• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB VI Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor Pangadangu Mahamu dalam Upaya Adat Kematian di Desa Ramukabupaten Sumba Timur T1 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB VI Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor Pangadangu Mahamu dalam Upaya Adat Kematian di Desa Ramukabupaten Sumba Timur T1 BAB VI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

56

BAB VI

PERAN AKTOR DALAM MEREPRODUKSI HABITUS

PENYEDERHANAAN ADAT KEMATIAN

6.1

Trajectory

Aktor

Trajectory secara sederhana dimaknai sebagai sejarah kehidupan aktor dengan segala perlengkapan habitus dan modal yang dimiliki dalam memasuki pertarungan di dalam field (ranah), baik ranah ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Pada pembahasan sebelumnya sudah banyak menggambarkan habitus dan modal yaitu habitus aktor adalah pengetahuan tentang sejarah, makna adat kematian dan kemampuan aktor dalam mereproduksi habitus adat kematian. Kemudian modal akktor adalah forum maupun latar belakang kehidupan aktor. Dalam konteks ini, analisis difokuskan pada trajectory aktor yang berperan dalam proses penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk diantaranya :

Dr. Lapoe Mokoe, tokoh ini lahir di Payeti pada tahun 1938 dan

(2)

57

lingkungannya karena ia merupakan salah satu orang yang ekonominya mampu sehingga sering kali masyarakat datang meminjam uang, hewan bahkan barang-barang berharga lainnya dengan alasan sesudah penguburan baru dikembalikan. Pemahaman inilah yang kemudian mendorong ia untuk berpartisipasi karena termotivasi dari pengalamannya.

Dalam usianya yang cukup tua ini dia turut aktif dalam mencari dana di pemerintah daerah bahkan ke luar daerah. Ia aktif dalam mencari bantuan-bantuan baik dari bupati maupun DPR untuk digunakan dalam melakukan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa yang ada di sumba timur. Dia bercerita bahwa pada saat deklarasi di desa bupati atau DPR pasti di undang untuk hadir dan mereka memberi bantuan dalam bentuk dana, menurutnya Bupati dan DPRD sebenarnya mendukung penyederhanaan adat tetapi yang menjadi masalah adalah posisi mereka, karena jika mengeluarkan PERDA nanti image mereka di masyarakat menurun atau dianggap pemaksaan oleh masyarakat, karena menjaga itu pemerintah memulai proses dari bawah dari masyarakat jika semua masyarakat setuju baru dikeluarkan PERDA..

Marius Kuramoki, S.Sos lahir di Sumba Timur pada tanggal 06 Mei

(3)

58

yang tidak setuju tetapi dia tetap melakukan penyederhanaan adat kematian, katanya dengan sendirinya masyarakat menyesuaikan dan mengikutinya tetapi dari pengalamannya ini juga dapat mempengaruhi masyarakat.

Bapak Merius ini juga menceritakan pengalamannya selama menjadi camat di Kecamatan Hahar, Kabupaten Sumba Timur. Dia mengatakan bahwa adat itu sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, bahwa masyarakat ini berlomba-lomba untuk lakukan pesta adat, pada hal sudah miskin tetap saja pesta adat dengan cara hutang. Dari pengalamannya ia melihat sebenarnya banyak potensi yang dimiliki masyarakat untuk bisa hidup layak antara lain dengan berinvestasi dengan cara memilihara ternak untuk dijual dan juga pemanfaatan potensi yang ada untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Selain itu juga dia menceritakan pengalaman pribadinya mengenai persoalan adat kematian yang terjadi di keluarganya itu memberatkan, ia prihatin dan peduli terhadap kehidupan masyarakat. Ia juga menceritakan awal munculnya penyederhanaan adat kematian yaitu berawal dari ia deklarasi pada tanggal 30 November 2011 setelah itu WVI yang merupakan lembaga pemerihati pendidikan anak di Sumba Timur mulai bekerja sama dengan dia untuk mulai lakukan sosialisasi di desa-desa yang merupakan wilayah binaan WVI. Setelah itu dia berinsiatif untuk mencari tokoh-tokoh yang berpengaruh di Sumba Timur untuk ikut bergabung sehingga pada tahun 2013 terbentuklah forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu sebagai salah satu lembaga yang prihatin terhadap kehidupan masyarakat.

Paulus Kabubu Tarap, S.Kom bertempat tinggal di palindi, lahir di

(4)

59

pengaruhnya terhadap masyarakat. Ia menceritakan tentang adat kematian yaitu membandingan adat kematian yang dahulu dengan sekarang, menurutnya bahwa pelaksanaan adat ini kurang relevan dan kurang sesuai lagi dengan kehidupan masyarakat karena terjadi pergeseran nilai dan makna budaya.

Umbu Reku, S.Sos sosok ini bukan penduduk asli Sumba Timur

melainkan berasal dari Sumba Tengah lahir pada tahun 1967, saat ini bekerja sebagai staff di Lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI) bagian sosial budaya di Sumba Timur. Sosok yang ramah dan sopan ini merupakan salah satu pejuang masyarakat, yakni turut aktif memfasilitasi anak-anak yang kurang mampu untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dia sebagai salah satu aktor pemerihati anak yang ada di Sumba Timur. Walaupun dia bukan merupakan orang asli Sumba Timur tetap ia cukup dikenal oleh masyarakat terutama di desa-desa yang merupakan wilayah binaan WVI. Sosok ini cukup memiliki pengalaman dan jaringan di masyarakat sehingga membuat ia turut aktif dalam penyederhanaan adat kematian. Kepercayaan yang sudah tertanam di masyarakat juga menjadi modal bagi bapak Umbu Reku sehingga apa yang disampaikan bisa di dengar oleh masyarakat. Selain itu juga ia merupakan salah satu aktor yang menggagas pertama penyederhanaan adat kematian di Sumba Timur. Dia berinsatif menghubungi tokoh-tokoh penting yang ada di Sumba Timur untuk melakukan diskusi dan seminar tentang budaya adat kematian. Kemudian ia juga berinsiatif membentuk satu forum dan memfasilitasi forum untuk melakukan sosialisasi penyederhanaan adat kematian.

