• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah PENELITIAN HUKUM ISLAM NORMATIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah PENELITIAN HUKUM ISLAM NORMATIF"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas-aktivitas yang bernuansa hukum. Selama kita melakukan suatu aktivitas-aktivitas, kita berarti melakukan tindakan hukum. Permasalahannya adalah tidak banyak orang yang menyadari bahwa dirinya telah melakukan aktivitas hukum. Agar kita menyadari dan memahami bahwa kita telah melakukan aktivitas hukum, maka kita harus memahami apa dan bagaimana sebenarnya hukum itu. Setiap Muslim seharusnya memahami hukum dan permasalahannya, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim sehari-hari tidak bisa lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia melakukan ibadah kepada Allah atau ketika dia melakukan hubungan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Permaslahan yang muncul sama seperti di atas, yakni tidak sedikit kaum Muslim yang belum memahami hukum Islam, bahkan sama sekali tidak memahaminya, sehingga aktivitasnya banyak yang belum sesuai atau bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. Memahami hukum Islam secara mendalam bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan kualifikasi yang cukup untuk melakukan hal itu dan juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Untuk melaksanakan hukum Islam diperlukan pemahaman yang benar terhadap hukum Islam itu melalui metodologi penelitian hukum islam.

Tulisan ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum Islam dan sebagai bahan bacaan untuk memperluas ilmu pengetahuan.

B. Pengertian Hukum Islam Normatif

Istilah hukum Islam normatif berasal dari tiga kata dasar, yaitu ‘Hukum’, ‘Islam’ dan Normatif’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan sebagai berikut:

1. Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat.

2. Undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.

3. Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu.

(2)

Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa (Muhammad Daud Ali, 1996: 38).

Kata hukum sebenarnya berasal dari bahasa Arab مكحلا yang merupakan isim mashdar dari fi’il (kata kerja) مكحي - مكح yang berarti memimpin, memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingga kata مكحلا berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan1. Dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undang undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.

Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya (Mahmud Syaltout, 1966: 9). Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. lalu disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Adapun kata yang ketiga yaitu normatif berasal dari bahasa latin norma dan dalam bahasa inggris norm yang berarti standard of behavior atau pedoman prilaku. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia normatif berarti berpegang teguh pada norma atau kaidah yang berlaku2.

Dari gabungan tiga kata ‘hukum’, ‘Islam’ dan normatif tersebut muncul istilah hukum Islam normatif. Dengan memahami arti dari ketiga kata yang ada dalam istilah hukum Islam normatif ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam normatif

1 Munawwir, Achmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya : 1997.

(3)

merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. untuk mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam normatif dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.

Dalam khazanah literatur Islam (Arab), termasuk dalam al-Quran dan Sunnah, tidak dikenal istilah hukum Islam normatif dalam satu rangkaian kata. Kata hukum islam secara terpisah dapat ditemukan penggunaannya dalam literature Arab, termasuk juga dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam literatur Islam ditemukan dua istilah yang digunakan untuk menyebut hukum Islam, yaitu al-syari’ah al-Islamiyah

(Indonesia: syariah Islam) dan al-fiqh al-Islami (Indonesia: fikih Islam).

Hubungan antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap syariah. Secara umum syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad), sedangkan fikih adalah hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah atau pemahaman terhadap nash, baik Alquran maupun Sunnah. Asaf A.A. Fyzee membedakan kedua istilah tersebut dengan mengatakan bahwa syariah adalah sebuah lingkaran yang besar yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan manusia; sedang fikih adalah lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu,

‘ilmu (pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada Alquran dan Sunnah; dalam fikih ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus dikutip dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya; bangunan fikih ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam fikih satu tindakan dapat digolongkan pada sah atau tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu (boleh atau tidak boleh). Dalam syariah terdapat berbagai tingkat pembolehan atau

pelarangan. Fikih adalah istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu ilmu; sedang syariah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (Fyzee, 1974: 21).

