PERBEDAAN KONSEP DIRI REMAJA
YANG MENGIKUTI DAN YANG TIDAK MENGIKUTI
SEKOLAH MODELING
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Maria Festa Agustin
029114090
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERBEDAAN KONSEP DIRI REMAJA
YANG MENGIKUTI DAN YANG TIDAK MENGIKUTI
SEKOLAH MODELING
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
MARIA FESTA AGUSTIN
029114090
Telah disetujui oleh :
Pembimbing
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta
Penulis
MOTTO
Seorang bayi yang belajar berjalan, berkali-kali jatuh…
namun mereka tidak menyerah untuk mencoba dan mencoba
lagi.
Satu hal yang membuat mereka berhasil…
mereka
tidak mengenal
kata
gagal
!
(Gede Prama)
Semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Klise, tapi itulah faktanya.
Soo...
c r e a t e y o u r o w n s t y l e
(Adeyulia. S)
Just do the best, let God do the rest
Aku percaya bahwa Tuhan telah membuat rencana untuk kita,
dan Ia akan menjadikan segala sesuatu INDAH,
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya kecil ini untuk….
J esus Kristus
dan bunda pe lindung ku…
B unda
M aria
, Te rim akasih atas ke tid ak je nuhanMu atas
pe ng aduan dan ke luhku. Aku tahu b ahwa Eng kau sang at
m e nyayang iku d an tid ak akan pe rnah m e ning g alkanku.
Diriku se ndiri...”karya ini bukanlah hasil akhir, m e lainkan
awal dari pe rjuang an yang se sung g uhnya!!!”
Bapak dan Ibu
Leo S oepono
…te rim akasih atas se luruh
je rih payah, cinta d an pe ng o rb anannya se lam a ham pir 2 3
th, untuk d ik Fista.. Trim akasih jug a atas ke pe rcayaan d an
dukung an yang d ibe rikan se lam a ini.
Kakak-kakakku, kakak-kakak ip arku, p o
nakan-po nakannku...
ABSTRAK
PERBEDAAN KONSEP DIRI REMAJA
YANG MENGIKUTI DAN YANG TIDAK MENGIKUTI
SEKOLAH MODELING
Maria Festa Agustin 029114090 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Tujuan dari penelitian ini, untuk melihat perbedaan konsep diri antara remaja yang mengikuti dan yang tidak mengikuti Sekolah Modeling. Penelitian ini merupakan penelitian komparasi. Hipotesis berbunyi, ada perbedaaan konsep diri antara remaja yang mengikuti dan yang tidak mengikuti Sekolah Modeling. Subyek terdiri dari 30 remaja putri yang mengikuti Sekolah Modeling, dan 30 remaja putri yang tidak mengikuti Sekolah Modeling, berusia 16-20 tahun, duduk di bangku SMU/sederajat/Perguruan Tinggi, serta berdomisili di Yogyakarta.
Data diperoleh dengan menggunakan skala konsep diri. Daya diskriminasi skala menggunakan batas nilai = 0,3, dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,9247.
ABSTRACT
THE DIFFERENCES OF TEENAGERS SELF CONCEPT
BETWEEN THE ONES WHO JOIN WITH MODELLING SCHOOL
AND THE ONES WHO DO NOT
Maria Festa Agustin 029114090 Faculty Of Psychology Sanata Dharma University
Yogyakarta
The aim of this reaserch to see the difference of teenagers self concept between the ones who join with Modelling School and the ones who do not. This is comparative reaserch. Hypothesis says that that there is difference self concept between the ones who join with Modelling School and the ones who do not. The subject of this reaserch is 60 people, that consist of 30 female tenageers who join with Modelling School and 30 female tenagers who do not join Modelling School, they are Senior High School and University student, who are 16-20 years old and live in Yogyakarta.
The data collected using self concept scale. The discriminate power of this research uses limited value = 0,3, with realibility coefficient is 0.9247.
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberi rahmat dan
anugerahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skipsi ini. Skripsi
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
psikologi di Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, sehingga dengan
bantuan dari berbagai pihaklah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bpk. P. Eddy Suhartanto, S.Psi.,M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi,
sekaligus dosen penguji skripsi yang telah memberi kritik dan saran.
2. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah membimbing, mengarahkan dan memberikan dukungan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu K. Dewayani, Msi. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberi
masukan-masukan.
4. Bpk. Agung Santoso S.Psi selaku Dosen Pendamping Akademik penulis
sekaligus dosen penguji skripsi. Ibu MM. Eki Nimas Suprawati, S.Psi, M.Si.,
selaku Dosen Pendamping Akademik penulis terimakasih atas
pendampingannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi
5. Mas Gandung, Mbak Nanik dan Pak Gi di Sekretariat Psikologi, terima kasih
atas bantuannya kepada penulis selama penulis belajar di fakultas Psikologi ini.
6. Mas Muji dan Mas Doni, terima kasih atas semua bantuannya.
7. Pihak Manajemen Sekolah Modeling LPK PAPMI Yogyakarta.
8. Siswa modeling LPK PAMPI dan teman-teman yang menjadi subyek
penelitian, terima kasih atas bantuannya serta kesediaannya mengisi angket
dalam penelitian ini.
9. Bapak dan Ibu Leo Soepono, terimakasih banyak ya bé...mi...,atas dukungan,
cinta dan doanya, karena cinta, dukungan dan doa bapak dan ibulah dik Fista
bisa menyelesaikan skripsi ini.
10. Mbak-mabakku...kakak-kakak iparku yang baik dan murah hati, sering-sering
ngasih ”angpao” ya!!! He...
11. Ponakan-ponakanku yang telah membuat hari-hariku tidak sepi! Tapi kalo
maen ke rumah jangan nakalin tante lagi ya, jangan berantakin kamar tante
ya...awas!hehe (ponakannku buanyaaaaaaaaak loh!!!)
12. LPK Colour Models Management – Asmat Pro, khususnya mas Panji sama mas
Nyudi, terimaksih banyak atas pembelajarannya. Di sinilah awal mula
ketertarikkan saya untuk menggarap penelitian ini. Banyak fenomena, soo
amazing...soo diferent...soo glamour...soo sexy...
13. Sahabat dan keluarga keduaku, Trisa, Ina, Lilis, Nana. Klo maen jangan
memamah biak melulu...skali-skali membelah diri!!! Buruan cari...Keep
14. Temen-temen seperjuanganku di Psikologi, Ntrie yg mengajariku ketekunan,
Tanti (kesetiaan), Mitha (ketulusan), Thea (berkomunikasi), Nopek
(memaafkan), Lita (keceriaan), Adjenk (kedewasaan), Trisa (kemurahan hati
dan ”kaca mata kuda”), kadang kita butuh kok jeng... dan 1 penyelundup,
Tuk-tuk! yang mengajariku untuk easy going dalam bercinta!haha...caiyo semangat,
cepetan lulus biar cepet kawin.. thank ya udah mau jadi sahabat aku (memang
mau po???). Tapi temenan sama kalian jadi bikin hidup lebih berisi kok...justru
perbedaan pada kita yang membuat kita bisa saling belajar banyak hal
kata-kata mutiara hari ini!
15. Bapak dan Ibu dan anak kos Zusi Arib, makasih udah mengijinkan kami untuk
numpang singgah (itung-itung ngekos gratis!) selama kuliah.
16. Semua orang yang pernah mengenalku dan mengajariku banyak hal, hingga
membuatku menjadi lebih baik...
