• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipersembahkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 dapat diselesaikan sebagai wujud akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal

Kesatuan Bangsa dan Politik menuju terwujudnya . Laporan

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan wujud transparansi serta pertanggungjawaban kinerja kepada masyarakat, disisi lain laporan akuntabilitas juga merupakan alat kendali dan alat pemacu peningkatan kinerja setiap unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik.

Berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Instansi Pemerintah, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik sebagai salah satu komponen Kementerian dalam Negeri berkewajiban melaksanakan akuntabilitas kinerja dalam lingkup Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik dalam mendukung akuntabilitas kinerja Kementerian Dalam Negeri di bidang Kesatuan Bangsa dan Politik.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan kegiatan yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik selama tahun 2013 yang tertuang dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2010-2014. Pengukuran pencapaian sasaran dilakukan dengan membandingkan antara target yang telah ditetapkan pada penetapan indikator kinerja dengan hasil yang dicapai Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik selama kurun waktu 2013. Dengan demikian akan terlihat seberapa jauh tingkat pencapaian target kinerja berdasarkan Indikator Kinerja Utama (IKU) Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi serta pengelolaan/pemanfaatan sumber daya yang dimiliki Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik tahun 2013.

Berdasarkan analisis dan evaluasi yang dilakukan melalui Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013, diharapkan dapat terjadi optimalisasi peran kelembagaan dan

(2)

peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kinerja seluruh jajaran pejabat dan pelaksana di lingkungan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik pada tahun-tahun selanjutnya.

Sekian dan terima kasih.

Jakarta, Maret 2014 DIREKTUR JENDERAL

KESATUAN BANGSA DAN POLITIK,

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR --- i

DAFTAR ISI --- iii

RINGKASAN EKSEKUTIF --- iv

BAB I PENDAHULUAN --- 1

A. LATAR BELAKANG --- 1

B. MAKSUD DAN TUJUAN --- 2

C. KEDUDUKAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI ORGAISASI --- 3

D. ASPEK STRATEGIS ORGANISASI --- 5

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS --- 8

PERENCANAAN STRATEGIS TAHUN 2010-2014 --- 8

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA --- 12

A. PENGUKURAN KINERJA TAHUN 2013 --- 12

B. ANALISA CAPAIAN KINERJA TAHUN 2013 --- 58

C. AKUNTABILITAS KEUANGAN TAHUN 2013 --- 63

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A

AA...LLLAAATTTAAARRRBBBEEELLLAAAKKKAAANNNGGG

Salah satu prinsip tata pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah akuntabilitas, hal ini merupakan salah satu wujud komitmen organisasi penyelenggara pemerintahan dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumberdaya dalam pelaksanaan kebijakan pada setiap akhir tahun. Hal tersebut ditegaskan dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), bahwa Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban dalam mewujudkan Good Governance di lingkungan Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik.

Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik sebagai salah satu komponen Kementerian Dalam Negeri yang memiliki peranan penting dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara, khususnya upaya untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memerlukan suatu perencanaan yang strategis pada setiap program kegiatan agar apa yang diinginkan dapat tercapai sesuai dengan sasaran. Untuk itu diperlukan suatu pemahaman yang matang dan terarah serta usaha yang maksimal dari setiap aparat, untuk berkomitmen memper-tanggungjawabkan seluruh kegiatan dan hasil akhir kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik.

Pada tahun 2013, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik melaksanakan program kerja secara bertahap melalui pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja sebagai pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Proses penyusunan dokumen perencanaan dan anggaran tahunan dilakukan secara terpadu dengan mengacu pada dokumen perencanaan serta berdasarkan pada visi dan misi Ditjen Kesbangpol sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Ditjen Kesbangpol Tahun 2010-2014 dalam rangka mewujudkan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi Ditjen Kesbangpol.

LAKIP Ditjen Kesbangpol Tahun 2013 pada dasarnya merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban Ditjen Kesbangpl atas kinerja yang dilaksanakan dalam pencapaian visi

(5)

2 dan misi organisasi. Sehubungan denga hal tersebut, lingkup penyusunan LAKIP akan memberikan kondisi obyektif pada tahun 2013, perencanaan strategis, target dan pencapaian kinerja, dan evaluasi pencapaian kinerja berdasarkan Penetepan Indikator Kinerja Utama (IKU) berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061-866 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061-41 Tahun 2010 tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri yang didalamnya terdapat target capaian kinerja utama Ditjen Kesbangpol dan Penetapan Kinerja Ditjen Kesbangpol Tahun 2013 sebagai kesepakatan target capaian kinerja antara Dirjen Kesbangpol sebagai penerima mandat dengan Menteri Dalam Negeri sebagai pemberi mandat.

B

BB...MMMAAAKKKSSSUUUDDDDDDAAANNNTTTUUUJJJUUUAAANNN

Maksud penyusunan LAKIP Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 adalah:

1. Sebagai bentuk pertanggungjawaban secara tertulis Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik kepada Menteri Dalam Negeri selaku Pemberi Kewenangan dan Pengguna Anggaran Kementerian Dalam Negeri atas kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013;

2. Memberikan gambaran dan informasi mengenai tingkat pencapaian target yang telah ditetapkan untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran Kementerian Dalam Negeri maupun Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik;

3. Memberikan gambaran mengenai tingkat pencapaian target sasaran kinerja yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013.

Adapun tujuan yang diharapkan dari Penyusunan LAKIP Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 adalah:

1. Terwujudnya akuntabilitas kinerja Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013; 2. Memberikan umpan balik bagi pengambilan kebijakan strategik dan peningkatan kinerja

perencanaan program dan kegiatan maupun pemberdayaan sumber daya di lingkungan Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik khususnya dan Kementerian Dalam Negeri secara umum;

3. Terlaksananya sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan program/kegiatan kerja secara efisien, efektif dan responsif serta tanggap terhadap kondisi penyelenggaraan pemerintahan bidang kesatuan bangsa dan politik.

C

CC...KKKEEEDDDUUUDDDUUUKKKAAANNN,,,TTTUUUGGGAAASSSPPPOOOKKKOOOKKKDDDAAANNNFFFUUUNNNGGGSSSIIIOOORRRGGGAAANNNIIISSSAAASSSIII

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa

(6)

3 dan Politik berkedudukan sebagai unsur pelaksana Kementerian Dalam Negeri di bidang kesatuan bangsa dan poitik, yang dipimpin oleh Direktur Jenderal yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri. Adapun tugas pokok Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standarisasi teknis dibidang kesatuan bangsa dan Politik. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik mempunyai fungsi (a) perumusan kebijakan di bidang kesatuan bangsa dan politik; (b) pelaksanaan kebijakan di bidang kesatuan bangsa dan politik; (c) penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang kesatuan bangsa dan politik; (d) pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kesatuan bangsa dan politik; dan (e) pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik.

Selanjutnya berdasarkan struktur organisasi Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik sebagaimana Permendagri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik mempunyai 6 (enam) Unit Eselon II yaitu 1 (satu) Sekretariat yang mempunyai 4 (empat) bagian dan masing-masing bagian mempunyai 3 (tiga) Sub Bagian serta 5 (lima) Direktorat yang masing-masing terdiri dari 5 (lima) sub direktorat dan masing-masing mempunyai 2 (dua) seksi, kecuali pada Direktorat Ketahanan Ekonomi terdiri dari 4 (empat) sub Direktorat dan 2 (dua) seksi pada masing-masing Direktorat, dengan bagan sebagai berikut:

(7)
(8)

5

D

DD...AAASSSPPPEEEKKKSSSTTTRRRAAATTTEEEGGGIIISSSOOORRRGGGAAANNNIIISSSAAASSSIII

Beberapa tantangan kedepan dalam rangka menjaga proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dan penegakan hukum, antara lain: (1) Pengembangan pola hubungan eksekutif dan legislatif dalam kerangka meningkatkan kualitas pelaksanaan demokrasi yang berdasarkan Pancasila; (2) Peran partai politik dan organisasi kemasyarakatan dalam melaksanakan agregasi politik, komunikasi politik, artikulasi politik, dan pendidikan politik bagi masyarakat; (3) Perbaikan proses politik melalui Pemilu dan Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) terkait penyiapan perangkat peraturan perundangan sesuai jadwal, peningkatan kapasitas dan kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu, serta pemahaman dan kesadaran politik masyarakat yang lebih baik; (4) Peningkatan kepercayaan masyarakat terkait upaya menjaga nilai-nilai kebhinnekaan atau kemajemukan bangsa, termasuk komitmen melindungi kebebasan beragama, keyakinan politik, latar belakang etnis dan sosial budaya, serta menghindari bentuk-bentuk kekerasan dalam penyelesaian permasalahan dalam masyarakat; (5) Penguatan lembaga-lembaga penegak hukum dan indepedensinya yang semakin bersih dari berbagai kepentingan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; serta (6) Upaya pemberantasan korupsi yang didukung aparat penegak hukum yang memilki integritas.

