• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reproduksi Hukum di Rusunawa Kota Tanjungbalai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Reproduksi Hukum di Rusunawa Kota Tanjungbalai"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian dalam skripsi ini mengenai reproduksi hukum pada bidang

sosial semi-otonom di kalangan penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa Kota

Tanjungbalai. Hukum menjadi alat untuk mencapai tujuan pembangunan (Otto,

2012), dan menjadi sarana pengendalian sosial yang terdapat dalam setiap bentuk

masyarakat (Malinowski dalam Nurjaya, 2011). Hukum juga dibuat di Rusunawa

sebagai alat untuk mengatur masyarakat, untuk mencapai harapan atau target

pembangunan Rusunawa sendiri.

Rusunawa yang merupakan singkatan dari Rumah Susun Sederhana Sewa

adalah perumahan vertikal, yang pembangunannya bertujuan menjadi salah satu

alternatif pemerintah dalam memecahkan permasalahan akan kebutuhan

perumahan dan permukiman, terutama untuk daerah perkotaan yang memiliki

keterbatasan lahan dengan jumlah penduduk semakin meningkat (Sam, 2014; ITS,

2014; Kementrian PU, 2012; Rhompas, 2004; Randy, 2003).

Pemerintah Indonesia dalam mencapai Millenium Development Goal

(MDGs)1 memberikan tugas dan tanggung jawab kepada Ditjen Cipta Karya, Kementrian Pekerjaan Umum dalam menuntaskan target ke 11 MDGs, yaitu:

1

Terkait dengan pembangunan, dipenghujung abad ke 20 yang lalu, PBB telah memutuskan agenda besar pembangunan di seluruh dunia yang kemudian dikenal sebagai Millenium Development Goals (MDG‟s)

(2)

“Mencapai perbaikan yang berarti untuk meningkatkan kehidupan sedikitnya 100 juta masyarakat miskin yang hidup di permukiman kumuh hingga tahun 2020. Target tersebut diimplementasikan dengan kegiatan penyelenggaraan RUSUNAWA (rumah susun sederhana sewa) yang telah dirintis pelaksanaannya sejak Tahun 2003.” (Kementrian PU, 2012).

Berdasarkan Undang-Undang Rumah Susun No. 20 tahun 2012, Rusunawa

diperuntukkan bagi masyarakat perkotaan yang tergolong berpenghasilan rendah

atau masyarakat menengah bawah guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat

itu sendiri. Pembangunan Rusunawa sudah dilaksanakan di masing-masing

provinsi di Indonesia sejak tahun 2003 (Kementrian PU, 2012). Di Provinsi

Sumatera Utara, Rusunawa dibangun di Kota Medan, Tanjungbalai, dan Tebing

Tinggi (Kementrian PU, 2012).

Tanjungbalai sebagai kota yang memiliki tingkat kepadatan penduduk

relatif tinggi2, saat ini telah membangun 96 unit Rusunawa pada tahun anggaran 2005-2006, 96 unit pada tahun anggaran 2006-2007, 99 unit pada tahun angaran

2010-2011, dan 99 unit pada tahun 2011-2012 (Kementrian PU, 2012). Pada

tahun 2015, pemerintah Kota Tanjungbalai sudah membangun 5 Rusunawa di

Kota Tanjungbalai.

Tujuan pembangunan Rusunawa ini sendiri bukan semata-mata hanya

untuk penanganan perumahan kumuh dengan alasan fisik dan lingkungan serta

estetika kawasan perkotaan saja, tetapi didasari oleh tinjauan dari sisi sosial,

budaya serta ekonomi kemasyarakatan (Kementrian PU, 2012). Sehingga,

2

(3)

dimungkinkan bagi pemerintah daerah untuk memberikan subsidi3 bagi Rusunawa tersebut (UU Rumah Susun No.20 Tahun 2011 Pasal 57 ayat 3).

Permasalahan terkait dengan pengadaan tempat tinggal menjadi masalah

yang rumit dan belum dapat teratasi secara tuntas (ITS, 2014; Bahri, 2005;

Mauliani, 2002). Selain pemenuhan kebutuhan akan sandang dan pangan,

pemenuhan kebutuhan tempat tinggal menjadi masalah yang tidak akan terlepas

dari manusia selama menjalani proses kehidupan, karena pemenuhan tempat

tinggal adalah upaya manusia dalam mempertahankan keberlanjutan hidupnya

(Bahri, 2005; Harian Antariksa, 1985).

Budaya bermukim4 dan budaya hukum5 merupakan problema tersendiri disamping masalah ekonomi. Dikarenakan tinggal di rumah susun berbeda dengan

tinggal di rumah biasa, dan setiap manusia memiliki kemampuan adaptasi yang

berbeda dalam rangka penyesuaian kebudayaan (Bahri, 2005; Widyo, 2004).

Manusia sebagai pelaku budaya memiliki peran yang sangat penting dalam

mewujudkan tujuan pembangunan Rusunawa.

Masyarakat sebagai penghuni Rusunawa berasal dari latar belakang

budaya6 yang berbeda baik etnis, daerah asal, agama dan sebagainya. Menurut Sally Folk Moore (dalam Ihromi, 1993), masyarakat yang dikumpulkan dan

3

Subsidi adalah pembayarn yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output).

4

Budaya bermukim merupakan perilaku atau kebiasaan manusia dalam menempati suatu ruang atau wadah dimana manusia bisa menjalankan aktifitas dalam kehidupan sehari-hari (Randy,2013).

5

Budaya hukum merupakan salah satu bagian dari kebudayaan manusia yang begitu luas. Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari manusia terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi, suatu budaya hukum menunjukkan tentang satu individu yang sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 2006).

(4)

melakukan aktifitas yang berulang-ulang dalam suatu wadah, secara

berangsur-angsur akan membentuk aturan-aturan tersendiri bagi kelompok atau komunitas

masyarakat tersebut. Aturan-aturan ini tidak tertulis atau bersifat informal tetapi

mampu membujuk dan memaksakan ketaatan masyarakat terhadap aturan-aturan

itu.