(4)

Islamic law sering digunakan para penulis Barat (terutama para orientalis) dalam karya-karya mereka pada pertengahan abad ke-20 Masehi hingga sekarang.

C. Karakteristik Penelitian Hukum Islam Normatif

Adapun karakteristik dari penelitian hukum islam normatif adalah sebagai berikut :

 Sumber datanya hanyalah data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tersier.

 Penelitian hukum islam normative sepenuhnya menggunakan data hukum skunder.

 Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif dapat ditinggalkan namun

penyusunan konseptual mutlak diperlukan.

 Dalam penelitian hukum normatif tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada hanya hipotesis kerja.

 Konsekwensi dari penggunaan data skunder maka penelitian hukum islam normatif tidak diperlukan sampling karena data skunder memiliki bobot tersendiri yang tidak bisa digantikan dengan jenis lainnya3.

D. Ruang Lingkup Penelitian Hukum Islam Normatif

Ruang lingkup di sini berarti objek kajian hukum Islam atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Ruang lingkup hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam melakukan hubungan.

Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut muamalah.

(5)

Dengan mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran, ‘Abd al-Wahhab Khallaf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukum-hukum i’tiqadiyyah

(keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukum-hukum ‘amaliyyah

(aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum ‘amaliyyah inilah yang identik dengan hukum Islam yang dimaksud di sini. Khallaf membagi hukum-hukum

‘amaliyyah menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Khallaf, 1978: 32).

Hakikat ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul karena hati merasakan cinta akan yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya, karena meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang hakikatnya tidak diketahui oleh akal (Ash Shiddieqy, 1985: 8). Karena ibadah merupakan perintah Allah dan sekaligus hak-Nya, maka ibadah yang dilakukan oleh manusia harus mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh Allah. Allah mensyaratkan ibadah harus dilakukan dengan ikhlas (QS. al-Zumar [39]: 11) dan harus dilakukan secara sah sesuai dengan petunjuk syara’ (QS. al-Kahfi [18]: 110).

Dalam masalah ibadah berlaku ketentuan, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Allah telah mengatur ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena ibadah bersifat tertutup (dalam arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan kecuali perbuatan-perbuatan itu dengan tegas diperintahkan (Ali, 1996: 49).

Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi Saw., kalaupun ada, tidak terperinci seperti halnya dalam bidang ibadah. Oleh karena itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad. Karena sifatnya yang terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang membatalkan dan melarangnya (Ash Shiddieqy, 1985: 91).

(6)

yang melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam. Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup hukum Islam dalam bidang muamalah, menurut ‘Abd al- Wahhab Khallaf (1978: 32-33), meliputi:

 hukum-hukum masalah perorangan/ keluarga

 hukum-hukum perdata

 hukum-hukum pidana

 hukum-hukum acara peradilan

 hukum-hukum perundang-undangan

 hukum-hukum kenegaraan

 hukum-hukum ekonomi dan harta.

E. Teknik Penulisan Proposal Hukum Islam Normatif

Teknik Penulisan Proposal Hukum Islam Normatif berisikan hal-hal sebagai berikut :

I. Latar Belakang Masalah.

Latar belakang masalah pada proposal harus bisa menjawab alasan memilih judul penelitian. Dijelaskan secara mengerucut dari garis besar hingga spesifik.

II. Perumusan Masalah.

Rumusan masalah harus berupa pertanyaan yang berhubungan dengan dua variabel atau lebih.

III. Batasan Istilah.

Sub bab ini membahas batasan masalah baik melalui ruang lingkup tempat penelitian, informasi penelitian, dan waktu penelitian.

IV. Tujuan Penelitian.

(7)

V. Manfaat Penelitian.

Manfaat penelitian bisa dibagi menjadi Manfaat yang kembali bagi peneliti dan Manfaat yang kembali bagi masyarakat serta pengembang keilmuan.

VI. Landasan Teori.

Landasan teori adalah seperangkat definisi, konsep serta proposisi yang telah disusun rapi serta sistematis tentang variable-variabel dalam sebuah penelitian. Landasan teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan.

