• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA

A. Pengertian Anak, Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja, dengan kata lain anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua dimana kata “anak’’ merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa.

Pengertian anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern bahwa ”Anak adalah keturunan kedua”.40 Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya. Hassan juga mengartikan anak sebagai muda-mudi/remaja yang masih dianggap anak-anak, yang masih memerlukan bimbingan dari orang tua/keluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat.41

Haditono mengutip pendapat Sumadi Suryabrata, menyatakan bahwa :

40Kamisa,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 13. 41Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro,

(2)

Anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.42

Pengertian di atas menjelaskan bahwa anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian baik dalam bidang ilmu pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin aktual dalam lingkungan sosial.

Kedudukan anak dalam lingkungan hukum sebagai subjek hukum, ditentukan dari bentuk sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Maksud tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subjek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum secara substansial meliputi peristiwa hukum pidana maupun hubungan kotrak yang berada dalam lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.43

Apabila ditelaah ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

42Sumadi Suryabrata,Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Andi, Yogyakarta, 2000,

hal. 3.

43Maulana Hasan Wadong, Maulana Hassan Wadong,Pengantar Advokasi dan Hukum

(3)

masih dalam kandungan.44 Ketentuan dalam Undang-undang di atas menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak berusia 18 tahun.

Pengertian anak dalam konteks hukum perdata erat kaitannya dengan pengertian mengenai kedewasaan. Hukum Indonesia mengenai anak masih digolongkan sebagai anak terdapat perbedaan penentuan. Menurut ketentuan hukum terdapat perbedaan tolak ukur dimaksud antara lain:45

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Pasal 330 Ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa batas antara belum dewasa (Minderjerigheid) dengan telah dewasa (Meerderjarigheid) yaitu 21 tahun kecuali Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (venia aetetisPasal 419)46

b. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 47 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat (1) menentukan bahwa “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Dari ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1

44Undang-undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang RI

Nomor 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak ,Media Centre, Surabaya, 2006, hal. 119.

(4)

Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di muka dapat disimpulkan bahwa dalam Undang-undang tersebut menentukan batas belum dewasa atau sudah dewasa adalah 16 dan 19 tahun.

c. Hukum kebiasaan (hukum adat)

Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Mr. R. Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi: (1) Dapat bekerja sendiri (mandiri), (2) Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.47 Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata.48 Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia di bawah 21 tahun.

Masa kanak-kanak dibagi menjadi 3 tahap, yaitu masa bayi umur 0 menjelang dua tahun, masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa kanak-kanak terakhir antara umur 5-12 tahun.49 Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa

47Ibid, hal. 18. 48Ibid, hal. 19.

(5)

fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak.

Penggolongan tersebut dibagi ke dalam tiga fase yaitu:

1) Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, perkembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (tro zalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak;

2) Fase kedua adalah dimulainya pada usia 7 sampai dengan 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak;50

3) Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai dengan 21 tahun yang dinamakan masa remaja, dalam arti yang sebenarnya yaitu fase fubertas dan adolescant, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi dewasa.51

Fase-fase yang disebutkan di atas masing-masing menjelaskan, fase pertama antara 0-7 tahun disebut sebagai masa anak kecil, perkembangan kemampuan mental dan lain sebagainya, lebih dari 7 tahun maka anak tersebut digolongkan dalam fase kedua yaitu masa kanak-kanak dengan ketentuan batas usianya adalah 14 tahun. Sementara untuk fase terakhir adalah 14 sampai dengan 21 tahun dikategorikan remaja dan ketentuan pada usia 21 inilah akhir fase disebut anak.

Pada pengertian anak di atas, meskipun dikutip dari beberapa sumber akan tetapi yang menjadi acuan utama di sini adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang spesifik menjelaskan tentang perlindungan anak. Jadi dengan demikian dari semua pengertian anak di atas hanya sebagai

(6)

komparasi dari undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang ada, baik dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang hukum perdata ataupun hukum adat.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa anak merupakan “buah hati sibiran tulang”, sebagaimana diungkapkan masyarakat melayu dalam mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi kelangsungan hidup mereka. Anak seyogyanya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anaklah kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan.52 Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatiannya dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam maupun aspek hukum.

Dalam kehidupan bermasyarakat juga dikenal adanya anak angkat atau anak orang lain yang diangkat menjadi layaknya anak sendiri atau anak kandung. Dengan kata lain anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka

52Rumilawati Windari, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang di Indonesia dan

(7)

yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah dikaruniai keturunan. Karena hal ini diperbolehkan oleh undang-undang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum.

Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.53 Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangganya.54 Sedangkan menurut Surojo Wignodipuro yang mengartikan sebagai berikut :

Anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.55

Muderis Zaini mengemukakan pula bahwa :

Anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri.56

53Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1976,

hal.31.

54Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Adat,Bandung, Alumni, 1991, hal.20. 55Surojo Wignjodipuro,Asas-asas Hukum Adat,Jakarta, Kinta, 1972, hal 14.

56Muderis Zaini,Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Bina Akasara, 1999,

(8)

Kemudian menurut M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata, anak angkat adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orangtua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri.57

Sementara itu dalam Mahmud Syaltut yang dikutip Aziz Dahlan, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian anak angkat, yaitu :.

Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya, Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri.

Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.58

Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan kedalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung.

Adanya anak angkat dalam sebuah keluarga adalah akibat adanya tindakan pengangkatan anak. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang sah/walinya yang sah/orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan

57M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum

Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Semarang, 1990, hal.34.

(9)

dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan kekuasaan keluarga orang tua angkat berdasarkan putusan/penetapan Pengadilan Negeri.59 Sifat perbuatan pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang tidak dapat dianggap hanya sebagai hasil kesepakatan antara para pihak semata, pengangkatan anak harus dianggap sebagai suatu lembaga yang menciptakan suatu hubungan hukum yang sah bagi anak angkat dengan lingkungan keluarga orang tua angkat berdasarkan penetapan pengadilan.

Hendaknya dipahami bahwa perbuatan pengangkatan anak bukanlah suatu perbuatan hukum yang dapat terjadi pada suatu saat seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukan adanya kesungguhan, cinta kasih dan kesadaran yang penuh akan segala akibat dari pengangkatan anak.

Apabila ditelaah ketentuan dalam KUHPerdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan. Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi.

1. Secara etimologi yaitu, pengangkatan anak berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt” bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.