Pembangunan Rusunawa ini sendiri tidak terlepas dari keputusan hukum

yang menjadi kontrol sosial dan berisi keputusan, kebijakan atau aturan-aturan

yang dibuat oleh pemerintah bagi masyarakat dalam proses pelaksanaan

pembangunan Rusunawa. Namun, adakalanya akibat lingkungan fisik dan

kehidupan sosial yang baru, membuat masyarakat melakukan penyesuaian terus

menerus dan menghasilkan suatu kesepakatan atau aturan-aturan baru bagi

mereka, dengan demikian manusia berusaha untuk mengubah sistem kontrol

sosial yang lama dengan sistem kontrol sosial yang baru.

Perubahan tersebut merupakan kebiasaan yang membentuk aturan-aturan

yang dapat berlaku secara cepat ataupun lambat dan terjadi dengan mengubah

sebahagian atau keseluruhan sistem kontrol sosial sebelumnya (Hadikusuma,

2006; Emmed, 1989). Manusia tidak selamanya menjadi penerima pasif, manusia

memiliki perlawanan diri yang mampu membuatnya bertindak diluar aturan yang

sudah ditetapkan (Vandenbroek, 2011).

Dalam hal ini Rusunawa bisa dikatakan sebagai bidang sosial

semi-otonom dikarenakan kumpulan atau komunitas masyarakat ini tidak hanya

mengatur “diri-sendiri”, artinya terdapat banyak aturan baik dari luar maupun dari

(5)

Menurut Moore (dalam Tamaha dalam Irianto, 2011), “ Law is the self-regulation

of a „semi-autonomous social field”, hukum merupakan mekanisme pengaturan

masyarakat dalam bidang sosial semi-otonom. Aturan-aturan yang sudah ada di

Rusunawa lagipula bisa saja memicu atau memunculkan aturan-aturan yang baru,

tanpa disadari aturan tersebut menambahkan hukum yang sudah ada di Rusunawa.

Penambahan hukum ini terjadi secara berangsur-angsur perlahan untuk

meyakinkan publik sebagai suatu proses yang alamiah (Suryomenggolo, 2013).

Mereka (kelompok yang berkepentingan) mungkin juga mengakumulasi

elemen-elemen dari sistem yang berbeda-beda atau mencampur elemen-elemen-elemen-elemen tersebut

untuk menciptakan bentuk “hybrid” (Sarat dan Kearns dalam Beckmann, 2002).

Hal ini bahkan terjadi dalam interaksi skala kecil sekalipun (atau bidang

sosial semi-otonom yang kecil), banyak variasi yang berbeda-beda (Beckmann,

2002). Pada tahun 1978 Holleman (dalam Irianto, 2012), mengatakan bahwa di

wilayah urban di negara-negara berkembang, tumbuh bentuk-bentuk hukum baru

yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum

agama, sehingga disebut sebagai hybrid law.

Berdasarkan konsep praksis bahwa aturan tidak pernah bersifat permanen,

masyarakat bisa menjadi agen yang akan mengoreksi aturan-aturan yang

diberlakukan kepada mereka, dan kemudian koreksi aturan tersebutlah yang

mengatur masyarakat (Bourdieu dalam Alam, 2011) dan konsep ini menjelaskan

bahwa struktur struktur dari aturan-aturan dapat dibuat, dipertahankan dan dirubah

(6)

Hukum berkaitan erat dengan kebudayaan, bahkan sangat tidak realistis

untuk mengartikan hukum sebatas hukum undang-undang, karena hukum adalah

dokumen antropologis yang hidup (Irianto, 2012). Tidak berfungsinya hukum

sebagaimana mestinya di dalam praktik merupakan masalah serius, baik bagi

rakyat biasa maupun penguasa (Otto, 2012).

Dengan demikian dalam konteks pembangunan, proses kepastian hukum

(menjamin legislasi dibuat dengan baik dan dijalankan secara konsisten), acap

tidak berhasil menjamin pencapaian tujuan-tujuan yang nyata, tujuan

pembangunan nyata tersebut sejatinya tidak hanya muncul di atas kertas sekadar

sebagai janji, melainkan seharusnya terwujud dalam kehidupan konkret (Otto,

dkk, 2012).

Kebijakan dan peraturan Rusunawa perlu diawasi oleh pemerintah,

memonitoring dan mengevaluasi bagaimana peraturan pemerintah tersebut sampai

ke penghuni Rusunawa sangat dibutuhkan. Keterpaduan dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan selama ini terkesan sekedar hanya

sebagai slogan (Budhiarjo dalam Mauliani, 2002).

Tanpa adanya pengawasan dari pemerintah terkait dengan peraturan

Rusunawa yang dibuat, masyarakat cenderung menghasilkan aturan-aturan sendiri

dari interaksi yang berulang-ulang terhadap sesama penghuni Rusunawa, sehingga

pembangunan Rusunawa sebagai solusi pemenuhan rumah dalam skala besar

sesuai dengan tuntutan perkembangan kota, untuk sementara hanya mampu

(7)

susun sebagai tempat hunian juga memiliki masalah sosial, ekonomi dan budaya

yang tidak sederhana (Harian Antariksa, 1985).

Menurut Libertus S Pane (dalam Mauliani, 2002), pendekatan terhadap

faktor manusia penghuni rumah susun sering diabaikan oleh pemerintah pada

waktu membangun rumah susun. Pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui pola

pikir dan perilaku sosial masyarakat yang berperan penting terhadap keberhasilan

pembangunan. Perilaku merupakan cerminan dari peraturan hukum (Nurjaya,

2011)

Pola ulangan perilaku yang dihasilkan oleh sekumpulan masyarakat dalam

suatu wadah dalam menyelesaikan permasalahan diantara mereka menjadi

kebiasaan yang mampu menciptakan aturan baru yang berlaku dalam masyarakat

dan terkadang memiliki kontrol sosial yang lebih kuat dari pada aturan-aturan

(formal) yang dibuat oleh pemerintah sendiri (Hadikusuma, 2006; Moore dalam

Ihromi, 1993; Friedmann, 1994).

Munculnya aturan-aturan dari berbagai pihak di Rusunawa bisa menjadi

pendukung atau penghambat terwujudnya tujuan pembangunan Rusunawa.

Kegagalan fungsi hukum menjadi penghalang utama yang menghambat

keberhasilan pelaksanaan dan pencapaian tujuan kebijakan pembangunan, dan

hukum juga terbukti mutlak diperlukan untuk memastikan keberhasilan hampir

semua program-program pembangunan terpenting (Otto, 2012).

