• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam, manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lainnya. Atau dengan kata lain, manusia tidak dapat hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat suatu hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Disamping itu juga, manusia punya hasrat untuk bermasyarakat. Seorang ahli pikir Yunani yang bernama Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia. Oleh karena sifat manusia yang suka bergaul antara satu dengan yang lainnya, maka manusia itu disebut dengan makhluk sosial. Manusia hidup bermasyarakat agar mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia sebagai individu tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa orang lain.1 Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat.2

Setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan. Kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Setiap

1

Chainur Arrasjid, Dasar- Dasar Ilmu Hukum , Sinar Grafika, Medan, 2000 hlm 1. 2

(2)

manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan. Sejak dilahirkan manusia butuh makan, pakaian, tempat berteduh, dan sebagainya. Manusia dalam hidupnya dikelilingi pelbagai bahaya yang mengancam kepentingannya, sehingga sering kali menyebabkan kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. Manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Untuk itu ia memerlukan bantuan manusia lain. Dengan kerja sama dengan manusia lain akan lebih mudahlah keinginannya tercapai atau keinginannya terlindungi. Manusia merupakan unsur utama pembentuk kelompok masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama yang terorganisir untuk mencapai dan merealisir tujuan bersama. Berapa jumlah manusia diperlukan untuk dapat disebut masyarakat tidaklah berapa penting. Kalau di sebuah pulau hanya terdapat seorang manusia saja manusia belumlah dapat dikatakan ada masyarakat, tetapi kalau kemudian datang manusia lain di pulau itu akan terjadilah hubungan dan pengaturan-pengaturan. Apa yang mempertemukan atau mendekatkan kedua manusia itu satu sama lain adalah pemenuhan kebutuhan atau kepentingan mereka. Kehidupan bersama dalam masyarakat tidaklah didasarkan pada adanya beberapa manusia yang secara kebetulan bersama, tetapi didasarkan pada adanya kebersamaan tujuan.3

Kepentingan manusia berbeda-beda. Ada kepentingan yang sama dan ada pula kepentingan yang saling bertentangan. Dengan adanya kepentingan yang berbeda -beda dari masyarakat tersebut, makin sering terjadi pertentangan-pertentangan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Maka untuk menghindari terjadinya pertentangan-pertentangan tersebut maka sangat dibutuhkan suatu perlindungan kepentingan. Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam

3

(3)

masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman, patokan atau ukuran untuk berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama ini disebut norma atau kaidah sosial.4

Kaidah sosial pada hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogyanya tidak dilakukan, yang di larang dilakukan atau yang dianjurkan dilakukan. Dengan kaidah sosial ini, hendak dicegah gangguan-gangguan kepentingan manusia. Kaidah sosial ini ada yang berbentuk tertulis dan ada juga yang berbentuk tidak tertulis yang merupakan kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi.5

Untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat terdapat beberapa kaidah sosial. Tata kaidah tersebut terdiri dari kaidah kepercayaan atau keagamaan, kaidah kesusilaan, kaidah sopan santun, dan kaidah hukum yang dapat dikelompokkan seperti berikut:6

1. Tata kaidah dengan aspek kehidupan pribadi yang dibagi menjadi: a. Kaidah kepercayaan atau keagamaan

b. Kaidah kesusilaan

2. Tata kaidah dengan aspek kehidupan antar pribadi yang dibagi menjadi: a. Kaidah sopan santun atau adat

b. Kaidah hukum

Di samping kaidah kepercayaan atau kegamaan, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan, masih sangat diperlukan kaidah hukum. Kaidah hukum ini melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah lainnya dan melindungi kepentingan manusia lainnya yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaidah tersebut.

Hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan yang baik dalam pergaulan hidup masyarakat, baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan yang

4

Ibid, halaman 5. 5

Ibid 6Ibid

(4)

besar agar di dalamnya terdapat suatu ketertiban, suatu kepastian hukum dan lain sebagainya.7

Hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun di muka bumi ini. Primitif atau modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu keberadaan atau eksistensi hukum sifatnya universal. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, keduanya mempunyai hubungan yang timbal balik.8

Masyarakat umumnya kerap kali memahami hukum sebagai suatu perangkat aturan yang dimuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa. Tujuan hukum akan tercapai manakala terdapat keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum sehingga menghasilkan suatu keadilan.9

Kehidupan manusia dalam masyarakat merupakan proses kegiatan yang menuju pada suatu pola sistem sosial bagi interaksi antar pribadi dan kelompok manusia. Agar dalam interaksi tersebut kelestarian pergaulan dan keserasian antara kepentingan dalam masyarakatdapat berlangsung dengan lancar, anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan-perbuatan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam masyarakat.

Kaidah hukum lebih ditujukan kepada pelakunya yang konkret yaitu si pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib. Pelanggaran akan kaidah hukum ini akan disertai dengan pengenaan sanksi. Sekalipun pada umumnya kaidah hukum itu disertai sanksi, namun tidak semua pelanggaran kaidah hukum dikenakan sanksi. Yang dapat memberi atau yang memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum

7

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997), halaman.6

8

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti , 2004, halaman.27

9

(5)

adalah penguasa, karena penegakan hukum dalam hal pelanggaran adalah monopoli penguasa suatu negara.10

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.11 Indonesia menganut paham negara hukum ( rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).12 Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pencasila dan UUD 1945.

Indonesia merupakan negara yang mempunyai tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat ( welfare state). Tujuan mulia ini akan mustahil tercapai tanpa adanya pembangunan di berbagai bidang kehidupan sebagai syarat mutlak tercapainya cita-cita kenegaraan ini sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Tujuan pembangunan nasional yang dimaksud di sini bukan hanya terbatas pada pembangunan di bidang fisik saja, melainkan juga termasuk di bidang pembangunan di bidang hukum.

Dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk bidang hukum publik. Artinya hukum pidana mengatur hubungan antara warga negara dan menitikberatkan kepada kepentingan umum atau kepentingan publik. Secara historis, hubungan hukum yang ada pada awalnya adalah hubungan pribadi/privat, tetapi dalam perjalanan waktu terdapat hal-hal yang diambil alih oleh kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara diambil alih oleh negara dan dijadikan kepentingan umum. Hak penuntutan terhadap perbuatan pidana terletak pada alat kelengkapan negara , yaitu jaksa penuntut umum.13

10

Ibid, halaman 25. 11

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 12

Jimly Ashidiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. halaman. 12

13

(6)

Setiap perbuatan pidana yang dilakukan akan menimbulkan akibat negatif berupa ketidakseimbangan suasana kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu, diperlukan suatu pertanggungjawaban dari pelaku yang teelah mengakibatkan ketidakseimbangan tersebut. Dan pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat juga dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Jadi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum.14

Salah satu karakteristik dari hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik dapat dilihat dari segi keterlibatan alat kelengkapan negara untuk menuntut setiap orang yang telah melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana pada umumnya tidak mengenal adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Dalam kenyataannya di masyarakat, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sering dilakukan. Secara khusus menyangkut perkara kecelakaan lalu lintas. Masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui perdamaian secara kekeluargaan antara pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan korban. Perdamaian tersebut dianggap merupakan penyelesaian yang memberikan kemanfaatan bagi para pihak. Penyelesaian perkara secara damai sebenarnya merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat seperti yang dinyatakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Wukir Prayitno bahwa budaya hukum Indonesia dalam menyelesaikan konflik mempunyai karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan perdamaian merupakan nilai yang mendapat dukungan dalam masyarakat, mempertahankan perdamaian merupakan usaha terpuji, sehingga dalam menyelesaikan

14Ibid

(7)

konflik, terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi atau perdamaian, terutama masyarakat Jawa dan Bali. Biasanya perdamaian tersebut dilakukan dengan pemberian ganti rugi berupa sejumlah uang dari pelaku kepada korban atau korban memaafkan pelaku dengan meminta ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukannya. 15

Jika ditelaah dalam sistem hukum Indonesia, perdamaian pada umumnya dikenal dalam hukum perdata. Dalam ketentuan hukum pidana maupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkuta Jalan, konsepsi perdamaian sebagai bentuk penyelesaian perkara diluar pengadilan sama sekali tidak dikenal. Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas yang selama ini dikenal dalam masyarakat sama sekali tidak memiliki landasan hukum formalnya sehingga sering terjadi suatu kasus kecelakaan lalu lintas yang telah ada penyelesaia damai (musyawarah secara hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai dengan hukum yang berlaku. Perdamaian antara korban dan/atau keluarga korban dengan pelaku tindak pidana, tidak menutup kemungkinan perkara tersebut dapat diperiksa dan diputus oleh pengadilan formal, sehingga walaupun sudah terjadi perdamaian antara para pihak, polisi sering kali tetap meneruskan perkara ke sidang pengadilan formal dengan alasan tuntutan atas asas legalitas.

Dalam pengadilan formal, perdamaian yang terjadi sepenuhnya menjadi wewenang hakim, artinya apakah perdamaian tersebut menjadi bahan pertimbangan atau tidak dalam menjatuhkan putusan tergantung pada kebijakan hakim. Hal ini sebagaimana diketahui bahwa dalam KUHP yang berlaku sekarang ini tidak mengatur mengenai pemberian pidana (straftoemetingsleiddrad), yang ada hanya aturan pemberian pidana (straftoemetingsregel). Pedoman serta atauran pemberian pidana penting sekali ditegaskan oleh pembentuk undang-undang agar supaya hakim dalam member

15

(8)

putusannya di dalam kebebasannya sebgaai hakim tetap ada batasannya yang ditetapkan secara objektif, jadi pembentuk undang-undang seharusnya memberikan beberapa kriteria untuk pemberian pidana oleh hakim.16

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, perdamaian yang dilakukan dalam menyelesaikan perselisihan mendukung atau sejalan dengan tujuan pemidanaan, khususnya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Perdamaian yang dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai arti yang penting dalam mengaspirasikan dua kepentingan yaitu kepentingan si korban dan juga kepentingan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas mengingat struktur hukum pidana Indonesia saat ini, secara khusus yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas belum mengakomodasikan kepentingan korban dimana hanya ditempatkan sebagai saksi korban yang hanya bergantung nasibnya pada jaksa yang mewakili kepentingannya.

Keseimbangan perlindungan berbagai kepentingan merupakan hal yang perlu diperhatikan sebagaiamana yang telah dinyatakan oleh Muladi bahwa dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengatur berbagai kepentingan masyarakat serta sarana perlindungan hak-hak warga negara dibutuhkan adanya keterpaduan sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system), yaitu suatu sistem yang berusaha menjaga keseimbangan perlindungan kepentiingan, baik kepentingan negara, masyarakat individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Perdamaian sekaligus dapat dijadikan alternatif pidana yatitu sebagai tindakan non penal dalam menyelesaikan permasalahan mengingat bahwa upaya penal merupakan ultimum remedium apabila upaya lain tidak mampu mengatasi.

16 Alef Musyahadah R. 2005, “

(9)

Eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai peranan yang penting sebagai sarana pembaharuan hukum pidana yang bermakna upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofik, dan sosio kultural masyarakat Inonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia,17 yang dalam hal ini khususnya nilai-nilai positif yang terkandung dalam perdamaian dan merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dapat menjadi sumbangan dalam rangka pembaharuan hukum pidana tersebut.

