• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Und

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Und"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang didunia yang sedang gencar melaksanakan kegiatan pembangunan nasional disegala bidang. Pembangunan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu segala kegiatan dan usaha untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa merupakan usaha bersama dari bangsa dari seluruh rakyat yang dilakukan secara bahu membahu dan dijiwai semangat kebersamaan.

Uang sebagai modal dalam pemenuhan dana dan biaya pembangunan, diperoleh dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. Sumber kemampuan dalam negeri inilah merupakan sumber utama, yang didapatkan melalui sumber daya alam seperti minyak bumi, mineral dan gas. Adapun sumber dana lainnya yang bukan merupakan sumber daya alam, adalah pajak.

Dapat diketahui bahwa sumber dana untuk mewujudkan pembangunan nasional itu selain yang bersumber dari sumber daya alam, juga dari penerimaan pajak. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pembangunan dengan bekerjasama dengan masyarakat yang salah satu caranya adalah menarik biaya melalui pajak dari masyrakat.

(2)

Di tengah upaya pembangunan nasional diberbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup perpajakan dan kejahatan lainnya semakin meningkat. Dalam kenyataan adanya perbuatan tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup perpajakan telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup perpajakan perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.

Sebelum reformasi Undang-Undang perpajakan yang dimulai tahun 1983, tindak pidana perpajakan diselesaikan dengan peraturan peninggalan penjajahan seperti ordonansi pajak pendapatan 1944, dan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi1. Disamping itu penyelesaian tindak pidana perpajakan diselesaikan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai kitab umum kejahatan pidana yang salah satunya adalah penggelapan. Namun beberpa dekade setelah indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1983, perkembangan perundang-undangan perpajakn dimulai dan tindak pidana perpajakan diatur tersendiri dengan Undang-Undang perpajakan. Pada tahun 1983, telah lahir 3 (tiga) Undang-Undang perpajakan berikut aturan pelaksanaannya, yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

3. Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa Pajak Penjualan barang mewah

1Warta Warga, “Perpajakan indonesia”,

(3)

Namun dalam perkembangannya perundang-undangan tersebut tidak dapat diaplikasikan sesuai perkembangan keadaan sehingga diperbaharui diselesaikan melalui Undang-Undang yang baru, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Kemudian pada tahun 2000, dibuat kembali perubahan keduan terhadap Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tersebut, menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Meskipun telah melalui perubahan kedua, pengaturan Perpajakan dirasakan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga dilakukan perubahan ketiga menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Tindak pidana perpajakan cenderung masi dilakukan, akibatnya yaitu merugikan keuangan negara. Walaupun peraturan perundang-undangan yang mengatur perpajakan beserta tindak pidana perpajakan telah dilakukan beberapa kali penyesuaian, akan tetapi peraturan ini tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menanggulangi tindak pidana perpajakan dan sebagai pengaturan mengenai penghimpunan sumber keuangan. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam ruang lingkup perpajakan, disebabkan berbagai faktor yang antara lain menyangkut mentalitas aparat, dan petugasnya, mentalitas dari wajib pajaknya, dan kelemahan administrasi tata cara termasuk birokrasi pengelolaa pajak yang panjang. Pada saat pasca-reformasi Undang-Undang perpajakan tahun 1983, sistem perpajakan kita menganut self- assessment system, wajib pajak menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terhutang2. Dari faktor-faktor tersebut, wajib pajak ataupun petugas pajak itu sendiri memiliki peluang untuk melakukan tindak pidana perpajakan.

Tindak pidana perpajakan dalam penerapannya tidak hanya menggunakan peraturan perpajakan saja. Beberapa kejahatan yang dilakukan di bidang perpajakan, dapat

2

(4)

dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Perpajakan tersebut memenuhi syarat dari sifat kejahatan dan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Sifat kejahatan kejahatan tersebut memenuhi syarat memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara.

Sejalan dengan perkembangan dan perluasan arti dari keuangan negara, dan memperkaya diri dalam perundang-undangan korupsi maka makin berkembang pula kemungkinan penerapan perundang-undangan korupsi terhadap tindak pidana perpajakan.

Pada tahun 2009, Pegawai Negeri Sipil dari Dirjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan, diputus bebas oleh PN Tanggerang terkait kasus penggelapan dana sebesar Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) Namun, putusan tersebut dibatalkan terkait dengan kasus penyuapan terhadap Jaksa dan Penyidik. Adanya dugaan tindak pidana perpajakan dan tindak pidana korupsi membuat peneliti tertarik untuk membahas penerapan Undang-Undang Perpajakan dalam menyelesaikan tindak pidana perpajakan sekaligus penerapan Undang-Undang Korupsi terhdap tindak pidana perpajakan, yang bertitik tolak dari pandangan pentingnya penyelamatan sumber keuangan sektor pajak, yang selama ini terus terjadi pelanggaran.

