BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Semau adalah pulau yang terdiri dari dua Kecamatan yaitu Kecamatan Semau dan
Kecamatan Semau Selatan. Di pulau Semau ada dua suku besar yaitu suku Helong dan suku
Rote, suku Helong adalah suku asli sedangkan suku Rote adalah suku yang berasal dari Pulau
Rote. Awal mulanya orang-orang (suku) Rote tiba di pulau Semau karena adanya pertumpahan
darah. Kala itu orang Helong di serang oleh penjajah, dalam peperangan tersebut karena
kurangnya pasukan yang dimiliki oleh raja suku Helong dari pulau Semau sehingga raja suku
Helong pergi ke palau Rote untuk meminta bantun kepada raja di Rote untuk memberikan
bantuan alat perang beserta pasukan perang melawan penjajah di pulau Semau. Dalam
peperangan tersebut akhirnya di menangkan bersama oleh pasukan dari palau Rote dan pasukan
Helong.
Dari akhir peperangan tersebut raja dari pulau Semau merasa tidak mampu membalas
apa yang di perbuat oleh pasukan dari orang-orang (pasukan) Rote yang rela meninggalkan
sanak saudara mengorbankan nyawanya dalam membantu, sehingga raja dari pulau Semau
memberikan kebebasan kepada orang-orang Rote hidup, tinggal dan kawin menatap tanpa
paksaan di pulau Semau. Hal tersebut dimana orang-orang Rote di pulau Semau memilih
tinggal di tempat strategis yaitu dekat dengan pantai (pinggiran pantai).
Umumnya, hubungan sosial (kekerabatan) pada masyarakat Rote didasarkan pada garis
dari bapak (patrilinear) yang disebut To’o. To’o ini adalah saudara laki-laki dari pihak
ibu.Hubungan antara to’o dengan keponakan-nya bersifat magis, terutama di dalam hal
perkawinan, kematian. Pembagian warisan, dan lain-lainnya. Semuanya telah di atur dalam
norma-norma adat istiadat yang apabila dilanggar akan mendapat sangsi adat. Demikian pula
dalam siklus kehidupan sepasang manusia harus mengalami tiga fase yang sangat penting, yaitu
lahir, hidup dan mati. Ketiga fase in bagi orang Rote tidak dapat dipisahkan dari pohon lontar
(Wilson Therik, 2015: 55). Hal ini merupakan suatu kecenderungan bahwa masyarakat Rote
pada pola hidup dan hubungan sosial kekerabatan yang di atur dalam dalam norma-norma adat
istiadat di setiap daerah, yaitu salah satu di desa Bokonusan.
Dalam tatanan kehidupan masyarakat Rote di desa Bokonusan, struktur sosial
masyarakat desa Bokonusan adalah Leo. Leo merupakan kelompok (berdasarkan geneologis)
paling awal terbentuk di Rote dan pemimpinnya disebut mane Leo. Setelah itu Leo bertambah
dan manulanggak, dan sesudah itu baru kelompok keluarga batih (uma lo atau rumah tangga)
(Wilson Therik,2015: 57). Seperti halnya, Leo Mumuk, Leo Heanteik, Leo Laha, Leo lengumau,
Leo Ina Bui, Leo Sani, Leo Mansea, Leo Talakoko dan Leo Biunnn1. Leo yang ada desa
Bokonusan yang semakin bertambah anggotanya kemudian di bagi menjadi kelompok kecil
yang masing-masing meiliki Kitak, Nggitak dan Manulanggak yaitu, Leo Mumuk (doky,
Ngefak, Saba dan Lopu), Leo Heanteik (Lilong, Beeh, Sere, Lango, dan Siun ), Leo Laha (Leka,
Nafi, Bulan, Leten, dan Tasik), Leo Lengumau (Ay,Meda, Kedo, Tenne, Lolok, dan Ngek), Leo
Inabui (Kaimeni, Inabui Esa, dan Tola), Leo Mansea (Kulle, Manafe, dan Non), Leo Talakoko
( Lolla, Safu, dan Lenggu ), dan Leo Biu (Sulla, Lidik, Manafe Biu, dan Bolla)2. Dari tatanan
struktur sosial masyarakat desa Bokonusan, apabila mengacu kepada leo dan Manek merujuk
pada satu tatanan sosial masyarakat yang dipercayakan untuk berkuasa atas wilayah (nusak)
tersebut.
