• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB V"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

NARASI-NARASI TENTANG PANCASILA: DARI SOEKARNO, SOEHARTO HINGGA GUS DUR

Setelah menelaah Pancasila sebagai sebentuk agama sipil, bagian ini lebih

fokus melihat Pancasila yang dinarasikan oleh penguasa dari tiga masa,

Soekarno di era Orde Lama (1945-1966), Soeharto pada masa Orde Baru

(1966-1998) dan KH. Abdurrahman Wahid di zaman reformasi (1999-2001).

Salah satu yang menjadi perbincangan utama adalah fungsi Pancasila

sebagai ideologi yang sangat gencar digemakan terutama pada masa Orde Baru.

Sebagai alat bantu, apa yang dimaksud dengan ideologi akan terlebih dahulu

digambarkan. Begitu juga penjelasan tentang apa yang disebut sebagai narasi,

juga terlebih dahulu didedah.

Narasi tentang Pancasila ini akan diakhiri dengan mengembalikan

diskursus Pancasila kepada konteks dimana ia kali pertama dilahirkan. Konteks

itu tentu saja adalah menjadikan hari lahirnya Pancasila sebagai milestone bagi semua warga negara (baca: anggota BPUPKI) untuk menjadikannya satu buat

semua, semua buat satu .

Tentang Ideologi dan Identitas Naratif

Ideologi dan narasi adalah dua tema dari sekian bahasan yang dieksplorasi

oleh Paul Ricoeur. Dua tema tersebut akan dijabarkan secara singkat dalam

bagian ini. Dengan menggunakan kerangka tentang narasi ini, penulis akan

melihat bagaimana Pancasila dinarasikan oleh negara di sub bab berikutnya.

Jika dilihat dalam perkembangan pemikiran tentang Pancasila, maka

konsepsi Pancasila sebagai ideologi merupakan tema utama dan paling sering

(2)

John B. Thompson mengatakan bahwa ideologi adalah berpikir tentang

yang lain, berpikir tentang orang lain selain dirinya (Ideology is the thought of

the other, the thought of someone other than oneself).1 Untuk melihat apakah

sebuah pandangan bersifat ideologis, maka seseorang harus siap mengkritisinya,

karena ideologi bukanlah istilah yang bersifat netral.

Dalam Ideology and Utopia, Paul Ricoeur mengajukan hipotesis bahwa hakikat dari ideologi (dan juga utopia) adalah imajinasi sosial dan budaya.2

Ricoeur melanjutkan bahwa social imagination is constitutive of social reality .3

Baik ideologi maupun utopia memiliki aspek positif, juga negatif. Ideologi tidak

berdiri sendiri, ia selalu berkaitan dengan yang lain.

Dengan menganalisis karya dari Karl Marx, Louis Althusser, Karl Manheim,

Max Weber, Juergen Habermas dan Clifford Geertz, Ricoeur memetakan tiga

fungsi ideologi. Pertama, ideologi sebagai distorsi. Kedua, ideologi sebagai legitimasi kekuasaan. Ketiga, ideologi sebagai integrasi. Fungsi distorsi berada di wilayah permukaan. Sementara fungsi ideologi untuk integrasi berada pada

ranah paling dalam. Diantara dua fungsi itu, terdapat ideologi dalam kerangka

legitimasi.

Fungsi ideologi di level pertama bisa didapati dalam karya-karya, terutama

Karl Marx dan Althusser. Dalam The German Ideology yang ditulis bersama Friedrich Engels, Marx mengatakan bahwa Manusia, adalah produsen konsepsi,

ide dan lainnya. Manusia yang nyata dan aktif, karena dikondisikan oleh

perkembangan kekuatan-kekuatan produksinya dan hubungannya dengan

kekuatan-kekuatan produksinya dan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan

1 John B. Thompson, Studies in the Theory of the Ideology (University of California Press, 1984), 2.

2 Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia (New York: Columbia University Press, 1986), 1. Dalam The )dea of Critical Theory , Raymond Geuss memaparkan ideology dalam tiga pengertian yakni, deskriptif, pejoratif dan positif. Lihat dalam Raymond Geuss, The Idea of Critical Theory: Habermas and The Frankfurt School (Cambridge University Press, 1981).

(3)

tersebut, sampai menjadi bentuk-bentuk terjauhnya.4 Kesadaran tidak akan

menjadi apapun kecuali makhluk yang sadar, dan eksistensi manusia ada dalam

proses hidup yang aktual. Jika dalam seluruh ideologi manusia dan

lingkungannya tampak terbalik seperti dalam camera obscura, fenomena ini muncul dari proses hidup yang historis sebagai kebalikan dari objek-objek pada

retina berasal dari proses hidup fisik mereka.

Ideologi, seturut yang dituturkan Marx dalam The German Ideology adalah cara kerja kamera obscura yang merepresentasikan realitas dengan memakai bayangan kehidupan yang terbalik.5 Kata Ricoeur, fungsi pertama dari ideologi

adalah memproduksi sebuah bayangan terbalik.6 Gambaran ideologi semacam

ini yang oleh Ricoeur disebut sebagai distortions through reversal.7

Ricoeur kemudian mendapatkan paparan yang lebih mendalam dari ideologi, melalui tulisannya Clifford Geertz dalam )deology as a Cultural System . Oleh Geertz, ideologi dipahami dalam konteks sistem kebudayaan.8

Menurut Geertz, analisis kebudayaan merupakan guessing at meanings, assessing the guesses, and drawing explanatory conclusions from the better guesses .9

Menurut Geertz ada dua wilayah utama dalam mendekati ideologi.

Pertama, interest theory. Kedua, strain theory.10 Teori interest membangun

ideologi sebagai topeng dan senjata. Sementara teori strain, melihat ideologi sebagai gejala dan perbaikan. Tradisi Marxis mengembangkan ideologi dalam

pengertian pertama. Sementara Geertz mengembangkan ideologi dalam

4 Robert C. Tucker (ed), The Marx-Engels Reader, Second Editon, (New York-London: WW. Norton and Company, 1978), 154.

5 Ibid., 154.

6 Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia. . . , 4. 7 Ibid.

8 Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia. . . , 10-13.

(4)

pengertian yang kedua. Dasar dari dikembangkannya ideologi menurut Geertz adalah social malintegration .11

Mengutip Sutton, Geertz menyampaikan bahwa Ideology is patterned reaction to the patterned strains of a social role .12 Ideologi menyediakan

symbolic outlet bagi gangguan emosional yang disebabkan oleh ketidakseimbangan sosial. Geertz mencermati apa yang ia sebut sebagai the autonomous process of symbolic formulation. Ia mengamati bahwa kegagalan dalam melihat ideologi sebagai sistem interaksi simbol menjadi alasan kenapa

dalam tradisi Marxis maupun Non Marxis, ideologi tereduksi.

Bagi Geertz, ideologi memiliki fungsi integrasi yang tentu saja berbeda

dengan Marx yang menganggap ideologi sebagai bayangan terbalik dari

kehidupan manusia. Ideologi, menurut Geertz memiliki fungsi mendasar sebagai

alat untuk menyatukan masyarakat melalui tindakan simbolik. Fungsi ideologi di

ranah ini yang sesungguhnya menunjukan dengan jelas peran konstitutif dari

ideologi. Yang dibutuhkan kemudian adalah fungsi yang menghubungkan antara

ideologi sebagai distorsi dan integrasi.

Disinilah kita bisa menemukan peran ideologi sebagai legitimasi. Karya

Max Weber merepresentasikan fungsi ideologi dalam pengertian itu. Kata

Ricoeur, Ideology’s role as a legitimating force persists because, as Weber has shown, no absolutely rational system of legitimacy exists.13 Ricoeur mengatakan

bahwa apa yang ditulis oleh Weber banyak mendiskusikan konsep yang disebut

Herrschaft atau dominasi dan otoritas.14 Ideologi memasuki ranah ini karena

tidak ada sistem kepemimpinan, bahkan yang brutal sekalipun, yang berkuasa

11 Ibid, 203.

12 Ibid, 204.

(5)

hanya mengandalkan kekuatan atau dominasi. Ideologi kemudian masuk dan

berperan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu.15

Disini ideologi harus bisa menjembatani ketegangan dalam proses

legitimasi, ketegangan yang berlangsung antara klaim legitimasi yang dibuat

oleh penguasa dan keyakinan yang dibangun oleh masyarakat.16

Dalam Time and Narrative, Ricoeur menyinggung tentang apa yang disebut sebagai narrative identity.17 Identitas yang dimaksud Ricoeur adalah kategori

praktis. Identitas naratif dalam bahasan Ricoeur muncul sebagai penengah

antara idem (identitas yang tetap) dan ipse (identitas yang terus berkembang). Dalam diri manusia, atau dalam identitas personalnya, idem dan ipse selalu hadir. Idem atau samenesskata Ricoeur, is a concept of relation and a relation of relations .18 Idem memberikan porsi yang lebih banyak pada permanensi waktu

dari aspek substansi. Sementara ipse, tidak berbicara dalam konteks substansi

tapi lebih pada karakter dan janji.