Stepanus M Awang, lahir di Ramuk pada 29 September 1961, merupakan

(5)

60

belakang pengalamannya tetapi aktor ini lebih menceritakan pengalamannya dalam melakukan adat kematian yaitu masalah persoalan adat kematian yang memberatkan dan juga menceritakan persoalan adat kematian di desa Ramuk. Dulunya sebelum menjadi sekretaris desa ia juga bekerja di Landang Tuhan sebagai Majelis di GKS Ramuk selama kurang lebih 10 tahun. Sekarang sebagai sekretaris desa sudah hampir 8 tahun. Memang sosok ini tidak banyak menceritakan pengalaman tapi posisinya di desa sangat di segani dan di hargai oleh masyarakat sehingga apa yang di sampaikan di dengar oleh masyarakat.

Yusak Ndjuru Hapa, sosok berkumis dan berbadan kecil ini merupakan

salah satu tokoh adat atau Wunang (juru bicara) yang ada di Desa Ramuk. Sosok ini merupakan sosok yang tidak asing lagi di desa Ramuk, mengapa tidak dalam setiap urusan adat sosok inilah yang selalu memandu jalannya upacara adat baik itu adat kematian maupun perkawinan sama saja. Dia merupakan salah satu tokoh adat senior dan paling tua di Desa Ramuk, bisa dikatakan jika dia tidak ada upacara adat tidak jalan. Sosok ini juga dikenal sosok yang keras dan tegas dalam urusan adat. Sosok ini juga sangat aktif dalam membantu forum dalam melakukan sosialisasi penyederhanaan adat kematian di desa Ramuk. Meskipun dia adalah salah satu tokoh adat tapi mau terlibat langsung dalam proses penyederhanaan adat kematian. Sosok ini tidak banyak menceritakan latar belakangnya tapi posisinya sebagai tokoh adat (wunang) sehingga sangat di segani dan dihargai oleh masyarakat. Pengalaman dan pengetahuannya tentang adat kematian mampu mendorong ia untuk turut berpartisipasi dalam proses penyederhanaan adat kematian. Pengalaman dalam memimpin dan memandu jalannya adat kematian mendorong ia untuk merespon lewat tindakan yaitu ia mampu menilai dan mengevaluasi persoalan adat kematian.

Yonathan P Ratudima, sosok yang lahir di Ramuk ini merupakan salah

(6)

61

Berdasarkan wawancara ia mengatakan bahwa adat kematian cukup memberi dampak yang sering merugikan dan memberatkan ekonomi masyarakat. Menurutnya padahal masyarakat ini memiliki modal untuk berinventasi dengan memilihara ternak untuk dijual menurutnya sekarang ini ternak cenderung berkurang karena lebih banyak digunakan untuk adat. Bapak Yonathan ini memang tidak banyak menceritakan latar belakang pengalamannya tapi dilihat dari posisinya di desa Ramuk dia dapat dikatakan salah satu tokoh berpengaruh. Dalam urusan adat misalnya dia orang pertama yang berbicara di balai-balai adat dan didengar oleh masyarakat. Pengalaman mendorong bapak Yonathan untuk merespon secara sadar akan penyederhanaan adat kematian. Menurutnya bahwa ia juga merupakan salah satu korban yang merasakan beban pengeluaran saat adat kematian, berdasarkan ceritanya dulu ketika ibu dan bapaknya meninggal juga berani berhutang untuk menguburkan orang tuanya. Yang menarik pada bapak Yonathan ini adalah dulunya merupakan salah satu aktor yang menolak penyederhanaan adat tetapi setelah itu ia berpikir ulang berbalik menerima penyederhanaan adat. Pengalaman pak Yonathan dalam melakukan adat inilah yang menggoda dan mendorong ia untuk mau menyederhanakan adat kematian.

(7)

62

memiliki peran dalam mengajak, membujuk dan mendorong masyarakat untuk sederhanakan adat kematian yaitu dengan menggunakan habitus dan modal yang dimiliki untuk mempengaruhi masyarakat.

Peran aktor yang hendak dijelaskan dalam hasil penelitian ini adalah terkait dengan konsep tindakan/praktik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Konsep praktik menurut Bourdieu merupakan integrasi antara habitus yang berdialektik dengan modal dalam ranah (arena perjuangan), yang dirumuskan dengan: (Habitus x Modal) + Ranah= Praktik. Dalam kaitan antara konsep tersebut dengan penelitian ini, maka akan dijelaskan masing-masing unsur dari konsep tersebut berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari lapangan, yang kemudian akan menjelaskan peran aktor dalam upaya penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk.