Dalam kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari suatu persoalan yang dapat
mengganggu keharmonisan dalam hidup bersama. Di desa Bokonusan sering terjadi masalah
yang mengganggu dalam acara tertentu, misalnya dalam acara adat pengumpulan mas kawin
yang disebut Tuku Beli. Dimana ada ruang yang terbuka biasanya beralaskan tikar lebar yang
terbuat dari daun lontar (tua polok) disediakan kapur, sirih dan pinang sebagai tradisi yang
memiliki manfaat penting dalam berunding tentang bagaimana kedepannya hasil yang di
kumpulkan oleh orang-orang yang datang memberikan pada acara pengumpulan mas kawin
(tuku beli). Seumpama neu nenaka babua takuku beli lasi kala dadea mengenai sanga eno neu tatuku beli ia, ma lasi esa fe a’afi ho makanenima lasi esa ta nata a’afi lasi liak ka sonna no ana sipo kana neni hala bauina ma tano hada fa sonna lasi feke kala mai ho lalo dua sala lakabua dadea mata laloe ao. Makane lasi manafe a’afi ka ana tana ta lasi esa ka sasipo hala na ta no hada fa sonna lasi feke kala kasi dame dua sala no ketentuan lasi mantao sala harus hule ma’af neu lasi mansala tak ka. Ma lasi lia man tau sala ka neu hule dame neni isi, bana
doi taota tasa lakabau untuk dua sala esa lakatetu esa matan nesi lahopu lima ma ladeki3.
Apabila dalam ruang yang disediakan untuk berdiskusi, ada seorang tua adat secara tidak sopan
dengan nada kasar berbicara kepada tua-tua adat yang lain karena tidak setuju dengan pendapat
tua satu, maka tua-tua ada yang lain merangkul kedua belah pihak yang berseteru untuk
1 Wawancara dengan Esrom. Beeh adalah salah satu tua-tua adat (Lasi Leo) dari kelompok sosial Leo Heanteik di
Pulau Semau, Desa Bokonusan. Pada tanggal 29 Oktober 2016. PulauSemau Desa Bokonusan pada tanggal 26 oktober 2016.
2 Wawancara dengan Bpk. Yeheskial. Leka adalah salah satu tua-tua adat (Lasi Leo) dari kelompok sosial Leo
Laha di Pulau Semau, Desa Bokonusan. Pada tanggal 29 Oktober 2016. 3
berdamai. Biasanya dalam perseoalan tersebut orang melakukan kesalahan itu diberi sanksi
secara adat membawa beras, hewan dan sejumlah uang sebagai permintaan maaf kepada korban
untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan dengan saling berpegangan tangan saling
mencium. Hal tersebut terjadi sebagai suatu bentuk mekanisme penyelasian secara adat, yang
mengacu kepada hidup harmonis dalam bingkai kehidupan satu pikiran, perbuatan dan rasa
satu hati.