Menurut Ricoeur, kehidupan manusia akan bisa dipahami dengan lebih

baik jika dituturkan dalam bentuk kisah. Kisah atau narasi menjadi jembatan

untuk mendamaikan identitas ipse dan idem. Identitas naratif memberikan gambaran bahwa identitas yang melekat pada diri kita tidak mungkin ada tanpa

orang lain. Identitas kita terbentuk dari sebuah proses dialektika dengan

identitas-identitas yang lainnya.

Dari sini, berbicara tentang kepemilikan atau ketidakpemilikan bukan

menjadi sesuatu yang penting kata Ricoeur. Ia mengatakan

In a philosophy of selfhood like my own, one must be able to say that ownership is not what matters. What is suggested by the limiting cases produced by the narrative imagination is a dialectic of

15 Tentang otoritas, lihat Max Weber, The Sociology of Religion (Boston: Beacon, 1963). 16 Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia. . ..

(6)

ownership and of dispossession, of care and of carefreeness, of self-affirmation and of self-effacement.19

Narasi dan ideologi merupakan dua bahasan yang memiliki keterkaitan

yang cukup dekat. Seturut dengan bahasan tentang Pancasila, narasi menjadi

cara bagi penguasa untuk menuturkan apa yang oleh mereka disebut sebagai

Pancasila sebagai ideologi negara. Masing-masing era memiliki karakternya

sendiri dalam menarasikan Pancasila. Imajinasi sosial tentang Pancasila

disalurkan melalui pelbagai sarana, meski sama-sama memiliki fungsi legitimasi.

Narasi Pancasila di Era Soekarno

Pada masa Soekarno, Pancasila dijadikannya sebagai civil religious legitimation bagi Demokrasi Terpimpin yang ia jalankan.20 Tapi, sesungguhnya

pada masa itu, Pancasila hanya salah satu dari apa yang oleh Soekarno disebut sebagai Lima Azimat Revolusi. Dalam pidato Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1965, Soekarno memberikan amanat yang ia beri tajuk

Capailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari) . Soekarno mengatakan Gagasan-gagasanku itu, Nasakom (1926), Pancasila (1945), Manipol/Usdek (1959), Trisakti Tavip (1964) dan Berdikari (1965), sebenarnya hanyalah hasil penggalianku, yang dua pertama dari masyarakat bangsaku, dan tiga yang terakhir dari revolusi Agustus . . . Baik Nasakom, baik Pancasila, baik Manipol/Usdek, baik Trisakti, maupun Berdikari, kesemuanya mengabdi kepada persatuan nasional revolusionar, artinya, mengabdi kepada kepentingan revolusi . . . Kita tidak cukup hanya berjiwa Nasakom, kita pun harus berjiwa Pancasila, berjiwa Manipol/Usdek, berjiwa Trisakti Tavip, berjiwa Berdikari! 21

19 Ibid., 168.

20 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State:

Pancasila and Civil Religion in Indonesia, Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984), 89.

21 Soekarno, Amanat Proklamasi: Pidato Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan

(7)

Dari Lima Azimat itu, dua hal sudah dibahas sebelumnya yakni Nasakom

dan Pancasila. Bagian ini akan lebih menitikberatkan pada tiga bagian lainnya,

yakni Manipol/Usdek, Trisakti Tavip dan Berdikari.

Soekarno menarasikan Pancasila dalam kerangka revolusi sebagai

pandangan utama yang saat itu berkembang.22 Hal itu disampaikannya pada

pidato 17 Agustus 1959. Soekarno menegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan

Indonesia yang ke empat belas saat itu, harus benar-benar membuka sejarah

baru dalam revolusi perjuangan nasional bangsa Indonesia.

1959 menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah revolusi kita itu. Tempat yang unik! Ada tahun yang saya namakan tahun ketentuan , a year of decision. Ada tahun yang saya sebut tahun

tantangan , a year of challenge. Istimewa tahun yang lalu saya namakan tahun tantangan . Tetapi buat tahun 1959 saya akan beri sebutan lain. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita, sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, undang-undang dasar revolusi. Tahun 1959 adalah tahun penemuan kembali revolusi. Tahun

9 9 adalah tahun Rediscovery of our Revolution .23

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, tahun 1959 merupakan masa

dimana Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli. Isi dekrit presiden itu

adalah: membubarkan Konstituante, menyatakan berlakunya kembali UUD 1945

terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit itu, tidak berlakunya lagi UUD

Sementara 1950, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Dengan dikeluarkannya dekrit, maka UUD 1945 berlaku kembali. Soekarno

kemudian menjelaskan bagaimana hubungan Pancasila, UUD 1945 dan revolusi

dalam pidato 17 Agustus 1959 itu.

22 AMW. Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, (Jakarta: Yayasan Proklamasi dan CSIS, 1985), 180.

23 Soekarno, Amanat Proklamasi: Pidato Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan

(8)

Kita kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, antara lain oleh karena Undang-undang Dasar 1945 berdiri di atas unitarisme negara, dan dus tidak mengizinkan federalisme di Indonesia dalam bentuk bagaimanapun juga . . . Dengan Undang-undang Dasar 1945 itu kita sekarang dapat bekerja sesuai dengan dasar dan tujuan revolusi. Landasan idiil dan landasan struktural untuk bekerja sesuai dengan dasar dan tujuan revolusi itu, terdapatlah Undang-undang Dasar 1945 itu. Landasan idiil, yaitu Pancasila dan landasan struktural, yaitu pemerintahan yang stabil, kedua-duanya terdapatlah secara tegas dalam Undang-undang Dasar 1945 itu. Baik mukadimahnya, maupun 37 pasalnya, maupun 4 aturan peralihannya, maupun 2 aturan tambahannya, memberi landasan yang kuat idiil dan struktural, yaitu Pancasila dan pemerintahan yang stabil, untuk bekerja setingkat demi setingkat merealisasikan dasar dan tujuan revolusi.24

Narasi Pancasila dalam kerangka revolusi itu terus dikembangkan oleh

Soekarno dalam pidato tahun 1960. Di tahun ini, ia menyinggung tentang apa

yang disebut Manipol-Usdek yang sebenarnya telah diperkenalkan pada tahun

1959. Dalam pidato yang berjudul Laksana Malaikat yang Menyerbu dari

Langit: Jalannya Revolusi Kita (Jarek) , Soekarno menyodorkan satu Manifesto

Politik (Manipol).

Dalam pidato Jarek itu Soekarno mengingatkan tentang babakan sejarah

revolusi yang telah dilewati hingga tahun itu. Kata Soekarno, periodisasi revolusi

Indonesia digambarkan sebagai berikut:

1945-1950: periode physical revolution

1950-1955: periode survival

1955-sekarang (baca: 1960): periode investment, investment of human skill, material investment, mental investment.

Investment itu kata Soekarno merupakan socialist construction, untuk realisasi amanat penderitaan rakyat. Revolusi adalah menjebol dan membangun,

(9)

membangun dan menjebol, kata Soekarno.25 Revolusi merupakan build

tomorrow and reject yesterday, construct tomorrow, pull down yesterday. 26

Soekarno merasa bahwa untuk menyelamatkan revolusi, harus ada sebuah

ideologi nasional. Ideologi nasional itu ada dalam Manifestasi Politik dengan

USDEKnya.27 Soekarno memaklumi jika ada pertanyaan, kenapa harus ada

manipol padahal Indonesia telah memiliki Pancasila. Seokarno kemudian

menjelaskan.

Manifesto politik adalah pemancaran daripada Pancasila! USDEK adalah pemancaran daripada Pancasila. Manifesto politik, USDEK dan Pancasila adalah terjalin satu sama lain, Manifesto Politik, USDEK, dan Pancasila tak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika saya harus mengambil qias agama, sekadar qias!, maka saya katakan: Pancasila adalah semacam Qur’annya dan Manifesto Politik dan USDEK adalah semacam Hadits shahihnya (Awas! Saya tidak mengatakan Pancasila adalah Qur’an, dan bahwa Manifesto Politik-USDEK adalah (adis! . Qur’an dan (adits Shahih merupakan satu kesatuan, maka Pancasila dan manifesto Politik dan USDEK merupakan satu kesatuan!28

Soekarno menandaskan bahwa Manipol-USDEK adalah progresif kiri,

mengabdi kepada kepentingan masyarakat banyak, mengabdi kepada

penyelenggaraan cita-cita kerakyatan, mengabdi kepada panggilan abad XX.

