5
KAJIAN PUSTAKA
A.
Sumber Pustaka
1. Rujukan Konsepsi
Kegelisahan merupakan hal yang lumrah dirasakan bagi setiap manusia dalam kesehariannya. Baik itu kegelisahan yang timbul dari suatu permasalahan yang kecil maupun permasalahan yang besar. Tidak dapat dipungkiri bahwa rasa gelisah akan mempengaruhi psikis manusia, yang tak jarang membuat manusia merasa ingin meluapkan atau mencurahkan unek-uneknya. Tidak sedikit juga seniman yang dengan kreatifnya meluapkan atau mencurahkan kegelisahannya ke dalam suatu karya seni. Bentuk kegelisahan yang dirasakan seorang seniman pun bermacam-macam untuk diungkapkan ke dalam karya seni, misalnya seperti kegelisahan dalam lingkup sosial, politik, budaya, bahkan kegelisahan dalam kehidupan pribadinya. Untuk itu, ide mengenai kegelisahan ini diimplementasikan ke dalam karya seni. Melalui karya seni, diharapkan pesan dari seniman dapat tersampaikan kepada masyarakat luas sebagai curahan hati, dan masyarakat dapat belajar dari pengalaman hidup yang seniman alami. Oleh karena itu, dalam proses implementasi tersebut memerlukan peninjauan terkait suatu bentuk kegelisahan, yaitu tidak lepas dari kajian serupa yang pernah diteliti sebelumnya. Berikut adalah beberapa kajian terkait yang pernah diteliti sebelumnya:
a. Btari Widya Pradipta
Salah satu kajian terdahulu yang membahas tentang suatu kegelisahan dibuat oleh Btari Widya Pradipta dalam jurnalnya yang berjudul “Kajian Karya Seni Performans Melati Suryodarmo”. Ia mengkaji sebuah karya seniman performans, Melati Suryodarmo, yang berjudul “I’m a Ghost in My Own House”. Dalam kajiannya, ia menjelaskan mulai dari proses pelaksanaan hingga konsep karya performans Melati Suryodarmo.
Gambar 1. Dokumentasi karya performans berjudul “I’m a Ghost in My Own
House”oleh Melati Suryodarmo
(Sumber: Screenshot Jurnal Btari Widya Pradipta, 2013)
Karya performans tersebut dilaksanakan di Lawangwangi Creative Space pada akhir tahun 2012 dan merupakan karya salah satu karya performans Melati dengan durasi terpanjang yang dilaksanakan selama 12 jam non-stop di atas tumpukan arang. Dalam bahasan konsep di balik karya, Melati merujuk pada rasa kesepian, keterasingan, serta tidak adanya keberadaan. Melati lebih berbicara mengenai masalah yang bersinggungan dengan kehidupan pribadinya. Bagi sang seniman, karyanya memiliki fungsi sebagai terapi tersendiri dalam menghadapi krisis atau
permasalahan yang dialaminya dalam kehidpan pribadinya, baik dalam konteks sosial maupun konteks kehidupan rumah tangganya, sebagai wanita, serta sebagai manusia. Tujuan karyanya tersebut adalah sebagai media seniman untuk menyampaikan gagasan keterasingan dan perasaan terisolir, serta usahanya dalam menghapus rasa kegelisahannya.
Begitu pula dengan penulis, karya seni performans Melati Suryodarmo yang dikaji dalam jurnal ini memiliki kesamaan konsep serta fungsi dengan karya yang diangkat dalam Tugas Akhir, yakni sebagai luapan suatu kegelisahan dan memiliki fungsi sebagai terapi tersendiri atas suatu persoalan yang dialami. Kegelisahan yang diangkat berdasarkan pengalaman pribadi. Melalui karya-karya yang disajikan, penulis memberikan ilustasi berupa karya seni grafis berdasarkan cerita-cerita dalam pengalaman hidup.
Sumber: Jurnal Btari Widya Pradipta berjudul “Kajian Seni Performans Melati Suryodarmo”
b. Nurfitrianah Octavianingrum R. P.