Hal ini menjadi alasan mengapa penulis memilih untuk meneliti

permasalahan tersebut. Penulis ingin melihat aturan-aturan yang lahir dan

(8)

manusia, antropologi tentunya dapat digunakan untuk melihat bagaimana hukum

dalam masyarakat diciptakan, dirobah, dimanipulasi, diinterpretasi, dan

diimplementasikan (Beckmann dalam Nurjaya, 2011).

1.2 Tinjauan Pustaka

1.2.1 Hukum dari kaca mata ilmu sosial

1.2.1.1 Antropologi Hukum

Indonesia adalah negara hukum, dimana dalam membicarakan negara

hukum ini bukan untuk (konsep) negara hukum itu sendiri, melainkan untuk

menjadi rumah yang membahagiakan bagi penghuninya (Rahardjo dalam Arizona,

2010). Prof. Tjip (dalam Arizona, 2010), juga menuliskan bahwa hidup yang baik

adalah dasar hukum yang baik. Secara antropologis bentuk

mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (inner order mechanism atau self-regulation)

dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum yang

secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial (F.von

Benda-Beckmann; Snyder; Griffiths; Hooker; K. von Benda-Beckmann &

Strijbosch; Moore; Spiertz & Wiber dalam Arizona,dkk, 2010).

Antropologi melihat hukum sebagai suatu aspek dari kebudayaan, yaitu

aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur

perilaku manusia dalam suatu aturan yang sifatnya tidak tertulis, perilaku tersebut

(9)

Antropologi hukum cenderung memperhatikan struktur, proses, dan konsepsi

yang umum dari aturan-aturan itu dalam kenyataannya (Hadikusuma, 2006).

Jadi yang menjadi masalah bukanlah mempelajari bagaimana kehidupan

manusia itu tunduk kepada aturan hukum, tetapi bagaimana dalam kenyataannya

aturan-aturan hukum itu dapat diterima dalam kehidupan mereka (Hadikusuma,

2006). Dan sasaran antropologi hukum adalah untuk memahami bagaimana

manusia berperilaku untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk mengatasi

kesulitan dan mencari jalan keluar akan permasalahan yang dihadapinya untuk

menciptakan keseimbangan, memelihara kerukunan, ketertiban, keadilan, dan

kedamaian dalam kehidupan masyarakat (Soekanto, 1984).

Antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia terkait

dengan budaya dan hukum. Budaya yang dimaksud merupakan budaya hukum,

yaitu segala perilaku manusia yang mempengaruhi dan berkaitan dengan masalah

hukum (Eva, 2012). Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan

timbal balik antara hukum dan fenomena-fenomena sosial (secara impiris) yang

terjadi dalam masyarakat (Eva, 2012).

Antropologi Hukum adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari

bagaimana hukum sebagai bagian dari kebudayaan, bekerja dalam keseharian

masyarakat (Irianto, 2012). Hukum dipandang terdiri atas komponen-komponen,

bagian-bagian atau cluster (Benda-Beckmann dalam Sulistyowati, 2012), yaitu konsepsi normatif, konsepsi kognitif dan para aktor. Cluster atau komponen dari

hukum ini bisa saling bersentuhan, berpengaruh, dan berinteraksi membentuk

(10)

tersebut terlebur dan terserap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam

struktur (Sulistyowati, 2012).

Menurut Syauqi (2012), hukum bukanlah hanya apa yang tertulis sebagai

peraturan perundang-undangan atau hukum negara. Dalam konteks antropologi

hukum, aktivitas budaya adalah hukum yang berfungsi sebagai instrumen yang

menjaga keteraturan sosial, sarana pengendalian sosial, dan alat untuk melakukan

rekayasa sosial. Hukum juga dimaknai sebagai peraturan-peraturan lokal yang

bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law), dan memiliki mekanisme pengaturan tersendiri yang juga berfungsi sebagai sarana

pengendalian sosial (legal order) dalam masyarakat (Syauqi, 2012).

Membangun negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum,

artinya sama dengan membangun suatu peradaban baru (Rahardjo dalam Arizona,

2010). Hukum menjadi urusan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat,

hukum diciptakan untuk manusia bukan sebaliknya dan hukum sendiri ada untuk

sesuatu yang lebih luas dan tidak terbatas. Untuk bisa memberikan makna yang

luas, hukum memerlukan suatu pendekatan interdisipliner sehingga harus bergaul

dengan disiplin ilmu lain (Arizona, 2010).

Hukum bukan semata-semata sebagai produk dari hasil abstraksi logika

sekelompok orang yang diformulasikan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan semata, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku dan proses

sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Llewellyn dan Hoebel;

(11)

Hukum adalah produk kebudayaan yang hidup dalam setiap bentuk

komunitas masyarakat (Syauqi, 2012). Ketika berbicara tentang hukum, secara

sadar atau tidak kita akan mengekspresikan harapan tentang apa yang harus

dilakukan, terkait juga dengan bentuk pelanggaran, penyimpangan atau kejahatan

yang terjadi dalam suatu masyarakat (Suryomenggolo, 2003). Bagaimanapun

juga, semua hukum dilihat sebagai (bagian) sistem. Mungkin ada aturan-aturan

(memiliki kriteria hukum) yang tidak diperlakukan sebagai bagian dari sistem, dan

hal ini lah yang disebut “hukum tak bernama” (Beckman, 2002).

Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang

integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari

sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek

kebudayaan yang lain (Nurjaya, 2011). Perilaku masyarakat dalam kehidupan

sehari-hari yang berlangsung secara normal ternyata dapat menjelaskan

prinsip-prinsip hukum yang terkandung di balik perilaku warga masyarakat tersebut

(Nurjaya, 2011). Hukum mencelupkan dirinya ke dalam segala hal tanpa memiliki bidang kekusaannya sendiri (Latour, 2012).

1.2.1.2 Kemajemukan Hukum

Menurut Griffith (dalam Nurjaya, 2011), secara umum kemajemukan atau

pluralisme hukum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih

sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial

yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem

pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial. Atau menerangkan suatu

(12)

sosial (Hooker dalam Nurjaya, 2011), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu

sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas

dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (Beckmann dalam

Nurjaya, 2011).