Manipol-USDEK itulah yang dapat menyatukan pikiran rakyat Indonesia

mengenai soal-soal pokok revolusi. Kata Soekarno, Manipol-USDEK harus

memiliki semangat gotong royong sebagai living reality, kenyataan hidup yang ada di desa-desa di Indonesia.

John R. Bowen membahas tema Gotong Royong ini dalam On the Political Construction of Tradition yang dimuat di The Journal of Asian Studies Vol. 45, No.

25 Ibid., 139.

26 Ibid.

27 USDEK merupakan singkatan dari Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,

(10)

3., yang terbit bulan Mei 1986.29 Bowen memaparkan tentang perubahan makna

dari gotong royong (mutual assistance), jiwa voluntaristik yang sangat melekat dengan kepribadian bangsa Indonesia. Selain gotong royong, kita mengenal

nomenklatur lain dalam budaya yang sangat melekat dengan laku kehidupan

masyarakat, seperti musyawarah, kerja bakti dan kekeluargaan. Kata Bowen,

gotong royong menjadi elemen penting tidak hanya dalam sistem budaya tetapi

juga politik di Indonesia. Dalam kajian masyarakat Indonesia, terutama yang

berhubungan dengan masyarakat pedesaan Jawa, gotong royong selalu menjadi

kata kunci.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Hatta mengatakan bahwa

semangat selfless agrarian cooperation itu ditemukan dalam masyarakat Eropa. Kata Hatta, petani di Indonesia tahu kalau mereka tidak dapat bekerja sendiri,

sehingga harus saling tolong menolong. Dalam percakapan itu, Hatta

menggunakan tolong menolong bukan gotong royong. Hatta mulai menggunakan

gotong royong pada tahun 1945 ketika menjelaskan dua revolusi, nasional dan

sosial. Revolusi nasional dimaksudkan untuk mendapatkan kemerdekaan penuh

sementara revolusi sosial dilakukan untuk merevitalisasi masyarakat yang

didasarkan atas keadilan dan gotong royong. Singkatnya, oleh Hatta gotong

royong digambarkan sebagai refleksi dari otonomi politik masyarakat pedesaan

dan sebagai bagian dari sifat dasar demokrasi dalam menghadapi kekuatan

negara.

Beda dengan Hatta yang menjadikan gotong royong sebagai sebuah karya

otonomi, Soepomo memiliki pendapat yang berbeda. Baginya, pembicaraan

bukanlah berkutat pada soal independensi desa dari tuan tanah tetapi kesatuan

antara masyarakat dan pemimpinnya serta antara berbagai kelompok

masyarakat yang dicirikan oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan.

(11)

Selain karena pengaruh paham integralistik, pernyataan Soepomo dibangun di

atas ide kesatuan kekuasaan dalam politik Jawa. Kesatuan antara makrokosmos

dan mikrokosmos.30 Bagi Hatta, gotong royong itu autonomous village sementara

bagi Soepomo, all-encompassing state.

1 Juni 1945, Soekarno juga menyebut gotong royong, saat pidato yang

kemudian dikenal sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Kala berbicara tentang dasar

negara, Soekarno pertama-tama menawarkan Pancasila, yang kemudian dia

peras menjadi Trisila dan jika harus diperas lagi, maka jadilah Ekasila. Satu sila

itu, kata Soekarno adalah Gotong Royong. Dengan gotong royong, Soekarno

mengatakan, Muslim dan Kristen, kaya dan miskin, warga pribumi dan

keturunan bersama-sama melawan penjajah. Bahkan, Soekarno menjadikan

gotong royong sebagai nama untuk kabinetnya. Tak hanya itu, oleh Soekarno

gotong royong ini menjadi alternatif untuk melawan liberalisme. Akhirnya, pada

tahun 1960an, ide gotong royong digunakan untuk sebagai perjuangan nasional

dengan menjalin kekuatan horisontal antara kelompok Islam, Nasionalis dan

Komunis. Tahun 1960 dalam pidato 17 Agustus Soekarno menuturkan bahwa

gotong royong bukan sekadar kepribadian Indonesia atau Indonesian identity, tetapi juga keharusan dalam perjuangan melawan imperialisme dan kapitalisme,

baik zaman dulu maupun sekarang.31

Proses pembebasan Irian Barat, kata Soekarno juga merupakan

implementasi dari Pancasila. Soekarno tampak tidak lagi mau berunding soal

Irian Barat dengan Belanda. Ia akan menjalankan apa yang disebutnya sebagai jalan lain . Man bettelt nicht um ein Recht, um ein Recht kampft Man! (Hak tak dapat diperoleh dengan mengemis, hak hanya dapat diperoleh dengan perjuangan kata Soekarno.32

30 Bennedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Cornell University Press, 1990).

(12)

Setelah membahas soal Irian Barat, Soekarno kemudian menekankan sifat

universal dari Pancasila. Menurutnya, Pancasila lebih memenuhi kebutuhan

manusia dan lebih menyelamatkan manusia, daripada Declaration of Independence-nya Amerika, atau Manifesto komunis. Bagi Soekarno, Declaration of Independence itu tidak mengandung keadilan sosial, sementara Manifesto Komunis itu harus disublimir dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua ideologi

itu, kata Soekarno menjadi sebab manusia dunia terpecah belah dan saling

mengintai.

Disinilah Soekarno melihat kelebihan Pancasila itu.

Karena itulah, maka kita bangsa Indonesia merasa bangga mempunyai Pancasila dan menganjurkan Pancasila itu pada semua bangsa. Pancasila adalah satu dasar yang universil, satu dasar yang dapat dipakai oleh semua bangsa, satu dasar yang dapat menjamin kesejahteraan dunia, perdamaian dunia, persaudaraan dunia. Pancasila tidak salah lagi, adalah satu hogere optrekking daripada Declaration of Independence dan Manifesto Komunis. Dan Manifesto Politik Republik Indonesia dan USDEK adalah refleksi daripada Pancasila itu, sehingga benarlah konklusi Dewan Pertimbangan Agung, bahwa revolusi )ndonesia bukanlah revolusi borjuis model tahun 1789 di Prancis, dan bukan pula revolusi proletar model tahun 1917 di Rusia. Revolusi Indonesia adalah satu revolusi yang dasar dan tujuanya kongruen dengan

Social Conscience of Man, kongruen dengan budi nurani manusia, sebagai kukatakan setahun yang lalu.33

Konsep lain yang menjadi Azimat Revolusi Soekarno adalah Trisakti-TAVIP. Soekarno menyampaikan hal tersebut pada pidato 1964, yang beri judul

Tahun Vivere Pericoloso atau Tavip. Tahun itu, kata Soekarno merupakan

panca warsanya Manipol atau lima tahun usia Manipol.

Di tahun 1964 itu, Soekarno memformulasikan enam hukum revolusi dan

Trisakti. Tema revolusi tidak pernah lepas dari pidato-pidato Soekarno.

Revolusi, kata Soekarno membutuhkan tiga syarat mutlak, romantik, dinamik

(13)

dan dialektik. Soekarno tidak pernah menjelaskan secara detail apa yang ia

maksud dengan tiga hal tersebut. Hanya saja ia memberikan peringatan, revolusi

yang tanpa disertai romantik, dinamik dan dialektik hanya merupakan impuls

perseorangan semata, dan akan menjadi revolusi istana yang inkonsisten.

Enam hukum revolusi yang dimaksud Soekarno adalah; revolusi harus

mengambil sikap tepat terhadap lawan dan kawan, harus dijalankan dari atas

dan dari bawah, bahwa destruksi dan konstruksi harus dijalankan sekaligus,

bahwa tahap pertama harus dirampungkan dulu kemudian tahap kedua, bahwa

harus setia kepada program revolusi sendiri yaitu Manipol, dan bahwa harus

punya sokoguru, punya pimpinan yang tepat dan kader-kader yang tepat.

Pada saat itu pula, Soekarno memformulasikan Trisakti; berdaulat dalam

politik, berdikari dalam ekonomi dalam berkepribadian dalam kebudayaan. Bagian terakhir dari Azimat Revolusi adalah Berdikari yang disampaikannya pada tahun 1965. Salah satu situasi yang menjadi konteks

kemunculan salah satu azimat itu adalah keluarnya Indonesia dari keanggotaan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bagi Soekarno, kemerdekaan sebuah bangsa

bukan karena keanggotaannya dalam PBB melainkan Berdikari.