Konsep serupa mengenai kegelisahan juga diangkat oleh Nurfitrianah Octavianingrum R. P. dalam jurnalnya yang berjudul “Gelisah dalam Kosong” pada tahun 2013. Dalam jurnalnya ia membahas tentang kegelisahan pribadinya yang kemudian diimplementasikan ke dalam sebuah karya seni lukis. Idenya didapatkan dari kesadaran atas kanvas kosong yang belum diisi kemudian dimanfaatkan sebagai media untuk menuangkan rasa gelisah, pertanyaan, serta pernyataan tentang proses pencarian kesadaran berkarya. Gaya ekspresif merupakan gaya yang digunakan dalam mengimplementasikan idenya ke dalam karya seni
lukis. Menurutnya gaya ekspresif mewakilkan kebebasan dalam berkarya tanpa adanya batasan atas dasar kegelisahan jiwa. Proses berkaryanya juga dianggap sebagai terapi yang dapat menenangkan rasa gelisah yang dialaminya.
Gambar 2. Karya Nurfitrianah Octavianingrum R. P. berjudul “Tertekan dalam Tenang”, ukuran 100x130 cm, Mix Media di atas kanvas, 2012
(Sumber: Screenshot Jurnal Nurfitrianah Octavianingrum R. P., 2013) Beberapa medium berbeda dalam pembuatan karyanya, seperti cat minyak, cat akrilik, poliester, impasto, pasta modeling, gesso, dan lain-lain. Dalam pengerjaannya beberapa kanvas langsung digarap sekaligus, perpindah-pindah, dan tidak terfokus hanya pada satu kanvas. Dalam konsep dan karyanya memperlihatkan seberapa kesadaran dalam berkarya dengan media kanvas kosong yang memberi kebebasan berekspresi dalam kejujuran atas kesadaran estetik dengan intuitif.
Berdasarkan kajian dalam jurnal ini, penulis menemukan suatu kesamaan dalam menciptakan karya seni berupa konsep kegelisahan serta fungsi dari penciptaan karya seni tersebut. Namun juga memiliki suatu
perbedaan dalam pengungkapan kegelisahannya, seperti dalam jurnal ini sang seniman mengangkat kegelisahannya berdasarkan kesadarannya terhadap bidang kanvas yang masih kosong dan mengungkapkan pendapat-pendapatnya, sedangkan penulis mengungkapkan kegelisahannya berdasarkan cerita-cerita dari pengalaman hidup dalam lingkup dunia seni rupa. Memiliki kesamaan fungsi karya seni yang diciptakan antara sang seniman dengan penulis, yaitu berupa terapi untuk mengurangi kegelisahan yang dialami.
Sumber: Jurnal Nurfitrianah Octavianingrum R. P. berjudul “Gelisah dalam Kosong”
2. Referensi Teoritik a. Psikologi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik nornal maupun abnormal dan pengaruhnya terhadap perilaku. Psikologi merupakan ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Psikologi adalah sebuah ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari tentang perilaku dan fungsi mental manusia. Para ahli dalam bidang psikologi disebut sebagai psikolog. Para psikolog mempelajari tentang fungsi mental dalam perilaku individu maupun suatu kelompok, serta mempelajari tentang proses fisiologis (organ) dan neurobiologis (sel saraf) yang menjadi dasar perilaku. (https://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi).
Menurut Crow & Crow, psikologi ialah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, yakni interaksi manusia dengan dunia sekitarnya, baik hubungan sesama manusia maupun bukan manusia, seperti
hewan, iklim, kebudayaan, dan sebagainya. Banyak pula cabang ilmu psikologi yang dapat dipelajari, seperti psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi abnormal, dan sebagainya (http://www.academia.edu/5220490/Pengertian_Psikologi_menurut_para_a hli_Menurut_Crow_and_Crow).
b. Kegelisahan
Kegelisahan berasal dari kata gelisah yang artinya rasa tidak tentram di hati, selalu khawatir, tidak tenang, tidak sabar, cemas, dan sebagainya. Kegelisahan artinya perasaan gelisah, khawatir, cemas atau takut dan jijik terhadap sesuatu. Beberapa orang berpendapat bahwa seorang yang merasa gelisah akan dihantui rasa khawatir atau takut (Prasetya, 2011: 197).
Setiap manusia pasti pernah merasakan suatu kegelisahan dalam hidupnya. Kegelisahan ini apabila dirasakan atau diderita cukup lama, akan mengakibatkan suatu gangguan penyakit, dan akan menghilangkan kemampuan untuk merasa bahagia (Prasetya, 2011: 198).
