• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 UMUM

Transportasi dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan perpindahan orang dan atau barang dengan menggunakan kendaraan atau alat lain dari suatu tempat ke tempat yang lainnya yang terpisah karena kondisi geografis (Steenbrink,1974). Dalam sistem transportasi dapat dievaluasi dengan melihat tiga indikator utama yaitu:

a. Ubiquity (daya jangkau/aksesbilitas, arah lintasan, fleksibilitas sistem) b. Mobilitas (kuantitas pergerakan yang dapat dilayani)

c. Efisiensi (hubungan antara biaya transportasi dan produktivitas)

Sedangkan lalu lintas adalah bagian dari sistem transportasi yang merupakan kegiatan lalu lalangnya orang dan / atau kendaraan pada suatu ruas jalan dan dalam kurun waktu tertentu (Warpani. S, 1990) Dari kedua pengertian di atas terdapat kesamaan bahwa setiap kegiatan perpindahan memerlukan prasarana jalan. Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Yang termasuk dalam bagian jalan terdiri dari Daerah Manfaat Jalan, Daerah Milik Jalan dan Daerah Pengawasan Jalan.

Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penetapannya kecuali didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas, dan di pihak lain jalan harus memberikan kemudahan untuk :

a. Menggerakkan volume lalu lintas yang tinggi serta efisien dan aman. b. Menyediakan akses bagi lahan di sekitarnya.

Penyebab permasalahan transportasi adalah bahwa tingkat pertumbuhan prasarana transportasi tidak bisa mengejar tingginya tingkat pertumbuhan kebutuhan akan transportasi (Tamin,1997).

(2)

Elemen permasalahan transportasi di wilayah perkotaan antara lain adalah: 1. Performance (penampilan) kendaraan umum

2. Tingkah laku pengemudi dan pejalan kaki. 3. Pola jaringan jalan.

4. Manajemen lalu lintas

5. Fasilitas parkir dan managemen.

6. Perlintasan jaringan jalan dan rel Kereta Api 7. Angkutan umum jalan

8. Koordinasi antar moda

9. Koordinasi antar tataguna lahan dan transpotasi.

10. Sumber pendanaan untuk sarana dan prasarana transportasi

Oleh karena itu, untuk meningkatkan prasarana transportasi pemerintah banyak melakukan kajian transportasi dan juga beberapa tindakan lain bersama beberapa instansi dan departemen terkait. Usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah:

1. Meredam atau memperkecil tingkat kebutuhan transportasi.

2. Meningkatkan pertumbuhan prasarana transportasi itu sendiri, terutama penanganan masalah fasilitas prasarana yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

3. Memperlancar sistem pergerakan melalui kebijakan rekayasa dan manajemen lalu lintas yang baik.

2.2 MANAJEMEN LALU LNTAS

Manajemen lalu lintas adalah pengelolaan dan dan pengendalian arus lalu lintas dengan melakukan optimasi penggunaan prasarana yang ada.

(3)

2.2.1 Tujuan Manajemen Lalu Lintas

Tujuan dilakukannya Menejemen Lalu lintas adalah:

1. Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh dengan tingkat aksesbilitas (ukuran kenyamanan) yang tinggi dengan menyeimbangkan permintaan dengan sarana penunjang yang tersedia.

2. Meningkatkan tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat diterima oleh semua pihak dan memperbaiki tingkat keselamatan tersebut sebaik mungkin. 3. Melindungi dan memperbaiki keadaan kondisi lingkungan dimana arus lalu

lintas tersebut berada.

4. Mempromosikan penggunaan energi secara efisien dan pengurangan energi lain yang dampak negatifnya lebih kecil daripada energi yang ada.

2.2.2 Sasaran Manajemen Lalu Lintas

Sasaran manajemen lalu lintas sesuai dengan tujuan di atas adalah:

1. Mengatur dan menyederhanakan lalu lintas dengan melakukan terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk meminimumkan gangguan terhadap lalu lintas.

2. Mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan menaikkan kapasitas dan mengurangi volume lalu lintas pada suatu jalan. Melakukan optimasi ruas jalan dengan menentukan fungsi dari jalan dan kontrol terhadap aktivitas-aktivitas yang tidak cocok dengan fungsi jalan tersebut terkontrol.

2.3 KARAKTERISTIK JALAN

2.3.1 Klasifikasi Jalan

Menurut Peraturan Pemerintah No.26, 1985, jalan-jalan di lingkungan perkotaan terbagi dalam jaringan primer dan jaringan sekunder :

1. Sistem jaringan jalan primer

Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan peraturan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional,yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut :

(4)

a. Dalam Satuan Wilayah Pengembangan menghubungkan secara menerus kota jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota jenjang dibawahnya sampai ke Persil.

b. Menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu antar Satuan Wilayah Pengembangan.

Fungsi jalan dalam sistem jaringan primer dibedakan sebagai berikut : a. Jalan arteri primer

Jalan arteri primer menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.

b. Jalan kolektor primer

Jalan kolektor primer menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.

c. Jalan lokal primer

Jalan lokal primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan Persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan Persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan Persil atau dibawah kota jenjang ketiga sampai Persil.

2. Sistem jaringan jalan sekunder

Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua dan seterusnya sampai perumahan.

Fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dibedakan menjadi: a. Jalan arteri sekunder

Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

(5)

b. Jalan kolektor sekunder

Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.

c. Jalan lokal sekunder

Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

Klasifikasi menurut wewenang pembinaan dikelompokan menjadi : a. Jalan nasional b. Jalan propinsi c. Jalan kabupaten/kotamadya d. Jalan desa e. Jalan khusus Tipe Jalan

Tipe jalan ditentukan sebagai jumlah dari lajur dan arah pada suatu ruas jalan dimana masing-masing memiliki keadaan dasar (karakteristik geometrik) jalan yang digunakan untuk menentukan kecepatan arus bebas dan kapasitas jalan yang telah dibagi sebagai berikut :

1. Jalan Dua Lajur Dua Arah (2/2 UD) => 10,5 m Kondisi dasar tipe jalan ini didefinisikan sebagai berikut:

• Lebar jalur lalu lintas tujuh meter

• Lebar bahu efektif paling sedikit 2 m pada setiap sisi

• Tidak ada median

• Pemisahan arah lalu lintas 50-50

• Hambatan samping rendah

• Ukuran kota 1,0-3,0 juta

(6)

2. Jalan empat lajur-dua arah (4/2), dibagi 2 yaitu : => 10,5 - 16 m a. Tak Terbagi yaitu tanpa median (undivided) (4/2 UD)

• Lebar lajur 3,5 m (lebar jalur lalu lintas total 14,0 meter)

• Kereb (tanpa bahu)

• Jarak antara kereb dan penghalang terdekat pada trotoar ≥ 2 m

• Tidak ada median

• Pemisahan arah lalu lintas 50-50

• Hambatan samping rendah

• Ukuran kota 1,0-3,0 juta

• Tipe alinyemen datar

b. Terbagi yaitu dengan median (devided) (4/2 D)

• Lebar lajur 3,5 m (lebar jalur lalu lintas total 14,0 meter)

• Kereb (tanpa bahu)

• Jarak antara kereb dan penghalang terdekat pada trotoar ≥ 2 m

• Median

• Pemisahan arah lalu lintas 50-50

• Hambatan samping rendah

• Ukuran kota 1,0-3,0 juta

• Tipe alinyemen datar

3. Jalan enam-lajur dua-arah terbagi (6/2 D) => 18 - 24 m

• Lebar lajur 3,5 m (lebar jalur lalu lintas total 21,0 meter)

• Kereb (tanpa bahu)

• Jarak antara kereb dan penghalang terdekat pada trotoar ≥ 2 m

• Median

• Pemisahan arah lalu lintas 50-50

• Hambatan samping rendah

• Ukuran kota 1,0-3,0 juta

(7)

4. Jalan Satu Arah (1-3/1) => 10,5 m

• Lebar jalur lalu lintas tujuh meter

• Lebar bahu efektif paling sedikit 2 m pada setiap sisi

• Tidak ada median

• Hambatan samping rendah

• Ukuran kota 1,0-3,0 juta

• Tipe alinyemen datar

Hambatan Samping

Interaksi antara arus lalu lintas dan kegiatan di samping jalan yang berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan. Faktor yang berpengaruh antara lain yaitu :

- Pejalan kaki (PED) ⇒ bobot = 0,5

- Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti (PSV) ⇒ bobot = 1,0 - Kendaraan lambat (misal : becak, kereta kuda) (EEV) ⇒ bobot = 0,4 - Kendaraan masuk dan keluar dari lahan di samping jalan (SMV)

⇒ bobot = 0,7

Adapun kelas hambatan samping dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1

Kelas Hambatan Samping Jalan Perkotaan Kelas hambatan samping (SFC) Kode Jumlah berbobot kejadian per 200 m per jam (dua

sisi) Kondisi khusus Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi VL L M H VH < 100 100 – 299 300 – 499 500 – 899 > 900

Daerah pemukiman, Jalan samping tersedia Daerah pemukiman, Beberapa angkutan umum

Daerah industri, beberapa toko sisi jalan Daerah komersial, aktifitas sisi jalan tinggi Daerah komersial, aktifitas pasar sisi jalan Sumber : MKJI, 1997

(8)

