• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alienasi Atau Pembebasan?: Studi Mengenai Perspektif GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan terhadap Pembangunan Gedung Ibadah T2 752015027 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alienasi Atau Pembebasan?: Studi Mengenai Perspektif GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan terhadap Pembangunan Gedung Ibadah T2 752015027 BAB I"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan. Indonesia masih dikatakan sebagai Negara miskin, karena di dalamnya masih banyak yang berteriak karena kelaparan dan hidup yang tidak layak. Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan Provinsi ketiga di Indonesia yang masih ada dalam kategori Provinsi miskin, yaitu tercatat dengan presentase 22,58%.1 Kemiskinan yang terjadi di NTT tidak saja berada di satu titik wilayah NTT, tetapi mencakup beberapa wilayah atau Kabupaten yang tergolong daerah penduduk miskin.

Salah satu Kabupaten miskin di NTT adalah Kabupaten Kupang yang terletak di bagian Timur Kota Kupang. Angka kemiskinan di Kabupaten Kupang dapat dikatakan cukup tinggi, yang mana mencapai 20,06% dengan indeks keparahan kemiskinan 3,28% dan 0,78%.2 Masih banyak masyarakat Kabupaten Kupang yang ketinggalan dalam pendidikan dan rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), dikarenakan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi dihadapi.

Hampir di setiap sudut Kabupaten Kupang dapat ditemukan penduduk miskin. Salah satu contohnya, dapat dilihat dalam kehidupan di Desa Tuapukan. Meskipun Desa Tuapukan bukanlah sebuah desa yang berada di pinggiran Kabupaten Kupang, akan tetapi desa Tuapukan masih dapat dikategorikan sebagai desa yang ketinggalan dalam pendidikan dan rendahnya SDM karena persoalan kemiskinan. Desa Tuapukan adalah desa Kristen, karena kurang lebih 85% masyarakat desa Tuapukan adalah warga gereja GMIT Zaitun

1

http://ideas-aceh.org/10-provinsi-termiskin-di-indonesia/ diakses pada 10 Mei 2016. 2

(2)

2

Tuapukan, dan masyarakat lainnya bergereja di gereja Kristen Katolik dan juga gereja Fajar Anugerah (salah satu gereja dari dedominasi GBI) yang juga terletak di desa Tuapukan. Dengan demikian, data kemiskinan terkait penduduk desa Tuapukan juga dapat diperoleh dari kehidupan warga gereja GMIT Zaitun. Sebagaimana tercatat berdasarkan hasil sensus yang dilakukan oleh Majelis Jemaat pada tahun 2014, yaitu warga GMIT Jemaat Zaitun berjumlah sebanyak 357 KK (Kepala Keluarga) yang terdiri dari 1.376 jiwa yakni 689 orang laki-laki dan 687 orang perempuan. Secara umum pekerjaan warga gereja setempat, adalah 85% Penyadap Lontar dan Petani,3 10% PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Honor, 5% TNI dan Polri.4

Berdasarkan data jumlah warga gereja dan pendidikan serta pekerjaan warga gereja, maka dapat diperhatikan bahwa pekerjaan pokok yang dilakukan oleh warga gereja setempat adalah penyedap lontar dan bertani. Hal tersebut dapat diasumsikan, bahwa GMIT Jemaat Zaitun berada di antara mereka yang belum mengalami perubahan sosial terkait persoalan ekonomi. Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa desa Tuapukan merupakan desa Kristen, maka meskipun di tengah kemiskinan atau persoalan sosial lainnya, warga gereja yang juga adalah masyarakat setempat masih dapat berpartisipasi dalam ikut serta membangun gedung ibadah yang megah.