Seorang yang sedang gelisah dapat diketahui gejalanya melalui tingkah laku atau gerak-geriknya dalam situasi tertentu. Misalnya seperti berjalan mondar-mandir dalam ruangan tertentu sambil menundukkan kepalanya, memandang jauh ke depan sambil mengepal-ngepalkan tangannya, duduk termenung sambil memegang kepalanya, duduk dengan wajah murung atau sayu, berdiam diri, malas berbicara, menggelengkan kepalanya, dan lain-lain (Mulyadi, 1998: 113).
Kegelisahan muncul akibat perbuatan diri sendiri atau karena perbuatan atau keadaan dari luar diri manusia, yang memberikan pengaruh
atau dampak yang merugikan pada psikologis manusia tersebut. Pengaruh yang ditimbulkan tidak hanya pada diri sendiri, melainkan dapat juga pada orang lain, baik yang berada disekitar maupun pada masyarakat luas (Mulyadi, 1998: 113)
Misalnya dalam dunia akademis seni rupa, seorang mahasiswa dituntut menyelesaikan suatu karya seni pada tenggang waktu yang telah ditentukan, namun karena kendala teknis yang rumit akhirnya hingga mendekati tenggang waktu yang telah ditentukan karya masih belum dapat diselesaikan. Akibatnya suasana dalam diri mahasiswa tersebut menjadi tidak menentu dan merasa gelisah, apakah ia sanggup menyelesaikan tanggung jawabnya atau tidak, sehingga mahasiswa harus berusaha meminta dispensasi dari dosen yang bersangkutan sebagai usaha untuk mengurangi kegelisahannya, karena saat itu ia sedang mengerjakan sesuatu yang belum pasti.
Hal yang mendasari manusia dapat merasakan gelisah adalah karena manusia memiliki hati dan perasaan. Kegelisahan memiliki bermacam-macam bentuk, seperti keterasingan, kesepian, serta ketidakpastian. Hal-hal tersebut yang dapat mengubah kebahagian dan kegembiraan pada manusia, yang kemudian muncul perasaan tidak tentram, khawatir, cemas, takut, jijik, dan sebagainya (Sulaeman, 1998: 80).
Dalam buku yang ditulis Sulaeman (1998: 80), Sigmund Freud membagi perasaan cemas menjadi tiga macam, yaitu:
1. Kecemasan obyektif. Kecemasan ini kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya lupa mematikan kompor, lupa mengerjakan tugas,
orang tua yang mengkhawatirkan anaknya karena belum pulang, dan sebagainya.
2. Kecemasan neurotik (saraf). Kecemasan ini muncul karena adanya pengamatan secara naluri manusia terhadap sesuatu yang sekiranya membahayakan dirinya. Misalnya seseorang yang sedang beradaptasi dengan lingkungan yang baru, fobia terhadap suatu hal, gugup atau canggung ketika bertemu dengan seorang yang disukainya, dan sebagainya.
3. Kecemasan moral. Setiap individu memiliki bermacam-macam emosi, seperti iri, demdam, dengki, benci, takut, dan lain-lain. Rasa ini biasanya dihubungkan dengan keadaan orang lain. Seperti iri dan sebagainya itu tidak cukup beralasan, yang mana hanya memandang dirinya sendiri (egoisme) dan merupakan sikap yang tidak terpuji baik di hadapan masyarakat maupun Tuhan sang pencipta. Dengan adanya sikap ini manusia akan mengalami rasa khawatir, cemas, takut, jijik, bahkan putus asa.
Mengatasi kegelisahan ini memiliki dua cara, yaitu bersifat horizontal dan bersifat vertikal. Mengatasi kegelisahan yang bersifat horizontal pertama-tama harus mulai dari diri sendiri, yaitu kita harus bersikap tenang. Dengan bersikap tenang kita dapat berpikir dengan jernih dan tenang, serta memahami kondisi baik dalam diri sendiri maupun orang lain, sehingga kita dapat menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi. Kemudian untuk mengatasi kegelisahan yang bersifat vertikal, yaitu dengan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan sang pencipta, dengan cara berdoa dan
berserah diri, mengharapkan sesuatu yang terbaik dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian dapat mengurangi atau mengatasi kegelisahan yang dirasakan (Mulyadi, 1998: 116).
c. Ilustrasi
Menurut buku yang ditulis oleh Rusmadi (1994: 1), Robert Ross mengemukakan “ilustrasi adalah gambar atau wujud lain yang ditujukan untuk menerangkan dan menghias. Ditampilkan dengan suatu kepribadian dan mengandung daya tarik serta merangsang dan memberi motif bagi suatu gerak.”