59Erna Sofwan Sjukrie,Lembaga Pengangkatan Anak, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1992,

(10)

2. Secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundangundangan.60

Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak adalah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kebangsaan biologis.61 Dengan kata lain, melalui pengangkatan anak, anak angkat masuk kehidupan rumah tangganya orang tua yang mengambil anak itu sebagai sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi ia berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan bapak angkat.

Menurut Soerjono Soekanto, pengangkatan anak adalah sebagai suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri, atau secara umum berarti mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.62

Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata untuk pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal warisan.63 Rumusan yang diberikan oleh JA. Nota yang dikutip Purnadi Purbotjaroko mengenai adopsi adalah sebagai suatu lembaga hukum yang menyebabkan seorang beralih ke hubungan kekeluargaan lain,

60Muderis Zaini,Op.Cit., hal. 4.

61Iman Sudiyat,Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 102.

62Soerjono, Soekanto.Intisari Hukum Keluarga,Citra Aditya Bakti. Bandung. 1989. hal. 52 63Irma Setyowati Soemitro. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara. Jakarta, 1990,

(11)

sehingga timbul hubungan-hubungan hukum yang sah dengan orang tuanya, di Jawa Tengah pengangkatan anak menurut M.M Djojodiguno dan Raden Tirtawinata, adalah pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri.

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian adopsi secara umum adalah suatu tindakan mengalihkan seseorang anak dari kekuasaan orang tua kandungnya ke dalam kekuasaan orang tua angkatnya, untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, sehingga dengan sendirinya anak angkat mempunyai hak dan kedudukan yang sama seperti anak kandung.

Hukum Islam, sejak zaman Jahiliyah orang Arab telah mengenal dan melakukan pengangkatan anak. Pada waktu itu Nabi Muhammad S.A.W. mengangkat anak seorang laki-laki bernama Zaid bin Haritsah. Tindakan Nabi Muhammad S.A.W. ini mendapat teguran dari Allah melalui wahyu Illahi sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Azhab ayat 4, 5 dan 40, yang diturunkan untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad S.A.W. dalam mengangkat anak yang disesuaikannya dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan bangsa Arab waktu itu.64

64 M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Tiga Sistem Hukum, Akademika,

(12)

Berkaitan dengan pengangkatan anak ini, Al-Qur’an Surat Al- Azhab ayat (4), (5) dan (40) menegaskan yang artinya :

Ayat (4) yang artinya “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar“.

Ayat (5)“Panggillah mereka (anak-anak angkatmu itu) dengan memakai nama bapak-bapak meraka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“.

Ayat (40)“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasullulah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu“.65

Berdasarkan rumusan ayat tersebut di atas dapatlah diketahui, bahwa menurut agama Islam, anak angkat bukanlah anak kandung. Hubungan darah tidak pernah terputus antara ayah kandung dengan anak kandung. Oleh karena itu seharusnyalah si anak dipanggil menurut bapak kandungnya, sehingga oleh karena itu menurut hukum Islam tidak ada halangan sama sekali untuk menikah antara anak kandung dengan anak angkat.

Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1) Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga;

65Soenarjo,Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1971, hal.

(13)

2) Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari anak angkatnya; 3) Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara

langsung, kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/alamat;

4) Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.66

Ketentuan tersebut di atas menjelaskan bahwa prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu, juga tidak menutup kemungkinan memberikan berbagai bentuk bantuan atau jaminan penghidupan oleh orang tua angkat terhadap anak angkatnya, antara lain berupa :

1) Pemberian hibah kepada anak angkat untuk bekal hidupnya dikemudian hari; 2) Pemberian wasiat kepada anak angkat dengan ketentuan tidak lebih dari 1/3

(sepertiga ) harta kekayaan orang tua angkat yang kelak akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak.67

Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur bahwa orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah dari harta warisan anak angkatnya, demikian sebaliknya terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah dari harta warisan orang tua angkatnya. Jumlah wasiatwajibahitu maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan. Pengangkatan anak menurut hukum Islam, tidak memberi status kepada anak angkat sebagai “anak kandung” orang tua angkat. Meskipun barangkali

(14)

dilihat dari kenyataan kehidupan sehari-hari, hubungan ikatan batin antara orang tua angkat dengan anak angkat, sudah tidak ubahnya seperti hubungan anak kandung dengan orang tua kandung, hal itu tidak mengubah kenasaban hubungan darah antara mereka.

Prinsip-prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam bertujuan mencegah agar seorang anak tidak sampai terlantar dalam hidupnya dan bersifat pengarahan yang dapat disertai dengan pemberian bantuan penghidupan untuk kesejahteraan anak.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum yang termasuk perbuatan hukum di bidang hukum perdata dan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, bagaimanapun juga lembaga pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan.

B. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Berbagai Sistem Hukum.

Pengangkatan anak di Indonesia dilihat dari sejarahnya di urut dariStaatsblad

1917 Nomor 129, hukum adat, perundang-undangan dan berdasarkan hukum Islam. 1. MenurutStaatsblad1917 Nomor 129

(15)

pengangkatan anak hanya bisa dilakukan seorang laki-laki Tionghoa wajib mengusahakan agar cabang keluarganya tidak punah dan ada keturunan yang melanjutkan merawat abu leluhur.68

Lembaga pengangkatan anak diatur khusus karena merupakan adat golongan Tionghoa yang berhubungan erat dengan pandangan dan kepercayaan mereka. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek) memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup

bersama bukan untuk mengadakan keturunan, sehingga tidak mengenal lembaga pengangkatan anak (adopsi).69

Dalam perkembangannya, penduduk golongan Tionghoa mengalami perubahan pendangan terhadap hubungan kekeluargaan yang semula patrilineal menjadi bilateral atau parental. Perubahan pandangan itu dipengaruhi berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pendidikan, dan agama Kristen yang banyak dianut oleh mereka. Lembaga pengangkatan anak masih dibutuhkan tetapi dengan tujuan yang berbeda dari tujuan semula. Kehadiran anak angkat kadang dibutuhkan bagi mereka yang tidak mempunyai anak untuk mengisi kekosongan dalam keluarga atau memelihara mereka di hari tua. Oleh karenanya pengangkatan anak tidak perlu dibatasi hanya anak laki-laki.70

68J. Satrio,Op.Cit, hlm. 190-193.

69Ali Affandi, hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm. 149.