6.2

Peran Aktor Dalam Melihat Dampak Dan Pergeseran Adat

Kematian

(8)

63

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan ditemukan bahwa adat kematian di Sumba Timur selain memiliki nilai filosofis budaya namun tanpa disadari memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Sebagai berikut :

6.2.1 Segi ekonomi

Berdasarkan hasil analisis dilakukan pada bab sebelumnya (Bab V) bahwa upacara adat kematian yang dilakukan di Sumba Timur memiliki pengaruh terhadap masyarakat yaitu biaya tinggi dikeluarkan pada saat upacara adat kematian menyebabkan beban ekonomi. Selain itu gengsi sosial pada masyarakat menyebabkan hutang yang dapat menpengaruhi ekonomi masyarakat. Tuntutan adat kematian juga menyebabkan orang Sumba Timur berlomba-lomba untuk melakukan upacara adat kematian, hal ini sebabkan karena adat kematian sudah tereduksi pada kepentingan individual karena terjadi pergeseran. Oleh karena modal budaya adat kematian berubah makna menjadi modal ekonomi dan simbolik. Hal perkuat oleh pernyataan bapak Paulus, sebagai berikut:

(9)

64

tidak boleh terjadi dan itu berdampak pada persoalan ekonomi karena itu sekarang kita lakukan penyederhanaan adat sehingga dengan demikian ekonomi kita terbangun ada penghematan biaya disana dan ada penghematan waktu dan tenaga22

Kebiasaan dalam menyimpan mayat yang relatif lama (berhari-hari, bahkan bertahun-tahun) dan mengeluarkan biasa yang begitu besar (mewah) sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sumba Timur. Kebiasaan yang dilakukan orang Sumba ini tidak lagi melihat persoalan ekonomi, tetapi karena sistem kekeluargaan itu terkadang mensyaratkan ekonomi untuk mempertahankan harga diri (inventasi simbolik). Walupun sebenarnya itu merupakan konstruksi makna karena terjadi pergeseran. Menarik bahwa prinsip dasar kehidupan orang Sumba sebenarnya adalah kebersamaan yang dijunjung dengan nilai-nilai budaya dan gotong royong tetapi kini berubah menjadi prinsip individual (prestice). Hal ini juga perkuat kembali oleh bapak Marius, Yusak, Yonathan dan Stepanus yang memiliki pernyataan yang sama:

“Kita lihat masyarakat ini semakin miskin, bisa dikatakan sebab apa yang dimiliki itu seolah-olah untuk kebaikannya yang meninggal sudah jadi itu dari sisi ekonomi sama saja tidak menguntungkan. Pada hal kita sekarang ini Kristen di Sumba hampir sudah 80 persen. Sebenarnya kita orang Sumba lebih ke gengsi sosial tidak mau kalah dengan orang lain sehingga kita ini berlomba-lomba melakukan upacara adat hanya karena kita ingin mempertontonkan kedudukan/pengakuan di depan orang lain. Itulah kelamahan kita orang Sumba walaupun sudah miskin tetapi kita tetap berusaha melakukan pesta adat kematian yang bersifat mewah yang menghabiskan biaya yang banyak meskipun kita ini hutang kiri kanan. Karena hutang yang banyak tadi dalam kematian orang tidak lagi memikirkan ekonomi dan pendidikan tetapi karena tuntutan hutang menjadi beban bagi dia”23

Senada dengan pernyataan tersebut diatas ditambahkan juga oleh bapak Umbu Reku bahwa adat kematian ini memiliki dampak. Hal inilah yang menjadi habitus aktor karena mampu mereproduksi pengalaman yaitu dampak adat kematian:

22 Wawancara Bapak Paulus Pada Tanggal 21 Januari 2016 23

(10)

65

“Ya ini sangat memiliki dampak walaupun kita tidak sadar bahwa

ada banyak pendapat juga bahwa budaya itu tidak memiskinkan masyarakat ada juga yang mengatakan kadang-kadang budaya memiskinkan. Saya lebih melihat masa depan anak-anak ya, saya 15 tahun sudah bekerja di lembaga sebagai pemirihati anak jadi saya tahu kondisi masyarakat. Kadang-kadang masalah budaya juga menghambat kepentingan masyarakat itu. Contoh kasus yang paling kecil upaya kita memberikan bantuan di masyarakat ada program ternak. Peternakan sapi/babi untuk kita berikan pada kelompok-kelompok tapi karena lebih tingginya ini kekuatan budaya kadang masyarakat program pemerintah/lembaga lain hanya di gunakan untuk kepentingan sesaat saja. Misalnya di berikan 60 ekor perdesa mereka lebih lebih menggunakan dalam hal budaya jadi nanti bilang hewannya mati hewannya hilang pada hal ini program untuk kebaikan mereka. Budaya penting bagi kita karena merupakan daya tarik pariwisata, tetapi bagaimana kita meramulnya kembali, bagaimana kita memperbaiki kedepan sehingga tidak terlalu memboroskan jadi kita berpikir untuk masa depan anak kita yang masih banyak membutuhkan perhatian terutama anak-anak kita sehingga secara tidak langsungkan kita bisa berinventasi. Misalnya kita pelihara babi kita jual babinya kan bisa tabung untuk mereka atau pelihara kuda

atau kerbau”24

Berdasarkan pernyataan tokoh diatas maka disimpulkan bahwa adat kematian memiliki pengaruh negatif pada segi ekonomi dan pendidikan. Seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa adat kematian terjadi pergeseran hal ini karena adat kematian sudah direduksi oleh sebagian orang sebagai modal ekonomi dan simbolik. Persoalan ini berdampak pada masyarakat menengah kebawah, walaupun secara ekonomi tidak mampu tetap melakukan upacara adat kematian yang mengeluarkan biaya yang besar. Melalui inventasi simbolik bahwa meraka juga akan berusaha memperoleh pengakuan/kedudukan (prestice) sehingga berhutang. Namun di satu sisi mereka tidak lagi melihat persoalan ekonomi.