Ilustrasi merupakan wujud penggambaran berdasarkan suatu cerita yang berfungsi memperjelas dan menghias yang penerapannya dapat berupa gambar dua dimensional, bentuk tiga dimensional, tulisan, ucapan, gerak (tari), bunyi (musik), dan sebagainya (Rusmadi, 1994: 2).
Dalam penciptaan karya Tugas Akhir, penulis mengimplementasikan konsep kegelisahannya dengan mengilustrasikan cerita-cerita yang dialami. Cerita-cerita yang penulis ilustrasikan dalam karya tidak dengan secara lugas, namun dengan proses berfikir dan berimajinasi kemudian penulis mengilustrasikan cerita-cerita kegelisahannya secara menarik, seperti menanamkan suatu makna pada objek-objek tertentu atau bahasa tubuh yang divisualkan.
d. Seni Grafis
Seni grafis dapat didefinisikan sebagai ungkapan karya seni rupa dua dimensional yang memanfaatkan proses cetak-mencetak. Dalam pengerjaannya dapat menggunakan beberapa teknik, yang pada umumnya
seperti cetak tinggi (Woodcut, Hardboardcut, Linocut, Relief Print), cetak dalam (Etsa, Drypoint), cetak datar (Lithography, Kitchen Litho), dan cetak saring (Serigrafi, Screen Printing). Karena menggunakan sistem cetak, maka memungkinkan adanya proses pengulangan pencetakan, oleh karena itu hasil cetakan dapat berjumlah lebih dari satu atau jamak (Budiwirman, 2012: 96).
Grafis berasal dari graphein “menulis” atau “menggambar” (Yun). Seni (cetak) grafis merupakan penggubahan gambar yang melalui proses cetak manual dan menggunakan material tertentu, dengan tujuan memperbayak karya, minimal 2 hasil cetakan (Susanto, 2012: 162).
Seni grafis secara sederhana merupakan bentuk ungkapan seni rupa dua dimensi yang memanfaatkan proses cetak. Karya grafis memungkinkan diperoleh jumlah lebih dari satu. Hal tersebut menjadi poin positif seni grafis dibandingkan dengan seni dua dimensi lainnya seperti seni lukis dan seni gambar lainnya. Seperti halnya jari-jari yang diberi cat atau tinta kemudian ditempelkan di beberapa tempat, dengan demikian akan tercipta hasil cetakan-cetakan dari jari-jari tersebut (Budiwirman, 2012: 74).
Proses cetak dalam seni grafis cenderung terbatas pada proses manual, yaitu proses langsung yang melibatkan ketrampilan tangan sang seniman. Dalam seni grafis biasanya terdapat keterangan yang ditulis dibawah gambar hasil cetakan berupa edisi, teknik pembuatan, judul, nama seniman, serta tahun pembuatan. Hal tersebut guna mempertegas keaslian karya dan ditulis dengan menggunakan pensil. Penulisan edisi ditulis berdasakan jumlah cetakan keseluruhan, misalnya 5/12, dimaksudkan bahwa karya tersebut merupakan hasil cetakan ke-5 dari keseluruhan 25 cetakan.
e. Seni Grafis (Cetak Tinggi)
Cetak tinggi atau relief print merupakan suatu karya seni grafis yang metode pencetakan gambarnya menonjol lebih tinggi yang menjadi permukaan yang akan dicetak (Susanto, 2012: 78).
Cetak tinggi disebut demikian karena permukaan acuan cetak yang akan diberi tinta berada paling tinggi. Proses pencetakan pada umumnya dilakukan dengan cara dipres maupun gosok pada bagian belakang bidang cetak. Cetak tinggi ini antara lain, cukilan kayu (woodcut), cukilan lino (linocut), dan torehan kayu (wood engraving). Ciri khas karya cukilan kayu terletak pada pemanfaatan efek serat kayu (tekstur).
