BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pengertian tentang bahasa sangat beraneka ragam, bergantung kepada
teori apa yang dipakai. Setiap teori mempunyai definisi yang berbeda antara yang
satu dengan yang lain. Ada berbagai definisi mengenai bahasa yang dinyatakan
oleh para pakar linguistik, namun hakikat bahasa tetaplah sama. Salah satu di
antaranya yaitu bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa
lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1984:16).
Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Di dalam
masyarakat pasti terjalin suatu komunikasi. Untuk keperluan komunikasi, maka
digunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa. Pada hakikatnya, manusia
menggunakan bahasa untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat, dan
keinginan kepada orang lain dan berperan dalam perkembangan berbagai macam
aspek kehidupan manusia (Sutedi, 2003:2). Selain itu, dengan adanya bahasa
sebagai alat komunikasi, maka semua yang ada di sekitar manusia seperti
peristiwa-peristiwa, hasil cipta karya manusia dan sebagainya mendapat
tanggapan dalam pikiran manusia, kemudian disusun dan diungkapkan kembali
kepada orang lain sebagai bahan komunikasi.
Bahasa tidak terlepas dari kalimat yang mengandung makna. Setiap
bahasa memiliki struktur kalimatnya masing-masing dan setiap unsur kalimat
memiliki fungsinya masing-masing. Semua unsur kalimat tersebut saling
pendengar atau lawan bicara. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman untuk
mengetahui tata bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa tersebut.
Peranan bahasa tidak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga
sebagai sarana integrasi dan adaptasi serta untuk memahami maksud orang lain,
maka tidak sedikit orang yang mempelajari bahasa asing, khusunya bahasa dari
bangsa-bangsa yang telah maju seperti bahasa Inggris, Prancis, Jepang, Jerman
dan lain-lain. Hal ini terbukti, di mana saat ini bahasa Jepang menjadi salah satu
bahasa asing yang banyak diminati oleh orang Indonesia baik pelajar, mahasiswa,
pekerja ataupun siapa saja yang memiliki minat terhadap bahasa Jepang.
Agar kita dapat berkomunikasi dengan orang Jepang dan memahami
maksud mereka, maka kita harus mampu menguasai bahasa yang mereka gunakan
dalam kehidupan sehari-hari, baik disampaikan secara lisan maupun tulisan.
Namun, tidak mudah memahami konsep tata bahasa Jepang karena struktur
kalimatnya sangat berbeda dengan bahasa Indonesia. Strukur kalimat bahasa
Jepang menggunakan susunan pola Subjek-Objek-Predikat (SOP). Sedangkan
bahasa Indonesia menggunakan susunan pola Subjek-Predikat-Objek (SPO).
Selain masalah struktur kalimat (sintaksis), masalah lainnya yaitu makna kalimat
(semantik). Contohnya dalam memaknai kalimat pasif.
例文: 私は タイ人の友達にタイ料理を教えられた。
Watashi wa tai jin no tomodachi ni tai ryouri wo oshierareta.
(Saya diajarkan masakan Thailand oleh teman orang Thailand).
(Sunagawa, 1998:284)
Apabila dilihat dari segi struktur kalimat, maka kalimat di atas termasuk
kalimat pasif (ukemi atau judoubun). Penggunaan kalimat pasif dalam bahasa
karena merasa terganggu atau terbebani oleh perbuatan seseorang (Sutedi,
2008:79). Oleh karena itu, jika dilihat dari segi makna, kalimat tersebut bermakna
gangguan bagi si penderita (saya) atau si penderita tidak merasa senang setelah
diajarkan masakan Thailand oleh si pelaku (teman orang Thailand). Jadi, jika
ingin menyampaikan makna atau maksud senang, tidak digunakan kalimat pasif
seperti yang di atas, tetapi menggunakan pola kalimat “...te morau / te
itadaku「~て もらう/ ~て いただく」.