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut diatas, maka penulis bermaksud untuk menulis skripsi yang berjudul “Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi

Kasus Pengadilan Negeri Medan).” B. Permasalahan

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang kecelakaan lalu lintas jika terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas? 2. Bagaimana eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana

kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan?

3. Bagaimana kebijakan hukum pidana setelah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan ?

17

(10)

C. Tujuan Penulisan

Suatu penelitian dapat merupakan penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta belaka (fact finding).18 Dalam setiap penelitian ilmiah perlu ditegaskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar penelitian dapat berjalan secara benar dan mencapai tujuan yang dirumuskan. Seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, dengan mengajukan masalah yang diteliti seperti telah dikemukakan pada sub bab permasalahan terdahulu. Karena itu dapat dirumuskan tujuan penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum tentang kecelakaan lalu lintas jika terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana setelah terjadi

perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Skripsi ini memberikan manfaat dalam menyumbangkan pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang berhubungan dengan eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan. Skripsi inipun kedepannya diharapkan dapat menambah

18

(11)

kontribusi pemikiran dan koleksi karya ilmiah yang telah ada sebelumnya berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

b. Manfaat Praktis.

1) Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan kepada penegak hukum yang menangani kasus kecelakaan lalu lintas, khususnya yang berhubungan dengan adanya perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

2) Skripsi ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat agar memahami bagaimana pengaruh perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dalam putusan hakim.

E. Keaslian Penulisan

Setelah dilakukan penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum USU dan Kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ada satu pun karya ilmiah dengan judul

“Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan

Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan).”

Demikian pula dari segi permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini belum pernah diangkat oleh skripsi lain. Skripsi ini merupakan karya asli penulis sendiri yang mengumpulkan data dari literatur sebelumnya yang telah membahas tentang perdamaian dalam hukum pidana dan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas, seperti buku-buku yang ada di perpustakaan, skripsi maupun tesis yang sebelumnya telah membahas mengenai perdamaian dalam hukum pidana, serta media massa maupun media elektronik yaitu internet. Penulis tidak meniru karya orang lain sehingga dapat dikatakan bahwa penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

(12)

Perdamaian berasal dari kata “ damai” atau concilia tion dalam bahasa Inggris.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdamaian didefenisikan sebagai penghentian permusuhan (perselisihan).19 Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary:20

Concilia tion is the a djustment a nd settlement of a dispute in friendly una nta gonistic ma nner used in courts before tria l with a few towa rds a voiding tria l a nd in la bour dispute before a rbitra tion.

Sementara menurut Hans Kelsen, perdamaian merupakan suatu kondisi yang disitu tidak terdapat paksaan. Menurut pengertian ini, hukum hanya memberikan perdamaian relatif, bukan absolut. Karena hukum mencabut hak para individu utuk menggunakan paksaan tetapi menyerahkannya kepada masyarakat. Dengan kata lain, ketiadaan hukum, menurut pengertian yang ada di sini pada hakikatnya merupakan keadaan perdamaian.21

Dari kedua pengertian di atas tentang rumusan pengertian perdamaian, pada intinya, perdamaian adalah satu sarana untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan tanpa kekerasan. Perdamaian ini dapat dilakukan baik sebelum perkara di ajukan ke pengadilan (sebelum sidang) maupun saat perkara di pengadilan (selama persidangan). Dalam perdamaian lebih mengutamakan suasana kekeluargaan di antara para pihak yang bersengketa sebab dalam perdamaian tidak ditonjolkan pihak yang bersalah atau yang benar namun akan dibahas duduk persoalan yang sebenarnya dan para pihak akan mengambil keputusan berdasarkan kesepakatan.

Penyelesaian sengketa dengan perdamaian lazimnya ditempuh dalam lapangan Hukum Perdata dan Hukum Adat ( Hukum Pidana Adat).

a. Perdamaian dalam Hukum Perdata

19

Departement Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta , 1994, halaman 207.

20

Black Law’s Dictionary, dalam Alef Musyahadah R. 2005, “Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang.

21

(13)

Dalam Hukum Perdata, itikad perdamaian tidak hanya datang dari para pihak yang bersengketa, namun hakim wajib mengupayakan perdamaian terhadap penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 130 ayat (1) HIR yang berbunyi : jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.

Ketentuan mengenai perdamaian dalam hukum perdata dapat dilihat dalam pasal 1851 sampai dengan pasal 1864 KUHPerdata. Dalam pasal 1851, diatur tentang pengertian perdamaian ( dading) yaitu :

Suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tertulis.

Dari rumusan pasal tersebut diatas, terlihat beberapa syarat formal dari putusan perdamaian, yaitu :22

1. Persetujuan dari kedua belah pihak. 2. Mengakhiri suatu sengketa

3. Perdamaian atas sengketa yang telah ada 4. Berbentuk tertulis

Inisiatif untuk melakukan perdamaian harus datang dari inisiatif murni datang dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan atas kehendak sepihak ataupun atas kehendak hakim. Adapun sengketa yang dapat dituangkan dalam persetujuan perdamaian yakni:

a. Sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan

22

(14)

b. Sudah nyata berwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian hanya dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang pengadilan

Suatu persetujuan perdamaian sah apabila dibuat secara tertulis. Syarat ini sifatnya imperatif. Berdasarkan tingkat cara pembuatan persetujuan perdamaian itu sendiri dibedakan:23

a. Putusan perdamaian

Apabila kedua belah pihak berdamai, kemudian meminta ke pihak pengadilan agar perdamaian itu dijadikan sebagai putusan pengadilan, maka bentu k persetujuan perdamaian ini disebut putusan perdamaian.

b. Akta Perdamaian.