(16)

2. Menurut Hukum Adat

Hukum kekeluargaan adat memandang bahwa keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah dengan tunggal leluhur. Akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur bervariasi di masing-masing daerah. Ada satu pandangan pokok yang sama bahwa keturunan merupakan unsur yang hakiki serta mutlak bagi suatu suku, atau kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah dan menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Apabila suatu suku atau kerabat yang khawatir akan menghadapi kepunahan pada umumnya melakukan pengangkatan anak.71

Pengangkatan anak dalam hukum adat bukan merupakan lembaga yang asing. Lembaga itu dikenal luas hampir diseluruh Indonesia yang dilakukan dengan cara dan motif yang bervariasi. Misalnya di Jawa, anak angkat biasanya diambil dari anak keponakannya sendiri, laki-laki atau perempuan. Sedangkan motivasi pengangkatan anak tersebut berdasarkan alasan-alasan antara lain : karena tidak mempunyai anak, untuk mempererat tali persaudaraan dengan orang tua anak yang diangkat, karena belas kasihan disebabkan orang tuanya tidak mampu/anak yatim, atau anak yatim piatu, adanya kepercayaaan bahwa dengan mengangkat anak akan mendapatkan anak keturunannya sendiri (panutan, sebagai pemancing),dan karena hanya mempunyai anak laki-laki maka mengangkat anak perempuan atau sebaliknya,

(17)

dan yang terakhir karena untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu pekerjaan orang tua sehari-hari.

Demikian pula akibat hukum pengangkatan anak dalam hukum adat sangat bervariasi. Misalnya di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak angkat dan orangtua kandungnya. Anak angkat masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat sebagai anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya. Sedangkan di Bali, pengangkatan anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian keluarga orang tua kandungnya dan memasukkan anak itu kedalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan menjadi anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.72

Kedudukan anak angkat dalam hukum adat dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan atau keturunan. Sistem kekeluargaan di Indonesia dibedakan menjadi tiga (3) corak, yaitu :

 Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis

keturunan bapak, kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan perempuan.

72 Amir Martosedono, Tanya Jawab pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara Prize,

(18)

 Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis

keturunan ibu, kedudukan perempuan lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan laki-laki.

 Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik

menurut garis orang tua atau menurut garis dua sisi, yaitu bapak dan ibu, kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan.73

3. Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia

Undang-undang yang mengatur pengangkatan anak di Indonesia yang dibuat secara lengkap dan tuntas masih belum ada. Dalam sejarah perundang-undangan yang berkaitan, pengaturan pengangkatan anak sempat masuk dalam rancangan undang-undang, yaitu dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perkawinan dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Peradilan Anak.74

Ketentuan pasal dalam RUU Perkawinan ini termasuk salah satu pasal yang mendapat reaksi keras dari umat Islam karena bertentangan dengan hukum Islam. Hasil Musyawarah Ulama Jawa Timur pada tanggal 11 Agustus 1973 mengusulkan Pasal 62 tersebut untuk mengubah ayat ( 8 ), ayat (9), dan menghapus ayat (11) dan ayat (12).75

73Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat, Citra Aditia Bakti, Bandung, 1993, hlm. 23. 74 Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana Prenada

Media,Jakarta, 2008, hlm. 30.

(19)

Rancangan Undang-Undang tersebut selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai legal

product dengan menghapus semua ketentuan Pasal 62 yang mengatur

pengangkatan anak, sehingga dalam Undang-Undang RI Nomor 1974 tentang Perkawinan tidak ada ketentuan yang mengatur pengangkatan anak.

4. Berdasarkan Hukum Islam

Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah dikaruniai keturunan. Karena hali ini diperbolehkan oleh Undang-undang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum. Pengangkatan anak telah dilakukan dari zaman dahulu, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Walaupun pada masa sekarang ini pelaksanaan pengangkatan anak telah jauh berkembang. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pelaksanaan pengangkatan anak yang sudah berkembang dari tujuan semula diadakannya pengangkatan anak. Namun bila diperhatikan dari segi apapun juga, pada dasarnya pengangkatan anak mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh keturunan.

Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi, adopsi berasal dari kata Adoptie dalam bahasa Belanda atau adoption dalam bahasa Inggris. Adoption artinya pengangkatan, pemungutan.76

Dalam bahasa arab disebut “tabanny” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan mengambil anak angkat. Sedangkan dalam kamus

(20)

Munjid diartikan “ ittikhadzahu”, yaitu menjadikannya sebagai anak. Dalam Ensiklopedi Umum sebagaimana dikutip oleh Muderis Zaini dalam bukunya menyebutkan bahwa : “ Adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan”.

Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapat pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak, sedangkan dalam hukum Islam, sudah sejak zaman Jahiliyah orang Arab telah mengenal dan melakukan pengangkatan anak. Pada waktu itu Nabi Muhammad SAW mengangkat anak seorang laki-laki bernama Zaid bin Harisah. Tindakan Nabi Muhammad ini mendapat teguran dari Allah SWT melalui wahyu Ilahi sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Azhab ayat 4, 5 dan 40, yang diturunkan untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad S.A.W. dalam mengangkat anak yang disesuaikannya dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan bangsa Arab waktu itu.

(21)

mereka (anak-anak angkatmu itu) dengan memakai nama bapak-bapak meraka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi ( yang ada dosanya ) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (Ayat 5).“ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasululah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “ ( Ayat 40 ). Dari rumusan ayat tersebut di atas dapatlah diketahui, bahwa menurut agama Islam, anak angkat bukanlah anak kandung. Hubungan darah tidak pernah terputus antara ayah kandung dengan anak kandung. Oleh karena itu seharusnyalah si anak dipanggil menurut bapak kandungnya, sehingga oleh karena itu menurut hukum Islam tidak ada halangan sama sekali untuk menikah antara anak kandung dengan anak angkat. Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan–ketentuan sebagai berikut :77

 Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan

orang tua biologis dan keluarga;

 Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat,

melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian

77Hilman Lubis, Panitera Pengadilan Agama Medan Kelas IA, Wawancara tanggal 25

(22)

juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari anak angkatnya;

 Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya

secara langsung, kecuali sekedar sebagai tanda pengenal / alamat;

 Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan

terhadap anak angkatnya;

Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Berdasarkan prinsip dasar termaksud maka, hukum Islam tidak melarang memberikan berbagai bentuk bantuan atau jaminan penghidupan oleh orang tua angkat terhadap anak angkatnya, antara lain berupa :

 Pemberian hibah kepada anak angkat untuk bekal hidupnya dikemudian

hari;

 Pemberian wasiat kepada anak angkat dengan ketentuan tidak lebih dari

1/3 (sepertiga) harta kekayaan orang tua angkat yang kelak akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak.