Cetak tinggi atau relief print adalah salah satu dari beberapa macam teknik cetak yang memiliki acuan permukaan timbul atau meninggi, dimana permukaan timbul tersebut berfungsi sebagai penghantar tinta. Bagian yang dasar atau permukaan yang tidak timbul merupakan bagian yang tidak akan terkena tinta atau disebut bagian negatif, sedangkan bagian yang kena tinta disebut bagian positif. Untuk memperoleh acuan cetak yang timbul dapat dilakukan dengan cara menghilangkan bagian-bagian yang tidak diperlukan menghantarkan tinta, sehingga tinggal bagian-bagian yang memang berfungsi sebagai penghantar warna atau tinta (Marianto, 1988: 15-20).
f. Komponen Seni
1. Subject Matter
Subject Matter dalam seni adalah suatu persoalan yang diungkapkan pada suatu karya, biasanya disebut sebagai pokok permasalahan atau tema. Dengan demikian, subject matter merupakan
hal-hal apa saja yang menjadi pokok permasalahan yang diungkapkan ke dalam suatu karya seni (Mulyadi, 1998: 15).
Dalam menciptakan suatu karya seni, tema merupakan suatu gagasan yang akan dikomunikasikan oleh seorang seniman kepada penikmat karya seni. Tema dapat berupa masalah sosial, budaya, religi, pendidikan, politik, dan sebagainya. Aspek yang dapat dikritisi adalah sejauh mana tema tersebut dapat menyentuh dan dapat diterima oleh penikmat karya seni (Bahari, 2014: 22).
2. Bentuk
Bentuk dimaksudkan sebagai totalitas karya. Suatu bentuk tercipta dari segenap unsur yang mewujudkan suatu karya seni, seperti garis, bidang (shape), warna, tekstur, ruang, dan cahaya atau gelap terang. Unsur-unsur tersebut diatur dengan berdasarkan keseimbangan (balance), ritme, dominan, harmoni, dan lain-lain (Mulyadi, 2000: 29). 3. Isi
Isi disubut kualitas atau arti yang ada dalam suatu karya seni. Isi juga dimaksudkan sebagai final statement, mood (suasana hati) atau pengalaman penghayat, isi merupakan arti yang esensial dari pada bentuk, dan sering kali dinyatakan sebagai bentuk sejenis emosi, aktifitas intelektual atau asosiasi yang yang kita lakukuan terhadap suatu karya seni. Apabila ada suatu usaha untuk menganalisa mengapa bentuk dari suatu karya menimbulkan emosi atau ekspresi terhadap kita, atau menstimulasi aktifitas intelektual penghayatnya, sebenarya kita sedang berhaapan dengan isi atau arti (Mulyadi, 2000:16-17).
g. Unsur Seni
1. Garis
Menurut buku yang ditulis oleh Hakim (1997: 35), menyatakan bahwa “garis dimulai dari sebuah titik, merupakan “jejak” yang ditimbulkan oleh titik- titik yang digerakan atau merupakan sederetan titik- titik yang berhimpit. Juga merupakan goresan atau sapuan yang sempit dan panjang sehingga membentuk seperti benang atau pita. Wujud garis terdiri dari garis aktual/garis formal (grafis, tergambar, sungguh, nyata, kongkrit) dan garis ilusif/sugestif (khayal, semu)”. 2. Bidang (Shape)
Bidang terbentuk oleh sebuah garis yang kedua ujungnya saling terhubung. Bidang merupakan suatu bentuk yang disekelilingnya dibatasi oleh garis.
Bidang atau Shape (Ing.) adalah area. Bidang terbentuk karena ada 2 atau lebih garis yang bertemu (bukan berhimpit). Dengan kata lain, bidang adalah sebuah area yang dibatasi oleh garis, baik oleh garis formal maupun garis yang sifatnya ilusif, ekspresif atau sugestif (Susanto, 2012: 55).
3. Warna
Warna didefinisikan sebagai getaran atau gelombang dari suatu benda atau objek yang diterima oleh indera penglihatan atau mata yang mana objek tersebut terkena pancaran cahaya (Susanto, 2012: 433).
Warna adalah gelombang cahaya dengan frekuensi yang dapat mempengaruhi penglihatan kita. Warna memiliki tiga dimensi dasar yaitu hue, nilai (value), dan intensitas (intensity) (Bahari, 2014: 100).
4. Tekstur
Tekstur adalah kesan halus atau kasar yang terdapat pada permukaan suatu benda atau objek, atau perbedaan tinggi rendahnya permukaan suatu benda atau objek. Tekstur juga merupakan rona visual yang menegaskan karakter suatu benda (Bahari, 2014: 101).