Pendekatan yang paling dominan dalam antropologi hukum adalah tentang

pendekatan pluralisme hukum yang lahir dari isu-isu adanya keberagaman hukum

dalam masyarakat (Irianto, 2012). Griffths mengadopsi pengertian pluralisme

hukum Moree (dalam Irianto, 2011) yaitu, Pluralisme hukum berkenaaan dengan

kehadiran heterogenitas normatif atas fakta bahwa aksi sosial selalu mengambil

tempat dalam banyak konteks, saling melengkapi bidang sosial semi-otonom.

Menurut Sally Falk Moore (dalam Irianto, 2011), “Law is the self

-regulation of a „semi-autonomous social field”, artinya hukum adalah pengaturan

sendiri (self-regulation) dari bidang sosial otonom. Bidang sosial semi-otonom merupakan label dari pembentukan aturan yang disertai kekuatan

pemaksa di dalam kelompok-kelompok sosial (Moree dalam Irianto, 2011).

Dalam perkembangannya, konsep pluralisme hukum tidak lagi

mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi

dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Namun, lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai

sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum

dalam masyarakat (Nurjaya, 2011).

Bahkan, dewasa ini pluralisme hukum terus berubah dan dipertajam

(13)

hukum dan kemasyarakatan (socio-legal studies), sehingga pengertian pluralisme hukum pada masa awal sangat berbeda dengan masa sekarang (Irianto, 2012). Hal

tersebut sangat berkaitan dengan perspektif baru dalam metodologi antropologi,

khususnya etnografi, dalam mempelajari globalisasi hukum, di mana pendekatan

pluralisme hukum mendapatkan perspektif yang „baru‟pendekatan pluralisme

hukum mendapatkan perspektif yang „baru‟, lebih tajam dan berarti dalam

menganalisis fenomena hukum dalam masyarakat di berbagai belahan dunia

(Irianto, 2012). Para peneliti yang mempelajari pluralisme hukum

mengembangkan metode etnografi hukum modern seiring dengan isu-isu global

yang membuat pendekatan pluralisme hukum semakin tajam memandang

fenomena keberagaman hukum (Irianto, 2012).

1.2.1.3 Studi Sosio-legal

Pendekatan studi sosio‐legal merupakan percampuran antara peran

pendekatan studi hukum dan teori‐teori sosial (Arizona, dkk, 2010). Menurut

Tamaha (dalam Arizona, dkk, 2010), bahwa label studi sosio‐legal secara

berangsur‐angsur menjadi istilah umum yang menegaskan suatu kelompok

disiplin yang mengaplikasikan suatu perspektif keilmuan sosial untuk studi

hukum, termasuk di dalamnya sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah

hukum, psikologi, ilmu politik, dan ilmu perbandingan hukum. Sosio-legal

merupakan “hibrida” dari ilmu hukum dan ilmu-ilmu tentang hukum dari

perspektif kemasyarakatan dan secara praktikal, studi ini menjelaskan bagaimana

(14)

Secara umum, studi sosio-legal dikategorikan kedalam tiga kelompok

berbeda, salah satunya adalah studi-studi kritikal (critical studies) yang

dilandaskan pada riset lapangan, dengan pendekatan sosio-legal sebagaimana

umum dilakukan pada tataran lokal oleh peneliti antropologi hukum, dan acap

dilakukan di negara-negara berkembang (Moore, Griffiths, dan Beckmann dalam

Otto, Stoter dan Arnscheidt, 2012). Dalam penelitian (dan juga dalam tipe studi

lainnya) titik tolaknya kerap adalah teori-teori tentang pluralisme hukum dan

dampak sosial (social effects theory) (Otto, Stoter dan Arnscheidt, 2012).

1.2.2 Pengertian Pembangunan

Pembangunan dalam kehidupan sehari-hari, dapat digunakan sebagai

terjemahan atau padanan istilah: development, growth, change, modernization,

bahkan juga progress (Theresia dkk, 2014). Pembangunan menjadi sangat sulit

untuk didefenisikan karena mencakup banyak makna baik fisik maupun non-fisik,

proses maupun tujuannya, serta duniawi maupun rohaniah, namun kesemuanya

merujuk kepada suatu usaha atau proses perubahan ke arah yang positif demi

tercapainya kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat (dan individu-individu

didalamnya) (Riyadi dalam Feri, 2013).

Seers (dalam Marzali, 2005), mendefenisikan pembangunan sebagai suatu

istilah teknis, yang berarti membangkitkan masyarakat di negara-negara

berkembang dari kemiskinan, tingkat melek huruf (literacy rate) yang rendah, pengangguran, dan ketidakadilan sosial. Pembangunan merupakan suatu usaha

(15)

secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam

rangka pembinaan bangsa (Siagian dalam Riyadi dalam Rijal, 2015).

Kebijakan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang telah

berubah secara drastis sejak tahun 1980-an. Hampir semua negara berkembang

menggeser kebijakan-kebijakan ekonomi mereka kearah liberalisasi yang lebih

besar dan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar melalui

serangkaian reformasi ekonomi berorientasi pasar (Sugiono, 1999).

Menggeliat dari kolonialisme, negara-negara baru merdeka (termasuk

Indonesia) dianggap tidak punya kapasitas otonom untuk membangun. Mereka

semuanya tergantung pada bantuan teknologi dari negara-negara industri.

Defenisi, tujuan dan pemilahan instrument-instrumen kebijakan untuk

menanggulangi problem-problem keterbelakangan negara-negara baru merdeka

sepenuhnya asing bagi negara-negara tersebut. Gagasan pembangunan itu

memang dirumuskan pihak luar dan diberlakukan di negara-negara tersebut tanpa

mengindahkan sejarah keterbelakangan mereka (Mehmet dalam Sugiono, 1999).

Dari sudut ilmu sosial, “pembangunan” sering kali diartikan sangat umum,

yaitu “ perubahan sosiokultural7yang direncanakan” (Arensbeg & Niehoff dalam

Marzali, 2005). Pembangunan adalah suatu usaha atau proses perubahan, demi

tercapainya tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat (Riyadi dalam

Rijal, 2015). Pembangunan merupakan suatu proses tiada henti yang dilaksanakan

dengan sadar dan terencana, untuk menghasilkan individu-individu yang

7

(16)

senantiasa peka terhadap masalah-masalah (yang sedang dan akan dialami), dan

alternatif-alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut, dalam meningkatkaan

mutu setiap individu dan masyarakatnya (Theresia & dkk, 2014).