(23)

diberi wasiatwajibahdari harta warisan orang tua angkatnya. Jumlah wasiatwajibah

itu maksimal 1/3 ( sepertiga ) dari harta warisan.

Pengangkatan anak menurut hukum Islam, tidak memberi status kepada anak angkat sebagai “anak kandung” orang tua angkat. Meskipun barangkali dilihat dari kenyataan kehidupan sehari–hari, hubungan ikatan batin antara orang tua angkat dengan anak angkat, sudah tidak ubahnya seperti hubungan anak kandung dengan orang tua kandung, hal itu tidak mengubah kenasaban hubungan darah antara mereka. Dari hal–hal yang diutarakan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam bertujuan mencegah agar seorang anak tidak sampai terlantar dalam hidupnya dan bersifat pengarahan yang dapat disertai dengan pemberian bantuan penghidupan untuk kesejahteraan anak.

C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak.

Pelaksanaan pengangkatan anak dalam praktiknya lebih mengutamakan pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak di samping juga kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Kemudian pelayanan diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa bukan sebagai objek perdagangan.

(24)

dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan.

Pengangkatan anak dilakukan melalui Dinas Sosial dan diatur dalam Ketentuan Umum angka 6 Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980 tentang Organisasi Sosial yang menyatakan bahwa “Organisasi sosial/lembaga pelayanan sosial adalah lembaga kesejahteraan sosial yang berbadan hukum yang menangani pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Dinas Sosial melalui Surat Keputusan Menteri Sosial sebagai penyelenggara pengangkatan anak”.78

Kriteria yayasan/organisasi sosial yang dapat ditunjuk oleh Menteri Sosial sebagai lembaga yang memfasilitasi pengangkatan anak adalah:

1. Memiliki panti sosial asuhan anak yang khusus melayani anak balita dengan sarana dan prasarana yang memadai.

2. Memiliki SDM yang melaksanakan tugas secara purna waktu dengan disiplin/keterampilan pekerja sosial. Sarjana hukum, psikolog, dan pengasuh. 3. Mandiri dalam operasional

4. Telah memiliki hubungan kerja dengan rumah sakit setempat.79

Dalam melakukan pengangkatan anak perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur pengajuan pengangkatan anak yang diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

(25)

Perlindungan Anak. Syarat yang wajib dipenuhi demi kepentingan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah sebagai berikut :

Pasal 39

(1)Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.

(3)Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

(4)Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

(5)Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Berdasarkan ketentuan hukum mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak, maka orang tua angkat mempunyai kewajiban seperti yang telah diatur dalam Pasal 40 yang menyebutkan :

(1)Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usul dan orang tua kandungnya

(2)Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

(26)

(1)Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

(2)Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kemudian, syarat dan prosedur lain yang harus ditempuh untuk melakukan pengangkatan anak keduanya adalah WNI. Untuk syarat calon orang tua angkat (pemohon), diperbolehkan pengangkatan anak langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua atau biasanya disebut denganprivate adaption. Selain itu, pengangkatan anak oleh orang yang belum menikah juga diperolehkan atau disebut dengan single parents adaption, asalkan para orang tua angkat ini mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap.

Syarat calon anak angkat (bila dalam asuhan suatu yayasan sosial), yayasan sosial harus mempunyai surat ijin tertulis dari Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diijinkan bergerak di bidang pengasuhan anak dan calon anak angkat harus punya ijin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang berwenang bahwa anak tersebut diijinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat, dan apabila ijin sudah lengkap, kemudian mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat.

(27)

a. Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya diangkat. b. Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.

c. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak. d. Pihak perantara, yang secara individual atau kelompok (badan, organisasi)

menguntungkan atau merugikan pihak-pihak yang bersangkutan.

e. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan anak.

f. Anak yang diangkat, yang tidak menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya, menjadi korban tindakan aktif dan pasif seseorang.80

Sementara itu, menurut Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak

Departemen Sosial Republik Indonesia dalam pengangkatan anak pihak-pihak yang terlibat dalam hal terjadinya pengangkatan anak adalah sebagai berikut:

a. Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat. b. Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.

c. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak. d. Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok (badan,

organisasi).

e. Pembuatan Undang-Undang yang merumuskan ketentuan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan.

f. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan anak.

g. Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya.81

Pihak Dinas Sosial dalam proses pengangkatan anak ikut andil dalam proses adopsi sebagai fasilitator, dengan perannya menjembatani antara calon orang tua adopsi dengan rumah sakit atau yayasan sosial yang dapat melaksanakan adopsi anak. Dinas Sosial akan berperan memberikan pengarahan kepada calon orang tua adopsi apa saja yang diperlukan apabila akan melaksanakan adopsi anak, diantaranya adalah

80Arif Gosita.Masalah Perlindungan Anak.Edisi Pertama. Akademi Presindo. Jakarta. 1989,

hal. 44

81Departemen Sosial Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak

(28)

dengan memberitahukan prosedur-prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon orang tua adopsi.

Selain itu, dalam pelaksanaan adopsi anak Dinas Sosial juga memberikan pengawasan dan pembinaan kepada yayasan sosial atau panti asuhan yang biasanya melakukan adopsi anak agar pelaksanaan adopsi dapat berjalan sesuai dengan prosedur-prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan. Tujuan utama dari Adopsi anak adalah untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak tersebut dapat berkembang dan tumbuh secara baik sehingga apa yang anak tersebut peroleh dapat dipergunakan di masa depan mereka.

Agar proses pelaksanaan adopsi dapat berjalan dengan lancar, maka calon orang tua adopsi harus memenuhi segala persyaratan dalam adopsi atau pengangkatan anak. Apabila dalam proses ada syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi, maka pelaksanaan adopsi tidak dapat dilanjutkan. Berdasarkan Ketentuan Intern Dinas Sosial, syarat-syarat adopsi adalah sebagai berikut :

a. Persyaratan Bagi Calon Orang Tua Angkat

1) Umur calon orang tua angkat minimal 30 (tiga puluh) tahun dan maksimal 50 (lima puluh) tahun berdasarkan identitas diri yang sah. Dalam syarat ini umur calon orang tua adopsi dapat dilihat melalui Kartu Tanda penduduk (KTP), akte kelahiran atau syarat-syarat keterangan identitas lainnya.