例文: 私は タイ人の友達にタイ料理を教えてもらった
Watashi wa tai jin no tomodachi ni tai ryouri wo oshiete moratta.
。
(Saya diajarkan masakan Thailand oleh teman orang Thailand).
(Sunagawa, 1998:284)
Pola pikir yang seperti ini tidak ada dalam tata bahasa Indonesia,
sehingga kesalahan berbahasa seperti di atas sering dilakukan oleh orang asing
yang hendak mempelajari bahasa Jepang. Karena setiap bahasa mempunyai aturan
tata bahasanya masing-masing termasuk bahasa Jepang. Untuk itu, perlu sekali
memahami tentang aturan tata bahasa yang terdapat pada suatu bahasa. Hal ini
dilakukan untuk menghasilkan bahasa yang komunikatif.
Tata bahasa adalah pengetahuan atau pembelajaran mengenai
pembentukan kata-kata dan penyusunan kata-kata dalam kalimat
(Poerwadarminta, 1976:1024). Apabila kata-kata digabungkan, maka akan
membentuk unsur kalimat. Lalu apabila unsur-unsur kalimat itu digabungkan,
maka akan membentuk sebuah kalimat. Di dalam pembentukan itu terdapat
masing-masing aturannya. Aturan-aturan yang umum dan sistematis di dalam
masing-masing bahasa itu disebut gramatika (Katoo dalam Dahidi dan Sudjianto,
Unsur kalimat dalam bahasa Jepang secara garis besarnya terdiri dari: (1)
subjek (shugo/主語), (2) predikat (jutsugo/述語), (3) objek (taishougo/対象語),
(4) keterangan (joukyougo/状況語), (5) modifikator (shuushokugo/修飾語) dan
(6) konjungsi (setsuzokugo/接続語). Masing-masing unsur pembentuk kalimat
tergolong ke dalam kelas kata yang berbeda-beda (Sutedi, 2008:73). Pembagian
kelas kata dalam bahasa Jepang disebut hinshi bunrui. Hashimoto dalam Sutedi
(2008:26) menyebutkan bahwa terdapat 9 macam kelas kata. Yaitu: doushi,
keiyoushi, meishi (futsuu, daimeishi, suushi), fukushi, fukutaishi (rentaishi),
setsuzokushi, kandoushi, jodoushi dan joshi.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai hinshi (kelas kata).
Karena ada beberapa kata yang termasuk ke dalam dua kelas kata sekaligus atau
lebih. Salah satu contohnya yaitu kata mou dan ato. Kedua kata tersebut bisa
berfungsi sebagai fukushi juga rentaishi. Bahkan kata ato juga dipakai sebagai
kata sambung (setsuzokushi). Untuk itu mari perhatikan contoh kalimat di bawah
ini.
例文:1. すみません、もう
Sumimasen, mou gofun koko ni kitekudasai.
五分ここに来てください。
(Maaf silakan datang ke sini lima menit lagi
(Sunagawa, 1998: 578)
).
2. この子はもう
Kono ko wa mou juu sai dakara, juubun jiko no shounin ni nareru.
十才だから、十分事故の証人になれる。
(Anak ini karena sudah
(Sunagawa, 1998:580)
berumur 10 tahun, cukup bisa menjadi saksi
3. もう
Mou sukoshi de chikokusuru tokoro datta.
少しで遅刻するところだった。
(Sedikit lagi
(Noriko, Matsumoto dan Sasaki. 2010: 98) saya hampir telat).
4. この車は四人乗りだから、あと
Kono kuruma wa yon nin nori dakara, ato hitori noremasu yo.
一人乗れますよ。
(Mobil ini karena 4 orang yang naik, jadi bisa naik 1 orang lagi
(Hirotase dan Masayoshi, 1994:40)
).
5. 卒業式まであと
Sotsugyou shiki made ato isshuukan da.
一週間だ。
(Wisuda tinggal seminggu lagi
(Sunagawa, 1998:10)
).