Fenomena kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kupang khususnya desa Tuapukan, merupakan suatu permasalahan sosial yang kompleks. Di mana tanpa disadari ada dua hal yang telah berjalan bersama-sama, memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, dan memiliki pengaruh yang kuat. Hal tersebut terlihat dalam kehidupan religiositas yang tinggi dihidupi oleh warga gereja GMIT Jemaat Zaitun, yang mana

3

Musim panas Jemaat menyadap nira dan musim hujan mereka bekerja di kebun. Menyadap Nira merupakan pekerjaan pokok masyarakat setempat, sehingga Desa Tuapukan terkenal sebagai Desa pabrik gula lempeng (sejenis gula jawa atau gula merah) dan juga sebagai Desa Pohon Tuak (Lontar). Sedangkan di musim hujan masyarakat Desa Tuapukan sering menanam jagung, singkong dan beberapa jenis sayur-sayuran.

4

(3)

3

mampu menghadirkan sikap dalam membangun gedung ibadah yang megah di tengah persoalan sosial seperti kemiskinan. Artinya, bahwa warga gereja berada di tengah persoalan kemiskinan, tetapi hal tersebut tidak menjadi penghalang utama bagi mereka untuk membangun gedung ibadah yang dianggap sebagai rumah Tuhan, dan menjadi tempat persekutuan antara mereka dengan Tuhan.

Aloysius Pieris melihat kereligiusan dan kemiskinan sebagai matriks teologi di kehidupan orang Asia.5 Dalam hal ini, Pieris menyampaikan bahwa kemiskinan dan kereligiusan merupakan ciri khas yang dimiliki dan dihidupi di Asia. Dua hal tersebut memiliki keterkaitan satu sama lainnya hingga memberi pengaruh yang kuat bagi kehidupan orang Asia. Namun, sifat khas yang membedakan Asia dengan negara-negara miskin lainnya, ialah kereligiusan yang beragam.6 Dengan kata lain, dapat diketahui bahwa orang Asia tidak dapat meningkatkan nilai kereligiusan mereka apabila tidak ada keprihatinan terhadap kaum miskin di Asia, dan begitu juga kemiskinan di Asia tidak dapat ditanggulangi apabila tidak mempertimbangkan aspek kereligiusannya. Bagi Pieris, hal tersebut merupakan tantangan bagi gereja Asia dalam menemukan suatu titik tersembunyi yang mempertautkan kemiskinan dan kereligiusan.7

Oleh karena itu, Pieris kembali mempertanyakan, apakah bagi orang Asia kemiskinan secara otomatis dipahami sebagai penderitaan semata-mata? Ataukah ada nilai lain kemiskinan, yang potensial mendukung upaya memperoleh keselamatan, sehingga kemiskinan dapat juga disebut suatu kebajikan?8 Merespon pertanyaan di atas, maka menurut hemat penulis pertanyaan terkait kemiskinan sebagai penderitaan atau suatu kebajikan perlu disampaikan kepada warga gereja GMIT Zaitun. Artinya, bahwa dengan melihat gambaran singkat dari matriks teologi Asia yang diuraikan oleh Pieris, maka ada

5

Nico Syukur Dister,Teologi “iste atika 1 Allah Pe yela at (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 230. 6 Dister,

Teologi Sistematika 1, 231. 7

Dister, Teologi Sistematika 1, 232. 8

(4)

4

kemungkinan hal tersebut juga secara tidak sadar dihidupi oleh warga gereja (dalam hal ini masyarakat desa Tuapukan). Dari tahun ke tahun kemiskinan tidak begitu direspon dengan baik, sedangkan peningkatan nilai religius semakin dipertahankan di tengah konteks kemiskinan. Hal ini menujukkan, bahwa kemungkinan ada nilai lain kemiskinan dan kereligiusan yang dihidupi oleh warga gereja. Di mana, kemungkinan tersebut memiliki pengaruh yang kuat di dalam sikap pembangunan gedung ibadah (baca:rumah Tuhan) dibandingkan memperhatikan persoalan kemiskinan.