VII. Metode Penelitian

Pada bagian ini dijelaskan secara terperinci komponen-komponen yang terkait dengan pelaksanaan penelitian sesuai dengan sifat penelitian keislaman yang meliputi penelitian kewahyuan, penelitian konsep dan pemikiran serta penelitian empiris. Pada bagian ini setidaknya harus dikemukakan4 :

1. Jenis penelitian. Jenis penelitian merupakan langkah yang akan diambil untuk membuktikan kebenaran hipotesis.

2. Populasi dan sampel. Populasi merupakan keseluruhan subjek peneliti dan sampel adalah sebagaian dari jumlah populasi.

3. Lokasi dan waktu penelitian. Menjelaskan tempat dan waktu penelitian.

4. Variabel. Menjelaskan keterangan variabel dan faktor yang diteliti dalam penelitian.

5. Teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data boleh berupa observasi, wawancara langsung, angket, dan pengukuran.

6. Instrumen penelitian. Instrument penelitian merupakan alat ukur berupa kuisioner dan cek list sebagai pedoman observasi, wawancara dan angket.

7. Tehnik pengolahan data. Berisi cara pengolahan data yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan penelitian

(8)

8. Metode analisis data. Menjelaskan seluruh data yang diperoleh menjadi sebuah informasi.

VIII. Sistematika Penulisan Proposal

Sistematika Penulisan Proposal merupakan suatu penjabaran secara deskriptif tentang hal-hal yang akan ditulis, yang secara garis besar terdiri dari Bagian Awal, Bagian Isi dan Bagian akhir. Dalam Prosedur Format Penulisan Pembuatan Proposal ini terdapat 3 hal utama yang menjadi unsur pembuatan karya tulis, yaitu Bagian Awal, bagian isi dan bagian akhir. Untuk bagian awal Format Sistematika Penulisan proposal berisikan beberapa unsur yang mengandung gambaran dari isi karya tulis, kemudian untuk bagian isi merupakan penjelasan detail mengenai content dari karya tulis dan untuk bagian akhir merupakan data-data pelengkap dan pendukung pembuatan proposal.

IX. Daftar Pustaka

Berisikan daftar rujukan pembuatan proposal yang diperoleh dari segala aspek.

X. Lampiran

Lampiran merupakan bahan pendukung sebuah proposal yang digunakan selama proses penelitian berlangsung.

F. Penutup

(9)

G. Daftar Pustaka

Arfa, Faisar Ananda, Metodologi Penelitian Hukum Islam, Jakarta : Prenadamedia Group, 2016.

Abdurrahman Misno BP, Metode Penelitian Hukum Islam, Pustaka AMMA: Bogor , 2016

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenadamedia Group, 2011. Marzuki, Memahami Hakikat Hukum Islam, Jurnal UNY.t.tp

Marzuki, Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam, Jurnal UNY.t.tp

Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran Dan Terjemahnya, Jakarta : 2002 Munawwir, Achmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya: 1997.

Sukiman, Penelitian, Makalah yang disampaikan Pada Orientasi Mahasiswa Dan Percepatan Studi, PPs UIN SU, T.tp

http://kbbi.web.id

(10)

Lampiran :

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN HUKUM ISLAM NORMATIF BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan suatu unit terkecil dari komunitas yang lebih luas. Setelah keluarga berhimpun dari berbagai keluarga terciptalah masyarakat. Akhirnya himpunan masyarakat itu pula menjelma menjadi suatu tatanan masyarakat yang lebih kompleks yang disebut dengan Negara.

Namun yang perlu diingat adalah bahwa himpunan masyarakat mulai dari yang terkecil sampai pada yang terbesar tidak terlepas dari sepasang suami istri yang memadu kasih sehingga melahirkan keturunan. Begitu pentingnya peranan dua pasang insane ini dalam mengarungi bahtera kehidupan mereka, maka perlulah agama memberikan arahan dan anjuran untuk menjalani hidup dengan sakinah dan rahmah diantara keduanya.