Selanjutnya, aktualisasi partai politik sebagai saluran utama aspirasi politik rakyat belum sepenuhnya dapat berlangsung dengan optimal karena berbagai kondisi partai politik secara internal serta perkembangan lingkungan eksternalnya. Masih terdapat kekecewaan masyarakat kepada partai politik, juga terhadap mekanisme kaderisasi partai politik yang masih belum berjalan baik. Padahal, partai politik merupakan salah satu unsur aktor politik dalam infrastruktur politik yang sangat penting dalam mengembangkan mekanisme demokrasi yang sedang berlangsung dalam sistem politik yang sedang dimantapkan. Dalam konteks tersebut, diperlukan upaya dan dukungan bagi partai politik sesuai dengan kriteria dan mekanisme yang ditetapkan dalam aturan perundang-undangan antara lain dengan mendorong dan memfasilitasi partai politik untuk terus menerus meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan fungsinya melalui fasilitasi dan pemberian dukungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada sisi pendidikan politik masyarakat, serta penguatan persatuan dan kesatuan nasional, telah dilaksanakan penjajakan dalam rangka diskusi awal fasilitasi pendidikan politik yang bekerjasama dengan Center for Elektion and Political Party (CEPP) Universitas Indonesia yang dilaksanakan di 3 (tiga) regional dengan melibatkan Perguruan Tinggi se- Indonesa dalam rangka peningkatan partisipasi politik bagi pemilih muda. Selain hal tersebut juga telah dilaksanakan pengembangan wawasan dan nilai-nilai kebangsaan, serta kesadaran masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta peningkatan partisipasi politik di daerah, melalui kerjasama dengan Organisasi Kemasyarakatan. Terkait dengan upaya menjawab adanya kebutuhan payung hukum bagi penyusunan program-program

(9)

6 pembangunan di daerah terkait penanganan dan pegelolaan konflik dalam rangka memelihara Stabilitas Politik dan Kesatuan Bangsa, antara lain: (1) Pemerintah bersama DPR telah menyelesaikan pembahasan RUU tentang Penanganan Konflik Sosial yang merupakan RUU inisiatif DPR dengan diterbitkannya UU No. 7 Tahun 2012, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Inpres No. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri sambil menunggu terselesaikannya pembahasan RPP Penanganan Konflik Sosial; serta (2) diterbitkannya Permendagri No. 16 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah.

Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, mempunyai tugas pokok merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standarisasi teknis dibidang kesatuan bangsa dan politik. Sebagai salah satu komponen yang memiliki kewenangan urusan pemerintah tersebut, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik mempunyai hubungan kerja dengan Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penanganan masalah politik dalam negeri, masalah-masalah konflik sosial dan pemerintahan di daerah, dan dalam tataran penetapan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan kegiatan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan, pengawasan penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan kapasitas aparatur di bidang bina ideologi dan wawasan kebangsaan, kewaspadaan nasional, ketahanan seni, budaya, agama dan kemasyarakatan, politik dalam negeri, maupun di bidang ketahanan ekonomi.

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan serta kebijakan yang berkaitan dengan penanganan masalah-masalah sosial dalam kehidupan di masyarakat melalui pembentukan forum-forum dimasyarakat seperti Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) serta memfasilitasi pembentukan komunitas intelejen di daerah dengan melibatkan instansi terkait di Daerah. Pembentukan forum-forum tersebut berlangsung efektif dan dipercaya dapat memberi kontribusi dalam penanganan konflik. Meskipun bukan sebagai faktor tunggal, forum-forum yang ada telah memberikan kontribusi meningkatkanya komunikasi dan dialog yang kontruktif antar anggota masyarakat dalam penyelesaian berbagai persoalan kemasyarakatan, termasuk konflik sosial. Forum-forum dimaksud, dipercaya cukup efektif baik secara langsung maupun tidak langsung menekan angka konflik pada Tahun 2013 sehingga berkurang ditahun sebelumnya. Pada tahun 2010 telah terjadi 93 peristiwa konflik yang kemudian menurun menjadi 77 peristiwa konflik pada tahun 2011, pada tahun 2012 terdapat 128 peristiwa konflik dimana mengalami penurunan menjadi 92 peristiwa konflik pada Tahun 2013.

Hubungan kerja yang melibatkan pemerintahan daerah khususnya Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi dan Kabupaten/Kota, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan

(10)

7 Politik setiap saat selalu melakukan koordinasi melalui Pusat Komunikasi Informasi (PUSKOMIN) yang berada di pusat dan masing-masing daerah untuk memantau perkembangan situasi dan kondisi daerah di bidang kesatuan bangsa dan politik. Disamping itu Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik juga melibatkan elemen-elemen di masyarakat seperti OMS di daerah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan pusat melalui kegiatan kerjasama program di bidang Pendidikan Politik dan Wawasan Kebangsaan serta Cinta Tanah Air serta memberikan izin pendirian kepada OMS yang baru.

Disisi lain, dinamika globalisasi dan perdagangan bebas mengharuskan pemerintah dan rakyat Indonesia bekerja lebih keras untuk memenuhi salah satu aspek kehidupan nasional yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang menyangkut produksi, distribusi, konsumsi, barang dan jasa yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan ekonomi nasional, dilakukan dengan perencanaan pembangunan ekonomi untuk mendukung ketahanan ekonomi baik daerah maupun nasional. Adapun upaya yang dilakukan Pemerintah dalam hal ini Direktorat Ketahanan Ekonomi yaitu melalui upaya mendorong pemerintah daerah untuk membentuk perusahaan daerah Bank Perkreditan Rakyat (BPR); mendorong percepatan budidaya Hutan Rakyat (HR); revitalisasi anjungan TMII; program diskusi dan sosialisasi tentang kredit-kredit program; pemantauan harga barang kebutuhan pokok masyarakat; serta kampanye publik cinta produk dalam negeri.

Untuk itu peran Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik di Daerah sangatlah strategis khususnya dalam penanganan masalah-masalah yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban di masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan serta keutuhan NKRI.

(11)

8

B

B

B

A

A

A

B

B

B

I

I

I

I

I

I

P

P

P

E

E

E

R

R

R

E

E

E

N

N

N

C

C

C

A

A

A

N

N

N

A

A

A

A

A

A

N

N

N

S

S

S

T

T

T

R

R

R

A

A

A

T

T

T

E

E

E

G

G

G

I

I

I

S

S

S

A AA...PPPEEERRREEENNNCCCAAANNNAAAAAANNNSSSTTTRRRAAATTTEEEGGGIIISSSTTTAAAHHHUUUNNN222000111000---222000111444

Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pemerintah harus dapat menempatkan posisinya sebagai katalisator dan motivator dalam menggerakkan sendi-sendi pemerintahan dalam tingkat pelayanan kepada masyarakat dan perwujudan pembangunan sebagai bentuk keterlibatan dan partisipasi masyarakat menuju tatanan pemerintahan yang baik (Good Governance). Apabila kondisi tersebut dapat berjalan selaras dan berkesinambungan, maka penyelenggaraan pemerintahan yang mengarah pada good governance akan terwujud dan dapat berjalan dengan baik.

Renstra Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik 2010-2014 merupakan dokumen perencanaan strategis untuk memberikan gambaran dan arahan kebijakan dan strategi pembangunan pada tahun 2010-2014 sebagai tolok ukur dan alat bantu dalam melaksanakan tugas dan fungsi Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan dibidang urusan dalam negeri. Dokumen ini berfungsi untuk menuntut segenap penyelenggara kegiatan dilingkungan Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik untuk secara konsisten melaksanakan program/kegiatan pembangunan sesuai tugas dan fungsi yang diemban dibidang pembinaan kesatuan bangsa dan politik.