Gereja yang mengabarkan Injil di tengah Kekristenan, maka dengan sendirinya gereja juga diberikan peluang yang besar untuk mengekspresikan segala metode pengajaran berdasarkan doktrin gereja yang dihidupi. Di samping itu, gereja tidak saja diberikan ruang untuk mengabarkan Injil sebagai warta keselamatan. Akan tetapi, gereja juga diberikan kesempatan dengan mudah membangun gedung ibadah. Adanya peluang besar bagi gereja (GMIT) untuk membangun gedung ibadah, sehingga tidaklah mengherankan bila GMIT pada umumnya memiliki gedung ibadah yang besar dan megah.

(5)

5

sehingga biaya yang dipakai untuk pembangunan dapat digunakan dalam penanggulangan persoalan kemiskinan. Fenomena pembangunan gedung ibadah di GMIT, terkesan seperti perlombaan. Hal tersebut dikatakan suatu perlombaan, karena gereja-gereja selalu berpikir, mengutamakan, dan berupaya untuk membangun gedung ibadah yang besar dan megah. Sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan bergereja di GMIT pada umumnya, maka hal tersebut juga dilakukan oleh GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan. GMIT Jemaat Zaitun merupakan salah satu gereja yang berada di tengah konteks kemiskinan, dan GMIT Jemaat Zaitun juga merupakan salah satu gereja yang juga berupaya dalam membangun gedung ibadah.

Jalinan kemiskinan dan kereligiusan terjadi di desa Tuapukan. Nilai kereligiusan yang tinggi memampukan warga gereja untuk tetap berpartisipasi dalam membangun gedung ibadah. Kemiskinan yang terjadi di desa Tuapukan tidak menjadi penghalang bagi gereja dalam membangun gedung ibadah. Di mana gereja bersama warga gerejanya saat ini mampu dan telah berhasil membangun gedung ibadah yang megah dengan biaya yang cukup besar. Kurang lebih biaya yang tercatat dalam proses pembangunan gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun saat ini, telah mencapai 85% dalam penyelesaian pembangunan dengan menghabiskan biaya sebesar Rp. 1.470.000.000,- 9 melebihi dari budget awal, yaitu Rp. 845.485.000,-10 sedangkan pembangunan ini belum benar-benar selesai. Biaya yang tercatat merupakan tolok ukur kemewahan sebuah Gedung ibadah.

9

Data pengeluaran Pembangunan Gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun diperoleh berdasarkan pembukuan yang dibuat oleh Panitia pembangunan, yaitu Laporan Pertanggungjawaban Program Kerja Panitia Pembangunan Jemaat Zaitun Tuapukan Tahun Pelayanan 2014. Nominal Pengeluaran yang tercatat belum termasuk pembayaran ongkos tukang, dan lainnya. Pengeluaran sebesar Rp. 1.470.000.000,- merupakan pengeluaran pembangunan gedung ibadah yang meliputi, tahap pertama/pekerjaan galian dan fondasi (Rp.187.818.500,-), tahap kedua/pekerjaan sloof bawah, sloof atas dan atap (Rp.384.299.625,), tahap ketiga/pekerjaan tembok, konsistori, pembongkaran bangunan lama dan timbunan (Rp. 196.344.500,-), tahap keempat/pekerjaan lantai tempat majelis Jemaat, kusen pintu dan jendela, instalasi listrik, plesterean, balkon dan interior (Rp. 150.000.000,-), tahap kelima/pekerjaan plafon, lantai, cat dan kaca bagian atap depan (Rp. 300.000.000,-), dan tahap keenam/pekerjaan teras depan, menara dan lonceng gereja (150.000.000,-).

10

(6)

6

Salah satu alasan warga gereja antusias dalam berpartisipasi membangun gedung ibadah meskipun di tengah kekurangn ekonomi, karena warga gereja melihat gedung ibadah sebagai rumah Tuhan yang perlu dibangun dengan megah dan diperhatikan dengan baik.11 Warga gereja memahami gedung ibadah sebagai suatu tempat yang sakral, di mana gereja tersebut menjadi ruang bagi mereka untuk bersekutu dengan Tuhan.12 Konsep rumah Tuhan dan tempat persekutuan ini membuat warga gereja menghadirkan suatu sikap kerja sama yang baik, sehingga dengan segala upaya hingga saat ini warga gereja telah berhasil membangun GMIT Jemaat Zaitun menjadi gereja yang megah. Melihat fenomena demikian, maka yang menjadi pertanyaan, ialah apakah kehadiran gereja hanya untuk memperlihatkan simbol-simbol ataukah untuk mengembangkan ekonomi dan pendidikan warga gereja dan untuk membantu mengatasi persoalan sosial?