PBB, kata Soekarno, tidak mungkin dipertahankan lagi. PBB

menguntungkan Taiwan dan merugikan Republik Rakyat Cina (RRC),

menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab, menguntungkan

Afrika Selatan dan merugikan Afrika, menguntungkan Malaysia dan merugikan

Indonesia.

Berdikari menjadi prinsip politik yang dibangun untuk menunjukan

independensi bangsa Indonesia. Menjadi bangsa yang berdaulat, kata Soekarno

adalah kondisi ketika kita tidak bisa didikte oleh siapapun. Nation building dan

character building harus diteruskan untuk memperkuat kedaulatan politik itu. Di akhir pidato tahun 1964, Soekarno kembali meringkas apa yang ia

(14)

pengejawantahan daripada seluruh jiwa nasional yang terbentuk sepanjang 40

tahun lamanya.

Azimat Nasakom, lahir tahun 1926. Persatuan Nasakom itulah yang

sesungguhnya senjata paling ampuh untuk mengkonsolidiri kemerdekaan

nasional. Azimat kedua, Pancasila yang lahir pada bulan Juni 1945 merupakan

satu dasar negara. Azimat ketiga, yakni azimat Manipol/Usdek yang merupakan

program umum revolusi. Azimat keempat, Trisakti Tavip, lahir tahun 1964

setelah Indonesia mengalami banyak persoalan dengan kaum imperialis, PBB

dan lain-lain. Azimat yang kelima adalah Berdikari yang tidak hanya asas untuk

saat itu, tetapi asas untuk masa yang panjang, selama Indonesia masih

berhadapan dengan kaum imperialisme.

Jika kita mencermati bagaimana Soekarno menarasikan Pancasila maka hal

yang paling sering dilakukannya adalah memproduksi diskursus Pancasila

sebagai moral code juga sebagai the scripture . Cara Soekarno menghadirkan Pancasila sebagai teks pembentuk awal itu kemudian menghasilkan pelbagai hadits , teks-teks yang menjadi penjabaran sekaligus penjelasan dari Pancasila itu.

Soekarno, di masa ia memimpin banyak memproduksi civil religious language. Ayat- ayat sipil itu diciptakan Soekarno terutama dalam kaitannya dengan membangun collective conscience. Selain Panca Azimat Revolusi, kita mengenal ada banyak gagasan lain yang dikeluarkan oleh Soekarno untuk

mengukuhkan Pancasila.

Salah satu ekspresi dari Indonesian Civil Religion selain Pancasila, menurut Purdy adalah revolusi. Soekarno memiliki interpretasi simbolik terhadap

(15)

Kita 9 dan Re-So-Pim atau Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan Nasional (1961).34

Soekarno juga memberikan tafsiran simbolik terhadap revolusi dengan

mengiaskannya pada karya Dante Alighieri, Divine Comedy. Dante melukiskan perjalannya dari Neraka, melalui Tempat Pesucian, kepada Surga: dari Inferno, melalui Purgatorio ke Paradiso. Ia mengalami berbagai penderitaan di Neraka (Inferno). Setelah itu datang disucikan di Tempat Penyucian (Purgatorio), dan

setelah suci, ia mencapai Surga (Paradiso).35

Teks-teks sakral lainnya dituturkan Soekarno seperti halnya ketika Bellah

menjabarkan pidato John F. Kennedy. Selain menyebut Ketuhanan (Yang Maha

Esa), Allahu Akbar, Rahmat Tuhan, Berkat Tuhan, Pertolongan Tuhan dan kalimat lain yang menjadi pengakuan adanya kekuatan adikodrati dalam setiap

derap perjuangan bangsa Indonesia.

Soekarno dalam Resopim mengatakan, ...dengan doa yang tak putus-putus ke hadhirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, marilah kita jalan terus . Dalam pidato Tahun Kemenangan (17 Agustus 1962), Soekarno mengatakan, ...Tuhan adalah

besar, dan kepadaNya kita memanjatkan kita punya terima kasih!...Kemenangan

ini adalah karunia Tuhan. Pemberian Tuhan! Belas kasihnya Tuhan! Dialah yang

membuat. Dialah yang memberi. Karena itu janganlah mencongkakkan diri.

Tahun berikutnya (1963) dalam pidato Genta Suara Republik )ndonesia

Soekarno mengatakan, ...Disinilah letaknya sumber Rida Tuhan kepada kita.

Rida Tuhan yang selalu menolong kepada kita kalau kita hendak dibinasakan

musuh, Rida Tuhan yang selalu menolong kepada kita kalau kita hendak ditumpas lawan . Dalam pidato Tavip (1964), Soekarno mengutip ayat al-Qur’an sebagai perlambang untuk mengukuhkan hakikat revolusi, yakni perjuangan.

...Innallaaha laa yughayyiru maa bikaumin, hatta yughoyyiru maa bianfusihim.

34 Bahasan tentang Sosialisme Indonesia baca dalam Roeslan Abdulgani, Sosialisme

(16)

Tuhan tidak mengubah nasibnya sesuatu bangsa, sebelum bangsa itu mengubah

nasibnya sendiri .

Dengan menggunakan pendekatan ideologis, Pranarka mengatakan bahwa

analisis terhadap Pancasila melalui hal tersebut tidak mempersoalkan

konsistensi yang menyangkut substansil dan tidak memperhitungkan nilai kebenaran internal dari uraian itu, karena perhatian lebih dititikberatkan pada kegunaan konkrit sebagai motivasi utamanya.36

Pendekatan seperti ini bisa kita gunakan untuk mencermati uraian

Soekarno tentang Pancasila. Terlihat bahwa paparan Soekarno tentang Pancasila

tidak terlalu mementingkan kebenaran internal dan konsistensi substansialnya.

Itu bisa dimengerti karena motivasi utamanya adalah nation-building, kesatuan bangsa. Meminjam analisis Ricoeur, inilah fungsi integratif dari Pancasila yang

kemudian dijadikan legitimasi oleh Soekarno. Di dalamnya, Soekarno memberi

nuansa profetik. Inilah strategi Soekarno dalam menarasikan Pancasila.

Dalam menarasikan Pancasila Soekarno banyak menciptakan neologisme.

Pancasila ia katakan sebagai dasar negara dan isi jiwa bangsa Indonesia. Di

tempat lain, ia menyebut bahwa Pancasila adalah hogere opptrekking dari

Declaration of Independence dan Manifesto Komunis . Ia juga menyebut

Pancasila adalah wadah, dan masing-masing dapat memberikan isi kepada

Pancasila tersebut. Pancasila juga disebut Soekarno sebagai kepribadian

Indonesia yang digali dari bumi Indonesia. Soekarno juga pernah menuturkan

bahwa Pancasila dan Islam adalah sama. Nasakom, seperti yang dikatakan oleh

Soekarno juga sesungguhnya mengandung inkompatibilitas intrinsik .37 Tapi

itu tidak kemudian dipersoalkannya, karena yang terpenting adalah bahwa

unsur Komunisme, Nasionalis dan Agama dapat bahu membahu mengerek panji

revolusi.

(17)

Narasi Pancasila di Era Soeharto

Setelah Soekarno berkuasa, Soeharto tampil menjadi Presiden Indonesia.

Secara resmi, Soeharto mulai memegang tampuk kekuasaan saat ia dilantik

menjadi presiden pada bulan maret 1967. Namun, faktanya Soeharto memulai

peranannya ketika dia membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada

1966 melalui surat perintah sebelas Maret (Supersemar).38 Penyingkiran

Soekarno dan PKI sebagai kekuatan politik ketiga terbesar dari domain politik,

terlihat sangat efektif dengan keterlibatan militer.39

Periode dimana Soeharto berkuasa ini disebut Orde Baru. Pada 16 Agustus

1967, Soeharto menyampaikan pidato kenegaraan. Dalam pidatonya itu,

Soeharto mengatakan bahwa Orde Baru adalah …tatanan seluruh peri

-kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada

pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 .

Ada tiga kekuatan yang menjadi pilar Orde Baru.40 Pertama, Orde Baru

memperluas kekuatan militer untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan

politik. Melalui doktrin dwifungsi, militer berperan di ranah politik sekaligus

menjaga keamanan negara. Kedua pemerintah merestrukturisasi pimpinan institusi politik dan masyarakat sipil. Meski infrastruktur politik seperti partai,

dewan perwakilan dan pemilihan tetap dipertahankan, tetapi perangkat

tersebut sudah ditransformasi melalui kombinasi intervensi, manipulasi dan

pemaksaan. Pemerintah memoles Golkar (Golongan Karya) sebagai kendaraan

38 Semar merupakan salah satu legenda dalam pewayangan. Semar adalah tokoh senior

dan paling memiliki kekuatan untuk mengayomi. Semar terkenal sebagai tokoh yang tenang, ngayomi, dan mampu menciptakan stabilitas dalam pemerintahan. Nama ini menjadi semacam legitimasi yang sakral bagi perpindahan kekuasaan. Menurut Purdy, mengutip Alan M. Stevens, dengan menggunakan nickname, Semar, Soeharto menahbiskan diri dengan tokoh Semar dengan segala karakter positifnya. Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority . . , 205-206.