6.2.2 Kabamata: akumulasi modal budaya dan simbolik yang

berujung pada kemiskinan.

Pergeseran makna dan nilai adat kematian karena reproduksi makna yaitu ketika modal budaya direduksi dalam kepentingan modal ekonomi dan simbolik. Sekarang ini adat kematian sering dijadikan sebagai alat oleh oknum-oknum

24

(11)

66

tertentu untuk kepentingan prestice sosial. Selain itu adat kematian menjadi bisnis ekonomi untuk mencari keuntungan (modal ekonomi). Dalam kaitannya dengan Bourdieu tentang arena dan modal, bahwa didalam arena aktor-aktor berlomba-lomba melakukan upacara adat kematian dengan modal yang dimiliki. Modal yang digunakan aktor untuk mencapai modal ekonomi adalah modal budaya (adat kematian) dan modal social (jaringan melalui hubungan kekerabatan). Modal sosial yang dimiliki oleh setiap aktor adalah dengan memanfaatkan modal budaya yaitu adat kematian, adanya pihak anakawini dan pihak yera dalam adat kematian dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Artinya dalam arena adat kematian setiap modal berkoloborasi satu sama lain.

Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa gengsi sosial muncul karena adanya sistem dominasi. Berangkat dari pemahaman ini bahwa dalam urusan adat kematian baik miskin maupun kaya orang berlomba-lomba untuk melakukan adat kematian. Sebagai contoh orang yang mampu pasti semakin tinggi kedudukannya di masyarakat karena besar biaya yang dikeluarkkan saat upacara adat kematian dan semakin terpandang dilihat orang lain. Sedangkan orang yang kurang mampu akan berusaha sedemikian rupa untuk melakukan upacara kematian walaupun secara ekonomi tidak mampu tetapi berusaha dengan cara hutang. Untuk itu persoalan masyarakat ini seolah-olah mereka bimbang karena disatu sisi mereka berusaha keluar dari dominasi dengan menggunakan strategi inventasi simbolik (pengakuan/prestice). Namun disisi lain juga persoalan ekonomi karena besarnya biaya yang dikeluarkan saat adat kematian. Hal inilah menjadi sebuah dilema bagi masyarakat karena disatu sisi ingin keluar dari dominasi tetapi disisi lain berdampak pada beban ekonomi. Hal

ini terjadi karena “kabamata” atau harga diri yang ingin di pertahankan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Paulus, Marius, Yusak dan Stepanus yang memiliki pemahaman yang sama, sebagai berikut:

(12)

67

orang bilang apa sama saya ini misalnya kalau bapa saya meninggal nenek saya meninggal. Pola pikir ini lah yang harus dirubah. Karena berdampak pada ekonomi juga karena gengsi tadi. Misalnya kaitan dengan budaya adat kematian itu tadi mempertontonkan pamor sosialnya mempertontonkan gengsi sosialnya sehingga orang bisa menilai bahwa dia adalah keyparson orang mampu dalam lingkup

itu.”25

Reduksi makna adat kematian menjadi salah satu faktor gengsi sosial yaitu pola pikir masyarakat tentang adanya dominasi dan juga sifat tidak mau kalah dengan kedudukan orang lain sehingga menyebabkan persaingan ekonomi. Aktor-aktor akan memperebutkan modal dalam arena seperti modal ekonomi, modal simbolik, modal sosial. Modal simbolik di pertaruhkan oleh aktor dengan tujuan pengakumulasian modal ekonomi, sosial dan juga simbolik. Orang yang ekonominya mampu akan memanfaatkan orang yang ekonominya lemah melalui upacara adat. Misalnya semakin mewah upacara adat kematian yang dilakukan maka semakin tinggi kedudukan/penghargaan dia di lingkuangan masyarakat, tetapi membawa dampak pada masyarakat yang ekonomi menengah kebawah karena mereka juga ingin memperoleh pengakuan dan kedudukan maka mereka berusaha melakukan upacara adat kematian yang sifatnya mewah dengan cara hutang. Berdasarkan persoalan tersebut inilah yang menjadi sebuah dilema di satu sisi masyarakat ingin keluar dari dominasi kelas namun disatu sisi juga mereka ingin menginventasikan modal simbolik (pengakuan). Teori praktek Bourdieu hadir untuk membedah kaum dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik dan hendak memahami struktur sosial masyarakat, sekaligus perubahan dan perkembangan yang terjadi.