(29)

orang tua adopsi. Apabila dalam buku nikah tersebut tercantum bahwa calon orang tua adopsi telah menikah lebih dari 5 (lima) tahun maka, proses adopsi dapat segera di lanjutkan.

3) Selama menjalani pernikahan calon orang tua adopsi belum mempunyai anak atau hanya mempunyai seorang anak. Dalam syarat ini selain dapat dilihat dari surat Kartu Keluarga (KK), pihak yayasan bersama Dinas Sosial juga melakukan peninjauan langsung rumah calon orang tua adopsi. Dinas Sosial beserta yayasan akan mengunjungi langsung rumah calon orang tua adopsi dan akan mengadakan wawancara kepada calon orang tua adopsi, keluarga ataupun tetangga di sekitar rumah tersebut. Di dalam pelaksanaan wawancara tersebut biasanya ditanyakan apakah calon orang tua adopsi tersebut sudah mempunyai anak atau belum.

(30)

Apabila pengangkatan anak dilakukan oleh pegawai negeri sipil, maka persyaratan juga dilampiri daftar gaji setiap bulannya dan dalam syarat ini tidak ditentukan besar gaji atau pendapatan calon orang tua adopsi yang terpenting adalah pendapatan minimal di atas UMR. Dalam hal ini Dinas Sosial juga ikut memantau dan menilai apakah calon keluarga tersebut layak atau tidak dengan cara melihat kondisi rumah untuk memperkirakan kemampuan ekonomi calon orang tua adopsi.

Adapun yang menjadi patokan Berikut ini patokan atau standar perhitungan yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan ekonomi calon orang tua adopsi :

Makan 2 x 15.000 x 30 = Rp. 900.000,-Transport = Rp.

300.000,-Kesehatan = Rp.

300.000,-Rekreasi = Rp.

200.000,-Sosial, dll = Rp.

300.000,-Perhitungan di atas keseluruhan pengeluaran perbulan kira-kira Rp. 2.000.000,-. Jadi, bisa diperkirakan bahwa calon orang tua adopsi yang ingin mengadopsi anak sebaiknya mempunyai penghasilan di atas 2 (dua) juta tiap bulannya agar kehidupan dan kesejahteraan anak benar-benar dapat terjamin.

(31)

Syarat ini dapat terpenuhi dengan meminta bantuan dan kerjasama dengan pihak kepolisian dalam pembuatan SKCK. Apabila ada calon orang tua adopsi yang pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran, sebetulnya proses adopsi tetap dapat dilaksanakan asalkan calon orang tua adopsi tersebut mempunyai SKCK dari kepolisian. Apabila mereka mempunyai SKCK dari kepolisian menganggap mereka sudah menjadi baik dan layak mendapatkan SKCK. Namun apabila mereka tidak mendapatkan SKCK, maka proses pelaksanaan adopsi tidak dapat dilanjutkan lagi.

6) Calon orang tua adopsi dalam keadaan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari dokter pemerintah.

Dalam syarat ini dokter pemerintah ikut berperan dalam proses pelaksanaan adopsi anak, dokter tersebut akan memeriksa keadaan calon orang tua adopsi, apakah calon orang tua adopsi mempunyai cacat fisik penyakit tertentu atau tidak. Dokter tersebut akan mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan calon orang tua tersebut sehat jasmani atau tidak.

7) Calon orang tua adopsi dalam keadaan sehat rohani atau mental berdasarkan keterangan psikolog.

(32)

mempunyai kelainan mental atau gangguan mental atau tidak. Setelah pemeriksaan ini psikolog akan mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan kesehatan mental calon orang tua adopsi. Hal ini perlu dilakukan, karena kondisi mental calon orang tua adopsi akan berpengaruh dalam cara mendidik mereka dan merawat anak yang mereka adopsi tersebut.

8) Calon orang tua adopsi wajib membuat pernyataan tertulis yang menyatakan kesanggupan untuk :

i) Memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak yang diadopsi secara wajar

Calon orang tua yang sudah memutuskan untuk mengadopsi anak harus bersedia dan bertanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan anak adopsinya, agar kehidupan dan kesejahteraan anak yang sudah diadopsi tersebut mengalami peningkatan dari kehidupan sebelumnya.

ii) Tidak menelantarkan anak

Dalam pernyataan ini calon orang tua adopsi harus mengusahakan supaya kehidupan anak yang sudah di adopsi tersebut tidak terlantar, karena apa gunanya adopsi dilakukan kalau anak tersebut hidupnya tetap terlantar dan tidak mengalami peningkatan dalam kesejahteraannya.

(33)

Pernyataan ini dibuat agar orang tua adopsi tidak memperlakukan anak adopsi dengan semena-mena. Mereka memutuskan mengadopsi anak berarti mereka harus bisa berlaku seadil-adilnya, apalagi mereka mempunyai anak kandung. Mereka harus dapat berlaku adil dan tidak semena-mena dalam mendidik, merawat dan membesarkan. Jangan karena anak adopsi tidak lahir dari rahim sendiri lalu mereka dapat berlaku semena-mena dan membedakan antara anak kandung dan anak adopsi.

iv)Memperlakukan anak adopsi sama dengan anak kandung

(34)

9) Telah mengasuh calon adopsi selama 6 (enam) bulan berdasarkan surat keputusan dari Instansi Sosial Kabupaten dan Kota tentang izin pengasuhan anak.

Dalam syarat ini calon orang tua adopsi telah mengasuh dan merawat calon anak adopsi selama 6 (enam) bulan, setelah 6 (enam) bulan tersebut Instansi Sosial atau Dinas Sosial bersama dengan yayasan sosial akan meninjau, mengamati, memeriksa dan memutuskan apakah calon orang tua adopsi tersebut layak untuk mengadopsi anak yang bersangkutan atau tidak. Dalam pemeriksaan tersebut akan dilihat apakah calon anak adopsi tersebut mendapatkan kehidupan dan kesejahteraan yang layak atau tidak. 10) Bagi calon orang tua Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar negeri

pengadopsian anak WNI di Indonesia, maka calon orang tua tersebut harus berada di Indonesia selama proses adopsi anak tersebut berlangsung.