Berdasarkan hal tersebut diatas Peneliti mencoba membahas dan melaksanakan penelitian, yang diwujudkan dalam bentuk skripsi berjudul :

“Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Studi Hukum Kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, NO. 1198 K/Pid.Sus/2011 )”

(5)

Berdasarkan uraian diatas timbul beberapa masalah yang perlu dikaji dalam penulisan ini antara lain :

1. Bagaimanakah hubungan antara tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana korupsi sehingga Undang-Undang Tipikor dapat diterapkan pada tindak pidana perpajakan ?

2. Bagaimanakah sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan yang masuk kedalam perbuatan tindak pidana korupsi ?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini yaitu :

1. Untuk mengkaji dan memahami hubungan antara tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana korupsi sehingga Undang-Undang Tipikor dapat diterapkan pada tindak pidana perpajakan.

2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan yang masuk kedalam perbuatan tindak pidana korupsi.

3. Untuk mengetahui bagaimana analisis kasus tindak pidana korupsi dibidang perpajakan.

Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya mengenai tindak pidana perpajakan yang masuk kedalam tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

(6)

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkat atau diterapkan dalam mengambilan kebijakan oleh aparat menegak hukum dalam tindak pidana korupsi di bidang perpajakan dengan menerapkan konsep-konsep kebijakan hukum pidana D.Keaslian Penulisan

Pembahasan skripsi ini berjudul “Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Studi Hukum Kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, NO. 1198 K/Pid.Sus/2011 )”

Penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi ini belum ada dan belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis dalam rangka melengkapi dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan apabila ternyata dikemuadian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E.Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Sanksi Pidana :3

Menurut H.L Packer sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam Bukunya “The limits of criminal sanction” yaitu :

1) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk mengahadapi kejahatan-kejahatan atau bahay besar dan segara serta untuk

3

(7)

mengahadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats

of harm)

2) Sanksi pidana suatu ketika merupakan ‘penjamin yang utama/terbaik’ dan suatu

ketika merupakan ‘pengancam yang utama’ dari kebebasan manusia. Ia merupakan

penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

(The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human

freedom. Used providently and humanely, it is guarantor, used indiscriminately

and coercively, it is threatener)

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanski pidana.4 Kata Tindak Pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit, kadang-kadang juga menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa Latin delictum, hukum pidana di negara-negara Anglo-Saxon menggunakan istilah offence atau criminal act untuk maksud yang sama.5

Istilah offence, criminal act, oleh negara-negara Eropa Kontinental dikenal dengan istilah strafbaar feit atau delict ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tampaknya mengalami keberagaman istilah. Keberagaman ini muncul baik dalam perundang-undangan maupu dalam berbagai literatur hukum yang ditulis oleh para pakar, keberagaman istilah yang digunakan para ahli yang meliputi tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum dan perbuatan pidana.6

4

H.M. Nurul Irfan, M.Ag., Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 23. 5

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 86. 6

(8)

Pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpda memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit. 7 Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum hingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebgaian dari suatu kenyataan yang dapt dihukum, bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.8

Menurut Hazewinkel-Suringa mereka telah membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari “strafbaar feit” sebagai suatu perilaku manusai yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.9 Para penulis lama seperti Prof Van Hamel telah merumuskan strafbaar feit itu sebgai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.10

Menuru Prof. Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhdap tertib hukum) dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum atau sebagai “de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder

7

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 181.

8

Ibid

9

Ibid

10

(9)

schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de

behartiging van het algemeen welzjin”.11

Sebagai contoh telah dikemukakan oleh Prof. Pompe suatu pelanggaran norma seperti yang telah dirumuskan didalam Pasal 388 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :

“Barang siapa denga sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”

Dikatakannya selanjutnya oleh Prof. Pompe bahwa menurut hukum positif kita, suatu

strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakn sebagai tindakan yang dapt dihukum.12 Dari uarain diatas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa untuk menjatuhkan suatu hukuman itu adalh tidak cukup apabila disitu hanya terdapat suatu strafbaar feit melainkan harus juga ada suatu

strafbaar persoon atau seseorang yang dapat dihukum, dimana orang tersebut tidak dapat dihukum apabila strafbaar feit yang telah ia lakukan itu tidak bersifat wederrechtlijk dan telah ia lakukan baik dengan sengaja mau pun tidak dengan sengaja.13

A.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsure-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.14 Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya, sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur

11

Ibid

12

Op.Cit., hlm. 183. 13

Ibid.

14

(10)

objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.15

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:16 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat (1) KUHP

3. Macam-mavcam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatn perncurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain. 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad seperti yang misalnya yang

terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 208 KUHP .