Penyusunan Renstra Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik 2010-2014 dimaksudkan sebagai panduan kerja operasional yang visioner, sekaligus sebagai instrumen pokok dalam keseluruhan kerangka manajemen program di lingkungan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik. Juga dimaksudkan dalam rangka penyiapan dokumen perencanaan pembangunan 5 tahunan, serta bertujuan untuk memantapkan terselenggaranya kegiatan-kegiatan prioritas sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran strategis yang ingin dicapai oleh Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik dalam periode 5 Tahun kedepan, yang disesuaikan dengan dinamika dan tuntutan perubahan yang ada dalam masyarakat, serta sinkronisasi perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam mendukung kebijakan Kementerian Dalam Negeri khususnya dan kebijakan pembangunan nasional pada umumnya.

(12)

9

Penetapan Indikator Kinerja Utama (IKU) Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061-866 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061-41 Tahun 2010 tentang Penetapan Indikator Utama Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Tahun 2010 -2014 merupakan parameter serta acuan dalam melaksanakan seluruh program dan kegiatan di lingkungan Ditjen Kesbangpol Tahun Anggaran 2012 yang juga merupakan kelanjutan dari indikator kinerja utama Ditjen Kesbangpol pada periode Renstra Tahun 2005-2009.

(13)

10 Sebagaimana yang dijelaskan diatas, yang juga tertuang dalam Renstra Kementerian Dalam Negeri 2010-2014 dan Renstra Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik 2010-2014 serta Penetapan Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Dalam Negeri Tahun 2010-2014 ditetapkan Indikator Kinerja Utama (IKU) Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2010-2014 sebagai berikut :

Indikator Kinerja Utama (IKU) Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 diimplementasikan sebagaimana tabel 5 diatas, dituangkan dalam Penetapan Kinerja (PK) Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 sebagai Kontrak Kinerja antara Direktur Jenderal Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik dengan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Januari 2013 sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Dimana Penetapan Kinerja Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik tersebut merupakan ikhtisar rencana kinerja yang akan dicapai pada tahun 2013 sekaligus sebagai tolok ukur keberhasilan organisasi dan menjadi dasar penilaian dalam evaluasi akuntabilitas kinerja pada akhir tahun anggaran 2013.

INDIKATOR KINERJA UTAMA DITJEN KESBANGPOL Jumlah paket revisi Undang-Undang Bidang Politik khususnya revisi terbatas terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

Kondisi 2009

Target 2014

Indeks Kinerja Lembaga Demokrasi Indeks Organisasi Kemasyarakatan

Indeks Kebebasan Sipil

Paket UU Bidang Politik Hasil revisi UU Bidang 62,72 70 0 3 86,97 80

Indeks Hak-Hak Politik 54,60 70

Persentase kebijakan/peraturan perundangan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan

50% 80%

Persentase forum dialog publik yang efektif 50% 80%

Persentase peningkatan masyarakat dalam kegiatan terkait 4 pilar negara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI).

(14)

11 Tabel

Penetapan Kinerja Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik NO. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA

UTAMA TARGET

1 2 3 4

1. Meningkatnya kualitas penyelenggaraan demokrasi (Pemilu/Pilpres).

1. Jumlah paket revisi undang-undang bidang politik khususnya revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu 2 (dua) Dokumen 2. Indeks Organisasi Kemasyarakatan 3 2. Meningkatnya Komitmen

Pemangku kepentingan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Persentase kebijakan/peraturan perundangan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan

80%

3. Meningkatnya komunikasi dan dialog yang konstruktif antar anggota masyarakat dalam penyelesaian persoalan kemasyarakatan.

Persentase forum dialog publik yang efektif

80%

4. Meningkatnya kesadaran Warga Negara dalam partisipasi politik

Persentase peningkatan masyarakat dalam kegiatan terkait 4 pilar negara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI).

(15)

12 BAB III

AKUNTABILITAS KINERJA

Pertanggungjawaban kinerja yang tepat, jelas dan terukur merupakan media untuk mengetahui kinerja Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri sesuai Rencana Kinerja dan Penetapan Kinerja Kementerian Dalam Negeri Tahun 2013. Mengacu pada Kepmendagri Nomor 061-866 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Kepmendagri Nomor 061-041 Tahun 2010 tentang Penetapan Kinerja Indikator Utama (IKU) di lingkungan Kementerian Dalam Negeri disajikan dalam perbandingan antara target tiap indikator kinerja dengan realisasinya. Capaian kinerja Ditjen Kesatuan Bangsadan Politik Kementerian Dalam Negeri Tahun 2013 adalah sebagai berikut :

SASARAN 1

Meningkatnya kualitas penyelenggaraan proses demokrasi (Pemilu/Pilpres)

CAPAIAN KINERJA SASARAN

Tabel 3.1

Pengukuran Kinerja Sasaran 1

Meningkatnya kualitas penyelenggaraan proses demokrasi (Pemilu/Pilpres) Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian Jumlah revisi paket Undang-Undang

Bidang Politik khususnya Revisi terbatas Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

2 (dua) Dokumen

Draft RUU 50%

Indeks Organisasi kemasyarakatan 3

(skala 1 sd 4) 3,1 (skala 1 sd 5) 1 85,61% (konver si skala) Indikator 1: Jumlah revisi paket Undang-Undang Bidang Politik khususnya revisi terbatas Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

Dalam rangka penguatan persatuan dan kesatuan bangsa serta melanjutkan pengembangan sistem politik yang berkedaulatan rakyat dan kesetaraan dalam penyampaian aspirasi dengan memperhatikan asas dan prinsip demokrasi pancasila seperti pelaksanaan pemilihan umum, adanya partai politik dan organisasi sosial politik sebagai sarana saluran

1

Pengukuran indeks ini menggunakan skala 1 hingga 5, yang dibagi kedalam 5 kategori yaitu (a). 1-1,8: sangat buruk; (b) 1,9-2,7: buruk; (c). 2,8-3,6: cukup; (d). 3,7-4,4: baik; (e) 4,4-5: sangat baik.

(16)

13 aspirasi rakyat serta memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ke depan, tuntutan demokrasi yang berdasarkan pancasila diprediksi akan semakin menguat akan membawa konsekuensi terhadap perubahan struktur politik sebagai implikasi dari dinamika lingkungan politik bangsa. Oleh karena itu, diperlukan upaya sinergis dari seluruh pihak, baik masyarakat, pemerintah maupun partai politik, untuk secara bersama membangun struktur politik dan menyempurnakan model demokrasi di masa mendatang. Akan tetapi, sasaran ke depan bukan hanya sebatas pada prosedural demokrasi tetapi menyentuh substansi Demokrasi Pancasila di Indonesia.

Kelembagaan pilar elemen bangsa (supra struktur2, infra struktur3 dan sub struktur4) yang kokoh dan didukung oleh stabilitas nasional adalah kunci bagi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kehidupan bermasyarakat. Demokrasi Pancasila merupakan landasan kehidupan sosial politik, untuk itu pembangunan politik dalam negeri diarahkan pada terwujudnya demorasi yang berkedaulatan rakyat melalui proses konsolidasi secara bertahap.

Kondisi ideal tersebut secara umum menggambarkan indikasi yang harus dicapai melalui upaya yang mengarah pada sasaran terwujudnya peningkatan kualitas penyelenggaraan proses demokrasi. Selanjutnya salah satu tanda dari kualitas penyelenggaraan proses demokrasi dapat dilihat dari partisipasi pada pemilu 2014 nanti, sebagaimana hasil survei terhadap tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu dibawah ini.

Gambar 3.1

Hasil Survei terhadap Pemilu Anggota DPR Tahun 2014

Berdasarkan data diatas, yaitu hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indo barometer terhadap pelaksanaan pemilu Anggota DPR Tahun 2014 dapat dipastikan

2 Supra struktur, menurut teori montesquieu adalah suatu lembaga formal yang menjadi suatu keharusan untuk

kelengkapan sistem bernegara yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.

3 Infrastruktur, menurut teori Montesquieu adalah lembaga-lembaga politik yang ada di dalam masyarakat yang dibentuk

dan bergerak di tingkat masyarakat itu sendiri (yang meliputi partai politik, kelompok kepentingan, media komunikasi politik, organisasi kemasyarakatan dan tokoh masyarakat.

4 Substruktur adalah masyarakat.

86.90% 3%

0.50% 9.60%

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Bisa dipastikan akan ikut memilih belum pasti akan memilih atau tidak bisa dipastikan tidak akan ikut

memilih

tidak tahu/tidak jawab

(17)

14 86,90% masyarakat akan ikut dalam pemilihan, sedangkan 3% mengatakan masih ragu-ragu apakah ikut dalam pemilihan atau tidak. 0,5% lainnya mengatakan tidak akan ikut dalam pemilihan dengan berbagai alasan yang dikemukan, kemudian 9,6% masyarakat yang disurvei mengatakan tidak tau/tidak menjawab.

Survei lain dilakukan oleh lembaga survei Poltracking dalam rangka mengetahui minat masyarakat dalam mengikuti pemilu Legislatif Tahun 2014. Dengan hasil survei dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Hasil Survei terhadap minat untuk menginkuti pemilu Legiskatif Tahun 2014

Terdapat 79% masyarakat yang berminat mengikuti pemilihan Anggota DPR tahun 2014, dan 16% mengatakan tidak berminat sedangkan 5% lainnya tidak tahu/tidak menjawab apakah akan mengikuti pemilihan Anggota DPR. Sumber lain mengatakan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu Anggota DPR Tahun 2014 akan diikuti oleh 76%, 18% lainnya mengatakan masih ragu-ragu, sedangkan 5% mengatakan tidak akan ikut memilih serta 1% masyarakat mengatakan tidak tahu/tidak menjawab. Hal tersebut berdasarkan data survei yang dilakukan oleh lembaga IRI. (dapat dilihat pada gambar dibawah):

16%

5%

79%

Tidak minat

Tidak tau/tidak jawab Berminat

(18)

15 Gambar 3.3

Hasil Survei terhadap pemilu Anggota DPR jika diadakan hari ini seberapa besar keikutsertaan untuk memilih

NTT, Sulsel, Aceh, Jatim dan DKI Jakarta) memiliki keinganan untuk mengikuti pemilu pada Tahun 2014 mendatang, baik Pemilu Presiden maupun Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yaitu lebih dari 70% pemilih. Secara umum, perkembangan demokrasi selama lima tahun terakhir sebagaimana tercermin dari perbaikan proses penyelenggaraan Pemilu dan meningkatnya partisipasi politik rakyat. Hal tersebut dapat dilihat dari terbentuknya sejumlah partai politik nasional dan lokal, serta terlaksananya agenda politik nasional, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Pada tingkat lokal, kekhawatiran terkait partisipasi politik masyarakat yang cenderung menurun dari setiap pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada sebagaimana ditunjukkan dari tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada, diharapkan tidak terjadi pada Pemilu Tahun 2014. Untuk mendukung peningkatan kualitas penyelenggaraan proses pemilu dimaksud, sejak awal telah disepakati perbaikan peraturan perundangan bidang politik.

Terkait dengan hal tersebut, pada tahun 2013 Pemerintah bersama dengan DPR RI merevisi 2 (dua) UU Bidang Politik yaitu Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Hal ini merupakan kelanjutan pembahasan pada tahun 2012 yang seharusnya sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam dokumen Renstra, 2 (dua) UU Bidang Politik dimaksud tercapai pada tahun 2012. Namun demikian dikarenakan adanya beberapa prioritas lain pembahasan Undang-Undang oleh DPR RI sehingga pembahasan revisi terbatas UU Bidang Politik ini masih ditargetkan kembali pada tahun

76% 18% 5% 1% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%

(19)

16 2013. Hal tersebut mengacu pada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Nomor 41A/DPR-RI/2009-2010 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014. Dari sisi capaian kinerja dapat dikatakan tercapai 50% yaitu mengalami progress/kemajuan pembahasan dari tahun sebelumnya yaitu 46,6%. Adapun capaian pembahasan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yaitu tersusunnya draft final pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) inisiatif pemerintah dengan tetap mengacu wacana pembahasan yang berkembang di Badan Legislasi DPR RI.

Sedangkan terkait dengan perkembangan pembahasan revisi terbatas UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pada hasil laporan dari Badan Legislasi DPR RI tentang Penarikan 2 (dua) RUU dari Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas tahun 2013 dalam rapat Paripurna DPR RI tanggal 22 Otober 2013, dimana di dalam laporan tersebut disampaikan bahwa terkait dengan revisi terbatas UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan rapat pleno Baleg terakhir mengambil keputusan bahwa UU tersebut tidak dilanjutkan/dihentikan pemahasannya dan menarik draft RUU dari daftar prolegnas RUU prioritas tahun 2013 dengan catatan;

a. Dua fraksi (F-PPP dan F-partai Hanura) tetap minta untuk dilanjutkan dan tidak ikut dalam pengambilan keputusan/walk out;

b. Dua Fraksi (F-PKS dan F-Gerindra) tidak menyetujui keputusan untuk menghentikan pembahasan penyusunan draft RUU tersebut dengan pertimbangan:

Panja sudah bekerja selama + 1,5 Tahun yang tentunya juga mengeluarkan biaya/anggaran yang tidak sedikit;

Panja sudah melakukan pembahasan terhadap kurang lebih 262 pasal dan masih menyisakan 1 pasal yang belum mendapatkan kesepakatan yaitu ketentuan mengenai presidential threshold.

Sementara pertimbangan 5 Fraksi lainnya (F-PD, F-PG, F-PDIP, F-PAN, dan F, PKB) untuk tidak melanjutkan pembahasan penyusunan draft RUU tersebut dengan pertimbangan yaitu:

Kekurangan/kelemahan dalam pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 yang bersifat teknis masih dapat diperbaiki/disempurnakan melalui Peraturan KPU; Ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 2008 masih memenuhi kebutuhan/relevan untuk pelaksanaan pemilu Presiden dan wakil Presiden 2014.

Sehingga mengacu pada hal tersebut, pembahasan revisi terbatas UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya tercapai pada tahun 2012 dihentikan pembahasannya pada tahun 2013 untuk kemudian direncanakan akan dikeluarkan Perppu pada tahun 2014.

(20)

17 Perubahan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Amandemen Konstitusi sebagai pengaturan lebih lanjut dari lembaga Negara (khususnya lembaga legislatif). Memperjelas kedudukan, tugas dan fungsi lembaga legislatif dalam kerangka pembagian kekuasaan. Revisi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam kerangka paket politik mencakup UU Parpol, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dimana arah penyusunan paket politik adalah untuk mengefektifkan sistem presidensial dalam kerangka negara hukum yang berkedaulatan rakyat. Pembangunan politik dalam negeri merupakan bagian integral dalam rangka pembangunan demokrasi pancasila yang berkarakter kebangsaan. Pemerintah bersama DPR RI telah merampungkan beberapa perbaikan regulasi bidang politik untuk memantapkan kehidupan demokrasi pancasila di masa mendatang. Perbaikan dimaksud adalah untuk menampung berbagai aspirasi yang telah menyoroti adanya kelemahan dalam proses pelaksanaan Pemilu 2009 yang lalu. Upaya perbaikan tersebut tidaklah dimaksudkan untuk mengakomodir berbagai kepentingan politik melainkan lebih menekankan pada upaya untuk membangun etika dan budaya politik yang demokratis berdasarkan Pancasila, yang muara akhirnya dapat menciptakan kesejahteraan rakyat, untuk membangun kedewasaan berdemokrasi serta menciptakan konsolidasi demokrasi pancasila melalui perbaikan regulasi politik dan pelaksanaan Pemilu yang demokratis, berkualitas, luber dan jurdil.

Untuk itu di samping adanya perbaikan regulasi bidang politik, Pemerintah bekerjasama dengan sejumlah pihak telah melakukan berbagai upaya yang berkelanjutan di bidang penataan sumberdaya manusia dalam kelembagaan politik agar implementasi produk perundang-undangan dapat diserap dengan baik yakni proses pendidikan politik bagi masyarakat di daerah. Pendidikan politik bagi masyarakat hendaknya tidak dimaknai sebagai sebuah kegiatan politik dari aspek kekuasaan saja tetapi hendaklah dimaknai sebagai upaya mensinerjikan pemahaman setiap warga negara akan hak dan kewajibannya. Hal ini perlu ditekankan agar kita semua sesuai dengan tanggung jawab masing-masing dapat meningkatkan pemahaman tentang pentingnya menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi ataupun kelompok. Dalam mendukung upaya dimaksud, telah dilakukan berbagai kegiatan dalam rangka memberi dukungan pelaksanaan pemilu 2014 sebagaimana amanat pasal 126 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Pasal 246 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD antara lain: Rapat Koordinasi Nasional dalam rangka persiapan pemilu 2014 telah dilaksanakan di 3 regional dengan peserta terdiri dari Sekda Provinsi dan Kabupaten/Kota, kaban Kesbangpol Provinsi dan Kabupaten/Kota, Kepala BIN Daerah, Asisten Teritorial Kodam, Kasiter Korem, Karo Operasi Polda, Ketua KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota, Ketua Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota, Ketua Panwaslu Kabupaten/Kota dan Sekretaris KPU se-Indonesia. Rakor dimaksud diselenggarakan dalam rangka menyamakan persepsi serta menjalin sinergitas antar pemangku kepentingan pemilu; FGD (Forum Group

(21)

18

Discussion) dalam rangka peningkatan partisipasi pemilih muda yang diselenggarakan guna mencari metode pendidikan politik yang tepat untuk peningkatan partisipasi pemilih pada pemilu 2014. Kegiatan dimaksud bekerjasama dengan Center for Election and Political Party (CEPP) Universitas Indonesia yang dilaksanakan di 3 (tiga) regional; dan Fasilitasi kelembagaan pemberdayaan calon legislative perempuan dan forum pendidikan politik dalam rangka peningkatan kapasitas calon legislatif perempuan yang diselenggarakan guna memberi pembekalan bagi calon legislatif perempuan. Kegiatan dimaksud dilaksanakan dengan bekrjasama Kemen PPA dan dilaksanakan 10 angkatan.

Adapun permasalahan dalam pelaksanaan penyusunan 2 (dua) Undang-Undang Bidang Politik yaitu belum diserahkannya draft rancangan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Pemerintah dikarenakan masih dalam proses pembahasan di Badan Legislatif DPR RI sehingga pembahasan akan dilanjutkan pada awal tahun 2014.

Sebagai upaya tindak lanjut dalam mengatasi permasalahan serta kendala yang dihadapi maka pihak Pemerintah melakukan langkah antisipasi dengan menginventarisasi dan menyiapkan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang mengacu dari wacana pembahasan yang berkembang di badan Legislasi DPR-RI serta melakukan pembahasan bersama pakar dan instansi terkait dengan pokok bahasan menyiapkan antisipasi pendapat pemerintah. Namun demikian pihak Pemerintah yaitu Kementerian Dalam Negeri, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik secara simultan akan terus berkoordinasi dengan DPR RI dalam rangka percepatan pembahasan pada saat draft diserahkan kepada Pemerintah.

Indikator 2: Indeks Organisasi kemasyarakatan

Pengukuran Indeks Kinerja Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam hal ini didasarkan pada tiga dimensi utama yaitu: kondisi organisasi, kondisi lingkungan (sosial, politik dan ekonomi) dan efektifitas. Ketiga dimensi tersebut diturunkan menjadi 9 variabel dan 38 unsur yang diukur dengan menggunakan skala likert berdasarkan 5 kategori yaitu: 1. Sangat Buruk 2.Buruk 3.Cukup 4.Baik 5.Sangat Baik.

Penggunaan skala likert dengan 5 kategori memunculkan lima interval, dimana jarak antar kategori sebesar 0,8 dengan rumus:

Interval= skor tertinggi skor terendah = 5 1 = 0,8 Kategori 5

Untuk memudahkan interpretasi terhadap penilaian Indeks Kinerja Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yaitu antara 20-100 maka hasil penilaian tersebut di atas dikonversikan dengan nilai dasar 20, dengan rumus sebagai berikut:

(22)

19 NILAI KONVERSI = INDEKS OMS X 20

Berikut nilai persepsi dan interpretasi terhadap pengukuran Indeks Kinerja OMS Nilai Persepsi Nilai Interval Indeks Nilai Interval Konversi Indeks Indeks

Kinerja Kinerja OMS

1 1-1,8 20-36 E Sangat Buruk

2 1,9-2,7 37-53 D Buruk

3 2,8-3,6 54-70 C Cukup

4 3,7-4,4 71-87 B Baik

5 4,5-5 88-100 A Sangat Baik

Pengukuran Indeks Kinerja OMS di tingkat nasional mengambil sampel di 8 (delapan) provinsi yaitu: NAD, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali dan Maluku. Berikut hasil perhitungan Indeks OMS secara keseluruhan di tingkat nasional.

Gambar 3.4

Segitiga Indeks OMS Nasional

Gambar 3.4 menunjukkan angka indeks masing-masing dimensi yang diukur melalui survey kepada anggota Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia. Jika dihitung secara akumulatif Indeks Organisasi kemasyarakatan di Indonesia adalah sebesar 3,1 atau sebesar 62,7 setelah dikonversi. Angka ini memberikan gambaran bahwa kinerja Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia berada pada kategori cukup baik.

Penilaian tersebut ditunjukkan melalui skor masing-masing dimensi yang berada di interval III (2,8-3,6). Dimensi kondisi organisasi memiliki skor tertinggi sebesar 3,3.

(23)

20 Sedangkan kondisi lingkungan (sosial, politik dan ekonomi) mendapatkan skor 3,1 dan yang paling rendah adalah efektifitas OMS dengan skor 3.

Perhitungan Indeks Organisasi kemasyarakatan berbasis daerah disajikan pada gambar 4.2. Berdasarkan data tersebut Indeks OMS tertinggi adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (3,5), berturut-turut diikuti Sumatera Barat (3,4), Maluku (3,4), DKI (3,3), Jawa Timur (3,3), Kalimantan Selatan (3,3), Sulawesi Selatan (3) dan Bali (2,5).

Gambar 3.5

Indeks OMS Berbasis Daerah

Berikut diuraikan skoring masing-masing dimensi berdasarkan variabel dan unsur yang dijadikan penilaian.

1. Kondisi Organisasi

Dimensi kondisi organisasi mengukur beberapa variabel yaitu: nilai-nilai dalam organisasi, manajemen SDM dan keanggotaan, manajemen keuangan, manajemen kerja dan humas/kerjasama.

(24)

21 Gambar 3.6

Skor Variabel Kondisi Organisasi

Berdasarkan Gambar 3.6 skor kondisi organisasi disumbang cukup besar dari variabel nilai-nilai organisasi dengan angka 3,7. Skor ini memberikan gambaran bahwa masyarakat yang menjadi anggota aktif organisasi kemasyarakatan memberikan -nilai yang diperjuangkan oleh OMS. Sedangkan untuk

keanggotaan (3,4), manajemen keuangan (3,2), manajemen kinerja (3,2) dan hubungan massa/kerjasama di angka (3,2).

-nilai organisasi diuraikan melalui beberapa unsur yang menjadi dasar/fundamen organisasi meliputi visi dan misi, tujuan organisasi dan strategi aksi. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap anggota organisasi kemasyarakatan di Indonesia, didapatkan data yang menarik bahwa tujuan organisasi mendapatkan skor tertinggi sebesar 3,9. Sedangkan skor strategi aksi sebesar 3,7 dan visi misi organisasi justru mendapatkan nilai terendah sebesar 3,6.

Data pada gambar 4.3 memberikan gambaran bahwa persepsi masyarakat yang aktif dalam organisasi kemasyarakatan terhadap keberadaan Organisasi kemasyarakatan lebih berorientasi pada hal yang bersifat praktis daripada yang ideologis. Hal ini sejalan dengan uraian sebelumnya bahwa pertimbangan utama masyarakat bergabung dalam organisasi kemasyarakatan didorong oleh kesamaan kepentingan sebesar 33,7 persen.

2.8 3.0 3.2 3.4 3.6 3.8

Nilai-nilai Organisasi Manajemen SDM dan Keanggotaan Manajemen Keuangan Manajemen Kinerja Humas dan Kerjasama

3.7 3.4

3.2 3.2 3.2

(25)

22 Gambar 3.7

Skor Unsur Nilai-nilai Organisasi

Di sisi yang lain, orientasi masyarakat yang cenderung praktis atau bahkan pragmatis ditunjukkan dengan skor strategi aksi sebesar 3,7. Pada beberapa kasus yang dijumpai di lapangan, OMS yang memiliki strategi aksi dalam bentuk program dan kegiatan yang konkret justru lebih banyak menarik minat masyarakat untuk ikut terlibat di dalamnya. Beberapa contohnya adalah OMS yang bergerak di bidang sosial, advokasi dan pendampingan yang banyak memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Strategi aksi juga memberikan persepsi kepada masyarakat tentang bagaimana OMS mampu mencapai tujuan-tujuan organisasinya, baik yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek.

Namun meskipun begitu bukan berarti visi dan misi organisasi menjadi tidak penting dalam sebuah organisasi. Pada beberapa contoh OMS yang berbasis keanggotaan dan berbadan hukum, visi dan misi merupakan kristalisasi nilai yang mendorong mereka berkumpul dan berasosiasi. Hanya saja memang ada sebagian masyarakat yang memiliki persepsi bahwa visi dan misi organisasi lebih banyak hanya menjadi simbol atau kelengkapan administrasi dari sebuah organisasi.

Variabel manajemen sumberdaya manusia dan keanggotaan yang memiliki skor 3,4 juga penting untuk dianalisis lebih dalam. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa skor tertinggi dalam variabel manajemen SDM dan keanggotaan adalah dalam rekrutmen anggota atau kader sebesar 3,5. Skor tertinggi berikutnya adalah penanaman nilai-nilai organisasi dan mekanisme pemilihan ketua/pengurus masing-masing 3,4. Standar dan kualifikasi staf dan pengurus masing-masing 3,3 dan rotasi penempatan individu dalam struktur OMS menjadi yang terendah dengan skor 3,2.

Tingginya skor pada rekrutmen kader atau anggota memberikan gambaran bahwa OMS di Indonesia mudah dalam penerimaan anggota/kader yang ingin terlibat di dalam organisasi. Hal ini tidak terkecuali bagi OMS yang berbasis keanggotaan. Meski

(26)

23 terdapat syarat tertentu, tidak lantas membuat OMS menjadi sangat eksklusif dan soliter dalam menerima anggota.

Skor berikutnya berkaitan dengan penanaman nilai-nilai organisasi dan mekanisme pemilihan ketua dan pengurus sama-sama di angka 3,4. Data ini menunjukkan bahwa kinerja OMS dalam menanamkan nilai organisasi kepada anggotanya s

Sedangkan unsur standar dan kualifikasi baik staf dan pengurus memperoleh skor satu tingkat dibawahnya sebesar 3,3. Nilai terendah justru berkaitan dengan rotasi dan penempatan individu dalam struktur OMS yang hanya sebesar 3,2. Standar dan kualifikasi staf dan pengurus dalam beberapa jenis OMS memang tidak selalu menjadi perhatian utama. Terutama berkaitan dengan OMS yang berbasis massa, dimana yang menjadi tolok ukur adalah banyaknya jumlah anggota. Sehingga kerap juga mempengaruhi bagaimana individu/aktor di dalam OMS dikelola, ditempatkan dan diberi tugas sesuai kemampuannya. Skor rendah menunjukkan bahwa OMS sering tidak

mengindahkan pr . Ketika ditelusuri lebih

mendalam, hal ini sangat dipengaruhi dengan kondisi bahwa banyak OMS yang tidak memiliki standar gaji dan memberikan gaji bulanan kepada staf/pengurus. Seperti uraian sebelumnya bahwa hanya 11,9 OMS yang memiliki staf/pengurus yang digaji bulanan. Sebagian besar model penggajian atau honorarium baru ada ketika OM tersebut sedang mengadakan even atau kegiatan. Kondisi inilah yang menjadi penjelas mengapa OMS kerap tidak terlalu ketat dalam penempatan personil, pembagian tugas dan tata kelola organisasi.

Gambar 3.8

(27)

24 Sedangkan skor untuk manajemen keuangan seperti yang diuraikan sebelumnya sebesar 3,2 dapat dijelaskan dengan menganalisis beberapa unsur yang menjadi indikator. Berdasarkan gambar 4.5 unsur tertinggi dalam manajemen keuangan adalah transparansi dalam pengelolaan keuangan sebesar 3,5. Skor tertinggi berikutnya adalah kondisi keuangan dan kemandirian keuangan sebesar 3,3. Sedangkan penggunaan standar akuntansi dalam pelaporan keuangan sebesar 3,1 dan yang terendah skor tentang audit keuangan berkala yang hanya sebesar 2,8.

Data tersebut menggambarkan bahwa pengelolaan keuangan yang transparan dan dikelola secara

bersama-dalam organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan data sebelumnya yang menunjukkan bahwa terdapat 43,1 persen OMS yang sumber pendanaannya melalui iuran anggota. Prosentase iuran anggota yang cukup besar ini memberikan dorongan kepada OMS untuk mengelola keuangannya secara terbuka. Di sisi yang lain, data ini juga memberikan penjelasan bahwa OMS

secara ekonomi, meski presentase yang menerima bantuan pemerintah juga cukup banyak yaitu sebesar 20,4 persen.

Gambar 3.9

Skor Unsur Manajemen Keuangan

Manajemen kerja mendapatkan skor 3,2, nilai ini dapat dianalisis secara lebih mendalam dengan melihat skor setiap unsur di dalamnya. Skor tertinggi terdapat pada unsur pelaporan kinerja dan frekuensi rapat/koordinasi sebesar 3,3. Skor tertinggi berikutnya berkaitan dengan struktur organisasi dan pembagian tupoksi sebesar 3,2.

(28)

25 Sedangkan skor terendah terdapat pada unsur fasilitasi dan supervisi dalam pelaksanaan program dan kegiatan di angka 3.

Dari data tersebut diketahui bahwa dalam tata kelola (governance) OMS di Indo

banyak berkaitan dengan tata kelola internal, yaitu pelaporan kinerja dan evaluasi internal, frekuensi rapat/koordinasi. Sedangkan unsur fasilitasi dan supervisi (melibatkan institusi luar) menjadi yang terendah dalam skoringnya. Sebagaimana data yang disajikan sebelumnya hanya 24,1 persen OMS yang memiliki mekanisme monitoring dan evaluasi dari lembaga eksternal.

Gambar 3.10

Skor Unsur Manajemen Kerja

Humas/Kerjasama memperoleh skor 3,2. Beberapa unsur yang digunakan untuk mengukur skor humas/kerjasama adalah komunikasi antar anggota, komunikasi dengan aktor/lembaga di luar organisasi, kerjasama/kolaborasi dengan lembaga di luar organisasi dan kerjasama dengan media massa. Berdasarkan gambar 4.7 skor tertinggi adalah komunikasi antar anggota sebesar 3,6. Berturut-turut diikuti oleh unsur komunikasi dengan aktor/lembaga di luar organisasi sebesar 3,4, melakukan kerjasama dengan aktor/lembaga dari luar organisasi sebesar 3,2 dan skor terendah berkaitan dengan kerjasama/pemanfaatan media massa sebesar 2,7.

Data tersebut memberikan gambaran bahwa OMS di Indonesia masih kurang dalam membangun sinergi antar elemen OMS maupun dengan lembaga pers/penyiaran publik. Di sisi yang lain, OMS di Indonesia lebih kuat dalam membangun komunikasi di dalam organisasi. Kondisi ini dapat dimaknai secara positif maupun negatif. Makna positif menunjukkan bahwa OMS di Indonesia memiliki soliditas internal yang cukup baik. Namun di sisi lain, kondisi ini dapat memunculkan eksklusivisme dalam bentuk sektarian maupun primordial. Sehingga justru dapat mengancam civil society di Indonesia.

(29)

26 Gambar 3.11

Skor Unsur Humas/Kerjasama

2. Kondisi Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik

Kondisi sosial, ekonomi dan politik adalah dimensi di luar organisasi yang memberikan pengaruh terhadap keberadaan serta kinerja organisasi kemasyarakatan. Dimensi ini terdiri atas lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan lingkungan politik yang melingkupi OMS sebagai bagian masyarakat. Berdasarkan pengukuran Indeks diketahui bahwa skor untuk dimensi lingkungan sebesar 3,1. Secara umum skor ini

organisasi kemasyarakatan. Jika dikaji lebih detail terpapar pada gambar 4.8. Dari data tersebut diketahui bahwa lingkungan sosial yang memiliki skor tertinggi sebesar 3,5. Sedangkan lingkungan politik di angka 3,1 dan yang terendah adalah lingkungan ekonomi sebesar 2,7.

Gambar 3.12

Skor Variabel Lingkungan

Skor 3,5 pada variabel Lingkungan sosial dapat dianalisis lebih mendalam melalui beberapa variabel yaitu: penerimaan masyarakat terhadap OMS, kepercayaan masyarakat terhadap OMS, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan OMS dan bantuan masyarakat (tenaga dan materi) terhadap kegiatan OMS. Pada gambar 4,9 skor unsur

(30)

27 tertinggi terdapat pada penerimaan masyarakat sebesar 3,6. Berikutnya berturut-turut unsur kepercayaan masyarakat dan keterlibatan masyarakat masing-masing sebesar 3,5 dan yang terendah adalah dukungan dan keterlibatan perguruan tinggi dalam kegiatan OMS sebesar 3,3.

dan memberikan dukungan kepada OMS. Bahkan angka keterlibatan juga cukup tinggi hingga di angka 3,5. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah dukungan dan keterlibatan institusi pendidikan/akademis dalam hal ini perguruan tinggi justru berada pada skor terendah. Pengukuran mengenai dukungan institusi akademis dilakukan untuk mengetahui peran dan fasilitasi kalangan intelektual dalam kerja-kerja sosial, khususnya dalam OMS. Data ini konsisten dengan angka fasilitasi dan pendampingan dari lembaga diluar OMS yang memang rendah.

Gambar 3.13

Skor Unsur Lingkungan Sosial

Lingkungan politik diukur melalui beberapa variabel yaitu: penerimaan institusi pemerintah/negara terhadap OMS, dukungan/bantuan institusi pemerintah/negara terhadap kegiatan OMS, keterlibatan aktif pemerintah/negara dalam kegiatan OMS. Berdasarkan data yang disajikan pada gambar 4.10 ketahui penerimaan institusi negara/instansi pemerintah terhadap OMS sebesar 3,2. Sedangkan dukungan dan keterlibatan institusi negara/instansi pemerintah terhadap kegiatan OMS masing-masing skornya diangka 3,1.

menerima/mengesahkan keberadaan OMS namun masih rendah dalam pemberian dukungan atau bahkan terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan OMS. Data ini dapat dimaknai dalam dua perspektif. Pertama, rendahnya dukungan dan keterlibatan pemerintah dalam kegiatan OMS dapat dimaknai bahwa institusi negara (state) tidak ingin terlalu campur tangan dan intervensi terhadap ruang-ruang sosial yang menjadi

(31)

28 kemandirian masyarakat. Kedua, skor yang rendah berkaitan dengan dukungan institusi negara menggambarkan ketidakpedulian negara terhadap OMS.

Dua pemaknaan tersebut akan sangat tergantung dengan jenis OMS yang bersangkutan. Termasuk juga berkaitan dengan latar belakang dan tujuan pembentukan OMS. Ada sebagian OMS yang justru tidak ingin menerima bantuan dari negara karena akan mengganggu independensinya. Namun tidak sedikit juga yang memang berharap bantuan dari negara.

Gambar 3.14

Skor Unsur Lingkungan Politik

Lingkungan ekonomi diukur melalui beberapa variabel yaitu: penerimaan kalangan swasta/perusahaan terhadap OMS, dukungan/bantuan kalangan swasta/perusahaan terhadap kegiatan OMS, keterlibatan swasta dan perusahaan dalam kegiatan OMS. Berdasarkan gambar 4.11 skor per unsur untuk lingkungan ekonomi memiliki nilai paling rendah jika dibandingkan dengan lingkungan sosial dan politik. Skor penerimaan kalangan swasta/perusahaan terhadap OMS sebesar 3. Sedangkan dukungan dan keterlibatan swasta/perusahaan terhadap OMS masing-masing diangka 2,7 dan 2,6. Rendahnya dukungan dan keterlibatan swasta dalam kegiatan OMS sangat tergantung pada kesamaan dan kepentingan pihak swasta. Apabila memiliki kesamaan tujuan sangat mungkin pihak swasta mendukung kegiatan OMS. Di sisi yang lain, skema corporate social responsibility (CSR) terkadang tidak secara maksimal dirasakan oleh OMS. Dikarenakan rendahnya kesadaran korporasi serta minimnya dorongan dari institusi negara.

(32)

29 Gambar 3.15

Skor Unsur Lingkungan Ekonomi

3. Efektifitas

Dimensi efektifitas fokus pada dampak OMS terhadap anggota serta kehidupan sosial kemasyarakatan. Dimensi ini diukur untuk mengetahui kontribusi OMS secara riil baik untuk anggotanya maupun masyarakat (lingkungan sosial, ekonomi dan politik). Dari penghitungan yang telah dilakukan skor efektifitas OMS adalah sebesar 3 atau yang terendah jika dibandingkan dengan dimensi kondisi organisasi dan lingkungan OMS. Beberapa variabelnya yaitu kemampuan mempromosikan nilai-nilai organisasi kepada masyarakat, kemampuan merespon isu dan permasalahan anggota/masyarakat,

kemampuan memperjuangkan aspirasi anggota/masyarakat, kemampuan

memberdayakan anggota/masyarakat dan kemampuan mempengaruhi kebijakan publik, kemampuan meningkatkan tanggungjawab sosial pemerintah dan swasta.

Berdasarkan gambar 4.11 efektifitas kinerja OMS yang tertinggi adalah kemampuan mempromosikan nilai-nilai organisasi baik pada anggota maupun masyarakat sebesar 3,4. Kemampuan merespon isu dan permasalahan 3,3; kemampuan memperjuangkan aspirasi anggota dan masyarakat 3,2; kemampuan memberdayakan anggota dan masyarakat 3,2; kemampuan mempengaruhi kebijakan publik 2,6 dan kemampuan meningkatkan tanggungjawab sosial pemerintah dan swasta 2,6. Data tersebut memberikan gambaran bahwa kinerja OMS memiliki efektfitas yang cukup tinggi hanya di internal anggota OMS dan masyarakat (lingkungan sosial). Sedangkan di lingkungan pemerintah dan swasta sangat rendah diangka 2,6 yang jika dikonversikan

(33)

30 Gambar 3.16

Skor Variabel Efektifitas OMS

Belum tercapainya target Indeks Organisasi Kemasyarakatan (Indeks Masyarakat Sipil) antara lain disebabkan oleh faktor kebijakan (peraturan perundangan-undangan) yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan dinamika kemasyarakatan pasca reformasi. Undang-Undang No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sudah tidak mampu mengakomodir euphoria kebebasan pasca reformasi dimaksud. Potensi permasalahan akan muncul ketika OMS masih sangat rentan terhadap godaan eksternal dan mudah terseret dalam permainan politik, dan masih lemahnya kemampuan OMS dalam memobilisasi sumber pendanaan secara mandiri serta masih rendahnya kesadaran OMS dalam menata organisasinya secara lebih baik, lebih berkualitas dan modern sehingga lebih kredibel dimata masyarakat. Diharapkan masalah tersebut dapat diselesaikan dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sehingga Indeks Kesehatan Organisasi Kemasyarakatan akan mengalami perbaikan secara berarti pada masa yang akan datang.

Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan dimaksud adalah dengan mengoptimalisasikan fungsi pemerintah sehingga dapat masuk kedalam agenda-agenda penting OMS, terutama dalam rangka penguatan ideologi, tata kelola dan pengelolaan keuangan OMS sehingga kedepan OMS lebih mandiri, dan lebih mampu mengembangkan organisasinya menjadi organisasi yang modern serta lebih akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan.