17. Komunitas teater Samar-PL-De Brito, teater Seriboe Djendela, teater ISTAL,
komunitas SUKET dan komunitas seni lainnya, atas wadah katarsis saya
selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
dengan segenap kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang
membangun untuk menunjang kesempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta,
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan ... ii
Pernyataan Keaslian Karya ... iv
Halaman Motto ... v
Halaman Persembahan ... vi
Abstrak ... vii
Abstract ... viii
Kata Pengantar... ix
Daftar Isi... xii
Daftar Lampiran... xv
Daftar Bagan... xvi
Daftar Tabel...xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1
B. RUMUSAN MASALAH ... 8
C. TUJUAN PENELITIAN... 8
D. MANFAAT PENELITIAN... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
B. KONSEP DIRI ... 14
1. Pengertian Konsep Diri... 14
2. Faktor yang mempengaruhi Konsep Diri... 16
3. Aspek-aspek Konsep Diri... 20
C. SEKOLAH MODELING... 29
D. PERBEDAAN KONSEP DIRI REMAJA YANG MENGIKUTI DAN YANG TIDAK MENGIKUTI SEKOLAH MODELING ………..40
E. HIPOTESIS... 42
BAB III METODE PENELITIAN ... 46
A. JENIS PENELITIAN ... 46
B. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 46
C. DEFINISI OPERASIONAL ... 46
D. SUBJEK PENELITIAN... 48
E. PROSEDUR PENELITIAN...49
F. ALAT PENGUMPULAN DATA ... 50
G. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ... 52
H. METODE ANALISIS DATA ... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55
A. PERSIAPAN PENELITIAN... 55
C. DESKRIPSI SUBJEK ... 58
D. HASIL PENELITIAN ... 58
E. PEMBAHASAN... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 66
A. KESIMPULAN ... 66
B. SARAN ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 68
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 SKALA UJI COBA/TRY OUT...71
Lampiran 2 DATA UJI COBA SKALA...76
Lampiran 3 RELIABILITAS SKALA... 90
Lampiran 4 ANGKET PENELITIAN... .97
Lampiran 5 DATA PENELITIAN...100
Lampiran 6 T-TEST MODELING-NON MODELING...106
DAFTAR BAGAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Skor Item Favorable dan Unvaforable...51
Tabel 2 Blue Print Skala Konsep Diri Sebelum Uji Coba Item...52
Tabel 3 Blue Print Skala Konsep Diri Setelah Uji Coba Item ………...56
Tabel 4 Sebaran Item Konsep Diri Berdasarkan Favorable dan Unfavorable Setelah Diuji Kesahihannya………...57
Tabel 5 Skor dan Mean Konsep Diri ……… 59
Tabel 6 Uji Normalitas Data Konsep Diri………..….60
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa yaitu berkisar antara usia 10 hingga 22 tahun Santrock (2003).
Perkembangan fisik pada masa peralihan ini berubah pesat, hingga mencapai
puncak daya tarik, kekuatan, dan kesehatan fisik. Remaja menjadi sangat
menaruh perhatian pada tubuh mereka dan membangun citra dirinya mengenai
bagaimana tubuh mereka nampaknya (Santrock, 2003). Pada periode ini,
perkembangan tidak hanya terjadi secara fisik namun juga mengalami
perkembangan kognisi sehingga remaja mulai mampu berpikir secara abstrak.
Remaja juga mulai melepaskan diri secara emosional dari orangtua dalam rangka
menjalankan peran sosialnya yang baru, Clarke-Steward & Freedman, Ingersol
(Agustiani, 2006).
Berkembangnya pola pikir abstrak, dimana remaja mampu berimajinasi
terhadap kemungkinan-kemungkinan lain dalam segala hal, membuat kaum
remaja memiliki banyak pertanyaan mengenai dirinya. Masa inilah yang oleh
Erikson disebut dengan identity vs identity confusion atau identitas dan
kebingungan identitas. Remaja akan sangat tertarik untuk mengetahui siapa
dirinya, bagaimana dirinya dan kemana ia akan melangkah di kemudian hari.
Kaum remaja yang berhasil menjawab sekaligus mengatasi berbagai pertanyaan
identitas diri menumbuhkan kepercayaan diri, sehingga terbentuk kepribadian
baru yang menarik dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil mengatasi
identitas diri akan menjadi bingung, seakan-akan mereka tidak bisa memahami
diri. Kondisi seperti ini disebut dengan masa kebingungan identitas.
Memahami diri sendiri merupakan dasar dan isi dari konsep diri
(Santrock, 2003). Terkadang masalah rumit yang dialami manusia, seringkali
berasal dari dalam diri, sehingga tanpa sadar mereka menciptakan rantai masalah
yang berakar dari konsep diri. Kemampuan yang dimiliki individu untuk berpikir
dan menilai, terkadang membuat individu menilai dirinya macam-macam, dan
meyakini persepsinya tersebut yang belum tentu objektif. Penilaian negatif akan
diri akan memunculkan problematika, seperti inferioritas, kurang percaya diri dan
merasa diri tidak menarik, namun sebaliknya penilaian positif terhadap diri akan
menumbuhkan kepercayaan diri dan optimisme.
Taylor dan Comb & Snygg (Agustiani, 2006), beranggapan bahwa pada
awalnya konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi tentang dirinya
sendiri. Seiring bertambahnya usia dan kemampuan persepsi, pandangan tersebut
menjadi lebih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari hasil
interaksi dengan lingkungan. Semakin individu melakukan banyak interaksi
dengan orang lain dan lingkungan, maka semakin banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor yang mempengaruhi konsep
diri antara lain jenis kelamin, usia, pendidikan dan tempat tinggal.
Masyarakat memiliki harapan, stereotype dan perlakuan tertentu terhadap
berusaha memenuhi tuntutan masyarakat dan membentuk konsep diri sesuai yang
diharapkan. Misalnya, seorang anak perempuan diharapkan untuk tampil
feminine dan bersikap lebut, maka seorang yang berjenis kelamin perempuan
akan berusaha berpikir dan bertindak demikian.
Usia berpengaruh pada tahap perkembangan kognitif. Perkembangan
kognitif remaja menurut Piaget memasuki tahap operasional formal, dimana
remaja mampu berfikir abstrak, idealis dan logis. Pemikiran ini membuat remaja
memiliki kemampuan untuk mengimajinasikan segala kemungkinan yang ada
(Posible Self). Bagaimana seseorang berangan-angan terhadap
kemungkinan/masa depan, akan berpengaruh pada konsep dirinya. Sikap positif
terhadap masa depan akan membentuk konsep diri yang positif, dan sebaliknya,
sikap pesimis terhadap masa depan akan membentuk konsep diri yang negatif
(Santrock, 2003).
Bangku pendidikan memberikan banyak pengetahuan, informasi dan
pengalaman. Menurut Rini (www.e-psikologi.com, 2002), informasi yang
didapatkan selama proses belajar (di sekolah), akan memperluas pandangan
individu sehingga individu mampu membuat pilihan dan mengambil keputusan.
Demikian halnya dengan tempat tinggal, yang memberikan pengaruh cukup besar
dalam pembentukan konsep diri. Seberapa banyak informasi yang didapatkan
selama seseorang tinggal di suatu tempat, akan memberikan pengaruh terhadap
konsep dirinya, termasuk nilai-nilai, adat dan budaya setempat.
Sependapat dengan pernyataan diatas, Rais (Gunarsa, 1986)
melalui proses pembelajaran dari lingkungan dimana ia tinggal dan berinteraksi,
maka dari itu konsep diri bersifat dinamis dan bisa berubah.
Sekolah Modeling merupakan tempat pembelajaran yang memberikan
pendidikan/pelatihan-pelatihan khusus untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Tujuan tersebut antara lain, membentuk seorang model yang memiliki pribadi 3B
(Beauty, Brain and Behavior). Cantik tidak hanya dilihat secara fisik, namun
disertai dengan wawasan yang luas dan perilaku yang beretika. Sekolah
Modeling mengajarkan banyak hal, tidak hanya mengajarkan bagaimana cara
berjalan di atas panggung, namun juga belajar mengenai etika, make up, seni
peran, publick speaking dan table manner.
Remaja yang mengikuti Sekolah Modeling akan mendapatkan
pengetahuan baru tentang penampilan fisik, etika, dan banyak hal yang lain,
sehingga menambah kepercayaan diri dalam bergaul, sekaligus mendapat
penilaian positif dari orang lain. Hal ini akan memberikan dukungan yang cukup
berarti dalam pembentukan konsep diri yang positif.