6.2.3 Dualisme agama

Pada umumnya sekarang ini sebagian besar masyarakat Sumba Timur sudah beragama Kristen, tetapi menarik bahwa dalam urusan kematian masih mendua dalam melakukan upacara adat kematian yaitu melakukan upacara adat kematian secara budaya Marapu dan Kristen. Orang Sumba walaupun sudah Kristen tetapi dalam menguburkan orang mati masih menggunakan tata cara

25

(13)

68

budaya marapu. Hal inilah yang bertentangan dalam agama Kristen. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan upacara adat kematian terjadi dualisme. Misalnya dalam hal penyimpanan mayat itu bahwa masih ada seorang pendeta yang menyimpan mayat yang relatif lama dua tahun, sepuluh tahun bahkan berpuluh tahun dan selain itu juga masih menggunakan ritual Marapu. seperti yang disampaikan oleh bapak Paulus dan Marius:

“Kalau dari segi agama kita orang Sumba GKS ini sudah terjebak

karena nama gereja. Gereja Kristen Sumba pendeta-pendeta begini masih gereja secara teologia saya dulu 25 tahun masih bekerja sebagai pelayan di kanatang kurang lebih 5 tahun itu maramba sudah Kristen, liturgi pemakaman secara kristen jalan tetapi setelah selesai di kembalikan kepada budaya dan itu tidak boleh karena itu bertentangan kalau kristen, ya kristen jangan lagi masuk ke budaya marapu. Selain itu ada juga pendeta, padahal sudah pendeta tetapi masih melakukan ritual marapu inikan bertentangan”26

Menurut Bourdieu dalam Ritzer (2010) menguraikan habitus sebagai akal sehat (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti kelompok usia, jenis kelamin dan kelas sosial. Sejalan dengan dualisme agama bahwa masyarakat sekarang ini terjadi pertarungan di dalam arena adat kematian dalam artian bahwa habitus bisa jadi merupakan fenomena kolektif, dia memungkinkan orang memahami dunia sosial melalui pengetahuan dan pengalaman, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor. Menarik bahwa habitus sebagai common sense (akal sehat) menjadi arena pertarungan aktor yaitu field agama Kristen dan field budaya Marapu. Logikanya bahwa dalam pandangan agama Kristen bahwa menyimpan mayat yang lama dengan menggunakan ritual marapu ini menjadi hal yang tidak masuk akal karena bertentangan. Namun dalam kepercayaan marapu bahwa upacara upacara adat kematian dilaksanakan apabila sudah memiliki biaya penguburan. Sehingga kebiasaan menyimpan mayat itu sudah menjadi kebiasaan. Melalui pemahaman inilah aktor melakukan praktek karena berpikir secara rasional yang oleh

26

(14)

69

Bourdieu mengatakan bahwa aktor bertindak karena berpikir secara akal sehat (common sense).

6.3 Peran Aktor Dalam Membentuk Forum

Bagian ini menjelaskan bahwa forum merupakan hasil reproduksi habitus dan juga modal. Bourdieu mengartikan bahwa forum merupakan Struktur-Struktur yang dibentuk dan struktur-struktur yang membentuk. Secara sederhana dapat dilihat bahwa forum terbentuk karena aktor-aktor memiliki habitus tentang adat kematian sehingga kemudian aktor-aktor ini mereproduksi habitus menjadi tindakan dengan membentuk forum.

6.3.1 Sekilas Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu

Dalam konsep Bourdieu forum merupakan instrumen sistem yang menstruktur dan struktur yang mensistemkan. Artinya bahwa sebagai wujud sistem habitus praktek adat kematian dipandang oleh beberapa pihak dalam melihat dampak adat kematian yang berujung pada kemiskinan masyarakat, sehingga forum peduli adat di bentuk sebagai salah satu alternatif solusi untuk mengatasi persoalan adat kematian.

Berdasarkan hasil wawancara disimpulkan bahwa latar belakang munculnya penyederhanaan adat kematian yaitu berangkat dari refleksi dan pengalaman aktor dalam melihat dampak pelaksanaan adat kematian di Sumba Timur. Aktor-aktor tersebut memiliki kepedulian dan keprihatinan terhadap kehidupan sosial masyarakat sehingga berinsiatif membentuk satu forum sebagai badan pemberdayaan masyarakat. Berangkat dari realitas kemiskinan dan pengalaman aktor dalam melaksanakan upacara adat kematian juga mendorong mereka untuk berinsiatif membentuk forum. Hal ini juga terjadi karena aktor-aktor memiliki habitus dan modal.

(15)

70

bidang pendidikan, ekonomi maupun sosial budaya. Peran dan fungsi forum adalah memfasilitasi masyarakat baik secara perorangan/keluarga maupun kabihu melalui kegiatan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat. Sedangkan fungsinya adalah membantu, mendampingi, memberdayakan serta menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan tahapan proses penyederhanaan adat kematian tanpa menghilangkan makna dan nilai budaya.

Berdasarkan latar belakang terbentuknya, forum ini terbentuk pada tanggal 12 agustus tahun 2013 di Waingapu. Pada saat itu masih bersifat organisasi tanpa bentuk yaitu bersifat sementara dan belum berbadan hukum namun karena perjuangan tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI) sehingga pada tanggal 11 November tahun 2014 forum ini resmi menjadi satu organisasi forum adat Sumba Timur atau LSM yang berfokus pada bidang sosial budaya yaitu penyederhanaan adat kematian. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa forum ini terbentuk berangkat dari rasa kepedulian dan pengakuan-pengakuan dari beberapa aktor yang prihatin terhadap Sumba Timur. Forum ini juga bertolak dari persoalan kemiskinan terkait dengan realitas pelaksanaan adat kematian untuk itu tokoh-tokoh berinsiatif membentuk forum sebagai salah satu solusi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan bapak Marius menyampaikan tentang latar belakang terbentuknya forum:

(16)

71

ada dalam adat kematian itu adat kematian itu tidak jalan seperti itu to dan itu sering dan salah satu tokoh yang berpengaruh sekali. Jadi mau tidak mau dia harus berkorban sudah jadi dia harus bantu sudah to dan dia juga rasa itu jadi dia mulai bergabung sudah”27

