, dari total 90 gampong ada sekitar 1,8 Milyar perempuan kota Banda Aceh mengelola anggaranya. Dengan potensi perempuan yang dimilikinya sekarang akan melihat tuntutan kelompok perempuan pada tataran ekonomi, yang arahnya bagaimana konsep ekonomi diterjemahkan sebagai sebuah eksistensi atau keberadaannya diarahkan kepada politik identitas.

Ketiga, forum Musrena dan Musrenbang menjadi dua arena bagi perempuan dalam menyampaikan aspirasinya dalam pembangunan. Sehingga perempuan mendapatkan haknya baik secara individu maupun institusi dalam menunjang kreatifitas perempuan dalam pembangunan dengan tujuang menjawab sustainable development goals-SDGs.

(38)

929 Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2016. “Kekerasan: Mispresentasi Perempuan Dalam Ruang Publik (Suatu

Agenda Penelitia).” Jurnal Studi Gender Dan Anak UIN Banten 3(2): 31–44.

Creswell, John W. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Farida, Anis. 2012. “Gerakan Sosial Lokal Perempuan.” Universitas AirLangga Surabaya. Farid Wajidi, ed. 2008. Aceh Bumi Srikandi. Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam.

Hastanti, Widy Nugroho, and Siti Murtiningsih. 2008. “Paradoks Gender (Kajian Feminisme

Etis Terhadap Kemunculan Inong Balee Dalam Kekerasan Politik Di Aceh).” Jurnal Filsafat 18(3): 295–313.

Ilyas, Yunahar. 2015. Kesetaraan Gender Dalam Al-Quran ( Studi Pemikiran Para Mufasir). Yogyakarta: ITQAN Publishing.

Kusmawati Hatta dkk. 2012. Analisis Pengembangan Usaha Ekonomi Perempuan Di Kota

BAnda Aceh. Yogyakarta: Samudra Biru.

———. 2015. Modul Pemberdayaan Perempuan ( Sebuah Analisa Balee Inong Dan Relasi

Sosial). Banda Aceh: WDC Banda Aceh kerjasama Ford Foundation.

Mansoer Fakih. 2008. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist Press. Masrizal. 2015. “Musrena Dan Perencanaan Pembangunan Berbasis Kamus E-Musrenbang

(Studi Pada Kebijakan Pembangunan Yang Berspektif Gender Di Kota Banda Aceh).” In Gerakan Sosial, Padang: Lab Sosiologi Unand - APSSI, 2052–65.

Masrizal, Khairulyadi. 2016. “Sistem Kelompok Balee Inong Dalam Meningkatkan

Kebutuhan Pangan Rumah Tangga Melalui Konsep Tanggung Renteng.” Jurnal Ekonomika VII. http://jurnal.umuslim.ac.id/index.php/eko/article/view/511.

Muhammad Yunus. 2017a. A World of Three Zeros : The New Economic of Zero Proverty,

Zero Unemployment, and Zero Net Carbon Emission. New York: Public Affairs.

Muhammad Yunus, Karl Weber. 2017b. A World of Three Zeros (The New Economic of Zero

Poverty, Zero Unemployment, and Zero Net Carbon Emissions). New York: Public

Affairs.

Nana Nurliana Soeyono. 2014. “Gerakan Perempuan Di Amerika.” Jurnal Perempuan.

Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln. 1994. Handbook of Qualitative Research. London: SAGE Publication.

Nurjanah. 2003. Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran. Yogyakarta: LKiS.

Oman Sukmana. 2016. Konsep Dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing.

Ozay, Mehmet. 2011. “Women as Rulers Phenomenon in Southeast Asian Islamic Society : The Queens of Aceh.” World Journal of Islamic History and Civilization 1(3): 142–51. Septiawan Santana K. 2010. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:

(39)

930

Shulamit Reinharz. 1992. Metode-Metode Feminis Dalam Penelitian Sosial. Jakarta: Women Research Institute.

Sufi, Rusdi. 1994. Sejarah Kotamadya Banda Aceh. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Sukiman. 2010. “Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami Ke Arah Pembanguna

Berasaskan Islam.” Miqot 36(2): 303–21.

Tim UNFGI dan PPKK UGM. 2013. Policy Brief, Partisipasi Perempuan Dalam

Pembangunan : Mengurai Musrena Banda Aceh. Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Pemodelan 2D geolistrik pada line 1 yang terletak di bagian barat laut daerah penelitian menunjukan 4 lapisan batuan dengan rentang seperti yang terlihat gambar

Dengan rendah hati penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh. karena itu penulis mohon saran, kritik dan tanggapan dari pembaca untuk

Erlina Dayanti, M.Kom Dian Ade Kurnia, M.Kom.

15 31111434 ADAM SUWARDI APLIKASI PENGAJUAN KESEDIAAN MENGAJAR ONLINE DI STMIK CIREBON Dian Ade Kurnia, M.Kom. 17 31111321 DWI SOLEHA RINI APLIKASI PENGOLAHAN DATA PERMOHONAN

Ada empat kelas imam dalam menjalankan praktik keagamaan: yang pertama adalah Ashipu , bertugas mengusir roh jahat, dipercaya dapat membebaskan orang dari pengaruh

Penelitian ini menunjukan bahwa hasil pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) metode westergreen manual dengan metode automatic menggunakan alat Caretium XC- A30 dengan nilai p =

Hasil penelitian Syukor (2017) menunjukan penurunan perbandingan volume sampel terhadap antikoagulan mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai Prothrombin Time

Beberapa parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu nilai Chemical Oxygen Demand (COD) ALPKS masuk (inlet), ALPKS keluar/efluen (outlet) dan lindi dari proses pengomposan,