39 Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Jakarta: Equinox Publishing, 2007). 40 Edward Aspinall, Opposing Soeharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in

(18)

elektoralnya. Pemerintah menekankan doktrin monoloyalitas. Ketiga, pemerintah berusaha membangun sebuah justifikasi ideologi yang

komprehensif untuk pemerintahan otoritariannya. Pemerintah memurnikan

ideologi Pancasila yang ditekankan pada harmoni sosial dan kesatuan organis antara negara dan masyarakat. Merujuk pada asas kekeluargaan (family principle), individu dan kelompok diharapkan bisa menomorduakan kepentingannya atas kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Berbeda halnya dengan Soekarno yang banyak menulis tentang Pancasila

sebagai proyek politiknya, Soeharto tidak memiliki karya yang fokus membahas

Pancasila.41 Pemahaman terhadap Pancasilanya Soeharto hanya bisa kita

cermati, salah satunya, dari pidato-pidato resmi kenegaraan yang ia sampaikan

di berbagai kesempatan.42 Pemahaman terhadap Pancasila seperti yang

direfleksikan Soeharto juga bisa kita sarikan dari berbagai program pada masa

Orde Baru yang memiliki hubungan dengan Pancasila.

Transisi kepemimpinan politik di Indonesia dari Soekarno dan Soeharto

diawali dengan runtuhnya PKI. Ke depan, kehidupan politik Soeharto tidak

memiliki tantangan, karena PKI sudah tidak ada lagi. Soeharto hanya

berhadapan dengan kelompok Islam dan kelompok Sosialis yang tidak terlalu

kuat posisinya. Jelas, bahwa legitimasi pemerintahan Orde Baru diderivasi, salah

satunya dari koalisi anti komunis.

Pancasila menurut Soeharto tidak tiba-tiba datang pada tahun 1945. Ia

adalah buah dari perjuangan bangsa Indonesia dan berurat akar pada

kebudayaan bangsa Indonesia itu sendiri.43 Soeharto kemudian menegaskan lagi

bahwa Pancasila adalah kepribadian kita, adalah pandangan hidup seluruh

41 John A. Titaley, A Sociohistorical Analysis of the Pancasila as )ndonesia’s State

)deology in the Light of the Royal )deology in the Davidic State , Thesis (Th. D. Graduate Theological Union, Berkeley, 1991), 153.

42 Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS-Yayasan Proklamasi, 1976).

(19)

Bangsa Indonesia, pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat

menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan kita; oleh karena itu, Pancasila

adalah satu-satunya pandangan hidup yang dapat pula mempersatukan kita.

Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh Rakyat Indonesia yang selalu harus

kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya .44

Kaitannya dengan PKI, Soeharto melihat bahwa ideologi Nasakom seperti

yang digaungkan Soekarno dulu itu adalah kecelakaan. Pancasila menjadi tidak

lagi murni karena ia berubah menjadi Nasakom. Maka dari itu Soeharto

mengajak kepada bangsa Indonesia agar merumuskan Pancasila secara

sederhana dan jelas untuk digunakan sebagai pedoman hidup manusia

Pancasila.

Jangan terulang lagi misalnya, Pancasila lalu berubah menjadi Nasakom yang membawa bencana itu. Ajakan saya adalah agar kita bersama-sama memikirkan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam segala segi kehidupan dan tingkah laku kita sehari-hari.45

Soeharto melihat bahwa Pancasila telah berhasil melewati masa ujicoba

yang panjang sehingga tetap bertahan. Kekuatannya untuk tetap bertahan itulah

yang menunjukan kalau ia satu-satunya jawaban atas persoalan yang dihadapi

bangsa Indonesia. Fungsi Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia ditegaskan

Soeharto saat dia mengatakan, Pancasila adalah jiwa dari Bangsa Indonesia.

Karena itu, setiap usaha merenggutnya dari bangsa ini pasti akan mendapat

perlawanan yang hebat dan berakibat dengan kegagalan .46 Di kesempatan lain,

Soeharto melihat Pancasila sebagai landasan idiil bagi peri-kehidupan bangsa

kita.47

44 Ibid.

45 Ibid., 5-6.

46 Ibid., 12.

(20)

Tak hanya dilihat sebagai pandangan hidup, Pancasila oleh Soeharto juga

dinilai sekaligus sebagai tujuan hidup bangsa kita. Kita tidak akan

memerosotkan Pancasila hanya menjadi semboyan kosong atau bahan

propaganda murah. Pancasila, karena merupakan pandangan hidup, merupakan

dasar dan tujuan, maka Pancasila itu harus kita laksanakan dalam segala segi

kehidupan dalam tata pergaulan Bangsa Indonesia .48

Penghayatan dan pengamalan Pancasila, menurut Soeharto dilakukan

untuk menciptakan masyarakat Indonesia. Atau dengan kata lain, tujuan

Soeharto adalah menciptakan Masyarakat Pancasila yang dirumuskan sebagai

masyarakat yang berazaskan kekeluargaan dan religius.

…atau kalau meminjam rumusan yang popular: Masyarakat Pancasila adalah masyarakat yang sosialistis religius dengan ciri-ciri pokok:

Tidak membenarkan adanya: kemelaratan, keterbelakangan, perpecahan,

pemerasan, kapitalisme, feodalisme, kolonialisme dan imperialisme; karenanya

harus bersama-sama menghapuskannya. Menghayati hidupnya dengan

berkewajiban: taqwa pada Tuhan Yang Mahaesa, cinta pada Tanah Air, kasih

sayang pada sesama manusia, suka bekerja dan rela berkorban untuk

kepentingan rakyat .49

Saat menjelaskan tentang substansi sila pertama Pancasila, Soeharto

menegaskan tentang sistem kepercayaan bangsa Indonesia. Ia menuturkan

bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung pernyataan pengakuan Bangsa

Indonesia terhadap adanya Tuhan. Dengan kata lain, Sila Ketuhanan Yang

Mahaesa mencerminkan sifat bangsa kita yang percaya bahwa ada kehidupan

lain di masa nanti setelah kehidupan kita di dunia sekarang. Ini memberi

48 Ibid., 14.

(21)

dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka

jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti itu .50

Dengan merujuk pada sila pertama, Soeharto menegaskan bahwa dasar

negara Indonesia bukanlah teokrasi, bukan negara yang menyandarkan diri

pada agama tertentu saja. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 merupakan satu pedoman

untuk menunjukan kewajiban Pemerintah dalam memberi kesempatan dan

mendorong tumbuhnya kehidupan keagamaan yang sehat di Indonesia.

Dalam keyakinannya yang tegas, Soeharto berpendapat bahwa tanah air ini

adalah karunia Tuhan.

Kita Bangsa )ndonesia, yakin, bahwa Tuhan telah mengaruniai kita bersama ber-Tanah Air dan berBangsa Indonesia. Oleh karena itu kita wajib menjaga keutuhan karunia Tuhan ini.

… Namun justru oleh karena kita telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup sebagai satu Bangsa dan oleh karena itu pula kita telah bersumpah sebagai Bangsa yang satu itu, maka perbedaan-perbedaan bukanlah untuk dipertentangkan, melainkan harus diserasikan untuk mencapai cita-cita bersama menuju kebahagiaan bersama pula .51

Dalam melihat keragaman agama, Soeharto menekankan pentingnya

toleransi antara umat beragama. Toleransi itu merupakan terwujudnya

ketenangan, saling harga-menghargai dan kebebasan yang sepenuh-penuhnya

bagi setiap penduduk dalam menjalankan ibadah agama menurut keyakinannya

masing-masing .52

Nafas strategi pembangunanisme sangat kuat berhembus pada masa

Soeharto. Tak terkecuali dalam soal agama. Menurut Soeharto

…Semua agama yang ada di Indonesia ini, memerintahkan umatnya agar membangun. Agama akan kehilangan sinarnya apabila masyarakatnya miskin, melarat dan lemah. Dan agama menunjukan tujuan yang jelas dari pada pembangunan: ialah

50 Ibid., 26-27.

51 Ibid., 29-30.

(22)

untuk kebahagiaan dan martabat manusia; bukan untuk kehancurannya. Agama memperhalus budi pekerti manusia. Dan dengan kehalusan budi pekerti itu pembangunan akan mempunyai makna yang indah dan dalam. Tidak ada satu agamapun yang melarang orang bekerjasama dengan orang lain yang berlainan agama dalam bersama-sama membangun masyarakat .