Hal ini dipertegas oleh ayat Alquran dalam surat ar-Ruum (30) ayat 21 sebagai berikut :

ممككننيمبن لنعنجنون اهنيملنإإ اونكككسمتنلإ اججاونزمأن ممككسإفكنمأن نممإ ممككلن قنلنخن نمأن هإتإاينآ نممإون

)

ننوركككنفنتنين ممومقنلإ تماينل كنلإذن يفإ نكنإإ ةجمنحمرنون ةجدكنونمن

٢١

(

21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Demikianlah idealnya suatu keluarga menurut konsep islam yang mana antara suami dan istri terjalin rasa kasih saying. Bahwa keluarga seperti demikian adalah idaman setiap orang dimana pun dia berada.

(11)

otomatis berjalan dengan baik. Tapi tidak sedikit pula bagi sebagian keluarga yang mengalami disharmonis atau tidak harmonis. Banyak factor yang menyebabkan hal itu terjadi, salah satu diantaranyakarena kelalaian mereka terhadap petunjuk Allah swt, sehingga terjadilah pertengkaran, percekcokan, saling membenci dan lain sebagainya.

Bahkan sering sekali perselisihan itu tidak bisa diatasi (out of control), peluang kondisi rumah tangga mencapai puncak perselisihan yang mengarah pada bubarnya perkawinan (broken marriage). Apabila pertengkaran itu sampai pada perpisahan, konsekuensi logis dari perpisahan atau perceraian itu akan menimbulkan berbagai persoalan pula mengenai hak dan kewajiban antara keduanya. Bagaimana hak asuh anak atau hak hadhanah, tanggung jawab suami selama masa iddah, dan tidak terkecuali persoalan harta bersama.

Dalam permasalahan penyelesain harta bersama tidak terlepas dari peran pengadilan dalam menangani masalah ini. Dijadikannya pengadiansebagai tempat untuk menyelesaikan persengketaan perdata mankala tingkat persengketaan itu sudah tidak dapat lagi diselesaikan pada tingkat internal keluarga antara kedua belah pihak.

Berkenaan dengan sengketa harta bersama telah diatur dalam undang-undang No I Tahun 1974 dalam Bab 8 yang berjudul “Putusnya perkawinan serta akibatnya” yang termuat dalam pasal 38 hingga pasal 41 dan juga pada peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 dalam bab 5 (Tata cara Perceraian) termuat dalam pasal 14-36.

Apabila perceraian terjadi diantara kedua belah pihak sebelum mempunyai anak dan hartapun belum didapat selama pernikahan, maka permasalahan tidak akan begitu sulit. Namun sebaliknya, jika anak dan harta sudah dimiliki ketika terjadinya perceraian, maka persoalannya akan panjang. Sebab seluruh yang terkait dalam pernikahan itu baik harta bersama, anak, dan lain sebagainyaakan menjadi bagian yang tidak terlepas dari bagian perceraian itu.

Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengemukakan beberapa pasal yang berkenaan dengan permasalahan harta bersama ini sebagai suatu upaya melihat kasusnya dengan komprehensif.

Pasal 35

1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harat benda bersama.

2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain.

(12)

1). Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindakatas persetujuan kedua belah pihak.

2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Tentang harta bersama lebih terperinci lagi diatur dalam kompilasi hukum islam bab XIII dengan judul harta kekayaan dalam perkawinan pada pasal 85-97.

Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwaharta bersama itu adalah harta yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan. Adapun harta yang dibawa masing-masing pihak sebelum menikah, maka itu tidak dikatakan harta bersam.

Dalam kajian fikih klasik khusunya dalam bidang muamalat harta bersama cenderung dismakan dengan syirkah atau harta yang diusahakan secara bersama oleh suami istri. Meskipun pada hakikatnya persamaan tidak terlalu tepat dalam pengkategoriannya. Hal itu disebabkan para ulama klasik belum mengenal dengan apa yang disebut pencarian bersama antara suami dan istri dalam tradisi masyarakat pada waktu itu. Karena pada umumnya perempuan hanya sebatas di rumah, sedangkan untuk masalah pencari penghidupan mutlak hanya bagi suami.