2.4 KARAKTERISTIK LALU LINTAS 2.4.1 Kendaraan Rencana

Tabel 2.2

Pembagian Tipe Kendaraan

Tipe Kendaraan Kode Karakteristik Kendaraan

Kendaraan ringan LV Kendaraan bermotor beroda empat dengan gandar berjarak 2-3 m (termasuk kendaraan penumpang, oplet, mikro bis, pick up dan truk kecil)

Kendaraan Berat Menengah MHV Kendaraan bermotor dengan dua gandar yang berjarak 3,5–5 m (termasuk bis kecil, truk dua as dengan enam roda)

Truk besar LT Truk tiga gandar dan truk kombinasi dengan jarak antar gandar < 3,5 m

Bis besar LB Bis dengan dua atau tiga gandar dengan jarak antar gandar 5-6 m

Sepeda motor MC Sepeda motor dengan dua atau tiga roda (meliputi sepeda motor dan kendaraan roda tiga)

Kendaraan Tak Bermotor UM Kendaraan bertenaga manusia atau hewan diatas roda (meliputi sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

2.4.2 Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lenggang dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan besarnya kecepatan rencana adalah : 1. Keadaan medan (Terrain)

Untuk menghemat biaya tentu saja perencanaan jalan sebaiknya disesuaikan dengan keadaan medan. Sebaliknya fungsi jalan seringkali menuntut perencanaan jalan tidak sesuai dengan kondisi medan dan sekitar, hal ini dapat menyebabkan tingginya volume pekerjaan tanah. Untuk jenis medan datar, kecepatan rencana lebih besar dari pada jenis medan perbukitan atau pegunungan dan kecepatan rencana jenis medan perbukitan lebih besar daripada jenis medan pegunungan.

2. Sifat dan Penggunaan Daerah

Kecepatan rencana yang diambil akan lebih besar untuk jalan luar kota daripada jalan perkotaan. Jalan dengan volume lalu lintas tinggi dapat direncanakan dengan kecepatan tinggi, karena penghematan biaya operasi

(9)

kendaraan dan biaya lainnya dapat mengimbangi tambahan biaya akibat diperlukannya tambahan biaya untuk pembebasan tanah dan biaya konstruksinya. Tapi sebaliknya jalan dengan volume lalu lintas rendah tidak dapat direncanakan dengan kecepatan rendah, karena pengemudi memilih kecepatan bukan berdasarkan volume lalu lintas saja, tetapi juga berdasarkan batasan fisik, yaitu sifat kendaraan pemakai jalan dan kondisi jalan.

Tabel 2.3

Penentuan Kecepatan Rencana

Tipe Kelas Kecepatan Rencana (km/jam)

Tipe I Kelas 1 100 ; 80 Kelas 2 80 ; 60 Tipe II Kelas 1 60 Kelas 2 60;50 Kelas 3 40;30 Kelas 4 30;20

Sumber : Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, 1992

2.4.3 Arus dan Komposisi Lalu Lintas

Arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu titik pada ruas jalan tertentu persatuan waktu, yang dinyatakan dalam kend/jam (Qkend) atau

smp/jam (Qsmp). Pada MKJI 1997, nilai arus lintas (Q) mencerminkan komposisi

lalu lintas. Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total) di konversikan menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris untuk tiap tipe kendaraan.

Ekivalen mobil penumpang (emp) adalah faktor konversi berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan ringan lainnya sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu lintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan lainnya, emp =1,0). Sedangkan satuan mobil penumpang (smp) adalah satuan arus lalu lintas dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan dengan menggunakan emp.

Pembagian tipe kendaraan berdasarkan emp yaitu :

a. Kendaraan ringan (LV) meliputi mobil penumpang, minibus, pick up, truk kecil dan jeep atau kendaraan bermotor dua as beroda empat dengan jarak as 2.0 – 3.0 m (klasifikasi Bina Marga)

(10)

b. Kendaraan berat (HV) meliputi truck dan bus atau kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3.50 m, biasanya beroda lebih dari 4 (klasifikasi Bina Marga).

c. Sepeda motor (MC) merupakan kendaraan bermotor beroda dua atau tiga (klasifikasi Bina Marga).

Tabel 2.4

emp untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi

Tipe jalan : Tak terbagi

Arus lalu lintas total dua arah

(kend/jam)

emp HV

MC

Lebar jalur lalu lintas Wc (m)

< 6 > 6

Dua jalur,takterbagi

(2/2 UD) > 1800 0 1.3 1.2 0.50 0.35 0.40 0.25

Empat jalur, tak terbagi

(4/2 UD) > 1800 0 1.3 1.2 0.40 0.25

Sumber : MKJI,1997

Tabel 2.5

emp untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu Arah Tipe jalan :

Jalan satu arah dan jalan terbagi

Arus lalu lintas perlajur (kend/jam)

Emp

HV MC

Dua lajur, satu arah (2/1) dan

Empat lajur terbagi (4/2 D) > 1800 0 1.3 1.2 0.40 0.25

Tiga lajur satu arah (3/1) dan

Enam lajur terbagi (6/2 D) > 1800 0 1.3 1.2 0.40 0.25

Sumber : MKJI, 1997

2.4.4 Volume Lalu Lintas (Q)

Volume lalu lintas merupakan jumlah kendaraan yang melewati satu titik tertentu dari suatu segmen jalan selama waktu tertentu (Edward, 1978). Dinyatakan dalam satuan kendaraan atau satuan mobil penumpang (smp). Sedangkan volume lalu lintas rencana (VLHR) adalah perkiraan volume lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dan dinyatakan dalam smp/hari. Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar lajur adalah lalu lintas harian rata-rata, volume jam rencana dan kapasitas.

(11)

2.4.5 Lalu Lintas Harian Rata-rata

Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam satu hari. Dari cara memperoleh data tersebut dikenal 2 jenis lalu lintas harian rata-rata yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian rata-rata (LHR). LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dan diperoleh dari data selama satu tahun penuh. 365 . . . int .

.lalul asdalamsatutahun Jumlah

LHRT =

Pada umumnya lalu lintas jalan raya terdiri dari campuran kendaraan berat dan kendaraan ringan, cepat atau lambat, motor atau tak bermotor, maka dalam hubungannya dengan kapasitas jalan (jumlah kendaraan maksimum yang melewati 1 titik / 1 tempat dalam satuan waktu) mengakibatkan adanya pengaruh dari setiap jenis kendaraan tersebut terhadap keseluruhan arus lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan dengan mengekivalenkan terhadap kendaraan standar.

2.4.6 Volume Jam Rencana

Volume jam perencanaan (VJP) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk rencana lalu lintas dan dinyatakan dalam smp/jam. Arus rencana bervariasi dari jam ke jam berikut dalam satu hari, oleh karena itu akan sesuai jika volume lalu lintas dalam 1 jam dipergunakan. Volume 1 jam yang dapat digunakan sebagai VJP haruslah sedemikian rupa sehingga :

• Volume tersebut tidak boleh terlalu sering terdapat pada distribusi arus lalu lintas setiap jam untuk periode satu tahun.

• Apabila terdapat volume lalu lintas per jam yang melebihi VJP, maka kelebihan tersebut tidak boleh mempunyai nilai yang terlalu besar.

• Volume tersebut tidak boleh mempunyai nilai yang sangat besar, sehingga akan menyebabkan jalan menjadi lenggang.

(12)

VJP = LHRT x k Dimana :

LHRT : Lalu lintas harian rata-rata tahunan (kend/hari)

Faktor K : Faktor konversi dari LHRT menjadi arus lalu lintas jam puncak

Tabel 2.6 Penentuan Faktor k

Lingkungan Jalan > 1 Juta Jumlah Penduduk Kota

1 Juta

Jalan didaerah komersial dan jalan arteri 0,07 – 0,08 0,08 – 0,10

Jalan di daerah pemukiman 0,08 – 0,09 0,09 – 0,12

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

2.4.7 Kapasitas

Kapasitas adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu penampang jalan pada jalur jalan selama 1 jam dengan kondisi serta arus arus lalu lintas tertentu. Menurut buku Standar Desain Geometrik Jalan Perkotaan yang dikeluarkan Dirjen Bina Marga, kapasitas dasar didefinisikan volume maksimum perjam yang dapat lewat suatu potongan lajur jalan (untuk jalan multi jalur) atau suatu potongan jalan (untuk jalan dua lajur) pada kondisi jalan dan arus lalu lintas ideal.

Yang penting dalam penilaian kapasitas adalah pemahaman akan kondisi yang berlaku.

1. Kondisi Ideal

Kondisi ideal dapat dinyatakan sebagai kondisi yang mana peningkatan jalan lebih lanjut dan perubahan kondisi cuaca tidak akan menghasilkan pertambahan nilai kapasitas.

Kondisi ideal terjadi bila :

a. Lebar jalan kurang dari 3,5 m.

b. Kebebasan lateral tidak kurang dari 1,75 m. c. Standar geometrik baik.

(13)

d. Hanya kendaraan ringan atau light vehicle (LV) yang mengunakan jalan. e. Tidak ada batas kecepatan.