(34)

31 SASARAN 2

Meningkatnya komitmen pemangku kepentingan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa

CAPAIAN KINERJA SASARAN

Tabel 3.2

Pengukuran Kinerja Sasaran 2

Meningkatnya komitmen pemangku kepentingan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

1. Persentase kebijakan/peraturan perundangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan

80% 72,73% 90,91%

Indikator 3: Persentase kebijakan/peraturan perundangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan

Berdasarkan Permendagri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik memiliki tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang kesatuan bangsa dan politik. Dalam merumuskan kebijakan tersebut, tentu harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya baik secara substansi maupun penormaannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dalam merumuskan kebijakan diperlukan partisipasi masyarakat, instansi terkait serta para pemangku kepentingan lainnya dalam hal keterlibatan dalam proses politik yang seluas-luasnya baik dalam pengambilan keputusan maupun monitoring kebijakan. Hal tersebut tentunya diarahkan demi terwujudnya situasi dan kondisi nasional yang kondusif dalam rangka tercapainya pembangunan nasional.

Penyusunan sebuah kebijakan termasuk peraturan perundang-undangan semestinya selain mempertimbangkan faktor-faktor normatif yang ideal juga harus memperhatikan faktor penerimaan dan kemampuan pelaksanaannya oleh para pemangku kepentingan terkait. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor utama dalam meningkatkan komitmen pemangku kepentingan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan tidak mengalami penolakan dan dapat dilaksanakan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Bahwa upaya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui penciptaan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan syarat pokok pencapaian tujuan nasional, oleh karena itu perwujudan pencapaiannya harus

(35)

32 dilaksanakan melalui pelaksanaan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah termasuk untuk mewujudkan kondisi kehidupan masyarakat yang tenteram, tertib dan teratur sebagaimana diatur dalam Pasal 22 huruf a, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang menyatakan dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban melindungi masyarakat,

menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi

perubahan paradigma birokrasi yang

membawa konsekuensi terhadap mekanisme

pelaksanaan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Amanat undang-undang tersebut secara substantif menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial, menciptakan rasa memiliki pemerintahan, menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum.

Sampai dengan saat ini, peraturan perundangan yang dihasilkan oleh Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik selama kurun waktu 2010-2013 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3

Capaian Implementasi Kebijakan/Regulasi Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Periode 2010-2013

No Jenis Tentang Capaian Katego

ri 1 UU Nomor 2 Tahun

2011

Partai Politik > 25 Provinsi Baik

2 UU Nomor 15 Tahun 2011 Penyelenggara Pemilihan Umum > 25 Provinsi Baik 3 UU Nomor 7 Tahun 2012

Penanganan Konflik Sosial > 25 Provinsi Baik

4 UU Nomor 8 Tahun 2012

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah

(36)

33

5 UU Nomor 17 Tahun

2013

Organisasi Kemasyarakatan 10-15 Provinsi Kurang

6 PP Nomor 18 Tahun

2013

Tata Cara Pengunduran Diri Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri Yang Akan Menjadi Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota, serta

Pelaksanaan Cuti Pejabat Negara Dalam Kampanye Pemilu

> 25 Provinsi Baik

7 Permendagri No. 16

Tahun 2011

Perubahan Atas Permendagri Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelejen Daerah

> 25 Provinsi Baik

8 Permendagri No. 39

Tahun 2011

Perubahan Atas Permendagri Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerjasama Kementerian Dalam Negeri

Dan Pemerintah Daerah

Dengan Organisasi

Kemasyarakatan Dan

Lembaga Nirlaba Lainnya

Dalam Bidang Kesatuan

Bangsa Dan Politik Dalam Negeri 15-25 Provinsi Cukup Baik 9 Permendagri No. 36 Tahun 2010 Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik > 25 Provinsi Baik 10 Permendagri No. 49 Tahun 2010

Pedoman Pemantauan Orang

Asing Dan Organisasi

Masyarakat Asing Di Daerah

15-25 Provinsi Cukup Baik

(37)

34

11 Permendagri No. 50

Tahun 2010

Pedoman Pemantauan Tenaga Kerja Asing Di Daerah

15-25 Provinsi Cukup Baik

12 Permendagri No. 29

Tahun 2011

Pedoman Pemerintah Daerah Dalam Rangka Revitalisasi Dan Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila 15-25 Provinsi Cukup Baik 13 Permendagri No. 38 Tahun 2011 Pedoman Peningkatan

Kesadaran Bela Negara Di Daerah

15-25 Provinsi Cukup Baik

14 Permendagri No. 57

Tahun 2011

Pedoman Orientasi Dan

Pendalaman Tugas Anggota DPRD Propinsi Dan DPRD Kab/Kota > 25 Provinsi Baik 15 Permendagri No. 61 Tahun 2011 Pedoman Pemantauan,

Pelaporan Dan Evaluasi Perkembangan Politik Di Daerah > 25 Provinsi Baik 16 Permendagri No. 64 Tahun 2011 Pedoman Penerbitan Rekomendasi Penelitian 10-15 Provinsi Kurang 17 Permendagri No. 1 Tahun 2012

Pedoman Pemberian Tanda

Penghargaan Pembauran Kebangsaan 10-15 Provinsi Kurang 18 Permendagri No. 33 Tahun 2012 Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan Di Lingkungan Kementerian

Dalam Negeri Dan

Pemerintah Daerah 10-15 Provinsi Kurang 19 Permendagri No. 71 Tahun 2012 Pedoman Pendidikan Wawasan Kebangsaan 15-25 Provinsi Cukup Baik

(38)

35

20 Permendagri No. 20

Tahun 2013

Perubahan Kedua Atas

Permendagri No 44 Tahun

2009 tentang Pedoman

Kerjasama Departemen

Dalam Negeri dan

Pemerintah Daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan

dan Lembaga Nirlaba

Lainnya dalam Bidang

Kesatuan Bangsa dan Politik

10-15 Provinsi Kurang 21 Permendagri Nomor 21 Tahun 2013 Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika < 10 Provinsi Buruk 22 Permendagri Nomor 26 Tahun 2013

Perubahan Atas Peraturan

Menteri Dalam Negeri

Nomor 24 Tahun 2009

tentang Pedoman Tata Cara Perhitungan, Penganggaran Dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan Pertanggungjawaban

Penggunaan Bantuan

Keuangan

> 25 Provinsi Baik

Sumber data: Bagian Perundang-Undangan dan Kepegawaian, Desember 2013

Berdasarkan data tersebut diatas, telah dilakukan analisis dan pembobotan berdasarkan pada masing-masing kebijakan/regulasi yang dihasilkan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsan dan Politik selama kurun waktu 2010-2013 dengan katergori sebagai berikut:

Tabel 3.4

Kategori Kebijakan/Regulasi yang dilaksanakan Pemerintah daerah dan Pemangku Kepentingan Lainnya

No. Nilai Kebijakan/Regulasi yang dilaksanakan Daerah Kategori Nilai

1. > 25 Provinsi Baik

2. 15-25 Provinsi Cukup Baik

3. 10-15 Provinsi Kurang

Referensi

Dokumen terkait

ROPK Fisik sudah masuk kategori Rinci/Lengkap jika dalam ROPK tersebut sudah ada aktivitas fisik pada masing-masing tahapan (Persiapan, Pelaksanaan, dan Pelaporan), dan

Apabila suatu sediaan mengandung bahan psikotropik selain daripada yang tercantum dalam Daftar Psikotropika Golongan I diracik sedemikian rupa sehingga

Penulisan karya akhir ini juga untuk memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada program studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya

[r]

bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang efektif dan efisien serta untuk meningkatkan kelancaran dan pelaksanaan pelayanan masyarakat di bidang

Sedangkan model ketiga adalah institutional model yang memulai Reformasi Administrasi Publik sebagai buah dari kesadaran kelembagaan akan kebutuhan perubahan

KD: Menguasai bahasa Inggris lisan dan tulisan, reseptif dan produktif dalam segala aspek komunikatifnya (linguistik,wacana,sosiolinguistik dan

Dengan ini kami beritahukan bahwa perusahaan Saudara telah lulus Evaluasi Administrasi, Teknik, Harga dan Kualifikasi untuk Paket tersebut di atas.. Sebagai kelanjutan proses