Dengan kata lain, Soeharto hendak menegaskan

Pembangunan dan agama adalah satu nafas. Pembangunan akan membawa kita kepada kemajuan dan agama akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan. Dan kemajuan yang penuh kebahagiaan bagi kita semua itu adalah tujuan pembangunan masyarakat Indonesia. Agama tanpa pembangunan tidak akan maju. Sedangkan pembangunan tanpa agama akan salah arah. Apabila tujuan setiap agama adalah untuk memperbaiki mutu kehidupan manusia, lahir maupun rokhaninya, maka teranglah bahwa mutu kehidupan itu tidak akan terwujud dalam masyarakat yang serba terbelakang dan penuh kemiskinan. Karena itu agamalah sesungguhnya bersumber dorongan yang tidak habis-habisnya agar masyarakat membangun dirinya .53

Untuk memperkuat proses pemurnian Pancasila, tahun 1978, MPR

mengeluarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan

dan Pengamalan Pancasila (P4) yang juga disebut Ekaprasetia Pancakarsa.54

Dalam Pasal 4 Tap MPR tersebut, P4 merupakan penuntun dan pegangan hidup

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara

Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan

lembaga kemasyarakatan, baik di pusat mapun daerah dan dilaksanakan secara

bulat dan utuh .

Dalam pelaksanaannya, pemerintah membentuk Badan Pembinaan

Pendidikan Pedoman Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila BP . BP berfungsi untuk melakukan …pembinaan pendidikan P

53 Ibid., 35-37.

54 Eka berarti satu atau tunggal. Prasetia berarti janji/tekad. Panca artinya lima dan

(23)

secara teratur, terarah dan terus menerus berdasarkan kebijaksanaan, program

serta metoda yang setepat-tepatnya . Badan ini berkedudukan langsung di

bawah Presiden, bersifat non-departemental tetapi berada di lingkungan

pemerintahan yang secara khusus bertugas melaksanakan pembinaan

pendidikan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.55

Dalam prakteknya, BP7 ini berkoordinasi dengan Tim Penasihat Presiden

tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang

disingkat P7. Tim ini mengkhususkan pada materi dan pendidikan P4. BP7 dan

P7 inilah yang melaksanakan kerja-kerja ideologis untuk mengamankan tafsir

terhadap Pancasila.56

Dalam Bahan Penataran P4 disebutkan, latar belakang perlunya P4 salah

satunya adalah munculnya berbagai peristiwa dan pergolakan politik sampai

dengan pemberontakan bersenjata, yang menurut pemerintah, memiliki tujuan

akhir merubah Pancasila sebagai dasar negara.57 Situasi politik yang dimaksud

salah satunya adalah macetnya sidang Konstituante yang kemudian harus

diakhiri dengan dikeluarkannya Dekrit pada 5 Juli 1959. Sementara,

pemberontakan yang dimaksud antara lain, PKI di Madiun pada 1948, Darul

Islam, pemberontakan PKI yang kedua pada tahun 1965. Perjalanan Pancasila

kerapkali dihadapkan pada usaha untuk menyusupkan ideologi lain yang

bertentangan dengan nilai Pancasila itu sendiri. Pemerintah Orde Baru menyebut Nasakom dan sosialisme )ndonesia yang dinilai sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia sebagai penyimpangan yang bersifat elementer.58

55 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1979 tentang Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

56 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 704.

57 Bahan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Undang-undang

Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, digandakan dari Buku Penataran P-4 terbitan BP-7 Pusat tahun 1990, 10.

(24)

Sesuai dengan namanya, maka P4 ini menjadikan bangsa Indonesia tidak

sekadar memiliki Pancasila sebagai kesepakatan nasional dengan rumusannya

yang umum, tetapi juga pedoman untuk menghayati dan mengamalkannya.59

P4 dikeluarkan pada masa Rencana Pembangunan Lima Tahun III

(Repelita) III yang dimulai pada 1978-1983. Pancasila, menurut Michael Morfit,

penyusunan P4 dimaksudkan untuk menunjukan pemahaman mereka yang

objektif dan legitimate tentang Pancasila. Tetapi, lanjut Morfit disini justru muncul ketidakpuasan intelektual atas karakter samar dan statis Pancasila

sebagai ideologi, yang memunculkan kesan sulitnya strategi pembangunan

pemerintahan Orde Baru.60

Kata kunci yang muncul dalam Repelita III antara lain, pemerataan, trilogi pembangunan dan delapan jalur pemerataan. Melalui program ini, Pancasila akhirnya lebih berfungsi sebagai pertahanan, ketimbang mobilisasi.61 Itu

dipahami dalam arti luas bahwa Pancasila dapat merangkul kebudayaan dan

agama yang sangat beragam. Namun, fungsionalisasi sebagai Pancasila sebagai

payung itu tidak kemudian tidak merangsang dan membangkitkan masyarakat

dalam proses pembangunan dan tindakan.

Wacana gotong royong yang sudah dikenal pada masa Orde Lama, juga

dikembangkan pada era Orde Baru. Bedanya, jika pada masa Orde Lama kata

gotong royong digunakan untuk menggambarkan interaksi antar kelompok

masyarakat yang kemudian membangun bangsa, pada era Orde Baru term

tersebut digunakan sebagai alat intervensi negara terhadap kehidupan

masyarakat desa.62

59 Ibid., 20.

60 Michael Morfit, Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order

Government , Asian Survey, Vol. 21, No. 8 (Aug., 1981), 845. 61 Ibid., 846.

(25)

Gotong royong, pada masa Orde Baru ditopang oleh Instruksi Presiden

(Inpres) Desa sebagai kuasa politis dan kata-kata lain seperti swadaya,

kesadaran, spontanitas dan ikhlas. Periode Orde Baru, mungkin menjadi masa

dimana produksi kebudayaan banyak diterjemahkan secara politis. Tak hanya

itu, Orde Baru juga berhasil melakukan konstruksi terhadap womanhood atau keperempuanan yang tercermin misalnya dalam institusi PKK.63

Melanjutkan apa yang dilakukan Soekarno, Soeharto juga memberikan

gelar pahlawan. Ada pahlawan kemerdekaan nasional (PKN), pahlawan nasional

(PN), pahlawan proklamator (PP) atau pahlawan revolusi (PR). Ada juga

pahlawan emansipasi wanita yang secara kultural, dilekatkan pada figur RA.

Kartini.

Ketika nama-nama itu telah dikenalkan, maka bangsa Indonesia

diakrabkan dengan sejarah perjuangannya, kontribusi bagi revolusi, senjata

yang digunakan, balatentara dan strategi perang serta pernak-pernik lainnya.

Terhadap kegigihan mereka, 10 November kemudian dijadikan sebagai hari

untuk memeringati jasa-jasanya. Dibuatlah pula tempat penguburan khusus bagi

para pahlawan di Kalibata, Jakarta.

Perlu juga disebutkan disini ritus-ritus lain untuk menghormati para

pahlawan ini. Sebut saja misalnya apel kehormatan yang dilaksanakan pada

malam hari di taman makam pahlawan. Ritual ini biasanya dilakukan oleh unit

angkatan bersenjata, kelompok pekerja, pegawai atau pramuka. Disamping itu

mengheningkan cipta juga kerapkali menyelimuti dan mewarnai upacara pada

hari pahlawan, hari kemerdekaan 17 Agustus, dan upacara kenegaraan.

Ritus lain bagi para pahlawan juga bisa kita temukan dalam kegiatan ziarah

ke taman makam pahlawan. Dua pemimpin pertama bangsa ini, Soekarno dan

Soeharto tidak pernah melewatkan momen ini, meski ada perbedaan dalam

63 Julia A. Suryakusuma, State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New

(26)

aksentuasinya. Pemimpin-pemimpin negara tidak pernah alpa untuk

mengunjungi taman makam pahlawan meski sekadar untuk memberi

penghormatan dan menabur bunga. Ritus yang juga tidak boleh kita lewatkan

dalam mengingat pahlawan adalah napak tilas. Akhir tahun 70-an, napak tilas

mulai diperkenalkan untuk menghubungkan dua rute bersejarah.64 Tahun 1977

ada kegiatan napak tilas yang diadakan dengan rute dari makam MH Tamrin

menuju Taman Makam Pahlawan Nasional di Kalibata. Kegiatan napak tilas juga

difungsikan sebagai upaya untuk membangkitkan episode sejarah masa lalu

dalam kehidupan saat ini. Taruhlah misalnya kegiatan napak tilas rute gerilya

Jenderal Sudirman di Jawa Tengah.