Terbentuknya Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu melalui inisiatif-inisiatif aktor yang prihatin terhadap pelaksanaan adat kematian sehingga mereka membentuk forum. Aktor-aktor dalam forum ini dapat membentuk forum karena masing-masing memiliki modal (modal budaya, sosial, simbolik). Modal budaya yang dimiliki oleh aktor-aktor ini adalah pengetahuan tentang adat kematian. Modal sosial yang dimiliki adalah bahwa rata-rata aktor sudah memiliki jaringan dan hubungan baik karena sudah saling mengenal satu sama lain. Modal simbolik yang dimiliki aktor ini juga memudahkan mereka membentuk satu forum yaitu sebagai mantan bupati, mantan camat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Unsur kepercayaan antar aktor juga di pengaruhi oleh modal simbolik yang dimiliki setiap aktor. Lembaga WVI juga memiliki peran yang cukup penting dalam membentuk Forum yaitu berinsiatif membuat seminar budaya yang diikuti oleh beberapa pihak yang peduli terhadap budaya. WVI ini mampu mengumpulkan aktor-aktor yang memiliki pengaruh di Sumba Timur. Unsur yang dibangun ini juga menjadi pendorong dalam membentuk forum. Hal ini di perkuat oleh pernyataan bapak Paulus dan Umbu Reku yang menceritakan latar belakang terbentuknya forum :

“Kita beberapa orang waktu itu seminar WVI, seminar budaya tahun 2007 jadi kami diundang waktu itu banyaklah kami yang diundang tokoh-tokoh sumba timur baik dari gender, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan lain sebagainya. Ketika waktu kami seminar ada dari jakarta dari WVI pusat dia di bagian devisi budaya, diskusi-diskusi pokoknya perdebatan cukup alot kita bentuklah tim salah satu timnya adalah saya, pak lapoe, pak marius korumuki, pendeta elias, pendeta andreas hani kami coba merumuskan itu dari diskusi-diskusi tadi seminar kita seminar-seminar-seminar-kita merumuskan lagi kita seminarkan lagi kita tuangkan sudah dalam satu konsep kita seminarkan ini konsep, kita seminarkan ini gagasan keluar daerah. Waktu pertemuan kita seminarkan di kedutaan australia dan responya luar biasa waktu itu setelah respon bagus begitu waktu itu kita buat sudah satu instrument

27

(17)

72

baru lah keluar akte notaris dan kita buat anggaran rumah tangganya”28

Peran WVI dalam mengumpulkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di Sumba Timur mampu membentuk forum adat hal ini diperkuat kembali oleh pernyataan Bapak Lapoe Mokoe sebagai ketua Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu:

“Pemicu pertama itu memang datang dari WVI. Jadi WVI ini program mereka di Sumba Timur adalah pendidikan anak. Sehingga mereka melihat dalam hal pendidikan anak ini pengaruh yang paling besar itu adalah adat. Itu mereka lihat di desa jadi itu pak Amsal almarhum ini lalu dia menghubungi kami satu persatu ngomong lalu kemudian muncullah wacana ini. Keinginan kami secara bersama-sama mencoba untuk mengajak masyarakat untuk berpikir ulang lagi tentang pelaksanan adat itu. Jadi mulai musyawarah-musyawarah dan itu di sponsori oleh WVI dan kami memang merasa dan langsung menerima ide itu karena kami juga secara pribadi masing-masing sudah melihat keadaan yang pincang di masyarakat ini. Jadi pertama karena masing-masing dari anggota forum ini sudah merasakan masalah ini, WVI sudah melihat itu bukan hanya di Sumba Timur tapi diseluruh NTT. Jadi mereka, berinisiatif untuk menghubungi beberapa tokoh adat lalu memberikan ide lalu bagaimana kalau buat suatu gerakan begitu. Penyerderhanaan adat itu artinya, kita tidak merubah adat, adat tetap harus bisa berjalan karena itu mempererat hubungan kekeluargaan tetapi tidak boleh adat itu menyebabkan orang tambah miskin”29

Pengalaman masing-masing aktor dalam melaksanakan adat maupun dalam milihat dampak adat kematian di Sumba Timur mendorong mereka untuk berinsiatif membentuk forum sebagai salah satu tindakan. Sejalan dengan pandangan Bourdieu tentang habitus, habitus mendasari terjadinya kehendak merespons, merasa, berpikir, bertindak, dan bersosialisasi dengan individu lain, lingkungan di luar diri maupun pelbagi perlengkapan yang menyertai diri. Menurut bourdieu habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan representasi. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal

28 Wawancara Bapak Paulus Pada Tanggal 21 Januari 2016 29

(18)

73

(reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa aktor bertindak, inilah yang disebut dengan logika tindakan Bourdieu (Bourdieu, 1990: 92). Senada dengan penelitian ini bahwa forum juga merupakan produk sejarah, produk dari struktur sosial (adat kematian) yang terbatinkan yaitu melalui pengalaman itu memberi ruang bagi reproduksi habitus baru. Reproduksi habitus tersebut adalah membentuk forum untuk penyederhanaan adat kematian. Pernyataan Bapak Marius, Bapak Paulus dan Bapak Lapoe diatas terlihat bahwa mereka memiliki habitus. Pengetahuan tentang sejarah adat kematian dan pengalaman dalam melihat dampak adat kematian juga menjadi titik tolak mereka untuk melakukan tindakan praktek.