Pada prinsipnya, keberhasilan warga gereja dalam membangun gedung ibadah yang megah saat ini, bukanlah suatu sikap dan tindakan yang salah. Justru jika diperhatikan, maka gereja dan warga gerejanya perlu menerima sebuah apresiasi. Sebab dalam keterbatasan ekonomi yang dihadapi warga gereja, tidak menutup kemungkinan bagi gereja dan warga gereja untuk mewujudkan impian mereka dalam memiliki gedung ibadah (baca: rumah Tuhan) yang nyaman dan bagus. Akan tetapi, fenomena tersebut juga perlu kembali diperhatikan dengan baik oleh gereja atas keberadaannya di tengah konteks warga gereja yang mengalami persoalan sosial (baca:kemiskinan). Josef Widyatmadja dalam tulisannya tentang Yesus & Wong Cilik mengatakan bahwa, gereja-gereja di kota besar berlomba-lomba membangun gedung ibadah yang megah sambil mengabaikan keadaan makin meluasnya kemiskinan dan ketidakadilan.13 Gereja sering berpikir bahwa dengan membangun banyak gedung ibadah, mereka telah membangun kerajaan Allah di bumi

11 Pernyataan tersebut penulis dapatkan melalui wawancara penelitian penulisan Skripsi yang

dilakukan oleh penulis pada tahun 2015. 12

Wawancara Penulisan Skripsi, 2015. 13 Josef P. Widyatmadja,

(7)

7

untuk menyambut kedatangan Yesus.14 Menurut hemat penulis, apa yang dituliskan oleh Widyatmadja, merupakan suatu realitas yang juga dialami oleh GMIT pada umumnya dan juga GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan. Dalam kehidupan bergereja maka warga gereja memahami, bahwa dengan membangun gedung ibadah berarti membangun kerajaan Allah. Selain tulisan Widyatmadja, penulis juga tertarik dengan cara berpikir seorang teolog pembebasan, yaitu Gustavo Gutierrez. Di mana dalam upaya menyuarakan pembebasan di tengah kemiskinan yang terjadi di Amerika Latin, Gutierrez secara kritis menyampaikan, bahwa gereja seharusnya dapat mewujudkan diri dalam memproklamasikan karya pembebasan Kristus di tengah-tengah sejarah kemiskinan dan penindasan, atau menjadi perutusan pembebasan terhadap kemiskinan.15 Dengan kata lain, Guterrez ingin menyampaikan bahwa di tengah kemiskinan atau persoalan sosial, maka sebenarnya gereja memiliki peran penting dalam memberikan perubahan sosial atau memberikan pembebasan bagi mereka yang masih membiarkan diri terbelenggu dalam kemiskinan.

Fokus dari penelitian terhadap pembangunan gedung ibadah yang megah oleh jemaat, tidak bermaksud merombak gedung ibadah yang sudah ada. Akan tetapi, yang ingin diperhatikan ialah bagaimana gedung ibadah yang megah dibangun dapat digunakan untuk memerangi kemiskinan sebagaimana realitas yang dihidupi oleh masyarakat (dalam hal ini juga warga gereja) desa Tuapukan.