6. 彼はアルバイトをやめたあと
Kare wa arubaito wo yameta ato, toku ni suru koto mo nakute mainichi
bura bura shiteiru.
、特にすることもなくて毎日
ぶらぶらしている。
(Setelah
(Sunagawa, 1998:8)
dia berhenti kerja paruh waktu, setiap harinya
bermalas-malasan karena tidak ada hal yang dikerjakan secara khusus).
Jika ditinjau dari letak dalam kalimat, mou pada kalimat nomor 1
menerangkan verba kuru dan kalimat nomor 3 menerangkan kata keterangan lain
yaitu sukoshi. Oleh karena itu, mou pada kalimat nomor 1 dan 3 termasuk kelas
kata fukushi. Sedangkan mou pada kalimat nomor 2 merupakan kelas kata
rentaishi, karena menerangkan nomina (suuryou no meishi) juusai. Untuk kata ato
pada kalimat nomor 4, 5 dan 6 masing-masing merupakan kelas kata fukushi
(menerangkan verba noreru), rentaishi (menerangkan kata nomina isshuukan) dan
Sedangkan apabila dilihat dari maknanya, mou pada kalimat 1 bermakna
“lagi”. Maksudnya adanya penambahan jumlah tertentu dari keadaan yang
sekarang. Lawan bicara diminta untuk datang 5 menit lagi/kemudian. Mou pada
kalimat nomor 2 bermakna “sudah”. Maksudnya menunjukkan hal yang sampai
pada batas akhir. Sedangkan mou pada kalimat nomor 3 mempunyai arti yang
sama dengan kalimat nomor 1, tetapi kondisinya berbeda. Ato pada kalimat nomor
4 dan 5 bermakna “lagi”. Maksudnya menunjukkan jumlah/angka yang tersisa
untuk tercapainya tujuan. Sedangkan ato pada kalimat nomor 6 artinya “setelah”.
Maksudnya ada pekerjaan berikutnya yang dikerjakan setelah pekerjaan pertama
selesai.
Melihat keenam contoh kalimat di atas dapat diketahui bahwa kata mou
dan ato tidak hanya menduduki satu kelas kata saja, melainkan bisa tergolong ke
dalam kelas kata yang lain juga. Juga fungsinya di dalam kalimat dan nuansa
maknanya berbeda-beda. Karena adanya persamaan dan perbedaan pada kata mou
dan ato tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan
judul “Analisis Nuansa Makna Kata Mou dan Ato dalam Kalimat Bahasa
Jepang”.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam bahasa Jepang banyak sinonim (ruigigo) dan sangat sulit untuk
bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu persatu. Oleh karena itu,
penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai nuansa makna kata mou dan ato.
Masing-masing memiliki makna yang hampir sama, tetapi nuansanya berbeda.
rentaishi atau setsuzokushi, maka harus memperhatikan letak keduanya di dalam
kalimat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis merumuskan masalah
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa makna kata mou dan ato secara umum?
2. Apa perbedaan nuansa makna kata mou dan ato dalam kalimat bahasa Jepang?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Agar pembahasan masalah tidak meluas sehingga objek pembahasan
dapat menjadi jelas, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan pada
pengertian makna mou dan ato secara umum menurut beberapa pakar linguistik
bahasa Jepang dan perbedaan nuansa makna dari kedua kata tersebut yang dapat
ditinjau dari letak dan konteks kalimat. Untuk masing-masing kata mou dan ato
akan dibahas lima buah contoh kalimat. Seluruh kalimat untuk penelitian ini
diambil secara acak dari beberapa majalah atau tabloid bahasa Jepang seperti
Nipponia tahun 2004 edisi 29 (sebanyak satu kalimat yang memakai kata ato),
Nyuusu Ga Wakaru edisi September 2006 (sebanyak satu kalimat yang memakai
kata mou dan tiga kalimat yang memakai kata ato), Nyuusu Ga Wakaru edisi
Februari 2007 (sebanyak dua kalimat yang memakai kata mou dan satu kalimat
yang memakai kata ato) dan buku Nihongo So-Matome N2 (Reading
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis nuansa makna mou dan
ato, yang mana kedua kata tersebut bisa ditinjau dari letak dan makna di dalam
sebuah kalimat. Hal ini menyangkut tataran bidang linguistik yaitu sintaksis dan
semantik (sintagmatik). Untuk menghindari kesalahan dan kekaburan dalam
menginterpretasikan makna dari kata-kata atau istilah yang digunakan dalam
penelitian ini, penulis mencoba mendefinisikan beberapa istilah linguistik
khususnya yang berkenaan dengan sintaksis dan semantik.