Syarat ini berlaku bagi calon orang tua adopsi yang tinggal di luar negeri. Diwajibkan bagi calon orang tua adopsi yang tinggal di luar negeri untuk tinggal di Indonesia selama proses adopsi berlangsung. Hal ini dimaksudkan selain untuk memudahkan dalam proses adopsi juga untuk menunjukkan bahwa calon orang tua adopsi tidak main-main dalam proses adopsi anak tersebut

(35)

1) Anak terlantar berumur kurang dari 5 (lima) tahun, ketika permohonan diajukan kepada Dinas atau Instansi Sosial Kabupaten/Kota, berdasarkan Akta Kelahiran atau Surat Keterangan yang sah.

2) Calon anak adopsi berada dalam asuhan organisasi sosial, atau berada dalam lingkungan orang tua pengganti.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam pengangkatan anak juga harus dipenuhi berbagai persyaratan khususnya yang menyangkut orang yang mengangkat anak dan calon anak yang diangkat (diadopsi). Guna melegalkan adopsi atau pengangkatan anak maka dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Hal ini berimplikasi secara hukum, sedangkan adopsi ilegal adalah adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua kandung anak. Jika, seorang anak diadopsi secara legal, maka setelah pengangkatan ada akibat hukum yang ditimbulkan, seperti hak perwalian dan pewarisan.

D. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim di Pengadilan Agama Medan

(36)

mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak.

Untuk lebih jelas, dapat kita lihat di dalam table dibawah ini mengenai alasan orang tua angkat mengangkat anak angkat dapat dilihat dalam tabel prosentase sebagai berikut :

Tabel 1

Alasan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Medan Tahun 2010 – 2011

No. Alasan Jumlah Persen

1 Tidak mempunyai

keturunan (anak) dan untuk kepentingan anak di masa depannya

3 60%

2 Untuk “mancing” agar bisa punya anak sendiri

2 40 %

Total 5 100%

Sumber : Buku Register di Pengadilan Agama Medan

Dari Tabel 1 tampak bahwa sebanyak 3 orang (60 %) alasan pengangkatan anak adalah karena tidak mempunyai keturunan (anak) dan untuk kepentingan anak di masa depannya. Karena dengan tidak mempunyai anak, maka dikhawatirkan dalam perkawinannya akan terjadi keretakan dalam berumah tangga.

(37)

Selain sebagai pancingan juga diharapkan nantinya anak yang diangkat akan meneruskan harta warisan dari orang tua angkatnya apabila tidak mempunyai anak kandung.

Adapun hasil penelitian di Pengadilan Agama Medan diperoleh data mengenai alasan melakukan pengangkatan anak selama tahun 2010 – 2012 yang diambil sebanyak 5 (lima) orang adalah sebanyak 3 (tiga) orang (60%) menyatakan karena tidak mempunyai anak kandung. Untuk jelasnya dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 2

Alasan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Medan Tahun 2011 – 2012

No. Alasan Jumlah Persen

1 Tidak mempunyai anak kandung

2 40%

2 Punya anak laki-laki atau perempuan saja

1 20%

3 Karena keadaan ekonomi 1 20%

4 Untuk masuk dalam daftar gaji

1 20%

Total 5 100%

Sumber : Buku Register di Pengadilan Agama Medan

(38)

Pada urutan ke 2 sebanyak 1 (satu) orang atau sebesar 20 % dalam Tabel 2 nampak bahwa pasangan suami isteri tersebut telah mempunyai anak namun belum lengkap karena hanya mempunyai anak laki-laki saja atau anak perempuan saja, sehingga dengan mengangkat anak laki-laki atau perempuan tersebut menjadi lengkaplah keluarga tersebut. Pada urutan ke 3 hanya 1 (satu) orang atau sebesar 20 % saja yang menyatakan alasan mengangkat anak karena keadaan ekonomi maksudnya karena orang tua kandung si anak ekonominya yang kurang mencukupi untuk mengasuh, mendidik dan membesarkan anaknya sedangkan calon orang tua angkat ekonominya lebih kuat, sehingga lebih mampu untuk mencukupi kesejahteraan anak tersebut. Pada urutan ke 4 hanya 1 (satu) orang sebesar 20 % saja yang menyatakan alasan mengangat anak karena alasan untuk memasukkan anak angkat ke dalam daftar gaji orang tua angkat.

Berkaitan dengan daftar gaji, status pekerjaan rang tua angkat dapat dilihat dari hasil penelitian, diperoleh data mengenai status pekerjaan orang tua angkat, yaitu:

Tabel 3

Status Pekerjaan Orang Tua Angkat di Pengadilan Agama Medan Tahun 2010 – 2012

No. Status Pekerjaan Jumlah Persen

1 PNS 1 20%

2 Karyawan Swasta, dll 4 80%

Total 5 100%

(39)

Dalam Tabel 3 terlihat bahwa sebagian besar atau sebanyak 1 orang (20%) tua angkat yang status pekerjaannya Pegawai Negeri Sipil yang memohon penetapan Pengadilan di Pengadilan Agama Medan.

Pada urutan ke 2 Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa status pekerjaan orang tua angkat Karyawan Swasta dan lain-lain sebanyak 4 (empat) orang dan sebesar 80 % yang mengajukan permohonan Penetapan Pengadilan Agama di Medan.

Dari data yang diperoleh, dari tahun 2010 sampai 2012 tidak terdapat permohonan pengangkatan anak yang di tolak oleh Pengadilan Agama Medan, keseluruhan permohonan dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan.

Melalui jalan adopsi atau pengangkatan anak diharapkan anak-anak yang terlantar mendapatkan pemenuhan hak seperti yang terdapat dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara.82

Kemudian dalam hal pengangkatan anak dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

(40)

Sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pengangkatan anak, namun praktik pengangkatan anak di tengah –tengah kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.

Pemerintah melalui Menteri Sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan kehidupan sosial tidak semua orang tua mempunyai kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Sambil menunggu di keluarkannya Undang-undang Pengangkatan Anak telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan yaitu salah satunya dikeluarkannya Keputusan Menteri Sosial Nomor 41 Tahun 1984.83Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1984 proses kearah lahirnya undang-undang yang khusus membahas pengangkatan anak telah sedang berjalan, dan yang mengatur ketertiban praktik pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa peraturan kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga yudikatif, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung, dan lain-lain.

83Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,

(41)

Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing ternyata tidak mencukupi, meskipun belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pengangkatan anak, karena lembaga pengangkatan anak telah menjadi bagian dari kultur masyarakat dan telah menjadi kebutuhan masyarakat, maka praktik pengangkatan anak secara adat telah ditertibkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di beberapa peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1983.84

M. Nuh, juga memberikan pandangan Asas Hukum bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia juga menjunjung tinggi sistem hukum dalamcommon lawyang menghargai hakim sebagai makhluk mulia dan memiliki hati nurani serta kemampuan untuk menangkap sinyal nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum riil yang oleh hakim dapat digali sebagai bahan ramuan untuk menciptakan hukum

yurisprudensi, dalam menangani kasus yang hukum tertulisnya belum mencukupi

seperti hukum pengangkatan anak di Indonesia. Temuan hukum oleh hakim (yurisprudensi) tersebut, kedepannya akan menjadi sumber hukum dalam praktik peradilan.

84 M. Nuh, Hakim (Ketua Majelis Hakim) Pengadilan Agama Medan Kelas IA Medan,

(42)

M. Nuh, juga menambahkan bahwa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pengangkatan anak melalui Pengadilan adalah dikarenakan ketidakpahaman masyarakat Indonesia tentang hukum dan karena masyarakat telah terbiasa dengan pelaksanaan pengangkatan anak secara adat saja dan sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita, dan karena masyarakat menganggap pelaksanaan pengangkatan anak melalui proses pengadilan adalah hal yang sangat sulit, waktu yang panjang, berbelit-belit dan membutuhkan biaya yang mahal, padahal menurut Hakim pada Pengadilan Agama kelas I A Medan tidak demikian, bahkan terdapat banyak keuntungan bagi masyarakat yang mengangkat anak dengan memohon putusan/penetapannya ke Pengadilan Agama khusus bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam, yaitu anak yang diangkat tidak dapat menguasai seluruh harta warisan orang tua angkatnya, karena telah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam pelaksanaan pengangkatan anak juga dikenal adanya pencatatan yang dilakukan guna menjamin keabsahan dari pencatatan yang dilakukan. Pencatatan pengangkatan anak yang kelahirannya normal dari perkawinan sah dan asal usulnya jelas, dilakukan di kantor catatan sipil akan menjadi mudah dan tidak mengalami kendala, karena pelaksanaan pencatatannya oleh Kantor Catatan Sipil cukup mencatat pengangkatan anak tersebut di pinggir akta kelahiran si anak angkat.

Pengangkatan anak dilihat dari keberadaan anak yang akan diangkat dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :

(43)

b. Pengangkatan anak yang dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada dalam organisasi sosial (non private adoption) ;

c. Pengangkatan anak terhadap anak yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua asal maupun organisasi sosial, misalnya anak yang ditemukan karena dibuang orang tuanya.

Persoalannya menjadi agak rumit, apabila anak yang diangkat tidak mempunyai asal usul orang tuanya yang jelas seperti anak yang dibuang orang tua yang tidak bertanggung jawab atau atau diambil dari panti asuhan yang asal usul orang tua kandungnya tidak diketahui atau dirahasiakan.

Kalau anak yang akan diangkat diambil dari yayasan, maka seharusnya yayasan sudah terlebih dahulu mencatatkan kelahiran anak dimaksud, dengan demikian si anak telah memiliki kutipan akta lahir. Setelah ada penetapan dari pengadilan, maka orang tua angkat mengajukan permohonan “catatan pinggir”pengangkatan anak pada pinggir akta kelahiran anak tersebut.

(44)

pengangkatan anak ke pengadilan wilayah hukum pengadilan yang mewilayahi domisili pemohon.

Setelah ada penetapan pengadilan, maka orang tua angkat dengan membawa salinan penetapan pengadilan dimaksud mengajukan permohonan catatan pinggir tentang pengangkatan anak pada akta kelahiran anak angkat yang bersangkutan. Ketentuan tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk. Pada bagian ke-6 (ke enam) Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, ada dua pasal yang mengatur tentang pengangkatan anak, yaitu Pasal 23 dan Pasal 24. Ketentuan pengangkatan anak ini juga berlaku bagi kalangan pegawai negeri sipil yang melakukan pengangkatan anak dan bagi pegawai negeri sipil yang beragama Islam dilakukan ke Pengadilan Agama.85

Adapun prosedur pelaksanaan pengangkatan anak termasuk yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil adalah sebagai berikut.86

1. Pengajuan Permohonan

Pemohon atau kuasanya dengan membawa surat permohonan pengangkatan anak yang telah ditandatangani datang ke Pengadilan Agama, mengajukan

85 Sugeng Heriono, Panitera Pengganti Pengadilan Agama Medan Kelas IA Medan,

WawancaraTanggal 17 Juli 2012

86Hilman Lubis, Panitera Pengganti Pengadilan Agama Medan Kelas IA Medan,Wawancara

(45)

permohonan Ketua Pengadilan Agama dan petugas yang ditunjuk melakukan pengecekan kelengkapan isi berkas permohonan,

2. Pembayaran Panjer Biaya Perkara

Setelah melalui pengecekan kelengkapan berkas petugas dimaksud melengkapi berkas dengan taksiran biaya perkara yang diikuti dengan persetujuan panitera dan Pemohon atau kuasanya datang menghadap kasir untuk membayar panjer biaya perkara sejumlah yang ditetapkan.

3. Pendaftaran Perkara Permohonan Pengangkatan Anak

Pada tahap ini Pemohon menyerahkan berkas perkara permohonan pengangkatan anak yang telah dibayarkan panjer biaya perkaranya tersebut kepada petugas dan diberi nomor, sebagai tanda telah terdaftar satu berkas surat permohonan pengangkatan dan dimasukkan dalam Register Induk Perkara Permohonan sesuai dengan nomor perkara yang tercantum dan diserahkan kepada wakil panitera untuk diteruskan kepada Ketua Pengadilan Agama, melalui panitera.

4. Penunjukan Majelis Hakim

(46)

(PMH). Berkas yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama telah dilampirkan formulir PMH. Majelis hakim yang ditunjuk harus terdiri dari tiga orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.87

Dalam proses pemeriksaan perkara, majelis hakim dibantu oleh seorang panitera pengganti yang bertugas mencatat jalannya sidang dalam Berita Acara Persidangan, dan seorang jurusita untuk melaksanakan tugas pemanggilan yang resmi.