Theresia (2014) melihat dan mendefenisikan pembangunan sebagai suatu

proses yang membawa perubahan yang bukan hanya mencakup akselerasi

pertumbuhan ekonomi, perbaikan distribusi pendapatan, dan pemberantasan

kemiskinan absolut tetapi juga menyangkut berbagai aspek lainnya dalam

kehidupan manusia seperti dalam hal struktur sosial, sikap mental, dan

lembaga-lembaga sosial termasuk.

1.2.3 Urgensi pemenuhan kebutuhan tempat tinggal

Seiring dengan perkembangan zaman, telah banyak perubahan-perubahan

yang terjadi baik disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi lingkungan fisik,

maupun yang disebabkan oleh perilaku manusia. Perubahan-perubahan tersebut

membuat kebutuhan manusia berupa pangan/makanan, sandang/pakaian dan

papan atau pemukiman juga semakin berubah (Theresia dkk, 2014).

Selain sandang dan pangan, persoalan akan tempat tinggal sudah mulai

muncul dari masa ketika manusia mulai menghentikan pengembaraannya dalam

berburu, sudah mampu mengorganisasikan dirinya, mulai sedikit menguasai alam

sekitarnya dengan bercocok tanam dan mengembangbiakkan hewan ternak (Bahri,

2005). Eugene Raskin dalam bukunya Architecture and People, mengatakan bahwa selain kebutuhan pokok sandang dan pangan, manusia juga membutuhkan

(17)

salah satu wujud dari ruang yang dibutuhkan manusia untuk mempertahankan

eksistensinya.

Rumah merupakan suatu bangunan yang menjadi tempat tinggal manusia

dalam menjalankan kegiatan dan sebagai tempat untuk melangsungkan kehidupan

(Harian Antariksa, 1985). Rumah adalah bangunan tempat berlindung manusia

dan sebagai sarana binaan keluarga (Randy, 2013). Menurut Turner (dalam

Randy, 2013), rumah mengandung arti sebagai komoditi dan sebagai proses.

Sebagai komoditi artinya rumah bisa menjadi produk yang diperjual belikan,

sebagai proses artinya rumah menggambarkan aktifitas-aktifitas penghuni rumah

tersebut dalam menjalani proses kehidupan. Menurut Eko budiharjo (dalam

Mauliani, 2002), rumah merupakan sumber kehidupan karena rumah memiliki

pengaruh yang penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia.

Rumah bukan hanya dipandang sebagai komoditas ekonomi, namun sebagai

perumahan sebagai benda sosial (social goods) atau sebagai instrumen

pembangunan manusia (human development instrument).

Fungsi rumah sebagai tempat bernaung lebih dari sekedar simbol status

sosial, perkembangan pengertian konsep budaya bermukim terus menerus

berkembang sejalan dengan peradaban manusia (Bahri, 2005). Menurut

Norbeg-Schutz dalam bukunya Intention in Architecture menerangkan fungsi rumah

sebagai suatu bangunan dapat dilihat dari 4 parameter. Pertama, kontrol fisik yang

bertujuan dalam menciptakan perlindungan dan kenyamanan bagi penghuni.

Kedua, sebagai kerangka aktifitas yang bertujuan menampung aktifitas-aktifitas

(18)

mengutarakan sistem status sosial. Dan yang keempat adalah simbolisasi kultural

yang bertujuan sebagai suatu objek kultural yang berkaitan erat dengan ideologi,

nilai agama, nilai moral, dan nilai ekonomi masyarakat.

Semakin banyaknya jumlah populasi di kota maka kebutuhan akan

pengadaan tempat tinggal muncul. Permasalahan akan perumahan atau

pemukiman yang dihadapi kota-kota di Indonesia menjadi begitu kompleks (ITS,

2014). Pembangunan rumah susun merupakan suatu alternatif pemecahan masalah

kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah kota yang padat

penduduknya (Rhompas, 2004). Seperti yang telah disampaikan oleh Bapak

Amwazi Idrus, Direktur Pengembangan Permukiman, Kementerian PU (2012),

hunian vertikal atau rumah susun merupakan salah satu solusi untuk penanganan

perumahan dan permukiman kumuh sekaligus mencegah tumbuhnya enclaves

kumuh baru sebagai konsekuensi dari pesatnya pembangunan kawasan perkotaan

yang menuai dampak seperti meningkatnya kepadatan penduduk, tingginya

kepadatan bangunan, rendahnya kualitas infrastruktur serta makin langkanya

lahan yang diperuntukkan bagi permukiman.

1.2.4 Pembangunan Rusunawa

Menurut Samsul Bahri (2005), rumah susun merupakan aletrnatif dalam

pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan sebagai produk dari modernisasi.

Pengertian atau istilah rumah susun, kondominium merupakan istilah yang

(19)

kata con yang berarti bersama-sama dan dominum berarti pemilikan (Sukanti, 1994). Di negara Inggris dan Amerika menggunakan istilah Joint Property

sedangkan negara Singapura dan Australia mempergunakan istilah Strata Title. Banyaknya istilah yang digunakan kalangan masyarakat di Indonesia

seperti apartemen, flat, kondominium, rumah susun (rusun) pada dasarnya mengandung arti yang sama yakni bangunan perumahan vertikal. Namun di

Indonesia sendiri, rumah susun atau lebih sering disebut dengan rumah susun

sederhana sewa merupakan perumahan vertikal yang dibangun untuk memenuhi

kebutuhan tempat tinggal masyarakat berpenghasilan rendah atau menengah

kebawah (Kementrian PU, 2012).

Didalam penjelasan umum UURS (undang-undang rumah susun) No.20

Tahun 2011, ditegaskan bahwa pembangunan rumah susun ditujukan terutama

untuk hunian masyarakat khususnya bagi golongan menengah ke bawah yang

berpenghasilan rendah. Namun, walaupun demikian pembangunan rumah susun

harus mampu mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional. Rumah

susun harus memenuhi syarat-syarat minimum seperti rumah biasa yakni dapat

menjadi tempat berlindung, memberi rasa aman, menjadi wadah sosialisasi, dan

memberikan suasana harmonis (Rijal, 2015).