Peran Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu adalah memfasilitasi masyarakat baik secara perorangan atau keluarga maupun kabihu melalui kegiatan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat untuk berpartisipasi aktif dalam tahapan penyederhanaan adat kematian. Visi forum ini yaitu terciptanya masyarakat (kabihu) yang melaksanakan adat kematian secara sederhana tanpa menghilangkan makna budaya. Sedangkan misinya antara lain; 1) melaksanakan penyuluhan secara holistic tentang tujuan, maksud dan pentingnya penyederhanaan adat 2) membuat kesepakatan antara seluruh komponen masyarakat. 3) melaksanakan deklarasi penyederhanaan adat kematian.

6.3.2 Struktur Organisasi Foum Peduli Adat Pangadangu Mahamu

Struktur organisasi forum peduli adat pangadangu mahamu terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan anggota seperi berikut ini:

Tabel 6.1.

Struktur Organisasi Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu

NO NAMA PENGURUS JABATAN

1 Dr.Lapoe Mokoe Ketua

2 Marius Kuramoki, S.sos Wakil Ketua I

3 Paulus Kabubu Tarap, S.kom Wakil Ketua II

4 Umbu Rada, B.A Bendahara

5 Umbu Tunggu Nggilimara Sekretaris

6 Martha Ndjalapati Wakil Sekretaris

7 Pdt. Yulius Djara, SM.TH Anggota

8 Umbu Hina Ranjawali Aanggota

9. Pdt. Johanis Ngongo Umbu Lado,

M.TH

(19)

74

Tabel diatas menunjukan struktur organisasi Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu di Sumba Timur. Peran dan fungsi forum ini adalah melakukan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa-desa yang ada di Sumba Timur. Tokoh-tokoh dalam forum ini memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda dalam forum tetapi dalam melaksanakan sosialisasi dan deklarasi tokoh tersebut diatas memiliki peran yang sama yaitu melakukan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa

6.4 Peran Aktor Dalam Mereproduksi Habitus: Menciptakan

Penyederhanaan Adat Kematian

Bersumber pada pembahasan sebelumnya (bab V) bahwa habitus yang dimiliki aktor (forum) tentang adat kematian dan juga modal budaya pengetahuan tentang sejarah dan makna adat kematian. Maka aktor-aktor (forum) mampu mereproduksi adat kematian menjadi sederhana. Selain itu juga berangkat dari dampak pelaksanaan adat kematian bahwa terjadi pergeseran nilai dan makna hal inlah yang menjadi modal aktor untuk merubah sistem dan struktur adat kematian. Berikut ini merupakan unsur-unsur tahapan adat kematian yang di reproduksi oleh Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu30, bahwa unsur tersebut dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dalam melihat semua aspek dalam pelaksanaan adat kematian di masyarakat. Unsur tersebut tidak terlepas dari peran aktor dalam merancang sebuah konsep penyederhanaan adat kematian hal ini disebabkan karena aktor memiliki habitus dan modal. Tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor ini pada dasarnya bertolak dari nilai-nilai sejarah leluhur orang Sumba. Menarik bahwa di satu sisi penyederhanaan adat bertujuan untuk mengatasi persoalan ekonomi yang berdampak pada kemiskinan, namun disatu sisi bahwa aktor bertujuan mengembalikan nilai-nilai budaya leluhur pertama yang hampir hilang.

30

(20)

75 6.4.1 Lama Penyimpanan Mayat

Lama penyimpanan mayat dari waktu yang tidak terbatas menjadi terbatas yaitu 3 hari sampai 8 hari dengan 3 alasan pokok yang mendasari pertimbangan ini antara lain: a) Pembatasan ini mampu menghemat biaya yang akan di keluarkan b) Masyarakat dapat menghemat waktu bekerja atau tidak membuang-buang waktu kerja c) dari aspek kesehatan menyimpan mayat dalam waktu lama akan menimbulkan berbagai penyakit yang merugikan masyarakat.

Penentuan waktu maksimal 8 hari memiliki makna filosofis dengan sejarah kejadian penciptaan orang Sumba dalam awal hidup yang dipercayai bahwa awal penciptaan leluhur orang Sumba yang terdiri dari 8 putra bangsawan dan 7 putri ratu yang tinggal di 8 tingkatan langit dan 8 lapis awan yang dalam bahasa Sumba Walu Ndani Awangu-Pitu Ndawa Tana (Oe. H. Kapita :1976)31. Penentuan ini bermaksud agar masyarakat tidak melupakan sejarah penciptaan leluhur orang sumba. Hal ini juga mempunyai tujuan bahwa dengan menentukan waktu penguburan bertolak dari nilai-nilai budaya agar terus di pertahankan. Sehingga penyederhanaan adat kematian ini disisi lain bertujuan mengatasi persoalan sosial ekonomi tetapi juga memiliki nilai filosofis yaitu mengangkat kembali nilai-nilai leluhur budaya.

6.4.2 Cara Mengundang

Aspek mengundang merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari ritual adat kematian. Ada satu kebiasaan orang Sumba kalau tidak diundang maka dia tak akan datang melayat dan sampai pada saat penguburan. Dalam mengundang ada 2 tahap :

a) Tahap pertama adalah undangan sebagai pemberitahuan tentang kematian

yang diistilahkan “Peka Meti” (pemberitahuan kematian) dan ini dilaksanakan secepat mungkin. Undangan ini bermaksud untuk diketahui oleh para keluarga dan handai taulan supaya segera datang melayat dan sudah pasti membawa Yubuhu (kain atau sarung). Pada tahapan ini belum ada beban adat.