Ilmu linguistik adalah ilmu yang mengkaji tentang bahasa. Ilmu
linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan juga
seluk-beluk bahasa pada umumnya. Salah satu bidang kajian dari linguistik adalah
sintaksis dan semantik.
Istilah sintaksis dalam bahasa Jepang disebut tougoron 「統語論」 atau
sintakusu「シンタクス」yaitu cabang linguistik yang mengkaji tentang struktur
dan unsur-unsur pembentuk kalimat (Sutedi, 2008:63). Nitta (1997:14)
menjelaskan bahwa bidang garapan sintaksis adalah kalimat yang mencakup jenis
dan fungsinya, unsur-unsur pembentuknya serta struktur dan maknanya. Dengan
demikian, garapan sintaksis mencakup struktur frase, klausa dan kalimat,
ditambah dengan berbagai unsur lainnya.
Semantik adalah salah satu cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang
makna (Sutedi, 2003:103). Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Yunani yaitu “sema” (kata benda) yang berarti tanda dan lambang. Kata
kajian semantik antara lain makna kata, relasi makna, makna frase, dan makna
kalimat. Lalu objek kajian yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
dibahas ini adalah relasi makna khususnya sinonim. Karena dalam hal ini kata
mou dan ato adalah kata-kata yang memiliki arti hampir sama namun nuansanya
berbeda.
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007:267). Dua
buah ujaran atau lebih yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama.
Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor
tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan
faktor nuansa makna. Dalam bahasa Jepang sinonim disebut dengan istilah
ruigigo.
Menurut Ferdinand De Saussure dalam Chaer (2007:287), makna adalah
pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik.
Makna yang sama namun memiliki nuansa yang berbeda dalam kalimat berkaitan
dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat
antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer,
2007:297). Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi
makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna
(antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).
Sutedi (2003:114) berpendapat bahwa dalam bahasa Jepang ada dua
istilah tentang makna, yaitu kata imi 「意味」dan igi「意義」. Kata imi
satuan dari parole, sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun
(kalimat) sebagai wujud satuan dari langue.
Kalimat terbentuk dari perpaduan beberapa jenis kata (hinshi) yang
disusun berdasarkan pada aturan gramatikalnya (Sutedi, 2008:73). Menurut
Motojiro dalam Sudjianto (2004:147) mengklasifikasikan kelas kata menjadi 10
jenis yaitu :
1. Doushi (kata kerja)
2. Keiyoushi (kata sifat yang berakhiran -i)
3. Keiyoudoushi (kata sifat yang berakhiran –na)
4. Meishi (kata benda)
5. Fukushi (kata keterangan)
6. Rentaishi (pra kata benda)
7. Setsuzokushi (kata sambung)
8. Kandoushi (kata seru/kata panggilan)
9. Jodoushi (kopula/kata bantu kata kerja)
10. Joshi (partikel/kata bantu)
Dari semua kelas kata yang disebutkan di atas, fukushi dan rentaishi
memiliki ciri yang hampir sama, maka sering terjadi penyamaan di antara kedua
kelas kata tersebut. Oleh karena itu, penulis akan sedikit menjelaskan mengenai
Bunkachou dalam Sudjianto (1996:72) menyatakan bahwa fukushi ialah
kata yang dipakai untuk menerangkan yougen (verba, I, dan
adjektiva-na), tidak dapat menjadi subjek dan tidak mengenal konjugasi/deklinasi. Sudjianto
(1996:89) mengatakan letak fukushi kadang-kadang terpisah dari kata yang
diterangkannya karena terhalangi oleh beberapa kata. Walaupun demikian fukushi
selalu diletakkan sebelum kata yang diterangkannya itu.
Contoh :
1. Sukoshi + iku
fukushi verba
to kouban ga aru.
2. Kotoshi wa taihen + atsui
fukushi adjektiva-i .
3. Mochiron boku mo iku
fukushi verba .
Ada pula fukushi yang dipakai untuk menerangkan nomina dan
menerangkan fukushi yang lainnya (Sudjianto, 1996:73), misalnya :
a. Motto + hakkiri kotaenasai! fukushi fukushi
“Jawablah lebih jelas
b. Sore wa zutto + mukashi no koto desu. lagi!”.
fukushi meishi
“Itu adalah hal yang sudah sangat dahulu”
Taigen yang diterangkan oleh fukushi terbatas pada kata-kata yang menyatakan
tempat, arah, jumlah, waktu atau keadaan (Motojiro dalam Sudjianto, 1996:74). .
Rentaishi (prenomina) termasuk kelas kata yang berdiri sendiri (jiritsugo)
dan tidak mengenal konjugasi atau deklinasi, diletakkan sebelum taigen dalam
di depannya itu (Bunkachou dalam Sudjianto, 1996:90). Kata-kata yang termasuk
ke dalam rentaishi misalnya kono, sono, ano, dono, ookina, chiisana, okashina,
konna, sonna, anna dan sebagainya.
1.4.2 Kerangka Teori
Dalam sebuah penelitian diperlukan landasan atau acuan berpikir untuk
menganalisis dan memecahkan sebuah masalah. Oleh karenanya, perlu disusun
pokok-pokok pikiran yang dimuat oleh kerangka teori yang mendeskripsikan titik
tolak penelitian yang akan diamati. Dalam menganalisis makna yang terdapat
pada kata mou dan ato, maka penulis perlu memaparkan pendekatan apa yang
dipakai dan pengertian makna berdasarkan beberapa pakar linguistik.
Menurut Yule (2008:113), istilah syntax (sintaksis) berasal dari bahasa
Yunani yang mempunyai arti disusun bersama atau urutan penyusunan. Dengan
kata lain membahas letak suatu kata di dalam sebuah kalimat. Kalimat terbentuk
atas beberapa unsur, minimal memiliki unsur subjek atau predikat saja.
Masing-masing unsur kalimat berasal dari kelas kata yang berbeda. Untuk menganalisis
suatu kalimat terbentuk dari unsur dan kelas kata apa, maka diperlukan suatu
pendekatan. Yule (2008:105) menyebutkan bahwa :
直接構成素分析 (immediate constituent analysis) と呼ばれるのは分の中の小さな構成素「つまり、成分」がどのように 一緒になってより大きな構成素を形成するか、ということが明示でき るような技法が使われている。
Chokusetsu kouseiso bunseki to yobareru nowa bun no naka no chiisana kouseiso (tsumari, seibun) ga dono you ni issho ni natte yori ookina kouseiso wo keisei suru ka, to iu koto ga meiji dekiru you na gihou ga tsukawarete iru.
Contoh : The lucky boys saw the clowns at the circus and they cheered loudly.
(Anak laki-laki yang beruntung itu melihat badut di sirkus dan mereka
bersorak dengan keras).