Selain untuk pemenuhan akan kebutuhan pengadaan tempat tinggal,

pembangunan rumah susun juga bertujuan untuk menciptakan perumahan yang

layak dalam lingkungan yang sehat, mewujudkan pemukiman yang selaras, serasi

(20)

tanah perkotaan dan mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk

(UURS, 2011).

Asas dan tujuan pembangunan perumahan dan pemukiman seperti

tercantum dalam pasal 3 dan pasal 4, UU RI No.4 Tahun 1992 tentang

perumahan dan pemukiman adalah sebagai berikut: pembangunan perumahan dan

permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil, merata, kebersamaan dan

kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan kelestarian

lingkungan hidup (Sugandhy dalam Bahri, 2005). Menurut UURS No. 20 pasal 2

tahun 2011, penyelenggaraan rumah susun berasaskan pada: (a) kesejahteraan; (b)

keadilan dan pemerataan; (c) kenasionalan; (d) keterjangkauan dan kemudahan;

(e) keefisienan dan kemanfaatan; (f) kemandirian dan kebersamaan; (g)

kemitraan; (h) keserasian dan keseimbangan; (i) keterpaduan; (j) kesehatan; (k)

kelestarian dan berkelanjutan; (l) keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan; dan

(m) keamanan, ketertiban, dan keteraturan.

Sedangkan tujuan pembangunan Rusunawa diatur dalam UURS No. 20

pasal 3, yaitu bertujuan untuk:

1. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau

dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta

menciptakan permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan

ekonomi, sosial, dan budaya;

2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah,

serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam

(21)

seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan

dan berwawasan lingkungan;

3. Mengurangi luasan dan

4. Mencegah timbulnya perumahandan permukiman kumuh;

5. Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi,

seimbang, efisien, dan produktif;

6. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan

penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan

pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak,

terutama bagi MBR;

7. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan

rumah susun;

8. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan

terjangkau, terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman,

harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan

dan permukiman yang terpadu; dan

9. Memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian,

pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.

(22)

Permasalahan pada Rusunawa bukan hanya menyangkut perpindahan

golongan yang tidak mampu dan bukan pula perubahan tempat tinggal horisontal

ke pola vertikal saja, tetapi menyangkut perubahan cara hidup, kebiasaan dan

menyangkut kemampuan ekonomi (Mauliani, 2002). Setiap masyarakat memiliki

suatu sistem kontrol sosial yang merupakan suatu kompleks pola perilaku dalam

suatu pranata sosial (Hadikusuma, 2006).

Dalam setiap masyarakat juga terdapat berbagai kerangka hukum, sesuai

dengan taraf kemajemukan masyarakatnya. Semua masyarakat memiliki

aturan-aturan yang mengatur perilaku manusia, aturan-aturan-aturan-aturan tertentu bersifat sebagai

patokan referensi, namun yang lain dianggap sebagai patokan perilaku yang

pantas dilakukan (Soekanto, 1984).

Tinggal di rumah susun tidak sama dengan tinggal di rumah biasa (rumah

individu) karena adanya perbedaan baik dari segi perilaku maupun suasana

lingkungannya, kemudian akan adanya perubahan-perubahan gaya hidup,

kebiasaan, dan adat istiadat sangat terasa jika seseorang berpindah dari rumah

biasa ke rumah susun (Maslow & Benjamin Handier). Perubahan-perubahan gaya

hidup, kebiasaan, dan adat istiadat tersebut dapat memunculkan aturan-aturan

baru, yang terbentuk dari pembaharuan perilaku masyarakat yang berulang

Perilaku dalam masyarakat bisa dilihat dengan melakukan pendekatan

faktor manusianya. Faktor manusia ini menjadi hal yang sangat penting karena

sebagai makhluk hidup yang mempunya pikiran dan perasaan, manusia tidak

terlepas dari berbagai permasalahan seperti masalah sosial, ekonomi dan budaya,

(23)

Membangun rumah susun bukan sekedar membangun fisik bangunannya

saja, tetapi juga berarti harus dapat membangun masyarakat penghuninya menjadi

masyarakat yang sejahtera sosial, budaya dan ekonominya (Mauliani, 2002).

Dalam hal ini hukum berperan penting untuk membangun masyarakat penghuni

Rusunawa.

Bidang sosial semi-otonom sendiri tidak bisa terlepas dari hukum, kedua

hal ini saling terkait satu dengan yang lain (Ihromi, 1993; Emmed, 1989). Hukum

memiliki arti yang sangat luas sehingga mencakup semua proses pengendalian

sosial terkait kebijakan, aturan, perilaku, wewenang, kekuasaan, dan keputusan.

(Soekanto, 1984). Budaya hukum merupakan budaya yang menyeluruh dari suatu

masyarakat tertentu sebagai suatu kesatuan sikap dan perilaku yang tidak terlepas

dari keadaan, sistem dan susunan masyarakat.

Masalah pembangunan kerap kali muncul, dikarenakan model

pembangunan yang berlaku tidak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk

ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan. Padahal, orang yang paling tahu

akan kebutuhan dan masalah yang dihadapi mereka adalah warga masyarakat itu

sendiri (Widyo, 2004).

Pemerintah hanya membangun infrastruktur tanpa membangun dan

melibatkan penghuni Rusunawa. Pembuatan hukum yang berisi

keputusan-keputusan, aturan-aturan maupun kebijakan-kebijakan guna mencapai

keberhasilan pembangunan Rusunawa tidak melibatkan penghuni yang

seharusnya menjadi subjek sekaligus penerima hasil pembangunan. Dari sisi

(24)

masyarakat golongan menengah bawah ini, masyarakat cenderung dijadikan

sebagai objek bukan subjek pembangunan (Soedarsono, 2009; Mauliani, 2002).