Nilai budaya terkadung dalam masyarakat desa Bokonusan yang dimiliki persekutuan
Dale Esa. Dale dalam bahasa Rote yang berarti “hati”, sedangkan Esa adalah “satu”, dengan
demikian Dale Esa artikan satu hati. Dalam persektuan Dale Esa memiliki filosofi dalam
bahasa Rote yaitu, maing ita kaka fadik taka babua manu sinna, maing ita taka babua leo busa
koli ho sama le busa koli ho kela ita tesi bea sonno taka babua leo busa koli. Tesi bea sonno
kai fea falia lia, ma dapa lima tala teu bea sonna oe dadi falia lia. Ma mate kela bea mama
na, kela bea mama na sono ita basa maman lilia, ma mate kela bia papa na, kela bea papa na
sonna ita basa papa na lilia4. Artinya dalam hidup ini, kita pelur belajar seperti merpati patih
yang selalu setia dimana merpati putih terbang kemana-mana selalu bersama-sama dan pasti
kembali pada tempatnya, seperti hewan peliharaan (busa koli) yang selalu setia bersama
tuannya kemana pun pergi karena tuannya menganggap hewan peliharaan adalah bagian
darinya bagitu pula, bila dalam satu kehidupan ada seorang ibu yang sudah meninggal dunia,
tetapi masih ada ibu lain yang hidup maka ibu tersebut adalah ibu kita bersama begitu pula
dengan seorang ayah meninggal dunia dan masih ada yang hidup maka ayah tersebut adalah
ayah kita bersama. Maksud dari filosofi masyarakat tersebut mengacu pada persekutuan Dale
Esa, seseorang atau kelompok orang menempatkan atau memandang orang lain sebagai
saudara, atau dengan kata lain dalam persekutuan Dale Esa dapat menerima dan menempatkan
orang lain sebagai saudara atas dasar rasa satu hati. Dalam hal ini, persekutuan Dale Esa
merupakan nilai yang dengan rasa satu adalah memilik bersama, melalui persekutuan Dale Esa
masyarakat desa Bokonusan memiliki harapan bersama dengan rasa kebersamaan kesehatian
untuk berupaya mencapai tujuan bersama.
Melihat dari latar belakang di atas, yakni bagaimana membangun pola hubungan
masyarakat dalam persektuan Dale Esa yang berada di dalam kehidupan bermasyarakat, dalam
hal ini sangat menentukan hubungan masyarakat, oleh demikian penulis merasa sangat tertarik
untuk di teliti, dan yang menjadi pertanyaannya adalah apakah sampai saat ini Dale Esa, masih
4 Wawancara dengan Esrom. Beeh adalah salah satu tua-tua adat (Lasi Leo) dari kelompok sosial Leo Heanteik di
bertahan di dalam masyarakat, sebagai suatu nilai yang dipercaya dapat membangun solidaritas
masyarakat tersebut. Dari penulisan ini, mengharapkan dapat memberikan suatu masukan
dalam membangun suautu solidaritas masyarakat yang baik, serta dapat membantu masyarakat
meningkatkan hubungan dan kepercayaan dalam masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
Melihat dari pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Bagaiman penerapan kearifan Dale Esa dalam kehidupan bersama masyarakat di
desa Bokonusan ?
2. Unsur modal sosial apa saja yang terdapat pada kearifan Dale Esa sebagai modal
sosial masyarakat di desa Bokonusan ?
1.3. Tujuan Penelitian
Melihat dari pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan penerapan dalam kearifan lokal Dale Esa dalam kehidupan
bersama masyarakat di desa Bokonusan,
2. Menjelaskan unsur apa saja yang terdapat dalam kearifan Dale Esa sebagai modal
sosial masyarakat di desa Bokonusan.
1.4. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan ini di harapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat sebagai
Manfaat praktis maupun teoritis. Secara teoritis dapat memberikan pemahaman dan
pengetahuan bagi penulis dan masyarakat di desa Bokonusan dalam memahami persekutuan
Dale Esa sebagai modal sosial seutuhnya terutama dalam bidang ilmu sosial. Manfaat Teoritis:
Dapat menberikan sumbangan atau sumbangsih terhadap teori Sosiologi dalam menyikapi
hubungan solidaritas dalam menjaga keutuhan Dale Esa dalam masyarakat. Selain itu
penulisan ini juga di harapkan mampu memperkaya kajian-kajian pengelolaan dan pandangan
terhadap hubungan solidaritas di Indonesia.
Secara praktis, penelitian dan kajian ini diharapkan menjadi masukan kepada masyarakat
dalam menjaga keututuhan hubungan sebagai tindakan untuk menciptakan suatu ikatan
hubungan guna meningkatkan tali persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat