• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI TEACHING FACTORY DI SMKN 2 GEDANGSARI GUNUNGKIDUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI TEACHING FACTORY DI SMKN 2 GEDANGSARI GUNUNGKIDUL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

29 Dwi Yunanto

P4TK Seni Budaya Yogyakarta Jl. Kaliurang Km 13,3 Sleman Yogyakarta

e-mail: dwiyunanto71@gmail.com

Abstract. Evaluation of ‘teaching factory’ implementation in SMKN2 Gedangsari Gunung

Kidul Yogyakarta aimed to determine the implementation of ‘teaching factory’ in Boutiqe Fashion skill program of SMKN 2 Gedangsari Gunung Kidul. ‘Teaching factory’ method is given by the vocational school to graduated students in order to prepare them to become more independent. This research was a descriptive study using seven parameters approach based on SED-TVET instruments. The population consisted of students, productive teachers, vice principal of curriculum affairs, and principals who run school's teaching factory. The data analyzed by using percentages. The results showed that overall SMKN 2 Gedangsari haven’t implemented teaching factory in productive subject with the percentation of 41.93%, teaching factory implementation management as much as 26.67%, workshop or laboratory management as much as 64%, training learning pattern as much as 42.86%, teaching factory marketing as much as 24.00%, products and services as much as 68%, human resources in the management of teaching factory as much as 48% and industrial relations as much as 20%.

Keywords: Teaching factory, seven parameters, vocational school

Abstrak . Evaluasi pelaksanaan pembelajaran teaching factory di SMKN 2 Gedangsari Gunung Kidul Yogyakarta bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan teaching factory di program keahlian Tata Busana Butik di SMKN 2 Gedangsari Gunung Kidul. Pembelajaran teaching factory diberikan oleh sekolah kejuruan pada siswa yang telah lulus agar mereka siap untuk mandiri. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan mengunakan pendekatan tujuh parameter yang bersumber pada instrumen SED-TVET. Populasi penelitian adalah peserta didik, guru produktif, wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan kepala sekolah yang menjalankan teaching factory di sekolah tersebut. Data dianalisis dengan menggunakan teknik persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan SMKN 2 Gedangsari belum menerapkan proses pembelajaran teaching factory dalam mata pelajaran produktif, dengan persentasi sebesar 41,93%., kegiatan managemen pelaksanaan teaching factory sebesar 26.67%, pengelolaan bengkel atau laboratorium sebesar 64%, pola pembelajaran training sebesar 42,86%, pemasaran teaching factory sebesar 24%, produk dan jasa sebesar 68%, sumber daya manusia dalam pengelolaan teaching factory sebesae 48% serta hubungan industri sebesar 20%.

Kata kunci: Teaching factory, tujuh parameter, sekolah kejuruan

LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan salah satu usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga bangsa menjadi lebih maju dan disegani oleh negara-negara lain di tingkat internasional. Peranan lmu pengetahuan dan

teknologi berkembang dengan begitu pesat tetapi perkembangan ini tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai. Di era pasar yang sedang berkembang, dunia industri mengupayakan nilai tambah terhadap produksinya dengan

(2)

JURNAL VIDYA KARYA | VOLUME 31, NOMOR 1, APRIL 2016

30

memanfaatkan teknologi-teknologi tinggi. Setiap perusahaan ingin meningkatkan produktivitasnya sehingga target yang menjadi tujuan perusahaan tersebut dapat tercapai. Untuk memanfaatkan teknologi tinggi dan meningkatkan produktivitas ini maka dunia industri membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Munculnya berbagai permasalahan tersebut kemudian mendorong pendidikan kejuruan berupaya

untuk menghasilkan SDM yang

berkompeten di bidangnya, mempersiapkan peserta didiknya dalam memasuki dunia kerja ataupun memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Pendidikan mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga peserta didik mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Pendidikan harus menyentuh potensi nurani maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan datang

Jumlah tenaga kerja Indonesia per Agustus 2014 mencapai 182,99 juta orang. Dari jumlah itu 7,24 juta orang di antaranya berstatus pengangguran terbuka. Kepala Badan Pusat Stastistik Suryamin menyebutkan, tingkat pengangguran terbuka paling banyak adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK), diploma, dan universitas. Jumlah pengangguran lulusan SMK adalah 11,24 % dari total jumlah pengangguran. Pengangguran lulusan SMK ini naik tipis dibandingkan Agustus 2013 yang mencapai 11,21 %. Jumlah

lulusan SMK yang menganggur ini persentasenya lebih besar dibanding persentase lulusan SMA biasa yang mencapai 9,55 % (Moerwismadhi, 2009).

Rendahnya kualitas lulusan sekolah kejuruan berakibat produktifitas tenaga kerja terampil di dunia industri semakin terpuruk. Kepercayaan dunia industri semakin berkurang sehingga lulusan yang terserap juga sedikit. Salah satu faktor penyebab adalah kurikulum yang terus berubah menyebabkan kondisi di lembaga pengelola pendidikan kejuruan semakin terbebani. Kondisi tersebut secara tidak langsung berakibat lembaga pendidikan kejuruan tidak siap dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas. Seharusnya sebagai lembaga pendidikan yang mendidik calon tenaga kerja, keunggulan yang dikembangkan oleh sekolah menengah kejuruan diutamakan pada keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk mencapai hal tersebut SMK harus memprioritaskan pengembangan sistem pendidikan yang berorientasi pada peningkatan tamatan yang benar-benar profesional, memiliki etos kerja, disiplin, santun dan tetap menjunjung tinggi serta berakar pada budaya bangsa sebagai cerminan peserta didik yang bertanggung-jawab.

Sekolah merupakan jawaban dan sebagai sarana serta wadah bagi semua unsur pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Namun selalu ada hambatan dan rintangan untuk mewujudkan hal tersebut. Kendala yang dimaksudkan salah satunya adalah tingkat kemiskinan yang masih tinggi sehingga menyebabkan banyak siswa yang seharusnya masih berada pada usia sekolah menjadi putus sekolah. Biaya yang mahal bagi siswa yang akan melanjutkan ke jenjang berikutnya khususnya perguruan tinggi menyebabkan sedikit sekali remaja yang bisa menikmati sekolah di perguruan tinggi. Masih

(3)

31 banyak dijumpai bahwa lulusan SMK cukup

banyak, akan tetapi disisi lain lulusan yang mampu mandiri dan bekerja sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya masih sangat sedikit (terbatas). Tidak heran bahwa siswa-siswa SMK yang telah tamat (lulus) banyak yang tidak bekerja (menganggur), hal tersebut dikarenakan mereka belum mampu untuk menciptakan lapangan kerja sendiri (mandiri) demikian juga mereka belum siap untuk bekerja sesuai dengan tuntutan dunia kerja.

Saat ini masih ada kesan bahwa lulusan SMK, tingkat keterampilannya masih belum baik dan dikhawatirkan kalah bersaing dengan tenaga-tenaga kerja asing yang ada. Dengan kualitas lulusan SMK yang baik diharapkan mereka tidak hanya bekerja di Indonesia diharapkan mampu bersaing dengan tenaga kerja asing di luar negeri.Sering terdengar bahwa disatu sisi lulusan SMK cukup banyak, akan tetapi di sisi lain lulusan yang mampu mandiri dan bekerja sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya masih sangat sedikit (terbatas). Tidak heran bahwa siswa-siswa SMK yang telah tamat (lulus) banyak yang tidak bekerja (menganggur), hal tersebut dikarenakan mereka belum mampu untuk menciptakan lapangan kerja sendiri (mandiri) demikian juga mereka belum siap untuk bekerja sesuai dengan tuntutan dunia kerja.

Kesiapan ini tampak dari kualitas mutu lulusan SMK masih perlu ditingkatkan, yaitu baik dari kemandiriannya maupun dari tingkat penalarannya. Sejalan dengan pernyataan di atas perlu ada langkah-langkah kongkrit untuk meningkatkan mutu lulusan SMK sehingga sesuai dengan harapan masyarakat maupun dunia usaha dan industri. Peningkatan mutu pendidikan, menyangkut pengendalaian komponen-komponen pendidikan yang menunjang terpenuhinya mutu pendidikan yang dibutuhkan dunia kerja. Komponen-komponen tersebut terdiri atas kebijakan mutu pendidikan, kurikulum, pembelajaran, fasilitas pendidikan, peserta didik, dan pendidik. Hasil dari proses pendidikan adalah kemampuan lulusan, sedang kriteria mutu lulusan

adalah deskripsi kemampuan (kinerja) yang dituntut dunia kerja.

Teaching Factory adalah salah satu usaha untuk dapat menghadirkan dunia industri/kerja yang sesungguhnya dalam lingkungan sekolah. Dalam pelaksanannya, teaching factory memiliki beberapa tujuan, yaitu : 1) Meningkatkan kompetensi lulusan SMK, 2) Meningkatkan jiwa entepreneurship lulusan SMK, 3) Menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang memiliki nilai tambah, 4) Meningkatkan sumber pendapatan sekolah, dan 5) Meningkatkan kerja sama dengan industri atau entitas bisnis yang relevan (Herminarto, 2008).

Implementasi Kurikulum 2013 merupakan langkah strategis dalam menghadapi globalisasi dan tuntutan masyarakat Indonesia masa depan.Titik tekan pengembangan Kurikulum 2013 adalah penyempurnaan pola pikir, penguatan tata kelola kurikulum, pendalaman dan perluasan materi, penguatan proses pembelajaran, dan penyesuaian beban belajar agar dapat menjamin kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan. Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific). perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning) dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning). Dalam penguatan pembelajaran teaching factory ini merupakan salah satu pendekatan model pembelajaran nyata yang dapat digunakan untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja. SMKN 2 Gedangsari Gunung Kidul, adalah SMKN 2 yang sudah menerapkan pembelajaran teaching factory. Pembelajaran teaching factory di SMKN 2 Gedangsari sudah dilaksanakan dua tahun terakhir ini. Oleh karena itu peneliti akan melaksanakan penelitian guna mendapatkan data dan

(4)

JURNAL VIDYA KARYA | VOLUME 31, NOMOR 1, APRIL 2016

32

informasi berkaitan dengan implementasi teaching factory yang sudah diterapkan di SMKN 2 Gedangsari Gunung Kidul.

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa masalah yang dapat dirumuskan

dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana implementasi proses pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari Gunungkidul? (2) Apa saja hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari Gunungkidul? (3) Bagaimana perbaikan pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari Gunungkidul? METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian dilaksanakan di SMKN 2 Gedangsari Gunungkidul pada program keahlian Tata Busana Butik. Pelaksanaan penelitian melalui beberapa tahap, yaitu tahap pra survey pada bulan September 2015 pengambilan data pada bulan September sampai dengan Oktober 2015, dan dilanjutkan dengan analisis data serta penulisan laporan. Hasil penjabaran variabel dan dimensinya dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah angket, wawancara dan observasi. Adapun alat pengumpulan data

yang digunakan adalah lembar angket, pedoman wawancara dan pedoman observasi. Data dianalisis dengan menggunakan teknik persentase.

Tabel 1. Variabel dan Dimensi Penelitian

Variabel Dimensi Pelaksanaan Teaching Factory (TEFA) atau teaching industry(TI). 1. Pemahaman konsep teaching factory di SMKN 2 Gunung Kidul 2. Tujuh parameter implementasi teaching factory

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil rekapitulasi pembelajaran teaching factory di SMK N 2 Gedangsari dapat dilihat pada Tabel 2. Secara keseluruhan rerata persentase pelaksanaan teaching factory di SMKN Gedangsari adalah 41,93%, di mana aspek-aspek seperti produk-jasa dan bengkel-laboratorium merupakan dua aspek yang dilaksanakan paling baik menurut responden. Baiknya pelaksanaan aspek bengkel laboratorium serta aspek produk dan jasa ini

menunjukkan kesiapan fasilitas dan managemen yang baik dari SMKN 2 Gedangsari dalam melaksanakan teaching factory. Hasil penelitian Santoso (2014) menunjukkan bahwa tingkat kesiapan dalam melaksanakan teaching factory akan

mempengaruhi hasil belajar.

Tabel 2. Data Pelaksanaan Teaching Factory Pada 7 Parameter di SMKN 2 Gedangsari

Aspek Skor

1. Manajemen teaching factory/industry 26.67

2. Bengkel-laboratorium 64.00

3. Pola pembelajaran – training 42.86

4. Marketing - promosi tf/ti 24.00

5. Produk – jasa 68.00

6. SDM/pengelolaan TF/TI 48.00

7. Hubungan industry 20.00

Rata-rata 41.93

Dua aspek yang perlu ditingkatkan adalah hubungan industry dan

marketing-promosi karena persentase penerapan teaching factory pada kedua aspek terebut dinilai paling

(5)

33 rendah oleh responden. Rendahnya

implementasi pada kedua faktor ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fajaryati (2012) di SMK Surakarta. Pelaksanaan teaching factory merupakan hal penting dalam pembelajaran di sekolah kejuruan karena menurut hasil penelitian Teng et al. (2001), dengan menggunakan teaching factory pengetahuan teknis, skill grup dan pengalaman kerja dunia nyata siswa bisa ditingkatkan. Hasil assessment tersebut selanjutnya digambarkan dalam diagram pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Hasil Assesment Pembelajaran Teaching factory

Hasil analisis terhadap 7 (tujuh) parameter pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari seperti data yang terdapat pada Tabel 2 dapat dijelaskan sebagai berikut. Aspek pertama managemen teaching factory, secara langsung berdasarkan pengamatan yang dilakukan baik disekolah maupun wawancara dengan kepala sekolah, waka kurikulum serta guru produktif bahwa pelaksanaan teaching factory untuk program keahlian Tata Busana Butik di SMKN 2 Gedangsari bahwa untuk management teaching factory belum terbentuk secara resmi. Pelaksanaan teaching factory/industry yang dilaksanakan di sekolah merupakan wadah

alumni siswa dikelola oleh pihak yayasan penyantun sekolah yang bertujuan untuk memberikan pengalaman bekerja di Industri. Hasil Administrasi Keuangan TI, Struktur Organisasi + Job description, SOP Kinerja dan Alur kerja, Leadership, Dampak TI terhadap institusi serta Lingkungan tidak ada dan belum tersosialisasi tentang implementasi teaching factory diseluruh warga sekolah dan skor 26,67.

Aspek kedua, yaitu bengkel/-laboratorium. Peralatan yang tersedia di studio tata busana butik baik untuk ruang praktik dan teori tidak bermasalah artinya bahwa semua fasilitas yang ada di sekolah memadai dengan adanya pembelajaran produktif. Peralatan yang diperlukan baik untuk kompetensi maupun TI proporsional dengan jumlah siswa/rombel. Alat bantu proses yang ada sangat lengkap baik jumlah dan jenisnya. Standarisasi selalu dilakukan sehingga peralatan selalu siap pakai. Tata kelola pemakaian dan peminjaman alat dikelola dengan SOP yang jelas. Inventarisasi peralatan dilaksanakan dengan konsisten. Luas ruang memadai (cukup longgar), ruang workshop tertata rapi dan bersih, memperhatikan faktor keselamatan dan alur kerja, tersedia area kerja, alat maupun material yang memadai, sinar dan sirkulasi udara baik.

Aspek ini menunjukkan adanya rekam jejak Manajemen MRC yang dijalankan dengan baik, Penanggungjawab jelas, fasilitas dalam keadaan bersih, standar dan siap pakai. Ada kartu maintenance di mesin, ada data histori MRC. Penataan (layout) bengkel sesuai dengan fungsinya dan diatur dengan rapi sesuai dengan kompetensinya dengan memperhatikan aspek keamanan, kenyamanan dan kesehatan (K3). Hasil pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari berkaitan dengan fasilitas bengkel atau sudah tercukupi dengan skor 64,00.

(6)

JURNAL VIDYA KARYA | VOLUME 31, NOMOR 1, APRIL 2016

34

Pada aspek ketiga yaitu pola pembelajaran – training, dilihat dari hasil secara langsung memang belum terlihat jelas proses pembelajaran training dilaksanakan secara kontiyu, sistem blok dan pembelajaran dengan modul. Sekolah belum menerapkan pembelajaran training bagian dari pembelajaran teaching factory. Sekolah masih menerapkan pembelajaran regular dimana pembelajaran praktek produksi dilaksanakan sesuai jadwal regular disekolah. Jadi secara langsung peserta didik tidak terlibat secara langsung dalam pembelajaran teaching factory di sekolah. Bahan ajar praktek, pola pembelajaran diklat serta jadwal tidak sesuai dengan dalam implementasi teaching factory. Pembelajaran masih dilakukan sesuai dengan jam pembelajaran produktif, rencana pembelajaran produktif belum mengunakan level dari RPP yang dibreakdown kedalam 7 level jobsheet (js), di kelas seperti jobsheet knowledge, di bengkel, jobsheet plan, jobsheet kompetensi, jobsheet aplikasi kompetensi internal/part, jobsheet aplikasi kompetensi external/assy, di unit prod, jobsheet masspro (proses cepat), di industri sekolah dan jobsheet customise (pasar-jual). Pembelajaran produktif untuk program keahlian tata busana butik masih murni pembelajaran regular. Siswa tidak dilibatkan didalam melaksanakan pembelajaran real job dikelas. Skor pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari berkaitan dengan pola pembelajaran training adalah sebesar 42,86. Hal ini menjadi masukan penting bagi SMKN 2 Gedangsari karena meskipun implementasi teaching factory sudah didukung oleh fasilitas laboratorium yang lengkap namun jika pola pembelajaran masih belum menerapkan pola training dan real job, maka hasil pembelajaran tidak akan maksimal. Penerapan pola pembelajaran training dan real job akan

membentuk persepsi positif terhadap teaching factory sehingga diharapkan akan meningkatkan hasil belajar. Hasil penelitian Santoso (2014) menunjukkan adanya hubungan positif antara persepsi siswa terhadap teaching factory dengan hasil belajar.

Aspek ketiga, yaitu media komunikasi untuk teaching factory. Secara langsung memang belum terlihat jelas proses pemanfaatan media dalam kegiatan pembelajaran regular. Tetapi kegiatan teacing factory untuk program 3 plus 1 proses kegiatan sudah mengunakan media komunikasi dalam menjaring konsumen. Sampai saat ini belum ada struktur organisasi tentang teaching factory/industry bagi pengelola kegiatan teaching factory di sekolah. Skor pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari berkaitan dengan media komunikasi teaching factory memang masih relative rendah yaitu sebesar 24.00

Untuk aspek produk dan jasa, secara langsung memang belum terlihat jelas produk jasa yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran regular. Pemberian point ini masih asumsi dari tim guru produktif, sehingga bila komitmen ini bisa sejalan dengan program 3 plus 1, implementasi ini menjadi modal pokok dalam pembelajaraan teaching factory. Guru produktif secara langsung belum dapat menerapkan butir a, b, c, d, dan e didalam pembelajaran produktif dikelas. Diharapkan sekolah dan yayasan dapat mensinergikan antara pembelajaran produktif yang diampu dengan praktek teaching factory yang dikelola pihak yayasan. Hasil pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari berkaitan dengan produk jasa hasil yang dicapai mendapatkan skor sebesar 68.00.

Hasil penelitian pada aspek sumber daya teaching factory menunjukkan bahwa

(7)

35 sumber daya teaching factory belum

digunakan dalam kegiatan pembelajaran regular. Skor yang diperoleh ini merupakan asumsi dari tim guru produktif, sehingga bila komitmen ini bisa sejalan dengan program 3 plus 1, implementasi ini menjadi modal pokok dalam pembelajaraan teaching factory. Sebagian besar guru produktif yang mengajar di program keahlian tata busana butik sudah pernah melaksanakan magang di industri sehingga ini menjadi modal utama guru dalam pelaksanaan teaching industri. Hasil pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari berkaitan dengan sumber daya teaching factory hasil yang dicapai 48.00.

Hasil penelitian pada aspek hubungan industry menunjukkan bahwa secara langsung memang belum terlihat jelas pemanfaatan hubungan industri dalam kegiatan pembelajaran regular menggunakan teaching factory. Seperti aspek-aspek yang lain, pemberian point ini juga masih merupakan asumsi dari tim guru produktif, sehingga bila komitmen ini bisa sejalan dengan program 3 plus 1 implementasi ini akan menjadi modal pokok dalam pembelajaraan teaching factory. Hasil implementasi yang dicapai pada aspek ini sebesar 20.00.

PENUTUP Simpulan

Secara umum pelaksanaan Teaching factory pada program keahlian Tata Busana Butik di SMKN 2 Gedangsari Gunung Kidul belum berjalan dengan baik. Kegiatan yang dilakukan belum bisa berjalan berkelanjutan dengan optimal. Selain itu pelibatan guru produktif dan peserta didik juga belum maksimal dalam pembelajaran teaching factory. Akibatnya, hasil dari tujuh parameter yang terdiri dari managemen teaching factory, pengelolaan bengkel dan laboratorium,

pembelajaran training, media komunikasi, produk dan jasa, sumber daya teaching factory serta hubungan industry belum bisa tercapai secara maksimal. Tetapi potensi sarana, prasarana, produk jasa serta peserta didik sangat memungkinkan pelaksanaan teaching factory di SMKN 2 Gedangsari dapat diterapkan pada kelas X, XI dan XII.

DAFTAR RUJUKAN

Herminarto, S. (2008). Optimalisasi Pembelajaran Berbasis Kompetensi pada Pendidikan Kejuruan. Pidato Pengukuhan Guru Besar, disampaikan pada Rapat Terbuka Senat Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu 16 Februari 2008.

Moerwismadhi. (2009). Teaching factory Suatu Pendekatan dalam Pendidikan Vokasi yang Memberikan Pengalaman ke Arah Pengembangan Technopreneurship. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Technopreneurship Learning For Teaching factory, di Malang Jawa Timur.

Santoso, Y. Nugraha, B.S. (2014). Hubungan antara Persepsi Siswa terhadap Pembelajaran Teaching Factory dan Kesiapan Siswa Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Teaching Factory dengan Hasil Belajar Siswa Kelas XI di Jurusan Teknik Kendaraan Ringan SMK Leonardo Klaten Tahun 2012/2013. e-Jurnal Pendidikan Teknik Otomotif, 7(2)

Suharsimi, A. Safruddin, A. J. (2009). Evaluasi Program Pendidikan : Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Fajaryati, N. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Teaching Factory SMK di Surakarta. Jurnal Pendidikan Vokasi, 2(3), 325-337

Teng, S. G., Schhreiner, S., Nelson, J.B. (2001). Teaching in the Factory: Connecting Industry to Engineering

(8)

JURNAL VIDYA KARYA | VOLUME 31, NOMOR 1, APRIL 2016

36

Education. Industry & Higher Education, 15(5), 353-359.

Gambar

Tabel 1. Variabel dan Dimensi Penelitian
Gambar 1. Hasil Assesment Pembelajaran  Teaching factory

Referensi

Dokumen terkait

Desain media labirin math story yang digunakan dalam pembelajaran materi bangun ruang di kelas V SDI Almaarif 01 Singosari merupakan satu set permainan labirin yang terdiri dari

“”sebenernya apa dek ...” Andre bingung mengapa Ranti terdiam.””sebenernya Ranti malah jauh lebih sayang dan Bangga melihat mas Andre yang sekarang, Yang maju berperang,

Dimana tulisan ini ditujukan kepada masyarakat untuk memberikan informasi mengenai bengkel mobil PT.ADI KENCANA MOTOR beserta produk-produk dan layanan yang ditawarkan.

NO NAMA HOTEL ALAMAT EMAIL CONTACT PERSON (CP) ALAMAT HOTEL NO HP CP TELP HOTEL. 1 Indah Jaya enywidya66@yahoo.com Eny

1 Buah CD yang berisi Salinan (soft copy / hasil scan) Dokumen Penawaran Administrasi, Teknis dan Biaya serta Dokumen Kualifikasi Perusahaan yang berisi

Skripsi yang berjudul : PELAKSANAAN PELATIHAN KERJA DI BALAI LATIHAN KERJA SURAKARTA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 31 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM PELATIHAN KERJA

hubungan antara status vaksinasi BCG, riwayat kontak dan lama kontak dengan kejadian penyakit kusta di Kota Pekalongan tahun 2013. Variabel umur, status sosial ekonomi

Dalam penelitian peneliti ini tidak bermaknanya hubungan metode persalinan dengan angka kejadian alergi pada bayi disebabkan karena waktu penelitian hanya tiga bulan