5. Ruang
Ruang merupakan istilah yang dikaitkan dengan bidang dan keluasan. Ruang yang tercipta akan terasa memili volume. Dalam seni rupa orang sering mengaitkan ruang adalah bidang yang memiliki batas atau limit, walaupun kadang-kadang ruang bersifat tidak terbatas dan tidak terjamah (Susanto, 2012: 338).
6. Cahaya dan Bayang-bayang
Bayang-bayang pada suatu karya, diakibatkan oleh adanya pembubuhan terang berupa efek cahaya pada bagian tertentu pada suatu objek, baik dua dimensi maupun tiga dimensi. Dalam karya dua dimensi bayang-bayang ditimbulkan oleh perbedaan gelap dan terang yang dibubuhkan pada suatu warna. Berbeda dengan karya tiga dimensi yang mana bayang-bayang timbul melalui cahaya yang diberikan pada karya tersebut (Bahari, 2014: 103).
B.
Referensi Karya
Dalam pengolahan konsep kegelisahan, penulis memiliki referensi beberapa karya seniman, diantaranya Edvard Munch, Agnes Cecile, dan Muhlis Lugis. Pemilihan seniman-seniman tersebut sebagai referensi, didasarkan pada konsep
berkarya masing-masing seniman yang sesuai dengan konsep kegelisahan yang diangkat penulis dalam penciptaan karya Tugas Akhir. Seniman-seniman ini mempunyai karakteristik yang berbeda dalam menampilkan karya dengan tema kegelisahan. Penulis terinspirasi baik dari segi konsep maupun bentuk visual karya.
1. Edvard Munch
Edvard Munch merupakan seniman kelahiran 12 Desember 1863 asal Norwegia. Ia merupakan pelukis aliran ekspresionis dan seorang printmaker. Kesengsaraan atau penderitaan sangat mempengaruhi karyanya dalam perkembangan ekspresionisme di Jerman pada awal abad ke-20. Salah satu karya dari Edvard Munch yang sangat terkenal adalah sebuah lukisan berjudul “The Scream”. Lukisan tersebut dianggap sebagai ikon penggambaran penderitaan dan merupakan salah satu bagian dari seri yang disebut The Frieze of Life, yang mana Munch mengangkat kehidupan, cinta, ketakutan, kematian,
dan kesedihan sebagai tema dalam karyanya.
Gambar 3. Karya Edvard Munch “The Scream”, ukuran 91x74 cm, medium tempera, cat minyak, pastel, tahun 1893
(Sumber: id.wikipedia.org)
Lukisan tersebut menggambarkan dirinya yang merasakan kecemasan, ketakutan, dan kesedihan, dengan cakrawala senja berwarna merah darah, yang dilihat setelah letusan gunung Krakatau pada 1883. Munch merasakan jeritan yang tidak henti-hentinya melintas di alam. Munch berusaha menutupi telinganya dengan kedua tangannya agar tidak mendengar jeritan yang menekannya, entah suara sungguhan atau suara yang membayanginya. Munch menciptakan karya tersebut ke dalam beberapa versi, seperti tempera di atas karton, kemudian cat minyak, tempera, dan pastel di atas karton, dan Munch juga menciptakannya ke dalam versi seni grafis teknik lithografi. (https://id.wikipedia.org/wiki/Jeritan_(lukisan))
Edvard Munch dijadikan sebagai salah satu sumber referensi dalam berkarya. Aspek yang dapat diambil dari proses kreatif Edvard Munch yaitu konsepnya yang mengangkat kehidupan, cinta, takut, kematian, dan kesedihan
sebagai tema dalam karyanya, yang mana hal tersebut merupakan sebuah kegelisahan Edvard Munch. Seperti halnya penulis mengangkat konsep kegelisahan dalam karyanya yang berdasarkan pengalaman hidupnya. Yang membedakan karya penulis dengan karya Edvard Munch adalah implementasi dalam perwujudan suatu karya, yaitu Edvard Munch mengimplementasikan kegelisahannya berupa karya seni lukis, sedangkan penulis berupa karya seni grafis, yang mana dalam proses penciptaan karya itu sendiri sudah berbeda.