Yakni suatu persetujuan perdamaian yang dibuat para pihak dan terdapat dalam persetujuan itu. Para pihak tidak meminta pengukuhan dari pengadilan.

Dalam perkara perdata sudah ditentukan perkara/objek yang dapat ataupun tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian. Perkara yang dapat diselesaikan secara damai seperti kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan pelanggaran (pasal 1953). Perkara yang dilarang diselesaikan melalui perdamaian seperti dading tentang sah tidaknya suatu perkawinan, pengesahan anak, sahnya suatu pengakuan anak, hak untuk memilih atau dipilih menjadi anggota badan-badan perwakilan, boedel warisan (pasal 1334 ayat (2)), barang-barang yang berada di luar perdagangan (buiten handel) (pasal 1332). 24 Kekuatan hukum perjanjian perdamaian sama dengan suatu hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) artinya suatu perdamaian di muka sidang pengadilan negeri mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan

23

Ibid 24Ibid.

(15)

hakim pada tingkat akhir (pasal 1858). 25 Meskipun demikian, perjanjian perdamaian dapat dibatalkan dalam hal: 26

a. Terjadi kekhilafan mengenai orangnya dan mengenai pokok yang diperselisihkan ( pasal 1859).

b. Melanggar asas umum dalam perjanjian seperti penipuan, atau paksaan (pasal 1320). c. Tentang surat palsu ( pasal 1861)

d. Tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu pihak, padahal sudah diakhiri dengan putusan hakim ( pasal 1862).

b. Perdamaian dalam Hukum Adat

Konsep penyelesaian perkara secara damai sudah lama dikenal dalam hukum adat Indonesia. Dalam hukum adat, termasuk didalamnya hukum pidana adat, penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang sering ditempuh tidak dapat dipisahkan dari konsepsi masyarakat Indonesia yang memandang penyesalan dan reputasi buruk sebagai unsur esensial dalam pelanggaran adat. Dalam alam pikiran masyarakat tradisional Indonesia, yang bersifat kosmis, yang penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan (evenwicht) antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggun perimbangan tersebut, merupakan pelangaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan- tindakan yang perlu guna menimbulkan kembali perimbangan hukum.27

Penyelesaian perkara secara musyawarah antara para pihak telah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Penyelesaian perkara secara adat melalui lembaga musyawarah lebih diarahkan kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena adanya sengketa tersebut dan tidak bersifat penghukuman. Ketua adat dalam menyelesaikan

25

Ibid halaman 12. 26

Ibid halaman 14. 27

(16)

sengketa tidak untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan lebih mengacu pada musyawarah mufakat dan damai.

Sanksi adat/ reaksi adat yang dijatuhkan merupakan bentuk tindakan ataupun usaha-usaha untuk mmengembalikan ketidakseimbangan termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat. Jadi sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dengan dunia ghaib untuk merehabilitasi, bukan penciptaan derita.28

Schepper memberikan ilustrasi reaksi adat dalam “ Indisch Tijdschriftva n het

Recht” No. T.129, muka 334, sebagai berikut: penyesalan, kerendahan hati, penghapusan fitnah , meminta maaf dengan pemberian sirih, perbaikan kerusakan disebabkan oleh seseorang yang dengan tangannya sendiri atau atas namanya , kompensasi dalam arti luas, pembayaran yang melebihi uang ganti kerugian (denda menurut hukum pidana), mengurus kuburan orang terhormat yang terbunuh, tawaran berdamai sebagai suatu perbuatan pembersihan, berbagai macam hukuman yang bersifat mencemoohkan, pengusiran dan sebagainya.29

Penyelesaian perkara secara damai sudah dikenal pada zaman Mataram II. Pada saat sultan Agung berkuasa, urusan peradilan dilaksanakan oleh penghulu agama atas nama raja yang didampingi oleh beberapa ulama sebagai majelis peradilan yang disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini dilaksanakan dengan dasar musyawarah dan mufakat (collegiale rechtspraak). Hasil putusan musyawarah menjadi putusan terakhir oleh raja. 30

28

I Made Widnyana Suarda, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung, 1993, halaman. 8 29

Oemar Seno Aji, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, halaman. 66 30

(17)

Pada zaman tersebut, disamping adanya peradilan serambi, di daerah-daerah juga berlaku peradilan “pa du”, yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan

olehperadilan keluarga (peradilan desa) secara damai, dan apabila tidak dapat diatasi secara kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara damai di bawah pimpinan sseorang pejabat kerajaan yang disebut jaksa.31

Kemudian pola-pola penyelesaian perkara tersebut tetap dikenal dalam hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman ini, dikenal Hakim perdamaian desa. Lembaga hakim perdamaian desa mendapat pengakuan secara hukum berdasarkan pasal 3a RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO) (Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijakan Pengadilan), yaitu yang antara lain menyatakan bahwa hakim-hakim adat tidak boleh menjatuhkan hukuman (ayat 3). Oleh karena itu tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman, ditempuhlah suatu usaha “perdamaian”. 32

dalam menegakkan hukum adat, lembaga perdamaian desa ini menjalankan peranan mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam pasal 3a Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIB).