Pernyataan ini didukung dengan fakta yang menyebutkan, bahwa sekolah
kepribadian John Robert Powers, yang memberikan materi-materi yang hampir
sama dengan yang diberikan pada Sekolah Modeling, seperti Personality
Development, Public communication, Executive Program, Acting & Modeling,
Kids Program, telah membuktikan bahwa program Modeling dan Acting telah
teruji efektifitasnya (http://www.jrpindonesia.com/ina/location/index.phd , 2007).
Secara obyektif dapat dilihat bahwa para model nampak memiliki
kepercayaan diri tersebut menjadi over, dan muncul sikap narsisme atau
pendewaan diri berlebihan, khususnya pada penampilan fisik. Contoh sikap ini
ditandai dengan kesukaannya untuk bersolek secara berlebihan dan senang
mengagumi diri sendiri, baik dengan kegemaran seseorang untuk bercermin atau
mengagumi foto diri.
Horney dalam teorinya mengenai narsisme, menyatakan bahwa narsisme
merupakan pendewaan diri dan penilaian diri yang berlebihan akibat
perasaan-perasaan tidak aman, seperti kekecewaan (Supratiknya, 1993). Penulis berasumsi,
bahwa remaja yang mengikuti Sekolah Modeling, yang tampak menarik, percaya
diri dan terlihat glamour, bisa saja memiliki kekecewaan terhadap dirinya
sehingga belum tentu memandang diri positif. Pernyataan ini didukung dengan
tanggapan Rais (Gunarsa, 1986) yang menyatakan bahwa konsep tentang diri
sendiri sebenarnya hanya terdapat pada pikiran seseorang dan bukan dalam
realitas yang konkrit. Artinya, apa yang bisa dilihat orang lain mengenai ciri
seseorang, belum tentu sama dengan apa yang dipikirkan orang tersebut
mengenai dirinya sendiri, namun demikian konsep diri mempunyai pengaruh
yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang.
Sebagian besar dari para model adalah remaja. Kita tahu bahwa masa
remaja merupakan masa belajar, dimana mereka masih duduk dalam bangku
pendidikan yang lebih mengutamakan kemampuan akademik. Secara otomatis
prestasi belajar sangat penting dalam masa ini, namun mereka tidak
Banyaknya aktivitas yang dilakukan seperti pemotretan, casting,
pembuatan iklan dan film, bahkan bekerja sebagai SPG tentu saja akan memakan
banyak waktu. Remaja yang masih duduk di bangku sekolah/kuliah, semestinya
membutuhkan waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, namun tidak jarang dari
mereka harus meninggalkan jam belajar/bolos kuliah karena sudah terikat
kontrak untuk suatu produksi. Begitu padatnya kegiatan di luar lingkup sekolah,
membuang banyak waktu dan prestasi menurun.
Sedikit berbeda dengan remaja yang tidak mengikuti Sekolah Modeling,
yang memiliki lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan teman
sekolah/kampus dan mengikuti kegiatan-kegiatan lain seperti ekstrakulikuler.
Kondisi ini akan berpengaruh pada kualitas hubungan dengan teman-teman
sebaya di lingkungan sekolah, sehingga pertemanan menjadi lebih akrab dan
kemampuan sosial bertambah.
Sejak dulu di dalam masyarakat sudah terlihat pola, bahwa yang cantik,
tampan, “keren”, dan langsing, akan lebih populer, disukai dan banyak
mendapatkan peluang, dari pada yang “biasa-biasa saja”. Fenomena yang cukup
besar terjadi saat ini adalah, begitu banyaknya remaja yang tampil cantik dan
modis. Dilihat dari segi penampilan, mereka cukup menarik dan percaya diri,
meskipun sedikit berbeda dengan para model yang lebih “berani” dalam masalah
penampilan.
Fenomena ini didukung oleh tren pasar yang mengikuti perkembangan
mode, belum lagi berbagai media dan iklan bermunculan untuk memperkenalkan
Produk-produk fashion sangat banyak dijumpai di sepanjang jalan kota Yogyakarta.
Puluhan rumah butik berjejeran dengan tampilan yang menarik perhatian,
terutama kaum perempuan. Baju-baju modis, tas, sepatu dan berbagai macam
aksesoris yang dapat didapatkan secara mudah dengan harga terjangkau, bahkan
murah. Bukan lagi hal sulit untuk bisa tampil cantik dan modis, seperti image
“cantik” yang ditayangkan di televisi. Banyak kita jumpai remaja-remaja putri
mengenakan baju-baju yang up to date. Asumsinya bahwa remaja yang tidak
mengikuti Sekolah Modelingpun memiliki kesempatan yang sama untuk tampil
modis, sehingga menjadi lebih percaya diri dalam bergaul dan diterima baik oleh
lingkungan, oleh karena itu kemungkinan memiliki konsep diri yang tinggi.
Saat ini penampilan fisik yang sangat berpengaruh pada pembentukan
konsep diri, sangat mudah didapatkan. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah
remaja yang tidak mengikuti Sekolah Modeling memiliki konsep diri yang sama
dengan remaja yang mengikuti Sekolah Modeling, sementara remaja yang
mengikuti Sekolah Modeling diberikan pengajaran dan pelatihan khusus, antara
lain mengenai cara berjalan di atas panggung (basic modeling), etika, make up,
seni peran, publick speaking dan table manner. Bertolak dari itu semua, penulis
ingin mengetahui apakah ada perbedaan konsep diri antara yang mengikuti dan
yang tidak mengikuti Sekolah Modeling, pada remaja putri dengan rentang usia
dan tempat tinggal yang sama, serta latar belakang pendidikan yang kurang lebih
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan diajukan pada
penelitian ini adalah:
“Apakah ada perbedaan konsep diri antara remaja yang mengikuti dan yang tidak
mengikuti Sekolah Modeling?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan konsep diri remaja yang
mengikuti dan yang tidak mengikuti Sekolah Modeling.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat teoritis
Menambah kajian teoritis dalam dunia psikologi tentang perbedaan
konsep diri remaja yang mengikuti dan yang tidak mengikuti Sekolah Modeling.
Manfaat praktis
Memberikan informasi kepada orang tua, para pendidik/pihak manajemen
Sekolah Modeling maupun remaja, mengenai bagaimana konsep diri, manfaat
Sekolah Modeling terhadap konsep diri remaja, serta memberikan gambaran bagi
BAB II
LANDASAN TEORI
A. REMAJA
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Menurut Santrock (2003), individu dikatakan remaja saat ia sudah
memasuki usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22
tahun.
Lerner & Hultsch (Agustiani, 2006) dan Gunarsa (2004) menguraikan
perubahan yang terjadi pada masa remaja yang cukup unik, dimana ciri umum
yang menonjol adalah berlangsungnya perubahan itu sendiri. Perkembangan dan
perubahan terjadi hampir pada semua aspek kehidupan yang meliputi:
1. Perkembangan fisik
Remaja mulai merasa adanya perbedaan dalam diri mereka.
Perubahan ini paling jelas terlihat, ditandai dengan mengerasnya otot tubuh,
tinggi dan berat badan meningkat, bentuk tubuh lebih proporsional, muncul
pubic hair (rambut pada alat kelamin) dan tumbuh payudara pada remaja
putri. Perubahan biologis yang terjadi karena adanya perubahan
hormon-hormon yang diproduksi, yang memberikan tanda bahwa kemampuan
bereproduksi sudah berfungsi, dan bentuk fisik baru yang mereka dapatkan
2. Perkembangan Emosional
Perubahan hormonal dan fisik yang terjadi pada masa ini
mempengaruhi emosi remaja, dimana mood (suasana hati) bisa berubah
dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi
Csikszentmihalyi dan Reed Larson (Setiono, www.e-psikologi.com, 2002),
menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk
berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara
orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan
mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban
pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah.
Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut
belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Emosi yang menggebu-gebu yang terjadai pada masa ini justru
bermanfaat untuk terus-menerus mencari identitas dirinya, dan dengan
adanya emosi tersebut, remaja secara bertahap akan mencari jalannya menuju
kedewasaan. Bagaimana reaksi orang dan lingkungan terhadapnya akan
membuat remaja belajar dari pengalaman untuk mengambil langkah-langkah
yang terbaik (Sarwono, 1989)
Pada masa ini, para remaja mengalami perubahan yang dramatis
dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap
pendapat orang lain karena menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi
atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik
diri mereka dan merefleksikan anggapan tersebut yang kemudian menjadi
citra dirinya.
3. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif remaja menurut Piaget memasuki
perkembangan operasional formal (formal operation), yang ditandai dengan
kemampuan untuk berfikir abstrak, idealis dan logis. Piaget mengemukakan
bahwa puncak pemikiran ini tercapai sepenuhnya di akhir masa remaja,
sekitar usia 15-20 tahun. Pada usia ini, remaja memantapkan pemikiran
operasional formal dan menggunakannya dengan lebih konsisten (Santrock,
2003). Munculnya pemikiran operasional formal menjadikan remaja memiliki
kemampuan untuk mangimajinasikan segala kemungkinan yang ada.
Menurut Elkind (Gunarsa, 2004), perkembangan kognitif tidak selalu
mengarah pada hal-hal positif, salah satu perkembangan kemampuan mental
yang bisa mengganggu fungsi kognitif adalah egosentrisme. Egosentrisme
merupakan satu perkembangan, dimana seorang remaja memiliki sudut
pandang dan pola pikir yang berorientasi pada diri sendiri. Remaja cenderung
untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan
mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran (Setiono,
www.e-psikologi.com , 2002). Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan
cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya,
sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya
4. Perkembangan Sosial
Semakin bertambahnya usia, semakin luas interaksi individu dengan
lingkungan, maka semakin kompleks pula tuntutan-tuntutan yang dihadapi.
Remaja bukan lagi dikatakan sebagai anak-anak, oleh karena itu orang tua
maupun lingkungan menuntut remaja untuk menentukan/memilih satu peran
yang nantinya akan berimbas pada masa depannya, misalnya saja seperti
penentuan jurusan dan minat.
Masalah muncul ketika remaja tidak mau lagi dikatakan sebagai
anak-anak namun juga belum bisa dikatakan sebagai seorang dewasa. Mereka
belum siap mengambil keputusan yang berdampak jangka panjang untuk
masa depannya, namun disisi lain ingin membebaskan diri dari orang dewasa
(ingin mandiri). Remaja menjadi bertanya-tanya tentang banyak hal tentang
diri mereka, peran mereka dan akan melangkah kemana mereka dikemudian
hari. Kondisi semacam ini memunculkan perasaan dilema. Erikson
menyebutnya dengan identity vs identity confusion atau identitas versus
kebingungan identitas. Kaum remaja yang berhasil mengatasi konflik,
muncul dengan suatu kepribadian baru yang menarik dan dapat diterima.
Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas ini bingung dan
menderita, (Santrock, 2003).
Menurut Erikson (Agustiani, 2006), remaja tidak sekedar
mempertanyakan siapa dirinya, tapi bagaimana dan dalam konteks/kelompok
apa seseorang bisa menjadi lebih bermakna. Identitas individu tergantung dari
remaja memiliki keinginan untuk diakui, untuk meningkatkan kepercayaan
diri sekaligus meningkatkan kemandirian.
Hubungan interpersonal dengan peer-group (teman sebaya) akan lebih
intensif pada masa ini. Konformitas/tekanan kelompok sebaya secara nyata
ataupun tidak nyata akan berpengaruh pada perilaku, karena adanya adopsi
sikap/perilaku dari anggota peer group. Begitu berpengaruhnya teman sebaya
terhadap perkembangan remaja, sehingga di dalam kelompok tersebut
seorang remaja mampu merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya.
Apabila konformitas bersifat positif maka remaja akan mengadopsi hal-hal
yang positif, yang sangat mempengaruhi masa pembentukan identitasnya.
Sebaliknya, jika konformitas bersifat negatif, remaja dengan mudah terbawa
pada perilaku kurang baik.
5. Perkembangan Moral dan Religi
Moral dan religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa
remaja. Moral mengatur bagaimana suatu perbuatan dinilai baik dan tidaknya,
termasuk juga sopan-santun, tata karma dan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat. Religi yaitu kepercayaan terhadap kekuatan/kekuasaan
suatu zat yang mengatur alam semesta. Religi merupakan bagian dari moral,
dimana moral itu sendiri merupakan sebuah kebutuhan, karena pada masa ini
remaja membutuhkan pedoman dan petunjuk dalam rangka pencarian jalan
menuju identitas diri (Sarwono, 1989).
Menurut Adams & Gullotta (Sarwono, 1989). Agama merupakan
penganutnya, yang digunakan seseorang untuk membandingkan tingkah
lakunya. Agama juga memberikan rasa aman, khususnya bagi remaja yang
sedang mencari eksistensi diri
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis memberikan batasan
remaja yaitu ketika seseorang sudah memasuki usia 16 tahun hingga 20 tahun,
dimana terjadi perkembangan dan perubahan hampir pada semua aspek
kehidupan yang meliputi perkembangan fisik, emosional, kognitif, sosial dan
juga perkembangan moral dalam rangka pencarian identitas diri.
B. KONSEP DIRI
1. Pengertian Konsep Diri
Menurut Rais (Gunarsa, 1986), konsep diri merupakan sesuatu yang
ada dalam diri sendiri, lebih pada bagaimana individu memandang dirinya
sendiri, yang terbentuk berdasarkan persepsi individu mengenai sikap-sikap
orang lain terhadap dirinya. Ia berpendapat bahwa konsep diri bukan
merupakan sesuatu yang statis namun dapat berubah. Terbentuk berdasarkan
penggabungan-penggabungan tingkah laku yang mencerminkan keadaan
emosi tertentu dan pemikiran tertentu. Setiap tingkah laku bisa berubah, oleh
karena itu konsep diripun bisa berubah. Rais juga menyatakan, bahwa konsep
tentang diri sendiri sebenarnya hanya terdapat pada pikiran seseorang dan
bukan dalam realitas yang konkret, oleh karena itu apa yang bisa dilihat orang
lain mengenai ciri seseorang, belum tentu sama dengan apa yang dipikirkan
Agustiani (2006) menyatakan bahwa konsep diri merupakan proses
yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Sejalan dengan
pernyataan ini, Fits dan Symonds (Agustiani, 2006), mengemukakan
anggapan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat
kelahiran, melainkan mulai berkembang setahap demi setahap, sejalan
dengan berkembangnya kemampuan persepsi seseorang.
Elkins (1979) menyatakan bahwa konsep diri dipelajari dan terbentuk
berdasarkan seluruh persepsi yang diperoleh lewat pembelajarannya dengan
orang lain/lingkungan dan konsekwensi dari pengalaman. Sebelum seseorang
dilahirkan, mereka sudah mulai membentuk deferensiasi tentang diri dan
dunia dimana ia berada, kemudian secara berkelanjutan mereka belajar
mengeksplorasi. Diawali dengan mengenal dan mempelajari rasa, bau,
sentuhan dan melihat, mereka mulai mampu membuat ciri antara “aku” dan
“bukan aku”. Kemampuan persepsi ini akan berkembang dan seseorang akan
belajar tentang dirinya, yang ia temukan lewat interaksi dengan dunia luar.
Menurut Beck, Willian dan Rawlin (Salbiah,
www.usu-digitallibrary.com, 2003) menyatakan, bahwa konsep diri adalah cara
individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual ,
sosial dan spiritual
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai konsep diri, maka
penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa definisi konsep diri adalah,
keyakinan, pandangan, penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya
2. Faktor yang mempengaruhi Konsep Diri
Taylor dan Comb & Snygg (Agustiani, 2006), beranggapan bahwa
pada awalnya konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi tentang
dirinya sendiri. Seiring bertambahnya usia dan kemampuan persepsi,
pandangan tersebut menjadi lebih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
diperoleh dari hasil interaksi dengan lingkungan. Semakin individu
melakukan banyak interaksi dengan orang lain dan lingkungan, maka
semakin banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep
diri.