(Yule, 2008:99)
Kalimat di atas merupakan kalimat majemuk / fukubun「複文」, karena terdiri
atas 2 klausa. Jika dipenggal berdasarkan unsur kalimatnya menjadi :
Klausa Utama : The lucky boys saw the clowns
修飾語 主語 述語 対象語 状況語 at the circus
Klausa Tambahan : And they cheered 接続語 主語 述語 状況語
loudly
Atau :
The lucky boys saw the clowns at the circus 冠詞 形容詞 名詞 動詞 冠詞 名詞 前置詞 冠詞 名詞 接続詞
and
they cheered 代名詞 動詞 副詞
loudly
Hubungan yang terbentuk antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu
tuturan yang tersusun secara berurutan (bersifat linear) disebut hubungan
sintagmatik (Kridalaksana, 1993:45). Dalam bahasa Jepang disebut henkei kisoku
yang artinya ‘aturan transformasi’. Yule (2008:122) menyebutkan bahwa :
こうした構成素の「移動」を行なうには、句構造規則によって生じた 構造内の要素(の位置)を変える、つまり、移動するような規則が必
要である。こうした規則を、変形規則 (transformational rules)
と呼んでいる。
Koushita kouseiso no [idou] wo okonau ni wa, kukouzou kisoku ni yotte shoujita kouzounai no youso (no ichi) wo kaeru, tsumari, idou suru you na
kisoku ga hitsuyou de aru. Koushita kisoku wo, henkei kisoku
(transformational rules) to yondeiru.
“Untuk mengadakan perpindahan dari unsur pembentuk semacam ini, dengan mengubah posisi/kedudukan dari unsur pembentuk dalam yang muncul berdasarkan peraturan struktur frase. Dengan kata lain, diperlukan peraturan untuk memindahkannya. Peraturan semacam ini disebut henkei kisoku
Contoh : George helped Myrna yesterday (George menolong Myrna kemarin).
Yesterday George helped Myrna (Kemarin George menolong Myrna).
Selain membahas kata mou dan ato dari segi unsur pembentuk kalimat,
penulis juga membahas makna kedua kata tersebut di dalam suatu kalimat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna adalah 1) arti; 2) maksud pembicara atau
penulis; 3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan
(Depdiknas, 2009:864). Dari beberapa definisi tersebut, penulis akan coba
menganalisis makna kata mou dan ato dalam kalimat berbahasa Jepang dengan
merujuk pada beberapa definisi di atas.
Kata mou「もう」memiliki beberapa makna dalam kalimat bahasa
Jepang. Seperti yang dijelaskan menurut pakar linguistik bahasa Jepang berikut
ini.
1. Hirotase dan Masayoshi (1994:41) menyebutkan mou mempunyai arti sebagai
berikut :
「さらに」の意味で、今の状態に加える数量。程度を表すときに使い ます。
(Sara ni) no imi de, ima no joutai ni kuwaeru suuryou. Teido wo arawasu toki ni tsukaimasu.
“Makna dari (sara ni : ditambah lagi) yaitu jumlah yang ditambahkan pada keadaan sekarang. Digunakan ketika menunjukkan derajat atau tingkatan”.
2. Sunagawa (1998:578) menyebutkan mou dengan pengertian sebagai berikut :
量などをさらに付け加えるのに使う。
Ryou nado wo sara ni tsuke kuwaeru noni tsukau.
“Digunakan untuk menambahkan jumlah/kuantitas dan lain-lain”.
3. Hayashi (1993:979) menjelaskan bahwa mou mempunyai makna sebagai
さらに加えて。みじかく「も」ということもある。
Sara ni kuwaete. Mijikaku (mo) to iu koto mo aru.
“Menambah lagi. Ada pula yang menyingkatnya dengan (mo)”.
Sedangkan kata ato「あと」mempunyai makna seperti yang dijelaskan
oleh pakar linguistik berikut ini.
1. Hirotase dan Masayoshi (1994:40-41) menjelaskan bahwa ato mempunyai
makna :
目標に達するまでの残り数や量を表すときに使います。「あと+数詞 (人、本、時間)」や「あと少し、あとちょっと」などの形で使いま す。
Mokuhyou ni tassuru made no nokori kazu ya ryou wo arawasu toki ni tsukaimasu. [ato + suushi (hito,hon,jikan) ya (ato sukoshi,ato chotto)] nado no katachi de tsukaimasu.