Kekuasaan hakim perdamaian desa itu tidak terbatas pada perdamaian saja, tetapi meliputi kekuasaan memutus semua sengketa dalam semua bidang hukum, tanpa membedakan antara pengertian pidana, perdata, publik maupun sipil. Kedudukan bidang kehakiman atau peradilan itu barulah memperoleh perubahan jika masyarakat hukum adat menundukkan dirinya kepada kekuasaan yang lebih tinggi yang membatasi mengenai hak-hak kehakiman itu.33

Hazairin menulis tentang kedudukan hakim desa sekarang dan kemudian hari. Dalam Undang-Undang Darurat No. 1 PS/ 51, LN 9/ 1951 pasal 1 ayat (3), tetap

31Ibid

32

Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1 (Juli 1997), halaman 6

33

(18)

mengakui kekuasaan dorps justitie/hakim-hakim peradilan dalam masyarakat hukum adat sebagai yang dimaksud dalam RO pasal 3. Hakim-hakim tersebut disamakan dengan hakim perdamaian desa, ialah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam masyarakat hukum adat merupakan suatu condition sine qua non sebagai alat pelengkap kekuasaan desa selama itu mampu mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat keistimewaannya sebagai kesatuan politik, sosial, ekonomi yang dapat berdiri sendiri. 34

Namun dewasa ini, hakim perdamaian desa mengalami banyak hambatan dalam menegakkan hukum dan mendamaikan para pihak sehingga timbul kesan seolah-olah tidak berdaya menghadapi situasi konflik di pedesaan saat ini. Di beberapa tempat, perdamaian desa tidakk berfungsi lagi, namun di beberapa tempat lainnya masih berfungsi seperti biasanya. Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai tetap bertahan di dalam masyarakat hukum adat Indonesia saat ini. Dalam masyarakat Batak, misalnya, masih mengandalkan forum runggun adat yang pada intinya adalah penyelesaian perkara secara musyawarah (perdamaian) dan kekeluargaan. Dalam masyarakat Minang Kabau juga, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian Minang Kabau, yang secara umum bertindak sebagai mediator dan konsiliator.35

c. Perdamaian Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, mempunyai arti kemalangan atau kesusahan. Sedangkan kata lalu lintas mempunyai arti yang sangat luas, di mana di dalamnya meliputi pengertian lalu lintas jalan; di udara, di air yang terdiri lagi di laut, pantai, sungai; serta lalu lintas di atas rel. 36 Namun kecelakaan lalu lintas yang dimaksud dalam penelitian ini hany terbatas pada lalu lintas yang terjadi di jalan.

34

Ibid. 35

Nirnianingsih Amriani, Mediasi Alternatiff Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Rajawali Press, Jakart, 2012, halaman 115

36

(19)

Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak

diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.37

Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas :38

1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan

Kecelakaan Lalu Lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang

2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang;

Kecelakaan Lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

3. Kecelakaan Lalu Lintas berat;

Kecelakaan lalu lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

Pendapat lain mengatakan bahwa kategori kecelakaan lalu lintas dibedakan berdasarkan jenisnya, tingkat parah korban, faktor penyebab yang berkontribusi, keadaan lingkungan dan waktu.39

Konsep perdamaian sudah sering dilaksanakan dalam hukum perdata dan juga hukum adat. Dalam hukum pidana, konsep perdamaian belum dikenal. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengikutsertakan negara dalam setiap penyelesaian perkara pidana.

37

Pasal 1 angka 24 , Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 38

Pasal 229 Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 39

(20)

Demikian juga dengan penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas sebagai bagian dari hukum pidana tidak mengenai perdamaian sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan perkara tersebut. Kecelakaan ringan,sedang maupun berat tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian saja. Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas tidak dikenal dalam hukum pidana. Walaupun perdamaian dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum diakomodir dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pidana, namun perdamaian tersebut sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Bentuk perdamaian tersebut umumnya dilakukan dengan adanya penggantian ganti kerugian, biaya perobatan/perawatan, biaya duka cita maupun biaya pemakaman yang diberikan oleh pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas kepada pihak korban. Perdamaian tersebut biasanya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan pihak korban. Setelah tercapai kesepakatan, pihak korban biasanya memberikan pemaafan dan dengan tulus ikhlas menerima ganti kerugian yang telah disepakati tersebut.

2. Kajian Hukum Mengenai Korban Dalam Kecelakaan Lalu Lintas

a. Pengertian Korban

Keberadaan korban dalam kecelakaan lalu lintas sebagai pihak yang terkena penderitaan atas suatu perbuatan tidak dapat dipisahkan dalam suatu tindak pidana. Yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Mereka di sini dapat berarti individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah

(21)

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.40. Berhubung masalah korban pada umumnya adalah masalah manusia, maka sudahlah wajar apabila tetap berpegangan pada pandangan yang tepat mengenai manusia serta eksistensinya. Dengan pandangan/ pengertian yang tepat mengenai manusia, maka dimungkinkan sikap dan tindakan yang tepat menghadapi manusia yang ikut serta dalam terjadinya/ lahirnya si pembuat korban tindak pidana dan si korban dan menentukan tanggung jawabnya masing-masing. Penderitaan si korban adalah hasil interaksi antara si pembuat korban dan si korban, saksi (bila ada), badan-badan penegak hukum dan anggota masyarakat lainnya.41

Menurut Muladi, korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian,termasuk kerugian fisik atau mental, emosi atau ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak -haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaanh kekuasaan.42 Schafer dalam teorinya tentang Crimina l Victims Rela tionship, mengemukakan bahwa suatu kejahatan terjadi karena antar hubungan korban dan pembuat kejahatan.43

Dalam Black’s Law Dictionary, korban ( victims) adalah:

“The Person who is the object of the crime or tort a s the victim of a robbery is the

person robbed.”

40

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban 41

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009. halaman 335-336

42

Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Rajawali Press, Jakarta, 2008, halaman. 47.