Menurut Rais (Gunarsa, 1986), memaparkan beberapa hal yang
mempengaruhi konsep diri antara lain:
a. Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin akan berpengaruh pada perkembangan
tuntutan peran. Tuntutan tersebut tergantung pada keadaan biologis,
lingkungan keluarga dan kebudayaan. Kebudayaan memiliki stereotipe
tertentu dalam menilai anak laki-laki dan perempuan, sementara
lingkungan keluarga memberikan doktrin/perlakuan terhadap anak, sesuai
dengan stereotipe yang diharapkan oleh kebudayaan yang berlaku.
Misalnya anak laki-laki seharusnya memiliki tingkat agresifitas yang
lebih tinggi dibandingakan dengan anak perempuan dan tidak pantas
untuk menangis. Sebaliknya, anak perempuan diidentikkan dengan
sifat-sifat yang feminin dan lembut, tidak pantas untuk berlaku kasar.
bertingkah laku, berfikir serta berperasaan berbeda, antara jenis kelamin
laki-laki dan perempuan.
b. Keluarga
Lingkungan terdekat individu adalah keluarga, yaitu lingkungan
rumahnya sendiri. Didikan, tekanan dan pola asuh orangtua akan
membentuk bagaimana individu berperan dalam keluarga, sekaligus
menentukan bagaimana persepsi individu terhadap keluarganya. Seorang
anak akan menganggap dirinya berarti ketika lingkungan keluarga
memberikan penerimaan, dengan demikian anak akan beranggapan
bahwa keluarganya adalah keluarga yang bersahabat dan hangat.
c. Harapan-harapan
Seorang remaja memiliki harapan-harapan terhadap dirinya sendiri,
dimana harapan tersebut merupakan stereotipe sosial sekaligus
pencerminan terhadap harapan-harapan orang lain terhadapnya. Misalnya,
seorang wanita diharapkan untuk bersikap lembut dan feminin, maka
harapan ini akan menjadi penentu konsep diri remaja, sehingga seorang
wanita akan berusaha berlaku demikian, yaitu bersikap lembut dan
feminin.
d. Nama dan pakaian
Nama/julukan tertentu yang melekat pada seorang remaja akan
berpengaruh pada pembentukan konsep dirinya. Julukan negatif yang
biasa menjadi bahan tertawaan, akan membentuk konsep diri yang negatif
julukan yang positif, maka hal tersebut akan mengubah konsep diri kearah
yang lebih positif.
Pakaian dapat menentukan bagaimana ia melihat dirinya sendiri.
Pakaian yang dikenakan juga menentukan bagaimana penilaian orang lain
terhadap seseorang.
Menurut Calhoun & Accocela (www.usu-digitallibrary.com, 2003),
sumber informasi untuk konsep diri adalah interaksi individu dengan orang
lain. Individu menggunakan oranglain untuk menunjukkan siapa dia. Individu
juga membayangkan bagaimana pandangan orang lain terhadapnya, dan
bagaimana mereka menilai penampilannya. Penilaian dan pandangan orang
lain inilah yang digunakan individu sebagai acuan menilai gambaran dirinya.
Orang lain yang dianggap memberikan pengaruh terhadap pembentukan
konsep diri antara lain:
a. Orang tua
Orang tua memberikan pengaruh yang paling kuat karena merupakan
kontak sosial pertama yang dialami manusia. Orang tua memberikan
informasi yang menetap tentang diri individu, mereka juga menetapkan
pengharapan bagi anaknya. Orang tualah yang mengajarkan anak
bagaimana menilai diri sendiri, lewat pola asuh yang diberikan.
Menurut Rini (www.e-psikologi.com, 2002), sikap positif orang tua
yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang
positif serta menghargai diri sendiri. Sebaliknya, sikap negatif orang tua
bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, dihargai dan
disayangi. Anak akan beranggapan bahwa orang tua tidak sayang
kepadanya, akibat kekurangan yang ada pada dirinya, sehingga anak akan
selalu menyalahkan dirinya.
b. Teman sebaya
Taman sebaya merupakan pengaruh besar kedua dalam pembentukan
konsep diri, setelah orang tua. Penolakan atau penerimaan oleh
teman-teman sebayanya, akan berpengaruh terhadap diri seseorang. Penerimaan
memberikan efek positif dan sebaliknya, penolakan akan memberikan
efek yang tidak baik dalam pembentukan konsep diri seseorang.
c. Masyarakat
Masyarakat punya harapan tertentu terhadap individu, dan harapan ini
masuk ke dalam diri individu, dimana individu akan berusaha
melaksanakan harapan tersebut.
d. Hasil dari proses belajar
Belajar merupakan perubahan permanen yang terjadi dari diri individu
akibat dari pengalaman. Pengalaman dengan lingkungan dan orang sekitar
akan memberikan informasi dan masukan mengenai sebab akibat suatu
perilaku. Informasi dari pembelajaran ini akan memperluas pandangan
individu, sehingga individu mampu membedakan dan membuat pilihan
dengan apa yang akan dilakukannya. Proses belajar yang dimaksud dalam
diharapkan akan menambah informasi dan memperluas pandangan anak
didiknya.
Sejumlah ahli menemukan bahwa fisik merupakan suatu kontributor
yang sangat berpengaruh pada rasa percaya diri remaja, yang berpengaruh
pada pembentukan konsep diri (Santrock, 2003). Sejalan dengan pernyataan
tersebut, Mönks (2004) menyatakan bahwa pada masa remaja, perhatian
terhadap penampilan diri sangatlah besar, karena dianggap sangat penting.
Remaja yang mengerti bahwa badan dan penampilannya memenuhi syarat,
akan berakibat positif terhadap penilaian dirinya (konsep diri).
Berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya
konsep diri maka dapat disimpulkan bahwa dalam perkembangannya, konsep
diri dipengaruhi oleh jenis kelamin, keluarga, nama dan pakaian, teman sebaya,
serta harapan dan masyarakat, hasil proses belajar dalam Sekolah Modeling
serta penampilan fisik.
3. Aspek-aspek Konsep Diri
Evaluasi individu terhadap diri sendiri, baik positif ataupun negatif,
tergantung dari bagaimana ia memandang diri. Evaluasi terhadap diri ini bisa
dilihat dari beberapa ciri yang muncul.
Rini (www.e-psikologi.com, 2002), memberikan bahasan tentang evaluasi
diri/konsep diri negatif dan positif. Individu memiliki konsep diri negatif ketika
ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak mampu
berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai
akan mudah menyerah sebelum berperang, dan cenderung untuk menyalahkan
diri maupun orang lain. Orang dengan konsep diri negatif memandang hidup
secara pesimistik dan menyalahkan keadaan, ia juga memandang tantangan
sebagai halangan, bukan kesempatan.
Sebaliknya individu dengan konsep diri positif akan terlihat lebih
optimistik, penuh percaya diri dan bersikap positif dalam menanggapi segala
sesuatu termasuk kegagalan. Kegagalan bagi mereka adalah cambuk untuk
berusaha lebih baik lagi, selain itu konsep diri yang positif akan membawa
dampak positif pada orang lain disekitarnya.
Menurut Santrock (2003), isi dari konsep diri remaja adalah gambaran
kognitif mengenai dirinya yang disebut dengan pemahaman diri (self
understanding). Pemahaman diri merupakan bagian dari konsep diri remaja,
yang memiliki beberapa aspek antara lain:
a. Abstrak dan idealis
Remaja memandang diri dan menggambarkannya dengan
menggunakan kata-kata yang abstrak dan idealistik. Contoh penggunaan
kata-kata abstrak: “Saya hanyalah seorang manusia yang terkadang tidak
tahu siapakah diri saya”. Contoh kata-kata pada kata-kata idealis adalah,
“Saya merasa bahwa saya bisa menyelesaikan apapun tugas yang diberikan
pada saya, karena saya mampu”. Perasaan mampu ini merupakan
b. Terdiferensiasi.