Kendatipun demikian, sebab konsep syirkah itu sendiri beragam dalam pelaksanaannyamaka paling tidak dapatlah masalah harta bersama ini didekatkan dengan konsep syirkah. Dalam konsep syirkah ada yang disebut dengan syirkah al-abdan, yaitu modal dari suami kemudian istri mempunyai andil dalam hal jasa dan tenaganya. Kemudian yang lain, apa yang disebut dengan syirkah ‘inan, yaitu dimana kedua belah pihak suami dan istri masing-masing mendatangkan modal untuk dikelola secara bersama.

Realitas ditengah-tengah masyarakat kita kebanyakan yang terjadi adalah model syirkah al-abdan, artinya lebih banayak suami yang mencari nafkah untuk menghidupi keluargasedangkan istri hanya mengatur sirkulasi perbelanjaan rumah tangga. Tentunya ketika terjadi perselisihan dan berujung pada perceraian, maka kaitannya dengan penyelesaian harta bersama merupakan menjadi persoalan yang cukup intens.

(13)

negatif baik bagi para pihak maupun pencari keadilan. Dari sisi keadilan suami atau istri merasa tidak adil terhadap pembagian harta bersama kepada istri atau suami yang berperangai amoral (berbuat serong), sehingga tidak pantas menerima ½ bagian harta bersama.

Berangkat dari latar belakang diatas tentang putusan mahkamah agung republic Indonesia yang menetapkan istri yang serong dengan lelaki lain tetap mendapat ½ bagian dari harta bersama. Maka penulis mengangkatnya dalam karya ilmiyah berupa tesis yang berjudul “PENYELESAIN HUKUM TENTANG HARTA BERSAMA KARENA PERCERAIAN (Studi Terhadap Putusan MARI No. 176 K/AG/1993).

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka masalah pokok yang hendak dicari jawabannya dalam tesis ini adalah : mengapa mahkamah agung Republik Indonesia dengan putusan No. 176 K/AG/1993 telah memutuskan istri yang serong dengan laki-lakilain mendapat ½ bagian dari harta bersama yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan.

Bagaimana ketentuan kompilasi hukum islam tentang harta bersama?

C. Tujuan Penelitian

Dalam tujuan penelitian tidak lain adalah untuk mencari jawaban dari rumusan maslah sebelumnya.

1. Untuk mengetahui mengapa mahkamah agung republik Indonesia dengan putusan No. 176 K/AG/1993 telah memutuskan istri yang serong dengan laki-lakilain mendapat ½ bagian dari harta bersama yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan?

2. Untuk mengetahui Bagaimana ketentuan kompilasi hukum islam tentang harta bersama?

D. Kegunaan Penelitian

1. secara teoritis, penelitian ini dapat mengembangkan wawasan akademis keilmuan dalam hukum islam.

2. secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang pemahaman yang baik dalam hukum islam.

E. Batasan Istilah

Untuk menghindari terjadinya kesalahan terhadap pengertian dan memudahkan pemahaman tentang proposal ini, perlu dijelaskan beberapa istilah sekaligus pengertian dari judul yang tertera diatas, diantaranya:

(14)

Kata penyelesaian hukum terdiri dari dua kata yaitu penyelesaian dan hukum. Penyelesaian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah cara menyelesaikan hukum keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan). Dengan kata lain, hukum artinya suatu proses penyelesaian sengketa yang diputuskan oleh hakim.

2. Harta bersama

Menurut abdul manan, harta bersama adalah semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun secara bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi persoalan apakah istri atau suami yang membeli. Apakah suami atau istri mengetahui pada saat pembelian, atau atas nama siapa itu didaftarkan.

3. Perceraian

Perceraian adalah perihal bercerai antara suami istri. Yang dimaksud dengan perceraian dalam pembahasan ini adalah putusnya hubungan perkawinan baik karena kematian, perceraian maupun karena keputusan pengadilan.

F. Landasan Teori

Hukum mengenai harta bersama kurang mendapat perhatian yang seksama dari para ahli hukum, terutama para praktisi hukum yang semestinya harus mendapat perhatian yang serius. Mengingat persoalan harta bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri apabila terjadi perceraian. Biasanya persoalan harta bersama ini muncul apabila sudah terjadi perceraian antara suami istri di pengadilan agama. Sehinga timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.

Secara yuridis formal, aturan-aturan tentang harta bersama sudah ditentukan dalam pasal 35 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang. Namun dalam peradilan ketentuan tersebut tidaklah mudah dan sederhana sebagaimana bunyi pasal tersebut. Terdapat beberapa hal yang sejalandengan perkembangan hukumdan kondisi social yang berubah dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Perubahan yang begitu cepat dalam berbagai bidang ekonomi misalnya, dengan adanya asuransi, pertanggungan, dan santunan-santuan lainnya. Yang kesemua itu sangat berpengaruh terhadap perolehan harta bersama sekaligus terhadap pembagiannya.

(15)

tegas. Porsi pembagian harta bersama sebelum dibagi waris dan penentuan separuh bagiannyadalm pasal 96 (1) tersebut adalah langkah yang berani. Apabila diteliti, dasar metodologinya antara lain dapat ditempuh melalui jalan maslahat. Dimana kemaslahatannya tidak bertentangan dengan tujuan syariat.

Dengan jalan inilah menentukan persoalan harta bersama yang sbelum dibagi ahli waris, maka diberikan separuh terlebih dahulu sebagai hak suami atau istri bukan sebagai warisan. Kemudian setelah itu dibagi dengan cara pewarisan. Alasannya karena tidak tegas dalam nash masalah pembagian harta bersama. Praktik seperti ini pada dasarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan tujuan syari’at, bahkan dianggap baik. Sehingga suatu tradisi yang baik ditengah- tengah masyarakat akan dianggap baik juga, sebagaimana rumusan para ulama dalam kaidah ushul fiqh sebagi berikut :

ةمكحم ةداعلا

Kebiasaan itu dihukumkan

Kaidah ini diberlakukan apabila pembagian harta bersama tidak terjadi sengketa atau menemukan jalan buntu. Tetapi jika terjadi sengketa, maka penyelesaiannya diajukan kepada pengadilan agama sebagaimana yang diatur dalam KHI pasal 88 sebagai berikut:

“apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaiannya diajukan kepada pengadilan agama”.

Kemudian apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti berjudi, mabuk, boros, dan lain sebagainya, maka suami atau istri dapat meminta pengadilan agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai sebagaimana yang terdapat dalam pasal 95 KHI.

(16)

sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Namun masih bias dikembang lagi dengan jalanmaslahat apabila istri tertua dalm poligami dan dalam persoalan asuransi, pertanggungan dan bentuk-bentuk santunan lainnya. Terlepas dari perbedaan ulama tentang eksistensi maslahat al-mursalah sebagai metode istinbath dalam hukum islam. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kontribusinya terhadapa pengembangan hukum islam sangat besar.

G. Kajian Terdahulu

Penelitian mengenai penyelesaian tentang harta bersamakarena percaraian sering kali kurang mendapat perhatian yang seksama dari para ahli dan praktisi hukum. Oleh karena itu, penulis berpendapat tentang putusan mahkamah agung Republik Indonesia No. 176/K/AG/1993 cukup penting dan menarik untuk dikaji. Adapun kajian terdahulu yang pembahasannyaerat kaitannya dengan judul tesis penulis ini, antara lain :

1. Tesis H. arso dengan judul “Penerapan hukum harta bersama berdasarkan kompilasi hukum islam dan pengaruhnya terhadap pemenuhan rasa keadilan di pengadilan agama se-sumatera utara”. Yang mana tesis ini menguraikan penerapan hukum harta bersama dan pengaruhnya terhadap pemenuhan rasa keadilan. Kompilasi hukum islam dijadikan hukum terapanoleh pengadilan agama dalam memutuskan sengketa atau perkara-perkara harta bersama akibat perceraian. Materi kompilasi hukum islam adalah penyelesaian kasus harta bersama di pengadilan agama telah memenuhi rasa keadilan.

2. Tesis Muhammad Iqbal Irham yang berjudul “kedudukan wanita tentang harta benda hukum perkawinan Indonesia”.

Tesis ini menguraikan tentang kedudukan wanita dalam harta benda hukum perkawinan Indonesia. Dalam tesis ini, bagaimana sebenarnya perempuan punya hak yang sama dalam kepemilikannya terhadap harta ditinjau dari undang-undang dan juga hukum islam.

(17)

H. Metode Penelitian

Bentuk penelitian yang akan digunakan pada kesempatan ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Sehubungan dengan hal itu, maka langkah-langkah yang akan ditempuh pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Sehubungan dengan penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Maka yang akan menjadi sumber pengumpulan data adalah :

A). Sumber data Primer

Adapun yang menjadi sumber data primer pada penelitian ini adalah kitab-kitab karangan putusan mahkamah agung No. 176/AG/1993.

B). Sumber Data sekunder

Adapun sumber data sekunder yang akan digunakan adalah kitab-kitab yang berhubungan dengan pembahasan yang akan diteliti.

2. Teknik pengolahan dan analisis data

Untuk mengolah dan menganalisis data yang nanti akan terkumpul penulis akan menggunakan beberapa metode, yaitu :

- Metode komparatif adalah cara untuk membandingkan dua pendapat yang bertentangan.

- Metode content analisis adalah metode yang berusaha memahami alur pemikiran tokoh-tokoh mazhab dan merekonstruksi kerangka pemikiran yang akan diteliti.

3. Metodologi Penulisan

Dalam penulisan tesis ini, penulis berpedoman kepada buku panduan akademik yang diterbitkan oleh PPs. UIN SU Tahun 2016.

I. Sistematika Penulisan.

Untuk memudahkan penulisan tesis ini sehingga sistematis dalam materi bahasannya, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I , Berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, batasan istilah, landasan teoritis, kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, terdiri dari tinjauan umum tentang harta bersama, pengertian harta bersama, konstruksi hukum dan ruang lingkup harta bersama, harta bersama menurut kompilasi hukum islam.

(18)

Bab IV, terdiri dari analisis tentang putusan mahkamah agung, penyelesaian kasus harta bersama di pengadilan agama, konsep harta bersama menurut fikih dan kompilasi hukum islam, harta bersama menurut putusan mahkamah agung republik Indonesia nomor 176/K/AG/1993.

Bab V, terdiri dari penutup berupa kesimpulan dan saran.

I. Daftar Pustaka

Arso, H., Penerapan Hukum Harta Bersama berdasarkan kompilasi hukum islam dan pengaruhnya terhadap pemenuhan rasa keadilan di Pengadilan Agama se-Sumatera Utara, tesis PPS IAIN Sumatera Utara, 2001

A Weng, Henry Lee, Beberapa segi Hukum dalam perjanjian perkawinan, Medan: rinbaw, t.th

Azhar Basyar, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Perpistakaan fak. Hukum Universitas Islam Indonesia, 1987.

Abdullah, Abdul Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani press, 1994.

Departemen agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, semarang: Toha putra, 1989.

Direktur Pembinaan Badan Peradilan Islam, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Tp, 2001.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: t.p., 2002.

Effendi, Satria, Analisis Fikih, Dalam Ditbenpera, Tinjauan Fikih Islam Terhadap

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang berdasarkan Pasal 1 UUP menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

Dalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya

Hukum positif tentang status hukum seorang anak di Indonesia yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

1 Menurut pasal 41 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : (a) Baik ibu atau bapak tetap

1/1974 tentang perkawinan yang menentukan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dapat dikukuhkan dalam hukum Islam, karena latar

Pada Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Jika diperhatikan maka Pasal 37

Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 25 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan

Bila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama, menurut Pasal 37 UU No 1 / 1974 diatur menurut hukumnya masing- masing .  Selain dalam Undang-undang