43 Alef Musyahadah R. 2005, “

(22)

Korban juga didefinisikan oleh Van Boven yang merujuk pada deklarasi prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan sebagai berikut :44

Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by a ct) maupun kelalaian (by omission).

Dari pengertian di atas, tampak bahwa makna dari korban tidak hanya mengacu pada individu atau perseorangan saja, melainkan juga mencakup korban yang bukan perorangan (kelompok dan masyarakat). Yang dimaksud dengan korban perseorangan ialah korban yang hanya terdiri dari satu orang saja, sedangkan yang dimaksud dengan korban yang bukan perorangan, misalnya suatu badan, organisasi atau lembaga.

Menurut “ The Decla ra tion of Ba sic Pr inciples of Justice For Victims Of Crime And

Abuse Of Power”, Perserikatan Bangsa-Bangsa (1985), yang dimaksud dengan korban (victims) adalah orang-orang yang secara Individual atau kolektif mengalami penderitaan meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran ( omissions) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.45

Pengertian korban yang bisa diartikan secara luas adalah yang didefinisikan oleh South Carolina Governor’s Office of Executif Policy and Programs, Columbia, yaitu :46

“Victims means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or fina ncia l ha rm a s the result of crime a ga inst him. Victim a lso includes the

44

Rena Yulia. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Cetakan Pertama.Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, halaman 49.

45

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009. halaman 335-336.

46

(23)

person is decea sed, a minor, incompetent wa s a homicide victim a nd/or is physically or psychologically incapacitated.”

Pengertian di atas, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka akan memberikan pengertian mengenai korban secara luas. Menurut pengertian tersebut, pengertian korban bukan hanya merujuk pada korban yang menderita secara langsung, akan tetapi korban tidak langsungpun juga mengalami penderitaan yang dapat diklasifikasikan sebagai korban.. Demikian juga halnya dalam perkara kecelakaan lalu lintas, yang menjadi korban bukan hanya pihak-pihak yang secara langsung terkena dampak kecelakaan lalu lintas, tetapi juga pihak yang secara tidak langsung juga terkena dampak kecelakaan lalu lintas, misalnya keluarga korban dan juga masyarakat. Yang dimaksud korban tidak langsung di sini seperti istri yang kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anaknya, dan sebagainya. Dalam perkara kecelakaan lalu lintas, korban merupakan pihak yang paling menderita akibat kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Kerugian akibat kecelakaan lalu lintas tersebut berupa kerusakan kendaraan/barang, luka berat, luka ringan maupun meninggal dunia.

b. Tipologi Korban

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu :47

a. Nonpa rticipa ting victims, adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.

b. La tent or predisposed victims, adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.

c. Provoca tif victims, adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.

d. Pa rticipa ting victims, adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.

e. Fa lse victims, adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.

47

(24)

Hans von Hentig dalam Schafer, melakukan tipologi atau pengelompokan korban atas dasar faktor psikologi sosial dan biologis dalam 13 kategori yaitu:48

1. the young; 2. the fema le; 3. the old;

4. the menta lly devectif a nd other menta lly dera nged; 5. immigra nts;

11.the lonesome a nd the hea rtbroken; 12.tormentors;

13.the blocked, exempted, a nd fighting;

c. Hak dan Kewajiban Korban

Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian dalam terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan, korban tentunya memiliki hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut diantaranya termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyatakan bahwa korban berhak untuk :49

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanannya;

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapat nasihat; dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

48

Ibid 49

(25)

Sementara menurut Arif Gosita, hak korban terdiri atas :50 1. mendapat pelayanan (bantuan, restitusi dan kompensasi); 2. menolak mendapat pelayanan demi kepentingan pelaku; 3. mendapat pelayanan untuk ahli warisnya;

4. mendapat kembali hak milik;

5. menolak menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya;

6. mendapat perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila melapor dan menjadi saksi;

7. mendapat informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya; 8. dapat melangsungkan pekerjaannya;

9. mendapat pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan, selama persidangan dan setelah persidangan;

10.mendapat bantuan penasihat hukum; 11.menggunakan upaya hukum.

Adapun kewajiban korban antara lain:51

1. tidak melakukan tindakan-tindakan pembalasan, main hakim sendiri yang membuat pelaku menderita mental, fisik, sosial;

2. berpartisipasi dengan masyarakat mencegah adanya korban lebih lanjut; 3. berpartisipasi dengan masyarakat membina pelaku;

4. bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi; 5. tidak menuntut ganti kerugian di luar kemampuan pelaku;

6. memberi kesempatan kepada pelaku untuk mengganti kerugian sesuai dengan kemampuannya (mencicil bertahap/ member imbalan jasa);

7. menjadi saksi apabila tidak membahayakan dirinya dan ada perliindungan keamanan untuk dirinya.

(26)

perumusan mengenai hak dan kewajiban dalam suatu peraturan atau undang-undang harus dipertanggungjawabkan secara yuridis ilmiah.52

Walaupun korban berperan dalam terjadinya kejahatan, tetapi korban juga tetap memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dalam implementasinya. Dengan melihat beberapa hak dan kewajiban korban yang telah Penulis paparkan di atas, diharapkan masyarakat dapat memahami bahwa korban juga memiliki hak-hak yang harus dihormati seperti layaknya manusia yang merupakan bagian dari anggota masyarakat. Begitu juga dengan pelaku tindak pidana yang tidak jarang menjadi korban main hakim sendiri, adalah sama dengan korban yang lain, mereka juga memiliki hak -hak korban yang dimiliki oleh korban kejahatan lain karena mereka juga merupakan korban kejahatan.

3. Kajian Hukum Mengenai Pelaku Tindak Pidana Dalam Kecelakaan Lalu Lintas

Stra fba a r feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.53

Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi :54

a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan

52

Antonio S. Padaga. Tinjauan Sosio Yuridis Terhadap Restitusi Bagi Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Makassar, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012, halaman 20.

53

Adami Chadawi, Pengantar Hukum Pidana Bagian I, Grafindo, Jakarta, 2002, halaman. 69 54

(27)

diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum ;

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo yaitu :55

a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.

b. Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapt dipertanggungjawabkan.

Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada.

Sementara, secara singkat, pelaku tindak pidana merupakan orang yang melakukan tindak pidana. Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP.

(28)

Seperti yang terdapat dalam pasal 55 (1) KUHP yang berbunyi: (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Sebagaimana diatur dalam pasal 55 KUHP (1) di atas, bahwa pelaku tindak pidana itu dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan:56

a. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana (pleger).

Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan (pleger)/pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah dengan 2 kriteria:

1. perbuatannya adalah perbuatan yang menetukan terwujudnya tindak pidana, 2. perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.

b. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana (doen pleger)

Undang-undang tidak menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan yang menyuruh melakukan itu. Untuk mencari pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan sebagai orang yang melakukan (doen pleger), pada umumnya para ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda, yang berbunyi bahwa

“yang menyuruh melakukan adalah dia juga yang melakukan tindak pidana, tapi

tida k seca ra priba di, mela inka n dengan peranta ra orang la in sebaga i a la t di da la m

56

(29)

ta nga nnya a pa bila orang la in itu mela kukan perbua tan ta npa kesenga ja a n, kea lpaa n a ta u ta npa tanggungja wa b, ka rena sesua tu ha l yang tida k diketahui, disesa tka n a ta u tunduk pada kekerasan”.

a. Orang lain sebagai alat di dalam tangannya

Yang dimaksud dengan orang lain sebagai alat di dalam tangannya adalah apabila orang/pelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan tindak pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif. Dalam doktrin hukum pidana orang yang diperalat disebut sebagai manus ministra sedangkan orang yang memperalat disebut sebagai manus domina juga disebut sebagai middelijke dader (pembuat tidak langsung).

Ada tiga konsekuensi logis, terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan cara memperlalat orang lain:

 Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pembuat penyuruh,

tetapi leh perbuatan orang lain (manus ministra);

 Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatannya yang pada

kenyataannya telah melahirkan tindak pidana;

 Ma nus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah pembuatan

penyuruh.

b. Tanpa kesengajaan atau kealpaan

(30)

c. Karena tersesatkan

Yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabaklan oleh pengaruh dari orang lain dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas kesalahpahaman itu maka memutuskan kehendak untuk berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain itu timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan pembuat penyuruh sendiri.

d. Karena kekerasan

Yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) di sini adalah perbuatan yang dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu tidak berdaya.

Dari apa yang telah diterangkan di atas maka jelaslah bahwa orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana. Di dalam hukum orang yang disuruh melakukan ini dikategorikan sebgai manus ministra, sementara orang menyuruh melakukan dikategorikan manus dominan.

e. Orang yang turut melakukan tindak pidana (mede pleger)

KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana haru memenuhi dua syarat ;

1. harus adanya kerjasama secara fisik.

2. harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana

(31)

Dari berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk menentukan pembuat peserta (medepleger), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk menentukan seseorang sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana (pleger) untuk mewujudkan tindak pidana tersebut. Perbuatan pembuat peserta tidak perlu memenuhi seluruh unsur tindak pidana, asalkan perbuatannya memiliki andil terhadap terwuudnya tindak pidana tersebut, serta di dalam diri pembuat peserta telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan tindak pidana.

f. Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uit lokken)

Syarat-syarat uit lokken :

1. harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana; 2. harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana;

3. cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang tersebut didalam pasal 55(1) sub 2e (pemberian,perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya);

4. orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai dengan keinginan orang yang menggerakan.

Dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas, pada umumnya yang menjadi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas adalah pengemudi. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. Sementara kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel.57 Jadi, berdasarkan

57

(32)

pengertian ini, pengendara kendaraan tidak bermotor seperti pengendara delman tidak dapat disebut sebagia pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

4. Kajian Hukum Mengenai Sistem Pemidanaan

Menurut L.H.C. Hulsman, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules rela ting to pena l sa nctions a nd punishment ).58

Menurut Barda Nawawi Arief:

Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas, sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaaan mencakup semua peraturan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua peraturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal dan hukum pidana pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.59

Sistem pemidanaan terdiri atas sub sistem pemidanaan. Beberapa hal yang dapat dimasukkan dalam sub sistem pemidanaan antara lain masalah jumlah atau lamanya masa ancaman pidana, pemberatan dan peringanan pidana, perumusan dan penerapan pidana.

Berkaitan dengan perumusan diatas, sistem pemidanaan yang dimaksud dalam hal ini adalah proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim yang hanya berkaitan dengan hukum pidana substantif saja.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi penelitian.

Penelitian merupakan usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna

58

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, halaman 129

(33)

terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.60

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika,dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisnya kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.61

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif (Deskriptif research) yaitu penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding).62 Penemuan gejala-gejala ini tidak sekedar menunjukkan distribusinya tetapi termasuk usaha mengemukakan hubungan satu sama lain dalam aspek-aspek yang sedang diteliti. Hubungan-hubungan yang dimaksud adalah berkaitan dengan eksistensi perdamaian antara kobran dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan di Pengadilan Negeri Medan.

2. Metode Pendekatan

Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara yuridis normatif dan yuridis empiris.

a. Pendekatan yuridis normatif adalah membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.63 Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian

60

Joko P. Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, halaman 2.