2. Agnes Cecile
Silvia Pelissero atau yang sudah sering dikenal sebagai Agnes Cecile, merupakan seniman asal Roma, Italy, kelahiran tahun 1991. Agnes Cecile dikenal sebagai seniman lukis cat air, yang sebagian besar karya-karyanya memberikan visual portrait wajah sebagai objek utamanya. (http://agnes-cecile.deviantart.com)
Karya Agnes Cecile yang sebagian besar memberikan visual portrait wajah sebagai objek utamanya, dan yang menarik adalah kekuatan ekspresi-ekspresi wajah yang diwujudkan dalam karyanya dapat mengajak penikmat karyanya untuk ikut larut merasakan seperti yang divisualkan melalui ekspresi wajah dalam karyanya
Gambar 4. Karya Agnes Cecile “I Could but I Can’t”, ukuran 100x150 cm, akrilik, cat air, pen di atas kanvas, tahun 2014
(Sumber: agnes-cecile.deviantart.com)
Penulis terinspirasi oleh konsep yang diangkat oleh karya Agnes Cecile yang mana dalam karyanya memberikan kesan keresahan, kesedihan, bahkan kemarahan serta visual ekspresi wajah yang mendukung konsepnya. Karya-karya Agnes Celcile juga merupakan wujud dari apa yang sedang ia rasakan dan respon terhadap perasaannya. Dalam beberapa karya yang telah diciptakan penulis juga menggunakan ekspresi wajah sebagai sarana untuk memperkuat konsep dalam mengilustrasikan ceritanya. Ekspresi wajah yang divisualkan penulis dalam karyanya sebagian besar dengan mata terpejam, yang mana merupakan wujud bahwa penulis benar-benar meresapi dan merasakan kegelisahannya untuk diilustrasikan.
3. Muhlis Lugis
Muhlis Lugis merupakan seniman grafis kelahiran Makassar, Sulawesi, Selatan, tahun 1987. Ia merupakan seniman lulusan S2 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Namanya sudah tidak asing di dunia seni grafis Indonesia. Muhlis Lugis terkenal dengan karya seni grafis cukil kayunya. Ia juga merupakan seniman grafis yang mendapatkan penghargaan juara ke-3 dalam kompetisi dan pameran berskala Internasional “Trienale Seni Grafis V” pada tahun 2015.
Visual serta karakter cukilan rapi dan halus yang dihasilkan terasa sangat khas melekat pada karyanya. Sebagian besar dalam berkarya Muhlis Lugis menggunakan gaya surealis. Gaya surealisnya sangat kuat terasa ketika Muhlis Lugis menggunakan figur manusia dengan posisi kepala diganti menjadi sebuah kaki atau tangan, serta dengan objek dan latar sebagai pendukung konsepnya.
Penulis terinspirasi oleh alur atau serat cukilan pada figur manusia dalam karya-karya Muhlis Lugis. Karena dengan alur atau serat cukilan yang seperti itu dapat lebih mudah untuk menghasilkan efek gelap terang atau bayang-bayang pada objek sehingga detail objek pun dapat ditonjolkan. Selain itu warna hitam putih pada sebagian besar karya Muhlis Lugis menjadi inspirasi penulis dalam menciptakan karya sebagai pendukung konsep kegelisahan yang diangkat. Sebagai pembeda antara karya yang diciptakan penulis dan Muhlis Lugis adalah pada konsep yang mana Muhlis Lugis lebih mengimplementasikan kritikannya dalam kehidupan sosial dan keadilan,
sedangkan penulis lebih menekankan pada kegelisahan yang dirasakan berdasarkan pengalaman hidupnya di dunia seni rupa.
Gambar 5. Karya Muhlis Lugis “Penoda Keadilan”, ukuran 125x125 cm, cukil kayu di atas kanvas, tahun 2013
(Sumber: indonesianpainter.com)
Dalam salah satu karyanya yang berjudul “Penoda Keadilan”, Muhlis Lugis memberikan visual figur manusia yang duduk pojok suatu ruangan, dengan posisi kepalanya diganti menjadi tangan sedang yang memegang timbangan rusak. Dengan gaya surealisnya, Muhlis Lugis menggambarkan “sang penoda keadilan” yang menambah jumlah “pengadilan yang sesat”, sehingga mengakibatkan “timbangan keadilan” tercampak, tak mampu lagi kembali tegak. Melalui karya ini Muhlis Lugis menuangkan kegelisahannya
dalam tragedi kemanusiaan yang dirasakannya.
(https://www.indonesianpainter.com/wp-content/uploads/2016/12/Muhlis-Lugis.pdf)