31 Penjelasan ini dapat dilihat dalam sejarah penciptaan leluhur orang Sumba di buku Oe Hina

(21)

76

b) Tahap kedua adalah undangan untuk penguburan. Undangan ini ada 2 macam yakni undangan biasa pada seluruh keluarga dan handai taulan yang bukan Yera dan Anakawini untuk menghadiri penguburan dan belum ada beban adat. Undangan khusus kepada Yera dan Anakawini untuk datang disaat penguburan. Undangan khusus inilah yang mengundang muatan beban adat. Karena ketika pergi mengundang memakai wunang dengan membawa alas bicara (lata ngaru) berupa mamuli untuk Yera dan kain atau sarung untuk Anakawini. Yang diundang akan menjamu wunang dengan menikam seekor babi dan berjanji akan hadir dalam penguburan nanti.

Melalui pertimbangan yang bersifat mengefisienkan waktu, dana dan tenaga maka dapat disimpulkan oleh forum bahwa kedua tahap mengundang yang biasanya dilaksanakan secara terpisah akan dilakukan sekali jalan untuk menghemat waktu, biaya dan tenaga. Undangan untuk Yera dan Anakawini ini tidak harus memakai wunang. Jika memakai wunang perlu juga membahasakan undangan secara baik kepada pihak yang diundang. Bahasa undangan yang tidak mengandung beban adat ini disederhanakan dengan bahasa: la puluna i karitu atau la ngaruna i karitu jika diartikan dalam bahasa indonesia yaitu didalam firman tuhan atau melalui mulut tuhan sehingga dapat diartikan bahwa mengundang dengan cara sederhana atau kristen. Dengan bahasa ini yang diundang akan memahami bahwa dalam penguburan tidak lagi memiliki beban dan dampak.

6.4.3 Pakameting

(22)

77

hidup boros apalagi kalau hanya alasan prestise bisa membenarkan adanya ucapan yang mengatakan dalam bahasa Sumba: “kaba mata” “humba li la mohu” yang berarti orang Sumba jalan hidupnya menuju lenyap atau menuju ke kehidupan yang semakin sulit. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pakametingu untuk menjamu para kerabat Yera dan Anakawini diganti dengan cara menjamu makan secara umum. “la puluna i karitu” tidak lagi menjamu mereka seperti biasa dilakukan yang menimbulkan pemborosan. Sebagai tanda ucapan terima kasih atas pembawaan para Yera dan Anakawini diatur sebaik-baiknya dengan cara yang tidak menimbulkan rasa tidak dihargai.

Bagi yang membantu pihak berduka yang biasa disebut dalam bahasa

Sumba :“angga karaha-ndula kejia” supaya bergabung dengan keluarga berduka. Dalam artian bahwa segala bantuan berupa apa saja diserahkan kepada keluarga duka untuk meringankan beban dan dipergunakan untuk kebutuhan keluarga duka. Pada proses ini perlu dicatat atau diingat oleh keluarga duka dan jangan dianggap sebagai kewajaran yang tidak perlu diingat atau dibalas.

6.4.4 Pembawaan YeraAnakawini dan Cara Membalasnya.

Pembawaaan yera dan ana kawini yang biasanya membahawa barang berharga atau hewan kepada pihak duka dan juga cara membalas pembawaan, maka ditawarkan oleh Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu antara lain: a) Pembawaan yera dan ana kawini dimaknai sebagai sumbangan dan penghargaan yang meringankan beban keluarga yang berduka dalam artian tidak menuntut balasan b) Tidak ada kemeti khusus untuk mereka (yera-ana kawini), namun sebagai orang yang berbudaya harus tahu berterimakasih atas penghargaan oleh yera maupun ana kawini. Undangan disampaikan dengan cara “la puluna i

karitu” sehingga kehadirannya tidak harus dibalas, kalaupun membawa terserah menurut perasaan karena apapun yang dia bawa harus diartikan sebagai sumbangan dan penghargaan kepada yang berduka.

6.4.5 Yubuhu sebagai kain kafan mayat

(23)

78

Gambar

Tabel 6.1. Struktur Organisasi Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis yakni penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses penyidikan perkara tindak pidana terorisme

diperdagangkan biasanya diculik atau dibeli oleh individu atau kumpulan yang terlibat.

It indicates that neither big four nor non-big four can significantly detect the existence of earnings management undertaken by manager through the audit they

Perkara terhadap Ari Purnomo dalam tindak pidana pembunuhan berencana disertai pemerkosaan terhadap anak telah diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan

berpendapat bahwa demokrasi memiliki kesamaan dan keselarasan dengan asas musyawarah dalam Islam, tetapi sebgaian yang lain berpendapat bahwa demokrasi merupakan hal yang

Abstract: This study aims to interpret the performance-based budgeting process by utilizing Planning, Budgeting and Reporting Information System (SIMRAL) in

Dalam melaksanakan penelitian hal yang harus diperhatikan adalah (a) Tanggung jawab, tanggung jawab terhadap profesi adalan bagaimana mengambangkan suatu penelitian yang

Oleh sebab itu berdasarkan pemaparan Faisal 13 bahwa Rupbasan tidak bertanggung jawab terhadap barang bukti sitaan di luar Rupbasan kecuali, kalau Rupbasan sendiri