61

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 20), halaman 38.

62

Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Bandung : Tarsito,197), halaman 132. 63

(34)

yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan kecelakaan lalu lintas jika terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yang berhubungan dengan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas. Melalui pendekatan yuridis normatif ini diharapkan dapat mengetaui suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya KUHP, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, RUU KUHP 2013 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Pendekatan empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.64 Pendekatan hukum empiris sering juga disebut sebagai pendekatan hukum sosiologis. Pendekatan empiris, dilakukan dengan cara berhadapan dengan warga masyarakat yang dalam hal ini dilakukan terhadap hakim-hakim yang menjadi objek penelitian untuk mengetahui efektivitas hukum yang berlaku dalam sistem pemidanaan. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi lapangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Medan.

3. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan, dan objek penelitian ini adalah pada Pengadilan Negeri Medan, dengan pertimbangan bahwa lembaga ini memenuhi kriteria untuk mendapatkan gambaran tentang eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan.

64

(35)

Adapun populasi merupakan keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama. Populasi atau universe adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.65 Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh putusan hakim di bidang kecelakaan lalu lintas yang mengandung perdamaian antara korban dan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dan seluruh hakim Pengadilan Negeri Medan.

Sementara sampel merupakan himpunan bagian atas sebagian populasi. Penentuan secara tepat untuk populasi dan sampel dalam suatu penelitian hukum adalah sangat penting untuk menentukan apakah penelitian yang akan dilakukan itu terhadap semua populasi atau hanya sampel saja. Penarikan sampel yang digunakan adalah Simple Ra ndom Sa mpling, yaitu intinya bahwa setiap orang atau unit dalam populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih dalam sampel.66

Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah putusan hakim dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengandung perdamaian tahun 2009-2014 dan 3 (tiga) orang hakim yang menangani perkara kecelakaan lalu lintas yang mengandung perdamaian.

4. Sumber Data.

Berdasarkan sudut pandang penelitian hukum, peneliti pada umumnya mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui wawancara dan/atau survey di lapangan yang berkaitan dengan perilaku masyarakat. data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan pustaka.67 Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini adalah hakim. Data sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer,

65

Ibid, halaman 91 66

Ibid, halaman 29. 67

(36)

yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat khususnya KUHP, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, misalnya : buku-buku tentang hukum, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar hukum, artikel, surat kabar, dan media massa lainnya, serta berbagai berita yang diperoleh dari internet. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus hukum, ensiklopedia, dan sebagainya.

5. Alat Pengumpulan data

Ada 3 (tiga) alat pengumpulan data yang lazim digunakan yakni studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara (interview).68 Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan dua cara yaitu studi kepustakaan dan wawancara.

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi dokumen ini merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun sosiologis). Hal ini dikarenakan penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.69

1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat, baik peraturan yang ada dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah KUHP,

68

Ibid, halaman 21. 69

(37)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan-peraturan yang lain yang berkaitan dengan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian, makalah dalam seminar dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian.

3) Bahan hukum tertier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa indonesia, kamus bahasa inggris, artikel-artikel atau laporan dari media massa (surat kabar, jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya).

b. Wawancara

Studi lapangan yang dilakukan dalam skripsi ini berupa wawancara. Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang, yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada seseorang responden dimana pertanyaan itu dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian.70

Tipe wawancara yang dilakukan dalam penulisan ini melalui wawancara berencana (sta nda rdized interview) yaitu suatu wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya. Pedoman wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang mengetahui tentang eksistensi perdamaian antara korban dengan

70

(38)

pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan yang dilakukan kepada hakim-hakim di Pengadilan Negeri Medan.

6. Analisis Data

Terhadap suatu penelitian sangat diperlukan suatu analis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan pekerjaan seorang peneliti yang memerlukan ketelitian dan pencurahan daya pikir secara optimal dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji.71 Pengolahan data adalah kegiatan merapikan hasilpengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.72 Hasil analisis ini diharapkan dapat digunakan nuntuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam skirpsi ini dan akhirnya dapat digunakan untuk menarik kesimpulan serta memberikan saran seperlunya.

Penulisan skripsi ini analis data yang dilakukan adalah menggunakan metode analis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan secara lengkap kualitas dari data -data yang telah dikumpulkan dan telah diolah, selanjutnya dibuat kesimpulan. Data yang telah diperoleh melalui studi lapangan (wawancara) dan studi pustaka dikualifikasikan dan diurutkan ke dalam pola, kategori dan suatu uraian dasar. Keseluruhan data akan diuraikan secara deskriptif yang kemudian akan dianalisa secara kualitatif.

Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan, bahwa apa yang dimaksudkan dengan metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden/informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Metode kualitatif tidak hanya bertujuan mengungkapkan kebenaran, tetapi juga untuk memahami kebenaran tersebut dan latar belakang terjadinya suatu peristiwa.

71

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 2002, halaman 7 72

(39)

Referensi

Dokumen terkait

pidana positif Indonesia dan hukum pidana Islam khususnya yang.. berhubungan dengan bentuk pertanggungjawaban tindak pidana. anak. Sebagai sumbangan pemikiran khususnya

ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya yang.. lebih mengkhususkan lagi mengenai dasar pertimbangan hakim dalam. menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku

Skripsi yang berjudul "PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG LALU LINTAS (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI DEMAK)" ini secara

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi secara teoritis bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum pidana di bidang tindak

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan disparitas penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak

Pedoman pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana lalu lintas sebelum berlakunya UU Nomor11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak masih menggunakan UU

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya mengenai tindak pidana perpajakan yang

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan mediasi penal tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban jiwa dalam sistem peradilan pidana