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana:17

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri”

didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai

pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

4. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat

Dari uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa unsur subjektif tindak pidana adalah unsur yang terdapat pada diri perilaku atau pembuat, in de dader aan wezig, unsur subjektif ini dapat berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan ysng

15

Ibid

16

Op.Cit., hlm. 194 17

(11)

dilakukan, toerekeningsvat baarheid dan dapat berupa kesalahan seseorang, schuld. Schuld ini dapat berupa berupa dolus atau opzet atau kesengajaan dan dapat pula berupa culpa,

kelalaian, kealpaan atau ketidaksengajaan.18

Di samping unsur subjektif, dalam tindak pidana juga terdapat unsur objektif, yaitu unsur yang terdapat diluar manusia. Unsur objektif ini bisa berupa suatu tindakan, suatu akibat tertentu, een bepaldgejolg dan berupa keadaan, omstendingheid yang semulanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.19

Berkaitan dengan masalah unsur-unsur tindak pidana ini, Bambang Poernomo, dengan menguitp pendapat-pendapat para pakar menjelaskan bahwa menurut Apeldoorn, elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang beruoa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrecht mating/wederrecthtelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pembuat (dader), yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipersalahkan terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum.20

3. Pengertian Tindak Pidana Perpajakan

Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atau Tindak Pidana Perpajakan adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan (SPT), tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang perpajakan. 21

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyatakan pada pasal 40 yaitu:22

18

H.M. Nurul Irfan, Op.Cit., hlm. 31. 19

Ibid

20

Ibid., hlm. 33 21

http://www.wikiapbn.org/artikel/Tindak_Pidana_di_Bidang_Perpajakan, diakses pada tanggal 20 April pukul 21.00

22

(12)

“Tindak Pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa pajak, berakirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan”.

Tindak Pidana Perpajakan adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-udangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana.23 Ketentuan yang mengatur tindak pidana pajak terdapat dalam hukum pidana pajak yang berisi peraturann-peraturan tentang :

a. Perbuatan-perbuatan apa yang dapat diancam dengan hukuman b. Siapa-siapa yang dapt dihukum, dan

c. Hukuman apa yang dapt dijatuhkan

Dalam Hukum Pajak, disamping sanksi admisistratif terdapat juda sanksi pidana, sanski administratif dijatuhkan untuk pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya ringan, hukum pidana merupakan ancaman bagi wajib pajak yang bertindak tidak jujur, adanya tindak pidana perpajakan ini dapa dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.24

Kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum pajak untuk mengarahkan pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau pihak lain agar menaati ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Secara yuridis, kejahatan dibidang perpajakan menunjukkan bahwa kejahatan ini merupakan substansi hukum pajak karena terlanggarnya kaidah hukum pajak. Secara sosiologis, kejahatan dibidang perpajakan telah memperlihatkan suatu keadaan nyata yang terjadi dalam masyarakat sebagai bentuk aktivitas pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau pihak lain. Sementara itu secara filosofis tersirat makna bahwa telah terjadi perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat ketika suatu aktivitas perpajakan dilaksanakan sebagai bentuk peran serta dalam berbangsa dan bernegara. Kejahatan dibidang perpajakan dapat

23

http://yohanesyoedha.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-di-bidang-perpajakan.html, diakses pada tanggal 20 April pukul 21.15

24

(13)

berupa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan undangan perpajakan. Pada hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan di bidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidang perpajakan ketika memenuhi rumusan kaidah hukum pajak.25

Korban kejahatan dibidang perpajakan tidak selalu tertuju kepada pada negara, melainkan wajib pajak dapat pula menjadi korban. Ketika korban dari kejahatan tertuju pada negara berarti pihak yang melakukan kejahatan itu adalah pegawai pajak atau wajib pajak. Contoh pegawai pajak dengan maksud menguntungkan diri sendiri melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksaseseorang dengan memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri dengan tindakan atau perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian atau pendapatan negara, atau wajib pajak menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi substansinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulka kerugian pada pendapatan negara.26

4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah Korupsi berasal dri satu kata bahasa latin, yakni corupptio atau corruptus yang disalin dalam bahas Inggris menjadi corruptio atau corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi

corruptio dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi corruptie (korruptie).27 Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.28

25

Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 2.

26

Ibid, hlm. 3. 27

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 4.

28

(14)

Baharuddin Lopa, mengatakan corruption adalah the offering and accepting of bribes

(penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap).29

Syamsul Anwar mengutip beberapa pengertian dari para ahli, Syed Hussein Alatas,30 menegaskan bahwa esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang menghianati kepercayaan. Dalam Webster’s Third New International Dictionary, korupsi didefinisikan sebagai ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas.31

Tindak Pidana korupsi selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggara terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selain itu, akibat perbuatan tindak pidana yang merugikan keuangan maupun pekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dankelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi yang tinggi.