Di luar ritus-ritus tersebut, taman makam pahlawan tak dikenal di Kalibata,

tiba-tiba menjadi sentra dari segala bentuk peringatan terhadap jasa pahlawan.

Taman makam pahlawan Kalibata yang diresmikan tanggal 10 November 1974

itu menjadi sentrum dari ritual pada hari pahlawan. Dalam peresmian yang

dihadiri oleh Presiden Soeharto itu juga dilakukan oleh pemakaman kembali

tulang belulang jasad pejuang pemudi dari Surabaya yang terbunuh pada hari

pertama pertempuran dan dimakamkan di Surabaya.

Soeharto menjalankan Pancasila dengan citra Jawa yang sangat kental.65 Ini

terlihat, terutama, pada masa-masa awal kekuasaannya. Ken Ward memang

masih memperdebatkan apakah pengaruh Javanism (Kejawen) yang ada dalam diri Soeharto memiliki pengaruh dan berdampak pada cara pandangnya

terhadap kekuasaan. Tetapi seperti tergambar dalam cara dia mengontrol

perilakunya, Soeharto sangat menekankan ketenangan batin dalam yang

kemudian terefleksikan dalam ketenangan geraknya.

64 Klaus H. Schreiner, Penciptaan Pahlawan-pahlawan Nasional: Dari Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru, 1959- 99 , dalam (enk Schulte Nordholt ed , Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (Yogyakarta: LKiS, 2005), 411.

65 Ken Ward, Soeharto’s Javanese Pancasila , dalam Edward Aspinall and Greg Fealy,

(27)

Soeharto merupakan sosok yang masuk dalam kategori an act of faith

(perbuatan yang mendasarkan pada keyakinan) bukan tipe manusia model an act of reason (tindakan berdasar akal).66 Tipe yang kedua itu dimiliki oleh

Soekarno. Saat berhadapan dengan peristiwa 30 September 1965, terlihat sekali

bagaimana perbedaan keduanya. Soekarno begitu sangat penuh pertimbangan

rasional, ketika ada tuntutan membubarkan PKI. PKI memiliki masa yang besar

dengan kompetensi teoritik dan praksis yang teruji sejarah. Islam, meski besar

tapi tak sesistematis PKI dalam gerakannya.67 Pertimbangan yang terlalu banyak

itulah yang membuat Soekarno tampak ragu. Itulah titik perbedaan antara

Soekarno dengan Soeharto. O.G. Roeder, penulis biografi Soeharto, mengutip salah satu pernyataan sebagai bentuk keyakinan itu, Dari pengalaman -pengalaman dan kenyataan-kenyataan, saya dapat mengetahui betapa bahaya

yang akan ditimbulkan oleh Partai Komunis .68

Masih menurut Roeder, jika dilihat dari kacamata kaum rasionalis,

pandangan keagamaan Soeharto memang kadang terkesan naif.69 Saat ia

mengembangkan aspek pembangunan yang rasional di satu sisi, Suhato tetap

mengembangkan kekuatan batin. Tentang hal ini Soeharto memiliki alasannya: Karena itu tidak dapat lain bahwa masalah-masalah ekonomi, sosial, politik, pertahanan keamanan, dan pembangunan pada umumnya, harus dikembangkan

di atas kerangka dasar pandangan hidup yang mencerminkan cita-cita yang dianggap baik oleh suatu bangsa .70

66 Kuntowijoyo, An Act of Reason dan an Act of Faith dalam Sejarah )ndonesia , Kompas, 24 Maret 1998. Lihat juga Eriyanto, Kekuasaan Otoriter: Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni (Studi atas Pidato-pidato Politik Soeharto) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 31-32.

67 Eriyanto, Kekuasaan Otoriter . . . 32-33.

68 O.G. Roeder, The Smiling General: The President Soeharto of Indonesia, terj. Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (Jakarta: Gunung Agung, 1984), 27.

69 Ibid., 13.

(28)

Soeharto sangat memegang erat kepemimpinan Jawa seperti etik

kehormatan dan tingkah laku. Ini tercermin dalam prinsip sing becik ketitik lan sing olo ketoro yang berarti bahwa kebaikan akan menang dan kejahatan tidak bisa disembunyikan selama-lamanya. Roeder menggambarkan salah satu

aktivitas politik kenegaraan Soeharto yang dibumbui dengan nuansa

kebudayaan.71 Saat akan melawat ke Amerika Serikat untuk kali yang pertama,

Soeharto menyaksikan pagelaran wayang kulit di Istana dengan lakon Kreshna Duta, sebagai jelmaan dari Batara Wishnu, Pelindung Keadilan dan Kebenaran.72

Dengan menyandarkan pada semangat kejawaan itulah Soeharto berusaha

mendorong pembangunan. Meski menerima anasir-anasir modernitas, tetapi

Soeharto tetap memberi warna Jawanya. Ini misalnya bisa kita lihat ketika

Indonesia membuat Sistem Komunikasi Satelit Domestik. Soeharto

mengingatkan tentang sejarah Mahapatih Gajah Mada. Gajah Mada pernah

bersumpah tidak akan memakan buah Palapa sebelum persatuan dan kesatuan

Kerajaan Majapahit menjadi kenyataan. Soeharto berkata Sekarang persatuan

dan kesatuan Nusantara telah terwujud. Malahan, harus semakin kita perkokoh.

Kekokohan itu akan makin kita perteguh dengan meluncurnya satelit di tahun

depan yang merupakan bagian penting daripada Sistem Satelit Domestik.

Dengan sistem ini hubungan komunikasi dari satu tempat ke tempat lain di

seluruh Indonesia menjadi lancar dan cepat. Karena itulah Sistem Satelit Domestik itu kita beri nama ’Palapa’ sebagai lambang terjelmanya sumpah Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara .73

Seperti digambarkan Anderson, bahwa kekuasaan dalam konsepsi Jawa

bersifat terpusat, monopolistik, yang karenanya tidak mengenal pembagian

kekuasaan. Kekuasaan juga berkaitan dengan kehalusan. Semangat halus dalam

konteks ini adalah bahwa ia bisa menguasai diri, elegan, perasa, menghormati

71 Ibid., 15.

72 Ibid., 15.

(29)

dan tepa selira. Dengan konsepsi seperti itu, maka kekuasaan termanifestasikan dalam persatuan dan kesatuan. Konsepsi ini merupakan perlambang

keberhasilan sebuah kekuasaan. Selain kesatuan, obsesi Soeharto adalah

keselarasan dan kekeluargaan. Kepala negara dan pemerintahan harus

ditempatkan sebagai kepala rumah tangga dan hubungan antar kelompok politik

dianggap sebagai hubungan saudara dalam sebuah keluarga.74

Dhakidae menganalisis bahwa Pancasila di era Orde Baru pertama-tama

dihubungkan dengan kelompok kiri yang anti Pancasila . Tanggal 30 September

kemudian ditetapkan sebagai hari pengkhianatan dan 1 Oktober sebagai hari

dimana Pancasila terbukti sakti dari rongrongan kelompok yang dianggap anti Pancasila . Jadilah 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Monumen Kesaktian Pancasila dijadikan sebagai alat pengingat dan

pembentuk pengetahuan saktinya Pancasila.75 Tak hanya melalui monumen,

produksi pengetahuan tentang Kesaktian Pancasila juga dihadirkan melalui Film

Pengkhianatan Gerakan 30 September, sebagai tafsir resmi pemerintah.76

Padahal kata Robert Cribb, seperti dikutip Mc. Gregor, dalam Pancasila tidak

dapat diketemukan alasan mengapa orang komunis harus dibunuh, dan bukan,

misalnya dididik kembali dengan halus .77

Pancasila di era Orde Baru, kata Dhakidae lebih pada soal discourse competition, pertandingan wacana, untuk memenangkan medan pertempuran diskursus politik .78 Tak heran jika di era ini lahir politik pengabaian (exclusion)

sehingga hanya memungkinkan satu tafsir terhadap Pancasila. Tahun 1985,

pemerintah mengeluarkan UU nomor 8 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Di

74 Eriyanto, Eriyanto, Kekuasaan Otoriter: . . 46.

75 Katharine E. McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of

Indonesia, terj. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Syarikat, 2008).

76 Ibid., 173-179.

77 Ibid., 163.

(30)

Pasal 2 ayat 1, UU itu mengatakan organisasi kemasyarakatan berasaskan

Pancasila sebagai satu-satunya asas. Pasal 16 menyebutkan Pemerintah

membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan,

dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta

ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya . Dengan

begitu tidak ada organisasi masyarakat atau organisasi agama sekalipun yang

tidak berdasarkan Pancasila.