Gereja tidak saja sibuk dengan diri sendiri dan berupaya untuk meningkatkan kesadaran warga gereja akan partisipasi pembangunan gedung ibadah saja. Melainkan, perlu adanya upaya gereja dalam meningkatkan kesadaran warga gereja untuk berjuang meniadakan kemiskinan dalam kehidupan mereka, sehingga gereja yang adalah rumah Tuhan tidaklah hanya menjadi sebuah ruang alienasi sosial warga gereja dari realitas yang ada. Sebagaimana istilah yang digunakan oleh Karl Marx dalam melihat agama sebagai

14

Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik,37. 15 Martin Chen,

(8)

8

ruang alienasi, maka ada kemungkinan bahwa gereja bisa menjadi sebuah ruang alienasi sosial bagi warga gereja dari realitas yang sebenarnya mereka alami. Gereja dijadikan sebagai opium bagi warga gereja. Marx menggunakan istilah opium, karena menurut sepengatahuan Marx, opium adalah suatu zat narkotik dan halusinigenik, yang mana dapat menghilangkan rasa sakit dan sekaligus menciptakan fantasi.16 Meminjam dan melihat istilah yang digunakan oleh Marx, maka menurut hemat penulis ada kemungkinan warga gereja zaitun melihat gedung ibadah sebagai opium, yang mana adanya sikap antusias dalam membangun gedung ibadah di tengah kemiskinan. Di mana dengan adanya gedung ibadah yang megah, dapat mengalihkan warga gereja dari realitas yang menyatakan bahwa mereka ada dalam persoalan kemiskinan.

Dengan demikian, sebagaimana yang dikatakan Marx tentang alienasi, dan sikap yang dilakukan oleh warga gereja, maka gereja perlu untuk mewujudkan sebuah teologi pembebasan. Gereja hadir di tengah dunia ini bukan memberikan ruang bagi jemaatnya untuk mengasingkan diri. Melainkan gereja hadir untuk menolong jemaatnya, bahkan memberikan ruang bagi mereka untuk membebaskan diri dari setiap pergumulan dan persoalan yang dihadapi.

Penulis melihat, bahwa fenomena yang terjadi di GMIT Jemaat Zaitun dapat memberikan suatu penjabaran permasalahan yang meluas. Dengan begitu, yang menjadi batasan masalah, ialah penulis akan melihat tentang konsep rumah Tuhan yang dipahami dan dihidupi oleh warga gereja dalam bergereja, dan pemahaman warga gereja akan fungsi gedung ibadah yang dibangun dengan megah meskipun di tengah persoalan kemiskinan. Penulis berharap penelitian ini dapat menjawab pertanyaan penulis yang juga disampaikan sebagai judul tesis, yaitu Alienasi atau Pembebasan? “Studi mengenai Perspektif GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan terhadap Pembangunan Gedung Ibadah”

16

(9)

9

Pertanyaan penelitian penulis, yaitu bagaimana pandangan warga GMIT jemaat Zaitun Tuapukan mengenai gedung ibadah yang telah dibangun? Apakah gedung ibadah yang dibangun menjadi sebuah tempat mengasingkan diri dari kemiskinan atau menjadi ruang pembebasan bagi mereka untuk mencari jalan keluar dari kemiskinan? Pertanyaan tersebut tentu juga membantu gereja dan juga warga gereja untuk kembali berefleksi dengan mempertanyakan kembali fungsi rumah Tuhan (baca:gedung ibadah) bagi mereka dan sekitar, sehingga tidak ada kekeliruan dalam memahami konsep rumah Tuhan dalam mewujudkan kerajaan Allah bagi dunia.

Tujuan penulis dalam memperhatikan fenomena di GMIT Zaitun Tuapukan, yaitu mendeskripsikan pemahaman warga gereja tentang pemanfaatan gedung ibadah sebagai media untuk penyelesaian persoalan kemiskinan. Penulis juga bertujuan mengidentifikasi model-model tindakan yang sudah, sedang, dan akan dilakukan gereja dan warga gereja untuk mengatasi kemiskinan yang justru lahir dari pemanfaatan yang benar tentang gedung ibadah. Dengan mendeskripsikan keberadaan gedung ibadah melalui dua hal yakni alienasi dan pembebasan, maka dengan begitu akan memperlihatkan secara jelas mengenai kehidupan bergereja di GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan, yaitu apakah warga gereja hanya menjadikan gedung ibadah sebagai ruang alienasi sosial atau sebagai ruang pembebasan dari kemiskinan.

(10)

10

II. METODE PENELITIAN

Untuk itu, agar penulis dapat menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan memenuhi suatu karya ilmiah yang valid, maka penulis akan melakukan penelitian lapangan. Penulis akan menggunakan pendekatan Kualitatif dengan cara melakukan wawancara terbuka dan observasi (pengamatan). Wawancara terbuka merupakan tipe wawancara yang berjalan secara santai dan tidak menggunakan bahasa ataupun pertanyaan-pertanyaan yang kaku.17 Dalam melakukan wawancara terbuka, para informan tidak dijadikan sebagai objek penelitian melainkan sebagai subjek.18

Alasan penulis memilih pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan ini tidak membatasi informan dalam menyampaikan pemahaman mereka tentang gereja dan realitas. Sehingga dalam proses penelitian, maka peneliti dan informan tidak merasa canggung dalam berbincang. Selain menggunakan wawacanra terbuka untuk memperoleh data, penulis juga akan melakukan pengamatan atau observasi pada tempat penelitian. Untuk itu, yang menjadi informan dalam penelitian adalah warga gereja GMIT Zaitun, yakni yang melingkup beberapa kategorial yang ada dalam struktural gereja. Alasan pemilihan informan berdasarkan kategorial, agar data yang diperoleh juga berdasarkan suara yang seimbang. Sehingga akan semakin memperjelas dan memperkaya data yang dibutuhkan oleh peneliti terkait pertanyaan penelitian yang dimaksud. Selain itu, juga membantu penulis untuk semakin lebih tajam melakukan analisis dari data yang diperoleh.

Penulis memilih Desa Tuapukan khususnya GMIT Jemaat Zaitun sebagai tempat penelitian, dikarenakan adanya kegelisahan yang mengusik pikiran penulis. Menurut hemat penulis, ada banyak tugas yang perlu dilakukan oleh gereja dalam merespon kemiskinan dan juga memberikan kesadaran kepada warga gereja untuk melihat keberadaan mereka di tengah kemiskinan. Artinya, bahwa penulis melihat warga gereja memiliki potensi untuk

17

John Mansford, Meneliti Jemaat (Jakarta: PT. Grasindo, 1997), 96. 18 Mansford,

(11)

11

memandirikan diri dan terlepas dari persoalan sosial seperti kemiskinan. Namun, warga gereja lebih nyaman untuk mempersoalkan persoalan pembangunan gereja yang bagi mereka adalah rumah Tuhan. Di samping itu, hal-hal yang selalu menjadi pandangan utama warga gereja ialah semua yang berbau gerejawi. Hal tersebutlah yang menjadi alasan penulis melakukan penelitian di Desa Tuapukan khususnya GMIT Jemaat Zaitun, karena yang ingin digali oleh penulis, yaitu sejauh mana yang dipahami dan dihidupi oleh warga gereja tentang rumah Tuhan.

III. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab 1: Pendahuluan

Pada bagian ini akan berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan alasan penelitian, dan metode penelitian

Bab 2: Gereja dalam Konteks Kemiskinan, Alienasi, dan Pembebasan

Pada bagian ini penulis akan menguraikan konsep teori yang berkaitan dengan konsep alienasi dan pembebasan berdasarkan teori Karl Marx dan Gustavo Guiterrez, dan juga penulis akan memperlihatkan hal-hal terkait kemiskinan serta konsep pembangunan gedung ibadah.

Bab 3: Pembangunan Gedung Ibadah di Tengah Konteks Kemiskinan

(12)

12

Bab 4: Gedung Ibadah sebagai Pusat Kehidupan Bergereja di GMIT Zaitun

Tuapukan

Pada bagian ini akan berisikan tentang analisis yang dilakukan oleh penulis secara kritis atas data penelitian yang diperoleh dan teori yang diuraikan, sehingga dengan mengevaluasi konsep teori yang telah disajikan dan data penelitan, maka akan kembali mempertajam serta menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Bab 5: Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait