• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Dan Pengelolahan Wakaf Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Di Kotamadya Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Dan Pengelolahan Wakaf Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Di Kotamadya Medan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERKEMBANGAN PENGATURAN PELAKSANAAN WAKAF

A. Dasar Hukum Pelaksanaan Wakaf

Pelaksanaan wakaf di Indonesia tidak terlepas dari pada pengaruh agama

islam di Indonesia, dimana hal ini dapat dilihat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan

Al-Hadis, yang merupakan sumber hukum islam. Dalam Al-Qur’an sendiri

landasan pelaksanaan wakaf terdapat dalam ayat-ayat, antara lain:30 1. Q.S. Ali Imran Ayat 92

Artinya: kamu sekalian tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna)

sebelum kamu menafkahkan sebagian dari harta yang kamu cintai. Dan apa

saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.

2. Q.S. Al Baqarah Ayat 267

Artinya: hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah ( di jalan Allah)

sebagian dari hasil usahamu yang baik dan sebagian yang kami keluarkan

dari bumi untuk kamu.

3. Q.S. Al-Hajj Ayat 77

Artinya: dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan

Selain dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mendorong umat manusia berbuat

baik untuk kebaikan orang lain dengan membelanjakan atau menyedekahkan

harta, para ulama menyandarkan persoalan wakaf ini kepada sumber hukum yang

kedua yaitu Hadist Nabi Muhammad SAW., adapun Hadist Nabi Muhammad

30

(2)

SAW., yang menjadi landasan dalam pelaksanaan wakaf sendiri adalah sebagai

berikut, yang diantaranya:31

1. Dari Abu Hurairah, bahwa Rasullullah bersabda: bahwa manusia mati maka

terputuslah amalanya, kecuali dari 3 (tiga) perkara yaitu sedekah jariyah, ilmu

yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan kepadanya.

Hadist di atas bermakna bahwa amal orang yang telah mati ini terputus

pembaharuan pahalanya kecuali ketiga perkara ini karena ketiganya itu

berasal dari nasab keturunan : anak yang dimiliki, dan sedekah jariyahnya

yang kesemuanya berasal dari usahanya.

2. Dari Ibnu Umar Ibnu Al-Khatab yang mempunyai sebidang tanah di Khaibar,

lalu ia datang kepada nabi untuk meminta nasihat tentang hartu itu seraya

berkata :”Ya Rasullullah sesungguhnya aku telah mendapat sebidang tanah di

Khaibar yang aku belum pernah memperoleh tanah seperti itu. Rasullullah

berkata: ” jika engkau mau wakafkanlah tanah itu sedekahkanlah hasilnya.

Berkata Ibnu Umar : maka Umar mewakafkan tanah itu untuk orang fakir,

kepada kerabat, kepada budak untuk jalan Allah, kepada orang terlantar dan

tamu. Tidaklah orang yang mengurusi (nadzir) memakan sebagian harta itu

secara patut atau memberi pakan sebagian dari pada harta asalah tidak

bermaksud untuk mencari kekayaan. Para ulama salaf bersepakat bahwa

wakaf itu sah adanya dan wakaf Umar di Khaibar itu adalah wakaf yang

pertama terjadi di dalam islam.

31

(3)

3. Dari Ustman ra., bahwa ia mendengar bahwa Rasullullah bersabda:” barang

siapa yang menggali sumur rumah maka baginya surga. Ustman berkata:”

maka sumur itupun aku gali. Dalam suatu riwayat Al-Baqhowi: bahwa

seseorang laki-laki dari Bani Giffar mempunyai sebuah mata air yang

dinamakan Raumah, sedang ia menjual satu kaleng dari airnya dengan harga

satu mud. Maka Rasullullah berkata kepadanya:” maukah engkau menjualnya

kepada dengan satu mata air dalam surga? orang itu menjawab: wahai

Rasullullah aku dan keluargaku tidak mempunyai apa-apa selain itu. Berita

itu disampaikan kepada Ustman, lalu Ustma n membelinya dengan harga 35

ribu dirham, lalu datanglah Ustman kepada nabi lalu berkata:”maukah engkau

menjadikan bagiku sepeti apa yang hendak engkau jadikan sumur itu wakaf

bagi kaum muslimin.

Selain terdapat di dalam surat-surat Al-Qur’an dan Al-Hadist, pada zaman

penjajahan kolonial Belanda wakaf juga sudah mulai dikenal di Indonesia, hal ini

dibuktikan dengan dikeluarkanya Surat Edaran Sekretaris Gubernemen No.435

yang termuat dalam Bijblad No. 6195/1905 Tentang Toezichat Op Den Bow Van

Muhammedeensche Bedelhuizen, yang berlaku di seluruh Pulau Jawa dan

Madura terkecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta, dimana dalam surat

edaran ini dijelaskan bahwa dalam mendirikan tanah wakaf harus mendapatkan

persetujuan Bupati. surat edaran ini masih belum berlaku efektif, akan tetapi

masih dipertahankan selama 25 tahun.32

32

(4)

Selain Surat Edaran Sekretaris Gubernemen No.435, pemerintah kolonial

Belanda juga mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 4 Juni

1931 Nomor 1361/A yang termuat dalam Bijblad No. 125/3 Tahun 1931 Tentang

Toezicht Van De Regering Op Mohammedansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en

Wakafs, dimana dalam surat edaran ini menjelaskan bahwa untuk mendirikan

tanah wakaf harus mendapatkan izin dari Bupati untuk tidak bertentangan dengan

kepentingan umum.33Selanjutnya Surat Edaran yang dikeluarkan pada zaman penjajahan kolonial Belanda yang mengatur mengenai wakaf di Indonesia adalah

Surat Edaran Gubernemen Tanggal 24 Desember 1934 No.3088/A yang termuat

dalam Bijblad No. 13990 Tahun 1934 Tentang Toezicht De Regering Op

Mohammadansche Bedehuizan Vrijdagdiensten en Wakafs, dimana surat edaran

ini menjelaskan bahwa wakaf supaya diberitahukan kepada Bupati untuk dicatat

dan dibebaskan dari pajak.34

Memasuki proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, peraturan

mengenai wakaf sebagaimana yang telah diuraikan di atas masih tetap berlaku,

dimana hal ini berdasarkan bunyi Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang

Dasar 1945. Selain peraturan-peraturan pemerintah kolonial belanda mengenai

wakaf yang masih tetap berlaku, pada era proklamasi kemerdekaan ini juga

pemerintah Indonesia membentuk Departemen Agama (Jawatan Urusan Agama),

sehingga dengan dibentuknya Departemen Agama segala persoalan mengenai

wakaf menjadi wewenang Departemen Agama sebagaimana yang diatur dalam

PP No.33 Tahun 1949 Jo PP No.8 Tahun 1950, pada perkembangan selanjutnya

33

Ibid.,hal.40

34

(5)

Departemen Agama mengeluarkan Surat Edaran Jawatan Urusan Agama No. 5 D

Tahun 1956, dimana surat edaran ini menginstruksikan bahwa urusan mengenai

perwakafan diserahkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA), dimana dalam

surart edaran ini KUA dianjurkan untuk membantu orang-orang yang akan

mewakafkan hartanya lengkap dengan prosedur perwakafanya.35

Selanjutnya pada tahun 1960, pemerintah Indonesia menerbitkan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, dimana dengan

lahirnya Undang-undang ini membawa perubahan yang mendasar bagi sistem

pertanahan di Indonesia, hal ini juga berdampak bagi pengaturan wakaf tanah di

Indonesia, dimana sebagaimana amanat Pasal 49 Ayat 3 UUPA yang

menyebutkan bahwa ” perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dalam suatu

peraturan pemerintah”, sehingga berdasarkan amanat Pasal 49 Ayat 3 UUPA

tersebut maka pemerintah menindaklanjutkanya dengan mengeluarkan PP No. 28

Tahun 1977 Tentang Wakaf Tanah, dimana dengan lahirnya PP No. 28 Tahun

1977 ini, semua peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial

Belanda yang bertentangan dengan PP No. 28 Tahun 1977 dinyatakan tidak

berlaku lagi, akan tetapi PP No. 28 Tahun 1977 ini hanya mengatur mengenai

wakaf tanah dan tidak mengatur wakaf selain tanah.36

Seiring dengan diluaskannya kompetensi Pengadilan Agama, maka

urusan perwakafan juga diatur dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang

Kompilasi Hukum Islam, tertanggal 22 Juli 1991. Sementara untuk melaksanakan

Inpres ini Menteri Agama telah mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung No.

35

Ibid.,hal.50

36

(6)

154 Tahun 1991, yang menyatakan bahwa ” semua instansi Departemen Agama

dan dan instansi pemerintah lainya yang terkait supaya menyebarluaskan

Kompilasi Hukum Islam”. Lahirnya Kompilasi Hukum Islam ini erat kaitanya

dengan disahkanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama yang memberikan kompetensi lebih luas kepada Pengadilan Agama dan

menjadikan kedudukanya sama dengan pengadilan kompetensi sebelumnya yang

hanya dibidang perkawinan, yang kemudian diperluas dibidang kewarisan,

wakaf, hibah, dan wasiat.37

Perkembangan selanjutnya, karena pemerintah masih merasa bahwa

hanya dengan peraturan wakaf yang ada, peraturan-peraturan tersebut dirasa

masih belum cukup lengkap dan belum cukup untuk dijadikan payung hukum

mengenai perwakafan di Indonesia, maka atas dasar hal itulah pada Tanggal 27

Oktober 2004 pemerintah Indoensia menerbitkan Undang-Undang No. 41 Tahun

2004 Tentang Wakaf, dengan lahirnya Undang-Undang Wakaf ini maka semua

peraturan mengenai wakaf masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan

dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru.38

B. Harta Benda Dalam Wakaf

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 41

Tahun 2004, adapun yang dimaksud dengan harta benda wakaf adalah:

” Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta memiliki nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.”

37

Ibid.,hal.55

38

(7)

Menurut ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf, harta benda wakaf itu sendiri terdiri atas:

2. Benda tidak bergerak

Adapun yang dimaksud dengan benda tidak bergerak dalam wakaf

yaitu meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar, dapat juga

diikuti dengan bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atasnya

dan tanaman serta benda lain yang berkaitan dengan tanah.

b. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syariah dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Menurut prinsip hukum agraria nasional, hanya hak milik yang

memiliki sifat penuh dan bulat (tidak mutlak). Sedangkan hak-hak lainya atas

tanah seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai hanya

mempunyai sifat yang terbatas, dimana hal ini dikarenakan pemegang haknya

itu sendiri terbterikat dengan jangka waktu dan syarat-syarat tertentu.

Berdasarkan prinsip yang telah diuraikan di atas, karena perwakafan

ini bersifat kekal abadi dan selama-lamanya, maka oleh karena itu hak-hak

atas tanah yang bersifat terbatas dalam tenggang dan jangka waktu tertentu

dan terikat dengan syarat tertentu seperti dalam tanah yang berstatus sebagai

(8)

mewakafkan tanah yang dalam penguasaanya, maka terlebih dahulu haruslah

diajukan permohonan perubahan (konversi). Hal-hal yang menjadi hak milik

setelah hak milik itu dimiliki barulah tanah tersebut bisa diwakafkan.39 3. Benda bergerak

Benda bergerak dalam wakaf adalah harta benda yang tidak bisa

habis karena dikonsumsi, dimana benda bergerak meliputi:

a. Uang;

b. Logam mulia;

c. Surat berharga;

d. Kendaraan;

e. Hak kekayaan atas intelektual;

f. Hak sewa; serta

g. Benda bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

Sebagaimana halnya harta benda yang tidak bergerak, harta benda

yang bergerak juga baru dapat diwakafkan jika apabila harta benda tersebut

telah dikuasai dan dimiliki oleh wakif secara sah menurut hukum.

C. Penarikan Kembali Tanah Wakaf

Wakaf sebagai suatu institusi keagamaan, disamping berfungsi sebagai

kegiatan ibadah dan amal jariyah juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai

sebagai ibadah, amalan wakaf ini merupakan amalan shodaqoh yang telah

39

(9)

dilembagakan dan harta benda yang telah diwakafkan tersebut digunakan untuk

amal kebaikan yang terlepas dari hak milik perorangan, dan menjadi milik Allah

SWT.40

Tanah yang telah diwakafkan pada intinya tidak dapat dilakukan

penarikan kembali atau pembatalan wakaf, dimana hal ini sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,

yang menyatakan bahwa wakaf yang telah dilakukan ikrar tidak dapat dibatalkan

atau ditarik kembali.41Namun pada hal-hal tertentu penarikan kembali tanah wakaf dapat dilakukan dengan pengecualian apabila dalam pelaksanaan wakaf

tidak sesuai dengan tata cara perwakafan dan tidak memenuhi dari salah satu

unsur-unsur dan syarat wakaf yang telah tercantum dalam peraturan

perundang-undangan perwkafan yang berlaku, karena pelaksanaan wakaf yang demikian

adalah batal demi huku m.42

Kasus penarikan kembali harta wakaf pernah terjadi di Indonesia, yaitu

pada kasus Nomor 987/Pdt.G/2003/PA.Smg., dimana para ahli waris dalam hal

ini adalah penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Semarang,

dengan gugatan para ahli waris meminta Pengadilan Agama semarang untuk

melaksanakan penarikan kembali tanah wakaf, yang pada akhirnya majelis hakim

memutuskan mengabulkan gugatan para penggugat. Dalam putusannya majelis

hakim mempertimbangkan bahwa dalam pelaksanaannya perwakafan yang

dilakukan tidak memenuhi syarat sahnya perwakafan. Diantaranya jika ditinjau

dari sudut pandang Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 bahwasannya

40

Abdul Ghofur Anshari, Op.Cit.,hlm. 78

41

Riza Resitasari, Op.Cit.,hlm.83

42

(10)

pelaksanaan wakaf tidak memenuhi diantarannya adalah tidak dilaksanakannya

ikrar wakaf dan harta wakaf masih berstatus sengketa para ahli waris dan

merupakan harta bersama wakif dengan istri pertama dan istri kedua yang belum

dibagi waris.43

Berangkat dari kasus yang telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan

bahwa majelis hakim dalam menjatuhkan putusannya telah mengenyampingkan

ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yang

melarang dilakukannya penarikan kembali terhadap harta benda wakaf, namun

pengenyampingan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Wakaf tersebut, majelis

hakim memiliki alasan yang kuat serta pertimbangan yang matang, karena proses

perwakafan yang dilakukan oleh wakif tidak memenuhi salah satu syarat sahnya

perwakafan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang

Wakaf yaitu karena tidak dilakukannya ikrar wakaf antara pihak wakif dengan

nadzir, sehingga hal ini mengakibatkan perbuatan wakaf yang dilakukan menjadi

cacat secara hukum atau perbuatan wakaf yang dilakukan tidak sempurna

sehingga mengakibatkan perbuatan wakaf menjadi batal demi hukum, selain itu

hakim Pengadilan Agama Semarang juga mempertimbangkan bahwa tanah yang

merupakan objek wakaf terbukti merupakan harta bersama dari wakif dengan

isteri pertama dan isteri kedua yang belum pernah dibagikan kepada ahli waris

mereka dan harta tersebut masih dalam sengketa antar ahli waris, dimana

sebagaimana ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa pasangan

yang hidup lebih lama (duda/janda) berhak mendapatkan seperdua dari harta

43

(11)

bersama, sehingga majelis hakim menetapkan setengah dari harta bersama adalah

harta wakif yang belum dibagi ahli waris.44

D. Pengelolahan dan Pengurusan Harta Wakaf

Pengelolahan dan pengurusan harta benda wakaf, di Indonesia sendiri

secara profesional menjadi tugas dan kewenangan dari pada Badan Wakaf

Indonesia (BWI). BWI sendiri sebagai suatu lembaga yang berwenang untuk

mengurusi dan mengkoordinasi seluruh harta benda wakaf secara nasional,

diberikan tugas mengembangkan dan wakaf secara produktif dengan membinan

Nazhir wakaf (pengelolah wakaf) secara nasional, sehingga dengan begitu wakaf

dapat berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.45

2. Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelolah dan

mengembangkan harta wakaf;

Ketentuan Pasal 47 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia bersifat independent,

dan pemerintah sebagai fasilisator. Tugas utama badan ini adalah

memberdayakan wakaf melalui fungsi pembinaan baik terhadap wakaf benda

bergerak maupun wakaf benda tidak bergerak yang ada di Indonesia sehingga

dapat memberdayakan ekonomi umat.

Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,

menyatakan bahwa adapun yang menjadi tugas dari pada Badan Wakaf Indonesia

itu sendiri adalah:

44

Ibid.,hlm. 86-88

45

(12)

3. Melakukan pengelolahan dan pengembangan harta wakaf bersekala nasional

dan internasional;

4. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan dan peruntukan status

harta benda wakaf;

5. Memberhentikan dan mengganti Nadzhir;

6. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; serta

7. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan

kebijakan di bidang perwakafan.

Disamping memiliki tugas-tugas konstitusional, Badan Wakaf Indonesia

juga harus menggarap wilayah tugas:46

Agar pengelolaan wakaf dapat berjalan dengan optimal maka dalam

ketentuan Pasal 42 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

wakaf, disebutkan bahwa adapun yang menjadi syarat-syarat dalam pengelolaan

wakaf yaitu:

1. Merumuskan kembali fikh wakaf baru diIndonesia, agar wakaf dapat dikelola

lebih praktis, fleksibel dan modern tanpa kehilangan wataknya sebagai

lembaga Islam yang kekal;

2. Membuat kebijakan dan merencanakan strategi pengelolaan wakaf produktif,

mensosialisasikan bolehnya wakaf benda-benda bergerak dan sertifikat tunai

kepada masyarakat;

3. Menyusun dan mengusulan kepada pemerintah regulasi bidang wakaf kepada

pemerintah.

46

(13)

a. Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai

dengantujuan, fungsi, dan peruntukannya.

b. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.

c. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud

pada Pasal 42 Ayat 1 dilakukan secara produktif.

d. Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud

pada Pasal 42 Ayat 1 diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga

penjamin syariah.

e. Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang

melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini dibuat agar dapat mengurangi kegiatan yang menyimpang yang berkaitan dengan tanah wakaf dan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap

Penyusunan skripsi dengan judul ”pelaksanaan wakaf tanah berdasarkan undang-undang nomor 41 tahun 2004 ( studi kasus dikecamatan teras kabupaten boyolali tahun 2004 )

4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Khususnya dalam mengelola, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf sesuai dengan fungsi tujuan

Pengertian badan wakaf menurut Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 41 Tahun 2004 yaitu : “Badan wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di

KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengelolaan wakaf di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan bagaimana peran Badan Wakaf

Tugas Akhir Penulisan Hukum dengan Judul : PELAKSANAAN PERWAKAFAN TANAH HAK MILIK DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF (Studi di

4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Khususnya dalam mengelola, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf sesuai dengan fungsi tujuan