Penghuni yang merupakan bagian dari masyarakat seharusnya ikut

berpartisipasi dalam proses pembangunan, dari proses perencanaan sampai pada

tahap pelaksanaan (Theresia dkk, 2014). Masyarakat yang memperoleh peran aktif

dalam proses pengambilan keputusan akan cenderung memiliki kesediaan yang

lebih besar dalam menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan akan

hukum yang dibuat pemerintah (Hadjasoementari dalam Wahid, 2014).

Penghuni Rusunawa seharusnya ikut berpartisipasi dalam proses

pembangunan, dari proses perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan (Theresia

dkk, 2014). Masyarakat yang memperoleh peran aktif dalam proses pengambilan

keputusan akan cenderung memiliki kesediaan yang lebih besar dalam menerima

dan menyesuaikan diri dengan keputusan akan hukum yang dibuat pemerintah

(Hadjasoementari dalam Wahid, 2014).

Pada dasarnya masyarakat dapat dilibatkan secara aktif sejak tahap awal

menyangkut pemilihan, perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan

(Soedarsono, 2009; Widyo, 2004). Menurut Hadjasoementari (dalam Wahid,

2014), apabila ada tindakan-tindakan yang diambil untuk kepentingan masyarakat,

dan apabila masyarakat diharapkan menerima dan patuh terhadap tindakan

tersebut, maka masyarakat harus diberi kesempatan untuk mengembangkan dan

mengutarakan pendapatnya.

Dengan kata lain, tindakan-tindakan ini merupakan keputusan hukum yang

(25)

(Wahid, 2014) mengemukakan ada 4 dasar bagi peran serta masyarakat, yaitu: (1)

member informasi, (2) meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menerima

keputusan, (3) Membantu perlindungan hukum; dan (4) mendemoktratisasikan

pengambilan keputusan.

Menurut Soekanto (dalam Rijal, 2015), pembangunan merupakan proses

perubahan yang direncanakan atau dikehendaki oleh manusia, dimana perubahan

tersebut dilakukan oleh masyarakat itu sendiri didasari oleh kebutuhan masyarakat

dalam berbagai aspek kehidupan. Peran serta masyarakat sangat diperlukan,

rencana tindakan pemerintah dapat menimbulkan masalah termasuk dalam proses

pembuatan atau pengambilan keputusan sehingga dengan adanya peran serta ini

dapat meningkatkan kualitas keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil oleh

pemerintah ataupun lembaga-lembaga yang bersangkutan (Hadjasoementari

dalam Wahid, 2014).

Pembagian kewenangan dan tanggung jawab pemerintah dalam bidang

pemukiman adalah penetapan pedoman perencenaan dan pengembangan

perumahan dan pemukiman dan penetapan pedoman pengawasan dan

pengendalian pembangunan perumahan dan pemukiman (Sasongko dalam Bahri,

2005). Keputusan terkait pembuatan perencanaan dan kebijakan sangat

memerlukan kerja sama antar pemerintah dan masyarakat (Evans dan Munir

dalam bahri, 2005).

Menurut Eko Budiharjo (2005), pemerintah atau penguasa cenderung

menggunakan kewenangan dan kekuasaannya yang didasari aturan hukum atau

(26)

rule of law melainkan law of the ruler. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota yang “down to the last detail” tidak hanya tidak mungkun,

akan tetapi juga tidak diinginkan dikarenakan kemunculan hal yang tiba-tiba.

Kejadian, perubahan, ekspresi dan improvisasi merupakan faktor yang bisa

berkembang dalam suatu wadah.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang dijelaskan diatas, maka rumusan

masalah yang diangkat adalah mengenai terbentuknya hukum di Rusunawa,

bagaimana hukum di Rusunawa berjalan, diciptakan, dirubah, dimanipulasi,

diinterpretasi, dan diimplementasikan dalam kehidupan penghuni Rusunawa, dan

apakah hukum yang berlaku tersebut dapat mencapai tujuan pembangunan

Rusunawa sendiri.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian adalah untuk mengetahui aturan-aturan

apa saja yang berlaku di kalangan penguhuni Rusunawa, bagaimana aturan-aturan

tersebut diciptakan dan dijalankan di lapangan sesuai kepentingan, dan apakah

aturan-aturan yang tercipta tersebut mendukung pencapaian pembangunan

Rusunawa atau malah sebaliknya. Dan penelitian ini bermanfaat sebagai bahan

(27)

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan

data. Jadi metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk

mengumpulkan data, sedang “metodologi penelitian” adalah ilmu tentang cara

-cara mengumpulkan data, termasuk di dalamnya jenis-jenis data. Dalam penelitian

kali ini metode yang digunakan adalah metode etnografi.

Etnografi digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku manusia berkaitan

dengan perkembangan pengaturan sosial dan budaya tertentu (Spradley, 2006).

Seperti yang diungkapkan Marzali (2005) etnografi merupakan metode lapangan

asli dari antropologi. Metode penelitian etnografi mampu menggali informasi

secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas.

Lokasi yang menjadi tempat penelitian dalam tulisan ini adalah Kota

Tanjungbalai. Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data

primer dan data sekunder. Tempat ini dipilih karena pada saat ini, Kota

Tanjungbalai merupakan kota di Provinsi Sumatera Utara yang paling banyak

membangun Rusunawa sebanyak 5 Rusunawa.

1.5.1 Teknik Penelitian

1.5.1.1 Teknik Observasi Partisipatif

Teknik yang digunakan adalah teknik “observasi partisipatif”. Dengan

teknik observasi partisipatif, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang

unik karena mengharuskan partisipasi meneliti secara langsung dalam sebuah

(28)

juga mengandalkan wawancara mendalam, pembangunan rapport dan penulisan

fieldnote selama penelitian. Membangun rapport merupakan suatu cara dalam

mendekatkan diri kepada masyarakat yang diteliti sehingga dapat diterima dan

menyesuaikan diri, dan fieldnote merupakan catatan selama penelitian dilapangan

yang juga menjadi pendukung informasi.

Untuk mengungkap tujuan penulisan diperlukan beberapa teknik

pengumpulan data agar data yang didapat sesuai dengan tujuan penelitian yang

telah ditetapkan sebelumnya. Dimana metode observasi merupakan suatu

pencatatan hasil penelitian yang bukan hanya mencatat tetapi juga mengadakan

pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala bertingkat

(Spradley, 2006). Dimana dengan melaksanakan observasi partisipatif aktif berarti

peneliti ikut terjun dan tinggal di Rusunawa Kota Tanjungbalai untuk melakukan

kegiatan yang dilakukan masyarakat setempat guna untuk mendapatkan data yang

dibutuhkan sesuai tema yang menjadi objek penelitian.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pertama kali adalah pra

observasi. Teknik pra observasi adalah kegiatan yang pertama sekali dilakukan

dari semua peneliti. Dalam tahap pra penulisan, penulis juga melaksanakan

metode dokumentasi yang dilakukan dengan cara mencari data tentang hal-hal

atau variable.

1.5.1.2 Teknik Wawancara Mendalam

Teknik selanjutnya adalah teknik wawancara mendalam. Teknik

wawancara adalah teknik yang dilakukan dengan percakapan dengan maksud

(29)

oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (informan) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu

(Moleong, 2000).

Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan mengumpulkan keterangan

tentang berbagai informasi kehidupan masyarakat serta berbagai hal yang

menyangkut terhadap data yang diketahui oleh segelintir orang yang dalam

penelitian disebut informan. Wawancara merupakan suatu proses penting yang

dibutuhkan dalam metode observasi.

1.5.2 Analisis Data

Analisis Data dilakukan setelah pengumpulan data dari lapangan. Analisis

data merupakan suatu proses pengaturan data yang diorganisasikan dalam suatu

bentuk atau kategori (Moleong dalam Anita dkk, 2014). Ada dua sumber data

yang dilakukan penulis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah

data yang penulis dapat langsung dari lapangan yang menjadi data penelitian.

Sedangkan data yang kedua adalah data sekunder. Dimana data sekunder adalah

data yang bersifat tidak langsung, tetapi memiliki fungsi sebagai salah satu aspek

pendukung bagi keabsahan penulisan. Data ini berupa sumber-sumber atau

referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penulisan.

Pengumpulan data sekunder dalam penulisan ini dilakukan dengan cara

yang pertama adalah penulisan kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu

dengan mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan

dan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi,

(30)

Selain itu, penulis menganalisis data dengan menggunakan studi

sosio-legal, yakni dengan menggunakan teori-teori sosial khususnya disiplin ilmu

antropologi mengenai hukum. Hukum, preskripsi hukum dan definisi hukum tidak

diasumsikan atau diterima begitu saja, tetapi dianalisis secara problematik dan

dianggap penting untuk dikaji kemunculan, artikulasi, dan tujuannya (Banakar &

Travers dalam Irianto, 2012)

1.6 Pengalaman Lapangan

Penelitian ini saya lakukan sendiri di Rusunawa Kota Tanjungbalai.

Sebelum melakukan penelitian saya sudah berkali-kali berkunjung dan menginap

di Rusunawa Kota Tanjungbalai ini. Kebetulan penulis memiliki sepupu yang

tinggal di Rusunawa 1 yang membuat penulis selalu berkunjung setiap tahun.

Sejak semester 5 saya sudah tertarik untuk menjadikan Rusunawa sebagai

objk penelitian saya. Sebelum saya resmi melakukan penelitian saya sudah cukup

banyak tahu mengenai budaya (perilaku dan kebiasaan) dan kehidupan sehari-hari

penghuni Rusunawa, disamping sering berkunjung penulis juga tumbuh besar di

Kota Tanjungbalai.

Selama penelitian saya menginap di Rumah Kak Mentari dan Bang

Samsul yang merupakan sepupu saya. Mereka berdua adalah sepasang suami istri

yang sudah lama menghuni Rusunawa yaitu selama 5 tahun. Kak Mentari banyak

mengetahui hal-hal terkait Rusunawa, sehingga setiap hari saya selalu

berbincang-bincang dengan beliau. Biasanya kami selalu berberbincang-bincang-berbincang-bincang di balkon pada

(31)

Kebanyakan penghuni Rusunawa adalah Ibu Rumah tangga, sehingga

hampir sepanjang waktu saya habiskan untuk mengamati kehidupan penghuni

Rusunawa , ikut nimbrung dengan penghuni Rusunawa, ngobrol dengan mereka, dan bertandang8 ke rumah mereka . Selama penelitian tidak ada sama sekali

rintangan atau masalah serius yang saya hadapi, hanya saja suasana Rusunawa ini

begitu berisik, sehingga membuat saya harus mampu beradaptasi dengan

kebisingan yang ada. Selain itu, karena rumah susun tempat sepupu saya tersebut

tidak memiliki kamar, membuat saya harus tidur tepat di samping kamar mandi

mereka.

Saya juga tidak mendapatkan masalah dalam mengambil data dengan

penghuni Rusunawa. Begitu pula dengan pengelola Rusunawa, pada saat pertama

sekali mengunjungi kantor pengelola saya sempat bingung karena ada 4 kantor

pengelola Rusunawa. Pada saat itu saya memutuskan untuk mendatangi kantor

pengelola Rusunawa 1, dan kemudian saat itu juga saya mengetahui bahwa

Rusunawa memiliki kantor pusat di Rusunawa 4. Disanalah saya bertemu dengan

Buk Lelawati sebagai sekretaris Rusunawa, Bang Rahmat, dan Kak Rosiana.

Referensi

Dokumen terkait

Membaca kontra memori banding yang diajukan oleh kuasa hukum Terbanding semula Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi terhadap memori banding yang

Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga makhluk sosial. Ketika menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan

Sumber data adalah data keuangan dari tahun 2008-2017 di Pemerintah Provinsi Maluku Utara.Teknik analisis yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini adalah

Berbeda dengan penelitian terdahulu, pada penelitian ini penulis akan meneliti bagaimana pengaruh tingkat pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM) dalam perspektif

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan interpersonal dengan stres

Pertanyaan berkaitan dengan data demografi responden serta opini atau tanggapan terhadap skeptisme profesional auditor, fraud risk assessment , dan prosedur audit

Dalam pembuatan motion graphic ini audio yang digunakan harus selaras. Dubbing yang terdengar harus sesuai dengan motion graphic yang sedang ditampilkan, serta suara

Prejudis juga menyebabkan sesuatu kumpulan etnik memandang rendah terhadap kumpulan etnik lain yang terhasil berdasarkan kefahaman yang cetek dan terhadap kumpulan