Seperti diketahui bahwa pada tahun 1971 Pemerintah telah mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi. Namun Undang-Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, sehingga oerlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi yang baru dengan harapan dapat lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu untuk lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden (Pemerintah)

29

Baharudin Lopa, Masalah Korupsi dan Pemecahann, (Jakarta: PT Kipas Putih Askara, 1997), hlm. 1 30

H.M. Nurul Irfan, Op.Cit., hlm. 34. 31

(15)

mengeluarkan Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berkaitan dengan penambahan beberapa pasal baru serta perubahan penyesuaian pada pasal-pasal yang telah ada sesuai dengan perkembangan hukum yang terjadi dimasyarakat.32

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian33 yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (penelitian hukum droktiner). Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan adatu studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum droktiner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau pun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.

2. Jenis Data

Data sekunder yang terdiri atas :

1. Bahan buku primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tindak pidana perpajakan dan korupsi.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain :34

a. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana dan sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan.

b. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai kejehatan korupsi yang dilakukan di bindang perpajakan.

32

C.S.T Kansil, Engelien R. Palandeng, Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hlm. 74

33

Soerjono Soekanto, Penghantar Penelitian Hukum, (Jkarta: UI-Pers, 1986), hlm. 42. 34

(16)

c. Hasil-hasil penelitian, tulisan, majalah dan lain-lain. 3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen atau bahan pustaka.35 Studi dokuen atau badan pustaka dilakukan dibeberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, maupun mengakses internet.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan anak dianalisis secara deskriptif dengan mengguna metode deduktif dan induktif yang berpedoman kepada teori-teori hukum pidana khususnya tentang tindak pidana korupsi dibidang perpajakan. Analisis secara deduktif artinya semaksimal mungkin penulis berupaya memaparkan data-data sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berlaku di indonesia tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana dibidang perpajakan yang masuk kedalam tindak pidana korupsi yang dijadikan pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.

4. Sistematika Penulisan

Penulisa skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memehami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

35

(17)

Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai perngertian sanksi pidana, sanksi pidana dibidang perpajakan, pengertian tindak pidana, tindak pidana perpajakan dan tindak pidana korupsi.

Bab II Hubungan Tindak Pidana Perpajakan dan Tindak Pidana Korupsi dalam Penerapan

Bab ini memberikan pemaparan tentang ketentuan tindak pidana perpajakan, yang didalamnya termasuk penjelasan mengenai kejahatan di bidang pajak, kidah hukum pajak dan jenis kejahatan dibidang perpajakan serta pemaparan ketentuan tindak pidana korupsi, dan pemaparan bagaimana hubungan tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana korupsi dan hubungan tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana korupsi yaitu asas concursus idealis.

Bab III Realisasi Pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan Yang di kaitkan dengan Undang-Undang Tipikor

Bab ini memberikan pemaparan tentang penegakan dan kedudukan hukum pidana dalam pajak yang termasuk didalamnya terdapat penjelasan mengenai tujuan penegakan hukum pidana dalam pajak, kedudukan tindak pidana perpajakan dan sanksi pidana terhadap tindak pidana perpajakan, serta memberikan pemaparan tentang realisasi Undang-Undang perpajakan dikaitkan dengan Undang-Undang Korupsi dan faktor-faktor penyeban terjadinya tindak pidana korupsi dibidang perpajakan.

(18)

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan dan analisis kasus tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak dalam perspektif hukum pidana Indonesia, serta penjatuhan sanksi dalam tindak memberantas tindak pidana perpajakan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak untuk mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi dalam bidang perpajakan yang cenderung meningkat saat ini.

BAB II

HUBUNGAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN, TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENERAPAN

A. Ketentuan Tindak Pidana Perpajakan

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan aturan fundamental dalam mengelola dan mengatur hubungan antara aparat pajak dan wajib pajak.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK. 03/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan persyaratan wajib pajak yang dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini mengindikasikan bahwa Olimart Siantar salah satu tempat pilihan untuk mengganti ataupun membeli produk Pelumas otomotif Pertamina Lubricants yang memberi kenyamanan

pertama di dapat variabel kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan kompetensi dengan nilai pengaruh langsung lebih kecil dari pengaruh tidak

[r]

Tujuan dari perancangan interior ini adalah (1) Merancang interior butik yang nyaman yang sesuai dengan konsep yaitu mengadaptasi film „The Grand Budapest Hotel‟.. (2)

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis ikan yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rendemen, kadar protein dan pH,

Demi menjamin perlindungan lebih lagi terdahad TKI diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengatur tentang penempatan buruh migran di luar negeri hanya dapat

Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu guru mengumpulkan informasi

 Bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru melemparkan beberapa pertanyaan kepada siswa berkaitan dengan materi Berbagai konsep menyanyi lagu daerah dengan dua suara