Terdiferensiasi merupakan pemahaman diri, ketika remaja mampu
membedakan peran yang mereka mainkan dimana mereka berada. Peran
seseorang saat dalam keluarga akan berbeda ketika berada di sekolah dan
berbeda lagi ketika berkumpul dengan teman-teman. Individu yang bisa
menempatkan diri, kapan, dimana dan peran apa yang harus dimainkan,
memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri.
c. Kontradiksi dalam diri
Merupakan kemampuan mendefinisikan diri dalam peran yang
berbeda-beda yang ada dalam diri mereka, bisa secara positif maupun
secara negatif. Perasaan-perasaan kontra akan muncul seperti, merasa jelek
namun menarik, bosan namun penuh keingintahuan dan peduli, cantik
tetapi otak udang. Contoh terakhir merupakan ungkapan bernada negatif,
yang perlahan akan membentuk konsep diri yang negatif pula.
d. Fluktuasi diri
Seorang remaja akan sangat mudah berubah secara emosional.
Ketidakstabilan emosi ini ditunjukkan dengan sikap yang berubah drastis.
Remaja akan menjadi seorang yang ceria lalu menjadi sarkastis beberapa
waktu kemudian. Ketidakstabilan/fluktuasi emosi ini akan terus
berlangsung sampai seorang remaja mampu membentuk konsep dirinya
e. Diri yang nyata dan ideal, diri yang benar dan yang palsu.
Diri yang ideal merupakan gambaran diri yang diinginkan, diri nyata
adalah diri mereka yang sesungguhnya dan diri yang palsu adalah diri yang
secara sengaja ditampilkan berbeda. Remaja akan menunjukkan diri palsu
mereka ketika berada pada situasi yang romantis/berhadapan dengan
guru/presentasi atau berada di atas panggung, Harter & Lee (Santrock,
2003). Perbedaan yang terlalu jauh antara diri nyata dan ideal menunjukkan
adanya ketidakmampuan untuk menyesuaiakan diri, Carl Rogers (Santrock,
2003). Semakin tipis perbedaan antara diri nyata dan ideal maka semakin
baik kemampuan menyesuaikan dirinya, dengan demikian seorang remaja
akan menjadi lebih riil dalam memandang realitas. Diasumsikan bahwa
mereka akan lebih yakin terhadap diri sehingga terbentuk konsep diri yang
positif.
Possible self merupakan satu aspek diri ideal/diri yang diimajinasikan,
yang mungkin menjadi kenyataan, baik yang diinginkan maupun yang
ditakutkan, Markus & Nurius (Santrock, 2003). Sikap positif remaja di
masa depan akan memberikan efek/keadaan positif di masa depan, sehingga
terbentuk konsep diri positif. Sebaliknya, sikap negatif remaja di masa
depan akan berdampak negatif bagi pembentukan konsep diri remaja di
masa mendatang.
f. Perbandingan sosial.
Muncul ketika remaja mulai mempertanyakan, akan membandingkan
membandingkan diri dengan teman sekelas atau teman sejenis, yang lebih
populer, yang lebih menarik secara fisik maupun dengan orang-orang
dewasa pada umumnya. Semakin remaja berani untuk membandingkan diri
dengan figur tertentu yang ideal, maka konsep dirinya akan positif.
g. Kesadaran diri
Remaja menjadi lebih sadar akan dirinya (self conscious), dan
melakukan introspeksi diri lebih banyak. Mereka sangat rentan terhadap
pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat
mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau
mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat
memperhatikan diri mereka dan berusaha merefleksikan citra yang ada pada
diri mereka. Introspeksi diri juga melibatkan penilaian/opini dari
teman-teman, karena remaja membutuhkan dukungan dan penjelasan diri dari
teman-temannya, untuk meyakinkannya dalam pencarian identitas diri.
h. Perlindungan diri
Perlindungan diri dimiliki remaja dalam usaha introspektifnya untuk
memahami diri. Remaja memiliki mekanisme untuk melindungi dan
mengembangkan diri, dengan menolak karakteristik negatif dalam diri
mereka. Bagian dari diri yang sering disebutkan remaja adalah deskripsi
diri positif seperti, menarik, suka bersenang-senang, sensitif, penuh kasih
sayang dan keingintahuan. Deskripsi diri yang negatif, seperti jelek,
dilakukan, karena remaja cenderung untuk menggambarkan diri secara
ideal.
i. Ketidaksadaran
Remaja yang lebih tua akan lebih yakin bahwa ada aspek-aspek
tertentu dari pengalaman mental yang berada di luar kesadaran,
dibandingkan dengan remaja yang lebih muda.
Fits (Agustiani, 2006) membagi konsep diri dalam 2 aspek besar, yaitu
aspek Internal dan aspek Eksternal.
a. Aspek Internal
Aspek ini lebih menekankan pada bagaimana individu memberikan
penilaian pada dirinya sendiri, berdasarkan pada dunia yang ada dalam
dirinya. Ada tiga bentuk dari dimensi Internal, yaitu:
1) Diri identitas (identity self)
Identity self merupakan aspek paling mendasar dalam konsep
diri, yaitu pencarian diri yang bertolak pada pertanyaan mengenai
“Siapakah saya?”. Berisi mengenai simbol-simbol yang melekat pada
pribadi individu untuk membangun identitasnya, misalnya “Saya Ayu,
seorang siswi SMU”.
Berkembangnya kemampuan persepsi seseorang dan hasil dari
interaksinya dengan lingkungan, maka pengetahuan seseorang tentang
dirinya akan semakin bertambah. Hal-hal yang melekat pada dirnya
mengenai dirinya yang semakin bertambah seperti “Saya adalah orang
pemarah”, “Saya tidak cantik tapi cukup menarik” dan sebagainya.
2) Diri Pelaku (behavioral self)
Bagian dari diri ini merupakan persepsi individu tentang
tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran menganai “apa yang
dilakukan oleh diri”, misalnya “Saya sedang berjalan”, “Saya sedang
marah”.
3) Diri Penerimaan/Penilai (judging self)
Diri penilai merupakan faktor evaluatif, penentu standar,
sekaligus perantara dari diri identitas dan diri pelaku. Seseorang
cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang
dipersepsikannya, oleh karena itu label yang dikenakan ada pada diri
seseorang tidak sekedar menggambarkan dirinya, melainkan penuh
dengan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang nantinya akan berperan
dalam pembentukan tindakan yang akan ditampilkan individu. Diri
penilai inilah yang akan menentukan seberapa besar kepuasan
seseorang tentang dirinya dan mau menerima dirinya.
Kepuasan diri yang rendah akan membentuk harga diri yang
rendah, hal ini berakibat pada ketidakpercayaan pada diri. Sebaliknya,
individu yang memiliki kepuasan diri tinggi, bisa menerima dirinya,
maka ia akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi dan lebih
memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar diri sehingga
berfungsi konstruktif.
b. Aspek Eksternal
Aspek ini memiliki cakupan yang lebih luas, dimana individu menilai
diri melalui hubungannya dengan lingkungan, aktivitas sosial dan hal-hal
lain di luar dirinya. Lima bentuk dimensi eksternal tersebut antara lain:
1) Diri Fisik (physical self)
Diri fisik berfokus pada bagaimana seseorang
mempersepsikan keadaan diri secara fisik. Persepsi tersebut meliputi
kesehatan, penampilan diri (cantik, jelek, menarik, tidak menarik)
dan keadaan tubuh yang bisa terlihat secara fisik (gemuk, kurus,
pendek, tinggi).
2) Diri etik-moral (moral-ethical self)
Diri ini berkaitan dengan persepsi seseorang tentang dirinya
dan Tuhan serta standar pertimbangan etika dan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat. Menekankan pada bagaimana individu
menilai diri sebagai makhluk yang mampu mempertanggung
jawabkan diri secara moral, dengan penilaian terhadap batasan baik
buruk.
3) Diri Pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan kemampuan individu untuk menilai
dirinya sendiri dan keadaan pribadinya, tanpa melihat hal-hal yang
namun dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap
pribadinya, dan sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang
tepat.
4) Diri Keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri individu
dalam kedudukannya sebagi anggota keluarga. Diri ini merupakan
penilaian pribadi yang meliputi bagaimana ia berperan dalam
keluarga, sejauh mana dirinya merasa adekuat dalam keluarga dan
bagaimana pandangan seseorang mengenai keluarganya.
5) Diri Sosial (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap bagaimana
ia berinteraksi dengan orang lain dan dengan lingkungan sosialnya.