2. Kondisi Jalan

Kondisi jalan yang mempengaruhi kapasitas meliputi : a. Tipe fasilitas atau kelas jalan.

b. Lingkungan sekitar (misalnya antar kota atau perkotaan). c. Lebar lajur/jalan.

d. Lebar bahu jalan.

e. Kebebasan lateral (dari fasilitas pelengkap lalu lintas). f. Kecepatan rencana.

g. Alinyemen harisontal dan vertikal. h. Kondisi permukaan jalan dan cuaca. 3. Kondisi Medan

Tiga kategori dari kondisi medan yang umumnya dikenal yaitu :

a. Medan datar, semua kombinasi dari semua alinyemen horisontal dan kelandaian, tidak menyebabkan kendaraan angkutan barang kehilangan kecepatan dan dapat mempertahankan kecepatan yang sama seperti kecepatan mobil penumpang.

b. Medan bukit, semua kombinasi dari alinyemen horisontal dan vertikal dan kelandaian, menyebabkan kendaraan angkutan barang kehilangan kecepatan mereka merayap untuk periode waktu yang panjang.

c. Medan gunung, semua kombinasi dari alinyemen horisontal dan vertikal dan kelandaian, menyebabkan kendaraan angkutan barang merayap untuk periode yang cukup panjang dengan interval yang sering.

4. Kondisi Lalu lintas

Tiga kategori dari lalu lintas jalan yang umumnya dikenal, yaitu :

a. Mobil penumpang, kendaraan yang terdaftar sebagai mobil penumpang dan kendaraan ringan lainnya seperti van, pick up, jeep.

b. Kendaraan barang, kendaraan yang mempunyai lebih dari empat roda, dan umumnya digunakan untuk transportasi barang,

(14)

c. Bis, kendaraan yang mempunyai lebih dari empat roda, dan umumnya digunakan untk transportasi penumpang.

5. Kondisi pengendalian lalu lintas

Kondisi pengendalian lalu lintas mempunyai pengaruh yang nyata pada kapasitas jalan, tingkat pelayanan dan arus jenuh.

Bentuk pengendalian tipikal termasuk :

• Lampu lalu lintas

• Rambu

• Marka berhenti

2.5 GEOMETRI PERSIMPANGAN

2.5.1 Alinyemen dan Konfigurasi

Persyaratan yang harus dipenuhi adalah:

1. Persimpanagan harus direncanakan dengan baik agar pertemuan jalan dari persimpangan mendekati sudut atau sama dengan dengan 90 derajat. Sudut pertemuan antara 60 sampai 90 masih diijinkan.

2. Jalan yang menyebar pada suatu persimpangan merupakan bagian dari persimpangan disebut kaki persimpangan.

Pada umumnya persimpangan dari 2 jalan mempunyai 4 kaki. Pada prinsipnya, pada persimpangan sebidang, banyaknya kaki persimpangan jangan sampai lebih dari 5.

3. Pada prinsipnya, pertemuan (stragger junction) atau pertemuan (break junction) harus dihindarkan, apabila tidak bisa dihindari maka interval jarak kaki yang dibutuhkan harus lebih dari 40 m. Untuk stragger junction, sudut pertemuan yang dibutuhkan kurang dari 30 derajat.

4. Arus lalu lintas utama sedapat mungkin dilayani dengan jalur yang lurus atau hampir lurus.

(15)

2.5.2 Jarak Antara Persimpangan

Jarak antara 2 persimpangan harus diusahakan sejauh mungkin. Jarak minimum harus ditentukan sehingga lebih panjang dari hal di bawah ini:

1. Panjang bagian menyusup. 2. Antrian pada lampu lalu lintas.

3. Jalur belok kanan atau jalur perlambatan. 4. Batas konsentrasi pengemudi.

2.5.3 Alinyemen Dekat Persimpangan 2.5.3.1 Jarak Pandang pada Persimpangan

Sesuai dengan kecepatan rencana dan kondisi jalan yang bersangkutan maupun jenis dari kontrol lalu lintasnya, jarak persimpangan sebaiknya lebih besar daripada angka-angka yang tertera pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.7 Jarak Persimpangan

Kecepatan rencana (km/jam)

Jarak pandang minimum (m)

Signal Control Stop Control

60 50 40 30 20 170 130 100 70 40 105 80 55 35 20

Sumber:Standar Perencanan Geometrik untuk jalan Perkotaan.

2.5.3.2 Jari-jari Minimum

Jari-jari minimum as jalur lalu lintas di sekitar persimpangan sesuai dengan kecepatan rencana dan jenis kontrol lalu lintas dinyatakan dalam tabel di bawah ini.

(16)

Tabel 2.8

Jari- jari Minimum As Jalur Lalu lintas

Kecepatan rencana (km/jam)

Jalan Utama

Standar Minimum (m) Jalan yang menyilang (dengan stop control) (m) 80 60 50 40 30 20 280 150 100 60 30 15 - 60 40 30 15 15

Sumber:Standar Perencanan Geometrik untuk jalan Perkotaan

2.5.4 Alinyemen Vertikal di sekitar Persimpangan

2.5.4.1 Landai Maksimum.

Untuk keamanan dan kenyamanan lalu lintas, kelandaian di sekitar persimpangan diusahakan serendah mungkin. Landai maximum diusahakan tidak lebih dari 2%.

2.5.4.2 Panjang Minimum bagian dengan kelandaian rendah (low grade section)

Panjang pada bagian kelandaian rendah di dekat persimpangan sebaiknya ditentukan oleh perkiraan panjang antrian yang terjadi selama satu (cycle) periode

berhenti, seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.9

Panjang Minimum Bagian dengan Kelandaian Rendah

Jalan Tipe II Panjang minimum bagian dengan kelandaian rendah (m) Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV 40 35 15 6

Sumber:Standar Perencanan Geometrik untuk jalan Perkotaan

2.5.5 Potongan Melintang Dekat Persimpangan

2.5.5.1 Lebar Jalur

Lebar jalur lalu lintas dan jalur tambahan (standar = 3m) dapat dilihat pada tabel berikut :

(17)

Tabel 2.10

Lebar Jalur Lalu lintas dan Jalur Tambahan

Kelas jalan Tipe II

Lebar jalur lurus (tangan)

Lebar jalur lalu lintas menerus/ dengan jalur tambahan

Lebar jalur tambahan Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV 3.5 3.25 3.25 / 3.0 3.25 / 3.0 3.0 / 2.75 3.0 / 2.75 3.25 / 3.0 / 2.75

Sumber:Standar Perencanan Geometrik untuk jalan Perkotaan

2.5.5.2 Jumlah Jalur dan Lokasi

1. Banyak jalur keluar dari persimpangan sebaiknya sama dengan jumlah jalur lalu lintas menerus yang masuk ke persimpangan.

2. Bagian keluar dari jalur lalu lintas menerus hendaknya ditempatkan pada satu garis lurus dengan jalur masuk dari jalur lalu lintas menerus tidak boleh bergeser pada persimpangan.

2.5.5.3 Pergeseran Jalur (Lane Shift)

1. Pergeseran as jalur lalu lintas menerus harus dengan lengkung / taper yang tepat, untuk membuat jalur belok apabila diperlukan.

2. Standar taper dan panjang minimum taper seperti yang tercantum dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.11

Standar Taper dari Lane Shift

Kecepatan Rencana (km/ jam) Taper 60 50 1/30 1/25 40 30 20 1/20 1/15 1/10

(18)

Tabel 2.12 Panjang Minimum Taper

Kecepatan Rencana (km/ jam)

Rumus Panjang Taper minimum (m) 60 50 40 30 20 L= V x 3 dw 40 35 30 25 20

Sumber:Standar Perencanan Geometrik untuk jalan Perkotaan

Dimana :

L = panjang taper (m)

V = kecepatan rencana (km/ jam)

dw = pergeseran jalur lalu lintas menerus (m)

harga terbesar dari perhitungan di atas diambil sebagai nilai minimum taper

2.5.6 Jalur Belok Kanan

2.5.6.1 Kriteria Penentuan Jalur belok Kanan

Semua persimpangan sebidang harus dilengkapi dengan jalur belok kanan, kecuali untuk hal-hal sebagai berikut:

1. Larangan belok kanan pada persimpangan

2. Jalan tipe Ii, kelas III atau kelas IV dengan kapasitas yang dapat menampung volume lalu lintas puncak.

3. Jalan 2 jalur gengan kecepatan rencana 40 km/ jam atau kurang, dimana volume rencana per jam kendaraan kurang dari 200 kend/jam dan perbandingan kendaraan belok kanan kurang dari 20% dari Volume rencana tiap jam (DHV)

2.5.6.2 Panjang Jalur Belok Kanan

1. Panjang jalur belok kanan dapat ditentukan dengan menjumlahkan panjang taper dan panjang jalur antrian (storage section)

L = lt + ls

(19)

lt = panjang taper (m) ls = panjang jalur antrian (m)

2. Panjang taper adalah nilai terbesar antara panjang yang diperlukan pada pergeseran dari lalu lintas menerus sampai jalur belok kanan (lc) dan panjang yang diperlukan untuk memperlambat kendaraan (ld)

lt = max (lc,ld)

Dimana : lt = panjang taper (m)

Ic = panjang yang diperlukan untuk pergeseran jalur (m) Id = panjang untuk memperlambat kendaraan (m)

3. Panjang yang diperlukan untuk pergeseran jalur dihitung dengan memakai rumus:

lc = v x 6 dw

Dimana : lc = panjang yang diperlukan untuk perlambatan (m) V = kecepatan rencana (km/ jam)

dw = latheral shift (sama dengan lebar kalur belok kanan) (m) 4. Panjang jalur perlambatan dapat diambil dari panjang taper minimum.