Kaitannya dengan Komunisme, sebelumnya pemerintah telah

mengeluarkan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai

Komunis Indonesia Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang diseluruh Wilayah

Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap

Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran

Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Dalam persoalan agama, Komunisme pula yang dijadikan sebagai musuh

bersama agama-agama. Ciri dari pergulatan agama di era Orde Baru mula-mula

ditandai oleh bangkrutnya Komunisme dan pertumbuhan agama secara

signifikan di panggung politik.79 Identifikasi Komunisme sebagai ateisme dan

anti-agama memberikan justifikasi agar warga negara berafiliasi kepada salah

satu agama. Alhasil, situasi ini menyebabkan terjadinya banyak konversi,

terutama kepada agama Kristen dan sedikit ke Islam.80 Rupanya persaingan

keduanya menemukan momentumnya di era Orde Baru. Kelompok Kristen

mengembangkan retorika Nasionalis sementara kelompok muslim

menggunakan pembelaan sejarah dan kultural.81 Pendek kata, kontestasi

79 Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New

Order (Amsterdam University Press, 2006) 61.

80 Avery T. Willis, Indonesian Revival: Why Two Millions Came to Christ (South Pasadena: William Carey Library, 1978), Singgih Nugroho, Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa ( Yogyakarta: Syarikat, 2008).

(31)

kehidupan agama pada masa Orde Baru ditandai oleh sebuah perasaan terancam

berlabel Islamisasi dan Kristenisasi.82

Politik pengabaian atas nama national and character building terjadi pada era Orde Baru. Dalam soal perubahan nama, pemerintah mengeluarkan

Keputusan Presidium Kabinet no. 127/V/Kep/12/1966 tentang Peraturan Ganti

Nama bagi WNI yang memakai nama Cina. Bentuk pembatasan lainnya ada

dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama,

Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Instruksi ini sangat jelas melarang

diekspresikannya agama dan kepercayaan serta adat Cina. Agama dan

kepercayaan yang dimaksud salah satunya tentu merujuk pada Khonghucu

sebagai agama yang berasal dari Cina.

Douglas Ramage dalam Politics in Indonesia , menunjukan bahwa

Indonesia adalah negara yang ...made more of ideology than others .83 Indonesia,

khususnya para elit sangat menekankan pentingnya ideologi. Selama hampir 30

tahun, Orde Baru dirasa memerlukan dasar negara secara konstitusional dan

melarang ideologi non-negara lain karena dikhawatarikan akan menjadi jejaring primordial ke masyarakat.84 Indonesia is based on an ideology of limits, kata

Ramage.85

Narasi Pancasila Gus Dur: Theologizing Pancasila

Setelah Soeharto jatuh, tampuk kepemimpinan di Indonesia beralih ke

tangan BJ. Habiebie untuk masa yang tidak terlalu lama. Lalu, Gus Dur86 terpilih

82 Ibid. Simak juga dalam Fatimah Hussein, Muslim-Christian Relations in the New Order

Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Percpectives (Bandung: Mizan, 2005), 116-126. 83 Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of

Tolerance (Taylor & Francis e-Library, 2005), 123. 84 Ibid.

85 Ibid.

86 Untuk biografi Gus Dur bisa dilihat dalam Greg Barton, Abdurrahman Wahid: Muslim

Democrat, Indonesian President (University of New South Wales Press, 2002). Greg Barton,

(32)

sebagai presiden ke-4 pada bulan Oktober tahun 1999. Seperti yang tergambar

dalam aktifitasnya saat di PBNU, watak reformis dan akomodasionis Gus Dur

memberikan optimisme dari pelbagai kalangan. Khususnya adalah kelompok

minoritas agama, etnis dan gender lainnya karena ia memang telah

mengkampanyekan toleransi agama dan kerukunan hidup sejak lama. Bahkan

Gus Dur memasukan beberapa anggota kabinet dari kelompok Kristen, Katolik,

Hindu dan Buddha. Dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur melanjutkan

aktifitasnya dalam mempromosikan toleransi dan menunjukan komitmennya

terhadap kebebasan beragama dengan memanggil para pemuka agama Hindu,

Buddha, Shikh dan lainnya dalam festival agama-agama.

Meski Gus Dur memiliki wawasan kebangsaan dan keagamaan sama

baiknya, jalan yang ditempuh Gus Dur tidaklah lapang. Ia menghadapi banyak tantangan karena kekayaan konflik yang diwariskan Orde Baru sangatlah luas. Dalam laporan tahun 2000 yang dikeluarkan Department of State, Amerika Serikat tergambar jelas bagaimana warisan konflik dan diskriminasi itu

membentang di hadapan Gus Dur.

Laporan itu mengatakan bahwa pembatasan muncul dalam kehidupan

keagamaan, termasuk di dalamnya adalah soal agama yang diakui oleh negara.

Sebagai contoh, sejumlah regulasi seperti UU No.1 PNPS/1965 tentang

penodaan agama menjadi alat untuk mengekang ekspresi keberagamaan

kelompok tertentu. Kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan juga dialami oleh kelompok minoritas seperti Jehovah Witness, Darul Arqam, Baha’i. Penganut keyakinan di luar agama yang enam, harus mengintegrasikan diri ke

agama yang 5 tersebut. Seperti penganut agama Sikhs yang harus masuk ke

agama Hindu. 87

87 Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor U.S. Department of State, Annual

(33)

Jadi bisa dibayangkan bagaimana beratnya beban yang dipikul Gus Dur

ketika ia dipercaya untuk menakohdai negara. Belum lagi misalnya ketika ia

dihadapkan pada konflik etno-religi di berbagai daerah seperti Sampit, Ambon,

Poso dan lainnya. Meski begitu sosok sang presiden yang dikenal sebagai

negarawan yang berwatak pluralis-demokratis, menebarkan asa yang tinggi

akan terhapusnya diskriminasi itu.

Gus Dur menyatakan akan konsisten untuk menjaga keutuhan demokrasi

demi terjaganya harkat dan martabat semua elemen bangsa. Ketika terpilih

menjadi Presiden ke-4, Gus Dur memberikan sambutannya yang padat, namun

penuh makna. Dalam sambutan itu, Gus Dur mengatakan:

Demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi. Karena itu, saya berharap bahwa kita semua sebagai warga dari bangsa Indonesia sanggup memahami hal ini dan akan tetap menjunjung demokrasi sebagai sendi kehidupan kita menuju masa yang akan datang. Hanya dengan cara seperti itu, kita dapat menegakkan kedaulatan hukum, kebebasan berbicara, persamaan hak bagi semua orang tanpa memandang perbedaan keturunan, perbedaan bahasa, perbedaan budaya dan perbedaan agama.88

Gus Dur menyadari bahwa konflik yang bergejolak bukanlah perkara yang

gampang diselesaikan. Pada sambutan kenegaraan menjelang Proklamasi

Kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 2000, ia menyinggung hal tersebut.

Walaupun disharmoni sosial masih terus berlangsung, terutama di wilayah Maluku dan Maluku Utara, tidak seyogianya kita berputus asa. Nilai-nilai budaya kita yang banyak mengandung kearifan untuk menghargai orang atau kelompok lain, belum punah. Perbedaan suku, agama, ras, ataupun golongan selama ini telah biasa kita lihat sebagai bagian azasi dari kemajemukan. Banyak di antara kita yang menyadari bahwa konflik yang terjadi itu

88 Abdurrahman Wahid, Pidato Presiden Terpilih di Hadapan Majelis Permusyawaratan

Referensi

Dokumen terkait

Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu,

M asalah ini juga mengakibatkan kemungkinan kesalahan penyampaian informasi permohonan cuti dari karyawan kepada Manager bagiannya atau bahkan kepada Personnel staff

Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) bagi Lembaga Kursus dan Pelatihan dan satuan pendidikan lainnya adalah program yang diselenggarakan oleh Lembaga Kursus dan Pelatihan maupun

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan definisi konsep kinerja guru merupakan hasil pekerjaan atau prestasi kerja yang dilakukan

Bapak Ahmad Jazuli, M.Kom, selaku Ketua Program Studi Teknik Informatika Universitas Muria Kudus dan selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan

Berdasarkan contoh yang diberikan merupakan sistem persamaan linear kompleks yang tidak konsisten dan dengan menggunakan langkah-langkah SVD dalam penyelesaian sistem

Jadi, kompetensi pedagogik adalah kemampuan seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran yang berhubungan dengan peserta didik, meliputi pemahaman wawasan atau

Anggaran-belandja negara merupakan garis politik Pemerintah untuk tahun jang bersangkutan dan instruksi bagi pentjelenggara tugas Pemerintah sampai berapa