5. Penetapan Hari Sidang

Berkas perkara permohonan pengangkatan anak yang telah ditetapkan majelis hakimnya, dilengkapi dengan formulir Penetapan Hari Sidang (PHS) segera diserahkan kepada ketua majelis dan hakim yang telah ditunjuk. Ketua Majelis mempelajari berkas, dan dalam tenggang waktu 7 hari kerja sejak berkas diterima, hari sidang telah ditetapkan disertai dengan perintah memanggil pemohon untuk hadir di persidangan.

6. Panggilan Terhadap Pemohon

Panggilan terhadap pemohon pengangkatan anak atau saksi-saksi untuk menghadiri sidang dilakukan oleh juru sita. Pemanggilan terhadap pemohon pengangkatan anak dan beberapa saksi yang akan di hadirkan di persidangan,

87 M, Nuh, Hakim (Ketua Majelis Hakim) Pengadilan Agama Medan Kelas IA Medan,

(47)

dilakukan dengan tata acara pemanggilan sebagaimana dalam acara pemanggilan perkara permohonan.88

7. Pelaksanaan Persidangan Permohonan Pengangkatan Anak

Pemeriksaan perkara permohonan pengangkatan anak dilakukan sebagaimana pemeriksaan perkara permohonan lainnya. Perkara harus sudah putus dalam waktu paling lama 6 bulan, jika lebih dari waktu 6 bulan, maka ketua majelis harus melaporkan keterlambatan tersebut kepada ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Agama dengan menyebutkan alasannya.

8. Berita Acara Persidangan

Ketua majelis bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara persidangan dan sudah menandatanganinya sebelum sidang berikutnya dimulai. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara majelis hakim dan panitera pengganti sehubungan dengan isi dan redaksi berita acara persidangan, maka yang dijadikan dasar adalah pendapat majelis hakim. Panitera Pengganti yang ikut bersidang, wajib membuat berita acara persidangan yang memuat segala sesuatau yang terjadi di persidangan, yaitu mengenai susunan majelis hakim yang bersidang, siapa-siapa yang hadir, serta jalannya pemeriksaan perkara tersebut dengan lengkap dan jelas. Berita acara persidangan harus sudah siap untuk ditandatangani sebelum sidang berikutnya.

88 Sugeng Heriono, Panitera Pengganti Pengadilan Agama Medan Kelas IA Medan,

(48)

9. Rapat Permusyawaratan dan hasil musyawarah (penetapan)

Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia. Panitera pengganti dapat mengikuti rapat permusyawaratan hakim apabila dipandang perlu dan mendapat persetujuan oleh majelis hakim. Ketua majelis hakim pertama-tama mempersilahkan kepada hakim anggota II untuk mengemukakan pendapatnya, disusul hakim anggota I dan terakhir ketua majelis hakim menyampaikan pendapat hukumnya.

Semua pendapat hukum yang dikemukakan oleh hakim harus disertai landasan hukum yang kuat, baik pasal pasal dari undang-undang, yurisprudensi, dan pendapat ahli (doctrin). Dalam musyawarah majelis hakim, hendaknya diindahkan ketentuan Pasal 19 Ayat (4), (5), dan (6) UU No. 4 Tahun 2004. Hasil musyawarah majelis hakim kemudian dirumuskan dalam sebuah PENETAPAN .89

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pelaksanaan pengajuan pengangkatan anak bagi pegawai negeri sipil muslim dapat dilakukan melalui Pengadilan Agama dengan melalui prosedur sebagaimana diuraikan di atas. Dengan kata lain dalam suatu penetapan pengangkatan anak harus melalui prosedur pengajuan yaitu pengajuan permohonan disertai kelengkapan berkas, pembayaran panjar biaya perkara, pendaftaran perkara permohonan pengangkatan anak, penunjukan majelis hakim, penetapan hari sidang, panggilan terhadap pemohon,

89Hilman Lubis, Panitera Pengadilan Agama Medan Kelas IA Medan,WawancaraTanggal

(49)

pelaksanaan persidangan permohonan pengangkatan anak, berita acara persidangan, serta rapat permusyawaratan dan penetapan hasil musyawarah (penetapan).

Mekanisme pengangkatan anak yang dijelaskan di atas juga dilakukan oleh pemohon pengangkatan anak sebagaimana penetapan pengangkatan NOMOR :21/Pdt.P/2010/PA.Mdn yang diajukan oleh HR, S.H Bin H. SBR dan K binti TT. Adapun anak yang diangkat adalah NFR Br N, lahir di Kisaran tanggal 31 Mei 2009 putri dari DAR dengan Almarhum MYAN yang telah meninggal dunia karena kecelakaan.

Apabila ditelaah dari alasan pengangkatan anak dalam penetapan tersebut adalah pengangkatan anak yang dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada dalam kekuasaan orang tua kandung atau orang tua asal (private adoption). Hal ini dikatakan demikian karena anak yang diangkat adalah masih dalam kekuasan orang tua kandung bukan anak terlantar atau dibuang orang tuanya tetapi kedua orang tuanya telah meninggal. Pengangkatan anak dimaksud juga dilakukan oleh pemohon adalah untuk kepentingan dan kemashlahatan terhadap masa depan anak tersebut, maka pemohon bermaksud ingin mengangkat anak tersebut secara resmi dan kemudian pemohon akan masukkan ke dalam daftar tanggungan pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil.

(50)

Gambar

Tabel 1
Tabel 2Alasan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Medan
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Selain dapat menampilkan terjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Asing atau pun dari bahasa Asing ke dalam bahasa Indonesia, kamus ini juga dapat menambah kata, mengedit

[r]

[r]

Nilai VIF yang diperkenankan adalah 10, jika nilai VIF lebih dari 10 maka dapat dikatakan terjadi multikolinearita, yaitu terjadi hubungan yang cukup besar antara

Hermawan, M.Si., Kepala Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan selaku pembimbing akademik yang

Untuk memilih jenis polimer terbaik sebagai material penyangga katalis, dilakukan pengujian pelapisan partikel TiO 2 pada tiga jenis polimer berbentuk bulir, yaitu

Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan stategis organisasi, kepuasan publik, dan memberikan kontribusi ekonomi (Amstrong

Dua kasus pembobolan bank dengan menggunakan sarana L/C dengan nilai kerugian yang sangat spektakuler adalah kasus Bank Bumi Daya dan BNI 1946, maka aspek hukum