5. Panjang jalur antrian pada persimpangan tanpa lalu lintas dihitung dengan rumus berikut didasarkan pada jumlah kendaraan yang akan masuk persimpangansetiap 2 menit pada jam sibuk.

ls = 2 x m x s

Dimana : ls = panjang storage section (m)

M = rata-rata kendaraan yang belok kanan (kend/ menit) s = head distance rata-rata (m)

Rata-rata dibandingkan terhadap perbandingan jumlah bus dan truk terhadap total kendaraan

Untuk bus dan truk s = 12 m Untuk kendaraan lainnya s = 6 m Jika bus / truk tidak ada s = 7 m

(20)

6. Untuk persimpangan yang ada lampu lalu lintasnya, panjang storage section = 1.5 m dikalikan rata-rata kendaraan yang antri per cycle, yang diproyeksikan pada volume jam rata-rata perencanaan

ls = 1.5 x N x S

Dimana : ls = panjang storage section (m)

N = rata-rata kendaraan yang belok kanan (kend/ cycle) s = head distance rata-rata (m)

Gambar 2.1

Panjang Jalur Belok Kanan Tabel 2.13

Panjang Minimum untuk Pergeseran dan Perlambatan

Kecepatan rencana (km/ jam)

Panjang minimum yang di butuhkan untuk perlambatan (ld)

Panjang minimum yang diperlukan untuk pergeseran (lc) (m) 80 60 50 40 30 20 45 30 20 15 10 10 40 30 25 20 15 10

Sumber:Standar Perencanan Geometrik untuk jalan Perkotaan

ld lc

ls L

(21)

2.5.7 Jalur Belok Kiri 2.5.7.1 Batasan Ketentuan

Jalur belok kiri atau belok kanan dapat diadakan pada kondisi-kondisi sebagai berikut:

1. Sudut kemiringan pada persimpangan adalah 60 derajat atau kurang dan jumlah lalu lintas yang belok kiri cukup banayak.

2. Lalau lintas belok kiri jumlahnya relative besar pada persimpangan. 3. Kecepatan kendaraan belok kiri tinggi.

4. Jumlah kendaraaan belok kiri besar dan jumlah pejalan kaki pada sisi luar jalur belok kiri juga besar.

5. panjang jalur belok kiri ditentukan dengan cara yang sama dengan jalur belok kanan.

2.5.8 Lintasan Belokan pada Persimpangan

Dalam merencanakan persimpangan sebaiknya kendaraan rencana yang dianggap akan masuk lintasan belok tertera dalam tabel berikut, yang didasarkan pada jenis pengaturan lalu lintas dan kelas jalan.

Tabel 2.14

Lintasan Belokan pada Persimpangan

Pengeluaran L.L

Bagian Kelas jalan tipe II

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Stop

Kontrol ke luar masuk Jalan S4 T3 T2 T1

utama S4 T3 T2 T1 Jalan berpotong an T3 T2 T1 Signal kontrol Masuk S4 T3 T2 T1 Keluar S3 T2 T2 T1

(22)

Catatan:

1. S = truk semi trailer

T = truk

2. Angka 1-4 merupakan notasi gerakan membelok 1 = seluruh lebar jalur jalan digunakan

2 = bagian kiri dari jalur jalan digunakan, jalur berlawanan tidak digunakan

3 = jalur belok atau jalur paling kanan / kiri dan kedua dari paling kanan / kiri digunakan jalur berlawanan tidak digunakan.

4 = Jalur belok atau jalur paling kanan / kiri saja yang dipakai

3. Untuk jalan kelas I, jika kendaraan rencana pada jalan utama berbeda dengan kendaraan rencana dari jalan yang menyilang (cross road) maka kendaraan rencana pada jalan yang menyilang dipakai sebagai dasar perencanaan persimpangn tersebut.

2.6 PRASARANA TRANSPORTASI LALU LINTAS

2.6.1 Tempat Henti / Shelter

Tempat henti (Shelter) diperlukan keberadaannya di sepanjang rute angkutan umum agar gangguan terhadap lalu lintas dapat diminimalkan. Jenis tempat pemberhentian kendaraan umum terbagi dalam bentuk halte dan tempat pemberhentian bus (Bus Stop). Halte adalah tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menurunkan dan / atau menaikkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan. Sedangkan tempat pemberhentian bis (Bus Stop) adalah tempat untuk menurunkan dan / atau menaikkan penumpang yang selanjutnya disebut TPB. Selanjutnya teluk bis (Bus Bay) adalah bagian perkerasan jalan tertentu yang diperlebar dan diperuntukkan sebagai tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU); waktu pengisian adalah waktu yang diperlukan untuk naik/turun penumpang yang dihitung dari saat kendaraan berhenti sampai dengan penumpang terakhir yang naik atau turun; waktu pengosongan telus bis adalah waktu yang dihitung dari penumpang terakhir yang turun atau naik sampai dengan kendaraan mulai bergerak.

(23)

2.6.1.1 Tujuan

Tujuan diadakannya tempat henti (Shelter) adalah untuk : b. Menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas.

c. Menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan penumpang umum.

d. Kepastian / keselamatan untuk menaikkan dan/ atau menurunkan penumpang. e. Memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan

umum atau bis.

2.6.1.2 Persyaratan Umum Perekayasaan

Persyaratan umum perekayasaan Shelter yaitu: 1. Berada di sepanjang rute angkutan umum/bus.

2. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat dengan fasilitas pejalan kaki. 3. Diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau pemukiman.

4. Dilengkapi dengan rambu petunjuk.

5. Tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas.

Untuk syarat perencanaan jarak antara Halte atau TPB dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.15

Penentuan Jarak antara Halte dan TPB

Zona Tata Guna Lahan Lokasi Jarak Tempat Henti (m)

1. Pusat kegiatan sangat padat : pasar, pertokoan

CBD, Kota 200 - 300

2. Padat : perkantoran, sekolah, jasa Kota 300 - 400

3. Perumahan Kota 300 -400

4. Campuran padat : perumahan, sekolah, jasa

Pinggiran 300 - 500

5. Campuran jarang : perumahan ladang, sawah, tanah kosong

Pinggiran 500 - 1000

(24)

2.6.1.3 Tata Letak Tempat Henti terhadap ruang lalu lintas

Tata letak Halte dan / atau Tempat Pemberhentian Bis terhadap ruang lalu lintas adalah sebagai berikut :

1. Jarak maksimal terhadap fasilitas penyeberangan pejalan kaki adalah 100 m. 2. Jarak minimal halte dari persimpangan adalah 50 m atau tergantung dari

panjang antrian.

3. Jarak minimal dari suatu gedung (seperti : rumah sakit, tempat ibadah,) yang membutuhkan ketenangan adalah 100 m.

4. Peletakan di persimpangan menganut sistem campuran yaitu antara sesudah persimpangan (farside) dengan jarak ≥ 20 m dan sebelum persimpangan (nearside) dengan jarak ≥ 50 m, seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.2

Peletakan Tempat Henti di Pertemuan Jalan Simpang Empat Letak Halte atau TPB sebelumpersimpangan Letak Halte atau TPB

sebelumpersimpangan

≥20

≥50

Letak Halte atau TPB sesudahpersimpangan

Fasilitas penyeberangan

≥20

≥50

Letak Halte atau TPB sesudahpersimpangan Fasilitas penyeberangan

(25)

Gambar 2.3

Peletakan Tempat Henti di Pertemuan Jalan Simpang Tiga

Gambar 2.4

Tata Letak Halte di Ruas Jalan (di belakang trotoar) Letak Halte atau TPB sesudah persimpangan

≥20

M

Letak Halte atau TPB sesudahpersimpangan

Fasilitas penyeberangan

≥20

M

Letak Halte atau TPB sesudahpersimpangan ≥20 M Arus lalu lintas Arus pejalan kaki c a b

Letak halte di belakang trotoar

Batas : pagar/selokan

(26)

a ≥ 1,5 m (trotoar) b ≥ 2,0 m (lebar halte) c ≥ 4,0 m (panjang halte)

Gambar 2.5

Tata Letak Halte di Ruas Jalan (di depan trotoar)

2.6.1.4 Pengelompokan Tempat Henti (Shelter)

Pengelompokan tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum berdasarkan tingkat pemakaian, ketersediaan lahan dan kondisi lingkungan, adalah sebagai berikut :

a. Halte yang terpadu dengan fasilitas pejalan kaki, dilengkapi dengan teluk. b. Tempat pemberhentian bis (TPB) yang terpadu dengan fasilitas pejalan kaki,

dan dilengkapi dengan teluk.

c. Halte yang terpadu dengan fasilitas pejalan kaki, tidak dilengkapi dengan teluk.

d. Tempat pemberhentian bis (TPB) yang terpadu dengan fasilitas pejalan kaki, dan tidak dilengkapi dengan teluk.

e. Halte yang tidak terpadu dengan trotoar, dan dilengkapi dengan teluk.

f. Tempat pemberhentian bis (TPB) yang tidak terpadu dengan trotoar, dan tidak dilengkapi dengan teluk serta mempunyai tingkat pemakaian tinggi. g. Tempat pemberhentian bis (TPB) yang tidak terpadu dengan trotoar, dan

tidak dilengkapi dengan teluk serta mempunyai tingkat pemakaian rendah. h. Halte pada lebar jalan yang terbatas (< 5,75 m), akan tetapi mempunyai

tingkat permintaan tinggi.

i. Pada lahan terbatas, teluk tidak memungkinkan untuk dibuat maka hanya disediakan TPB dan rambu larangan menyalip.