“Digunakan ketika menunjukkan jumlah dan angka yang tersisa dari sampai tercapainya tujuan. Digunakan dalam bentuk (ato diikuti kata bilangan seperti orang, batang dan waktu), (sedikit lagi)”.
2. Menurut Sunagawa (1998:8-10), makna ato「あと」adalah sebagai berikut :
今の状態に一定の数量が加わることを表す。その数量が加わればある ことがらが成立するための条件が整うということを表す場合に用いる 。
Ima no joutai ni ittei no suuryou ga kuwawaru koto wo arawasu. Sono suuryou ga kuwawareba aru kotogara ga seiritsu suru tame no jouken ga totonou to iu koto wo arawasu baai ni mochiiru.
“Menunjukkan hal bertambahnya jumlah tertentu pada keadaan sekarang. Digunakan pada keadaan yang menunjukkan syarat untuk terjadinya suatu hal akan tersedia, jika jumlah itu bertambah”.
3. Hayashi (1993:22) dalam bukunya Reikai Shinkokugo Jiten menyebutkan
bahwa ato mempunyai makna :
今後に残されたものを数える言いかた。
Kongo ni nokosareta mono wo kazoeru iikata.
Berdasarkan dari beberapa makna di atas, telah diketahui ada beberapa
makna mou dan ato. Untuk penelitian makna kedua kata tersebut, maka penulis
akan menggunakan teori makna mou dan ato yang dikemukakan oleh Hirotase dan
Masayoshi (1994:41), Sunagawa (1998:9-10) dan Hayashi (1993:979). Selain itu,
kedua kata tersebut tidak hanya didasarkan pada makna leksikalnya, tetapi juga
harus didasarkan pada makna kontekstualnya.
Makna sebagai objek kajian semantik yang tidak dapat diamati atau
diobservasi secara empiris. Kajian dapat dilakukan terhadap makna bunyi bahasa
(fonestem); makna-makna satuan leksikon yang disebut dengan makna leksikal;
satuan gramatikal yang disebut makna gramatikal; satuan sintaksis disebut dengan
makna sintaksis dan satuan wacana yang disebut dengan makna kontekstual
(Chaer, 2007:68).
Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik di atas, teori
makna yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori kontekstual.
Pateda (2001:116) menyebutkan bahwa makna kontekstual (contextual meaning)
atau makna situasional (situational meaning) muncul sebagai akibat hubungan
antara ujaran dengan konteks.
1.5 Tujuan dan Manfaat 1.5.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui makna mou dan ato secara umum.
2. Mengetahui perbedaan nuansa makna mou dan ato dalam kalimat
1.5.2 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk :
1. Menambah pengetahuan mengenai nuansa makna dalam bahasa
Jepang, khsusunya kata mou dan ato.
2. Membantu menambah referensi yang berkaitan dengan bidang
linguistik khsususnya kajian semantik untuk menunjang proses
pembelajaran bahasa Jepang.
1.6 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan
(library research). Metode kepustakaan adalah metode pengumpulan data yang
digunakan oleh penulis dengan menggunakan buku atau referensi yang berkaitan
dengan masalah apa yang sedang dibahas. Sedangkan untuk teknik penyajian data
di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik deskriptif yaitu dengan
memberikan penjabaran-penjabaran dan uraian yang menggunakan kata-kata
(Mahsun, 2007:92).
Penelitian deskriptif mengumpulkan data-data yang diperoleh melalui
metode kepustakaan (library research). Dalam hal ini penulis mengumpulkan dan
menganalisis buku-buku dan data-data yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti, terutama buku-buku, majalah dan data-data yang berhubungan dengan
linguistik bahasa Jepang baik yang berbahasa Jepang maupun yang menggunakan