Beberapa pemaparan dari aspek-aspek konsep diri diatas, tampak
jelas terlihat bahwa konsep diri tidak hanya merupakan penilaian individu
terhadap dirinya sendiri namun juga dipengaruhi oleh banyak faktor di luar
dirinya, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkup pergaulannya.
Berdasarkan definisi tersebut maka penulis merangkum dan
mengklasifikasikan konsep diri dalam empat aspek, yaitu:
a. Aspek fisik
Aspek fisik menitikberatkan pada bagaimana seseorang
mempersepsikan keadaan diri secara fisik dan segala sesuatu yang
b. Aspek psikis
Aspek ini lebih menekankan pada bagaimana pikiran, perasaan dan
sikap yang dimiliki individu untuk menilai dirinya sendiri dan keadaan
pribadinya.
c. Aspek sosial
Aspek sosial yaitu hasil dari interaksi individu dengan
lingkungannya, meliputi, tanggapan individu terhadap lingkungan,
tanggapan lingkungan terhadap individu (menurut individu), sekaligus
tanggapan individu pribadi dalam keluarga, teman maupun lingkungan
sosialnya.
d. Aspek moral
Aspek ini menekankan pada kesadaran individu sebagai makhluk
ciptaan Tuhan, moral, serta nilai-nilai yang ada pada dirinya.
C. SEKOLAH MODELING
Sekolah merupakan bangku pendidikan, yang terdiri dari pendidikan
formal dan tidak formal. Pendidikan adalah bantuan yang diberikan oleh orang
dewasa kepada orang yang belum dewasa, agar mencapai suatu kedewasaan
Winkel (2004). Sekolah Modeling merupakan salah satu bentuk media
pembelajaran, dimana ada pendamping yang memberikan hal-hal positif sehingga
Menurut Moh. Amien (Agustiani, 2006), proses dan hasil pendidikan di
sekolah harus bersifat humanistik yang bercirikan sebagai berikut :
1. Menghasilkan lulusan yang percaya diri dan bersikap positif terhadap
masa depannya dan atau memiliki konsep diri yang positif.
2. Menghayati serta mengamalkan nilai hidup yang luhur serta
mendamaikan diri serta lingkungan sosialnya.
3. Mampu mengembangkan semua potensi siswa secara berimbang, terpadu
dan optimal.
Secara garis besar, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidik atau tenaga
pelatih bermaksud dan berusaha untuk mempengaruhi anak didik ke arah
perkembangan yang lebih baik, sesuai dengan tujuan dari pendidikan tersebut.
Pendidik dalam Sekolah Modeling lebih dikenal dengan istilah ‘instruktur’.
Instruktur bertugas untuk memberikan materi dan pelatihan kepada anak
didiknya.
Menurut Sanggarwaty (2003), dunia model merupakan usaha menjual jasa,
dimana model merupakan mediator antara desainer/produsen dengan konsumen.
Model dibutuhkan sebagai pelaku yang mampu mengkomunikasikan
busana/produk kepada konsumennya. Tugas model tidak hanya menyampaikan
image produk yang diperagakan, namun juga menciptakan sikap, ekspresi, dan
gaya tertentu dalam memperagakan produk. Sebagai pencipta image, dibutuhkan
penampilan yang sempurna, baik secara fisik maupun non fisik.
Syarat fisik yang dituntut dari seorang model antara lain:
2. Postur tubuh seimbang dan proporsional
3. Khusus model catwalk, tinggi badan minimal 170 cm, berat badan antara
50-55 kg, dan ukuran sepatu 38-41.
4. Rambut sehat, kuat, tidak patah-patah, dan tidak bercabang
5. Kuku bersih dan terawat dengan baik
6. Sederetan gigi yang putih, sehat dan bersih
Persyaratan lain selain fisik adalah kecerdasan dalam mengikuti pola
koreografi, wawasan yang luas, kepribadian/karakter yang kuat, kekayaan
karakter/gaya, perilaku yang baik dan motivasi yang kuat. Begitu banyaknya
persyaratan untuk bisa menjadi model professional, namun sebagian besar
Sekolah Modeling yang berada di Yogyakarta memberikan kemudahan bagi
siapa saja ingin masuk dalam Sekolah Modeling, dengan tidak memberikan
kriteria khusus, baik fisik maupun non fisik. Semua orang yang ingin
mendapatkan pendidikan modeling bisa langsung bergabung dalam Sekolah
Modeling.
Sekolah Modeling terbagi dalam dua kelompok, yaitu anak-anak dan
remaja. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pendidikan, selama ±6
bulan, terbagi dalam dua tingkat, yaitu ±3 bulan tingkat dasar dan ±3 bulan untuk
tingkat terampil. Setiap tingkat diadakan ujian teori maupun praktek, kemudian
seperti halnya proses pendidikan yang lain, Sekolah Modeling juga mengadakan
wisuda bagi para siswanya yang telah menempuh pendidikan tingkat akhir
Sekolah Modeling adalah salah satu pendidikan non formal yang khusus
mendidik seorang individu menjadi model. Tujuan dari Sekolah Modeling yaitu,
berusaha membentuk anak didik sebagai model yang memiliki 3 B yaitu, Beauty,
Brain and Behavior, yaitu:
1. Beauty
Seseorang dikatakan cantik apabila memiliki kecantikan batiniah
sekaligus kecantikan fisik (penampilan fisik). Ciri-ciri beauty yaitu
mengutamakan kesegaran, keserasian.
2. Brain
Memiliki wawasan yang luas.
3. Behavior
Berpikir dan berperilaku positif.
Seorang model tidak cukup dengan berbekal wajah cantik dan badan yang
bagus, namun harus diimbangi dengan pengetahuan, kepercayaan diri dan
kemampuan mengekspresikan diri. Latihan yang intensif dan kerja keras sangat
diperlukan untuk bisa bersaing dengan sesama model yang lain, Anom (2002).
Sesuai dengan tujuannya, yaitu membentuk anak didik menjadi model yang
memiliki 3B, maka Sekolah Modeling membuat kurikulum/materi untuk
mewujudkan tujuan tersebut. Materi yang diberikan antara lain:
1. Etika
Materi ini berupa pengetahuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
pengertian tentang pentingnya kepribadian dan etika. Menurut Dale Cernegie
pengetahuannya di bidang teknik, dan 85% ditentukan oleh ketrampilan
dalam pergaulan.
Kepribadian dan etika merupakan bagian dari ketrampilan dalam
bergaul, dan hal tersebut bisa dilaksanakan dengan cara saling menghormati,
sehingga menumbuhkan respek dari orang lain serta mendorong terciptanya
kerjasama dan hubungan yang harmonis.
Etika yaitu norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang
merupakan pedoman hidup yang benar dari sudut budaya, susila dan agama.
Etiket yaitu tatakrama atau sopan santun, dengan demikian etiket merupakan
sebagian dari etika.
Hal-hal yang diberikan dalam etiket antara lain cara-cara berperilaku
seperti:
a. Menghadap
Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengetuk pintu terlebih
dahulu dan jangan masuk sebelum dipersilahkan, kemudian duduk dengan
catatan jika sudah dipersilakan. Duduk dengan sikap duduk yang benar
serta tidak meletakkan tangan atau barang milik pribadi di meja. Hal
terakhir yang dilakukan setelah selesai yaitu menutup pintu kembali
seperti keadaan semula.
b. Duduk dan berdiri
Saat sedang duduk dan bila didatangi seseorang yang memiliki
jabatan/kedudukan yang lebih tinggi, sebaiknya berdiri atau
jangan memasukkan tangan ke dalam saku, bersilang tangan atau
bersandar ke dinding.
c. Berjalan
Saat berjalan sebaiknya tidak menyeret sepatu dan jika berjalan di
jalan raya harus berada di posisi yang melindungi (kecuali wanita dengan
atasan pria).
d. Berbicara
Mata memandang kearah wajah secara keseluruhan, bukan mata atau
arah lain. Tidak mengenakan topi, kecuali topi sebagai asesoris, tidak
diperkenankan juga berbicara dengan memakai kaca mata hitam, serta
tidak mengunyah makanan/merokok secara sepihak.
e. Busana dan sepatu
Busana dan sepatu yang dikenakan hendaknya disesuaikan dengan
waktu/tempat/keperluan, dan sangat tidak disarankan untuk memakai baju
hitam-hitam saat siang hari.
f. Naik turun kendaraan
Pria membukakan pintu bagi wanita, bagi orang yang dihormati,
demikian juga jika turun. Tempat duduk paling depan ditempati oleh
seorang yang paling muda/paling rendah kedudukannya, jika yang
mengemudikan sopir namun apabila yang mengemudikan rekan/teman,
maka hendaknya menempati posisi duduk paling depan (di samping
g. Tegur sapa
Seseorang dengan posisi sebagai bawahan, hendaknya tidak
melambaikan tangan pada atasan, sekalipun atasan melambaikan tangan,
cukup berik anggukan dan selalu mengucapkan salam apabila bertemu
atau berpisah.
h. Makan bersama
Menghindari berdecak atau bunyi lainnya saat sedang makan.
i. Makan di restoran
Pria lebih aktif dalam kesempatan ini, baik untuk memanggil pelayan,
memesan/menulis pesanan dan membayar.
j. Bermalam
Saat bermalam di kediaman orang lain maka sebaiknya memberi
kabar terlebih dahulu dan berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi
setempat. Hal-hal yang tidak diperkenankan antara lain, bermalam terlalu
lama, mencela kebiasaan tuan rumah, menyuruh pembantu, membawa
kunci kamar, meminjam tetepon, memakai barang tanpa izin dan
terlambat pulang tanpa pemberitahuan.
k. Bertamu
Memberi tahu sebelumnya atau membuat janji terlebih dahulu dan
bertamu tidak pada jam-jam sibuk/istirahat. Berpakaian sopan dan
l. Sebagai tuan rumah
Sebagai tuan rumah yang menyambut tamu, tidak diperkenankan
menemui tamu dengan pakaian tidur. Tidak melihat jam saat pembicaraan
dan mengantar tamu sampai pintu/gerbang.
Etiket memiliki konsep dasar/inti yaitu “Always want to please
somebody”, artinya ialah keinginan atau upaya untuk tidak merugikan, bahkan
untuk menyenangkan pihak lain dengan bentuk sikap seperti sopan, ramah,
memberikan perhatian, toleran, siap membantu, mengendalikan emosi dan
menjaga perasaan orang lain. Berdasarkan pengertian di atas dan juga hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam sopan-santun, maka tampak jelas bahwa etiket
memiliki manfaat yang cukup besar, antara lain:
a. Menambah rasa percaya diri, karena dengan adanya pengetahuan tentang
tata cara sopan santun/etiket mampu mengurangi rasa canggung dalam
melakukan suatu hal.
b. Menimbulkan respek dari pihak lain. Seseorang akan dihormati dan
dikagumi ketika ia bisa membawakan diri dimana ia berada secara sopan.
c. Memelihara suasana yang baik
d. Memperlancar komunikasi
e. Mengendalikan emosi
f. Kemudahan peluang kerja
Sopan santun merupakan nilai yang diberikan dalam pelajaran ini,
menumbuhkan hubungan yang baik dan harmonis, dengan demikian aspek
sosial konsep diri menjadi positif.
2. Basic Modelling
Materi ini merupakan hal yang paling intensif diberikan bagi para
model. Materinya berisi teknik berjalan seimbang dengan menggunakan
sepatu hak tinggi (catwalk), dan bagaimana membawakan diri dengan
ekspresi/karakter yang berbeda sesuai dengan busana yang dikenakan,
beserta pose-posenya. Model akan membawakan dirinya seperti ratu saat ia
mengenakan/memperagakan baju pesta yang mewah. Ekspresi/karakter diri
yang anggun seperti ratu, bisa muncul apabila model berfikir bahwa ia
adalah seorang ratu.
Model akan membawakan karakter yang berbeda untuk busana yang
berbeda, ia juga akan berfikir dan memahami dirinya secara berbeda.
Kebiasaan untuk merubah karakter (menampilkan diri yang palsu), akan
memberikan pengaruh pada aspek psikis konsep diri, selain itu pose dan
bentuk koreografi membutuhkan kecerdasan model dalam mengingat setiap
gerakan dan posisi yang telah ditentukan. Hal ini akan berpengaruh juga pada
aspek psikis, yaitu sejauh mana seseorang merasa dirinya cukup cerdas dan
cukup mengerti materi. Pelatihan ini mengkondisikan seseorang untuk
membentuk sikap tubuh maupun cara berjalan seseorang menjadi lebih baik,
3. Seni Peran
Teknik-teknik dasar yang diberikan pada kelas seni peran, yaitu olah
rasa dan olah vokal. Olah rasa merupakan pelatihan untuk mengeksplorasi
perasaan, dimana setiap model akan berikan kesempatan untuk mencoba
beberapa peran dengan ekspresi emosi yang berbeda, seperti marah, sedih,
gembira dan kecewa. Olah vokal adalah teknik untuk mengatur suara dan
mempertegas artikulasi supaya jelas dalam pengucapan.
Pengetahuan ini diberikan untuk memperkaya ekspresi seorang model
diatas panggung saat berpose sekaligus membuat image untuk gaun yang
dikenakan. Digunakan juga sebagai dasar/modal apabila ada tawaran untuk
casting sinetron dan iklan, disamping itu, juga bisa menjadi wadah katarsis
yang memberikan kelegaan secara emosional sehingga berdampak positif
terhadap aspek psikis.
4. Publick Speaking
Ketrampilan ekspresi tidak lepas dari ketrampilan mental. Seseorang
bisa mengekspresikan diri ketika ia memiliki mental yang kuat, yaitu bukan
seorang yang pemalu. Seseorang harus terbiasa tampil di depan umum,
namun tidak semua orang memiliki kemampuan tersebut, oleh karena itu
diberikan pelatihan public speaking untuk membentuk kepercayaan diri
tampil di depan umum. Kelas public speaking mengajarkan bagaimana sikap
5. Table manner
Materi yang diberikan pada pelajaran ini adalah memperkenalkan
perlengkapan makan resmi dan juga mempelajari bagaimana cara
penggunaannya secara benar. Hal ini diberikan, supaya model bisa
menempatkan diri saat berada di lingkungan yang resmi, sehingga tahu akan
nilai-nilai kesopanan, yang merupakan aspek moral. Kemampuan
menempatkan diri sesuai nilai-nilai yang berlaku akan menumbuhkan rasa
hormat dan dikagumi pihak lain, sehingga akan berpengaruh pada aspek
sosial.
6. Make up
Model sebagai penyampai image dituntut untuk tampil sesempurna
mungkin agar menimbulkan daya tarik tersendiri. Salah satu cara untuk
mendapatkan kesempurnaan itu adalah dengan tata rias. Tata rias mampu
mengkoreksi kekurangan-kekurangan yang ada pada wajah, supaya terlihat
lebih sempurna. Kesempurnaan secara fisik akan memberikan pengaruh pada
aspek fisik pada konsep diri.
Sebagai seorang model, ada tuntutan untuk selalu tampil fresh dalam
setiap kesempatan, oleh karena itu dalam keseharian sangat disarankan untuk
tetap memakai make-up tipis dengan warna-warna natural. Materi ini
diberikan supaya model mampu merias wajahnya sendiri, mulai dari
membersihkan wajah, pemakaian pelembab, alas bedak, conccealer (penutup
pensil alis, eye liner, penjepit bulu mata, maskara, pemulas pipi, pemulas
bibir dan tidak lupa diajarkan pula teknik memasang bulu mata.
Pembahasan di atas cukup memberikan gambaran tentang hal-hal apa saja
yang dipelajari dalam Sekolah Modeling, tidak hanya sekedar belajar
berlenggak-lenggok di atas panggung namun juga belajar pengetahuan lain
untuk pengembangan diri, sehingga diharapkan membentuk konsep diri yang
positif.
D. PERBEDAAN KONSEP DIRI REMAJA YANG MENGIKUTI DAN YANG
TIDAK MENGIKUTI SEKOLAH MODELING
Sekolah Modeling merupakan