Arus lalu lintas

Arus pejalan kaki

c

a b

(27)

2.6.2 Tempat Parkir Kendaraan

Kebutuhan tempat parkir untuk kendaraan baik kendaraan pribadi, angkutan penumpang umum, sepeda motor maupun truk adalah sangat penting. Kebutuhan tersebut bervariasi tergantung dari bentuk dan karakteristik masing-masing kendaraan desain dan lokasi parkir.

2.6.2.1 Penempatan fasilitas parkir

Penempatan fasilitas parkir dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Parkir di badan jalan (on street parking) yaitu :

a. Pada tepi jalan tanpa pengendalian parkir. b. Kawasan parkir, dengan pengendalian parkir. 2. Parkir di luar badan jalan (off street parking) yaitu :

a. Fasilitas parkir untuk umum, yaitu parkir yang berupa gedung parkir atau taman parkir yang diusahakan sebagai kegiatan usaha tersendiri dengan menyediakan jasa pelayanan parkir untuk umum.

b. Fasilitas parkir sebagai fasilitas penunjang, adalah parkir yang berupa gedung parkir atau taman parkir yang disediakan untuk menunjang kegiatan pada bangunan utama.

2.6.2.2 Kebutuhan Ruang parkir

Jenis peruntukan kebutuhan bangunan parkir dikelompokkan menjadi : 1. Untuk kegiatan parkir yang tetap, seperti :

a. pusat perdagangan

b. pusat perkantoran swasta atau pemerintah c. pusat perdagangan eceran atau pasar swalayan d. pasar

e. sekolah f. tempat rekreasi

g. hotel atau tempat penginapan h. rumah sakit

(28)

2. Untuk kegiatan parkir yang bersifat sementara, seperti : a. bioskop

b. tempat pertunjukan

c. tempat pertandingan olahraga d. rumah ibadah

Ukuran kebutuhan ruang parkir dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.16

Ukuran Kebutuhan Ruang Parkir

Peruntukan Satuan (SRP untuk mobil penumpang)

Kebutuhan Ruang Parkir Pusat Perdagangan :

- Pertokoan SRP / 100 m2 luas lantai efektif 3,5 – 7,5

- Pasar Swalayan SRP / 100 m2 luas lantai efektif 3,5 – 7,5

- Pasar SRP / 100 m2 luas lantai efektif

Pusat Perkantoran :

- Pelayanan bukan Umum SRP / 100 m2 luas lantai 1,5 – 3,5

- Pelayanan Umum SRP / 100 m2 luas lantai

Sekolah SRP / Mahasiswa 0,7 – 1,0

Hotel / Tempat Penginapan SRP / Kamar 0,2 – 1,0

Rumah Sakit SRP / Tempat tidur 0,2 – 1,3

Bioskop SRP / Tempat duduk 0,1 – 0,4

Sumber : NAASRA 1988

Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP) didasarkan atas : 1. Dimensi kendaraan standar untuk mobil penumpang 2. Ruang bebas kendaraan parkir

3. Lebar bukaan pintu kendaraan

Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP) dibagi atas 3 jenis kendaraan, dan penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk mobil penumpang diklasifikasikan menjadi 3 golongan seperti tabel berikut :

(29)

Tabel 2.17

Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP)

Jenis Kendaraan Satuan Ruang Parkir (m2) 1. a. Mobil penumpang golongan I 2,30 x 5,00 b. Mobil penumpang golongan II 2,50 x 5,00 c. Mobil penumpang golongan III 3,00 x 5,00

2. Bis / Truk 3,40 x 12,50

3. Sepeda motor 0,750 x 2,00

Sumber : NAASRA 1988

2.6.2.3 Larangan Parkir

Disini juga dijelaskan mengenai larangan parkir, yaitu :

- Sepanjang 6 m sebelum dan sesudah tempat penyeberangan pejalan kaki atau tempat penyeberangan sepeda yang telah ditentukan.

- Sepanjang 25 m sebelum dan sesudah tikungan tajam dengan radius kurang dari 500 m.

- Sepanjang 50 m sebelum dan sesudah jembatan.

- Sepanjang 100 m sebelum dan sesudah lintasan sebidang. - Sepanjang 25 m sebelum dan sesudah persimpangan.

- Sepanjang 6 m sebelum dan sesudah akses bangunan gedung. - Sepanjang tidak menimbulkan kemacetan dan menimbulkan bahaya.

Dalam merencanakan tempat parkir, harus dilakukan pengukuran terhadap kebutuhan parkir yang utama adalah :

a. Akumulasi parkir, merupakan jumlah kendaraan yang diparkir di suatu tempat pada waktu tertentu, dimana jumlah tersebut selama periode tertentu menunjukkan beban parkir (jumlah kendaraan parkir) dalam satuan jam kendaraan per periode waktu tertentu.

b. Volume parkir, menyatakan jumlah kendaraan yang termasuk dalam beban parkir (yaitu jumlah kendaraan per periode waktu tertentu, biasanya per hari).

(30)

c. Indeks Parkir, adalah ukuran yang lain untuk menyatakan penggunaan panjang jalan dan dinyatakan dalam prosentase ruang yang ditempati kendaraan parkir pada tiap panjang jalan.

2.6.3 Terminal

Terminal merupakan simpul dalam sistem jaringan trnsportasi jalan yang berfungsi pokok sebagai pelayanan umum yaitu tempat untuk naik dan turunnya penumpang dan atau bongkar muat barang, untuk pengendalian lalu lintas dan angkutan kendaraan umum, serta sebagai tempat pemberhentian intra dan antar moda transportasi.

2.6.3.1 Fungsi Terminal

Fungsi terminal secara umum adalah:

1. Tempat berganti dan beralihnya penggunaan moda transportasi. 2. Menaikkan dan menurunkan penumpang dan barang.

Fungsi terminal dilihat dari 3 (tiga) unsur, yaitu:

1. Bagi penumpang adalah untuk kenyamanan menunggu, kenyamanan perpindahan dari satu moda atau kendaraan ke moda atau kendaraan yang lain, tempat fasilitas-fasilitas informasi dan fasililitas parkir kendaraan pribadi. 2. Bagi pemerintah adalah segi perencanaan dan manajemen lalu lintas untuk

menata lalu lintas dan angkutan serta menghindari dari kemacetan , sebagai pengendali kendaraan umum.

3. Bagi operator/pengusaha adalah untuk pengaturan opersi bus, penyediaan fasilitas istirahat dan informasi bagi awak bus dan sebagai fasilitas pangkalan.

(31)

Tabel 2.18

Nama Umum untuk Fasilitas-fasilitas yang Berfungsi sebagai Terminal untuk Berbagai Moda Transportasi

No. Moda Transportasi Fasilitas Fungsi Utama

1. Mobil (dan kendaraan

jalan lain) Garasi parkir Stasiun bahan bakar Loket tol

Penyimpanan kendaraan, akses dengan pejalan kaki.

Reparasi dan perawatan kendaraan.

Pengumpulan karcis dan biaya.

2. Bis Stasiun bis

Pemberhentian bis

Bis antarkota dan hubungan moda akses. Hubungan dengan akses berjalan kaki.

Sumber: Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi (Edward K. Morlok, 1991) 2.6.3.2 Jenis Terminal

Jenis terminal berdasarkan jenis angkutannya dapat dikelompokkan menjadi: 1. Terminal angkutan penumpang

2. Terminal angkutan barang

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 30 tahun 1995 (KM No. 30/ 1995), terminal angkutan penumpang dibagi atas: 1. Terminal penumpang tipe A.

Terminal ini berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan. Terminal ini memiliki ciri: a. Lokasinya terletak di ibukota provinsi, dilewati jalur kendaraan umum akap,

sebagian besar melalui jalan arteri, dengan kelas sekurang-kurangnya IIIA, serta terletak 20km dengan terminal yang setipe (untuk pulau Jawa)

b. Kriteria Pembangunan berdasarkan tingakat pelayanan 50-100 kendaraan per jam, dengan luas terminal minimal 5 ha (untuk pulau Jawa) dan minimal 3 ha (di luar Jawa). Akses ke terminal minimum 100 m.

c. Kewenangan terminal, khususnya lokasi ditetapkan oleh Direktur Jendral Perhubungan Darat dengan mendengar usulan Gubernur stempat.

(32)

d. Fasilitas terminal yang harus ada adalah jalur pemberangkatan dan kedatangan, tempat parkir, kantor terminal, tempat tunggu, menara pengawas, loket penjualan karcis, rambu-rambu dan papan informasi, pelataran parkir pengantar atau taksi.

2. Terminal penumpang tipe B

Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan / atau angkutan pedesaan.

a. Lokasinya terletak di Kota/ Kabupaten, dilewati jalur AKDP, jalan arteri atau kolektor, dengan kelas sekurang-kurangnya IIB, terletak 15 km dengan terminal yang setipe (di Jawa)

b. Kriteria pembangunan berdasarkan tingkat pelayanan yang mencapai 25-50 kendaraan per jam dengan luas terminal minimal 3 ha (di Jawa) dan 2 ha (di pulau lain). Akses terminal minimum sejauh 50m.

c. Kewenangan terminal, khususnya lokasi ditetapkan oleh Gubernur atas persetujuan Dirjen Perhubungan Darat.

d. Fasilitas terminal meliputi jalur pemberangkatan dan kedatangan, tempat parkir, kantor terminal, tempat tunggu, menara pengawas, loket penjualan karcis, rambu-rambu dan papan informasi, pelataran parkir pengantar atau taksi.

3. Terminal penumpang tipe C

Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan

j. Lokasi terletak di kota/ kabupaten, dilewati jalur Pedesaan,jalan kolektor atau lokal, dengan kelas setinggi-tingginya IIIA.

k. Kriteria pembangunan, tinkat pelayanan mencapai 25 kendaraan per jam, luas tergantung kebutuhan, akses ke termonal sesuai kebutuhan.

l. Kewenangan terminal, lokasi ditetapkan Bupati/ Walikota setelah mendapatkan persetujuan.

m. Fasilitas terminal: jalur pemberangkatan dan kedatangan, tempat parkir, kantor teerminal, tempat tunggu, rambu-rambu dan papan informasi.

(33)

Berdasarkan fungsinya, maka terminal angkutan penumpang dapat dibagi menjadi:

1. Terminal Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) yang berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar propinsi, dan atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam propinsi dan angkuatan kota. 2. Terminal Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) yang berfungsi untuk melayani

kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan atau angkutan pedesaan.

3. Terminal lokal, berfungsi untuk melakukan pelayanan kendaraan umum untuk angkutan dan atau angkutan pedesaan.

2.6.3.3 Operasional dan Sirkulasi Terminal Operasional Terminal

Kegiatan operasional terminal dapat dibagi menjadi 2 proses, yaitu : 1. Proses Utama, proses ini dibagi menjadi 6 subproses :

• Subproses penaikan dan penurunan penumpang

• Subproses penumpang menunggu sesaat

• Subproses pemilihan rute, pembelian dan pemesanan tiket

• Subproses pelayanan pergantian dari peralihan moda angkutan

• Subproses penyimpanan dan perawatan angkutan

• Subproses pengaturan penyimpanan dan perawatan Sirkulasi Terminal

Sirkulasi di dalam terminal dapat dibedakan menjadi 4, yaitu : 1. Sirkulasi Penumpang

Penumpang adalah orang yang akan naik ataupun turun dari bus. Sebelum naik penumpang membeli karcis, menunggu di ruang tunggu menuju arah bis yang dituju, penumpang turun meninggalkan bis, kemudian keluar terminal untuk berganti moda atau berjalan kaki.

2. Sirkulasi Barang

Barang disini adalah barang bawaan penumpang, sehingga dengan sendirinya pergerakan barang mengikuti sirkulasi penumpang

(34)

3. Sirkulasi Bis

Tipe sirkulasi bis pada terminal memperhatikan pola kedatangan dan kepergian (Knipe, 1979), yaitu pola melangsir, menerus dan memutar.

4. Sirkulasi Angkutan Kota

Angkutan kota digunakan untuk melayani penumpang dalam kota, sehingga setelah penumpang turun dari bis kemudian penumpang berpindah ke angkutan kota dengan rute tertentu menuju ke kota.

2.6.3.4 Fasilitas Terminal Fasilitas Utama Terminal

1. Jalur pemberangkatan kendaraan umum

Areal untuk menaikkan penumpang (loading) dan memulai perjalanan atau berangkat meninggalkan terminal.

2. Areal kedatangan kendaraan umum

Daerah atau jalur kendaraan yang ditujukan untuk melayani kedatangan kendaraan dan atau mengakhiri perjalanan serta menurunkan penumpang (unloading).

3. Tempat penurunan dan penaikan penumpang dari atau ke kendaraan umum Areal pada terminal yang bias berupa shelter/selasar dimana penumpang dapat memulai atau mengakhiri perjalanan dengan moda transportasi yang dipilihnya.

4. Tempat tunggu sementara kendaraan umum (parkir istirahat)

Areal terminal yang digunakan oelh kendaraan yang menuju antrian pada lajur keberangkatan atau sedang beristirahat ataupun mengalami perbaikan kecil. 5. Tempat tunggu penumpan dan atau pengantar

Yaitu ruangan yang digunakan untuk penumpang atau pengantar untuk menunggu.

6. Jalur lintasan

Jalur yang disediakan bagi kendaraan umum yang akan langsung melanjutkan perjalanan setelah menaikkan atau menurunkan penumpang.

(35)

Ruangan yang disediakan untuk para pegawai terminal melaksanakan aktivitas kerjanya.

8. Pos DLLAJR dan keamanan. 9. Menara pengawas.

10. Loket penjualan karcis.

Fasilitas Penunjang, yaitu : 1. Toilet

2. mushola. 3. Parkir pengantar 4. Kios atau kantin 5. Telepon umum 6. Ruang pengobatan

7. Ruang informasi dan pengaduan 8. Taman dan lain-lain

2.7 ANALISA KINERJA LALU LINTAS JALAN PERKOTAAN

Parameter dalam MKJI 1997 yang digunakan untuk menganalisa ukuran-ukuran kinerja lalu lintas jalan perkotaan yaitu:

1. Volume Arus lalu lintas. 2. Kecepatan arus bebas. 3. Hambatan samping. 4. Kapasitas.

5. Derajat kejenuhan.

Proses perhitungan analisa segmen jalan perkotaan dapat dilihat pada bagan alir berikut ini:

(36)

Gambar 2.6

Bagan Alir Analisa Jalan Perkotaan

TIDAK K PERUBAHAN

LANGKAH A : DATA MASUKAN A-1 : Data Umum

A-2 : Kondisi geometric A-3 : Kondisi lalu lintas A-4 : Hambatan samping

LANGKAH D : PERILAKU LALU LINTAS D-1 : Derajat kejenuhan

D-2 : Kecepatan dan waktu tempuh D-3 : Penilaian perilaku lalu-lintas

Perlu penyesuaian anggapan mengenai perencanaan tersebut.

LANGKAH C : KAPASITAS C-1 : Kapasitas dasar

C-2 : Faktor Penyesuaian untuk lebar jalur lalu lintas

C-3 : Faktor penyesuaian untuk pemisahan arah C-3 : Faktor penyesuaian untuk kondisi

hambatan samping

C-4 : Faktor penyesuaian untuk ukuran kota C-5 : Kapasitas untuk kondisi lapangan LANGKAH B : KECEPATAN ARUS BEBAS B-1 : Kecepatan arus bebas dasar

B-2 : Penyesuaian untuk lebar jalur lalu lintas B-3 : Faktor penyesuaian untuk kondisi

hambatan samping

B-4 : Faktor penyesuaian untuk ukuran kota B-5 : Kecepatan arus bebas untuk kondisi lapangan

(37)

2.7.1 Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan lain di jalan.

Persamaan untuk menentukan kecepatan arus bebas adalah :

FV = (FVo + FVw) x FFVSF x FFVCS

Dimana :

FV = kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam)

FVo = kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan yang

diamati (km/jam)

FVW = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalan

(km/jam)

FFVSF = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan samping

dan lebar bahu atau jarak kerb penghalang

FFVCS = faktor Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota ● Penentuan kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (FVo)

Tabel 2.19

Kecepatan Arus Bebas Dasar FVo Kendaraan Ringan Untuk Jalan Perkotaan

Tipe Jalan

Kecepatan arus bebas dasar FVo (km/jam)

Kendaraan ringan LV Kendaraan berat HV Sepeda motor MC Semua kendaraan rata-rata Enam lajur, terbagi (6/2 D) atau

Tiga lajur, satu arah (3/1) 61 52 48 54

Empat lajur, terbagi (4/2 D) atau

Dua lajur, satu arah (2/1) 57 50 47 55

Empat lajur, tak terbagi (4/2 UD) 53 46 43 51

Dua lajur, tak terbagi (4/2 UD) 44 40 40 42

(38)

● Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Lebar Jalan (FVW) Tabel 2.20

Penyesuaian Untuk Pengaruh Lebar Jalur Lalin (FVW) pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan Untuk Jalan Perkotaan

Tipe jalan Lebar jalur lalu lintas efektif (W

c)(m) FVW (km/jam)

Empat lajur, terbagi atau

Jalan satu arah per lajur 3.00

3.25 3.50 3.75 4.00 -4 -2 0 2 4 Empat lajur, tak terbagi Per lajur

3.00 3.25 3.50 3.75 4.00 -4 -2 0 2 4 Dua lajur, tak terbagi Total

5 6 7 8 9 10 11 -9.5 -3 0 3 4 6 7 Sumber : MKJI, 1997

● Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota (FFVCS) Tabel 2.21

Faktor Penyesuaian untuk Pengaturan Ukuran Kota (FFVCS) pada

Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan untuk Jalan Perkotaan dengan Kerb

Ukuran kota

(juta penduduk) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota

< 0.1 0.1 – 0.5 0.1 – 0.5 0.1 – 0.5 > 0.3 0.90 0.93 0.95 1.00 1.03 Sumber : MKJI, 1997

(39)

● Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk pengaruh hambatan samping (FFVSF)

a. Jalan dengan bahu

Tabel 2.22

Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Lebar

Bahu (FFVSF) pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan untuk

Jalan Perkotaan dengan Bahu

Tipe jalan

Kelas hambatan samping

(SFC)

Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu

Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m)

0.5 m 1.0 m 1.5 m 2 m

Empat lajur,

terbagi (4/2 D) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 1.02 0.98 0.94 0.89 0.84 1.03 1.00 0.97 0.93 0.88 1.03 1.02 1.00 0.96 0.92 1.04 1.03 1.02 0.99 0.96 Empat lajur,

tak terbagi (4/2 UD) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 1.02 0.98 0.93 0.87 0.80 1.03 1.00 0.96 0.91 0.86 1.03 1.02 0.99 0.94 0.90 1.04 1.03 1.02 0.98 0.95 Dua lajur,

tak terbagi (2/2 UD) atau Jalan satu arah

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 1.00 0.96 0.90 0.82 0.73 1.01 0.98 0.93 0.86 0.79 1.01 0.99 0.96 0.90 0.85 1.01 1.00 0.99 0.95 0.91 Sumber : MKJI, 1997

b. Jalan dengan Kerb

Tabel 2.23

Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Jarak Kerb

Penghalang (FFVSF) pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan untuk

Jalan Perkotaan dengan Kerb

Tipe jalan

Kelas hambatan samping

(SFC)

Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m)

0.5 m 1.0 m 1.5 m 2 m

Empat lajur,

terbagi (4/2 D) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 1.00 0.97 0.93 0.87 0.81 1.01 1.98 0.95 0.90 0.85 1.01 1.99 0.97 0.93 0.88 1.02 1.00 0.99 0.96 0.92

(40)

Empat lajur,

tak terbagi (4/2 UD) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 1.00 0.96 0.91 0.84 0.81 1.01 0.98 0.93 0.87 0.81 1.01 1.99 0.96 0.90 0.85 1.02 1.00 1.98 0.94 0.90 Dua lajur,

tak terbagi (2/2 UD) atau Jalan satu arah

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 0.99 0.93 0.87 0.78 0.68 0.99 0.95 0.89 0.81 0.72 0.99 0.96 0.92 0.84 0.77 1.00 0.98 0.95 0.88 0.82 Sumber MKJI, 1997

c. Faktor penyesuaian FFVSF untuk jalan enam lajur

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk jalan enam lajur dapat ditentukan dengan menggunakan nilai FFVSF unutuk jalan empat lajur

dengan disesuaikan seperti rumus dibawah ini : FFV6,SF = 1 – 0.8 x (1 – FFV4,SF)

Dimana :

FFV6,SF = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk jalan enam

lajur

FFV4,SF = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk jalan empat

lajur

2.7.2 PerhitunganKapasitas Ruas

Rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas jalan perkotaan berdasarkan MKJI, 1997 adalah sebagai berikut :

C = Co x FCw x FCSP x FCSF x FCCS

Dimana :

C = kapasitas (smp/jam) Co = kapasitas dasar (smp/jam)

FCw = faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas

FCSP = faktor penyesuaian pemisahan arah

FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping

(41)

Kapasitas jalan tergantung kepada tipe jalan, jumlah lajur dan apakah jalan dipisahkan dengan pemisah fisik atau tidak, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut.

Tabel 2.24

Kapasitas Dasar Jalan Perkotaan

Tipe jalan kota Kapasitas dasar (Co) (smp/jam) Keterangan

Empat lajur terbagi atau

Jalan satu arah 1650 Per lajur

Empat lajur tak terbagi 1500 Per lajur

Dua lajur tak terbagi 2900 Total dua arah

Sumber MKJI, 1997

● Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh lebar jalur lalu lintas untuk jala perkotaan (FCW)adalah seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 2.25

Penyesuaian Kapasitas untuk Pengaruh Lebar Jalur Lalu lintas untuk Jalan Perkotaan (FCW)

Tipe jalan Lebar lalu lintas efektif (WC)

(m) FCW

Empat lajur terbagi atau Jalan satu arah

Per lajur 3.00 3.25 3.50 3.75 4.00 0.92 0.96 1.00 10.4 1.08

Empat lajur tak terbagi

Per lajur 3.00 3.25 3.50 3.75 4.00 0.91 0.95 1.00 1.05 1.09

Dua lajur tak terbagi

Total dua arah 5 6 7 8 9 10 11 0.56 0.87 1.00 1.14 1.25 1.29 1.34 Sumber MKJI, 1997

(42)

● Faktor penyesuaian pemisahan arah (FCSP)dilihat dalam tabel berikut : Tabel 2.26

Faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisah arah (FCSP)

Pemisah arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

FCSP

Dua lajur 2/2 1.00 0.97 0.94 0.91 0.88

Empat lajur 4/2 1.00 0.985 0.97 0.955 0.95

Sumber MKJI, 1997

● Faktor penyesuaian hambatan samping (FCSF)

a. Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu

Tabel 2.27

Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan lebar bahu (FCSF) untuk jalan perkotaan dengan bahu

Tipe jalan hambatan Kelas samping

Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu FCSF

Lebar bahu efektif Ws

< 0.5 1.0 1.5 > 2.0 4/2 D VL L M H VH 0.96 0.94 0.92 0.88 0.84 0.98 0.97 0.95 0.92 0.88 1.01 1.00 0.98 0.95 0.92 1.03 1.02 1.00 0.98 0.96 4/2 UD VL L M H VH 0.96 0.94 0.92 0.87 0.80 0.99 0.97 0.95 0.91 0.86 1.01 1.00 0.98 0.94 0.90 1.03 1.02 1.00 0.98 0.95 2/2 UD atau

jalan satu arah

VL L M H VH 0.94 0.92 0.89 0.82 0.73 0.96 0.94 0.92 0.86 0.79 0.99 0.97 0.95 0.90 0.85 1.01 1.00 0.89 0.95 0.91 Sumber MKJI, 1997

(43)

b. Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan jarak kerb penghalang

Tabel 2.28

Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan jarak kerb pengahalang(FCSP) untuk jalan perkotaan dengan kerb

Tipe jalan hambatan Kelas samping

Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan jarak kerb penghalang FCSP

Jarak kerb penghalang WK

< 0.5 1.0 1.5 > 2.0 4/2 D VL L M H VH 0.95 0.94 0.91 0.86 0.81 0.97 0.96 0.93 0.89 0.85 0.99 0.98 0.95 0.92 0.88 1.01 1.00 0.98 0.95 0.92 4/2 UD VL L M H VH 0.95 0.93 0.90 0.84 0.78 0.97 0.95 0.92 0.87 0.81 0.99 0.97 0.95 0.90 0.85 1.01 1.00 0.97 0.93 0.90 2/2 UD atau jalan satu arah VL L M H VH 0.93 0.90 0.86 0.78 0.68 0.95 0.92 0.88 0.81 0.72 0.97 0.95 0.91 0.84 0.77 0.99 0.97 0.94 0.88 0.82 Sumber MKJI, 1997

● Faktor penyesuaian ukuran kota (FCCS)adalah seperti pada Tabel berikut ini Tabel 2.29

Faktor penyesuaian ukuran kota (FCCS) untuk jalan perkotaan

Ukuran kota (juta penduduk) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota FC

CS < 0.1 0.1 – 0.5 0.5 – 1.0 1.0 – 3.0 > 3.0 0.82 0.88 0.94 1.00 1.05 Sumber , MKJI, 1997 2.7.3 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai arus (Q) terhadap kapasitas (C), digunakan faktor utama untuk menentukan tingkat kinerja dan segmen jalan (MKJI, 1997). Nilai DS menentukan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak.

(44)

DS = Q / C

Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas yang dinyatakan dalam smp/jam. DS juga digunakan untuk analisa perilaku lalu lintas berupa kecepatan.

2.7.4 Kecepatan dan Waktu Tempuh

MKJI, 1997 mengunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan, karena mudah mengerti, diukur dan merupakan masukan penting untuk biaya pemakaian jalan dalam analisa ekonomi. Kecepatan tempuh didefinisikan dalam MKJI, 1997 sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen jalan.

V = L / TT Dimana :

V = kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam) L = panjang segmen (km)

TT = waktu rata-rata LV sepanjang segmen (jam)

2.8 PERSIMPANGAN

Persimpangan adalah simpul pada jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan kendaraan berpotongan. Masalah utama pada persimpangan adalah: a. Volume dan kapasitas yang secara langsung mempengaruhi hambatan. b. Desain geometrik dan kebebasan pandang.

c. Kecelakaan dan keselamatan jalan, kecepatan, lampu jalan. d. Parkir, akses, dan pembangunan yang sifatnya umum. e. Pejalan kaki.

(45)

Sasaran yang harus dicapai pada pengendalian persimpangan antara lain:

a. Mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh adanya titik-titik konflik.

b. Menjaga agar kapasitas persimpangan operasinya dapat optimal sesuai dengan rencana.

c. Harus memberikan petunjuk yang jelas dalam mengarahkan arus lalu lintas yang menggunakan persimpangan.

Dalam pengendalian persimpangan tersebut, jumlah potensial titik konflik persimpangan tergantung dari :

a. Jumlah arus pergerakan b. Jumlah kaki persimpangan

c. Jumlah lajur dari setiap kaki persimpangan d. Pengaturan simpang

Dalam menentukan sistem pengaturan persimpangan dapat digunakan pedoman pada gambar berikut yang menentukan jenis pengaturan persimpangan yang digunakan berdasarkan volume lalu lintas masing-masing kaki persimpangan.

Moyor road (thousand vehs/days) Priority Roundabout or signats Grade separation Mino r road flow (th ousand ve hs/days)

Sumber : Menuju Lalin dan Angkutan Jalan yang Tertib, 1987

Gambar 2.7

(46)

Pada hakekatnya terdapat empat jenis persimpangan yaitu :

• Persimpangan prioritas

• Persimpangan bundaran (roundabout)

• Simpang sebidang (at grade intersection)

• Simpang tidak sebidang (grade separation)

Jenis persimpangan didasarkan pada keberadaan sinyalnya dapat dibagi menjadi dua yaitu:

• Simpang bersinyal (signaled intersection)

• Simpang tidak bersinyal (unsignaled intersection)

Hanya jenis Simpang bersinyal yang akan dibahas pada Tugas Akhir ini.

Keuntungan dan kerugian dari maing-masing jenis persimpangan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.30

Keuntungan dan Kerugian Jenis Persimpangan

Jenis Persimpangan Keuntungan Kerugian

Prioritas • Lalu lintas ringan • Tundaan besar

khususnya pada jalan samping

• Diperlukan kebebasan

henti

Bundaran • Lalu lintas ringan hingga sedang

• Relatif baik untuk kendaraan berbelok dengan menghilangkan gerakan memotong

• Dapat digunakan untuk U-turn

• Memerlukan lahan yang relatif besar

• Memerlukan lahan yang relatif besar

• Memerlukan kebebasan henti di kaki-kaki persimpangan

Simpang Sebidang • Lalu lintas ringan hingga sedang

• Menampung arus berbelok yang tinggi dengan menggunakan kanalisasi

• Membutuhkan ruang yang relatif kecil dibandingkan bundaran

• Tundaan relatif akan besar pada saat jam-jam tidak sibuk.

Simpang tidak sebidang • Dapat menampung lalu lintas tinggi

• Tundaan minimal

• Mengurangi angka kecelakaan

• Kecepatan kendaraan besar

• Biaya pembangunan

mahal

(47)

2.8.1 Persimpangan Prioritas

Aturan prioritas yang sifatnya umum adalah pemberian kesempatan bagi kendaraan yang datang dari kiri untuk berjalan lebih dahulu. Prinsip ini cukup efisien untuk lalu lintas dengan volume rendah dan kecepatan rendah. Disini aturan prioritas harus jelas dimengerti oleh semua pengemudi.

2.8.2 Persimpangan Bundaran (roundabout)

Bundaran digunakan pada persimpangan dengan volume lalu lintas besar yang hampir sama dengan beberapa kaki simpangnya dan terdapat gerakan membelok yang besar dan bervariasi. Bundaran lalu lintas merupakan suatu alternatif dari penggunaan lampu lalu lintas (traffic light)

Bundaran lalu lintas mengendalikan lalu lintas dengan cara :

• Membelokkan kendaraan-kendaraan dari suatu lintasan yang lurus, sehingga memperlambat kecepatannya.

• Membatasi alih gerak (manuver) kendaraan menjadi pergerakan berpencar, bergabung, serta bersilang dengan tujuan memperkecil kecepatan-kecepatan relatif dari kendaraan.

Bundaran digunakan untuk memperlambat kecepatan kendaraan tapi tidak memberhentikan kendaraan secara besar-besaran seperti lampu merah pada penggunaan traffic light.

2.8.3 Persimpangan Sebidang

Persimpangan sebidang adalah persimpangan dimana berbagai jalan atau ujung jalan masuk ke persimpangan mengarahkan lalu lintas masuk ke jalur yang dapat berlawanan dengan lalu-lintas lainnya. Berbagai jenis persimpangan sebidang mencerminkan pola pengaturan dari jalan-jalan, derajat pemisahan dari gerakan-gerakan berlawanan tertentu, volume lalu lintas yang harus ditampung dan kecepatan serta luas daerah yang disediakan untuk fasilitas itu

(48)

Persimpangan bentuk T yang semua lintasannya diperkeras

Persimpangan T dengan lajur belok terpisah (bukan bentuk Y)

Cabang yang semuanya diperkeras Cabang dengan lajur belok terpisah

Persimpangan bentuk Y yang disalurkan Persimpangan bentuk Y dengan

lajur belik terpisah

Persimpangan dengan pelebaran Persimpangan yang semua lintasannya

diperkeras Persimpangan dengan lajur belok terpisah

Persimpangan bentuk Y dengankanalisasi yang semua kaitannya

diperkeras

Gambar 2.8

(49)

Gambar 2.9

Beberapa Contoh Pulau untuk Lalu lintas Jalan

2.8.4 Persimpangan Tidak Sebidang (Interchange)

Persimpangan tidak sebidang adalah persimpangan dengan arus lalu lintas pada kaki simpang utama yang berpotongan dipisahkan secara ruang.

Fungsi dari persimpangan tidak sebidang antara lain:

- Untuk menyediakan pemisahan dasar antara dua atau lebih lalu lintas arteri. - Untuk mempermudah perpindahan kendaraan dari satu arteri ke lainnya atau

antara jalan lokal dengan jalan bebas hambatan.

Apabila persimpangan ini hanya meliputi dua jalan bebas hambatan, maka keseluruhan persimpangan harus tidak sebidang , sehingga tidak terdapat jalur

(50)

gerak kendaraan yang berpapasan dengan jalur gerak lainnya. Persimpangan bentuk intan yang paling banyak dipakai pada daerah perkotaan karena persimpangan membutuhkan tanah yang lebih sedikit dibandingkan dengan simpang susun bentuk daun semanggi. Beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menggunakan interchange yaitu :

- Tipe dan kelas jalan - Volume lalu lintas - Kecepatan rencana - Topografi

- Rencana tata guna lahan - Faktor ekonomi (untung rugi)

Beberapa contoh interchange dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.10

Beberapa Contoh Simpang susun Jalan Bebas Hambatan (a). T atau terompet (b) Daun Semanggi (c) Persimpangan T setengah langsung (d) Intan yang biasa (e)

Intan dengan jalan-jalan kolektor dan distributor

(a)

(b)

(c)

(d)

(51)

2.8.5 Simpang Bersinyal 2.8.5.1 Tipe Simpang Bersinyal

Jenis atau tipe simpang bersinyal dalam MKJI, 1997 adalah seperti yang terlihat dalam gambar dan tabel sebagai berikut :

a. Simpang Bersinyal Empat Lengan

Tabel 2.31

Definisi Jenis Simpang Bersinyal Empat Lengan

Kode tipe

Pendekat jalan utama Pendekat jalan minor Jenis Fase

Jumlah

lajur Median LTOR Jumlah lajur Median LTOR

LT / RT % 10/10 25/25 411 412 422 422L 423 433 433L 434 444 444L 445L 455L 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 N Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y N N N Y N N Y N N Y Y Y 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 N N Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y N N N Y N N Y N N Y Y Y 42 42 42 42 43A 44C 44C 44C 44C 44C 44C 44C 42 42 42 42 43C 44B 44B 44B 44B 44B 44B 44B Sumber : MKJI 1997 Gambar 2.11

Jenis Simpang Bersinyal Empat Lengan

422L

422 444 444L

433

Gambar

Tabel 2.6  Penentuan Faktor k
Tabel 2.7  Jarak Persimpangan  Kecepatan rencana
Tabel 2.12  Panjang Minimum Taper  Kecepatan Rencana
Grafik Arus Jenuh Dasar untuk Pendekat Tipe P
+7

Referensi

Dokumen terkait

Polutan partikulat yang berasal dari kendaraan bermotor umumnya merupakan fasa padat yang terdispersi dalam udara dan membentuk asap. Fasa padatan tersebut berasal dari

Polutan partikulat yang berasal dari kendaraan bermotor umumnya merupakan fasa padat yang terdispersi dalam udara dan membentuk asap. Fasa padatan tersebut berasal dari

▪ Mengurangi jumlah kecelakaan pada pemakai jalan lainnya ▪ Mengurangi benar kerusakan pada kendaraan bermotor. Dalam membahas kecelakaan lalu lintas, perlu dibedakan

Polutan partikulat yang berasal dari kendaraan bermotor umumnya merupakan fasa padat yang terdispersi dalam udara dan membentuk asap. Fasa padatan tersebut berasal dari

Kapasitas dasar merupakan kemampuan suatu segmen jalan untuk menyalurkan kendaraan pada kondisi jalan tertentu yang meliputi geometrik, pola arus lalu lintas, dan faktor

Polutan partikulat yang berasal dari kendaraan bermotor umumnya merupakan fasa padat yang terdispersi dalam udara dan membentuk asap. Fasa padatan tersebut berasal dari pembakaran

Polutan partikulat yang berasal dari kendaraan bermotor umumnya merupakan fasa padat yang terdispersi dalam udara dan membentuk asap. Fasa padatan tersebut berasal dari pembakaran

Kapasitas merupakan nilai numrik, yang definisinya adalah jumlah maksimum kendaraan yang dapat lewat pada suatu arus atau lajur jalan raya dalam